BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dusun Mlangi merupakan daerah pemukiman penduduk yang memiliki ciri khas Islam. Di dusun ini berdiri sebuah masjid dengan arsitektur Joglo khas bangunan Kraton Yogyakarta. Nama masjid ini adalah masjid Agung Jami’, didirikan oleh mbah Kyai Nuriman (Bendoro Pangeran Hangabei Sandiyo) yang merupakan seorang keturunan Kraton Yogyakarta. Menurut kisah sejarah Mbah Kyai Nuriman merupakan seorang darah biru yang sedang melakukan perjalanan untuk menyebarkan agama Islam. Dalam perjalanannya sampailah Beliau disebuah daerah yang masih sepi penduduk. Di daerah tersebut Beliau mendirikan sebuah Masjid kemudian memulai memperkenalkan dan menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat. Usahanya membuahkan hasil dengan bertambahnya masyarakat yang mengikuti ajaran Islam dan bersedia tinggal didusun, sehingga diberikanlah sebuah nama pada Dusun tersebut, yakni Mlangi. Keberhasilan Mbah Kyai Nuriman menyampaikan ajaran Islam terbukti dengan semakin bertambahnya masyarakat Mlangi yang memahami ajaran Islam. Masyarakat Mlangi kemudian turut serta membantu Mbah Kyai Nuriman untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat lain. Sebuah Ide pun muncul dari masyarakat Mlangi, yakni mendirikan pondok pesantren sebagai tempat untuk belajar- mengajar agama Islam, hal ini menjadi titik awal yang meneguhkan Dusun Mlangi sebagai Dusun Santri.
Masjid Jami’ Mlangi oleh pihak Kraton dijadikan sebagai salah satu Masjid Pathok Negoro yang memiliki fungsi utama sebagai tempat melaksanakan kegiatan ibadah umat Islam sekaligus sebagai penanda wilayah. Masjid Pathok Negoro sendiri berjumlah empat, dan didirikan di empat wilayah yang berbeda. Selain di Mlangi, berada juga di Babadan, Dongkelan, dan Ploso kuning. Selain fungsi utama sebagai tempat Ibadah, Masjid Jami’ Mlangi juga merupakan sebuah Institusi yang memperankan berbagai fungsi sosial, yakni sebagai tempat saling berinteraksi sosial, memperteguh ciri khas masyarakat santri, dan tempat untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan peringatan hari Besar Islam, seperti Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, dan lainnya. Keberadaan Majid Jami’ Mlangi dan sosok Mbah kyai Nuriman yang menurut sejarah adalah pendiri Masjid dan sekaligus tokoh penyebaran Islam dikawasan tersebut menjadikan Dusun Mlangi kental dengan aktivitas keagamaan Islam. Sejumlah pondok pesantren telah berusia puluhan tahun dan mencetak ribuan santri diantaranya adalah pondok pesantren Al-Falahiyah, Al- Miftah, Mlangi Timur, dan Mathlabah Darussalam. Eksistensi pondok-pondok pesantren, dan berbagai kegiatan keagamaan, seperti pengajian, tadarus, belajar- mengajar, dan peringatan hari besar Islam merupakan indikator Dusun Mlangi sebagai Dusun Santri. Kentalnya kegiatan keagamaan tercermin juga dari sikap masyarakat dalam melaksanakan peringatan hari- hari besar Islam hingga diusahakan untuk memperingatinya semeriah mungkin. Peringatan hari besar Islam yang mampu menyerap antusiasme masyarakat adalah Hari raya Idul Fitri. Momen tersebut
menjadi peristiwa dimana seluruh elemen masyarakat bahu-membahu untuk mengadakan sebuah rangkaian acara. Pemuda merupakan motor penggerak acara, dibawah arahan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Kekompakan dan Koordinasi yang terjalin baik selama ini menjadikan peringatan hari raya Idul fitri salah satu peringatan hari besar Islam yang secara rutin dapat dilestarikan oleh masyarakat santri di dusun Mlangi. Setengah abad terakhir cara memeriahkan hari Raya Idul Fitri di dusun Mlangi diantaranya adalah dengan bermain petasan. Gelegar suara petasan mampu membuat peringataan hari besar Islam tersebut menjadi semakin meriah. Menurut cerita masyarakat, awal mula petasan sampai di dusun Mlangi adalah ketika adanya santri dari jawa tengah yang membawa patasan untuk di bunyikan di Mlangi. Masyarakat terkesan dan menginginkan petasan untuk digunakan dalam memeriahkan peringatan hari besar Islam di Mlangi. Selain riuh gemuruh tabuhan bedug, petasan kemudian menjadi salah satu instrumen yang turut memeriahkan hari besar Islam. Fenomena petasan didusun Mlangi mempunyai sisi sosiologis yang menarik untuk diteliti.
Petasan telah menjadi instumen wajib dalam
menyelenggarakan pringatan Idul Fitri. Hal tersebut memicu munculnya usaha kecil dengan skala rumahan untuk memproduksi petasan menjadi tumbuh subur di dusun Mlangi. Bahan dasar untuk membuat petasan adalah bubuk peledak. Pekerjaan yang berhubungan dengan bahan peledak sudah pasti memiliki resiko yang sangat tinggi. Beberapa kali terjadi peristiwa kecelakaan akibat petasan yang mengakibatkan korban luka. Namun, tampaknya Para perajin/pembuat petasan
tidak menggubris resiko dan pelajaran dari peristiwa kecelakaan. Mereka beranggapan bahwa hal yang dilakukannya adalah usaha memenuhi kebutuhan hidup dan upaya memeriahkan peringatan hari raya Idul Fitri. Petasan telah menjadi bagian dari perilaku masyarakat dalam memperingati hari raya Idul Fitri. B. Rumusan Masalah Kebiasaan memperingati Hari raya Idul Fitri dengan menggunakan petasan di Dusun Mlangi merupakan potret fenomena sosial yang berkesinambungan dengan berbagai tindakan yang dilakukan oleh masyarakat. Baik itu tindakan sosial ataupun tindakan ekonomi, telah membuat penulis merasa perlu untuk mencoba membuat penjelasan secara sosiologis. Hal menarik yang dianalisis secara sosiologis oleh peneliti adalah fenomena keterlekatan antara Kebiasaan masyarakat santri dalam melaksanakan peringatan hari raya Idul Fitri dengan pratik bermain dan membuat petasan. Dengan demikian disusun dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana praktik peringatan Hari raya Idul Fitri dengan bermain (menyalakan) petasan menjadi sebuah habitus sosial Masyarakat Santri Mlangi? 2. Bagaimana bentuk keterlekatan antara peringatan Hari raya Idul Fitri dengan praktik membuat petasan untuk mendapatkan?
C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta pemahaman tentang perilaku masyarakat dusun Mlangi dalam memperingati hari
besar
Islam
khusunya
Idul
Fitri
dan
usaha
masyarakat
untuk
mempertahankan eksistensi petasan dalam peringatan tersebut. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji lebih mendalam mengenai fenomena masyarakat Mlangi yang menyelenggarakan kegiatan peringatan Hari raya Idul Fitri dan dengan menggunakan petasan. 2. Mengetahui dan mengkaji alur tindakan sosial masyarakat dusun Mlangi dalam merayakan Hari raya Idul Fitri dengan menggunakan Petasan sehingga memunculkan tindakan ekonomi, jual beli petasan. D. Tinjauan Pustaka Petasan telah menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia. Di negara kepulauan kita ini hampir seluruh daerah telah mengenal petasan. Pada umumnya petasan digunakan untuk menambah semarak hari – hari besar. Imlek, Idul fitri, Idul adha, dan tahun baru adalah momen- momen dimana petasan sangat akrab dengan masyarakat. Momentum
puncak merebaknya petasan yang terjadi pada bulan
ramadhan sampai hari raya Idul fitri menandakan bahwa petasan akrab dengan masyarakat muslim di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Rukmini (2011) yang berjudul “Tinjauan Sosiologi Hukum Islam terhadap Jual Beli Petasan”,
memberikan serangkaian penjelasan bagaimana Masyarakat Islam menjadi akrab dengan petasan sampai menganalisis fenomena jual beli patasan dengan menggunakan kajian Hukum Islam. Pada penelitian tersebut penulis berusaha menjelaskan perekonomian negara yang salah satu pilarnya adalah usaha non formal dari masyarakat. Hal tersebut dikarenakan negara belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang dapat menampung seluruh masyarakat. Salah satu usaha non formal tersebut adalah jual – beli petasan. Hasil dari kajian ini menyimpulkan bahwa alasan jualbeli petasan adalah alternatif pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dasar (kebutuhan pangan dan sandang) tidak diikuti pemahaman dan kesadaran mengamalkan syariah Islam. Jual- beli petasan seringkali melanggar ketentuan undang-undang dan perizinan yang ada, dan akad yang dilakukan tidak cukup sesuai dengan Hukum Islam, yaitu rela, jujur, adil, dan tidak merugikan orang lain. Perbedaan penelitian diatas dengan penelitian di dusun Mlangi adalah pada Penelitian ini berupaya untuk menggali bagaimana sebuah kebiasaan peringatan rari raya Idul Fitri dapat terjadi. Dalam proses tersebut peneliti melakukan observasi di lingkungan dusun Mlangi serta melakukan wawancara mendalam terhadap sebagian penduduk yang menjadi informan. Melalui data yang ditemukan dilakukan identifikasi yang menghasilkan temuan modal sosial (jaringan sosial) , modal ekonomi (benda-benda bernilai) , modal kultural ( ilmu pengetahuan), dan modal simbolik (keberadaan ulama). Modal- modal tersebut lah yang bertemu didalam ranah dusun Mlangi sehingga menghasilkan kebiasaan
memperingatai hari raya Idul Fitri. Selain itu penelitian ini juga menyoroti keterlekatan antara kebiasaan melaksanakan kegiatan sosial-agama (peringatan hari raya Idul Fitri) dengan bermain dan membuat petasan. Penelitian ini menemukan bahwa peringatan hari raya Idul Fitri dilakukan dengan menggelar kegiatan membuat dan bermain petasan, dan juga sebaliknya praktik membuat petasan dilakukan akibat adanya hubungan sosial antar masyarakat dalam berupaya memperingati hari raya Idul Fitri. E. Kerangka Teori Untuk
memahami
Bagaimana
masyarakat
Santri
melaksanakan
peringatan hari raya Idul Fitri dengan menyalakan petasan, maka diperlukan teori yang relevan dengan masalah yang diteliti. Kaitan sebuah teori disini adalah s e b a g a i
pisau
b e d a h untuk
menjelaskan fakta-fakta dari
fenomena yang ada di lapangan sehingga dapat memberikan penjelasan secara sosiologis. 1. Habitus Peringatan Idul Fitri Habitus merupakan konsep Bourdieu mengenai “struktur dan mental kognitif” yang dengannya orang dapat berhubungan dengan dunia sosial (Ritzer,2008:581). Dalam penelitian ini konsep menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri berdekatan dengan tatanan masyarakat santri yang ada di dalam lingkungan dusun Mlangi. Di mana menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri menjadi bagian di dalam proses budaya di dalam lingkungan dusun Mlangi yang telah berlangsung lama.
Habitus menekankan pada suatu proses panjang mengenai posisinya di dalam dunia sosial. Habitus merupakan produk sejarah, menghasilkan praktik individu dan kolektif, dan juga sejarah, sejalan dengan skema yang digambarkan oleh sejarah (Bourdieau, 2010: 82). Menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri merupakan warisan sejarah. Di mana telah turun temurun praktik tersebut terus dilakukan oleh masyarakat Mlangi. Artinya bahwa dusun Mlangi yang merupakan institusi sosial tidak lepas dari budaya menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri tersebut. Di dalam penelitian ini habitus berusaha menjawab bagaimana terjadinya kebiasaan menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri di dusun Mlangi melalui penanamannya di dalam institusi yang ada seperti keluarga, pondok pesantren
dan tatanan sosial lainnya. Habitus menghasilkan dan
dihasilkan oleh dunia sosial. Di satu sisi, habitus “menstrukturkan struktur” dan di sisi lain dia merupakan “struktur yang terstrukturkan” (Ritzer,2008:581). Artinya bahwa di satu sisi habitus merupakan struktur yang menstrukturkan dunia sosial tapi di sisi lain merupakan struktur yang distrukturkan oleh dunia sosial. Hal ini tidak lepas dari faktor yang membentuk pemahaman masyarakat dalam praktik menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri itu sudah dianggap sebagai kebiasaan oleh masyarakat sehingga hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak asing. (Habitus x modal) + Ranah = praktik Bicara mengenai teori Bourdieu mengenai habitus, maka tidak lepas dari ranah yang membentuknya. Dalam penelitian ini ranah menempatkan individu-
individu di dalam situasi-situasi sosial yang konkret yang diatur oleh seperangkat nilai sosial yang obyektif. Menurut Bourdieu, pembentukan sosial apapun distrukturkan melalui serangkaian ranah yang terorganisasi secara hierarkis. Dalam penelitian ini yang dimaksud ranah tersebut adalah institusi dusun. Individu-individu yang terlibat di dalam pemerintahan dusun dan penyelenggara pendidikan agama di pondok pesantren terlibat dalam ruang yang memiliki fungsinya masing-masing. Setiap individu merupakan agen-agen yang menempati posisi yang tersedia. Artinya agen-agen yang terlibat di dalamnya dianggap memiliki sebuah modal sosial berupa pengetahuan dan kewenangannnya masingmasing. Seperti yang dimaksudkan oleh Bourdieu, siapapun yang memasuki ke arena tertentu paling tidak harus memiliki jumlah pengetahuan, keahlian, dan talenta minimum agar diterima sebagai seorang pemain yang legitim. Dalam memasuki
sebuah
permainan
tersebut
mereka
berusaha
pengetahuan, keahlian atau talenta tersebut dengan cara
menggunakan yang paling
menguntungkan. Praktik menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri di dalam kehidupan masyarakat dusun Mlangi sangat dipengaruhi di mana posisi seorang individu berada. Arena yang menjadi berkembangnya budaya praktik tersebut adalah lingkungan dusun Mlangi. Ranah di sini merupakan sebuah arena kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan di dalamnya juga berlangsung perjuangan masing-masing posisi. Perjuangan ini dipandang mentransformasi atau mempertahankan arena kekuatan ( Bourdieu, 1983:312). Lingkungan masyarakat merupakan suatu arena sosial di mana budaya menyalakan petasan untuk
memperingati hari raya Idul Fitri langgeng dipraktikan. Kehidupan sosial sebagai sebuah modal diperjuangkan dalam suatu arena dusun atau lingkungan masyarakat melalui kegiatan menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri. Menjadi hal yang menarik jika kegiatan menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri
merupakan sebuah habitus di mana telah
diinternalisasi ke dalam modal sosial dan merambah ke dalam dusun sebagai lingkungan masyarakat. Praktik menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri masuk ke dalam ruang lingkup dusun melalui nilai-nilai yang dipahami di dalam pendidikan pondok pesantren dan forum pengajian yang sehari-hari untuk dimasukkan ke dalam ranah kehidupan masyarakat di dusun Mlangi. Melalui kegiatan menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri, diarahkan untuk melakukan ekspansi nilai, sikap, serta prinsip di dalam praktik kehidupan bermasyarakat. Serangkaian kegiatan inilah yang telah tersusun menjadi sebuah habitus baru karena telah terjadi didalam sebuah ranah tersendiri yang mempertemukan berbagai modal di dalamnya.pada akhirnya tebentuklah habitus menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri di dalam lingkungan dusun Mlangi. 2. Keterlekatan Peringatan Idul Fitri & Praktik Petasan Konsep keterlekatan menurut Granovetter merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor (Damsar, 2009 : 139). Namun, teori keterlekatan ini tidak terbatas pada tindakan aktor individual saja
tetapi mencakup perilaku ekonomi yang lebih luas. Pada dasarnya kegiatan ekonomi tidak terpisahkan dari bentuk hubungan sosial yang ada di sekitarnya. Muncul
dua buah perdebatan antara kubu undersocialiazed yaitu tindakan
ekonomi yang kultural dituntun oleh aturan-aturan berupa nilai dan norma yang diinternalisasikan dan kubu
oversocialized yaitu tindakan eknomi yang
rasional dan berorientasi pada pencapaian keuntungan individual (Granovetter. Vol 91, Issue 3). Namun, dua kubu tersebut belum mampu menjandi gambaran yang tepat terhadap realitas tindakan ekonomi karena seperti pemikiran Granovetter tindakan ekonomi melekat pada setiap jaringan hubungan sosial dan/atau institusi sosial. Granovetter dalam
membahas konsep keterlekatan melihat bahwa
ekonomi dalam masyarakat pra-industri melekat dalam institusi- institusi sosial, politik, dan agama, dimana pasar tidak diperbolehkan untuk mendominasi kehidupan ekonomi. Granovetter dan Swedberg lebih menegaskan bahwa tindakan ekonomi dalam masyarakat industri juga melekat dalam jaringan hubungan sosial dan institusi sosial lainnya, sebagaimana halnya juga yang terjadi dalam masyarakat pra-industri. Granovetter dan Swedberg mengusulkan bahwa tindakan ekonomi berlangsung diantara keterlekatan lemah dan keterlekatan kuat (Damsar. 2009 : 144). Berbeda yang dikemukakan Karl Polanyi dan kawankawan, menurut Granovetter tindakan ekonomi bukan berada antara kutub keterlekatan dan ketidaketerlekatan, melainkan berada dalam garis kutub keterlekatan kuat dan keterlekatan lemah.
Dalam memahami permasalah dalam tulisan ini, teori keterlekatan dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana keterlekatan sebuah tindakan ekonomi yakni aktivitas jual- beli petasan yang dilakukan sebagian masyarakat
untuk
memperingati hari raya Idul Fitri. Dalam lingkungan masyarakat santri di Mlangi terdapat beberapa institusi sosial seperti, pondok pesantren, kumpulan pemuda/ karang taruna, perangkat Dusun, RT, RW. Berbagai institusi tersebut terbangun melalui jaringan-jaringan sosial yang dinamis dan terus berkembang. Melalui institusi dan jaringan sosial tersebut masyarakat dusun Mlangi dapat melakukan tindakan sosial dan
tindakan ekonomi yang saling memiliki keterlekatan.
Hubungan keterlekatan tersebut bersifat resiprokal atau timbal balik, dimana peringatan hari raya Idul fitri sebagai tindakan sosial dapat memicu tumbuhnya praktik jual-beli petasan sebagai tindakan ekonomi. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian deskriptif.
ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif
Dalam penelitian ini dipaparkan mengenai gambaran masyarakat
dusun Mlangi yang memiliki sebuah kebiasaan
menyalakan petasan untuk
memperingati hari raya Idul Fitri. Metode penelitian kualitatif deskriptif membuat penelusuran terhadap data dan informasi menjadi fleksibel sehingga memudahkan peneliti. Penelitian ini memahami perilaku masyarakat dusun Mlangi
dalam
kebiasaan menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri.
Bagaimana masyarakat dusun Mlangi memiliki sebuah kebiasaan tersebut dan bagaimana keterlekatan antara praktik menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri dengan jual beli petasan sebagai sebuah tindakan ekonomi. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Dusun Mlangi, Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dusun Mlangi merupakan basis pesantren yang masyarakatnya memiliki kebiasaan memperingati Hari raya Idul Fitri dengan bermain atau menyalakan petasan. 3. Subyek Penelitian Dalam penelitian ini peneliti mengambil masyarakat dusun Mlangi yang terlibat dalam kebiasaan menyalakan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri dan jual beli petasan sebagai subyek penelitian. Peringatan hari raya Idul Fitri merupakan acara milik seluruh masyarakat Mlangi, namun bagi sebagian masyarakat peringatan hari raya Idul Fitri juga memliki keterlekatan dengan menyalakan dan memperjualbelikan petasan. Penggalian informasi dilakukan kepada pihak-pihak yang selama ini terlibat dalam kegiatan- kegiatan tersebut, diantaranya adalah: a.Tokoh Masyarakat Tokoh masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat Mlangi yang secara konsisten turut berperan aktif dalam kegiatan masyarakat, dalam konteks penelitian ini adalah terlibat dalam peringatan hari besar Islam. Termasuk juga
perangkat dusun yang menjadi pihak pemilik kewenangan dalam mengatur dan menjalankan kehidupan sosial. secara administratif perangkat dusun mendapat kewenangan dari proses dipilih oleh masyarakat. 1. Nur Salim (45 tahun) Nur Salim adlah seorang warga dusun Mlangi yang mendapat kepercayaan menjadi seorang dukuh. Dengan tugas dari jabatannya tersebut Nur Salim senantiasa melakukan hubungan sosial dengan seluruh masyarakat di dusun Mlangi.
Sosoknya
yang juga
merupakan
seorang santri
membuat
Ia
mengupayakan dan mengajak seluruh masyarakat untuk melestarikan Kegiatankegiatan sosial –agama seperti kerja bakti, pengajian, dan peringatan hari raya Idul Fitri . 2. Warsun (56 tahun) Sebagai seorang yang menjadi penduduk Dusun Mlangi sedari lahir sosok bapak Warsun telah dikenal oleh masyarakat dusun. Semenjak masa muda bapak Warsun telah aktif di kegiatan dusun dengan menjadi motor penggerak kegiatankegiatan kepemudaan seperti kumpulan rutin dan sholawatan. Setelah itu dimasa selanjutnya bapak warsun sempat dipercaya menjadi ketua RT 07 dan ketua RW 33 hingga usia yang sudah lanjut, kemudian beliau digantikan oleh generasi yang baru. Saat ini beliau masih dihormati sebagai tokoh masyarakat dan seringkali diminta nasihatnya oleh masyarakat lainnya baik dalam kegiatan sosial ataupun kegiatan keagamaan seperti peringatan hari raya Idul Fitri.
b. Tokoh agama Melalui Tokoh agama, masyarakat mendapatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai ajaran Islam. Masyarakat mengetahui tata cara beribadah dan acara-acara keagamaan seperti peringatan hari raya Idul Fitri melalui ceramah pengajian dari tokoh agama tersebut. hal ini menjadikan seorang tokoh agama memiliki andil peran dalam proses terjadinya peringatan hari raya Idul Fitri. 1. Sofani (56 tahun) Bapak Sofani merupakan seorang Ustad yang memberikan pelajaran di pondok pesantren. Setiap hari yang ia lakukan adalah mengajar santri dan di selasela waktunya ia juga berprofesi sebagai wiraswasta dengan membuka warung kelontong. Pengetahuannya terhadap ilmu agama Islam melalui kitab-kitab yang ia pelajari seringkali membuatnya di minta oleh pengurus masjid atau musholla untuk menjadi pengisi pengajian, selain itu tidak jarang juga ketika seorang masyarakat sedang mengadakan hajatan bapak Sofani diminta untuk memberikan tausyiahnya. c.Pembuat petasan dan Pemain petasan. Pembuat dan pemain petasan adalah mereka yang secara langsung terlibat dalam aktifitas penggunaan petasan untuk memperingati hari raya Idul Fitri. Mereka
merupakan
masyarakat
Mlangi
yang
menjadi
pegiat
petasan,
memproduksi ataupun memainkan. Pihak ini beranggapan bahwa petasan harus dilestarikan untuk memeriahkan kegiatan peringatan hari raya Idul Fitri. Disatu
sisi para pembuat petasan adalah pihak yang juga mendapat keuntungan karena hasil produksinya digunakan sebagai instrumen memeriahkan hari raya Idul Fitri 1. Arifuddin (45 tahun) Bapak Arifuddin merupakan seorang wiraswasta yang kesehariannya membuka usaha wedang ronde. Namun di saat momen peringatan hari raya Idul Fitri ia juga bekerja memproduksi petasan. Pak Arifuddin menggunakan modal awal sebesar 5 juta rupiah dengan berbisnis petasan selama bulan ramadhan hingga hari raya Idul Fitri selesai ia mengaku mendapat keuntungan hingga 400 % yakni 20 juta rupiah. Dengan masa kerja yang hanya satu setengah bulan ia merasa penghasilan tersebut sangat besar. Melalui penghasilan tersebut ia dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan sekaligus membiayai keperluan hari raya Idul Fitri seperti membeli baju, makanan dan membayar zakat fitrah. 2. Ibnu Hajar (34 tahun) Sebagai seorang pembuat petasan Ibnu merupakan seorang pemodal dan menyerahkan pengerjaan produksi petasan kepada pembuat-pembuat petasan lainnya. Dengan bermodal jaringan sosial yang luas, setiap momen peringatan hari raya Idul Fitri ia selalu kebanjiran order petasan. Banyaknya order tersebut membuatnya tidak mampu menyelesaikan produksi petasan sendiri sehingga berkerjasama dengan pembuat petasan lainnya. Keuntungan yang ia peroleh selama bulan ramadhan hingga pasca peringatan Idul Fitri mampu mencapai 25 juta rupiah dengan modal sekitar 5 juta rupiah.
d.Masyarakat Umum Masyarakat umum dalam konteks ini adalah mereka yang tidak terlibat langsung dalam perencanaan kegiatan peringatan hari besar Islam menggunakan petasan. Namun, bagi mereka yang juga merupakan seorang muslim dan tinggal di dusun tersebut, maka mereka menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kegiatan peringatan Hari raya Idul Fitri yang menggunakan petasan sebagai alat untuk memeriahkannya. Dalam penelitian ini patut ditampung juga informasi yang bisa dihimpun dari mereka. 1. Ibu Retno Sigit (52 tahun) Ibu Retno adalah seorang pendatang yang sudah tingga didusun Mlangi kurang lebih sepuluh tahun. Sebagai pendatang ia merasa senang dengan suasana dusun Mlangi yang kental dengan kegiatan keagamaan. Ia juga aktif mengikuti kegiatan sosial seperti perkumpulan ibu-ibu, dan kegiatan keagamaan seperti pengajian. Namun di lain hal seperti adanya praktik pembuatan dan bermain petasan disaat peringatan hari Idul Fitri menurutnya merupakan tindakan yang mengganggu. Ia merasa takut ketika melihat orang-orang yang bermain petasan dan kaget bila mendengar suara petasan. 2. Mugihardi (36 tahun) Pak Mugihardi juga merupakan seorang pendatang, ia mulai tinggal di dusun Mlangi pada tahun 2002. Kegiatan sehari-harinya adalah menjalankan usaha toko dan servis laptop yang sudah berkembang pesat. Sebagai seorang pendatang dengan tingkat ekonomi yang mapan pak Mugihardi senantiasa
mendukung kegiatan- kegiatan sosial-agama di dusun Mlangi. Sebagai seorang pendatang ia merasa senang dengan kegiatan- kegiatan sosial–agama yang ada didusun Mlangi, ia menghargai dan menghormati kegiatan peringatan Idul Fitri dengan menggunakan petasan. Walau begitu ia juga kerap kali mengingatkan masyarakat terlebih para remaja untuk berhati-hati ketika sedang bermain petasan. Tabel 1. Informan Penelitian No
Nama
Status
Pendidikan
Usia
Pekerjaan
1
Nur salim
Menikah
SMA
45
Dukuh
2
Warsun
Menikah
S1
56
PNS
3
Sofani
Menikah
MAN
56
Wiraswasta
4
Arifuddin
Menikah
SMP
45
Wiraswasta
5
Ibnu Hajar
Menikah
SMA
34
Wiraswasta
6
Mugihardi
Menikah
SMA
36
Wiraswasta
7
Retno Sigit
Janda
SMA
52
IRT
Sumber: Wawancara Informan, diolah
4. Teknik Pengumpulan Data a.Observasi Observasi adalah teknik yang dilakukan berdasarkan pengamatan peneliti secara langsung. Dengan demikian peneliti memperoleh berbagai pengalaman di lapangan sebagai hasil dari sebuah penelitian. Dari situlah peneliti dapat memperoleh informasi sebanyak mungkin dan dapat pula dijadikan alat pengumpul data-data kualitatif mengenai fenomena-fenomena yang terjadi.
Menurut Moleong (2012), observasi memungkinkan pengamat untuk melihat dunia sebagaimana dilihat dari subyek penelitian, hidup pada saat itu, menangkap fenomena dari segi pengertian subyek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan, dan panutan subyek ketika itu. Dengan demikian data dari hasil observasi dijadikan sebagai pelengkap data-data lainnya. Dalam penelitian ini, observasi dilakukan pada bulan Oktober 2014 selama satu minggu. Peneliti memiliki keleluasaan dalam melakukan observasi karena merupakan warga yang bertempat tinggal di lokasi penelitian. Selama waktu observasi peneliti berjalan-jalan di sekitar dusun untuk mendapatkan data mengenai kondisi wilayah, sosial-budaya, dan ekonomi. Peneliti juga mengikuti kegiatan pengajian, kerja bakti, dan forum-forum perkumpulan masyarakat sehingga secara langsung dapat mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. b.Indepth Interview (Wawancara Mendalam) Dalam penelitian ini dilakukan wawancara, tanya jawab antara peneliti dengan informan. Wawancara mendalam merupakan suatu teknik pengambilan data dimana ada kebebasan yang diberikan kepada responden untuk menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian. Dalam wawancara ini dibutuhkan kedekatan antara peneliti dan responden agar tercipta kesan akrab sehingga peneliti mudah memperoleh informasi dari responden. Pelaksanaan wawancara dilakukan pada bulan November 2014, Informan didasarkan dari data subjek penelitian. Proses yang dilakukan peneliti adalah
dengan mengunjungi rumah informan kemudian melakukan penggalian Informasi menggunakan teknik wawancara mendalam atau indepth interview yang didukung dengan interview guide. c.Dokumentasi Catatan lapangan merupakan catatan tertulis tentang apa yang dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini catatan lapangan berfungsi sebagai hasil tertulis yang diperoleh di dalam penelitian. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh peneliti wajib dicatat di dalam catatan lapangan untuk membuat analisa data. Catatan lapangan juga dapat berfungsi untuk merekam kejadian serta percakapan seseorang selain recorder. Pengambilan foto juga dilakukan dalam penatitian ini. Beberapa peristiwa dilakukan pengambilan foto sehingga membuat data semakin lengkap dan bervariasi. Terdapat juga proses pengutipan data dukumen-dukumen tertulis yang didapatkan dari informan seperti data jumlah dan jenis pekerjaan penduduk. Hal ini dilakukan guna memberikan penjelasan yang yang akurat dan berdasar data. 5. Analisis Data Dalam penelitian kualitatif, data yang telah didapatkan kemudian diolah serta dianalisis dan menghasilkan data deskriptif. Pengumpulan data sendiri tidak terpaku harus runtut tetapi lebih mementingkan proses selama penelitian berlangsung. Langkah pertama yang dilakukan ialah mengembangkan deskripsi data yang komperehensif dari hasil data penelitian.
Selanjutnya peneliti mengklasifikasi data dalam tiap-tiap bagian agar tidak tercampur satu sama lain. Data yang diperoleh dari transkrip wawancara dipilah dan diklasifikasikan sesuai dengan fokus masalah penelitian. Hal ini memudahkan peneliti dalam proses selanjutnya. Setelah klasifikasi data maka peneliti mesti melakukan reduksi data. Reduksi data yakni proses ketika menuliskan hasil penelitian yang didapat dari wawancara serta observasi. Hal ini bertujuan untuk memfokuskan data sesuai dengan rumusan masalah yang ingin dijawab oleh peneliti. Melalui reduksi data dapat memilah data yang penting dan kurang penting dalam penelitian . Kategorisasi data kemudian dilakukan sesuai antara data yang telah diperoleh dengan teori yang digunakan untuk menganalisis. Setelah itu kemudian perlu dilakukan sintesisasi data yakni melihat hasil penelitian apakah nantinya saling menguatkan atau justru bertentangan (Moleong, 1990: 103). Setelah proses sintesisasi maka kemudian ditariklah proses kesimpulan yang kemudian kembali disesuaikan dengan teori yang dipakai. Proses pengambilan kesimpulan atau verifikasi ini berkaitan dengan interpretasi peneliti, bagaimana makna dari data yang ditampilkan digambarkan oleh peneliti.Hal penting lainnya ialah perlunya konsep triangulasi data yakni melakukan pengecekan terhadap proses secara keseluruhan dari metode pengumpulan data, teori, hingga kesimpulan.