BAB I PENDAHULUAN Domai T.
1.1 Tujuan dari mempelajari Kepemimpinan adalah : a. Memperluas cakrawala serta membantu meningkatkan kemampuan anda sebagai seorang pemimpin b. Mengusahakan peningkatan sikap dan kepribadian kita serta meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan c. Mengusahakan para pemimpin yang juga merupakan panutan yang berkemampuan memimpin, membina organisasi serta mengembangkan tugasnya, berdasarkan prinsip-prinsip organisasi dan manajemen yang efisien dan rasional. Penulis pikir kita mempunyai kebutuhan pribadi yang langsung dengan kepemimpinan. Kita, mungkin menduduki jabatan yang kita cari, yang membutuhkan kepemimpinan. Kita mungkin seorang pemimpin yang berpengalaman atau kita mungkin baru memasuki tahap permulaan dalam caracara pengelolaan dan berharap untuk menjadi seorang pemimpin. Dalam hal ini kita mempunyai hubungan dengan kepemimpinan. Bagaimana cara memajukan daya kepemimpinan yang kita miliki ? • Kita perlu merangsang ketidak sadaran kita tentang kepemimpinan dengan segala aspek-aspeknya. • Kita perlu mempelajari pengertian tentang prinsip-prinsip syarat, sifatsifat atau fungsi-fungsi kepemimpinan • Kita perlu mengembangkan keahlian untuk memberikan fungsi-fungsi yang penting. 1.2 Cara-Cara Mempelajari Kita tidak dapat mempelajari hal-hal kepemimpinan, jika kita tidak membuat usaha-usaha yang disengaja untuk menghubungkan point-point tersebut dengan pengalaman hidup kita yang nyata. Seperti kita ketahui bahwa orang belajar dengan suatu hubungan timbal balik dari : 1
Prinsip-Prinsip atau Teori
Prinsip-Prinsip
Dan
Contoh dari orang ketiga
Pengalaman atau Praktek
Pengalaman Anda
Proses itu terus berlangsung menurut kebalikannya. Pengetahuan dan pengalaman praktek yang kita miliki pasti diperlukan untuk menunjang suatu cara yang kritis dalam mencetuskan ide-ide. 1.3 Masalah Kepemimpinan Masalah kepemimpinan merupakan problem yang tidak pernah habishabisnya. Hal ini disebabkan : a. Pemimpin perlu dalam setiap kerjasama b. Seorang pemimpin selalu mengalami siklus lahir - tumbuh - berkembang mencapai puncak - menurun - hilang dan diganti dengan yang lain c. Dalam mengelola organisasi baik publik/ pemerintah, bisnis maupun sosial diperlukan para eksekutif (manajer) yang profesional yang mempunyai jiwa kepemimpinan. 1.3.1. Istilah Kepemimpinan Kepemimpinan : Kemampuan untuk mempengaruhi, penggerakkan dan mengarahkan suatu tindakan pada diri seorang atau kelompok orang, untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu. Manajemen : Kemampuan menggerakkan dan mengarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan menggunakan tenaga orang lain. Kepemimpinan Executive : Adalah kemampuan seorang executive untuk mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan seorang atau sekelompok orang pada suatu organisasi dalam upaya pendayagunaan sumber daya manusia, sumber daya material, 2
teknologi maupun finansial demi tercapainya tujuan organisasi secara efektif. Kepemimpinan Manajer : Adalah kemampuan seorang manajer menggerakkan, mengarahkan seorang atau sekelompok orang pada suatu organisasi dalam upaya pendayagunaan sumber daya manusia, sumber daya material, teknologi maupun finansial demi tercapainya tujuan organisasi secara efisien dan efektif. Kepemimpinan Sosial : Adalah kemampuan seorang tokoh masyarakat mempengaruhi orang atau sekelompok orang yang ada disekitarnya melalui keteladanannya sehingga orang-orang mau mengikutinya. Disamping itu kita kenal pula istilah : • Pemimpin (leader) : Ia mempunyai jiwa kepemimpinan, bukan hanya didapatkan pada seseorang seperti kepala (ketua) akan tetapi melihat pada orangnya, meskipun ia tidak diangkat sebagai pemimpin. • Kepala (head) : Ialah pemimpin yang diangkat secara resmi oleh atasan, biasanya dengan surat keputusan • Ketua (chairman) : Hampir sama dengan kepala kadang-kadang sudah disertai pengangkatan resmi oleh atasan. • Manajer : Adalah kemampuan menggerakkan orang lain melalui planning, organizing actuating dan controlling (POAC).
3
1.3.2 Perbedaan Kepemimpinan dan Manajemen Kepemimpinan Manajemen 1. Mengarah pada kemampuan 1. Mengarah pada sistem dan individu mekanisme kerja 2. Merupakan kwalitas hubungan 2. Merupakan fungsi, status, wewenang 3. Menggantungkan diri pada 3. Pengarahan daya dan dana untuk sumber yang ada pada dirinya mencapai tujuan 4. Diarahkan untuk mewujudkan 4. Diarahkan untuk mencapai tujuan keinginan si pemimpin 5. Bersifat hubungan personal 5. Bersifat impersonal
1. 2. 3. 4. 5.
Pemimpin Diangkat oleh pengikut Mengandalkan kewibawaan Bertindak sebagai pencetus ide Bertanggung jawab pada anak buah Bagian dari pengikut
1. 2. 3. 4.
Manajer Diangkat oleh kekuasaan Mengandalkan kekuasaan Bertindak sebagai pengusaha Bertanggung jawab pada atasan
5. Bagian dari orang
1.3.3. Hubungan Manajemen dan Kepemimpinan 1. Agar organisasi berhasil dengan baik diperlukan manajemen 2. Manajemen dalam mencapai tujuan harus melewati proses kegiatan mempengaruhi orang lain yang disebut kepemimpinan 3. Seorang pemimpin belum tentu seorang manager 4. Seorang manager dapat berperilaku seorang pemimpin 5. Seorang pemimpin mempunyai arti yang lebih luas dari manager 1.3.4. 1. 2. 3. 4. 4
Fungsi Pemimpin Sebagai pengambil keputusan Memotivasi anak buah Sumber inspirasi Menciptakan keadilan
5. 6. 7. 8. 1.3.5. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Memberi sugesti Katalisator Sebagai wakil organisasi Menyelesaikan konflik Fungsi Manager Sebagai figur head Sebagai pemimpin Information role Pembuat keputusan Sebagai negotisator Sebagai pelaksana pencapaian tujuan
Sumber : Hasil Kajian LPTP FIA-UB dalam Domai T. Kepemimpinan. FIA-UB. • • • • • •
Domai, T. (2010). Kepemimpinan : Petunjuk Mutakhir untuk Mengembangkan Kemampuan dalam Memimpin. Buku Ajar FIA-UB. Malang. Adair John (1987). Effective Leadership. Penerbit Bahasa Prize. Semarang. Herbert N. Casson (1986). Bagaimana Seharusnya Jadi Pemimpin. Alih Bahasa Ibrahim Anang. Penerbit PT. Al-Maarif. Bandung. Charles J. Keating (1991). Kepemimpinan Teori dan Pengembangannya. Alih Bahasa A.M. Mangunhardjana. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. William A. Cohen (1991). The Art of The Leader. Alih Bahasa Anton Adiwiyono. Penerbit Mitra Utama Jakarta. Warren Bennis (1992). Leader on Leadership: Intervies With TOP Executives. A Harvard Business Review Book.
5
6
BAB II KEPEMIMPINAN Domai T.
2.1 Pengertian Kepemimpinan Pengertian leadership (kepemimpinan) dapat dikelompokkan menurut fokus pembahasannya, antara lain : I. Kepemimpinan sebagai Suatu Fokus dari pada Proses Kelompok : Disini maka Pemimpin dipandang sebagai fokus perubahan kelompok (group charge) aktivitas dan proses. Diantara mereka yang memberikan definisi dalam kelompok ini, antaranya: 1. MUMFORD (1906 – 1907) Leadership is the preeminence of one or few individuals in a group in the process of control of societal phenomena (Kepemimpinan adalah kelebihan yang dipunyai oleh seseorang atau beberapa orang, dalam suatu kelompok, didalam proses pengendalian masalah-masalah sosial/ kemasyarakatan) 2. BLACKMAR (1911) Leadership as the centralization of effort in one as, an expression of power of all. (Kepemimpinan adalah pemusatan usaha/ budidaya seseorang, sebagai suatu kekuatan yang menyeluruh). 3. REDL (1942) The leader is a central or focal person who integrates the group. (Pemimpin adalah pusat atau pembawa suara yang meng-integrasi-kan kelompok). II.
Kepemimpinan sebagai Kepribadian dan Pengaruhnya Dalam hubungan ini, maka Kepemimpinan dianggap sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang, agar ia lebih baik daripada orang lain, dalam melaksanakan kepemimpinan. Antara lain dikemukakan oleh : 1. DINGHAM, (1927), A leader as, a person who possesses the greatest number of desirable traits of personality and character. (Pemimpin adalah seorang pengelola sejumlah sikap kepribadian dan watak). 7
2. ORDWAY TEAD, (1927), Leadership as a combination of traits which enables an individual to induce others to accomplish a given task. (Kepemimpinan adalah serangkaian kepribadian yang mendorong seseorang untuk menggerakkan orang lain guna mencapai suatu maksud / tujuan tertentu). III.
Kepemimpinan sebagai Seni untuk Menimbulkan Ketaatan (Art Of Inducing Compliance), Antara lain dikemukakan oleh : 1. MUNSON, (1921), Leadership as the ability to handle men so as to achieve the most with the least friction and the greatest cooperation (Kepemimpinan adalah kemampuan menggerakkan orang-orang, guna mencapai yang dimaksud, dengan sedikit pertikaian atau kerjasama yang besar). 2. MOORE, (1927), Leadership as the ability to impress the will of the leader on those led and induce obedience, respect, loyalty and cooperation. (Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memberikan kesan sang pemimpin, kepada mereka yang dipimpin, dan menimbulkan kesan taat, setia dan kerjasama) 3. BENNIS, (1959), Leadership can be defined as the process by which an agent induces a subordinate to behave in a desired manner. (Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana seseorang dapat bertindak sebagai wakil yang berperan didalam suatu cara yang dikehendaki).
IV.
Kepemimpinan sebagai penggunaan pelaksanaan daripada pengaruh Antara lain diutarakan oleh : 1. ORDWAY TEAD, (1935) Leadership as the activity of influencing people to corporate toward some goal which they cam to find desirable. (Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang, untuk bekerjasama menuju beberapa kepentingan, yang mana dikehendaki oleh mereka).
8
2. STOGDILL, (1950) Leadership is the process (act) of influencing the activities of an organized group in its efforts toward goal setting and goal achievement. (Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan suatu kelompok yang terorganisir, dalam usahanya mengola suatu tujuan dan mencapai suatu tujuan tertentu). 3. HOLANDER & JULIAN, (1965) Leadership in the broadest sense implies the presence of a particular influence relationship between two or more persons. (Kepemimpinan dalam arti yang luas mencakup pengetrapan suatu pengaruh tertentu, hubungan antara dua orang atau lebih). V.
Kepemimpinan sebagai Tindakan atau Tingkah Laku Dikemukakan antara lain oleh : 1. HEMPHILL, (1949), Leadership may be defined as the behavior of an individual while he is involved in directing group activities. (Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu pembawaan perseorangan yang mana dia melibatkan diri dalam mengendalikan kegiatan kelompok). 2. FIEDLER, (1967), By leadership behavior we generally mean the particular acts in which a leader engages the course of directing and coordinating the work of his group members. (Dengan pembawaan kepemimpinan, umumnya kami artikan sebagai suatu kegiatan tertentu dalam mana sang pemimpin giat dalam pengendalian, dan mengkoordinir kegiatan kerja kelompok anggotanya).
VI.
Kepemimpinan sebagai Bentuk Persuasi (Membujuk/Keajakan) Antara lain dikemukakan oleh : 1. SCHENK, (1928), Leadership is the management of men by persuasion and inspiration rather than by the direct or implied threat of coercion. (Kepemimpinan adalah lebih bersifat pengelolaan manusiawi dengan ajakan-ajakan dan inspirasi daripada dengan pengendalian atau ancaman/paksaan terhadap manusia). 9
2. KOONTZ & O’DONNEL, (1955) Leadership as the activity of persuading people to cooperate in the achievement of common objective. (Kepemimpinan adalah kegiatan mengajak orang-orang untuk bekerjasama dalam pencapaian suatu tujuan pada umumnya). VII.
10
Kepemimpinan sebagai Hubungan Kekuasaan Kekuatan Dikemukakan antara lain oleh : 1. FRENCH & RAVEN, (1958), Leadership in terms of differential power relationships among members of a group. (Kepemimpinan adalah dalam artian pembedaan hubungan kekuatan diantara anggota kelompok). Dalam hubungan ini dikenal 5 (lima) sumber kekuasaan, yaitu : a. Expert power : kekuasaan yang timbul karena keahlian b. Respect power : kekuasaan yang timbul karena rasa hormat c. Reward power : kekuasaan yang timbul karena seseorang mampu memberikan hadiah kepada orang lain d. Coorship power : kekuasaan yang timbul karena kemampuan untuk memberikan hukuman e. Legitimate power : kekuasaan yang timbul karena ke-syah-an /resmi 2. GRETH & MILLS, (1953), Leadership as relation between leader and led in which the leader influences more than he is influenced, because of the leader those who are led act or feel differently than they otherwise would. (Kepemimpinan adalah hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, dalam mana sang pemimpin lebih bersifat mempengaruhi daripada dipengaruhi, karena pemimpinnya (dari) mereka yang dipimpin bertindak atau secara menonjol berperan daripada apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang bijaksana).
VIII. Kepemimpinan sebagai Alat Untuk Mencapai/Pencapaian Tujuan Antara lain dikemukakan oleh : 1. COWLEY, (1926), A leader is a person who has a program and is moving toward an objective with his group in a definite manner. (Seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki program dan dengan kelompoknya sedang bergerak kearah tujuan dalam suatu cara yang tertentu). 2. BELLOWS, (1959), Leadership as the process of arranging a situation so that various members of a group, including the leader can achieve common goals with maximum economy and a minimum of time and work. (Kepemimpinan adalah proses pengaturan waktu sehingga berbagai anggota suatu kelompok, termasuk pimpinannya dapat mencapai tujuan-tujuan umum dengan manfaat yang maximum dan dengan waktu dan kerja yang minimum). 3. K. DAVIS, (1962), Leadership as the human factor which binds a group together and motivates it toward goals. (Kepemimpinan adalah faktor kemanusiaan yang mengikat suatu kelompok menjadi kesatuan dan memberikan dorongan guna mencapai maksud). IX.
Kepemimpinan sebagai Akibat dari Interaksi Antara lain dikemukakan oleh : 1. ANDERSON, (1940), A true leader in the psychological sense is one who can make the most of individual differences, who can bring out the most differences in the group and therefore reveal to the group a sounder base for defining common purposes. (Seorang pimpinan dalam artian psychologis adalah seseorang yang dapat membuat yang paling dari perbedaan individu, yang dapat melayani perbedaan-perbedaan yang ada dalam kelompok dan karenanya mewujudkan pada kelompok suatu dasar yang sehat guna mendefinir maksud- maksud yang lumrah).
11
2. MERTON, (1969), Leadership as an interpersonal relation in which others comply, because they want to, not because they have to. (Kepemimpinan adalah hubungan antar pribadi dalam mana orang mau tunduk, karena ingin, bukannya karena mereka harus). X.
Kepemimpinan sebagai suatu Peranan yang Berbeda Dikemukakan oleh : 1. GORDON, (19o5), Leadership can be conceptualized as an interaction between a person and a group or more accurately, between a person and the group members. Each participant in this interaction may be said to play a role and in some way these roles must be differenced from each other. The basis for this differentiation seems a matter of influence that is, one person, the leader influences while the other persons respond. (Kepemimpinan dapat dikonsepkan sebagai suatu interaksi antara seorang dan sekelompok atau lebih, antara seorang dengan anggota kelompok. Masing-masing yang terlibat dalam interaksi ini dapat dikatakan memainkan suatu peranan dan didalam beberapa hal peranan-peranan ini haruslah dibedakan satu sama lainnya. Dasar untuk perbedaan ini agaknya merupakan suatu pengaruh, yakni; satu orang, pimpinan mempengaruhi sedang yang lainnya memberikan tanggapannya).
XI.
Kepemimpinan sebagai suatu Pembentukan daripada Struktur Dikemukakan antara lain oleh : 1. HOMANS, (1950), The leader of a group as a member who originates interaction. (Pimpinan suatu kelompok adalah seorang anggota yang mula-mula menimbulkan interaksi). 2. HEMPHILL, (1954), To lead is to engage in an act that initiates a structure in the interaction as part of the process of solving mutual problem. (Memimpin adalah mengikut sertakan dalam suatu kegiatan yang memulai suatu struktur
12
dalam interaksi sebagai bagian daripada proses penyelesaian suatu masalah). 3. STOGDILL, (1959), Leadership as the initiation and maintenance of structure in expectation and interaction. (Kepemimpinan adalah permulaan dan pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi). Sumber : Hasil Kajian LPTP – FIA – UB dalam Domai T. Kepemimpinan. FIA – UB. • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Mumford (1906 – 1907). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Blackmar (1911). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Redl (1942). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Dingham (1927). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Tead Ordway (1927). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Munson (1921). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Moore (1927). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Bennis (1959). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Stogdill (1950). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Holander dan Julian (1965). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Hemphill (1949). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Fiedler (1967). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Schenle (1928). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Koontz dan O’Donnel (1955). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. French dan Raven (1958). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Greth dan Mills (1953). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Cowley (1926). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Bellows (1959). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Davis K. (1962). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. 13
• • • • • •
14
Anderson (1940). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Merton (1969). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Gordon (1905). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Homans (1950). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Hemphill (1954). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang. Stogdill (1959). Dikutip Domai T. dalam Kepemimpinan. FIA – UB. Malang.
BAB III TEORI TIMBULNYA KEPEMIMPINAN Domai T. 3.1 Pemikiran Dasar tentang Leader Diawali dari Pemahaman Kata Tentang : 1. Pemimpin itu memerlukan serangkaian sifat, ciri, dan karakteristik, 2. Bahwa sifat itu dibawa sejak lahir, 3. Pemimpin itu merupakan hasil dari waktu, tempat dart keadaan, 4. Pemimpin itu dibentuk bukan dilahirkan, 5. Bahwa pengikut dapat mempengaruhi pemimpin, 6. Pemimpin yang memperhitungkan bawahan akan menimbulkan kepuasan kerja, 7. Pemimpin lahir dengan bakat kemudian dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman, 8. Pemimpin sangat dipengaruhi oleh situasi yang dialaminya, Meliputi : • Tugas dan masalah yang dihadapi • Orang yang dipimpin • Keadaan yang mempengaruhi tugas 9. Semakin tinggi interaksi, • Semakin meningkat perasaan disukai • Semakin jelas pengertian atau norma kelompok • Semakin tinggi orang dalam satu kelompok • Semakin luas jangkauan interaksi, • Semakin besar jumlah kelompok yang tergerak 10. Perilaku pemimpin akan diterima apabila merupakan sumber yang bisa memberi kepuasan. Kesimpulan sederhana tentang teori-teori timbulnya kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok teori sebagai berikut : 1. Kelompok Teori Keturunan Dasar kepemimpinan itu harus ditekankan pada sifat-sifat keturunan sejak orang dilahirkan seperti bakat dan sebagainya. Yang berarti bahwa orang itu akan menjadi pemimpin karena memang ia telah dilahirkan dengan bakatbakat kepemimpinan. 15
2. Kelompok Teori Pengaruh Lingkungan Dasar kepemimpinan itu harus ditekankan pada sifat-sifat yang diperoleh karena pengaruh lingkungan hidupnya dan bukan karena keturunan ini berarti setiap orang mampu menjadi pemimpin apabila diberi kesempatan dan pendidikan yang cukup. 3. Kelompok Campuran Antara Keturunan dan Teori Pengaruh Lingkungan Dasar kepemimpinan apabila waktu dilahirkan memiliki bakat-bakat kepemimpinan dan memperoleh pendidikan dan pengalaman yang cukup dikemudian hari. 3.2 Tipologi Kepemimpinan Sepanjang diketahui sekarang ini, para pemimpin dalam berbagai bentuk organisasi dapat digolongkan kepada lima tipe pemimpin, tipe-tipe itu adalah : 1. Tipe Otokratis Seorang pemimpin yang otokratis adalah pemimpin yang - Menganggap organisasi sebagai milik pribadi mengidentikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi - Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata - Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat - Terlalu tergantung pada kekuasaan formalnya dan sebagainya 2. Tipe Militeristis Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah pemimpin yang mempunyai sifat-sifat : - Dalam menggerakkan bawahan sistem perintah yang sering digunakan - Dalam menggerakkan bawahan senang menggunakan/bergantung pada pangkat dan jabatannya - Senang kepada formalitas yang berlebih—lebihan - Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan - Sukar menerima kritikan dari bawahan - Menggemari upacara-upacara dalam berbagai keadaan 3. Tipe Paternalistis Pemimpin tipe ini memiliki sifat-sifat, antara lain : - Menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa - Bersikap terlalu melindungi (overly protective) 16
-
Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan dan inisiatif serta untuk mengembangkan daya kreasi fantasinya - Bersikap maha tahu. 4. Tipe Karismatis Hingga sekarang ini para sarjana belum berhasil menemukan sebab –sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki kharisma, yang diketahui hanya bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya penarik yang amat besar dan karenanya mempunyai pengikut yang amat besar jumlahnya, meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Seringkali dinyatakan bahwa pemimpin kharismatis memang telah diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural power). Karenanya kekayaan, profil, umur, kesehatan tidak dapat digunakan sebagai kriteria untuk kepemimpinan ini. Sebagai contoh: Gandhi bukanlah seorang yang kaya Iskandar Zulkarnaen bukanlah seorang dengan fisik sehat. Mengenai profil pula, Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang “ganteng”. 5. Tipe Demokratis Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern karena : - Dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah mahluk yang termulia di dunia - Selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari para bawahannya - Ia senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya - Selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan ‘team work’ dalam usaha mencapai tujuan selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya - Berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin - Dengan ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian dibandingkan dan diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, akan tetapi berani untuk berbuat kesalahan yang lain. 17
Sumber : Hasil Kajian LPTP – FIA – UB dalam Domai T. Kepemimpinan. FIA – UB. • • • • • •
18
Charles J. Keating (1991). Kepemimpinan Teori dan Pengembangannya. Alih Bahasa A.M. Mangunhardjana. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Adair John (1987). Effective Leadership. Penerbit Bahasa Prize. Semarang. Herbert N. Casson (1986). Bagaimana Seharusnya Jadi Pemimpin. Alih Bahasa Ibrahim Anang. Penerbit PT. Al-Maarif. Bandung. Charles J. Keating (1991). Kepemimpinan Teori dan Pengembangannya. Alih Bahasa A.M. Mangunhardjana. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Warren Bennis (1992). Leader on Leadership: Intervies With TOP Executives. A Harvard Business Review Book. William A. Cohen (1991). The Art of The Leader. Alih Bahasa Anton Adiwiyono. Penerbit Mitra Utama Jakarta.
BAB IV SIFAT KEPEMIMPINAN Edwin A. Locke and Sheley Kirk Patrick et al., Domai T. 4.1
Pengertian Sifat Kepemimpinan adalah Rupa, keadaan, kodrat, perangai, ciri dan watak seorang yang nampak dan dimiliki lebih banyak oleh seseorang secara berlebih dari orang lain. Sementara ahli berpendapat keberhasilan seorang pemimpin banyak ditentukan oleh sifat-sifat ini, sifat-sifat ini dapat bersifat pisik dan dapat bersifat psikologis. 1. Dari segi sifat : Ada 2 sifat utama yakni : A. Yang bersifat obyektif : a. Fisik b. Kecakapan (Skill) c. Teknologi d. Daya tanggap (Perception) e. Pengetahuan (Knowledge) f. Daya ingat (Memory) g. Imajinasi (Imagination) h. Kemampuan mengambil keputusan i. Kemajuan komunikasi B. Yang bersifat subyektif a. Keunggulan dalam keyakinan (Determination) b. Ketekunan (Persistence) c. Daya tahan (Endurance) d. Keberanian (Courage) e. Ramah f. Tangguh g. Ulet 2. SRI RAMAWIJAYA dalam ASTABRATA memberikan perumpamaan sebagai berikut : Seorang pemimpin dilambangkan memiliki watak: A. Watak matahari - Semangat 19
B. C. D. E. F. G. H.
Watak Bulan Watak Bintang Watak Angin Watak Mendung Watak Api Watak Samudera Watak Bumi
-
Memberi terang dalam kegelapan Tauladan, taqwa Teliti Wibawa, bermanfaat Adil, punya prinsip Pandangan luas Sentosa, jujur, mau memberi anugerah pada yang berjasa
3. Pancasila A. Sikap Dasar : Konsisten dan konsekwen pada nilai Pancasila B. Sifat : - Taqwa - Adil - Arif - Penuh Prakarsa - Percaya diri - Penuh daya pemikat 4.2
Sifat Leadership Tidak akan pernah ada masyarakat, negara, atau organisasi yang tanpa leader. Jika ada, maka mereka tidak akan bertahan lama. Pentingnya leadership dalam urusan manusia sudah dikenal sejak awal sejarah. Warren Bennis dan Burt Nanus (1985) mengemukakan gambaran ini lewat leadership bisnis: “Sebuah bisnis yang kurang modal bisa meminjam uang, dan bisnis berlokasi buruk bisa pindah. Tapi, bisnis yang kurang leadership akan sulit bertahan”. Ini benar di waktu sekarang karena beberapa faktor seperti peningkatan laju perubahan teknologi, intensifnya persaingan global, deregulasi, dan tuntutan akan respon kompetitif lebih cepat. Sebuah artikel majalah Fortune melaporkan bahwa: “Karena harus menebak rencana CEO, banyak pegawai hanya mengirangira saja. Konfidensi ke kompetensi top management berkurang. Gochman, wakil direktur Opinion Research Ilene, merasa bahwa turunnya suara konfidensi ini adalah mengejutkan”. Gochman menyimpulkan bahwa rendahnya rating manajemen muncul akibat pekerja tahu ada tantangan baru di luar sana. 20
Kondisi diperburuk dengan keyakinan bahwa top management tidak bisa melawan tantangan ini (Farnham, 1989). Meski banyak praktek leadership yang baik di sini bisa juga efektif dalam terapan politis, fokus di buku ini adalah pada leadership organisasi dan bisnis. Ada banyak contoh ketika leader bisnis mendirikan sebuah industri baru (seperti John D. Rockefeller di Standar Oil), merombak perusahaan gagal (seperti Lee Iacocca di Chrysler), memandu organisasi lewat periode pertumbuhan yang panjang (Tom Watson di IBM, Harold Geneen di ITT, dan Alfred Sloan di General Motors), dan menciptakan postur strategis perusahaan (Jack Welsh di General Electrics). Prestasi leader ini mencerminkan ratusan ribu kasus leadership organisasi efektif yang terjadi setiap hari di skala kecil. Tidak sampai peralihan abad ilmuwan sosial mulai mempelajari leadership secara sistematik. Satu artikel terbaru mengestimasi bahwa ada lebih dari tiga ribu studi leadership di 70 tahun terakhir (Schriesheim, Tolliver, dan Behling, 1983). Banyak studi tersebut, meski begitu, bukan tentang leader sebenarnya, tapi tentang supervisor, dan banyak dari ulasannya kurang jelas. Pendapat Bennis dan Nanus bahwa “leadership adalah konsep yang paling banyak dipelajari dan jarang dipahami di ilmu sosial” dan “yang tidak pernah banyak didalami” didukung kuat dengan digunakannya lagi literatur leadership “klasik” (1985). Karena jasa ilmuwan sosial, maka gambaran ini berubah cepat di beberapa dekade terakhir. Studi berskala sempit mulai didukung oleh studi tentang apa yang dilakukan leader efektif – bukan supervisor. Lebih jauh, gambaran baru tentang apa yang dibutuhkan leadership efektif sangat konsisten dari satu studi ke studi lain. 4.2.1 Apa yang dimaksud leadership? Kita mendefinisikan leadership sebagai proses mendorong orang lain mengambil tindakan ke tujuan umum. Definisi ini digolongkan ke tiga elemen: • Leadership adalah konsep hubungan. Leadership hanya ada saat ada hubungan dengan orang lain, yaitu pengikut. Jika tidak ada pengikut, tidak ada leader. Menurut konsep ini, leader efektif harus tahu bagaimana menginspirasi dan berhubungan dengan pengikut. • Leadership adalah proses. Untuk memimpin, leader harus melakukan sesuatu. Seperti yang dikatakan John Gardner (1986-88), leadership lebih 21
dari sekadar memiliki posisi otoritas. Meski posisi formal dari otoritas tersebut bisa membantu proses leadership, sekadar menempati posisi tersebut dianggap tidak cukup membuat orang menjadi leader. • Leadership membutuhkan mendorong orang lain untuk mengambil tindakan. Leader mendorong pengikut untuk bertindak dalam beberapa cara, seperti menggunakan otoritas legitimate, membuat model (menetapkan contoh), menetapkan tujuan, memberikan reward dan hukuman, merestrukturisasi organisasi, membangun tim, dan mengkomunikasikan visi. Perbedaan antara leadership dan diktator harus ada. Seorang diktator meminta orang lain bertindak lewat paksaan fisik atau ancaman kekuatan fisik. Beberapa diktator, pasatinya, menunjukkan karakteristik aktivitas leader, seperti menawarkan visi. Contoh, Hitler menginspirasi orang Jerman dengan memberikannya visi dunia didominasi oleh Jerman. Lenin menginspirasi pengikutnya dengan memberikan visi sebuah utopia komunis. Tapi, seorang diktator menggunakan kekuatan untuk mewujudkan visi yang dimiliki. Seperti yang dikatakan Mao Zedong, “Power tumbuh dari sekumpulan senjata”. Ini benar untuk power diktator, tapi tidak benar untuk leader. Beberapa orang berdalih bahwa seorang leader efektif bisa mendorong pengikutnya untuk mengorbankan self-interestnya untuk memperjuangkan organisasi (Bass, 1985). Banyak orang, kecuali yang diperah atau korban cuci otak dari pemerintah komunis atau diktator lain, atau filosofi yang self-destruktif, tidak bisa bertindak dalam jangka panjang melawan self-interest-nya. Deskripsi lebih baik tentang apa yang dilakukan leader efektif ke bawahan adalah bahwa mereka bisa meyakinkan bawahan bahwa self-interest tetap berada di visi yang dirumuskan dan yang diwujudkan leader. Bagaimana leader memotivasi bawahan, tapi kita perlu menyadari bahwa ini dilakukan dengan: • meyakinkan bawahan bahwa visi organisasi (dan peran bawahan di dalamnya) adalah penting dan bisa dicapai; • memberikan tantangan bagi bawahan dengan tujuan, proyek, tugas dan tanggungjawab yang membuatnya merasakan kesuksesan, pencapaian, dan penyelesaian personal (baik dalam kelompok atau organisasi); dan • memberikan reward bagi bawahan yang berkinerja baik dengan rekognisi, uang, dan promosi. 22
Leader bisa meminta pegawai mendahulukan kesenangan, kesuksesan dan reward dalam waktu sementara, atau dalam kondisi darurat, karena mereka tidak bisa melakukan itu secara permanen atau selama hidupnya. Leader dalam dunia bisnis yang memaksakan lingkungan kerja yang penuh penyusutan membuat pegawainya – khususnya yang terbaik – mencari kerja lain. Orang yang bertahan mungkin melakukan unjuk rasa atau mencoba kembali ke organisasi dalam cara lain. 4.2.2 Leadership versus Manajemen Meski ada perselisihan antar peneliti leadership tentang apakah ada perbedaan valid antara leadership dan manajemen, kita yakin bahwa perbedaan bukan hanya valid dan penting, tapi juga sangat sederhana. • Fungsi kunci dari seorang leader adalah menciptakan visi dasar (tujuan, misi, tujuan atau agenda) dari organisasi. Leader menjelaskan hasil atau strategi untuk mencapai itu (Kotter, 1990). • Fungsi kunci dari seorang manajer adalah mengimplementasikan visi. Manajer dan bawahan bisa bertindak dalam cara yang cocok menjadi alat untuk meraih hasil. Dalam realita, seperti yang dikatakan John Gardner (1986-88), perbedaan ini sering samar. Ini bukan karena perbedaan ini tidak valid, tapi karena dalam prakteknya, peran leader dan manajer belum memiliki garis demarkasi yang jelas. Leader fektif harus memainkan peran dalam mengimplementasikan visi sendiri, dan manajer efektif bukan hanya harus memahami visi leader, tapi harus bertindak, sebagian, sebagai leader untuk pihak di bawahnya. Manajer level-atas (eksekutif) memainkan peran dalam formulasi dan implementasi visi organisasi. Seringkali, leader hanya melakukan sebagian kerja manajerial. Banyak organisasi sekarang ini, menurut Bennis dan Nanus (1985), terkesan “terlalu dimenej tapi minim leadership” (dikutip di Kotter, 1990). Ada pendapat bahwa di masa depan, bukan hanya leader yang harus memimpin secara efektif, tapi juga manajer, yang diberi delegasi tanggungjawab. Manajer juga suatu saat nanti harus memainkan peran leadership. Pendeknya, harus ada arahan untuk manajemen.
23
4.2.3 Leadership Transformasional versus Transaksional Perbedaan antara leader transformasional dan transaksional, yang menjadi dua konsep populer saat ini, tidak sesederhana seperti perbedaan antara leadership dan manajemen, karena definisi konsep ini sangat rumit. • Leadership transformasional didefinisikan (Bass, 1985; Burns, 1978; Tichy dan Devanna, 1986) sebagai leadership yang merubah organisasi (berbeda dengan leadership yang dimaksudkan untuk menjaga status quo). Ini juga didefinisikan sebagai leadership yang memotivasi bawahan untuk bekerja mencapai tujuan “level-tinggi” yang pastinya mengorbankan self-interest. • Leadership transaksional didefinisikan sebagai leadership yang menjaga atau melanjutkan status quo. Ini didefinisikan sebagai leadership yang melibatkan proses pertukaran, dimana pengikut mendapat reward cepat dan terukur dalam menjalankan perintah leader. Kerumitan terjadi antara dua hal ini saat dihadapkan dengan isu perubahan. Lawan sebenarnya dari leadership transformasional adalah leadership statis atau status quo, bukan leadership transaksional, karena lawan perubahan adalah tidak ada perubahan. Terkait dengan definisi tipe reward, istilah di atas menjadi tidak cocok. Tidak ada hubungan antara leadership transformasional (terfokus-perubahan) dan leadership non-transformasional (statis) di satu pihak dan tipe reward yang digunakan di lain pihak. Semua leadership faktanya adalah transaksional, tapi transaksi ini tidak selalu dibatasi ke reward moneter jangka pendek. Semua leader efektif harus memperhatikan self-interest dari pengikutnya, karena pengikut cenderung mempersepsikan self-interest-nya atau terbujuk untuk mempersepsikan itu. Interest yang dimaksud di sini bisa jangka pendek, jangka panjang atau keduanya. Interest ini bisa berupa reward tangibel (seperti upah) dan reward intangibel (seperti proses meraih tujuan yang dipersepsikan penting). Leader transformasional dan transaksional menggunakan dua tipe reward ini (Yukl, 1989), dan leader yang menggunakan beragam reward jangka pendek dan jangka panjang cenderung efektif dibanding yang tidak. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah leadership non-transformasional bisa disebut leadership. Mungkin, tidak perlu disebut leadership. Bekerja untuk 24
sebuah tujuan adalah seperti memandu organisasi ke arah sebuah hasil yang tidak dicapai sebelumnya, bukan mengulangi apa yang telah dilakukan sebelumnya. Leader yang hanya melakukan apa yang dilakukan pendahulunya tidak akan bertindak seperti leader atau manajer. Leader riil harus membawa organisasi ke arah baru. Ini bukan berarti bahwa leader harus melakukan perubahan demi untuk perubahan. Perubahan harus sebagai respon terukur ke dunia yang sedang mengalami perubahan cepat. Leader yang tidak mengantisipasi perubahan ini, atau tidak meresponnya, beresiko menghasilkan organisasi yang stagnan dan gagal. 4.2.4 Model Leadership Buku ini difokuskan ke model leadership yang dibuat dari sebuah perpaduan berbagai tulisan tentang leadership. Banyak tulisan ini berisi studi kualitatif yang dibuat leader organisasi. Ini berisi empat bagian. Motif dan sifat yang menjadi karakteristik leader efektif bisa berbeda dari yang dimiliki non-leader. Leader efektif: • bisa penuh dorongan, energi dan ambisi; • cenderung ulet dan proaktif dalam meraih tujuan; • ingin memimpin – tidak menggunakan power untuk mendominasi pihak lain tapi meraih tujuan; • jujur dan punya integritas – bukan hanya bisa dipercaya, tapi juga mempercayai orang lain; • memiliki konfidensi yang tinggi, yang membuatnya bukan hanya bertanggungjawab dan memberikan konfidensi ke orang lain, tapi juga menghadapi situasi stress dengan tenang; • sering kreatif; • fleksibel ketika situasi membutuhkan; • kadang karismatik (tapi ini bukan hal penting bagi leadership efektif); • pengetahuan ekstensif tentang lingkungan industri, teknologi dan organisasi tempat mereka kerja, yang biasanya didapat dari pengalaman tahunan; • beragam skill. Karena sifat hubungan di leadership, maka “skill hubungan orang” menjadi penting. Ini meliputi mendengar, komunikasi lisan, pembentukan network, manajemen konflik, dan penilaian self dan orang 25
lain. Penyelesaian masalah, pembuatan keputusan, dan skill penetapan tujuan juga penting di sini; • kemampuan kognitif, khususnya intelejensi untuk memproses banyak informasi, memadukannya, dan menarik kesimpulan logis dari itu. Visi adalah komponen leadership vital lainnya. Dorongan leader, motivasi untuk memimpin, pengalaman, dan intelejensi, bisa memberikan leader kapasitas untuk: • mendefinisikan apa yang harus dilakukan organisasi; • menjelaskan visi secara ringkas; • merumuskan visi strategis yang menjelaskan alat untuk mencapai visi; • membangun komitmen dari pengikut dengan mengkomunikasikan visi secara jelas dan mendorong. Implementasi visi adalah kebutuhan akan kesuksesan leadership. Sebuah visi yang tidak diimplementasikan hanyalah mimpi. Leader yang efektif harus bertindak untuk memastikan bahwa visi diterjemahkan menjadi aksi spesifik, yang biasanya bisa dicapai dengan bantuan manajer dan bawahan. Aksi implementasi efektif memiliki enam kategori utama: • Strukturisasi memudahkan inovasi dan respon cepat ke kondisi pasar tanpa gangguan dari atas. Organisasi modern efektif bisa bergerak cepat ke beberapa layer otoritas (hirarki datar bukan tinggi), sedikit aturan birokratik, rentang kontrol besar, desentralisasi, staff sentral yang kecil, dan subunit ukuran kecil. • Seleksi, pelatihan, dan akulturasi personel bisa diamati secara hati-hati sehingga hanya individu yang mampu berkinerja efektif-lah yang terpilih. Pelatihan terfokus di sini menunjukkan bahwa mereka memahami dan menerima visi organisasi. • Memotivasi bawahan dilakukan dalam beberapa cara oleh leader efektif, seperti o menggunakan otoritas legitimate untuk meminta orang melakukan apa yang diinginkan; o menjadi model peran dengan melakukan sesuatu yang nantinya akan dilakukan oleh bawahan (seperti bertanya ke konsumen tentang jasa atau produk perusahaan);
26
•
• •
o membangun konfidensi dalam bawahan dengan mengekspresikan konfidensi ke diri mereka dan ke kemampuannya; o menetapkan tujuan yang spesifik dan menantang; o mendelegasikan tanggungjawab dan otoritas untuk mencapai tujuan ke pihak manajer dan pegawai; o mereward orang yang memahami visi dan mencapainya dengan rekognisi, kenaikan upah, bonus dan promosi; sebaliknya, menghukum orang yang tidak berkinerja dengan menahan reward dan melakukan terminasi. Mengelola informasi adalah hallmark lain dari leader efektif. Leader efektif adalah pengumpul informasi. Mereka mendengar bawahan dan mendengar sumber di luar organisasi, khususnya konsumen. Mereka berkeliling dan terbuka, bukan menyendiri dan tidak bisa didekati. Mereka membaca situasi. Mereka membuat network informasi yang luas. Mereka berbagi dan menyebarkan informasi secara tepat di dalam organisasi. Pembentukan tim terjadi di level top management dan ini didorong untuk dilakukan di semua level bawah organisasi. Memperkenalkan perubahan adalah praktek leader efektif karena kesadaran bahwa organisasi yang tidak berubah adalah yang tidak bisa bertahan dalam jangka panjang. Kebutuhan akan perubahan dan inovasi perlu dikomunikasikan secara konstan. Tujuan untuk perubahan positif diciptakan dan reward diberikan ketika tujuan dicapai. Pengambilan resiko yang terukur dijadikan norma.
4.2.5 Bagaimana dengan gaya leadership? “Gaya leadership” yang menjadi inti teori leadership tradisional tidak tersentuh dalam model yang digunakan di buku ini. Ini bukanlah kecelakaan. Sekali lagi, orang yang mempelajari leader melihat bahwa gaya leadership (seperti berapa banyak partisipasi yang diminta leader, seberapa ekstrover leader, seberapa intensif leader) bisa berbeda antar leader. Yang menjadi persamaan antar leader adalah substansinya. Leader efektif adalah yang termotivasi dan jujur. Mereka tahu cara menghadapi orang. Mereka punya visi, dan mereka bekerja keras untuk meraihnya. Ini penting bagi 27
leadership, sehingga inilah yang dibicarakan buku ini. Masing-masing dari empat aspek leadership akan dibahas selama satu bab. Model menunjukkan bahwa apa yang disebut “teori sifat” (atau apa yang disebut teori “great man”) tidak sepenuhnya salah tapi bukan sepenuhnya cukup untuk menjadi teori leadership. Mengapa demikian. Kepemilikan sifat tertentu adalah prekondisi yang dibutuhkan untuk leadership efektif. Contoh, leader harus energik dan jujur, dan harus ingin memimpin. Tapi sifat itu saja tidak cukup. Jika leader ingin efektif, mereka harus menggunakan sifat untuk membentuk skill, merumuskan visi, dan mengimplementasikan visi secara riil. Karena itu, sifat ini hanya menjadi bagian dari gambar. 4.1.6 Teori Kontingensi Dalam “teori kontingensi” dari leadership, pakar teori leadership tradisional mengklaim bahwa teori leadership harus kontingen situasi. Prinsip leadership berbeda harus diterapkan di situasi berbeda. Kontingensi bisa berisi faktor seperti volatilitas lingkungan, ukuran organisasi, jumlah otoritas yang diberikan leader, kompleksitas tugas atau teknologi, dan seterusnya (Yukl, 1989). Karena sebagian besar teori kontingensi berbicara tentang supervisi bukan leadership riil, maka sulit mengevaluasi validitas klaim tersebut. Situasi berbeda pastinya membutuhkan tipe leader berbeda di dalam kondisi tertentu. Tujuan model, meski begitu, adalah memperlihatkan inti leadership, atau esensi dari proses leadership. Jika ada kontingensi, berarti ada bobot atau kadar kepentingan di berbagai bagian atau sub-bagian model, bukan komponen inti itu sendiri. Contoh, intelejensi bisa kurang penting di sebuah industri dengan kompleksitas teknologi yang lebih rendah dibanding kompleksitas teknologi tinggi. Dalam cara ini, pengalaman bisa jadi lebih penting di beberapa industri dibanding lainnya. Sifat entrepreneurial bisa dibutuhkan dalam mengawali perusahaan baru (meski laju perubahan bisa sangat cepat sehingga semua leader efektif harus memperkuat perubahan dan inovasi sampai kadar tertentu). Beberapa aspek dari model bisa jadi penting bagi semua leader jika ingin efektif. Keinginan memimpin, kejujuran dan integritas, berhubungan secara efektif dengan orang, dan menciptakan dan mengkomunikasikan visi adalah hal penting di semua setting leadership. Karena model ini didasarkan pada data 28
kualitatif, maka, bukti ilmiahnya masih membutuhkan uji empiris. Sampai saat itu, model yang ada sekarang disarankan untuk digunakan leader sebagai panduan atau digunakan sebagai aspirasi untuk leader. 4.3
Motif Dan Sifat Leadership Beberapa isu memiliki sejarah lebih kontroversial dibanding sifat leadership. Di abad 19 dan awal abad 20, teori leadership “great man" sangat populer (Bass, 1990). Teori “great man” menyatakan bahwa kualitas leadership adalah warisan, khususnya oleh orang dari kelas atas. Dengan mempertimbangkan keunggulan herediter, teori “great man” telah berkembang di paruh awal abad 20 menjadi teori sifat. Teori sifat tidak berasumsi apakah sifat leadership diwarisi atau didapatkan, tapi menyatakan bahwa leader bisa berbeda dari non-leader dalam karakteristiknya. Pandangan sifat mengalami saling-silang di pertengahan abad ketika review awal dari penelitian leadership menghasilkan kesimpulan bahwa tidak ada ikatan jelas antara sifat leader dan leadership efektif (Lord, de Vader, dan Alliger, 1986). Preview yang menarik kesimpulan semacam ini berhenti melakukan penelitian lebih jauh tentang sifat leader selama sekian tahun. Tapi psikolog Gary Yukl (1989) mengatakan bahwa ketika peneliti leadership menyimpulkan bahwa sifat leader tidak berbeda sama sekali, mereka dianggap bereaksi berlebihan ke review pesimistik. Sudah jelas bahwa sifat dan motif bisa mempengaruhi efektivitas leader, meski seberapa penting ini ke kesuksesan sifat atau motif masih ditentukan oleh situasi. Sulit menghasilkan keseimbangan emphasis yang tepat, dan Bass (1990) menyatakan bahwa pereview sebelumnya “memberikan emphasis besar ke situasi, dan kurang peduli dengan sifat personal dari leadership”. Alasan utama dari sulitnya menemukan sebuah hubungan kuat antar sifat leader dan efektivitas leader adalah bahwa meski sifat tertentu dibutuhkan untuk leadership efektif, ini tidak cukup. Sifat ini sering berkombinasi dengan faktor lain. Bahkan ketika leader memiliki sifat penting, agar efektif, leader harus memiliki atau mendapat pengetahuan, skill dan kemampuan, dan harus mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah visi. Memiliki motif dan sifat inti adalah prakondisi dari individu agar menjadi seorang leader efektif. Motif inti adalah dorongan dan motivasi leadership, dan 29
sifat inti adalah integritas/jujur dan konfidensi diri. Ada bukti bahwa sifat lain – orisinalitas, fleksibilitas dan karisma – berhubungan erat dengan leadership efektif, tapi bukti apakah ini dibutuhkan masih tidak jelas. 4.3.1 Motif Inti Sebuah motif adalah keinginan yang menggerakkan orang menuju aksi. Beberapa motif bisa bersifat general, dan ini membuat orang bertindak sama ke berbagai situasi berbeda. Sejumlah motif bisa ditemukan di leader sukses. A. Drive Istilah drive digunakan untuk menggambarkan beragam motif yang terkait meski tidak identik. Pencapaian (achievement) adalah salahsatunya. Pencapai tinggi bisa mendapat kepuasan dengan menyelesaikan tugas menantang dengan sukses, dengan meraih standar ekselensi, dan dengan mencari cara melakukan sesuatu secara baik (Wexley dan Yukl, 1984). Untuk menempuh bagian atas organisasi, leader harus punya keinginan untuk menyelesaikan tugas dan proyek menantang. Ini membuat mereka mendapat keahlian teknis lewat pendidikan dan pengalaman kerja, dan mengawali dan menindaklanjuti perubahan organisasi. Seorang individu yang ingin memimpin tapi tidak ingin melakukan pencapaian adalah yang jarang sukses dalam menciptakan atau mengimplementasikan visi. Literatur tentang ini menemukan bahwa leader memiliki keinginan tinggi untuk pencapaian (Bass, 1990; Yukl, 1989). Psikolog Bernard Bass (1990) mereview 28 studi dan menemukan bukti bahwa keinginan akan pencapaian adalah faktor motivasi penting antar leader efektif. David McClelland (1965) melakukan penelitian ekstensif tentang kebutuhan akan pencapaian dan menemukan bahwa ini adalah motif penting antar enterpreneur yang sukses. Usaha konstan ke arah perbaikan digambarkan oleh Tom, seorang manajer yang bertanggungjawab atas divisi produk industri dan perkantoran bernilai aset 260 juta dolar: Setelah 27 bulan bekerja, Tom merasakan hasil kerjanya. Divisinya meraih hasil terbaik di kuarter pertama. Di 31 bulan kerjanya, Tom merasa bahwa 30
dia bisa menguasai keadaan. Tom akhirnya merasa bahwa dia punya struktur dan kelompok manajemen yang bisa meningkatkan pendapatan divisi menjadi 400 juta dolar, dan dia sekarang memberikan perhatian ke divestasi sebuah kelompok produk yang dianggapnya tidak lagi cocok dengan target divisi (Gabarro, 1987). Agar berkinerja baik, seorang leader membutuhkan usaha konstan ke arah sukses dan perbaikan. Henry Mintzberg (1973) merasa bahwa leader dan manajer melakukan sebuah kerja besar dalam laju yang tidak pernah berhenti. Richard Boyatzis (1982) berpendapat bahwa manajer dan eksekutif atasan bisa lebih tinggi dibanding eksekutif rata-rata dalam “orientasi efisiensi”-nya, yang didefinisikan sebagai pertimbangan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dibanding yang dilakukan orang sebelumnya atau lebih baik daripada yang dilakukan orang lain. Di PepsiCo, hanya “pencapai agresif” yang bertahan (Dumaine, 1989). Tom Watson dari IBM dideskripsikan sebagai “yang tergerak (drive) oleh usaha personal untuk menciptakan sebuah perusahaan yang lebih besar dibanding NCR” (Smith dan Harrison, 1986). Ambisi adalah motif leadership yang kedua dan saling terkait yang bisa digambarkan lewat kata drive. Leader harus punya keinginan untuk maju dalam karirnya dan membuat divisi dan perusahaannya bisa tumbuh dan makmur. Untuk naik dalam jabatan, leader harus aktif mengambil tindakan guna menunjukkan drive dan determinasinya. Ambisi membuat leader bisa bekerja keras, menantang diri dan organisasinya dengan tujuan, dan sangat ambisius dalam kerja dan karirnya (Bass, 1990; Cox dan Cooper, 1988; Howard dan Bray, 1988). Leader bisa lebih ambisius dibanding non-leader. Menurut Ken G. Smith dan Kline Harrison, Walt Disney, pendiri Walt Disney Production, memiliki “determinasi yang ulet untuk sukses” (1986), sedangkan “ambisi yang tidak pernah lelah” adalah slogan dari C. E. Woolman dari Delta Air Lines. Di antara sampel manajer AT&T, ambisi – spesifiknya, keinginan akan prestasi – adalah prediktor sukses terkuat selama 20 tahun. Psikolog Ann Howard dan Douglas Bray memberikan sketsa karakter tentang dua manajer yang sukses maju lewat perpangkatan perusahaan. Seorang manajer merasa mampu menunjukkan apa yang didapatnya di perguruan tinggi untuk naik sampai atas. Dia berencana naik sampai tiga level dalam lima tahun, minimal direktur, dan setelah itu, naik ke level 31
berikutnya di tahun selanjutnya. Gelar MBA-nya digunakan untuk membantu itu. Jika tidak merasakan kemajuan, atau tantangannya kurang, dia keluar dari perusahaan. Manajer lainnya dipromosikan di level distrik (setelah 8 tahun) dan berharap bisa berkembang lebih jauh. Meski dia tidak ingin menjadi direktur (meski istrinya ingin itu), dia hanya berpikir mencapai wakil direktur (level keenam) setelah promosi pertamanya, persis bayangan tahun kedua studinya (Howard dan Bray, 1988). Sebaliknya, perhatikan dua gambaran dari orang yang kurang ambisius: Meski Chet memiliki gelar perguruan tinggi, kinerjanya yang di bawah rata-rata tidak lalu memberikannya konfidensi dalam kapabilitas. Dia sering menghindari pertanyaan pewawancara ketika ditanya aspirasinya, dengan mengatakan bahwa dia tidak pasti dengan berapa level manajemennya. Ketika ditekan lebih jauh, dia menjawab, “Saya suka merasa bahwa semua pekerjaan bisa saya lakukan, tapi saya tidak begitu memiliki banyak ambisi. Kadang, saya ingin mengatakan, “Biarlah semua apa adanya”. Setelah promosi sampai level dua, manajer lain ingin naik ke manajemen tengah, tapi dia masih puas di level kedua. Dia memang berniat mendapatkannya bila posisi tengah itu datang. Dia memang melihat ke depan, tapi tidak pernah melihat ke atas (Howard dan Bray, 1988). Tiga motif “lainnya” yang bisa digambarkan dengan kata drive bisa dilihat sebagai sifat implementasi atau wujud perilaku dari motif pencapaian dan ambisi. Kelimanya bisa dikelompokkan karena memang berkaitan erat. Energi dibutuhkan bagi leader untuk merasakan drive pencapaian yang tinggi dan maju di dalam organisasi (Bass, 1990; Cox dan Cooper, 1988). Kerja yang panjang, dan pekan kerja yang intensif (dan banyak liburan) selama sekian tahun – sebuah pola kerja yang sering dirasakan leader – mengharuskan individu memiliki level fisik, mental dan vitalitas emosi yang tinggi. Tampilan energi seorang leader bisa mencerminkan visi dan membantu meningkatkan komitmen pegawai. 32
Leader cenderung dibanding non-leader untuk memiliki level energi dan stamina yang tinggi, dan bahkan kemampuan atletis yang tinggi (Bass, 1990). Mereka aktif, kadang tidak pernah lelah, dan bisa digambarkan sebagai “elektrik, giat, aktif, hidup” (Kouzes dan Posner, 1987). Eksekutif Sears yang sukses ditemukan “memiliki vitalitas fisik untuk menjaga laju kerja produktif” (Bentz, 1967). Bahkan di umur 70-an, Sam Walton, pendiri toko diskon Wal-Mart, masih mengikuti Saturday Morning Meeting di Wal Mart, acara whoop-it-up jam 7.30 pagi, dan lomba sales untuk 3000 manajer (Huey, 1989). Ekspansi geografik memunculkan tuntutan akan energi yang lebih besar di waktu sekarang dibanding masa lalu, karena semakin banyak perusahaan yang berharap atas pegawainya, baik di level eksekutif dan lainnya, untuk memberikan lebih banyak waktu di jalan untuk mengunjungi lokasi lain, konsumen dan suplaier (Peters, 1987). Tenacity (kegigihan) adalah sebuah motif yang membutuhkan energi terarah tujuan di antar waktau ketika dihadapkan dengan hambatan. Leader harus “keras hati tanpa lelah” dalam aktivitasnya – khususnya dalam memberitahu visi ke pegawainya (Bass, 1990; Smith dan Harrison, 1986). Ketika mendapat komitmen ke visi, leader harus patuh ke visi apapun penentangannya dan harus mengikuti itu selama implementasi. Banyak perubahan di program organisasi butuh waktu beberapa bulan untuk melaksanakan, dan bisa butuh tahunan untuk meraih keuntungannya. Leader harus berusaha untuk tetap menindaklanjutinya, dan untuk tetap persisten guna memastikan bahwa perubahan telah ada di organisasi. Bukti menunjukkan bahwa leader efektif harus memiliki kegigihan – yang melimpah (Bass, 1990; Smith dan Harrison, 1986). Pengusaha jutawan, H. Ross Perot, seorang alumnus Akademi AL US, memberitahu audiens-nya di Forrestal Lecture Series di tahun 1990 di Annapolis bahwa akademi telah mengajarkannya kegigihan untuk melawan musuh. Dia menambahkan bahwa banyak kesuksesan bisnisnya disebabkan oleh ketidakmampuan dia dalam mengingat kegagalannya (Munsey, 1990). Leader efektif sering lebih persisten dibanding non-leader saat menghadapi hambatan, dan memiliki “kapasitas untuk menindaklanjuti obyek yang jauh dilihat” dan punya “kekuatan kemauan atau keuletan” (Bass, 1990).
33
Gambaran heroik dari keuletan saat menghadapi hambatan adalah cerita dari John Paul Jones, seorang perwira abad 18 di Angkatan Laut Amerika yang baru dibentuk. Pada tanggal 25 September 1779, di luar pantai Inggris, Jones, yang menjadi kapten dari Bonhomme Richard, melakukan pertempuran dengan kapal Inggris Serapis. Selain lambat, tidak cocok untuk perang laut, dan punya sedikit meriam, kapal Jones juga diawaki oleh kru cabutan yang kurang berpengalaman dari beberapa negara berbeda. Jones kalah dalam perang tersebut setelah diserang oleh tembakan meriam Serapis dan terkena ledakan dari dua meriam tua di kapalnya sendiri. Jones juga mengalami kekalahan lain ketika Alliance – yang sebenarnya sekutunya – malah menembak kapalnya bukan Serapis. Serapis mensejajari Bonbomme Richard dan kaptennya meminta Jones menyerah. Jones menjawab, meski pasti kalah, “Aku bahkan belum mulai bertempur”. Karena masih ingin menenggelamkan kapal Inggris, Jones melihat sebuah lubang palka di geladak Serapis. Dia meminta seorang pelaut muda untuk memanjat tali dan melempar granat ke geladak tersebut, karena yakin Inggris pasti menyimpan amunisinya di sana. Meski beberapa lemparan ternyata gagal, satu granat bisa masuk ke dalam palka, dan terjadi ledakan besar. Ketika kapalnya terbakar, kapten Inggris menyerahkan Serapis ke Jones. Meski pertarungan keseluruhan hampir pasti membuat dia kalah, Jones tetap menunjukkan kegigihan untuk tidak menyerah, dan kegigihan itulah yang membuatnya menang (De LaCroix, 1962). Karena itu, bukan sekadar arahan aksi dari seorang leader yang dipentingkan di sini, tapi juga tetap teguh ke arah tersebut. Dengan kegighan adalah satu-satunya cara seorang leader bisa meraih visi, dan seorang leader efektif harus mendorong dirinya dan orang lain ke tujuan yang harus dicapai (Bennis dan Nanus, 1985, Kouzes dan Posner, 1987). Sejumlah leader korporat yang terkenal telah menunjukkan kegigihan. David Glass, CEO dari Wal-Mart, mengatakan bahwa pemilik Walt Mart, Sam Walton, “seperti memiliki sesuatu di dalam dirinya sehingga dirinya selalu memperbaiki sesuatu setiap hari. Dia seperti tidak pernah mencapai titik yang memuaskannya.” (dikutip dalam Huey, 1989). Walt Disney dideskripsikan sebagai pengharap terbaik dan tidak pernah berhenti sampai dia mendapatkannya (Smith dan Harrison, 1986). Ray Kroc, pendiri McDonald’s Corporation, 34
dideskripsikan sebagai “dinamo yang menggerakkan perusahaan tanpa lelah”. Krock menempelkan pesan inspirasi di dindingnya: Tidak ada sesuatu di dunia yang bisa menggantikan ketekunan. Ini tidak bisa diganti dengan bakat. Tanpa ketekunan, orang berbakat besar pasti tidak sukses. Ini tidak bisa diganti dengan kejeniusan. Tanpa ketekunan, orang jenius pun bisa tumpul. Ini tidak bisa diganti dengan pendidikan. Tanpa ketekunan, orang berpendidikan pun bisa menjadi gelandangan. Niat dan tekun adalah syarat utama untuk sukses (dikutip Bennis dan Nanus, 1985). Ketekunan harus diterapkan dengan pintar. Penggunaan strategi yang tidak tepat bisa membuat organisasi hancur. Jadi, penting untuk tekun di sesuatu yang benar – tapi apa yang dimaksud sesuatu yang benar? Di banyak organisasi di iklim bisnis sekarang ini, sesuatu yang benar ini bisa meliputi: • memuaskan konsumen, • pertumbuhan, • kontrol biaya, • inovasi, • waktu respon cepat, dan • kualitas. Seperti yang dikatakan Tom (1987), sebuah usaha konstan untuk memperbaiki sesuatu yang sudah baik. Inisiatif adalah motif yang membuat leader efektif mau menggunakan pendekatan proaktif dibanding reaktif ke pekerjaan (Bass, 1990; Boyatzis, 1982; Kouzes dan Posner, 1987). Mereka membuat pilihan dan melakukan sesuatu yang menghasilkan perubahan produktif bukan bereaksi ke kejadian atau menunggu sesuatu terjadi. Manajer superior dan manajer level-eksekutif sering lebih produktif dibanding manajer berkinerja rata-rata atau di bawah rata-rata. Proaktivitas antar leader efektif bisa digambarkan seperti ini, “bukan duduk menganggur atau menunggu nasib tersenyum kepadanya”, leader perlu “melawan proses” (Kouzes dan Posner, 1987). Leader efektif biasanya menggunakan pendekatan
35
“hands on”, dan sering menunjukkan lebih banyak inisiatif dan kerja dibanding orang non-leader (Bass, 1990; Smith dan Harrison, 1986). Leader efektif adalah yang punya drive kuat, yaitu yang berorientasi pencapaian tinggi, ambisius, energetik, gigih, dan proaktif. Kualitas ini dibutuhkan jika leader ingin secara efektif mengembangkan knowledge, skill and ability (KSA) yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan visi. Level drive yang tinggi, meski begitu, bukan tanpa efek samping. Tipe drive ini bisa melahirkan seorang leader yang ingin mencapai sesuatu sendiri dan karena itu, malah gagal menciptakan komitmen dan rasa tanggungjawab di pihak bawahan (McClelland dan Burnham, 1976). Leader yang efektif bukan hanya harus penuh drive dan ambisi, tapi harus termotivasi untuk memimpin orang lain. B. Motivasi Leadership Leader efektif harus selalu ingin memimpin. Motivasi leadership bisa berisi keinginan untuk mempengaruhi orang lain. Ini sering disamakan dengan kebutuhan akan power. Orang dengan motivasi leadership yang tinggi sering berpikir bagaimana mempengaruhi orang lain, memenangkan argumen, atau meraih posisi dengan otoritas besar. Individu dengan motivasi leadership yang kuat pastinya berada di peran leadership, bukan di peran bawahan, dan mereka menunjukkan kemauan untuk memegang tanggungjawab (Howard dan Bray, 1988; McClelland, 1965; Yukl, 1989). Studi menunjukkan bahwa keinginan kuat untuk memimpin orang lain adalah karakteristik dari leader efektif (Boyatzis, 1982; Burns, 1978; House, 1988; House, Woycke, dan Fodor, 1987; Miner, 1978; Srivastva dan Associates, 1986). Penelitian tentang sifat leadership di Sears mendeskripsikan eksekutif Sears yang sukses sebagai orang yang punya “drive kompetitif yang kuat untuk sebuah posisi otoritas dan ingin dikenal sebagai orang yang berpengaruh” (Bentz, 1967). Astronot John Glenn dan Frank Borman membangun karir politik dan bisnisnya dari prestasi awalnya sebagai penjelajah ruang angkasa, sedangkan astronot lain tidak demikian (Bass, 1985). Karena memiliki peluang sama seperti
36
orang lain, penyesuaian personalnya-lah yang membuat Glenn dan Borman mengejar ambisinya dan memegang peran leadership. Leader yang sukses harus mau menggunakan power ke bawahannya, memberitahu mereka apa yang harus dilakukan, dan menggunakan sangsi positif dan negatif. Seseorang yang tidak mampu menggunakan power sulit melakukan sebuah peran leadership. Power bisa dilihat sebagai mata uang dari seorang leader, yaitu alat utama yang digunakan leader untuk menyelesaikan sesuatu di sebuah organisasi (Bennis dan Nanus, 1985). Seorang leader harus punya keinginan meraih power agar bisa menggunakan pengaruhnya ke orang lain. Dalam satu studi, manajer level eksekutif dan manajer dengan level kinerja tinggi memberikan nilai tinggi untuk “peduli ke dampak” (yang dianggap sama seperti kebutuhan akan power) dibanding manajer level bawah atau manajer yang berkinerja di level produktivitas rendah (Boyatzis, 1982). Dalam studi manajemen 20-tahun di AT&T, manajer sukses adalah yang sering menggunakan kalimat berikut: “Ketika saya memberikan tugas ke orang lain, saya menemukan kepuasan terbesar”. “Pekerjaan yang paling cocok buat saya adalah pekerjaan yang membutuhkan kemampuan leadership”. “Saya selalu menggunakan orang lain untuk melakukan rencana dan arahan saya” (Howard dan Bray, 1988). Sebaliknya, seoreang manajer yang tidak sukses biasanya menggunakan kalimat yang berisi frase “menerima perintah……….” yang diakhiri dengan “mudah untuk menghilangkan bahaya keputusan yang buruk” (Howard dan Bray, 1988). Power tidak digunakan secara efektif ketika ini dilihat sebagai “kue pie yang bisa diperbesar”, bukan sebagai kue yang tetap. Seorang leader efektif tidak melihat power sebagai jumlah statis yang harus diperebutkan. Tapi, seorang leader efektif melihat power sebagai sesuatu yang bisa diciptakan dan diratakan ke pengikut tanpa merusak power leader itu sendiri. Leader efektif memberikan power ke orang lain sebagai alat untuk meningkatkan potensi leader itu sendiri. Kebutuhan akan power adalah sesuatu yang diinginkan leader, dan efektivitas seorang leader ditentukan oleh akar dari kebutuhan tersebut. Keinginan mempengaruhi orang lain bisa berasal dari dua sumber berbeda, yaitu 37
“motif power personal” atau “motif power sosial” (Howell, 1988; McClelland, 1965). MOTIF POWER PERSONAL. Seorang leader dengan motif power personal berusaha mencari power sebagai hasil. Individu bisa memiliki self-control dan sering impulsif. Mereka menfokuskan diri ke penciptaan simbol martabat personalnya sendiri. Tipe motif power ini bisa dikatakan neurotik karena mendapat power hanya untuk mendominasi orang lain pastinya dilandasi oleh keraguan diri. Motif power personal lebih dihubungkan ke dominasi terhadap orang lain, dan membuat pengikut menjadi dependen dan patuh (Kouzes dan Posner, 1987). MOTIF POWER SOSIAL. Sebaliknya, seorang leader dengan motif power sosial menggunakan power sebagai alat untuk meraih tujuan atau visinya. Motivasi ini cenderung menghasilkan leadership efektif. Dibanding orang yang memiliki motif power personal, individu dengan motif power sosial: • lebih matang secara emosional; • menggunakan power lebih banyak untuk keuntungan organisasi keseluruhan; • jarang menggunakan power dalam cara manipulatif; • kurang defensif; • lebih mau menerima saran dari pakar; dan • memiliki perspektif jangka panjang (Kouzes dan Posner, 1987). Leader dengan motif power sosial cenderung menggunakan powernya untuk membangun organisasi dan membuatnya sukses, bukan mencari alasan pribadi untuk merugikan orang lain. Mereka mempertimbangkan kebutuhan pengikut, dan tindakannya akan memberdayakan pengikut yang independen. Penggunaan power sosial yang produktif bisa terbantu lewat kemampuan membuat network dan koalisi, meraih kerjasama dari pihak lain, menyelesaikan konflik dalam cara konstruktif, dan menggunakan model peran untuk mempengaruhi orang lain. 4.3.2 Sifat Inti Diskusi tentang motif inti difokuskan ke keinginan dasar untuk membuat seorang leader mengambil tindakan. Dalam sebuah perbedaan yang relevan tapi 38
lunak, sifat bisa berbeda dari motif karena sifat adalah pola aksi – cara bertindak – atau cara kebiasaan pikir. Orang dikatakan memiliki sifat “tampan”, contohnya, ketika bertindak mencerminkan cara tampan. Mereka dikatakan “pesimis” jika mereka mengekspresikan pikiran negatif. Motif bisa mendasari sifat, tapi tidak ada hubungan satu-lawan-satu antara sifat dan motif. Sifat tertentu bisa mencerminkan beragam motif, karena motif tertentu bisa mendasari sejumlah sifat. Bagian ini menjelaskan sifat leadership inti – yaitu tindakan terukur dan kebiasaan pikir yang menjadi karakteristik leader efektif (untuk jelasnya, sifat energi, kegigihan dan inisiatif akan didiskusikan di bagian motif karena ini adalah ekspresi perilaku dari motif). Ada bukti bahwa leadership efektif digambarkan oleh sifat kejujuran/integritas dan konfidensi diri. Ada bukti yang kurang konklusif terkait dengan peran sifat kreativitas, fleksibilitas dan karisma. A. Kejujuran/Integritas Kejujuran dan integritas adalah kebajikan di semua individu (Rand, 1961), termasuk pengikut, tapi mereka memiliki signifikansi khusus sebagai sifat leader. Studi menunjukkan bahwa tanpa itu, usaha keseluruhan dari leadership bisa lemah (Bass, 1990; Bennis dan Nanus, 1985; Peters, 1987). Integritas didefinisikan sebagai antara kata dan tindakan (Bennis dan Nanus, 1985), dan kejujuran adalah bisa dipercaya atau tidak curang. Secara keseluruhan, ini memberikan pondasi sebuah hubungan keterpercayaan antara leader dan pengikutnya (Kouzes dan Posner, 1987). Dalam review tentang leadership, Bernad Bass (1990) menemukan bahwa di antara semua siswa, leader dinilai lebih bisa diandalkan, terpercaya, dan layak dalam melakukan tanggungjawab dibanding pengikutnya. Peneliti Inggris Charles Cox dan Cary Cooper (1988) berpendapat bahwa manajer “high-flying” lebih suka menunjukkan gaya manajemen terbuka, yang mana mereka sering memberitahu pekerjanya tentang apa yang terjadi di perusahaan. Peneliti di Center for Creative Leadership di Greensboro, North Carolina, menemukan bahwa manajer yang mencapai atas sering menggunakan formula berikut: “Saya akan melakukan apa yang sering saya katakan ketika saya mengatakan akan melakukan itu. Jika
39
saya berubah pikiran, saya akan memberitahu kalian sehingga kalian tidak dirugikan oleh tindakan saya” (McCall dan Lombardo, 1983). Leader sukses adalah yang terbuka dengan pengikutnya, tapi juga menggunakan diskresi dan tidak melanggar konfidensi atau secara ceroboh membocorkan informasi yang merugikan. John Gabarro di Harvard melaporkan bahwa satu bawahan menggambarkan direktur baru sebagai “konsisten dengan apa yang dikatakan dan dilakukan, dan bisa dipercaya”. Bawahan lain memberikan penilaian ke leader yang tidak sukses, “Bagaimana saya bisa mengandalkannya jika dia tidak konsisten?” (Gabarro, 1987). Dalam studi lain, sekitar 1500 manajer ditanya “Nilai apa yang anda cari dan puji di dalam atasan anda?” Studi ini menunjukkan bahwa integritas (didefinisikan sebagai percaya, layak, dan punya karakter dan keyakinan) adalah salahsatu karakteristik yang paling sering disebut. Peneliti leadership James Kouzes dan Barry Posner (1987) menyimpulkan bahwa: Kejujuran adalah penting bagi leadership. Jika kita ingin mengikuti seseorang, apakah ini dalam perang atau ruang dewan, kita harus memastikan bahwa orang patut dipercaya. Kita ingin tahu bahwa dia bisa dipercaya, etis dan berprinsip. Kita ingin konfiden dalam integritas leader (Kouzes dan Posner, 1987). Banyak studi menyatakan bahwa leader efektif bisa dilihat sebagai kredibel, yang memiliki reputasi sempurna sebagai yang layak dipercaya (Bass, 1990; Kotter, 1988). Salahsatu deskripsi bawahan dari atasan mencontohkan makna integritas. “Untuk integritas, ini bukan berarti dia tekun dalam merampok bank, atau gigih dalam mencuri dari mesin kas. Anda pasti tidak suka bekerja dengan orang seperti itu. Orang dikatakan punya integritas, karena dia punya prinsip dan mau mempertahankannya” (Gabarro, 1987). Tapi “kredibilitas juga penting di saat ini”, menurut peneliti Bennis dan Nanus (1985), khususnya karena orang mulai lebih tahu, lebih hati-hati, dan waspada ke otoritas dan power. Mereka merasa bahwa leader mendapat kepercayaan karena bisa diprediksi, konsisten dan persisten. Untuk ini, Gabarro (1987) memasukkan sifat pembangun kredibilitas ke dalam unsur pembuatan keputusan yang kompeten. 40
Pengusaha sukses H. Ross Perrot mengatakan bahwa penerapan kode etik yang diajarkan di Akademi Angkatan Laut US ke kehidupan personal seseorang adalah salahsatu hal terbaik yang bisa dilakukan individu. Dia meminta awak kapal, “Jangan bahayakan jiwamu untuk hukum atau bukan hukum. Korbankan jiwamu untuk apa yang benar dan salah” (dikutip oleh Munsey, 1990). Seorang leader yang jujur adalah yang mampu mengatasi kurangnya skill lain, seperti yang digambarkan oleh deskripsi atasan oleh seorang bawahan. “Saya tidak suka dengan apapun yang dia lakukan, tapi pada dasarnya dia jujur. Dia adalah ibarat tulisan murni, dan anda pasti mudah memaafkannya karena sifatnya itu. Saya tetap percaya sama dia sejauh ini (dikutip di Gabarro, 1987). B. Konfidensi-diri Konfidensi-diri adalah sifat yang dibutuhkan untuk leadership sukses, dan ini tidak disangkal. Orang yang ragu ketika dihadapkan dengan tantangan dan tanggungjawab adalah yang tidak mampu mengambil tindakan atau menghormati posisi orang lain. Leadership bisa membawa tantangan dan tanggungjawab yang besar karena: • ada informasi yang harus dikumpul dan diproses; • beberapa masalah konstan harus dipecahkan dan keputusan harus dibuat; • pengikut harus ditemukan dan diyakinkan untuk meraih wacana aksi yang spesifik; • reward dan hukuman harus diadakan; • resiko harus diambil di tengah ketidakpastian; • kemunduran harus diatasi; dan • persaingan kepentingan harus diredam. Sifat penting dari konfidensi diri, yang memberikan kepastian ke ide dan kemampuan sendiri, telah banyak diulas oleh peneliti leadership (Bennis dan Nanus, 1985; Burns, 1978). Konfidensi diri memainkan peran penting dalam pembuatan keputusan dan dalam memperoleh kepercayaan orang lain. Seorang leader yang tidak pasti dengan keputusan yang dibuat, atau yang mengekspresikan rasa ragunya, tidak bisa menciptakan konfidensi antar pengikut yang dibutuhkan komitmennya ke visi.
41
Studi menunjukkan bahwa leader memiliki level konfidensi lebih tinggi dibanding non-leader. Psikolog Bernard Bass, yang mereview 40 studi, berpendapat bahwa “hampir semua peneliti yang melaporkan data tentang hubungan konfidensi-diri ke leadership bisa seragam dalam arah temuan yang positif” (1990). Ann Howard dan Douglas Bray (1988) menemukan bahwa level martabat dari manajer AT&T bisa memprediksi kemajuan di 20 tahun terakhir. Richard Boyatzis (1982) menunjukkan bahwa level eksekutif dan manajer atasan bisa lebih tinggi konfidensinya – didefinisikan sebagai ketegasan atau presensi – dibanding manajer level rendah atau manajer rata-rata atau buruk. Sebuah studi oleh Kouzes dan Posner tentang “keunggulan personal” dari leader – situasi ketika leader bisa meraih sesuatu yang luar biasa – menunjukkan bahwa leader memiliki kadar konfidensi yang tinggi. Setiap orang tertarik oleh dan mau menerima tantangan yang diterimanya, baik lewat kondisi atau lewat pilihan. Tanpa pengecualian atau keraguan, orang bisa mengekspresikan konfidensi yang membuat orang bisa bekerja baik dengan orang lain, dan membuat sebuah tim untuk mengatasi masalah apapun. Harapan tinggi dari leader ke orang lain bisa banyak didasarkan pada harapan mereka sendiri (1987). Konfidensi diri dari seorang leader bukan hanya penting, tapi juga leader harus mengambil tindakan untuk memastikan bahwa orang lain merasakan konfidensi dirinya. Leader sering mengambil tindakan untuk mencerminkan konfidensi dirinya, atau membangkitkan konfidensi diri dari pengikut (Bass, 1985). Leader yang konfiden diri juga cenderung tegas (Bass, 1990; Cox dan Cooper, 1988), yang membantunya memperoleh konfidensi orang lain bagi keputusannya. Ini penting bagi implementasi sebuah keputusan yang efektif. Ketika sebuah keputusan yang dibuat leader menjadi buruk, leader yang konfiden diri bisa menggunakannya sebagai peluang belajar dengan mengakui kesalahan dan membangun kepercayaan di dalam proses. Perusahaan Manor Care, contoh, merugi lebih dari 21 juta dolar di tahun 1988 ketika menahan banyak stok Beverly Enterprises, yang kemudian nilainya jatuh. Direktur dan CEOnya, Stewart Bainum, Jr., mengatakan bahwa dia bertanggungjawab penuh atas segala urusan akuisisi (dikutip di Girard, 1989). Manor Care sepertinya telah melakukan rekoveri. Dengan menjadi “perusahaan yang terbaik dalam industri perlengkapan perawatan”, saham Manor Care melonjak lagi. 42
Di lain pihak, studi menemukan bahwa manajer yang kurang sukses atau “terpeleset” sering lebih defensif tentang kegagalan dan mencoba menutup kesalahan dibanding mengakuinya (McCall dan Lombardo, 1983). Sebuah korelasi dan konsekuensi konfidensi diri adalah stabilitas emosional dan ketenangan selama stress. Meski leader efektif bisa tergerak ke kondisi tertentu – seperti ketika melakukan pembicaraan yang bermuatan emosional – mereka umumnya tidak marah. Tapi, mereka ingin menunjukkan sebuah ketenangan (Bass, 1990; Kotter, 1982) dengan membiarkan itu berlalu – seperti saat mendengar berita buruk. Peneliti di Universitas Maryland, Ken G. Smith dan Kline Harrison (1986) menemukan bahwa leader yang ditelitinya tidak setenang dan setoleran seperti yang ditunjukkan di literatur lain, tapi konsensus yang terbentuk adalah bahwa banyak leader cenderung toleran ke kesalahan pegawai yang tidak terduga. Di PepsiCo, contohnya, seorang pegawai yang membuat kesalahan “tetap aman selama masih dalam resiko terukur” (Dumaine, 1989). Ini benar dalam setting korporat yang telah diteliti (Posner dan Solomon, 1988), selama dipercaya bahwa error bukanlah dari kecerobohan, dan bahwa pegawai telah melakukan kerja rumahnya, meski salah menilai situasi. Stabilitas emosional dianggap penting ketika leader bisa menyelesaikan konflik interpersonal atau merepresentasikan organisasi. Seorang top executive yang emosinya meledak tidak akan menghasilkan kepercayaan dan kerja tim seperti yang dirasakan eksekutif yang bisa menjaga kontrol emosional. Ketika mendefinisikan sifat negatif ini di atasannya, seorang pegawai berpendapat bahwa “dia adalah orang impulsif dan tidak pernah yakin kapan dia bisa merubah sinyalnya” (Gabarro, 1987). Peneliti di Center for Creative Leadership, yang berusaha mengidentifikasi sifat sukses atau gagalnya top executive (McCall dan Lombardo, 1983), menemukan bahwa leader cenderung buruk jika kekurangan stabilitas emosi dan ketenangan. Leader yang buruk adalah orang yang kurang mampu melawan tekanan dan yang cenderung ditentukan mood, mudah marah dan menunjukkan perilaku tidak konsisten, yang melemahkan hubungan interpersonalnya dengan bawahan, rekan, dan atasan. Sebaliknya, peneliti menemukan bahwa leader yang sukses adalah kalem, konfiden dan terprediksi selama krisis.
43
Howard dan Bray (1988) menemukan bahwa penyesuaian yang tinggi (adjustment didefinisikan secara samar dalam studi tapi bisa memberikan kesehatan mental positif) di manajer AT&T berhubungan dengan kemajuan karirnya di 20 tahun kemudian. Manajer yang melakukan banyak penyesuaian bisa maju dalam karirnya. Secara keseluruhan, penyesuaian yang buruk bisa terlihat di level kinerja manajer yang rendah. Dalam studi ini, toleransi ketidakpastian memiliki korelasi rendah, tapi signifikan dengan kemajuan karirnya. Bagaimana leader bisa mengatasi ketidakpastian dan stress menjadi ukuran efektivitasnya. Individu yang konfiden dan kuat psikologinya adalah: • yang menganggap kejadian stress sebagai hal menarik; • yakin bahwa mereka mempengaruhi hasil kejadian; dan • melihat mereka sebagai peluang untuk perkembangan (Maddi dan Kobasa, 1984). Leader menunjukkan ketenangan di bawah tekanan, dan menginspirasi orang di sekitarnya untuk tetap tenang dan pintar (Labich, 1988). C. Originalitas/Kreativitas Ada beberapa alasan untuk ragu memasukkan originalitas dan kreativitas di antara sifat leadership yang esensial. Masih sedikit penelitian tentang kreativitas yang memberikan hasil positif (Bass, 1990), dan kreativitas jarang disebut sebagai sifat yang dibutuhkan di berbagai studi kualitatif leader. Ada kemungkinan bahwa kreativitas bisa membantu leadership efektif hanya dalam situasi tertentu, seperti ketika entrepreneur dihadapkan dengan perlunya pengembangan produk atau layanan baru, atau perlunya membangun perusahaan dari bawah ke atas. Kreativitas bisa atau tidak berhubungan dengan intelejensi. Bila memperluas konsep kreativitas agar meliputi sumberdaya, review Bass ke beberapa studi (1990) menemukan bahwa leader memiliki sumberdaya lebih banyak dibanding non-leader. Manajer yang efektif menunjukkan kompetensi lebih banyak, yang disebut konseptualisasi, dibanding manajer tidak efektif (Boyatzis, 1982). Konseptualisasi, dalam studi Boyatzis, berisi kemampuan untuk mengembangkan solusi kreatif dan wawasan baru tentang masalah. Studi longitudinal manajer AT&T dari Howard dan Bray (1988) berisi kreativitas sebagai 44
sub-skala kemampuan administratif. Hasil ini menunjukkan bahwa skill administratif berhubungan positif dengan kemajuan manajerial. Tapi, seorang leader bisa efektif dengan ide yang baik meski itu pinjaman, bukan orisinil. Tom Watson dari IBM, contohnya, menggunakan banyak strategi sales yang dipelajarinya ketika berada di National Cash Register untuk membuat IBM menjadi sebuah organisasi sales terkemuka (Smith dan Harrison, 1986). Soichiro Honda, pendiri Honda Motor Company, tidak menemukan mesin kombusi internal, tapi membantu memperbaiki dan menyempurnakannya. Sebuah konsep yang berhubungan dengan originalitas adalah imajinasi. Profesor Abraham Zaleznik, yang mendefinisikan imajinasi sebagai kemampuan memvisualisasikan apa yang akan terjadi, menyatakan bahwa dalam bisnis (bukan seni), “imajinasi adalah tiruan dan terapan, tapi mencari solusi berdasarkan pengalaman dan analogi” (1989). Zaleznik, yang mengatakan bahwa imajinasi adalah sifat penting bagi leadership efektif, menjelaskan bahwa “untuk mengatasi kurangnya imajinasi, figur otoritas mencoba menerapkan pesona, godaan dan tipuan – taktik yang akhirnya merusak otoritasnya sendiri” (1989). Imajinasi adalah penting bagi pembuatan visi, tapi tidak jelas apakah ini dibutuhkan atau tidak untuk mengembangkan sebuah visi efektif. Leader efektif mungkin mampu mengatasi minimnya imajinasi personal atau originalitas dengan menginspirasi orang lain untuk memberikan ide kreatif. Beberapa leader, contohnya, bisa sangat baik karena punya tim top management yang bisa menghasilkan visi perusahaan, bukannya leader yang membuat visi sendiri (Tichy dan Devanna, 1986), sehingga leader hanya bisa mengandalkan kreativitas dari orang lain – bukan memilikinya sendiri. D. Fleksibilitas/Adaptabilitas Seorang leader efektif harus cukup fleksibel untuk memenuhi tantangan perubahan cepat yang terjadi di korporat Amerika dan ekonomi dunia turbulen (Bass, 1990; Boyatzis, 1982). Tom Peters menyatakan bahwa “di jaman yang liar dan penuh jebakan, dibutuhkan seseorang yang cepat, ulet dan mampu melakukan perubahan” (1989). Perubahan ini bisa terjadi di beberapa level: • Kemajuan teknologi bisa mempercepat produksi. • Layanan baru akan sering ditawarkan dan dikembangkan untuk menarik dan melestarikan konsumen. 45
• Konsumen menuntut produk terbaru dalam jumlah waktu yang terkecil. Kecepatan dan perubahan yang cepat adalah kata kunci di tahun 1980-an, dan juga menjadi karakteristik di tahun 1990-an. Untuk menindaklanjuti dan menguatkan perubahan, leader harus fleksibel. Perhatikan bahwa dalam konteks ini, fleksibilitas berarti kemampuan beradaptasi dengan perubahan, bukan mencerminkan ketidaktegasan. Fleksibilitas (yang didefinisikan sebagai penyesuaian ke situasi) berhubungan erat dengan kapasitas leadership di sejumlah studi yang direview Bass (1990). Dengan menggunakan istilah versatilitas, Hickman dan Silva (1984) mendiskusikan pentingnya kapasitas untuk ikut dalam proses perubahan dan melakukan performa secara kreatif dan kuat. Tanpa fleksibilitas, leader sulit melangkah, terisolasi dengan ide tetap, dan tidak bisa beradaptasi dengan perubahan di lingkungan dan organisasi. Fleksibilitas dan adaptabilitas bisa juga diterapkan ke ide dan visi. Sejumlah “peminjam ide” sukses mengadaptasikan ide untuk memenuhi kebutuhan perusahaan, seperti Watson dari IBM, yang menggunakan banyak konsep yang dipelajari di NCR untuk membuat IBM menjadi leader di bidangnya. Ray Korck meminjam dan mengembangkan ide McDonald untuk restoran fastfood-nya. Charles Revson (dari Revlon) menggunakan ide General Motors dalam memisahkan lini produk otomotifnya untuk membentuk lini kosmetik terpisah (Smith dan Harrison, 1986). Selain fleksibel dalam menyesuaikan ide baru ke organisasi, leader mampu merubah emphasis leadership-nya dari orientasi-tugas ke orientasiorang, bila situasinya membutuhkan (Smith dan Harrison, 1986). Meski fleksibilitas sejak awal berkontradiksi dengan kegigihan, ini bukanlah sifat yang saling berlawanan. Kegigihan berisi melanjutkan kerja untuk menyelesaikan tugas yang penting ketika orang dihadapkan dengan hambatan dan kesulitan. Fleksibilitas adalah kemampuan mengenali kapan harus merubah cara orang dalam mengatasi hambatan dan kesulitan. Penggunaan fleksibilitas sebagai sebuah sifat leadership esensial ternyata dihadapkan penolakan. Meski ada bukti bahwa leader efektif menunjukkan fleksibilitas, masih tidak pasti bahwa orang yang meneliti fleksibilitas leader akan menggunakan definisi yang sama atau menggunakan ukuran fleksibilitas sama. Contoh, apakah fleksibilitas bisa diartikan sebagai: 46
• merubah gaya leadership seseorang bila situasi membutuhkan? • terbuka ke pengetahuan baru dan ide baru? • harus sering merubah strategi organisasi? • menyesuaikan diri ke kebutuhan konsumen? • merubah kebijakan dan prosedur organisasi? Sayangnya, tidak ada satu cara untuk menggambarkan apa definisi dari fleksibilitas. Selain itu, fleksibilitas, seperti kreativitas, jarang disebut di studi kualitatif. E. Karisma Karisma adalah karakteristik leader yang sering dipelajari (Bass, 1985; Conger, 1988; House, Woycke dan Fodor, 1987), tapi ada kerumitan pada maksud dari itu. Kouzes dan Posner melaporkan bahwa Friedman dkk menemukan bahwa “orang yang disebut karismatik cenderung lebih animatif dibanding lainnya. Mereka banyak tersenyum, bicara lebih cepat, mengeja kata lebih jelas, dan sering menggerakkan kepala dan badannya. Mereka juga cenderung menyentuh orang lain selama menyapa. Apa yang bisa disebut karisma bisa juga digambarkan sebagai ekspresi manusia” (1987). Karisma bisa terlihat sebagai power untuk menggugah emosi di pihak orang lain, dan biasanya terukur. Karisma memberikan dampak terbesar selama komunikasi, khususnya ketika seorang leader memberikan pidato inspirasional untuk memotivasi bawahannya (Bass, 1990; Smith dan Harrison, 1986). Tapi, visi seorang leader yang menggunakan karisma tidak lalu terinstitusi di organisasi, dan visi biasanya pudar ketika leader meninggal atau mundur (Bass, 1985). Karisma, seperti leadership, hanya ada di sebuah hubungan antara leader dan follower. Ini tidak akan ada tanpa ada follower. Karena itu, indvidu bisa merasa punya karisma bila ada sekelompok follower. Contoh, selama jabatan pertamanya sebagai presiden, banyak orang Amerika menganggap Ronald Reagan sebagai orang yang karismatik, tapi ada juga yang tidak. Karisma membantu mengurangi “perlawanan follower ke perubahan sikap, dan menggugah respon emosional ke leader, dan menciptakan kesan kesenangan dan petualangan” (Bass, 1985). Martin Luther King, Jr. menggugah
47
follower-nya dengan pidato-nya “I Have a Dream”, yang mengatakan bahwa satu saat, orang kulit hitam Amerika akan “bebas pada akhirnya”. Meski ada tekanan kelompok terhadap follower agar melakukan kinerja di level rendah, “follower dari leader karismatik menunjukkan kinerja lebih tinggi dibanding follower dari leader “strukturisasi” (berorientasi tugas) atau “konsideratif” (berorientasi hubungan) (Howell dan Frost, 1989). Yang mendukung temuan ini, Smith (yang dikutip di Bass, 1985) menemukan bahwa bawahan dari leader karismatik sering bekerja lebih lama sepekan dan jauh lebih konfiden dan percaya dibanding bawahan dari leader non-karismatik. Ketika karisma ada di seorang leader, ini memberikan efek positif terhadp motivasi, martabat dan sikap follower. Ketika follower menganggap leader sebagai karismatik, maka karisma ibaratnya ramalan yang terwujud sendiri (selffulfilling prophecy), dan leader mampu menghasilkan lebih banyak karisma. Reaksi berantai dari ini adalah bahwa karisma mempengaruhi perilaku leader, yang kemudian mempengaruhi kinerja (House, Woycke dan Fodor, 1987). Perilaku spesifik lain yang ditunjukkan leader karismatik, menurut House, Woycke, dan Fodor (1987), adalah bahwa mereka: • menjelaskan sebuah tujuan transkenden (sebuah visi); • menjadi model peran; • membangun imej-nya sendiri; • menunjukkan konfidensi kuat pada pengikut; • mengkomunikasikan harapan kinerja follower yang tinggi; • menggugah tuntutan akan pencapaian, power, dan /atau afiliasi; dan • memiliki sikap pengembangan ke bawahan. Presiden United States Thomas Jefferson, Andrew Jackson, Abraham Lincoln, Theodore Roosevelt, Franklin D. Roosevelt, dan John. F. Kennedy dikatakan oleh House, Woycke, dan Fodor (1987) sebagai leader karismatik. Presiden lainnya dikategorikan sebagai netral atau non-karismatik. Sedikit sekali presiden netral atau non-karismatik yang terpilih lagi atau terbunuh, tapi semua leader karismatik bisa terpilih lagi atau bahkan terbunuh, karena menggugah perasaan kuat di pihak lain. House dkk menemukan bahwa karisma menjadi separuh faktor yang membantu efektivitas leader. Perlu diketahui bahwa ukuran ini bisa problematik karena ini ditentukan oleh pandangan politis.
48
Meski menunjukkan keuntungan, karisma bukanlah sifat esensial dari leader. George Washington, contohnya, tidak menunjukkan atribut karismatik, tapi dia adalah leader politik dan militer besar. “Leader bisa sukses dalam banyak cara tanpa atribut karisma”, seperti sukses menyelesaikan konflik dan memberikan reward kontingen ke kepatuhan (Bass, 1985). Bennis dan Nanus menyimpulkan bahwa meski beberapa leader bisa karismatik, banyak juga leader yang tidak. Leader seperti John F. Kennedy dan Winston Churchill dianggap karismatik, tapi sebagian besar leader “terlalu humanis” (1985). Leader yang digambarkan oleh Bennis dan Nanus adalah “pendek dan tinggi, cakap berbicara dan tidak cakap bicara, tetap berdandan untuk peristiwa sukses atau gagal, dan tampilan fisik, kepribadian, atau gayanya tidak berbeda dari follower-nya”. Ini mendorong peneliti berspekulasi bahwa karisma bukan menghasilkan leadership efektif, tapi sebaliknya malah benar. Orang yang menjadi leader efektif pasti akan mendapat karisma (hormat dan pesona) oleh follower-nya sebagai hasil dari kesuksesannya. 4.3.3 Ringkasan Bukti adalah jelas bahwa berdasarkan rasa hormat yang ada, leader bisa berbeda dari orang lain. Leader yang sukses adalah punya drive yang kuat, berkeinginan kuat untuk memimpin dan menggunakan power, menunjukkan kejujuran dan integritas, dan sangat konfiden. Empat karakteristik ini bisa dibilang mendasar, sehingga diragukan apakah defisiensi serius dari salahsatu sifat bisa ditutup dengan sifat lain. Sifat lain yang mendukung, meski membantu tapi tidak esensial, adalah kreativitas, fleksibilitas, dan karisma. Dengan memiliki empat karakteristik dasar ini saja tidak cukup. Leader efektif harus memiliki atau mendapatkan pengetahuan, skill dan kemampuan penting, dan aspek leadership ini akan dibicarakan di bab ini. 4.4 Pengetahuan, Skill, Dan Kemampuan Meski memiliki motif dan sifat penting yang dibutuhkan tidak lalu orang disebut leader efektif. Motif dan sifat ini membantu individu untuk mendapatkan pengetahuan dan skill yang dibutuhkan untuk merumuskan visi leader dan mengimplementasikannya. Kemampuan, termasuk kemampuan kognitif, memainkan peran penting dalam leadership. 49
4.1.1 Pengetahuan Keahlian teknologi juga membantu kemampuan leader untuk memimpin sebuah organisasi. Sebuah review ke 11 studi yang dijalankan antara 1904 dan 1947 (Bass, 1981) menemukan bahwa semua orang menyimpulkan bahwa pengetahuan khusus adalah kontributor kunci dari status leadership. Sebuah contoh korporat kontemporer dari keahlian ini adalah George N. Hatsopolous, pendiri dan direktur dari Thermo Electron Corporation. Di beberapa tahun sebelum boikot OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) tahun 1973, Hatsopolous sadar akan perlunya alat efisien-energi, dan perlunya pengetahuan teknologi thermodinamik untuk menciptakan tungku gas yang lebih efisien dan memproduksinya ketika kebutuhan akan itu muncul (Posner dan Solomon, 1988). Setelah melihat beberapa contoh keahlian teknologi, Labich mengatakan, “Apa yang tidak diketahui August Busch dari Anheuser-Busch bukanlah yang pantas diketahui” (1988). Jack Welch, direktur dari General Electric, yang mendapat Ph.D di bidang teknik, dideskripsikan sebagai “orang yang nyaman dengan teknologi” (Sherman, 1989). Leader bukan hanya memiliki pengetahuan teknologi, tapi pengetahuan ini juga terlihat oleh orang di sekelilingnya. Dalam studi leadership, Kenneth Labich 1988) menyimpulkan bahwa dengan menjadi seorang pakar (yang harus tahu tentang produk perusahaan) adalah penting bagi leadership efektif, dan ini bisa didapat lewat pengalaman. Selain membantu kemajuan teknologi di perusahaan, keahlian semacam itu membuat leader bisa memahami pertimbangan bawahan seputar isu teknis. Pemahaman ini selanjutnya meningkatkan aspek interpersonal dari leadership. Meski keahlian teknologi saja sudah cukup menguntungkan atau dibutuhkan di beberapa posisi leadership, tapi ini tidak cukup membuat orang menjadi leader efektif. Leader harus naik lewat pangkat karena pengetahuan teknis di sebuah segmen atau area tertentu, tapi ketika mereka di atas, mereka harus mengetahui beberapa area lain agar sukses. Satu studi (Yukl, 1989) menemukan bahwa manajer yang gagal berkinerja sukses cenderung menjadi spesialis karena keahlian teknisnya menjadi satu-satunya jalur untuk sukses di level bawah di manajemen. Di level atas, ini menjadi kelemahan jika manajer memimpin dengan arogan berdasarkan visi yang sempit.
50
Pengetahuan tentang organisasi dan industri sering lebih penting dibanding pendidikan formal (Gabarro, 1987; Kotter, 1988). Hanya 40 persen dari leader efektif yang dipelajari Bennis dan Nanus (1985) yang punya gelar bisnis. Menurut Kotter (1982), leader harus memiliki informasi ekstensif tentang bisnis dan organisasinya agar sukses. Studinya ke 15 manajer general yang sukses ditemukan bahwa manajer menghabiskan 81 persen karirnya di perusahaan sekarang dan 91 persen karirnya di industri sekarang, dan mengembangkan pengetahuan detailnya berdasarkan pengalaman. Dalam studi Gabarro (1987) ke 17 top manager, kurangnya pengalaman spesifik-industri adalah sebuah karakteristik dari tiga dari empat suksesi leadership gagal, tapi ini digambarkan lebih rendah dibanding separuh yang sukses. Tidak ada leader yang dipelajari Smith dan Harrison – termasuk Ray Krock (McDonald), Walt Disney (Disney), dan Tom Watson (IBM) – yang punya pelatihan formal dalam bisnis. Tapi, “setiap leader menunjukkan pengetahuan dan keahlian yang spesifik dan mendalam tentang bagaimana dan mengapa organisasi bisa sukses” (Smith dan Harrison, 1986). Keahlian inilah yang membuat mereka bisa membuat keputusan pintar dan memiliki pemahaman tentang implikasi keputusan. Pengetahuan tentang industri dan organisasi membuat seorang leader bisa menggunakan pengalaman masa lalunya untuk membuat keputusan rasional dengan cepat (Fiedler dan Garcia, 1987). Dalam cara ini, banyak perusahaan, seperti PepsiCo, mengimplementasikan program rotasi-kerja untuk memperluas pengetahuan pegawai tentang organisasi (Dumaine, 1989; Peters, 1987). Pengalaman seorang leader adalah basis pengetahuan yang bisa menstimulasi dan memperluas pemahaman bawahan tentang isu organisasi. Bass berpendapat bahwa stimulasi intelektual ini tidak menghasilkan pengetahuan, tapi juga “menggugah dan merubah follower dalam hal kesadaran masalah dan penyelesaian masalah, pikiran dan imajinasi, dan keyakinan dan nilai” (1985). Ini adalah sebuah proses yang memotivasi dan memandu bawahan. 4.1.2 Skill A. Skill Interpersonal Memiliki skill orang adalah penting karena leadership adalah sebuah hubungan yang mengandalkan interaksi antar leader dan follower agar tetap eksis. Skill 51
interpersonal dari seorang leader jelas penting dalam proses menginspirasi orang lain agar mengimplementasikan visinya. Ketidaksensitivan ke orang lain menjadi alasan utama kenapa eksekutif yang dulunya sukses menjadi gagal, seperti yang ditunjukkan di penelitian oleh Center for Creative Leadership (McCall dan Lombardo, 1983). Sebaliknya, leader yang sukses umumnya memiliki skill interpersonal yang kuat, berhubungan dengan orang lain dengan baik, dan diplomatis dan taktis (Bennis dan Nanus, 1985; Cox dan Cooper, 1988; Gabarro, 1987; Howard dan Bray, 1988; McCall dan Lombardo, 1983; Yukl, 1989). Salahsatu faktor interpersonal yang mempengaruhi kepuasan bawahan dan efektivitas leadership adalah pertimbangan yang ditunjukkan leader. Studi leadership yang dilakukan Ohio State University dan University of Michigan (Yukl, 1989) mendefinisikan pertimbangan sebagai wujud dari tindakan leader ketika • bertindak dalam cara yang ramah dan supportif; • menunjukkan peduli ke bawahan; • meningkatkan kesejahteraan bawahan; • menunjukkan kepercayaan dan konfidensi; • mencoba memahami masalah bawahan; • membantu mengembangkan bawahan dan meningkatkan karirnya; dan • membuat bawahan menjadi pintar. Skill interpersonal lainnya juga penting dalam upaya leader mengkomunikasikan visinya, membuat orang lain bergabung ke networknya, dan memperoleh dukungan dari anggota kelompok. Skill ini bisa meliputi: • mendengar; • komunikasi lisan; • membangun-network; • manajemen konflik, dan • menilai diri dan orang lain (Bray, Campbell, dan Grant, 1974; Dunnette, 1971; Kotter, 1982; Yukl, 1989). Skill mendengar membantu leader membangun kepercayaan lewat komunikasi formal dan informal dengan orang lain. Karena skill mendengar ini membuat leader menggunakan ide dan pengalaman orang lain sebagai sumberdaya informasi, maka mendengar menjadi alat mengumpulkan informasi guna mengembangkan visi, memotivasi follower, dan mengembangkan strategi yang cocok (Bennis dan Nanus, 1985; Kouzes dan Posner, 1987). Mendengar juga 52
menjadi mekanisme untuk menerima feedback dari bawahan tentang cara pandang leader. Peters (1987) menyarankan agar leader di semua level di sebuah organisasi melakukan usaha mendengar pegawainya dan memadukan dan menindaklanjuti informasi yang diterimanya. Dia mengatakan, “jika bicara dan memberikan perintah adalah model administratif yang digunakan selama 50 tahun terakhir, mendengar (bagi banyak orang yang di dekat aksi) adalah model 1980-an dan seterusnya”. Mendengar adalah sebuah skill interpersonal esensial untuk seorang manajer baru. Manajer baru belajar tentang organisasi dengan cara ini, dan bawahan menghormati minat leader ke informasi bawahan. Manajer baru harus menggunakan skill mendengar untuk meraih keuntungan bagi dirinya dan bawahannya. “Mendengar Aktif” banyak digunakan oleh leader efektif. Mendengar aktif ini melibatkan proses pengulangan kata dan/atau menginterpretasikan apa yang dikatakan orang lain sehingga mereka yakin bahwa pesan bisa diterima (Gordon, 1977). Contoh sederhana dari ini adalah: Pengirim pesan: Apa yang harus dirubah di sini? Pendengar: Kamu sepertinya sedang bingung. Pengirim pesan bisa memilih mendukung atau mengkoreksi interpretasi pendengar, tapi yakin bahwa pendengar sedang mendengarkannya. Gordon (1977) mengatakan bahwa mendengar aktif bisa digunakan untuk: • menenangkan diskusi panas sehingga isu dasarnya bisa diungkap; • menentukan dan menyelesaikan pertimbangan personal dari bawahan; dan • mengajar bawahan agar lebih efektif dengan menciptakan sebuah lingkungan yang empatik dan menerima. Skill komunikasi oral berkorelasi signifikan dengan kesuksesan manajerial di AT&T (Howard dan Bray, 1988). Leader sukses umumnya bisa • berbicara lancar (Boyatzis, 1982; Yulk, 1989), • memiliki suara yang menyenangkan (Bass, 1981), • memiliki skill debat yang unggul (Bass, 1985), dan • menunjukkan konfidensi lewat tekanan suara (Stogdill, 1974). 53
Contoh dari ini bisa dilihat di antara anak kecil yang menjadi leader dari temantemannya. Untuk menguatkan pentingnya skill komunikasi lisan bagi leadership efektif, Bennis dan Nanus (1985) menambahkan bahwa “manajemen makna, dan penguasaan komunikasi, tidak bisa dipisahkan dari leadership efektif”. Kemampuan seorang leader untuk mengkomunikasikan pesan bisa sama pentingnya seperti pesan itu sendiri. Ronald Reagan, contohnya, memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan topik abstrak yang menggunakan contoh konkrit yang bisa dipahami publik. Di lain pihak, meski Jimmy Carter dianggap sebagai salahsatu presiden yang berinformasi, dia bukanlah komunikator yang impresif (Bennis dan Nanus, 1985). Reagan bisa terpilih lagi, tapi Carter tidak. Salahsatu skill interpersonal yang menjadi karakteristik leader adalah ekspresivitas dalam berkomunikasi dengan orang lain. Ekspresivitas kadang disebut karisma, tapi tidak perlu melibatkan tampilan emosi kuat seperti yang diinginkan karisma. Ekspresivitas ini melibatkan penyajian informasi dalam cara yang mendorong dan memotivasi follower dengan menindaklanjuti minat dan kebutuhan mereka, bukan sekadar memenuhi emosi mereka. Komunikasi efektif tidak hanya dibatasi oleh skill komunikasi verbal. Bill Moog, produsen sukses suku cadang pesawat di Moog, Inc., dideskripsikan oleh Bennis dan Nanus (1985) sebagai orang yang taktis. Ketika Moog ditanya bagaimana cara dia berkomunikasi, dia menjawab “bahwa dia hanya merasakan sesuatu dengan kuat, sehingga orang juga merasakannya. Dia tidak tahu bagaimana caranya atau mengapa. Dia tinggal memahami sesuatu itu dari waktu ke waktu, dan membuat modelnya. Dia memperlihatkan model itu ke organisasi. Bila digambarkan dalam grafik, semua orang bisa mengerti”. Leader efektif menggunakan banyak jenis teknik komunikasi, seperti metafora, slogan dan model – untuk menjelaskan visinya. Pembentukan network adalah skill interpersonal lain dari leader efektif. Dalam transisi manajerial, determinant suksesnya adalah kualitas hubungan kerja manajer dengan tiga faksi, yaitu bawahan, rekan dan supervisor. Gabarro (1987) menemukan bahwa leader yang sukses memiliki hubungan interaktif dengan organisasi lewat pertemuan kelompok dan penggunaan gugus tugas, yang 54
menghasilkan banyak interaksi. Ini nantinya bisa menguatkan pentingnya membentuk network bila leader ingin sukses. Pembentukan-network adalah hal penting di luar dan di dalam organisasi. Pembentukan-network eksternal bisa memberikan pengetahuan ekstensif bagi top manager tentang apa yang terjadi di industri dan tentang siapa yang punya keahlian di setiap aspek bisnis dan lingkungan bisnis (Kotter, 1982). Skill dari networking bisa dikonsepkan sebagai pembentukan sistem rute dagang untuk mendapat informasi dan power yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sesuatu (Kaplan dan Mazique, 1983). Hubungan networking didasarkan pada prinsip resiprokitas antar leader di posisi lateral. Aliansi networking bisa dibentuk lewat kontak umum atau sejarah personal, tapi ini bisa bertahan karena setiap pihak yang terlibat memiliki power untuk menyelesaikan sesuatu yang dibutuhkan orang lain di waktu sekarang atau mengantisipasi kebutuhan itu di masa depan. Keuntungan yang didapat dari pertukaran networking bisa meliputi: • informasi eksklusif atau pakar, • koneksi ke pihak lain, • pengaruh dalam pembentukan dukungan, dan • input untuk membuat keputusan. Skill manajemen-konflik sering dibutuhkan oleh pihak yang berada di posisi leadership ketika mereka diminta menyelesaikan perselisihan antara bawahan atau antar beragam faksi di organisasi. Sifat stabilitas emosional juga masuk pertimbangan di situasi ini. Kebutuhan untuk skill penyelesaian-konflik dideskripsikan oleh David L. Birch, direktur Cognetics dan direktur MIT’s Program on Corporate Change and Job Creation, sebagai berikut: Satu hal yang harus dipertimbangkan adalah menjadikan perusahaan sebagai sebuah masyarakat. Orang bisa datang bekerja, melakukan kerja, dan pulang. Pimpinan tidak perlu menggunakan waktu untuk menemukan friksi di sistem. Semuanya berlangsung positif, dan semua kepentingan seimbang (1989). Skill orang yang penting lainnya adalah penilaian, baik ke skill sendiri dan skill orang lain. Penilaian bisa mempermudah penggunaan maksimum dari skill dari 55
pegawai, dan menghasilkan pembentukan tim yang sukses (Bennis dan Nanus, 1985; Kouzes dan Posner, 1987). Penilaian ke orang lain dibutuhkan untuk menempatkan orang yang benar dalam posisi yang benar, dan mengetahui apa yang dianggap individu sebagai menantang. Untuk membantu penempatan yang benar, seorang leader harus menemukan: • harapan individu terhadap organisasinya; • apa yang diinginkan individu untuk meraih keuntungan dari pengalaman kerja; dan • kebutuhan, nilai, kekuatan dan kelemahan individu. Beverly Ann Scott, manajer pengembangan-organisasi di McKesson, memberitahu bahwa untuk membuat orang mendukung visinya, leader harus “mengenal follower-nya dan berbicara dengan bahasa mereka” (Kouzes dan Posner, 1987). Leader efektif adalah yang sensitif ke follower. “Sebagian besar leader bisa gagal atau sukses dengan kemampuannya untuk mengenal dan memahami orang yang bekerja dengannya. Anda bisa mendapat hasil dari usaha anda lewat orang lain, sehingga anda sangat sensitif ke setiap orang dan ke kebutuhan mereka”, kata Russ Barnett, direktur manajemen dari MetroBrick di Australia Barat (Kouzes dan Posner, 1987). Leader efektif juga tahu kekuatan dan kelemahannya. Ini penting untuk membangun tim top management, karena kelemahan leader harus ditutup oleh kekuatan pendukung lainnya (Hambrick, 1987). Leader bisa mendelegasikan tugas secara tepat ke bawahan kompeten. Ini membangun rasa percaya antara bawahan dan leader, meningkatkan otonomi bawahan, dan mengembangkan skill bawahan. B. Skill dan Kompetensi Manajemen Skill administratif adalah keahlian penting dalam menjalankan fungsi manajemen tradisional yang membantu aktivitas harian dari sebuah organisasi. Skill ini bisa berisi penyelesaian masalah, pembuatan keputusan, penetapan tujuan, dan perencanaan (Boyatzis, 1982; Howard dan Bray, 1988; Kotter, 1982). Ketika mengimplementasikan sebuah visi, dan membantu perwujudan visi ke aktivitas harian organisasi, seorang leader sering menjalankan peran administratif atau 56
manajemen. Skill administratif tidak sama seperti gaya manajemen. Mereka adalah kompetensi yang membuat leader melakukan tugas dengan gaya apapun. Studi Michigan klasik (di Yukl, 1989) mempelajari peran leader efektif dan tidak efektif dalam meraih produktivitas kelompok. Leader efektif sering berkonsentrasi pada perilaku berorientasi-tugas, seperti perencanaan dan penjadwalan kerja, mengkoordinasi aktivitas bawahan, dan memberikan bantuan dan sumberdaya teknis. Bawahan sering dipandu ke setting tinggi tapi dengan tujuan kinerja yang realistik. Kemampuan administratif (berdasarkan ukuran dalam organizing, planning, dan decision-making) ditemukan oleh Howard dan Bray (1988) menjadi prediksi dari kesuksesan manajerial, dan Cox dan Cooper (1988) melaporkan bahwa direktur manajemen yang sukses di United Kingdom secara konsisten menunjukkan skill dalam penyelesaian masalah dan pembuatan keputusan. Skill penyelesaian masalah dan pembuatan keputusan berhubungan erat dengan aktivitas konseptualisasi kognitif. Ini ditentukan oleh kemampuan leader untuk memahami situasi dan menentukan wacana aksi yang tepat. Dengan memiliki wawasan, leader bisa mengatasi “jantung leader” (Hickman dan Silva, 1984). Dalam cara ini, dampak masalah masa depan bisa dilemahkan atau dihindari. Leader yang berpengalaman di sebuah perusahaan atau industri sering menggunakan intuisi (atau pengetahuan setengah-sadar berdasarkan pengalaman masa lalu) untuk menyelesaikan masalah. Masalah yang lebih bisa dilacak membutuhkan teknik lebih formal, seperti metode analisis-masalah dari Kepner dan Tregoe (1981). Kluster skill manajemen-efektif yang dikembangkan oleh Boyatzis (1982) menggunakan skill dalam penyelesaian masalah, termasuk pikiran logis dan konseptualisasi. Ackoff (1978) mengatakan bahwa menyelesaikan masalah yang tidak terstruktur memaksa leader dan manajer memeriksa secara konstan asumsi tentang faktor seperti: • apa yang sebenarnya menjadi masalah; • apa yang diinginkan orang sebagai hasil; • apa fakta yang ada; • apa penyebabnya (lawan dari korelasi); 57
• apa skop aktual dari masalah; dan • apa solusinya. Penyelesaian masalah kreatif membutuhkan pikiran di luar skop asumsi normal (yaitu, memikirkan “di luar kotak”). Pembuat keputusan efektif cenderung menggunakan prosedur yang berbeda dari pembuat keputusan tidak efektif. Keputusan yang lebih baik perlu dibuat, tambah Wheeler dan Janis (1980), ketika leader dan manajer (tidak termasuk follower): • menerima tantangan (bukan menyangkal masalah); • memberikan solusi yang pantas untuk dipertimbangkan; • mengevaluasi setiap alternatif yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai; • mengkomitmenkan diri ke wacana aksi tertentu setelah mempertimbangkan alternatif; dan • mengatasi kelemahan secara konstruktif, seperti mengimplementasikan rencana kontingensi atau mendiagnosa alasan gagal. Vroom dan Jago (1988) berpendapat bahwa leader dan manajer efektif lebih cenderung daripada leader kurang efektif menggunakan partisipasi bawahan secara tepat ketika membuat keputusan. Efeketivitas partisipasi bawahan dipengaruhi oleh: • pengetahuan bawahan yang relevan dengan isu yang dimaksud; • kemauan bawahan untuk sharing dengan nilai organisasi; • cukupnya waktu untuk melibatkan bawahan secara tepat; dan • apakah bawahan cenderung menolak solusi kecuali dimintai konsultasi. Seni melibatkan bawahan ini, seperti skill manajemen, bisa diperoleh lewat pelatihan. Penetapan tujuan adalah skill administratif atau manajemen lain yang bisa dilihat di leader efektif (Gardner, 1986-88; Kotter, 1982; Locke dan Latham, 1984, 1990). Dalam studinya tentang manajer yang kompeten, Boyatzis (1982) menggunakan skill menetapkan tujuan yang “menantang tapi realistik” sebagai karakteristik manajer yang memiliki orientasi efisiensi – sebuah pertimbangan untuk melakukan sesuatu secara lebih baik. Memiliki skill untuk menentukan tujuan kelompok dan individu, dan membantu pencapaian, adalah hal penting bagi implementasi sebuah visi. 58
Perencanaan adalah sebuah penetapan tujuan. Ini mengidentifikasi sarana untuk mencapai tujuan. Entrepreneur Steve Bostic, dari American Photo Group, tidak percaya bahwa kesuksesan bisnis membutuhkan bakat khusus untuk karisma. Dia percaya bahwa kesuksesan membutuhkan “hasrat ke perencanaan” (dikutip dalam Gendron dan Burlingham, 1989). Menurut pemikir manajemen-srategis terkemuka, perencanaan yang baik meliputi: • orientasi masa depan; • interaksi dan komunikasi ekstensif antar anggota organisasi; • analisis sistematik dan komprehensif ke kekuatan dan kelemahan organisasi; • analisis peluang dan ancaman yang dihadapi organisasi; • definisi jelas ke aturan dan fungsi yang dimainkan semua anggota dan departemen; dan • alokasi sumberdaya yang tepat untuk mendukung rencana (Lorange dan Vancil, 1977; Steiner, 1969). 4.4.3 Kemampuan Kemampuan kognitif (intelejensi) adalah sebuah aset bagi leader karena leader harus mengumpulkan, memadukan, dan menginterpretasikan banyak informasi. Meski jika menggunakan komputer, yang dikenal di jaman sekarang, pengolahan informasi masih membutuhkan kemampuan kognitif intensif. Kebutuhan akan kemampuan kognitif bisa bertambah seiring cepatnya laju perubahan teknologi. Leader membutuhkan level kemampuan yang tinggi untuk merumuskan strategi yang cocok, menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan yang tepat. Leader sering digambarkan sebagai orang pintar dan berskill konseptual (Boyatzis, 1982; Yukl, 1989). Kotter mengemukakan perlunya seorang leader untuk memiliki “pikiran yang baik” (1982, 1988), yang berarti harus memiliki • kemampuan analitik yang kuat, • penilaian yang baik, • kapasitas untuk berpikir strategis, • kemampuan berpikir multidimensi, dan • “intelejensi di atas rata-rata”, bukan jenius.
59
Korelasi antara intelejensi individu dan apakah mereka bisa dianggap leader adalah signifikan statistik menurut Lord, De Vader, dan Alliger (1986). Mereka menyimpulkan bahwa “intelejensi adalah karakteristik penting dalam memprediksi persepsi leadership”. Intelejensi (bisa diukur lewat uji kertas-pensil ke kemampuan verbal dan kuantitatif, alasan logis, dan urusan yang ada) bisa menjadi kemampuan kognitif yang bisa memprediksi kesuksesan manajerial (Howard dan Bray, 1988). Lebih spesifik, Boyatzis (1982) menemukan bahwa manajer efektif bisa menunjukkan kemampuan lebih besar untuk mengemukakan alasan secara induktif dan deduktif, dibanding manajer yang tidak efektif. Intelejensi bisa menjadi sifat yang dicari follower di dalam seorang leader. Jika seseorang harus memimpin, follower ingin agar orang tersebut mampu setidaknya dalam beberapa hal dibanding lainnya. Karena itu, persepsi follower akan kemampuan kognitif dalam seorang leader bisa memberikan sumber legitimasi bagi leader dan otoritas pakar di dalam hubungan leader-follower. Kemampuan kognitif sebagian ditentukan oleh keturunan. Ini memunculkan kemungkinan bahwa ini bisa dikembangkan lebih jauh lewat upaya dan persistensi. Meski potensi kemampuan intelektual ini bisa diwariskan, apa yang dilakukan dengan potensi itulah yang menentukan level intelejensi dan pencapaian seseorang. 4.4.4 Ringkasan Pentingnya pengetahuan, skill dan kemampuan seorang leader untuk efektivitasnya dijelaskan secara intuitif dan empiris. Ini berisi keahlian teknologi, pengetahuan industri, skill orang, skill administratif, dan skill kognitif. Lewat inilah, kompetensi personal dari leader bisa berkembang untuk mengimplementasikan visinya. Sumber : Hasil Kajian LPTP – FIA – UB dalam Domai T. Kepemimpinan. FIA – UB. • • •
60
Adair John (1987). Effective Leadership. Penerbit Bahasa Prize. Semarang. As’ad M. (1992). Kepemimpinan Efektif dalam Perusahaan. Penerbit Liberty. Yogyakarta. Bass (1985 – 1990). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence of Leadership.
•
•
•
•
•
• •
•
•
•
Bass (1985); Burns (1978); Tichy dan Devanna (1986). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Bass (1990); Kottler (1988); H.R. Perrot (Munsey, 1990); Burns (1978). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Bennis W. Burt Nanus (1985). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Boyatzis (1982); Mc Cell dan Lombardo (1983); Bentz (1967). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Cox dan Cooper (1988); Howard dan Bray (1988). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Domai, T. (2010). Kepemimpinan : Petunjuk Mutakhir untuk Mengembangkan Kemampuan dalam Memimpin. Buku Ajar FIA-UB. Malang. Dumaine (1989); Posner dan Solomon (1988). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Farnham (1989). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Fiedler dan Garcia (1987); Bray, Campbell dan Grant (1974); Dunnette (1971); Kotter (1982); Yukl (1989); Peters (1987); Gordon (1977); Stogdill (1974). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Gabarro (1987). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. 61
•
•
•
•
• •
•
•
•
•
62
Howell dan Frost (1989); House, woycke dan Fodor (1987); Buss (1985); Bennis dan Nanus (1985). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. John Gardner (1986 – 1988). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Ken G. Smith dan Kline Harrison, Walt Disney (1986). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Koplan dan Mazique (1983); David L. Birch (1989); Gardner (1986 – 1988); Locke dan Latham (1984 – 1990); Gendron dan Burlingham (1989); Lorange dan Vencil (1977); Steiner (1969); Lord, De Vader dan Alliger (1986). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Kotter (1990). Dikutip Domai T. dalam Bahan Ajar Kepemimpinan Sektor Publik. FIA – UB. Malang Kouzes dan Posner (1987); Bentz (1967); Huey (1989); Petter (1987). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Lord, de Vader, dan Allinger (1986). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Mao Zedung (2010). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Mc Clelland (1965). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Mc Clelland dan Burnham (1976); House (1988); House, Woycke dan Fodor (1987); Miner (1978); Srivostua dan Associates (1986). Dikutip Edwin A. Locke
•
•
• •
•
•
•
• •
•
dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Mintzberg H. (1973). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Munsey (1990); De La Croix (1962); Tom Watson (1987). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Pamudji S. (1986). Kepemimpinan Pemerintah di Indonesia. Penerbit PT. Bina Aksara. Jakarta. Posner dan Solomon (1989); Agust B (1988); Jack Welch (Sherman, 1989); Kenneth Labich (1988). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Richard Bayetzis (1982). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Schriesheim et al (1983). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Stewart B. Jr (Girard, 1989), Maddi dan Kobasa (1984); Labich (1988). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Wahyo Sumidjo (2000). Teori Kepemimpinan dan Dasar-Dasar Manajemen. Lembaga Administrasi Negara. Jakarta. Watson, Ray Kack, Charles Revson (Smith dan Horrison, 1986), Friedman at al., (Kouzes dan Posner, 1987). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Wexley dan Yukl (1989). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill 63
• •
•
64
Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Widjaja A.W. (1985). Pola Kepemimpinan dan Kepemimpinan Pancasila. Penerbit Armico. Bandung. Yukl (1989). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney. Zaleznik A. (1989); Soicho Honda (1989); Hickman dan Silva (1984). Dikutip Edwin A. Locke dalam The Essence at Leadership. Laxington Book An Imprint of Macmillan. Inc New York. Maxwill Macmillan. Canada, Toronto. Maxwell MacMillan International New York, Oxford, Singapore, Sydney.
BAB V KEPEMIMPINAN YANG FLEKSIBEL Tim LPTP FIA - UB Tinjauan mengenai kepemimpinan yang flesibel, kiranya tidak terlepas dari pembahasan tentang latar belakang kepemimpinan dan situasi kepemimpinan. Oleh sebab itu pada bagian ini akan ditinjau mengenai situasi kepemimpinan dan baru kemudian akan ditinjau tentang kepemimpinan yang fleksibel. 5.1 Situasi Kepemimpinan 5.1.1 Pengertian Seorang pemimpin, selalu dihadapkan kepada situasi tertentu (Alan, 1969), dengan kata lain ia tidak dapat melepaskan dirinya dari pengaruh situasi. Situasi yang selalu dihadapi pimpinan inilah yang dimaksud dengan situasi kepemimpinan. Apabila diamati maka situasi itu selalu berbeda-beda, terus berubah baik kualitatif maupun kuantitatif, baik keadaan maupun macamnya, baik ruang maupun waktu Jayadiatma (1972). Apabila dipelajari maka perbedaan serta perubahan itu timbul karena perubahan atau perbedaan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap situasi. Adapun faktor-faktor itu terletak pada pimpinan sendiri, pada bawahannya dan yang berbeda di luar kedua faktor tersebut Filley (1969). Kalau kita tinjau lebih mendalam isi dari setiap faktor tersebut adalah sebagai berikut : A. Faktor yang ada pada pimpinan : 1. Kemampuan serta sikap kepribadian Kemampuan berkaitan dengan intelegensia, pendidikan dan pengalaman. Sedangkan sikap kepribadian ialah perpaduan dari macam-macam faktor dalam imbangan tertentu yang telah memola pada diri manusia tertentu. 2. Macam kebutuhan yang dituntut 3. Fungsi dan tugasnya a. Kekuatan pemimpin untuk merasakan pengaruh dari keputusankeputusannya terhadap bawahannya
65
b. Tingkat kepercayaan pimpinan terhadap bawahannya dalam menyelesaikan tugas pekerjaan c. Kemampuan pimpinan untuk mempertimbangkan tingkat kemampuannya dengan tingkat kemampuan bawahannya d. Kecenderungan pimpinan untuk sukses, yang menyangkut macammacam jabatan atau tugas yang disenanginya e. Ketenangan pemimpin dalam menghadapi semua masalah yang ada B. Faktor kekuatan yang ada pada bawahan 1. Macam atau besarnya kebutuhan atau tuntutan bawahan 2. Tingkat kemampuan bawahan, baik yang menyangkut intelegensia, pendidikan, pengetahuan atau pengalaman secara individual maupun yang berhubungan dengan kelompok 3. Besar kecilnya tanggung jawab, sikap toleransi, pengertian atau dukungan terhadap suksesnya tujuan organisasi 4. Kekompakan dalam bekerjasama, baik untuk menghadapi pekerjaan rutin maupun yang insidentiil C. Faktor kekuatan diluar pimpinan dan bawahan 1. Tipe Organisasi Tipe organisasi itu berbeda-beda karena faktor-faktor sebagai berikut : a. Ukuran pekerjaan : - Jumlah atau besarnya beban pekerjaan - Macam atau jenis pekerjaan, dan sebagainya b. Tempat kerja: - Apakah tersebar atau berjauhan - Apakah terkumpul atau sentralisir - Atau apakah gabungan antara tersebar dan terkumpul 2. Apakah waktu yang tersedia untuk penyelesaian sesuatu tugas pekerjaan cukup panjang atau mendesak. Penggabungan ketiga faktor kekuasaan inilah yang merupakan ciri atau bentuk dari situasi itu, sehingga dapat selalu berubah dan berbeda-beda. Apabila salah satu faktor saja berubah, maka berubahlah wajah dari model komposisinya. Situasi kepemimpinan yang diuraikan tersebut di atas hanya untuk menggali isi masing-masing faktor, belum lagi mempelajari interaksi dari ketiga
66
faktor tersebut karena menurut pengamatan ketiga faktor tersebut mempunyai hubungan saling pengaruh Filley (1969). Interaksi ketiga faktor inilah yang membuat situasi kepemimpinan selalu unik. Oleh karena cakupannya sangat luas maka situasi kepemimpinan bersifat multidimensional Filley (1969). Dari uraian tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa situasi kepemimpinan itu memiliki karakteristik sebagai berikut : A. Bersifat multidimensi selalu berubah-ubah dan berbeda-beda. B. Sesuai dengan faktor-faktor kekuatan yang ada pada pemimpin, bawahan dan diluar kedua faktor tersebut. C. Karena macam-macam karakteristik yang dimiliki oleh pemimpin, bawahan, dan diluar kedua faktor tersebut maka karakteristik situasi kepemimpinan juga demikian, karakteristik yang dimaksud itu meliputi antara lain tingkat kemampuan, pengetahuan, pengalaman, prestasi dari pemimpin dan bawahan maupun jenis-jenis dan besarnya tugas pekerjaan yang dihadapi dan sebagainya. D. Situasi kepemimpinan juga ditentukan oleh efek dari interaksi ketiga faktor tersebut, baik yang berkenaan dengan hubungan antara pemimpin dengan bawahan, sesama bawahan dan sebagainya. Situasi yang demikian selalu dihadapi oleh seorang pimpinan lalu situasi kepemimpinan yang bagaimanakah yang menguntungkan atau yang tidak menguntungkan bagi si pemimpin. Untuk itu perlu diketahui mudah tidaknya si pemimpin menggunakan atau mempraktekkan kekuasaan atau pengaruhnya terhadap bawahannya Fiedler dan Chamers (1974). Diakui bahwa seorang pemimpin secara relatif akan mudah mempengaruhi bawahannya bila bawahannya merasa suka, loyal, percaya kepadanya dan mau dipimpin oleh pemimpin yang bersangkutan. Sebaliknya pemimpin akan sukar mempengaruhi bawahannya bila bawahannya merasa tidak suka, tidak loyal, tidak percaya atau tidak mau dipimpin oleh pemimpin yang bersangkutan Fiedler dan Chamers (1974). Oleh karena itu apabila bawahan mudah dipengaruhi maka pemimpin mudah mendapat dukungan dari bawahannya untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas bersama mereka Filley (1969). Jadi jika pimpinan mudah mendapat dukungan dari bawahannya maka yang dihadapi adalah situasi yang menguntungkan baginya, sebaliknya bila 67
sulit untuk mendapatkan dukungan dari bawahannya maka situasi kepemimpinan yang sedemikian lalu menjadi kurang atau tidak menguntungkan baginya. Faktor yang dikemukakan di atas merupakan faktor yang pertama yang dapat menentukan apakah situasi kepemimpinan itu menguntungkan atau tidak menguntungkan bagi pemimpin. Sedangkan faktor yang kedua yang menentukan apakah situasi kepemimpinan itu menguntungkan atau tidak ialah susunan tugas pekerjaan Fiedler (1974). Apabila susunan dan pembagian tugas itu teratur dan jelas maka pemimpin dapat lebih mudah untuk memimpin dan mengawasi bawahannya Filley (1969), sebaliknya apabila susunan dan pembagian tugas itu kabur, tidak teratur akan menyulitkan pemimpin untuk memimpin. Jadi jika susunan tugas itu baik maka situasinya menguntungkan bagi si pemimpin, sebaliknya jika susunan tersebut kurang baik maka situasi tersebut kurang menguntungkan bagi si pemimpin yang bersangkutan. Faktor yang ketiga ialah kewenangan untuk memberikan penghargaan atau hadiah dan kewenangan untuk memberikan peringatan, teguran atau hukuman. Pemimpin yang mempunyai kewenangan untuk memberikan penghargaan dan hukuman, pasti mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pada pemimpin yang tidak mempunyai kewenangankewenangan itu Fiedler (1974). Dengan kewenangan itu ia cenderung akan dapat menyelenggarakan kegiatannya dengan lebih baik, karena dalam kedudukannya ia mempunyai kekuasaan atau kewenangan yang secara hukum sah Fiedler (1974). Dengan demikian jelaslah bahwa ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap situasi kepemimpinan. Faktor yang menentukan apakah situasinya menguntungkan, kurang atau bahkan tidak menguntungkan bagi pemimpin, pertama ialah hubungan pimpinan dengan bawahannya, kedua susunan tugas pekerjaannya dan ketiga besarnya hak kekuasaan untuk memberikan hadiah atau penghargaan dan hukuman Fiedler (1974). Berdasarkan uraian tersebut di atas dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut : A. Ada tiga macam faktor yang berpengaruh terhadap kepemimpinan, yaitu hubungan pimpinan dengan bawahannya, struktur atau tugas pekerjaan dan besarnya hak kekuasaan dari seorang pemimpin. 68
B. Paduan komposisionil dari ketiga faktor itu akan mempengaruhi sifat kepemimpinan, sehingga dapat menguntungkan, kurang atau tidak menguntungkan bagi pemimpin. C. Apabila hubungan pimpinan dan bawahannya baik maka pemimpin akan dapatlah lebih mudah meminta atau memerintah bawahannya untuk melaksanakan tugas tertentu, sebaliknya jikalau hubungan itu tidak baik maka bagaimanapun juga pemimpin akan sulit atau kurang mampu untuk menggerakkan bawahannya. Demikian pula halnya dengan susunan tugas pekerjaan dan tanggung jawab. Bila tugas dan tanggung jawab tersusun dengan baik dan jelas, maka si pemimpin cenderung lebih mudah memberikan instruksi, perintah dan sebagainya kepada bawahannya. Sebaliknya apabila susunan tugas pekerjaan tiada atau kurang teratur maka pemimpin akan cenderung lebih sulit mempengaruhi bawahannya. Kemudian wewenang atau kekuasaan pemimpin seharusnya diberikan oleh atau berasal dari organisasi. Seseorang pemimpin yang mempunyai kewenangan yang sah menurut hukum untuk memberikan penghargaan atau ganjaran dan hukuman, akan cenderung lebih mempunyai kemampuan untuk memimpin. Demikianlah gambaran tentang situasi kepemimpinan yang selalu dihadapi oleh pemimpin. Situasi kepemimpinan itu dapat dilihat dari dua pendekatan, pertama dari faktor-faktor yang intern dari pemimpin, bawahan, dan organisasi atau lingkungan dan kedua dari sifat situasi kepemimpinan itu menguntungkan atau tidak menguntungkan bagi si pemimpin. 5.1.2 Perlunya Memahami Situasi Kepemimpinan Seperti yang telah dikemukakan di atas secara ringkas pengertian situasi kepemimpinan. Pada bagian ini akan digali lebih mendalam perlunya memahami situasi kepemimpinan yang dihadapi terutama bagi pemimpin. Menurut pengamatan baru pada akhir-akhir ini tumbuh perhatian untuk mempelajari kepemimpinan dari sudut tinjauan situasi Tjokroamidjojo (1974). Dalam penyelenggaraan kepemimpinan nampaknya belum begitu dipahami segisegi dan liku-liku serta nilai yang terkandung didalam situasi kepemimpinan itu. Pada hal seorang pemimpin yang ingin sukses selalu perlu memperhatikan dan mempertimbangkan situasi kepemimpinan dalam pelaksanaan tugasnya. Oleh 69
sebab itu seorang pemimpin harus mampu memahami situasi kepemimpinan Tjokroamidjojo (1974). Melalui pemahaman situasi tersebut seorang pemimpin akan dapat menentukan sifat atau tipe kepemimpinannya yang tepat dengan pengharapan akan mencapai hasil yang lebih besar Tannenbaum (1967). Dengan kata lain pemahaman terhadap situasi kepemimpinan akan lebih memudahkan bagi pemimpin untuk menentukan cara kepemimpinan yang relatif lebih sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Tanpa pemahaman akan sulit dan malahan tidak mungkin bagi pemimpin untuk menentukan sifat atau cara kepemimpinan yang paling efektif. Dari tinjauan tersebut di atas, dapatlah kiranya dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: A. Usaha pemahaman situasi kepemimpinan untuk menentukan sifat atau cara kepemimpinan yang diharapkan lebih tepat dan lebih baik daripada tanpa pemahaman atau kurang paham. B. Pemahaman terhadap situasi kepemimpinan, memberikan kemungkinan kepada pemimpin untuk mengetahui relatif lebih jelas faktor-faktor penunjang dan penghambat kepemimpinan. Dengan demikian diharapkan bahwa tindakannya akan lebih baik, lebih mengarah dan lebih tepat. 5.2 Kepemimpinan Yang Fleksibel 5.2.1 Pengertian Mula-mula banyak para ahli yang menyatakan bahwa seorang pemimpin itu sukses menurut situasi yang cocok bagi pemimpin yang bersangkutan, sedangkan terhadap situasi yang lain mungkin sekali pemimpin itu akan gagal Scott (1967). Jadi seorang pemimpin dapat sukses pada situasi yang satu tapi tidak sukses atau gagal pada situasi yang lain. Masalah inilah yang menghantui setiap penyelenggaraan kepemimpinan. Pemimpin memang dapat gagal apabila ia tidak merubah-rubah metode kepemimpinannya sesuai dengan perubahan situasi. Menurut pengamatan sementara ini, kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang sesuai dengan situasi yang diharapi. Dalam kepemimpinan yang sedemikian pemimpin yang bersangkutan mau dan mampu merubah metode kepemimpinannya sesuai dengan tuntutan situasi. Dengan kata lain ia harus fleksibel Jayadiatma, (1972). Dengan demikian dapat dikukuhkan bahwa 70
tipe atau kepemimpinan yang fleksibel merupakan salah satu syarat yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh pemimpin dalam mengelola organisasinya. Jadi kepemimpinan yang fleksibel itu bila pemimpin telah mempelajari situasi kepemimpinan yang dihadapinya, baik yang ada pada dirinya sendiri, pada bawahannya, organisasi, lingkungan dan sebagainya. Setelah dipertimbangkan barulah ditetapkan sifat atau kepemimpinan yang cocok dan tepat dengan situasi yang ada. Apabila nanti situasi berubah lagi, pemimpin harus merubah lagi gaya atau corak kepemimpinannya demikian seterusnya. Dengan perkataan lain, untuk menguasai situasi ia harus mampu merubah metode kepemimpinannya, dengan demikian metode kepemimpinannya tidak boleh statis melainkan harus berubah-ubah menurut kebutuhan situasi. 5.2.2 Ruang Lingkup Kepemimpinan Yang Fleksibel Corak kepemimpinan seorang pemimpin dapat diamati melalui kegiatankegiatan atau tindakannya. Tindakan pemimpin tentunya bersumber dari pendekatan yang digunakan. Dengan demikian perbedaan kepemimpinan timbul karena perbedaan dalam pendekatan yang digunakan Abdurrahman (1971). Pada umumnya kegiatan kepemimpinan bertujuan untuk menyelesaikan tugas pekerjaan dan menciptakan kepuasan dari pada anggotanya. Dua macam tujuan inilah yang kemudian menentukan ciri macam-macam corak kepemimpinan. Apabila tujuan kepemimpinan hanya untuk menyelesaikan tugas saja, dan hanya menuruti kehendak pemimpin, jadi segala sesuatunya ditentukan pemimpin, maka corak kepemimpinan yang demikian disebut kepemimpinan yang otokratis. Tetapi apabila kewenangan itu lebih banyak diserahkan kepada bawahan maka corak kepemimpinan itu disebut kepemimpinan yang demokratis. Diantara kedua bentuk ekstrim dari kepemimpinan itu ada beberapa corak kepemimpinan, kesemuanya tersusun dalam satu kontinum Abdurrahman (1971). Kontinum itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Apabila susunannya dimulai dari kepemimpinan yang otokratis, dimana kekuasaan terpusat pada pemimpin, maka kekuasaan itu semakin berkurang atau melanggar apabila semakin banyak kekuasaan yang diserahkan kepada bawahan. Apabila kekuasaan itu semakin banyak diserahkan kepada bawahan tentunya kekuasaan pemimpin semakin 71
sedikit. Apabila semakin besar kekuasaan diserahkan kepada bawahan maka sampailah kepada corak kepemimpinan yang ekstrim demokratis. Dalam tulisan ini akan dicoba menghubungkan corak-corak kepemimpinan itu dengan situasi kepemimpinan. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa situasi kepemimpinan tertentu menuntut corak kepemimpinan tertentu. Kini yang menjadi persoalan adalah ialah corak kepemimpinan yang bagaimana yang cocok untuk dipakai dalam situasi kepemimpinan tertentu Tannenbaum (1967). Menentukan corak kepemimpinan untuk suatu situasi tertentu berikut faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dan diperhitungkan inilah yang menjadi ruang lingkup pembahasan kepemimpinan yang fleksibel ini. Sehubungan dengan itu maka di bawah ini akan ditinjau gejala-gejala kepemimpinan yang dituntut oleh situasi kepemimpinan. Adapun gejala-gejala kepemimpinan yang diamati dibatasi pada pengambilan keputusan, pendelegasian wewenang dan motivasi. 5.2.3 Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan merupakan salah satu fungsi pemimpin Fiedler, (1974). Apabila diikuti proses pengambilan keputusan, Jelaslah kiranya bahwa semua kegiatan dalam rangka pengambilan keputusan itu dilakukan sendiri oleh pemimpin. Dalam hubungan ini biasanya andil bawahan baik secara individual maupun secara kelompok tidak jarang tidak kecil Terry (1970). Kiranya dimaklumi bahwa apabila tidak ada kebebasan dari bawahan untuk bertindak, semuanya terpusat pada pimpinan, maka corak kepemimpinannya adalah otokratis demikian pula dengan pengambilan keputusan. Apabila keputusan itu berasal dari ide pemimpin maka corak kepemimpinannya adalah otokratis. Sebaliknya apabila kebebasan bertindak diserahkan kepada bawahan misalnya dalam pengambilan keputusan, yang idenya berasal dari bawahan maka corak kepemimpinannya ialah demokratis. Dalam kepemimpinan yang fleksibel, apakah ide pengambilan keputusan itu berasal dari idenya sendiri atau berasal dari ide bawahannya tidak menjadi persoalan. Yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan ialah situasi atau latar belakang kepemimpinan yang ada. Jadi dalam pengambilan keputusan, 72
pemimpin harus terlebih dahulu meneliti dan mengamati situasi atau latar belakang kepemimpinannya yang dihadapi Tannenbaum (1967). Pengamatan dan penelitian terhadap faktor-faktor yang berperan dalam situasi kepemimpinan perlu dilakukan, karena kepahaman akan faktor-faktor itu akan memudahkan bagi pemimpin untuk memahami situasi yang dihadapi. Dengan demikian ia dapat mengukur dan kemudian dapat meramalkan yang akan terjadi tanpa diagnosa, tindakan pemimpin cenderung tidak mengarah. Lalu bagaimanakah terjadi pengambilan keputusan yang idenya berasal dari dirinya sendiri dan bilamanakah terjadi pengambilan keputusan yang idenya berasal dari bawahannya, yang bersumber dari diagnose situasi yang dihadapi. A. Keputusan yang berasal dari ide pimpinan (corak kepemimpinan otokratis), terjadi apabila : 1. Pimpinan memang mempunyai kemampuan untuk itu dan bawahan kurang atau tidak mempunyai kemampuan 2. Hubungan pimpinan dan bawahannya tidak atau kurang baik sehingga pimpinan terpaksa memakai idenya sendiri dari bawahan sulit diperoleh B. Keputusan yang berasal dari ide bawahan (corak kepemimpinan demokratis), terjadi apabila : 1. Bawahan memang mampu, sedang pemimpin kurang mampu 2. Bawahan dan pemimpin sama-sama mampu tetapi dirasa lebih baik untuk menyerahkannya kepada bawahan karena luasnya beban tugas pekerjaan yang harus dipikul 3. Hubungan pemimpin dengan bawahannya relatif baik, karena melalui hubungan tersebut, pimpinan dapat meminta dan menerima dukungan dari bawahannya Dengan landasan berfikir yang dipaparkan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa ditinjau dari gejala pengambilan keputusan, kepemimpinan yang flesibel adalah sebagai berikut : A. Melalui diagnosa terhadap situasi dan latar belakang kepemimpinan, pemimpin dapat menilai corak kepemimpinannya. B. Seorang pemimpin dapat mengambil keputusan yang idenya berasal dari dirinya sendiri, apabila situasi dan latar belakang kepemimpinan yang dihadapi mengijinkan, demi tercapainya hasil yang optimal. Sebaliknya pemimpin dapat mengambil keputusan yang idenya berasal dari ide 73
bawahannya, apabila situasi kepemimpinnya memang menghendaki ia bertindak demikian. C. Pemimpin dapat bertindak otokratis atau demokratis asal tindakannya sesuai dengan kebutuhan situasi dan latar belakang kepemimpinan yang dihadapi. Sumber : Hasil Kajian LPTP – FIA – UB dalam Domai T. Kepemimpinan. FIA – UB. • • • • • • • • •
74
Abdurrahman (1971). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang. Alan (1969). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang. Fiedler dan Chamers (1974). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang. Filley (1969). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang. Jayadiatma (1972). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang. Scott (1967). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang. Terry (1970. Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang. Tjokroamidjojo (1974). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang. Tonnenbaum (1967). Dikutip oleh Domai T (2010) dalam Kepemimpinan Sektor Publik. Buku Ajar (Modul). FIA-UB. Malang.
BAB VI BEYOND THEORY Y Tim LPTP FIA - UB
Organisasi yang efektif tidak hanya sekedar teori yang universal tetapi harus ada kesesuaian antara pekerjaan dan pegawai. 6.1 Pendahuluan Konsep Manajemen Partisipatif dikemukakan oleh Douglas Mac Gregor dengan sebutan Teory Y merupakan teori yang penting untuk mengembangkan keefektifan organisasi, namun beberapa “leader” berasumsi bahwa hanya teori Y-lah yang benar. Dalam pembahasan ini kita akan melihat apa yang ada di luar teori Y dengan tujuan agar organisasi itu lebih Produktif dimana tercapai adanya kesesuaian antara kebutuhan kerja dan pegawai pada situasi tertentu. Morse adalah assiten Prof. ilmu perilaku pada the Graduate School of Business Administration University California di Los Angles. Tesis ini merupakan hasil penelitiannya untuk memperoleh gelar Doktor di Harvard Business School. Lorsch adalah Prof. perilaku organisasi di Harvard Business School. Selama 30 tahun yang lalu para “leader” membandingkan dua pendekatan. Pendekatan klasik dan pendekatan partisipatif. Pendekatan klasik menekankan pada kemantapan kekuasaan, kejelasan tugas dan menyamakan tugas dengan tanggung jawab. Pendekatan partisipatif berfokus pada keterlibatan anggota dalam pembuatan kebijaksanaan sehingga ia lebih termotivasi. Mac Gregor mengetengahkan teori X dan teori Y. Teori X mengasumsikan bahwa anggota tidak menyukai pekerjaan harus dipaksa, dikontrol, harus diarahkan kepada pencapaian tujuan organisasi, mereka selalu menghindari tanggung jawab. Teori Y menekankan pada tertariknya seseorang dengan pekerjaannya, keinginan untuk mengarahkan dirinya sendiri, mencapai tanggung jawab dan kreatifitasnya memecahkan problem bisnis. Kesimpulan Mac Gregor : Teori Y ini baik diikuti oleh “leader”. 6.2 Pendekatan Baru Hasil kerja dari sekelompok mahasiswa dalam manajemen dan hasil kerja organisasi menolong kita untuk mendapatkan suatu jawaban bahwa ternyata 75
tidak ada satu pendekatanpun yang paling baik diterapkan pada suatu organisasi. Pendekatan yang terbaik ini tergantung pada situasi pekerjaan yang harus dikerjakan. “Leader” harus mempunyai pola dan mengembangkan organisasi sehingga sifat organisasi atau karakteristik dari organisasi sesuai dengan situasi pekerjaan yang dikerjakan. Pendekatan yang baru ini akan memberikan jawaban terhadap kebingungan manager dalam memilih pendekatan yang paling baik, namun masih ada dua pernyataan penting yang belum terjawab, yakni : 1. Bagaimana formalitas dan kontrol organisasi itu mempengaruhi motivasi dari anggota organisasi ? 2. Apakah formalitas yang rendah dari organisasi menyebabkan motivasi yang tinggi bagi anggotanya ? Asumsi dasar yang kita ketengahkan diluar teori Y kita sebut “Teori Kontigensi” yaitu kesesuaian antara tugas/ pekerjaan, organisasi dan pegawai. Asumsi teoritis ini menekankan penyediaan penyediaan pola organisasi yang kontigen terhadap situasi kerja yang harus dikerjakan dan keterlibatan pegawai. Asumsi ini merupakan langkah diluar teori Y karena Mac Gregor sendiri mengatakan bahwa: teori Y dalam waktu yang dekat akan diganti oleh teori yang baru. 6.3 Pola Studi Digunakan dalam 4 unit organisasi, dua diantaranya untuk menentukan pekerjaan sehingga tercapai standardisasi produk dan jaringan produk yang otomatis. Dua yang lain untuk penelitian kerja yagn tidak tertentu dan pengembangan dalam teknologi komunikasi. Pola studi ini disimpulkan dalam bagan di bawah ini : Karakteristik Bentuk yang efektif Bentuk efektif
76
yang
Campani I tugas yang diramalkan Tanah Pertanian Akron
Campani II tugas yang tidak diramalkan
Laboratorium Penelitian Stockton kurang Tanah Pertanian Hartford Laboratorium Penelitian Carmel
Obyek ini menyelidiki bagaimanakah kesesuaian antara organisasi dan pekerjaan dengan menghubungkan pada kesesuaian organisasi. Untuk hal ini ada pertanyaan yang diajukan yaitu: adalah kesesuaian yang baik antara karakteristik organisasi dengan individu dan membuahkan organisasi yang lebih efektif. Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan pendekatan khusus yang lebih berguna untuk menemukan bahwa seseorang itu memiliki keinginan yang kuat untuk menguasai dunia disekelilingnya termasuk tugas-tugas yang harus dia laksanakan sebagai seorang anggota organisasi. Jika seseorang merasa terpuaskan bila dia mampu menguasai lingkungan sekitarnya dikatakan dia memiliki “a sense of competence” (rasa kemampuan). Kita tahu bahwa rasa mampu ini menyebabkan kita lebih mudah mengerti bagaimana suatu kesesuaian antara pekerjaan dan karakteristik organisasi dapat memotivasi orang menuju kesuksesan. 6.4 Dimensi Organisasi Para “leader” menginginkan adanya pembuka jalan untuk membedakan karakteristik organisasi apakah yang sesuai untuk tugas yang harus dikerjakan. Pertama-tama kita harus mengenal karakteristik organisasi macam apakah yang membatasi organisasi didalam pelaksanaan tugas tertentu. Kita mengelompokkan karakteristik organisasi menjadi dua, yaitu : 1. Karakteristik formal yang dapat digunakan untuk menilai kesesuaian antara jenis tugas yang harus dikerjakan dan praktek formal daripada organisasi. 2. Karakteristik iklim atau disebut persepsi subyektif dan orientasi yang mengembangkan individu dalam organisasi (kesesuaian tugas dapat dicapai apabila organisasi itu bisa efektif) Morse dan Lorsch menggunakan kuesioner dan interview terhadap sekitar 40 “leader” dalam setiap unit-unit membatasi organisasi dalam menentukan pekerjaan yang dikehendaki. Juga menggunakan rasa mampu dari orang-orang dalam organisasi sehingga dapat menghubungkan karakteristik dari orang dengan rasa mampu.
77
6.5 Penemuan Terbesar Penemuan prinsipil dalam survey telah ditunjukkan dengan jalan membandingkan kesuksesan tanaman di daerah Akron dengan laboratorium di Stockton, keduanya ini memiliki jenis pekerjaan yang berbeda. Akron berhubungan dengan pekerjaan pabrik. Stockton berhubungan dengan pekerjaan penelitian. Untuk mencapai organisasi yang efektif kita memang harus membedakan karakteristik organisasi dan hal inilah yang dicari. Namun kita juga menemukan bahwa setiap unit yang efektif memiliki kesesuaian yang lebih baik dalam tugas tertentu dibandingkan unit lain yang kurang efektif. Tujuan yang utama dalam pembahasan ini adalah untuk menyelidiki bagaimanakah kesesuaian antara pekerjaan dan karakteristik organisasi bila dihubungkan dengan motivasi dan bagaimanakah hal itu bisa menyebabkan adanya perilaku lebih efektif. 6.6 Karakteristik Formal Untuk mempelajari karakteristik formal kita akan membandingkan Akron dengan Stockton. Aktron memiliki pola hubungan dan tugas yang tersusun rapi dan tertentu. Sedangkan Stockton tingkat strukturnya rendah dan tidak memiliki pola hubungan formal karakteristik organisasi formal digunakan untuk membedakan jenis pekerjaan dari kedua organisasi tersebut. Formal struktur Akron yang tinggi secara praktis menyesuaikan diri dengan ramalan tugas karena perilaku harus ditentukan dan dikontrol secara otomatis dan adanya jalur produksi kecepatan tinggi setiap orang bekerja menurut apa yang dia kehendaki sebaliknya formal struktur yang tinggi dari Stickton secara praktis digunakan untuk memenuhi efektifitas dalam laboratorium dan jenis pekerjaan itu tidak ditentukan, tidak diramalkan dan menggunakan penelitian teknologi komunikasi disini menggunakan pendekatan yang banyak agar pekerjaan itu dikerjakan dengan baik. Sebagai konsekuensinya manager di Stockton menggunakan pola struktur yang tidak terlalu formal sehingga para ahli bisa bekerja secara di laborat. Praktis formal Akron dipakai untuk jangka waktu pendek dan digunakan dalam pabrik-pabrik, sebagi contoh : untuk laporan produksi formal dan mengotrol pelaksanaan kerja setiap hari sesuai dengan waktu yang telah 78
dijadwalkan untuk berproduksi. Sebaliknya Produktif formal Stockton dipakai untuk jangka panjang dan digunakan dalam bidang keilmuan. Laporan formal dibuat beberapa kali saja berdasarkan hasil riset.
1.
2.
3. 4.
Perbedaan Karakteristik Formal dalam Meningkatkan Organisasi Stockton / Karakteristik Aktron / Otoriter Demokratis Pola hubungan & tugas 1. Struktur rendah 1. Struktur tinggi dan formal digambarkan dalam dan kurang tertentu manual tugas tertentu Pola aturan formal, 2. Pervasif, spesifik, 2. Minimal tidak prosedur, kontrol, sistem uniform, spesifik, fleksibel komprehensif pengukuran Dimensi waktu dalam 3. Jangka waktu 3. Jangka waktu praktis formal pendek panjang Dimensi tujuan dalam 4. Scientific (ilmu 4. Pabrik praktis formal pengetahuan)
Contoh Organisasi yang Tidak Tetap Tanaman di Harford dan laboratorium di Carmel. Praktis formal Harford masih kalah dibandingkan dengan Akron dalam hal struktur dan kontrol. Carmel lebih bersifat membatasi daripada Stockton. 6.7 Karakteristik Persepsi Orang-orang di Akron memiliki struktur yang baik dengan perilaku yang dikontrol dan ditentukan. Seorang manajer di tanah pertanian tersebut mengatakan “kami akan kehilangan uang jika mereka bekerja oleh sebab itu kami menyakinkan setiap orang untuk mengetahui tugasnya, mengetahui kapan mereka beristirahat, kapan mereka bekerja dan lain-lain”. Sebaliknya para ahli di Stockton memiliki struktur yang kecil dengan perilaku yang tidak begitu dikontrol.
79
6.7.1 Penyerapan Orang-orang di Akron merasa mereka tidak terlalu berpengaruh dalam penentuan kebijaksanaan daripada para ahli di laboratorium Stockton. Pekerjaan di Akron ditentukan secara jelas dan dituangkan dalam aliran produksi yang otomatis sehingga sedikit sekali keterlibatan individu dalam pembuatan kebijaksanaan dalam proses kerja di Akron pengaruh pembuatan kebijaksanaan itu dikonsentrasikan pada the upper level (level tertinggi dari formal struktur (di Stockton)) pengaruh itu menyebar pada semua level dalam formal struktur. 6.7.2 Orientasi Waktu Orang di Akron berorientasi pada rentangan waktu yang pendek dan mempunyai tujuan untuk pabrik, mereka mempunyai respon umpan balik yang cepat dalam menghubungkannya dengan kualitas dan servis terhadap tanah pertaniannya inilah essensial yang diberikan oleh situasi kerja. Para peneliti di Stockton berorientasi pada rentangan waktu yang panjang dan bertujuan untuk ilmu pengetahuan. Orientasi berarti mereka mau menunggu umpan balik yang panjang dari proyek riset yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai kekomplitannya. 6.7.3 Gaya Managerial Baik individual di Akron maupun di Stockton mempunyai gaya managerial yang diekspresikan dengan menghubungkan pekerjaan dengan orang sehingga nampak adanya kesesuaian. Di Akron teknologi pekerjaan sangat dominan dimana perilaku Top Manager tidak memfokuskan pada pekerjaan tetapi pada keefektifan, sebaliknya pekerjaan penelitian di Stockton lebih bersifat perilaku pemecahan masalah individu. Perilaku itu terbagi-bagi dan tidak terkoordinasi. Semua perbedaan dalam karakteristik iklim disimpulkan dalam kolom dibawah ini.
80
1.
2.
3.
4.
5. 6. 7.
Perbedaan Karakteristik Iklim dalam Meningkatkan Organisasi Karakteristik Aktron Stockton 1. Persepsi perilaku 1. Perilaku sangat terkontrol dan Orientasi struktural strukturalnya tingkat strukturnya rendah tinggi 2. Pengaruh 2. Dikonsentrasikan persepsi itu Penyebaran pengaruh dalam upper level menyebar di dalam organisasi seluruh level 3. Kebebasan atasan 3. Kebebasan rendah untuk atasan tinggi memilih dan Sifat hubungan atasan untuk memilih menangani dan menangani dan bawahan pekerjaan, tipe obyek, tipe kepemimpinannya atasannya terarah 4. Partisipasi yagn 4. Adanya kesamaan berbeda diantara persepsi diantara Hubungan teman teman sekerja, teman sekerja, sekerja tingkat tingkat koordinasi koordinasi yang tinggi rendah Orientasi waktu 5. Jangka pendek 5. Jangka panjang 6. Ilmu Orientasi tujuan 6. Pabrik pengetahuan Gaya managerial dari 7. Menghubungkan 7. Menghubungkan Top Manager pekerjaan pekerjaan
6.7.4 Motivasi Kerja Karena adanya perbedaan karakteristik organisasi di Akron dan Stockton maka terjadi perbedaan penempatan dalam bekerjasama kedua organisasi tersebut memiliki dua hal penting yang sama. 1. Setiap orang memiliki kesesuaian yang baik dalam pekerjaan 81
2. Walaupun perilaku kedua orang itu berbeda namun akibatnya sama yaitu adanya keefektifan kerja Dalam studi ini kita akan berusaha untuk menghubungkan kesesuaian antara orang dan pekerjaan dengan motivasi individu untuk mencapai keefektifan. Disini dikemukakan dua cara untuk mengukur motivasi “rasa mampu” dari individu: 1. Menyuruh individu (partisipan) untuk menulis cerita yang imajinatif dan Kreatif yang merupakan respon dari gambar yang ditunjukkan 2. Menyuruhnya menulis cerita imajinatif dan Kreatif tentang apa yang harus dia kerjakan, pikirkan dan rasakan untuk masa depan pekerjaannya Hal ini kita kenal dengan tes proyektif dimana dalam tes diasumsikan bagaimanakah proyek responden yang dituangkan dalam ceritanya, tingkah laku, pikiran, perasaan, kebutuhan dan keinginannya. Semua itu bisa diukur lewat ceritanya tersebut. Individu di Akron dan Stockton menunjukkan rasa mampu yang lebih signifikan dibandingkan Harvard dan Carmel. Disini kami menemukan bahwa kesesuaian pekerjaan, orang mempunyai hubungan yang simultan dengan motivasi individu dan keefektifan organisasi. Saling ketergantungan ini diilustrasikan dalam gambar dibawah ini : Gambar Hubungan Kontigen Dasar Kesesuaian pekerjaan organisasi
Keefektifan pekerjaan
Motivasi rasa mampu dari individu
Dari gambar ini kita bisa menyimpulkan bahwa diantara ketiganya itu memiliki hubungan sebab dan akibat. Hal ini sangat penting bagi penerapan teori dan praktek manajemen.
82
6.7.5 Teori Contigency Jika kita kembali pada asumsi teori Y dari Mac Gregor kita akan tahu validitas kesimpulannya. Teori Y menolong kita menerangkan penemuanpenemuan dalam laboratorium tersebut. Namun kita masih memerlukan hal-hal lain disamping teori X dan teori Y untuk menerangkan penemuan-penemuan di kedua tanah pertanian tersebut. Sebagai para manager di Akron bekerja dalam kondisi organisasi formal dengan sedikit partisipasi dalam pembuatan kebijaksanaan namun mereka tetap termotivasi. Sesuai dengan Teori X orang harus dipaksa untuk bekerja dan mereka harus bekerja keras. Sesuai dengan teori Y mereka harus dilibatkan dalam pembuatan keputusan dan mengarahkan dirinya sendiri sehingga merasa termotivasi. Tak satupun dari data kami yang menunjukkan asumsi lain yang cocok jika diterapkan di Akron. Kebalikannya para manager di Harvard bekerja dalam kondisi organisasi yang kurang formal. Namun memiliki partisipasi yang kurang tinggi dalam pembuatan keputusan. Dan ternyata mereka tidak memiliki motivasi yang tinggi seperti di Akron padahal menurut teori Y seharusnya mereka lebih termotivasi. Menurut asumsi teori kontigensi ada 4 penemuan yang diketengahkan yakni : 1. Kehidupan manusia itu memiliki berbagai macam pola kebutuhan dan motivasi dalam kerja. Namun kebutuhan yang utama adalah untuk mencapai/ memperoleh a sense of competence (rasa mampu) 2. Motivasi rasa mampu ini harus ada pada setiap manusia dan harus terpenuhi. Cara pencapaian setiap orang berbeda tergantung bagaimanakah interaksi kebutuhan itu dibandingkan kekuatan kebutuhan-kebutuhan individu lainnya antara lain: kekuasaan, kemerdekaan, struktur, pencapaian tujuan 3. Motivasi kemampuan akan terpenuhkan bila ada kesesuaian antara pekerjaan/ tugas dan organisasi 4. Rasa mampu ini menyebabkan adanya motivasi untuk pencapaian tujuan dan jika tujuan pertama telah tercapai maka dia akan berusaha mencapai tujuan yang lebih tinggi
83
Dari pembahasan ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa setiap orang yang berbeda mempunyai kebutuhan yang berbeda. Namun mereka memiliki kebutuhan yang sama dalam hal memiliki a sense of competence. Untuk pencapaian tujuan ini setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda. Penerapan teori contigency yang terpenting adalah tidak hanya mencari kesesuaian antara pekerjaan dan organisasi namun juga adanya kesesuaian pekerjaan dan pegawai. Kesesuaian antara pegawai dan organisasi yang perlu diperhatikan untuk memperoleh kepuasan yang sesungguhnya motivasi tidak boleh menurut jikalau tujuan yang pertama sudah tercapai. Jika seseorang memiliki rasa mampu hal ini akan lebih konsisten dibanding motivator yang berasal dari gaji dan keuntungan. 6.7.6 Penerapan bagi Manager Penerapan managerial yang terutama dari teori contigency adalah adanya kesesuaian antara pegawai, organisasi dan pekerjaan. Interelasi ini sifatnya sangat kompleks, kemungkinan yang terbesar bagi tindakan managerial didalam menjalankan organisasi adalah mencari kesesuaian antara pekerjaan dan pegawai. Jikalau kesesuaian ini telah tercapai baik keefektifan dan motivasi yang lebih tinggi hanyalah merupakan akibatnya. Seorang manager dalam memulai proses pekerjaan dia harus mempertimbangkan umpan balik dari proses sebelumnya sedang pekerjaan mendatang akan lebih berguna. Keputusan seorang manager membentuk pola hirarki manajemen, penentuan tugas yang spesifik, prosedur kontrol dan upah. Untuk itu perlu adanya selektivitas dalam proses training penekanan pada pengadaan gaya kepemimpinan akan menyebabkan adanya kesesuaian organisasi. Problematic pencapaian kesesuaian antara pegawai, organisasi dan pekerja akan berkurang apabila kita menempatkan kepribadian macam apakah yang sesuai untuk bermacam-macam pekerjaan dan organisasi. Jikalau seseorang memiliki keahlian yang terbatas dia harus menempatkan dibagian pekerjaan yang sesuai antara tugas, pekerjaan dan organisasi kita harus mempertajam kriteria seleksi terhadap seseorang sehingga seseorang itu betul-betul cocok dengan yang kita butuhkan. Kalau dulu para manager bingung untuk memiliki pendekatan apakah yant terbaik, pendekatan Klasik atau Partisipatif, namun sekarang mendapatkan 84
satu pertanyaan yang baru yaitu pendekatan organisasi apakah yang harus diberikan kesesuaian antara pekerjaan dan pegawai. Bagi beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang teknologi mereka lebih senang menggunakan pendekatan Partisipatif. Namun dalam situasi tertentu dibutuhkan adanya kontrol dan formalitas organisasi. Pemberian kebutuhan dan pekerjaan bagi para pegawai menyebabkan mereka memperoleh gaji dan motivasi. 6.8 Kesimpulan Kekuatan pendekatan contigency yang telah diterangkan di atas berguna sebagai jalan pemikiran untuk memperoleh kompleksitas. Jikalau teori ini dikembangkan kami yakin bahwa teori motivasi dan contigency akan menjadi pertimbangan dalam hubungan kontigen antara pekerjaan, organisasi dan pegawai. Agar seseorang merasa senang dalam pekerjaan ada 3 hal yang diperlukan: - Mereka harus merasa cocok dengan pekerjaannya - Mereka tak boleh bekerja terlalu keras - Mereka harus memiliki rasa sukses dalam pekerjaannya tersebut (Sumber: Diskusi Kelas PDIA (S3) FIA – UB. 2010) Sumber : Hasil Kajian Politik dan Tata Pemerintahan. FIA – UB. Mc Gregor Douglas, Haman Side of Entreprise. Alih Bahasa Arlina. Erlangga. Jakarta. •
Gregor Mac Douglas, Morse, Lorsch (1976). Dikutip oleh Domai, T. (2010). Dalam Buku Ajar Teori Kepemimpinan. Buku Ajar FIA-UB. Malang.
85