BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai Pengganti HIR, perhatian terhadap hak asasi manusia di Indonesia dijunjung tinggi, karena seseorang yang dianggap telah melanggar hukum tidak lagi diperlakukan sebagai obyek semata melainkan harkatnya sebagai manusia (subyek) sangat diperhatikan sehingga proses beracara yang menangani pelanggar hukum dirasakan lebih manusiawi, sesuai dengan asas didalam hukum semua manusia di mata hukum diperlakukan sama tanpa kecuali. Rumusan KUHAP salah satu permasalahan mengenai penahanan tetap aktual dibicarakan, karena berhubungan erat dengan hak asasi manusia. Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah mengandung tentang perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa dan hal ini merupakan batas-batas bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Sesuai dengan tujuan KUHAP yang lebih baik, yang memberi perlindungan kepada hak-hak asasi manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum. Walaupun batas-batas wewenang telah digariskan didalam KUHAP, namun penerapannya dalam praktek sering menyimpang, baik pada tahap penyidikan hingga putusan pengadilan. Hal ini menimbulkan reaksi dan kritik keras dari korban kejahatan maupun dari masyarakat terhadap prilaku negatif aparat penegak hukum. 1 Universitas Sumatera Utara
Penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan diharapkan memberikan pencegahan kepada masyarakat dan pelaku sendiri untuk tidak berbuat kejahatan kembali. Namun, tujuan ini terkadang mengalami kegagalan sehingga terkadang pelaku justru menjadi residivis dan masyarakat sendiri dapat meniru untuk melakukan kejahatan. Hal ini juga karena penerapan sanksi pidana tidak melihat akar persoalan kejahatan yang sebenarnya. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan sosial disamping penerapan sanksi pidana. 1 Dewasa ini perlakuan adil dan manusiawi di berbagai bidang kehidupan khususnya dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu perhatian sekaligus merupakan tuntutan dan dambaan masyarakat, maka segala daya dan upaya akan dilakukan untuk mendapatkan keadilan adalah hal yang sangat hakiki. Menurut negara hukum, keadilan itu dihadapkan dan diperoleh dari bentuk penerapan hukum yang layak, oleh karena itu tidak mengherankan bila rakyat Indonesia berpendapat bahwa tugas paling penting dan mendesak dilakukan pemerintah dewasa ini adalah meningkatkan keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian membicarakan masalah prinsip proses hukum yang adil dalam proses peradilan pidana menjadi salah satu topik yang sangat relevan saat ini. Penekanan pada masalah penahanan, karena penahanan merupakan salah satu upaya paksa yang dikenal dalam hukum cara pidana yang sangat erat bersinggungan dengan masalah hak asasi manusia. Menurut Hulsman, penahanan itu merupakan 1
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy dalam Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan. (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008) Hlm. v Kata Pengantar
Universitas Sumatera Utara
lembaga paling penting diantara beberapa lembaga penggunaan paksaan dalam hukum acara pidana 2. Dikatakan demikian karena setiap penahanan akan mengakibatkan hilangnya kemerdekaan manusia dalam waktu yang cukup lama sebelum ia dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum pasti dan tetap. Apalagi kebebasan itu dipandang merupakan salah satu dari hak yang dipandang sangat asasi. Tanpa jaminan akan kemerdekaan manusia tidak akan dapat mengembangan potensi dirinya secara wajar sebagai manusia dalam kualitasnya yang utuh secara jasmani dan rohani, sebagai individu maupun makhluk sosial. 3 Yahya Harahap mengemukakan bahwa setiap yang namanya penahanan berarti perampasan kemerdekaan dan kebebasan manusia, nilai-nilai kemanusiaan dan harkat martabat kemanusiaan serta menyangkut nama baik dan pencemaran kehormatan diri pribadi manusia. 4 Di Indonesia UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Tahun 1981 No. 76 (selanjutnya disebut KUHAP) yang oleh bangsa Indonesia pada awalnya dianggap sebagai karya agung. Banyak alasan yang dikemukakan oleh para ahli maupun praktisi sebagai justifikasi keberadaan lembaga penahan ini , masing-masing bertolak
2
L. He. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Saduran oleh Soedjono D. (Jakarta : Rajawaqli, 1984) Hlm. 79 3 Sutandyo Wignyosoebroto, Hak-hak Manusia dan Konstituante, Artikel Kompas 19 Agustus 1996, hlm. 11. Menurut Agus Salim : Kebebasan itu berarti masing-masing dapat menurut kehendaknya dan menurut kehidupan tertentu yang dipilihnya dalam masyarakat. Bachtiar Agus Salim, Hukum PIdana – Beberapa Catatan Penintetiaire Pecht di Negeri Belanda dan di Indonesia (Jakarta Timur : Fakultas Hukum USU, 1976) Hlm. 51 4 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP, Jilid I (Jakarta : Pustaka Kartini, 1993) Hlm. 41
Universitas Sumatera Utara
dari asumsi ataupun dasar filosofis yang dianut. Ada yang menyatakan asumsi dasar penahanan adalah bahwa kebebasan seseorang tidak disukai. Bangsa Indonesia sebagaimana ditegaskan Mardjono Reksodiputro, apabila dilihat dari substansi KUHAP dapat dikatakan merupakan pengakuan pembuat Undang-undang Indonesia bahwa “due process of law” (proses hukum yang adil atau layak) merupakan sikap batin dari KUHAP. 5 Bertolak dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa salah satu asumsi dasar penahanan adalah negara merasa berkewajiban membina warganya termasuk mereka yang masuk ke dalam proses peradilan pidana. Prinsip proses hukum yang adil yang mengejawantahkan dalam asas-asas penegakan hukum di dalam KUHAP merupakan penjabaran dari asas pengayoman dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara tahun 1970 No. 74. Hal itu berarti bahwa latar belakang pentingnya penahanan sebagai salah satu upaya paksa yang penting dalam proses peradilan pidana, adalah dalam konteks pengayoman bagi masyarakat umum (publik), korban tindak pidana dan juga bagi tersangka/terdakwa itu sendiri. 6 Disamping penahanan sebenarnya dikenal suatu upaya paksa lainya yang juga merupakan perampasan kemerdekaan manusia, yakni penangkapan. Walaupun tidak mesti, tetapi pada umumnya penahanan dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan pengangkapan, dan sebaliknya tindakan penangkapan selalu diikuti dengan 5
Mardjono Reksodiputro, Hukum Pidana dan Batas-batas Toleransi Penegakan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesai. (Jakarta : 1994) Hlm. 15 6 Sahetapy mengemukakan bahwa asas pengayoman merupakan jiwa dari hukum acara pidana Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam beberapa pasal dalam UU No. 14 Tahun 1970. J.E Sahetapy, “Hukum dalam Konteks Sosial Politik dan Budaya”. 11 Analisis, Tahun XXII No. 1 Januari – Februari 1993. Hlm. 54
Universitas Sumatera Utara
penahanan. Pada dasarnya baik penangkapan atau penahanan sama-sama merupakan perampasan hak asasi kebebasan seseorang untuk waktu tertentu. Fokus perhatian pada penahanan dalam kaitannya dengan penerapan prinsip proses hukum yang adil adalah disamping untuk pembatasan ruang lingkup pembahasan juga karena mengingat walaupun penangkapan juga pengekangan terhadap kebebasan manusia tetapi jangka waktunya maksimum hanya satu hari, sedangkan penahanan dalam jangka waktu mencapai 400 hari bahkan dapat mencapai 700 hari dalam Pasal 29 KUHAP, sehingga dapat dipandang sebagai kewajiban warga negara untuk membantu pengamanan dalam negeri. 7 KUHAP
No. 8 Tahun 1981 telah menentukan berbagai persyaratan
pelaksanaan penahanan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan penahanan maupun kesalahan dalam melaksanakan penahanan, baik kesalahan dalam prosedur terlebih-lebih kesalahan yang sifatnya “human error” yang akan menimbulkan kerugian moril dan materil baik bagi diri pribadi maupun keluarga tersangka apalagi bila akhirnya tidak terbukti bersalah atau kesalahannya tidak sepadan dengan penderitaan yang telah dialaminya. Setelah KUHAP berusia lebih dari dua dasawarsa, banyak hal telah terjadi, terutama yang berkenaan dengan tindakan penahanan yang tidak sesuai dengan prinsip proses hukum yang adil yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penahanan.
7
Sumitro, Inti Hukum Acara Pidana, (Surakarta : Sebelas Maret University Press, 1994) Hlm.
65
Universitas Sumatera Utara
Beberapa kasus aktual yang menjadi pembicaraan masyarakat sebagaimana diundangkan dalam berbagai media massa, antara lain penahanan anak usia 9 tahun selama 52 hari dalam kasus pencurian burung senilai Rp. 10.000,- di Yogyakarta (Kompas, 26 Juli 1995). Kelebihan masa penahanan Hia selama 81 hari di Jakarta Timur (Kompas, 15 Juli 1995), Polisi mengembalikan tersangka sudah menjadi mayat (Harian Waspada, Jakarta Timur, tgl. 15 Februari 1995). Beratnya menangguhkan penahanan dalam kasus pencurian lima buah silet (Kompas, 01 Juli 1995), Dilepas setelah disiksa hingga cacat (Fajar, 26 Maret 1996), Penganiayaan hingga luka berat terhadap tersangka di Polsek Pondok Bambu Jakarta Timur (Media Indonesia, 14 Agustus 1989). Sedangkan kasus yang berkaitan dengan fungsi Rumah Tahanan Negara (RUTAN), antara lain terlihat dalam gugatan praperadilan terhadap RUTAN Klas IIA Jakarta Timur Tahun 1989 karena tidak dilepaskan demi hukum walaupun masa penahanannya telah habis (Putusan PN Jakarta Timur No. 05/Pid.Pra/1991/ PN JKT). Kasus Subekti Ismaun yang telah menyalahgunakan ijin berobat untuk pergi bersantai ke daerah Puncak Bogor, dan lain sebagainya. Berbagai kasus di atas menggambarkan kepada kita betapa perlunya upaya untuk lebih meningkatkan pemahaman dan penerapan prinsip proses hukum yang adil sehingga tidak akan menimbulkan jatuhnya korban-korban baru tidak saja sekedar korban dari kejahatan tetapi juga korban peradilan. Sahetapy menulis bahwa korban yang dewasa ini begitu hangat dikasak kusukkan secara terselubung adalah korban peradilan, yang dimaksudkan peradilan di sini yaitu mulai dari proses pemeriksaan dan
atau
penahanan
dikepolisian
sampai
diserahkan
kepada
Lembaga
Universitas Sumatera Utara
Pemasyarakatan. 8 Oleh karena itu tidak berlebihan bila Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menaruh perhatian serius terhadap masalah penahanan ini khususnya Prisoners under Arrest or A Waiting Trial atau tahanan yang sedang menunggu pemeriksaan di depan pengadilan. 9 Pelaksanaan penahanan ini terbuka kemungkinan yang lebih luas untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik karena kurangnya ketrampilan dan pemahaman aparat maupun karena kelalaian. Disamping karena kurangnya ketrampilan dan pemahaman akan hak asasi manusia sebagai inti dari prinsip proses hukum yang adil, terjadinya berbagai penyimpangan dalam praktek pelaksanaan penahanan juga karena Undang-undang tidak tuntas mengaturnya sampai mendetail, sehingga dalam banyak hal diserahkan kepada praktek dan kebiasaan. Yang semestinya tidak boleh menyimpang dari rumusan Undang-undang dan prinsip perlindungan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi oleh KUHAP. 10 Upaya jaksa sistem Hukum Pidana kerap diwujudkan dalam bentuk pengekangan kemerdekaan/kebebasan atau penahanan. Penahanan adalah peristiwa yang luar biasa, sebab tiap-tiap penangkapan dan atau penahanan harus tunduk kepada perlindungan hak kemerdekaan individu. Prinsip keadilan dalam negara hukum tidak boleh dipisahkan dari proses politik pemerintah yang berdasarkan
8
JE. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai .(Bandung : Alumni) Hlm. 24 “Standard Minimum for The Trearment of Prisoners and Prosedures for The Effective Implementation of The Rules”. Disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada Tanggal 31 Juli 1957. (New York : Department of Public Information 10 Andi Hamzah, Pelaksanaan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek Penahanan, Dakwaan – Requisitoi, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994) Hlm. 1 9
Universitas Sumatera Utara
kepada hak kemerdekaan individu, keadilan dan aturan perundang-undangan. 11 Polisi sebagai bagian dari pemerintah/eksekutif berwenang untuk menangkap dan menahan seorang tersangka. Alasan tidak menghambat tugas penyidik dalam mengumpulkan buktibukti yang akan digunakan untuk mendakwanya. Pada kondisi seperti ini, terdakwa tidak mempunyai kemampuan untuk membela dirinya ketika polisi menyiksanya baik secara fisik maupun mental. Pembicaraan mengenai masalah yang berkaitan dengan fungsi dan peranan Rumah Tahanan Negara (RUTAN), yakni suatu lembaga baru tempat pelaksanaan penelitian menurut hukum acara pidana Indonesia (KUHAP No. 8 Tahun 1991) yang baik dikenal dalam “HIR” Staatsblad Tahun 1941 No. 44. Keberadaan RUTAN sebagai suatu subsistem peradilan pidana adalah hal yang menggembirakan, karena menunjukkan adanya “political will” untuk memenuhi tuntutan akan lebih terjaminnya penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Disamping itu dapat dikoordinasikan suatu kegiatan yang diharapkan bermanfaat bagi peningkatan pribadi tahanan itu sendiri. Bagian kegiatan menurut Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan disebut sebagai pelayanan tahanan sebagai bentuk pembinaan tahanan. Akhirnya permasalahan pelaksanaan penahanan dalam penelitian ini dititik beratkan pada tahap pemeriksaan pendahuluan, mengingat walaupun tahap ini bukan
11
Suriatmadja, Penangkapan dan Penahanan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976.
Hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
merupakan tahap yang dominan dalam sistem peradilan pidana, 12 namun pelaksanaan penahanan merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan,
bahkan polisi dan
jaksa
merupakan unsur yang kritis didalam
keadilan dan amat besar pengaruhnya terhadap siapa akan dilakukan penahanan dan penuntutan. 13 Berbuat salah dalam bertindak atau mereka malas dalam bertindak, maka niscaya keadilan akan gagal ditegakkan. 14 Dari uraian yang dikemukakan di atas penulis tertarik mengambil judul : ”Pelaksanaan Penahanan Dan Pelayanan Tahanan Dalam Kaitannya Dengan Penegakkan Hak Asasi Manusia Di Rumah Tahanan Negara (Studi Di Rutan Klas I Medan)”.
B. Permasalahan Berdasarkan uraian tersebut diatas dengan ini penulis mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana Pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan dalam proses peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah tahanan negara? 2. Bagaimana Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelaksanaan penahanan di RUTAN Klas I Medan? 3. Bagaimana Hambatan yang dihadapi oleh RUTAN Klas I Medan dalam upaya meningkatkan perlindungan HAM khususnya dalam pelaksanaan penahanan?
12
Menurut Reksodiputro, Sesuai dengan KUHAP tahap ajudikasi harus diberi peran dominan dalam seluruh proses peradilan pidana. 13 Loebby Logman, Pra-Peradilan di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990) Hlm. 91 14 Whitney Nort Seymour, Jr., Why Justice Fails. (New York: William Morrow & Co, 1973)
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperjelas pemahaman tentang permasalahan yang telah ditetapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui pelaksanaan penahanan dan pelayanan tahanan dalam proses peradilan pidana selama terdakwa ditahan di rumah tahanan negara
2.
Untuk mengetahui perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelaksanaan penahanan di RUTAN Klas I Medan
3.
Untuk mengetahui hambatan dan kendala yang dihadapi oleh RUTAN Klas I Medan dalam upaya meningkatkan perlindungan HAM khususnya dalam pelaksanaan penahanan
D. Manfaat Penelitian Setelah penelitian ini dilaksanakan dan mendapat hasil maka penulis mempunyai harapan akan dapat memberikan masukan terhadap dunia akademik maupun dunia praktis sebagai berikut : 1. Secara Teoritis. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka penyempurnaan peraturan-peraturan untuk pembentukan hukum nasional, terutama hukum pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan penahanan dan penegakan hak Asasi Manusia. 2. Secara Praktis
Universitas Sumatera Utara
Memberikan manfaat sebagai bahan informasi dan acuan untuk mahasiswa dan praktisi serta instansi terkait yang diharapkan akan timbul rasa tanggung jawab dan kehati-hatian dalam melakukan pelayanan terhadap tahanan sehingga tidak sampai timbul pelanggaran Hak Asasi Manusia.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada disekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Khususnya Fakultas Hukum, ternyata belum ditemukan judul mengenai Pelaksanaan Penahanan Dan Pelayanan Tahanan Dalam Kaitannya Dengan Penegakan Hak Asasi Manusia Dirumah Tahanan Negara ( Studi di Rutan Klas I Medan ). Dari beberapa judul tesis yang ada seperti “ Pelaksanaan Perlindungan Hak-Hak Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan. Kemudian “ Perananan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan Terhadap Hak Asasi Tahanan dan Narapidana”. Penulis ketahui bahwa topik dan permasalahannya sangat berbeda dengan judul tesis yang penulis angkat. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang diajukan belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat dikatakan asli.
F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori Pengertian
yang
sederhana
penahanan
merupakan
tindakan
menghentikan kemerdekaan seseorang, sedangkan kemerdekaan itu adalah hak
Universitas Sumatera Utara
asasi manusia ; KUHAP merupakan undang-undang hukum acara pidana yang sangat menjunjung tinggi martabat dan harkat manusia, karena itu KUHAP memberikan pembatasan waktu lamanya penahanan dapat dilakukan, dan jika batas waktu itu dilampaui maka pejabat yang melakukan penahanan harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari rumah tahanan negara demi hukum. 15 Landasan penahanan meliputi dasar hukum, keadaan, serta syaratsyarat yang memberi kemungkinan melakukan tindakan penahanan antara yang satu dengan yang lain dari dasar tersebut, saling menopang kepada unsur yang lain. Sehingga kalau salah satu unsur tidak ada, tindakan penahanan kurang memenuhi asas legalitas meskipun tidak sampai di kualifikasi sebagai tindakan yang tidak sah (Ilegal). Misalnya yang terpenuhi hanya unsur landasan hukum atau yang sering juga dinamakan landasan unsur objektif, tetapi tidak didukung unsur keperluan atau yang disebut unsur subjektif, serta tidak dikuatkan unsur syarat-syarat yang ditentukan undang-undang, penahanan yang seperti itu lebih bernuansa “ Kejaliman “ dan kurang berdimensi relevansi dan urgensi. 16 Perintah penahanan terhadap tersangka/terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana, selain didasarkan pada bukti (alat bukti yang sah) yang
15
Martiman Prodjohamidjojo, SH , Penangkapan dan Penahanan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984) hal. 18 16 M. Yahya Harahap, SH. , Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Sinar Grafika , 2009) hal. 165
Universitas Sumatera Utara
cukup, harus didasarkan pula pada persyaratan lain sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu : 17 − Dasar Hukum / Dasar Objektif Tindakan penahanan yang dapat dikenakan terhadap tersangka / terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, atau tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 21 ayat 4 huruf b KUHAP. Berdasarkan ketentuan tersebut maka tidak setiap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana yang dilakukan tersebut diluar ketentuan pasal 21 ayat (4) KUHAP. − Dasar Kepentingan / Dasar Subjektif Berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku sebagai dasar objektif, maka tindakan penahanan terhadap tersangka/terdakwa juga didasarkan pada kepentingan (keperluan) yaitu untuk kepentingan penyidikan, untuk kepentingan penuntutan dan untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan (pasal 20 KUHP), serta didasarkan pula pada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana (pasal 21 ayat 1 KUHAP).
17
Dr. H.M.A. Kuffal, SH. , Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum, (Malang : UMM Press, 2004) hal. 71 - 72
Universitas Sumatera Utara
Penahanan atas diri pelaku tindak pidana pada dasarnya merupakan suatu perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang. Setiap penahanan dilaksanakan berdasarkan asas praduga tak bersalah, yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Penempatan tahanan di Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang lapas ditempat tertentu merupakan rangkaian proses pemidanaan yang diawali dengan proses penyidikan, seterusnya dilanjutkan dengan proses penuntutan dan pemeriksaan perkara disidang pengadilan serta pelaksanaan putusan pengadilan di Lembaga Pemasyarakatan. Proses pemidanaan tersebut dilaksanakan secara terpadu dalam Integrated Criminal Justice System. Perawatan tahanan di Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang Lapas atau ditempat tertentu bertujuan antara lain untuk : 18 1. Memperlancar proses pemeriksaan baik pada tahap penyidikan maupun pada tahap peruntutan dan pemeriksaan dimuka pengadilan. 2. Melindungi kepentingan masyarakat dari pengulangan tindak kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang bersangkutan, atau 3. Melindungi si pelaku tindak pidana dari ancaman yang mungkin akan dilakukan oleh keluarga korban atau kelompok tertentu yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan. Hak tahanan yang diatur dalam peraturan pemerintah ini ditekankan pada hak kodrati yang dimiliki oleh setiap orang dan pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan statusnya sebagai tahanan dan satu-satu hak yang hilang adalah hak untuk hidup bebas. Oleh karena itu perawatan tahanan
harus
18
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999, Tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan sesuai dengan program perawatan tahanan dengan memperhatikan tingkat proses pemeriksaan perkara. Kewajiban tahanan untuk secara tertib mengikuti program-program perawatan adalah bersifat fakultatif yang tidak bersifat memaksa. Kewajiban tersebut semata-mata untuk memberikan manfaat yang menguntungkan bagi dirinya dengan mengikuti berbagai kegiatan sehingga perasaan stres, bosan dan putus asa dapat dilalui secara baik. Darwan Prinst 19, mengemukakan hak-hak tersangka/terdakwa yang diatur dalam KUHAP, sebagai upaya untuk melindungi hak asasi manusia, akan tetapi oleh karena perumusannya lemah seringkali hal ini menjadi nihil. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa KUHP harus direvisi untuk tidak memberi peluang atas pelanggaran hak-hak tersangka/ terdakwa. Namun demikian sebagaimana bagusnya suatu undang-undang pelaksanaanya tetap ditentukan oleh kualitas, moral dan etika para pelaksananya. Sebagaimana diungkapkan adanya peraturan yang baik dengan pelaksanaan yang tidak baik maka akan menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal. Berkenaan
dengan
hak
asasi
manusia,
praduga
tak
bersalah
diprioritaskan sebagai langkah awal bagi semua standar dibidang penahanan praajudikasi. Orang-orang yang belum dihukum atas kejahatan yang dituduhkan dijamin hak nya atas perlakuan yang berbeda sesuai dengan status mereka sebagai orang-orang yang belum dihukum oleh pasal 10 (2) (a)
19
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidanan dalam Praktik, (Jakarta : Djambatan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, 1998) hal. 5
Universitas Sumatera Utara
Kovenan tentang hak-hak sipil dan politik. Interprestasi komite hak asasi manusia berkomentar bahwa berdasarkan praduga tak bersalah beban pembuktian mengenai tuduhan ada pada penuntut umum dan tertuduh harus diragukan kesalahannya, sampai dengan dapat dibuktikan tuduhan tanpa keraguan yang mendasar. Salah satu artikel dari Suterland “Detention Before Trial” tentang alternatif institusi penahanan masa kini ada menyebutkan bahwa 20 “Persons a waiting from should be separated from convicted criminals, ordinanly authorities believe that this could be best accomplished by maintaining/convicted prisoners in one institution and detained person in another”. “Bahwa orang-orang yang menunggu proses pemeriksaan pengadilan seharusnya ditempatkan terpisah dari pelaku kriminal yang sudah dihukum. Bahwa tiap pemerintah harusnya mempercayai hal ini dilakukan sebaik mungkin untuk menempatkan para napi dalam satu institusi dan orang tahanan pada institusi yang lain”. Orang-orang terpenjara adalah sekalian orang-orang yang dimasukkan dalam penjara atas dasar suatu surat perintah yang sah dari yang berwajib (polisi, jaksa, hakim) dan untuk golongan ini sering disebut sebagai “Penghuni” , sedangkan orang-orang tahanan adalah mereka yang ditahan oleh karena tuduhan/disangka melanggar hukum dan ditempatkan dalam “Penjara” sambil menunggu proses persidangan. Pembahasan teori labeling menekankan pada dua hal yaitu :
20
Sutherland, Donald EH, R. Cressey, Praciple of Criminology, Smith Edition, (New York : JB Liponcot Company, 1960) hal. 370
Universitas Sumatera Utara
1. Menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orangorang tertentu diberi label, dan pengaruh serta efek dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukannya. 2. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dengan adanya label akan menimbulkan perhatian masyarakat disekitarnya memperhatikannya secara terus menerus yang akhirnya orang yang terlabel tersebut akan menjalani stigma pemberian masyarakat. Citra punitif atau gambaran suatu penderitaan orang terpenjara ini diuraikan oleh Gresham M. Sykes dalam artikelnya sebagai berikut : 21 1. Loss of Liberty (hilang kemerdekaan bergerak), kesakitan ini dirasakan sebagai tutupnya kemungkinan yang tidak hanya untuk bebas karena dikurung dalam penjara, akan tetapi secara moril dan spiritual juga tidak bebas. 2. Loss of Autonomi, kesakitan yang dirasakan sebagai kehilangan hak untuk mengatur diri sendiri, karena harus tunduk pada peraturan-peraturan yang berlaku. Akibatnya adalah orang akan menjadi kehilangan kepribadian. 3. Loss of Goods and Services, yaitu hilangnya hak untuk memiliki barang-barang pribadi dan kebiasaan untuk dilayani. 4. Loss of Heteroseksual, adalah kehilangan hubungan dengan lawan jenis, karena tidak memungkinkan untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Sebagai akibat dari itu sering timbul perbuatan homo seksual atau lesbian. 5. Loss of Security, dimaksudkan sebagai hilangnya rasa aman. Kesakitan ini dirasakan sebagai kekhawatiran dan kecemasan terhadap sesama orang tahanan, karena keterasingan rasa curiga dengan orang yang baru dikenal. Irwin dan Cressey mengemukakan adanya “Subcultures” yang
21
Sir Lem Radzinowicz and Marville R. Cressey, Principle of Criminology, Opcit, hal. 77
Universitas Sumatera Utara
berbeda dalam kehidupan di balik tembok penjara, yang pertama, disebut sebagai “Convict Subcultures” 22 Asas equality before the law yang mengandung pengertian bahwa setiap orang sama dan sejajar di mata hukum tanpa memperdulikan status sosial, profesi atau segala hal lain yang melekat dalam diri orang ketika orang itu melakukan suatu kejahatan pada praktik penegakan hukumnya sungguh sulit diwujudkan. Asas equal treatment yakni perlakuan ketentuan hukum yang sama terhadap setiap orang yang melakukan kejahatan dan tidak memberikan peluang kemudahan terhadap orang yang lain dengan alasan-alasan yang tidak patut dan tidak logis, juga pada praktiknya tidak semudah kita mengucapkan. Dan asas presumtion of innocent yang menjadi prinsipnya dalam penegakan hukum acara pidana yang pada prinsipnya adalah penghormatan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa/terpidana tanpa mengenyampingkan proses penegakan hukum semestinya dan berbagai aspek konsekuensi logisnya, pada praktiknya menjadi alat pertahanan buat pejabat pelaku kejahatan untuk menghindari proses tindakan-tindakan hukum seperti penahanan yang sah di mata hukum dan tindakan defensif ketika rakyat menggugat posisi status sosialnya. Kondisi dimana ketika penegakan hukum pidana berjalan terhadap suatu kejahatan namun tidak menghasilkan efektivikasi hukum pidana atau tidak menghadirkan efek keadilan didalam masyarakat maka hukum dan 22
Soerjono Soekanto, Opcit, hal. 135
Universitas Sumatera Utara
penegakannya yang setengah hati itu justru merupakan pintu masuk (entry point) bagi lahirnya delegitimasi negara. Pada akhirnya kita akan melihat hancurnya kekuasaan negara atau kekuasaan yang memerintah berlangsung akibat tekanan-tekanan yang saling bersaing (kontradiksi) yang tanpa sadar diciptakan negara itu sendiri. Pada titik ini bukan saja pantas masyarakat pada umumnya dan individu pada khususnya kembali menggunakan caracara
hukum
rimba
untuk
menyelesaikan
persoalan
kejahatan
disekelilingnya. Bila ini meluas maka praktik seperti penyerangan suatu kelompok
masyarakat kepada kelompok
masyarakat lainnya, aksi
premanisme oleh sekelompok orang, pola kriminalitas sadis dikota-kota besar, konflik dan curiga yang berkepanjangan dibeberapa daerah sampai aksi pemboman dilokasi tertentu adalah benih fasisme yang sadar tidak sadar telah disemai oleh negara. Banyak orang menggugat nilai keadilan yang dihasilkan dari penegakan hukum dan penjatuhan sanksi secara individual yang kadang melebihi suatu ukuran nilai kemanusiaan yang beradap karena hanya bersandar pada prinsip pembalasan. Orang juga mempertanyakan nilai keadilan yang diciptakan oleh negara melalui aparat penegak hukumnya yang bukan saja gagal memenuhi prinsip pembalasan yang mengandung sifat nestapa terhadap pelaku kejahatan tapi juga gagal mencapai prinsip prevensi umum yakni menakut-nakuti orang untuk tidak berbuat jahat dan menjadikan masyarakat pada umumnya taat pada hukum.
Universitas Sumatera Utara
Keadilan sebagai orientasi substansial dari hukum pada akhirnya berubah menjadi ketidakadilan justru oleh hukum itu sendiri ketika hukum masuk pada bagian yang sifatnya prosedural. Bagian dimana hukum diasumsikan suka hati bukan lagi dalam konteks diskresi yang bersifat kepatutan oleh masing-masing penegak hukumnya.
2. Kerangka Konsepsional Kerangka konsepsional adalah kumpulan dari berbagai teori yang dihubungan satu sama lain untuk dapat memberikan suatu gambaran atas suatu fenomena. 23 Kerangka konsep sehubungan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Pelayanan adalah suatu bentuk perbuatan yang membuat seseorang merasa aman dan terlindungi dari segala pengaruh dari luar yang membuatnya tidak aman. b. Penegakan adalah membuat segala sesuatu menjadi adil c. RUTAN adalah Rumah Tahanan Negara dimana ini merupakan tempat warga binaan yang harus mendapatkan binaan atau dengan kata lain hukuman dari perbuatan pidana yang telah dilakukannya.
G. Metode Penelitian Permasalahan yang timbul dari latar belakang permasalahan, maka penentuan metode penelitian sangatlah penting untuk menjawab permasalahan tersebut. Pentingnya metode penelitian tidak hanya diperlukan disaat pemulaan penelitian
23
Ronnyh Kountur, Metode Penelian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta : PPM, 2007). Hlm. 85
Universitas Sumatera Utara
tetapi juga dipergunakan diakhir penelitian. 24 Oleh karena itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. 1. Pendekatan Masalah Metode penelitian yang penulis pergunakan melalui pendekatan Yuridis Normatif, dimaksudkan untuk mengkaji, menguji dan menelaah masalah penahanan dan pelayanan penahanan sebagai bentuk pembinaan tahanan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan pendekatan tersebut dimaksudkan untuk melihat bagaimana penerapan upaya paksa penahanan dan pembinaan tahanan tersebut dalam proses peradilan pidana sehari-hari sebagai upaya perlindungan hak asasi manusia. 2. Sumber Data Data Yuridis Normatif bersumber dari data sekunder yang meliputi : a) Bahan Hukum Primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem pemasyarakatan dan peraturan pelaksanaan tugas pemasyarakatan yang meliputi, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, kitab undang-undang hukum pidana, undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, peraturan pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan wewenang, tugas dan tanggung jawab perawatan tahanan, keputusan menteri kehakiman
24
Myra A. Harris, Legal Research,ed.10, (New York : Prentice Hall, 1997) hal.2
Universitas Sumatera Utara
Nomor : M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Cara-cara penempatan perawatan tahanan dan tata tertib Rumah Tahanan Negara. b) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku yang berkaitan dengan penahanan, jurnal, majalah, kertas kerja, dan makalah, berbagai arsip, dokumen dan hasil seminar yang relevan dengan penelitian ini serta pendapat para ahli yang dilengkapi dengan data primer berupa hasil wawancara dengan instansi terkait dan laporan berkala dari berbagai instansi penegak hukum. c) Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap data primer dan data sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. 25 Data Yuridis Empiris bersumber dari data primer yang diperoleh melalui studi lapangan.
25
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998) hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekamto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat,(Jakarta : Rajawali Press, 1990) hal. 41
Universitas Sumatera Utara
3. Pengumpulan Data Data sekunder sebagai sumber data yuridis normatif dikumpulkan melalui studi pustaka (library research) yaitu untuk memperoleh bahan data primer dan data sekunder sehubungan dengan penahanan. Data primer sebagai sumber data yuridis empiris dikumpulkan melalui studi lapangan (field research) dengan cara wawancara mendalam (dept interview) kepada informan : a) Petugas RUTAN Klas I Medan sesuai dengan jabatan yang ada dirumah tahanan tersebut yaitu Kepala Rutan, Kepala Seksi, Petugas registrasi dan kepala blok. Dengan harapan akan dapat mencakup permasalahan yang ada di Rutan. b) Tahanan di rutan yang perkaranya belum diajukan ke pengadilan negeri.
4. Analisa Data Keseluruhan data dalam penelitian ini baik data primer atau data sekunder dianalisa secara kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.
Universitas Sumatera Utara