BAB II PUTUSAN YANG MENYATAKAN SURAT DAKWAAN BATAL DEMI HUKUM SETELAH PEMERIKSAAN POKOK PERKARA DAN PEMBACAAN TUNTUTAN DIKAITKAN DENGAN KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN YANG BERLAKU
A. Dakwaan 1. Pengertian Surat Dakwaan Istilah surat dakwaan (telastelegging) dipakai secara resmi di dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebelumnya dalam beberapa undang-undang yang berkaitan dengan hukum acara pidana dipakai istilah surat tuduhan sebagai terjemahan dari (telastelegging). Pengertian dari surat dakwaan itu sendiri adalah suatu akta yang di buat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan oleh terdakwa sekaligus merupakan dasar pemeriksaan perkara bagi hakim dalam putusan-putusan penyelesaian perkara tindak pidana di Pengadilan. 61 Surat dakwaan merupakan dasar penting dari hukum acara pidana karena berdasarkan hal-hal yang dimuat dalam surat dakwaan itulah hakim akan memerika perkara itu. 62 Pemeriksaan harus didasarkan pada dakwaan dan menurut Nederburg pemeriksaan itu tidak batal jika batas-batas dilalui (dilampaui), namun putusan hakim
61
Matteus A. Rogahang, “Suatu Study Tentang Akibat Hukum Dari Surat Dakwaan Kabur Dalam Perkara Pidana”, Jurnal Lex Crimen, Vol. I, No. 4, Okt-Des 2012, hal. 112. 62 Andi Hamzah (1996), Op. cit., hal. 170.
Universitas Sumatera Utara
itu hanya diperbolehkan mengenai peristiwa-peristiwa yang masih terletak pada batas-batas itu. 63 Surat dakwaan merupakan dasar atau landasan pemeriksaan di dalam sidang pengadilan. Hakim dalam memeriksa suatu perkara tindak pidana tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan hanya dapat dijatuhi hukuman oleh karena telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan atau dinyatakan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya. 64 Surat dakwaan dalam perkara pidana merupakan pedoman dasar dari keseluruhan proses pidana. Keseluruhan isi dalam surat dakwaan merupakan dasar bagi pemeriksaan dan dasar bagi putusan hakim. 65 Menurut Andi Hamzah terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang disebut di dalam surat dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut di dalam surat dakwaan, maka terhadap terdakwa tidak dapat dipidana. 66 Surat dakwaan itu sangat besar gunanya bagi acara pidana, karena merupakan dasarnya. Surat dakwaan sebagai landasan pemeriksaan bagi hakim berarti sebagai titik tolak pemeriksaan terdakwa 67, sedangkan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan berarti hakim tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam
63
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, Balai Aksara, Yudhistira, 1985), hal. 167. 64 Matteus A. Rogahang, Op. cit., hal. 111, dan hal 122. 65 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2222 K/Pid/2012 tanggal 14 Mei 2013, hal. 7. 66 Andi Hamzah (1985), Op. cit., hal. 168. 67 M. Yahya Harahap (II), Op. cit, hal. 389.
Universitas Sumatera Utara
surat dakwaan. 68 Surat dakwaan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan hakim. Jauh lebih penting fungsi dari surat dakwaan adalah harus dapat memberikan penjelasan kepada terdakwa dan kepada hakim, atas perbuatan yang mana terdakwa didakwa. 69 Surat dakwaan berguna sebagai dasar atau landasan pemeriksaan perkara di dalam sidang pengadilan. Hakim dalam memeriksa suatu perkara tindak pidana tidak boleh menyimpang dari substansi yang dirumuskan dalam surat dakwaan. 70 Surat dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan surat dakwaan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. 71 Konsekuensi surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, berarti surat dakwaan harus sudah dibuat dan harus dilampirkan pada waktu pelimpahan perkara ke pengadilan sebelum pemeriksaan sidang pengadilan dilakukan. 72 Andi Hamzah membedakannya dengan surat gugatan. Kalau dalam perkara perdata disebut surat gugatan, sedangkan dalam perkara pidana disebut surat dakwaan. Keduanya mempunyai persamaan yaitu sama-sama sebagai dasar hakim dalam
melakukan
pemeriksaan
dan
hanya
dalam
batas-batas
isi
surat
gugatan/dakwaan itulah hakim boleh memutuskannya. Perbedaan dari keduanya yaitu, kalau surat gugatan dibuat/disusun oleh pihak yang dirugikan, sedangkan 68
Ibid., hal. 190. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2222 K/Pid/2012 tanggal 14 Mei 2013, hal. hal. 8. 70 Wilhelmus Taliak, “Akibat Hukum Surat Dakwaan Batal dan Surat Dakwaan Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Perkara Pidana”, Jurnal Lex Crimen, Vol. IV, No. 1, Jan-Mar 2015, hal. 79-80. 71 A. Hamzah dan Irdan Dahlan, Surat Dakwaan, (Bandung: Alumni, 1987), hal.18. 72 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 44. 69
Universitas Sumatera Utara
dalam
surat
dakwaan,
diharuskan
bagi
jaksa
penuntut
umum
yang
membuat/menyusun surat dakwaan itu dan tidak bergantung pada kemauan korban (kecuali delik aduan). 73 Menurut M. Yahya Harahap, sebelum KUHAP diberlakukan yaitu pada masa berlakunya periode Herziene Inlandsch Reglimen (HIR), surat dakwaan disebut surat tuduhan (acte van beschuldiging). 74 Surat tuduhan dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri sehingga kedudukan jaksa penuntut umum belum sempurna dan tidak berdiri sendiri, karena Ketua Pengadilan Negeri tidak terikat pada surat tolakan jaksa, dan jaksa-jaksa penuntut umum masih berada dalam pengawasan Ketua Pengadilan Negeri. 75 Sebelum lahirnya KUHAP, jaksa tidak bertugas untuk membuat surat dakwaan atau surat tuduhan melainkan hanya membuat surat pelimpahan perkara ke pengadilan. Dengan berlakunya sesuai Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia dan SEMA Nomor: 6/MA/1962/23/SE Tanggal 20 Oktober 1962, jaksa diberi tugas membuat surat tuduhan atau surat dakwaan. Sesuai Pasal 12 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 1961 bilamana jaksa dalam membuat surat dakwaan kurang memenuhi syarat, maka jaksa wajib memperhatikan saran-saran yang diberikan hakim. 76
73
Andi Hamzah (1996), Loc. cit. M. Yahya Harahap (II), Op. Cit., hal. 386. 75 Ibid., hal. 389. 76 Prapto Soepardi, Surat Dakwaan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991, hal. 11. Hal itu juga diperjelas dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 6/MA/1962/23/SE Tanggal 20 Oktober 1962. 74
Universitas Sumatera Utara
Istilah surat tuduhan dipersamakan dengan acte van beschuldiging dipakai pada masa dulu (sebelum KUHAP), namun setelah berlakunya KUHAP tahun 1981 seperti yang ditentukan dalam Pasal 140 ayat (1) KUHAP diberi nama “surat dakwaan” atau pada masa lalu surat dakwaan biasa juga disebut dengan istilah acte van verwijzing yang dalam istilah hukum Inggris ini disebut dengan imputation atau indictment. 77 Istilah surat dakwaan dalam KUHAP inilah yang dipersamakan pula dengan telastelegging. 78 Istilah surat dakwaan merupakan kata yang diperkenalkan melalui ketentuan Pasal 140 ayat (1) KUHAP. Istilah yang diperkenalkan oleh HIR melalui Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44 adalah surat tuduhan (acte van beschuldiging). Selain itu istilah surat dakwaan dalam hukum Belanda yang menganut sistem Eropa Kontinental lazim disebut dengan acte van verwijzing atau pada Anglo Saxon dikenal dengan istilah imputation. 79 Setelah berlakunya KUHAP tahun 1981, penuntut umum barulah menjadi mandiri dalam membuat surat dakwaan seperti telah ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Tenggang waktu antara mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 sampai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ini disebut masa transisi bagi jaksa untuk menjadi seorang jaksa penuntut umum yang benar-benar mandiri. Penuntut umum menjadi diwajibkan untuk selalu meningkatkan kemampuan 77
M. Yahya Harahap (II), Loc. cit. Surat tuduhan dalam HIR dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri dengan istilah acte van beschuldiging atau lazim disebut acte van verwijzing yakni akte yang menyerahkan perkara ke persidangan dan memuat perbuatan-perbuatan yang dituduhkan. 78 http://www.rug.nl/research/portal/files/14458024/26_tirannie.pdf, diakses tanggal 26 November 2015, Artikel yang ditulis oleh G.A.M. Strijards, berjudul “Tiranie en Territoir”. 79 Lilik Mulyadi (I), Op. cit, hal. 37.
Universitas Sumatera Utara
dalam menjalankan tugasnya yang pada akhirnya benar-benar menjadi seorang penuntut umum yang profesional dalam segala seginya, berinovasi, bertindak cepat, cermat, dan tepat. 80 KUHAP tidak memberikan pengertian tentang surat dakwaan, namun dapat ditemukan dalam doktrin-doktrin para ahli dan yurisprudensi. Pengertian surat dakwaan menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, adalah: 81 a. Surat akta. b. Memuat perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. c. Perumusan mana ditarik dan disimpulkan dari hasil pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan unsur delik pasal tindak pidana yang dilanggar dan didakwakan kepada terdakwa. d. Surat dakwaan tersebut menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim dalam sidang pengadilan. Keseluruhan pasal-pasal di dalam KUHAP tidak menentukan batasan apa yang disebut dengan surat dakwaan. Mengenai batasan surat dakwaan diserahkan kepada para doktrina, kebiasaan praktik peradilan dan yurisprudensi. Terdapat beberapa pandangan para doktrina mengenai surat dakwaan, antara lain surat dakwaan dirumuskan oleh M. Yahya Harahap sebagai surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. 82
80
Prapto Soepardi, Op. cit., hal. 12. M. Yahya Harahap (II), Loc. cit. 82 Ibid., hal. 387. 81
Universitas Sumatera Utara
Rumusan pengertian surat dakwaan ini disesuaikan dengan jiwa dan ketentuan KUHAP. Sekalipun dikenal surat tuduhan, namun oleh karena KUHAP menggunakan istilah surat dakwaan, maka pada pengertian ini sudah digunakan istilah atau sebutan yang berasal dari KUHAP, seperti istilah yang ”didakwakan” dan ”hasil pemeriksaan penyidikan” sebagai istilah baru yang dibakukan dalam KUHAP untuk menggantikan istilah ”tuduhan” dan yang ”dituduhkan”. Demikian juga istilah ”pemeriksaan permulaan” yang disebut dalam HIR dibakukan menjadi sebutan ”pemeriksaan penyidikan” di dalam KUHAP. 83 Pengertian surat dakwaan dirumuskan oleh A. Karim Nasution sebagai suatu surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan yang bila ternyata cukup bukti, terdakwa dapat dijatuhkan hukuman. 84 Pengertian ini masih menggunakan istilah tuduhan untuk surat dakwaan, yang seolah-olah belum sesuai jiwa KUHAP yang menggunakan istilah surat dakwaan. Lilik Mulyadi merumuskannya sebagai dasar dari hukum acara pidana dan berdasarkan dakwaan itulah pemeriksaan persidangan dilakukan. 85 Surat dakwaan dibuat oleh penuntut umum berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pendahuluan yang dilakukan oleh penyidik, semua informasi mengenai fakta-fakta
83
Ibid. A. Karim Nasution, Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana, (Jakarta: PN Percetakan Negara Republik Indonesia, 1972), hal. 75. 85 Lilik Mulyadi (I), Op. cit, hal. 39. 84
Universitas Sumatera Utara
delik terhimpun di dalam berkas perkara (case dosier). 86 Hakim pada prinsipnya tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh penuntut umum di dalam surat dakwaannya sebagaimana ketentuan di dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/Pid/1983 Tanggal 26 Mei 1984. 87 Pengertian surat dakwaan dirumuskan oleh A. Soetomo sebagai surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku atau pembuat pidana, termasuk kapan dan di mana perbuatan itu dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan yang didakwakan dan dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dari undang-undang tertentu pula yang nantinya menjadi dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk dibuktikan kebenaran perbuatan yang didakwakan itu dilakukan dan memastikan kebenaran terdakwa adalah pelaku atau tidak yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana tersebut. 88 Jika hakim mengadili terdakwa, maka pembuktian terhadap fakta-fakta di persidangan yang akan menentukan terbukti atau tidaknya seseorang bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana yang disebutkan di dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum. Jika pembuktian di persidangan, ternyata kesalahan terdakwa 86
Soedjono Dirdjosisworo, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, (Jakarta: Rajawai Press, 1984), hal. 149-150. 87 Lilik Mulyadi (I), Loc. cit. 88 A. Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan dan Suplemen, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum sesuai dengan rumusan di dalam surat dakwaan maka hakim pengadilan akan menjatuhkan pidana. Sebaliknya, jika terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum, atau perbuatan tersebut tidak dirumuskan di dalam surat dakwaan, maka hakim pengadilan akan membebaskan terdakwa. 89 Menurut A. Soetomo, ada terobosan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Putusan Nomor 693 K/Pid/1986 Tanggal 12 Juli 1986 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 675 K/Pid/1987 Tanggal 21 Maret 1989 dimana kedua putusan ini dapat dijadikan sebagai yurisprudensi. Terdakwa dijatuhi pidana dengan tindak pidana sejenis yang sifatnya lebih ringan, misalnya didakwa secara tunggal melanggar Pasal 360 ayat (1) KUH Pidana akan tetapi yang terbukti adalah Pasal Pasal 360 ayat (2) KUH Pidana, maka terdakwa dapat dijatuhi pidana sesuai dengan Pasal 360 ayat (2) KUH Pidana walaupun pasal ini tidak didakwakan. 90 Yurisprudensi yang lain masih menurut A. Soetomo yaitu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 818 K/Pid/1984 Tanggal 30 Mei 1985, dimana terdakwa didakwa secara tunggal melanggar Pasal 310 KUH Pidana akan tetapi yang terbukti adalah Pasal 315 KUH Pidana, maka terdakwa dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan Pasal 315 KUH Pidana walaupun pasal ini tidak didakwakan di surat 89
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2011), hal. 184-185. Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Apabila dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging). 90 A. Soetomo, Op. cit., hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
dakwaan penuntut umum. Alasan Mahkamah Agung yang berpendirian dapat dijatuhi pidana asalkan tindak pidananya yang sejenis. 91 Terkait dengan prinsip “surat dakwaan adalah dasar bagi hakim” dalam pemeriksaan perkara, dalam pandangan M. Yahya Harahap bahwa hakim tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan hanya dijatuhi hukuman karena telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan atau yang telah dinyatakan dalam surat dakwaan. Oleh karena itu menurutnya pendekatan pemeriksaan persidangan harus bertitik tolak dan diarahkan kepada upaya membuktikan tindak pidana yang dirumuskan dalam surat dakwaan. 92 Penegasan prinsip “surat dakwaan adalah dasar bagi hakim” ini menurut M. Yahya Harahap sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 68K/Kr/1973 Tanggal 16 Desember 1976, yang menyatakan: “Putusan pengadilan harus berdasarkan pada tuduhan, yang dalam hal ini berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam surat tuduhan lebih banyak ditujukan pada Pasal 310 KUHP”. 93 Berdasarkan prinsip ini, M. Yahya Harahap sepertinya tidak sependapat dengan alasan Mahkamah Agung yang berpendirian dapat dijatuhi pidana asalkan tindak pidananya yang sejenis seperti yurisprudensi di atas. Hal seperti inilah menurut M. Yahya Harahap yang sering dilalaikan oleh sebahagian hakim dalam pemeriksaan perkara di persidangan. Sering pemeriksaan 91
Ibid. M. Yahya Harahap (II), Op. cit., hal. 390. 93 Ibid. 92
Universitas Sumatera Utara
sidang menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan yang mengabaikan pemeriksaan, dan pertimbangan putusan menyimpang dari apa yang dimaksudkan dalam surat dakwaan. 94 Pengakuan terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Putusan Nomor 693 K/Pid/1986 Tanggal 12 Juli 1986 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 675 K/Pid/1987 Tanggal 21 Maret 1989 serta Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 818 K/Pid/1984 Tanggal 30 Mei 1985, sebagai yurisprudensi tidak sependapat dengan pandangan M. Yahya Harahap, dan bahkan dalam bukunya berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP” sama sekali tidak memasukkan ketiga putusan tersebut sebagai yurisprudensi. Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat dua pandangan yang saling berbeda, pada satu sisi putusan MA tersebut di atas menyatakan “terdakwa dapat dijatuhi pidana asalkan tindak pidananya yang sejenis”, sedangkan di sisi lain menurut M. Yahya Harahap menentang dan menyatakan hal seperti itu sebagai suatu kelalaian oleh sebahagian hakim dalam pemeriksaan perkara di persidangan, dan menganggap pertimbangan yang demikian menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan, dan mengabaikan pemeriksaan. 2. Syarat-Syarat Surat Dakwaan Syarat-syarat surat dakwaan menurut ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP, hanya menyebutkan bahwa syarat-syarat suatu surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal 94
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan serta uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tindak pidana dilakukan. Menurut pandangan doktrina, ketentuan surat dakwaan ini merupakan syarat formil dan syarat materiil yang harus ada dalam surat dakwaan. 95 Syarat-syarat dalam surat dakwaan terkategori ada 2 (dua) syarat yang harus ada dalam surat dakwaan yang terdiri dari syarat formil dan materiil. Syarat-syarat tersebut terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP yaitu: 96 a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka (Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP). b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan (Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP). Syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP tersebut adalah syarat formil surat dakwaan, sedangkan syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP tersebut adalah syarat materiil surat dakwaan. Perkara
95
Lilik Mulyadi (II), “RUU KUHAP Dari Perspektif Seorang Hakim”, Makalah Disampaikan Dalam Diskusi Panel Quo Vadis RUU KUHAP: Catatan Kritis atas RUU KUHAP, Dalam Rangka Merayakan 60 Tahun Denny Kailimang, S.H., M.H., di Hotel Shangri-la, Jakarta, Tanggal 26 Nopember 2008, hal. 14. Pada acara ini dihadiri berbagai nara sumber lainnya yaitu Kombes (Pol) Dr. RM. Panggabean, SH, MH (Kabid Kumdang Divbinkum Polri), Ramelan, SH MH (Mantan Jampidsus Kejagung RI), Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH MH (Akademisi, Advokad & Tim Perumus RUU KUHAP) dan Prof. Dr. Andi Hamzah, SH (Tim Perumus RUU KUHAP). Lilik Mulyadi adalah Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Penulis Buku Ilmu Hukum dan Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka, Malang. 96 Andi Hamzah (1996), OP. cit., hal. 170.
Universitas Sumatera Utara
pidana sebelum disidangkan harus dipelajari terlebih dahulu apakah surat dakwaan memenuhi syarat formil dan syarat materiil. 97 Menurut Lilik Mulyadi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP merupakan syarat formil surat dakwaan. Sedangkan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP merupakan syarat materiil surat dakwaan. Dikatakan Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP sebagai syarat formil karena ketentuan ini diperlukan untuk meneliti kebenaran terdakwa yang diadili sesuai dengan identitas terdakwa di dalam surat dakwaan penuntut umum. 98 Untuk memenuhi syarat formil dan syarat materiil dalam dakwaan, maka terhadap dakwaan tersebut harus pula dilakukan eksaminasi. 99 Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dikatakan sebagai syarat materiil karena ketentuan ini merupakan bagian yang paling penting di dalam surat dakwaan. Sebab, jika surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, maka surat dakwaan tersebut menjadi batal demi hukum, artinya dakwaan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dilanjutkan. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang pada intinya syarat surat dakwaan paling penting adalah harus diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap 97
Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Pidana Oleh Hakim Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura. Lampiran SK Ketua Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura Nomor: W4.U13/459/KP.01.10/IV/2012 Tanggal 24 April 2012. 98 Lilik Mulyadi (I), Op. cit., hal. 41-42. 99 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-036/A/JA/09/2011 tenggal 21 September 2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, (Jakarta: Kejagung RI, 2011), hal. 4 dan hal. 32-33. Lihat juga: Pasal 1 angka 11 jo Pasal 49, Pasal 50 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per036/A/JA/09/2011 Tenggal 21 September 2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Eksaminasi adalah penelitian dan pemeriksaan berkas perkara di semua tingkat penanganan perkara oleh pimpinan untuk menilai kecakapan dan kemampuan teknis Jaksa/JPU dalam melaksanakan tugas atau penyelesaian suatu perkara dari sudut teknis yuridis maupun administrasi negara.
Universitas Sumatera Utara
mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. 100 Bilamana bertitik tolak pada ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP (vide: Pasal 50 ayat (4) RUU KUHAP), menurut Lilik Mulyadi mengatakan secara tegas hanya mengancam batal demi hukum (van rechtwege nietig atau null and void) terhadap syarat materiil surat dakwaan terkait pemenuhan syarat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP (vide: Pasal 50 ayat (2) huruf b RUU KUHAP). Akan tetapi mengenai kapan dan dalam hal apa suatu “dakwaan tidak dapat diterima” tidak diatur. 101 Dalam hal ini perlu diketahui perbedaan antara “dakwaan tidak dapat diterima” dan “dakwaan batal demi hukum”. Keriteria suatu dakwaan tidak dapat diterima menurut pendapat Tirtaamidjaja dan Amin disebabkan faktor-faktor karena: 1) dituntutnya seseorang, padahal tidak ada pengaduan dari si korban dalam tindak pidana aduan (klacht delicten); 2) adanya daluwarsa hak menuntut sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP; 3) adanya unsur ne bis in idem sebagaimana diatur dalam Pasal 76 KUHP; dan 4) adanya keberatan terhadap apa yang didakwakan kepada terdakwa sedang diperiksa oleh pengadilan lain (asas exceptio litis pendentis). 102 M. Yahya Harahap menyebut terhadap empat
100
Lilik Mulyadi (I), Loc. cit. Lilik Mulyadi (II), Op. cit., hal. 16. 102 H. M. Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Jaksa, (Jakarta: Fasco, 1955), hal. 71. Lihat juga: S. M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1971), hal. 141. 101
Universitas Sumatera Utara
faktor di atas, dengan istilah “dakwaan tidak dapat diterima” dan khusus ne bis in idem dapat juga disebut sebagai “tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima”. 103 Sedangkan untuk “dakwaan batal demi hukum” disebabkan oleh karena faktor-faktor yang disebutkan di dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP tidak terpenuhi dalam surat dakwaan, atau tidak terpenuhinya syarat materiil dalam suatu dakwaan, maka batal demi hukum (bersifat wajib batal). Untuk “dakwaan dapat dibatalkan” disebabkan oleh karena faktor-faktor yang disebutkan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP tidak terpenuhi dalam surat dakwaan, atau tidak terpenuhinya syarat formil dalam surat dakwaan, maka terhadap dakwaan tersebut dapat diajukan pembatalannya (bersifat relatif), tergantung juga pada kualifikasi syarat formil yang tidak terpenuhi. M. Yahya Harahap bahkan mengatakan bahwa kekurangan syarat formil tidak menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum. Surat dakwaan yang kekurangan syarat formil tidak dengan sendirinya batal menurut hukum (van rechtswege nietig / null end void), tetapi pembatalan surat dakwaan yang kekurangan syarat formil tersebut adalah dapat dibatalkan (vernietigbaar / voedable), karena hal itu dipandang sebagai kurang sempurna (imperpect). Kesalahan syarat formiil tidak bersifat prinsipil. Misalnya kesalahan menyebut umur tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan surat dakwaan. 104
103 104
Lilik Mulyadi (II), Op. cit., hal. 17. M. Yahya Harahap (II), Op. cit., hal. 391.
Universitas Sumatera Utara
Kesalahan atas ketidaksempurnaan syarat formil masih dapat dibetulkan hakim dalam proses pemeriksaan. Pembetulan kekurangan syarat formil dalam surat dakwaan pada prinsipnya tidak menimbulkan sesuatu akibat hukum yang dapat merugikan terdakwa. Contoh jaksa penuntut umum lupa mencantumkan jenis kelamin terdakwa. Kelalaian demikian bertentangan dengan Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, namun kelalaian seperti ini tidak sampai mempunyai kualitas yang bersifat membatalkan surat dakwaan, karena tanpa mencantumkan jenis kelamin terdakwa sekalipun masih dapat diidentifikasi pada diri terdakwa itu sendiri. 105 Menurut Andi Hamzah, dari Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, yang menjadi syarat mutlak adalah dicantumkannya: waktu terjadinya delik, tempat terjadinya delik, dan delik yang didakwakan (waktu, tempat, dan delik). Disebutkan sebagai syarat mutlak karena bila tidak disebutkan waktu, tempat, dan delik yang didakwakan menjadikan surat dakwaan tersebut batal, dasarnya adalah Pasal 143 ayat (3) KUHAP. 106 Surat dakwaan yang menjadi batal demi hukum itu disebut juga dengan van rechtswege nietig atau juga disebut dengan null end void. 107 Syarat mutlak yang disebut Andi Hamzah berarti sifatnya wajib, sama halnya dengan pendapat M. Yahya Harahap mengatakan syarat materiil tidak boleh
105
Marwan Mas, “Penguatan Argumentasi Fakta-Fakta Persidangan dan Teori Hukum Dalam Putusan Hakim (Strenghtening the Argument on Legal Facts and Legal Theories in Judge-Made Laws) Kajian Putusan Nomor 181 K/Pid/2007/MA”, Jurnal Yudisial, Vol. 5, No. 3, Desember 2012, hal. 287. 106 Andi Hamzah (1996), Op. cit., hal. 171. 107 Wilhelmus Taliak, Op. cit., hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
dilalaikan. Menurut M. Yahya Harahap syarat formal dan syarat materiil surat dakwaan adalah: 108 a. Syarat formal memuat hal-hal yang berhubungan dengan: 1) Surat dakwaan diberi tanggal dan tandatangan oleh penuntut umum/jaksa. 2) Nama lengkap, tempat lahir, umum atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka. b. Syarat materiil memuat dua unsur yang tidak boleh dilalaikan: 1) Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. 2) Menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti). Pemenuhan syarat-syarat formil dan materiil terkait dengan Pasal 143 ayat (2) KUHAP ini harus sinkron dengan hasil penyidikan, harus benar-benar sejalan dan seiring dengan hasil pemeriksaan penyidikan. Surat dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan merupakan surat dakwaan palsu dan tidak benar untuk dibawa ke sidang pengadilan. Materi surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan hakim dalam sidang pengadilan, tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan tindak pidana yang disangkakan oleh penyidik dalam berkas perkara penyidikan. 109 Menurut M. Yahya Harahap apabila surat dakwaan menyimpang dari hasil pemeriksaan surat penyidikan, maka hakim dapat menyatakan surat dakwaan tersebut tidak dapat diterima atas alasan isi surat dakwaan kabur (obscuur libel). 110 Terdakwa hanya dapat dijatuhi pidana jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang diuraikan dalam surat dakwaan. 111
108
M. Yahya Harahap (II), Loc. cit. Marwan Mas, Op. cit., hal. 286. 110 M. Yahya Harahap (II), Op. Cit., hal. 394. 111 Marwan Mas, Loc. cit. 109
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 143 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP terbentuklah dua syarat yaitu syarat formil dan materiil. Kedua syarat ini harus dipenuhi dalam surat dakwaan. Akan tetapi undang-undang sendiri membedakan kedua syarat ini tepatnya di Pasal 143 ayat (3) KUHAP karena menurut pasal ini “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”. Berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, maka syarat mutlak menyusun surat dakwaan adalah harus dicantumkannya uraian mengenai waktu dan tempat terjadinya delik, dan delik yang didakwakan. Syarat mutlak dalam surat dakwaan harus diuraikan secara, cermat, jelas, dan lengkap, karena konsekuensi juridis dari pelanggaran dan/atau tidak dipenuhinya syarat mutlak tersebut adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP, yaitu surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. Terkait dengan syarat materiil dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP tentang hal-hal atau keadaan-keadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa, ada pendapat yang menarik antara Andi Hamzah dan M. Yahya Harahap. Sebagaimana Andi Hamzah berpendapat bahwa: Di dalam KUHAP Pasal 143 disebut syarat-syarat seperti tersebut di atas. Syarat yang mutlak ialah dicantumkannya waktu dan tempat terjadinya delik dan delik yang didakwakan. Selain daripada syarat-syarat tersebut, menurut peraturan lama dan kebiasaan, perlu pula disebut hal-hal dan keadaan-keadaan dalam mana delik dilakukan khususnya mengenai hal yang meringankan dan memberatkan. Kalau hal-hal dan keadaan-keadaan tidak disebut dalam
Universitas Sumatera Utara
dakwaan tidak menjadikan batalnya dakwaan, 112 berlainan jika waktu dan tempat terjadinya delik serta delik yang didakwakan tidak disebut yang menjadikan dakwaan menjadi batal (Pasal 143 ayat 3 KUHAP). 113 Pendapat Andi Hamzah tersebut telah sesuai dengan jiwa Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yang mempersempit pemaknaan dari syarat materiil. Sebagaimana diketahui bahwa mengenai hal-hal dan keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan tidak lagi dimasukkan dalam rumusan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, namun keadaan-keadaan itu tidak bersifat wajib (mutlak). Ini berarti cukup dengan dirumuskannya delik pidana itu saja telah memenuhi syarat materiil. Merumuskan delik pidana berarti merumuskan cara-cara dilakukannya tindak pidana. Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP hanya menyebut uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan, bukan menyebut keadaankeadaan. Rumusan syarat materiil dalam ketentuan lama yaitu dalam Pasal 250 ayat (4) HIR ditentukan sebagai berikut: Apabila ditimbangnya, bahwa ada cukup alasan-alasan akan menuntut tersangka tentang kejahatan atau pelanggaran maka perkara itu diserahkan kepada persidangan pengadilan negeri dengan menyatakan dalam surat ketetapan itu perbuatan-perbuatan yang dituduhkan serta menerangkan kirakira pada waktu mana dan kira-kira di tempat mana perbuatan itu dilakukan kalau tidak disebut itu semuanya surat ketetapan batal, kecuali bila ada perubahan menurut Pasal 282. Dalam surat ketetapan itu diterangkan juga keadaan-keadaan waktu melakukan perbuatan itu, terutama benar hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan kesalahan yang tersangka. 114 Ia memerintahkan juga supaya surat-surat syah dan daftar-daftar asli yang
112
Garis bawah tersebut di atas merupakan penekanan dari penulis. Andi Hamzah (1985), Op. cit., hal. 168. 114 Garis bawah tersebut di atas merupakan penekanan dari penulis. 113
Universitas Sumatera Utara
tersebut dalam Pasal 83 h diserahkan kepadanya dan untuk penerimaan ini diberikan surat tanda penerimaan. Berdasarkan rumusan syarat materiil dalam ketentuan Pasal 250 ayat (4) HIR tersebut dapat diketahui bahwa surat dakwaan adalah perbuatan-perbuatan yang ditudukan kepada si tertuduh serta kira-kira waktunya dan kira-kira dimana tempatnya perbuatan itu dilakukan. Dalam surat penetapan itu hendaklah diterangkan juga keadaan waktu perbuatan itu dilakukan sebagai hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan kesalahan si tertuduh. Jika hal-hal itu tidak disebut maka surat penetepan itu batal. Rumusan Pasal 250 ayat (4) HIR berbeda dengan rumusan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Rumusan Pasal 250 ayat (4) HIR menggunakan syarat materiil yang terlalu melebar dibandingkan dengan rumusan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yang sangat sederhana. Rumusan hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat meringankan atau memberatkan terdakwa dalam rumusan Rumusan Pasal 250 ayat (4) HIR sebagai salah satu syarat materiil, tidak lagi dimasukkan dalam rumusan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Perbedaannya cukup jelas mengenai syarat materiil surat dakwaan antara ketentuan lama (HIR) dan ketentuan baru (KUHAP). Dalam HIR tidak ada menyebutkan bahwa dakwaan harus diuraikan secara jelas, cermat dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan tetapi ada ditemukan hal-hal atau keadaankeadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa. Sedangkan dalam KUHAP harus diuraikan secara jelas, cermat dan lengkap tentang tindak pidana yang
Universitas Sumatera Utara
didakwakan, dan tidak ditemukan hal-hal atau keadaan-keadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa. Menurut ketentuan lama syarat material wajib ditambah lagi dengan uraian yang meringankan atau memberatkan terdakwa, tetapi syarat ini dalam KUHAP tidak mutlak harus dicantumkan. Tidak dipenuhinya syarat-syarat mengenai hal-hal atau keadaan-keadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa berdasarkan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP tidak akan mengakibatkan batalnya surat dakwan. 115 Pandangan yang hampir sama dengan pendapat Andi Hamzah tersebut adalah juga dikemukakan oleh M. Yahya Harahap yang berpendapat berikut: 116 Fakta dan keadaan bukan termasuk syarat materiil. Sebab kalau dijabarkan apa yang menjadi isi syarat materiil surat dakwaan adalah: a. Uraian cermat, lengkap dan jelas mengenai tindak pidana yang didakwakan. Hal ini berarti uraian lengkap mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. b. Menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Pada syarat inipun tidak disebutkan mengenai fakta dan keadaan. 117 Yang disebutkan hanya mengenai “waktu” dan “tempat” kejadian. Baik pada syarat pertama dan kedua tidak disebut mengenai fakta dan keadaan. Oleh karena itu mengenai fakta dan keadaan bukan merupakan syarat materiil maupun syarat formal dalam surat dakwaan. Tanpa menyebutkan fakta dan keadaan dalam surat dakwaan, tidak mengurangi sahnya surat dakwaan. 118 Namun demikian, sebaliknya surat dakwaan sedapat mungkin memuat fakta dan keadaan yang meliputi tindak pidana yang didakwakan. Penguraian fakta dan keadaan yang lengkap dalam surat dakwaan, lebih memberi penjelasan kepada terdakwa dan hakim tentang tindak pidana yang didakwakan. Akan tetapi surat dakwaan yang tidak memuat uraian tentang fakta dan keadaan secara sempurna dan lengkap, tidak mengakibatkan batalnya surat dakwaan. 119 Hal ini ditegaskan dalam suatu 115
Matteus A. Rogahang, Op. cit., hal. 114. M. Yahya Harahap (II), Op. cit., hal. 395. 117 Garis bawah tersebut di atas merupakan penekanan dari penulis. 118 Garis bawah tersebut di atas merupakan penekanan dari penulis. 119 Garis bawah tersebut di atas merupakan penekanan dari penulis. 116
Universitas Sumatera Utara
Putusan Mahkamah Agung Nomor 36 K/Kr/1968 Tanggal 23 Agustus 1968 yang memuat: “Walaupun surat tuduhan tidak menyebutkan fakta dan keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan tidak secara lengkap tergambar, tidak dengan sendirinya mengakibatkan batalnya putusan”. Terkait dengan rumusan Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang menegaskan: “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”, ada persamaan dan perbedaan pendapat antara Andi Hamzah dan M. Yahya Harahap terkait dengan pemenuhan syarat materiil dalam surat dakwaan. Sekalipun menurut Pasal 143 ayat (3) KUHAP dinyatakan batal demi hukum terhadap surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, namun antara keadaan-keadaan, fakta-fakta, dan cara melakukan tindak pidana perlu diketahui perbedaannya. Berdasarkan pendapat Andi Hamzah di atas dengan tegas mengatakan: “Kalau hal-hal dan keadaan-keadaan tidak disebut dalam dakwaan tidak menjadikan batalnya dakwaan”. Pendapat ini memiliki kesamaan dengan pendapat M. Yahya Harahap yang mengatakan: “Fakta dan keadaan bukan termasuk syarat materiil”, dan “Tanpa menyebutkan fakta dan keadaan dalam surat dakwaan, tidak mengurangi sahnya surat dakwaan”. Fakta dan keadaan menurut kedua pandangan ini bukan merupakan syarat materiil, artinya bilapun fakta-fakta dan keadaan-keadaan itu tidak disebutkan dalam surat dakwaan, tidak membuat surat dakwaan itu menjadi batal demi hukum. Secara keseluruhan rumusan dalam Pasal 143 KUHAP tidak memberikan penjelasan dan pengertian lebih lanjut tentang cara menyusun uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai delik yang didakwakan dengan menyebut waktu dan
Universitas Sumatera Utara
tempat delik itu dilakukan. Oleh karena itu dalam prakteknya, pengertian dan cara penguraian cermat, jelas, dan lengkap tersebut diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin yang berlaku. 120 Menurut Jonkers, yang harus dimuat dalam surat dakwaan selain menguraikan perbuatan yang sungguh-sungguh dilakukan bertentangan dengan hukum pidana, juga harus memuat unsur-unsur yuridis kejahatan yang bersangkutan. Artinya, surat dakwaan harus memuat dan menguraikan sedemikian rupa, sehingga jelas dan terang bahwa suatu perbuatan sungguh-sungguh telah dilakukan (syarat materiil). Termasuk dalam uraian yang jelas dan lengkap adalah tentang bagaimana (cara-cara) perbuatan dilakukan dalam kaitan dengan perumusan delik dalam hukum pidana serta dimana tercantum larangan atas perbuatan itu. 121 KUHAP sendiri khususnya pada Pasal 143 ayat (2) KUHAP tidak menggariskan dan menjelaskan dengan tegas fakta dan keadaan sebagai syarat materiil. Akibatnya dalam praktik beracara menimbulkan permasalahan. Oleh karena itu untuk meminimalisir permasalahan dalam praktik beracara itu, maka Putusan Mahkamah Agung Nomor 36 K/Kr/1968 Tanggal 23 Agustus 1968 dapat dipedomani sebagai yurisprudensi untuk menilai surat dakwaan yang tidak secara lengkap memuat fakta dan keadaan, tidak dengan sendirinya mengakibatkan batalnya surat dakwaan. 120
http://www.kontras.org/munir/Nota%20Keberatan.pdf, diakses tanggal 29 November 2015, Nota Keberatan Atas Surat Dakwaan Nomor Register Perkara: PDM-1305/JKT.PST/07/05 pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara Atas Nama Terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto oleh Tim Penasehat Hukum Terdakwa, Mohamad Assegaf dkk, hal. 11. 121 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
M. Yahya Harahap menyarankan bahwa harus dibedakan pengertian fakta dan/atau keadaan dengan “cara melakukan” tindak pidana. Cara melakukan tindak pidana menurutnya merupakan syarat materiil surat dakwaan, misalnya terdakwa didakwa membunuh, tetapi surat dakwaan tidak menyebutkan secara jelas cara pembunuhan dilakukan oleh terdakwa. Dakwaan yang demikian adalah kabur sehingga persidangan tidak tahu arah bagaimana membuktikan kesalahan terdakwa. Lain halnya mengenai fakta dan/atau keadaan yang lebih mendekati masalah pembuktian dan berhubungan dengan hal-hal yang memberatkan hukuman. Oleh karena fakta dan/atau keadaan ini lebih dekat dengan masalah alat pembuktian maka fakta dan/atau keadaan itu dapat dikemukakan oleh jaksa dalam persidangan. 122 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa dalam pemenuhan syarat materiil surat dakwaan hanya ada tiga hal pokok penting yang harus dipenuhi, yaitu 1) Waktu tindak pidana dilakukan (tempus delicti), 2) Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti), dan 3) Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. Syarat ketiga merupakan cara-cara tindak pidana dilakukan. Namun perlu diketahui pula bahwa mengenai syarat ketiga tidak perlu disebutkan mengenai fakta dan/atau keadaan-keadaan terkait dengan tindak pidana itu, cukup dengan menyebutkan cara-cara tindak pidana itu dilakukan. 3. Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan Pasal 140 ayat (1) KUHAP menentukan: Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu 122
M. Yahya Harahap (II), Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
secepatnya membuat surat dakwaan”. KUHAP tidak menyebut bentuk-bentuk surat dakwaan yang harus disusun oleh penuntut umum. Demikian juga dalam Pasal 143 ayat (1) KUHAP menentukan: “Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara disertai dengan surat dakwaan”. Bentuk-bentuk surat dakwaan dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, didasarkan pada Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-004/J.A/11/1993 Tentang Pembuatan Surat Dakwaan. Surat edaran ini ditujukan agar ada keseragaman para penuntut umum dalam membuat surat dakwaan. Dalam surat edaran tersebut dikenal ada 4 (empat) bentuk surat dakwaan yaitu: dakwaan tunggal (surat dakwaan biasa), dakwaan alternatif, dakwaan kumulatif, dan dakwaan subsidair (bersusun lapis). a. Dakwaan tunggal Bentuk surat dakwaan tunggal menurut M. Yahya Harahap disebut juga dengan surat dakwaan biasa. Surat dakwaan tunggal hanya berisi satu dakwaan saja. Perumusan dakwaan tunggal umumnya dijumpai dalam tindak pidana yang jelas serta tidak mengandung faktor penyertaan (deelneming) atau faktor perbarengan (concurcus) atau alternatif atau faktor subsidair. 123 Dalam surat dakwaan tunggal hanya diperuntukkan untuk satu tindak pidana saja yang didakwakan, karena tidak
123
M. Yahya Harahap (II), Op. cit., hal. 398. Contohnya dari hasil penyidikan terhadap tindak pidana pencurian biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUH Pidana hanya dilakukan oleh pelaku dengan sendiri.
Universitas Sumatera Utara
terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya. 124 Jaksa penuntut umum dalam menentukan surat dakwaan tunggal, harus benarbenar yakin bahwa dengan dakwaan tunggal tersebut terdakwa tidak lepas dari jeratan hukum sesuai dengan yang didakwakan. Kelemahan dari surat dakwaan tunggal mengandung risiko besar, jika dakwaan tunggal tersebut gagal, maka tidak ada alternatif lain bagi hakim kecuali membebaskan terdakwa (vrijspraak). 125 Baik pelakunya maupun ketentuan tindak pidana yang dilanggar sedemikian rupa harus jelas dan sederhana, sehingga surat dakwaannya cukup dirumuskan dalam bentuk dakwaan tunggal. Misalnya, suatu perbuatan dilakukan hanya sendiri oleh terdakwa, tidak menyentuh faktor penyertaan atau perbarengan atau alternatif atau subsidair. Jika demikian halnya, cukup merumuskan dakwaan tunggal dengan uraian secara jelas dan memenuhi syarat perbuatan melawan hukum materiil dan formil yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP. 126
124
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f4c5a4ea3527/bentuk-bentuk-surat-dakwaan, diakses tanggal 2 Desember 2015, Artikel ditulis oleh Marry Margaretha Saragih, “Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan”, dipublikasikan di website hukumonline, tanggal 29 Maret 2012. 125 Lilik Mulyadi (I), Op. cit., hal. 56. 126 Pasal 143 KUHAP menentukan: menentukan: a. Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. b. Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: 1) Nama Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; 2) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan termpat tindak pidana itu dilakukan. c. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
Universitas Sumatera Utara
b. Dakwaan alternatif Bentuk surat dakwaan alternatif disebut juga dengan dakwan pilihan (keuze tenlastelegging). Sehingga bilamana penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif, maka hakim dapat secara langsung memilih untuk menentukan dakwaan mana yang cocok sesuai dengan yang terbukti di persidangan. 127 Menurut M. Yahya Harahap dakwaan alternatif ini disebut juga dengan dakwaan yang saling mengecualikan dan memberikan pilihan. Tujuan dakwaan alternatif adalah untuk mencegah pelaku terlepas atau bebas dari pertanggungjawaban hukum pidana. Tujuannya juga untuk memberi pilihan kepada hakim untuk menerapkan hukum yang lebih tepat. 128 Dakwaan yang berbentuk alternatif bersifat saling mengecualikan dan memberikan pilihan kepada hakim atau pengadilan untuk menentukan dakwaan mana yang tepat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukan. Ciri-ciri dakwaan alternatif dihubungkan dengan kata sambung “atau” yang berartti memberikan pilihan bagi hakim untuk menerapkan salah satu di antara dakwaan-dakwaan yang diajukan. Menurut van Bemmelen, surat dakwaan alternatif dibuat apabila penuntut umum tidak begitu yakin (ragu) dari berbagai perbuatan delik akan terbukti di sidang pengadilan misalnya delik pencurian atau penadahan. Van Bemmelen menegaskan d.
Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan. dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri. 127 Ibid., hal. 57. 128 M. Yahya Harahap (II), Op. cit., hal. 400.
Universitas Sumatera Utara
surat dakwaan alternatif bersifat saling mengecualikan antara satu sama lain. Hakim dapat mengadakan pilihan dari dakwaan-dakwaan terhadap delik. Hakim bebas memilih dan menyatakan dakwaan yang terbukti tanpa memeriksa dan memutuskan terlebih dahulu terhadap dakwaan lainnya. Misalnya hakim menyatakan dakwaan kedua terbukti, oleh karena itu hakim tidak perlu lagi memeriksa dan memutuskan dakwaan pertama. 129 Sebagaimana diketahui bahwa dalam surat dakwaan alternatif terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk surat dakwaan ini, antara lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan kata sambung atau. 130 Contoh dakwaan alternatif: Pertama: Pencurian (Pasal 362 KUHP) atau kedua: penadahan (Pasal 480 KUHP). Sekiranya hakim berpendapat bahwa dakwaan yang satu tidak tepat atau tidak terbukti, hakim dapat beralih memilih dakwaan berikutnya. Itu sebabnya dakwaan alternatif disebut dengan dakwaan yang
129
Andi Hamzah (1996), Op. cit., hal. 189. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f4c5a4ea3527/bentuk-bentuk-surat-dakwaan, diakses tanggal 2 Desember 2015, Artikel ditulis oleh Marry Margaretha Saragih, “Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan”, dipublikasikan di website hukumonline, tanggal 29 Maret 2012. 130
Universitas Sumatera Utara
memberikan kesempatan kepada hakim memilih salah satu di antara dakwaan yang diajukan dalam surat dakwaan. Cara pemeriksaan dakwaan yang bersifat alternatif pertama kali hakim harus memeriksa dan mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan pada urutan pertama, jika dakwaan pada urutan pertama terbukti, maka pemeriksaan untuk dakwaan selanjutnya tidak perlu diperiksa dan dipertimbangkan lagi oleh hakim. Jika dakwaan pertama ternyata tidak terbukti, maka barulah hakim melanjutkan dakwaan yang selanjutnya dengan ketentuan harus membebaskan terdakwa dari dakwaan pertama yang tidak terbukti tersebut dan menjatuhkan hukum terhadap dakwaan berikutnya yang dianggap terbukti. Pemeriksaan terhadap dakwaan alternatif juga dapat dilakukan dengan cara memeriksa dakwaan secara keseluruhan, dari hasil pemeriksaan atas keseluruhan isi dakwaan, maka barulah hakim memilih dakwaan mana yang paling tepat menurutnya untuk dijatuhkan kepada terdakwa . c. Dakwaan kumulasi Menentukan dakwaan kumulasi atau kumulatif maksudnya adalah surat dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari beberapa dakwaan atau disebut juga dengan gabungan dari beberapa dakwaan sekaligus. Dakwaan kumulasi ini dapat dilakukan pada saat yang sama dan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan yang sama, kepada terdakwa diajukan gabungan beberapa dakwaan sekaligus. Tata cara
Universitas Sumatera Utara
pengajuan dakwaan kumulasi disebut juga penggabungan perkara dalam satu surat dakwaan. 131 Bentuk surat dakwaan kumulasi dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Contoh dakwaan kumulatif: kesatu: pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan kedua: pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP) dan ketiga: Perkosaan (Pasal 285 KUHP). 132 Bentuk surat dakwaan kumulasi dipergunakan dalam hal terdakwa atau para terdakwa yang melakukan lebih dari satu perbuatan pidana (delik), misalnya di samping terdakwa atau para terdakwa melakukan perbuatan pencurian biasa, juga membawa senjata api tanpa izin yang berwajib. 133 Dalam hal ini surat dakwaan harus disusun secara kumulatif, terdakwa atau para terdakwa didakwa dua macam perbuatan pidana (delik) sekaligus, yaitu pencurian biasa dan membawa senjata api tanpa izin dari yang berwajib. Dengan demikian dakwaan akan disusun sebagai dakwaan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Apabila suatu dakwaan disusun secara kumulatif, maka terhadap tiap-tiap perbuatan pidana (delik) itu harus dibuktikan tersendiri-sendiri pula, walaupun pidananya disesuaikan dengan peraturan tentang delik gabungan (samenloop) dalam Pasal 63 s/d Pasal 71 KUHAP. 134
131
Ibid., hal. 404. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f4c5a4ea3527/bentuk-bentuk-surat-dakwaan, diakses tanggal 2 Desember 2015, Artikel ditulis oleh Marry Margaretha Saragih, “Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan”, dipublikasikan di website hukumonline, tanggal 29 Maret 2012. 133 Andi Hamzah (1985), Op. cit., hal. 185. 134 Andi Hamzah (1996), Op. cit., hal. 188. 132
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan gabungan beberapa dakwaan diatur dalam Pasal 141 KUHAP 135, sedangkan pemecahan (splitsing) perkara diatur dalam Pasal 142 KUHAP yang terdiri dari beberapa orang didakwa secara terpisah. Dalam hal ini JPU boleh mengajukan dakwaan dalam bentuk kumulasi, baik kumulasi perkaranya, kumulasi terdakwanya sekaligus dengan kumulasi dakwaannya. 136 Untuk lebih mudah dipahami dakwaan yang berbentuk kumulasi ini biasanya mencantumkan Pasal 55 KUH Pidana tentang delik penyertaan (deelneming) atau mencantumkan Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 atau Pasal 70 KUH Pidana mengenai ketentuan perbarengan (concursus atau samenloop). Dalam hukum pidana terdapat 5 (lima) bentuk penyertaan yang dapat dibuat dakwaannya bersifat kumulasi, yaitu: 1) Mereka yang melakukan (dader). Satu orang atau lebih yang melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban masing-masing peserta dinilai atau dihargai sendiri-sendiri atas segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan, dimana masing-masing pihak berdiri sediri dan masing-masing pihak memenuhi seluruh unsur. 137 135
Pasal 141 KUHAP menentukan: Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. 136 Ibid., hal. 189. 137 H.A.K. Moch. Anwar, Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama KUHP, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
2) Menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain. Pada prinsipnya, orang yang mau disuruh melakukan tindak pidana adalah orang-orang tidak normal, yaitu anak-anak dan orang gila. Namun, menurut doktrin, orang yang berada dibawah ancaman atau kekerasan (ada dasar penghapus pidana) juga masuk dalam golongan tidak normal. Orang yang bisa dipidana hanyalah orang yang menyuruh, karena yang mempunyai niat adalah orang yang menyuruh; walaupun yang memenuhi unsur tindak pidana adalah orang yang disuruh. Jadi, walaupun ada dua
pihak
yang
menyebabkan
terjadinya
delik,
yang
dimintai
pertanggungjawaban adalah yang menyuruh. 138 3) Mereka yang turut serta (medeplegen). Adalah seseorang yang mempunyai niat sama dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang diinginkan. 139 Pihak yang terlibat adalah satu pihak, yang dapat terdiri dari banyak orang, niat dimiliki semua orang dalam pihak tersebut, yang memenuhi unsur, pendapat pertama menyatakan cukup salah satu orang saja yang memenuhi unsur lalu semuanya dianggap memenuhi unsur pula. Pendapat kedua menyatakan tindakan berbeda yang dilakukan orang-orang itu jika digabungkan menjadi memenuhi unsur. Pertanggungjawaban pidana dipegang oleh semuanya. Hal 138
Ibid. P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hal. 588-589. 139
Universitas Sumatera Utara
ini dikarenakan kerjasama yang dilakukan bersama-sama secara sadar dan secara kerjasama fisik. 4) Penggerakan atau pembujukan (uitlokking). Penggerakan atau dikenal juga sebagai uitlokking diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Menurut H.A.K. Moch. Anwar, Penggerakan adalah: 140 a) Setiap perbuatan menggerakan atau membujuk orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang atau diancam dengan hukuman. b) Dalam membujuk itu harus digunakan cara-cara atau daya upaya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Dengan demikian di dalam uitlokking setidaknya ada dua pihak, yaitu pihak yang membujuk dan pihak yang terbujuk, dimana pihak yang membujuk melakukan penggerakan dengan cara-cara yang telah ditentukan dalam Pasal 55 Ayat (1) ke-2 KUHP untuk melakukan sesuatu perbuatan yang melawan hukum. Pihak yang melakukan pada pembantuan (medeplichtigheid) atau yang membantu mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia bantu disebutkan dalam Pasal 56 KUHP. Niat dari pelaku pembantuan adalah memberikan bantuan untuk melakukan kejahatan kepada pelaku. Tanpa adanya pembantuan tersebut, kejahatan
140
H.A.K. Moch. Anwar, Op. cit, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
tetap akan terlaksana. Pertanggungjawaban pidana pembantu hanya sebatas pada kejahatan yang dibantunya saja. 141 Wirjono Prodjodikoro membagi pembantuan menjadi dua golongan yakni, perbuatan bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan, dan perbuatan bantuan sebelum pelaku utama bertindak, dan bantuan itu dilakukan dengan cara memberikan kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan golongan pertama tersebut sering dipersamakan dengan turut serta. Sedangkan pembantuan golongan kedua sering dipersamakan dengan penggerakan. 142 d. Dakwaan subsidairitas Subsidairitas atau subsidair menurut Kamus Hukum Belanda Indonesia adalah tambahan, bila perlu diganti oleh, menggantikan, menggantikan kedudukan, hak menggantikan, ketentuan tambahan, persyaratan, kebalikan dari: prinsipal (principal), tuduhan (telastelegging) subsidair (alternative), terhadap komulatif (cumulatieve) atau primair (primaire), subsidaire verbintenis-bijkomende verbintenis. 143 Bentuk dari surat dakwaan subsidair (subsidary) terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun dan dijejerkan secara berurutan (berturut-turut), mulai dari dakwaan tindak pidana yang terberat sampai pada dakwaan tindak pidana yang
141
Loebby Loqman, Percobaan Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta: Universitas Tarumanagara UPT Penerbit, 1995), hal. 80. 142 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, cet. 3, (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2003), hal. 126. 143 N.E. Algra, H.R.W. Gokkel, Saleh Adiwinata D.H., A.Telseki, Boerhanuddin Batoetah, Kamus Hukum Belanda Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1997) hal. 551.
Universitas Sumatera Utara
ringan. Sering juga dakwaan subsidair ini disebut dengan dakwaan pengganti di mana dakwaan urutan kedua menggantikan dakwaan primer. 144 Lilik Mulyadi mengatakan dakwaan subsidair ini merupakan dakwaan bersusun lapis atau berlapis-lapis sebagai ciri utamanya dari dakwaan terberat sampai ringan berupa susunan primer, subsider, lebih subsider, lebih-lebih subsider, dan seterusnya. 145 Bentuk surat dakwaan subsidair sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsidair juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari tindak pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana terendah. 146 Perbedaan antara surat dakwaan subsidair dengan dakwaan alternatif terletak pada cara pemeriksaannya. Kalau tadi hakim dalam surat dakwaan alternatif harus memilih salah satu dakwaan tanpa memeriksa dan memutus dakwaan lainnya, maka dalam surat dakwaan subsidair tidak demikian. 147 Hakim dalam dakwaan subsidair harus memeriksa satu-satu, memeriksa dan memutus terlebih dahulu terhadap dakwaan yang primer, kemudian memeriksa dan memutus terhadap dakwaan yang subsider, kemudian memeriksa dan memutus terhadap dakwaan yang lebih subsider,
144
Wirjono Prodjodikoro, Op. cit., hal. 402. Lilik Mulyadi (I), Op. cit., hal. 74. 146 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f4c5a4ea3527/bentuk-bentuk-surat-dakwaan, diakses tanggal 2 Desember 2015, Artikel ditulis oleh Marry Margaretha Saragih, “Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan”, dipublikasikan di website hukumonline, tanggal 29 Maret 2012. 147 Andi Hamzah (1985), Op. cit., hal. 187. 145
Universitas Sumatera Utara
kemudian memeriksa dan memutus terhadap dakwaan yang lebih-lebih subsider, dan seterusnya dilakukan secara tersistematis. 148 Hakim dalam membuktikan dakwaan-dakwaan yang disusun dalam bentuk surat dakwaan subsidair tersebut harus dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan selanjutnya. Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan. Contoh dakwaan subsidair adalah: primair: pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), subsidair: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Dakwaan subsidairitas disebut juga dengan dakwaan pengganti. Berarti dakwaan urutan kedua menggantikan dakwaan dakwaan urutan paling atas. Sehingga sering dijumpai dalam praktek pengurutan surat dakwaan yang lebih dari dua atau tiga dalam bentuk perumusan dakwaan pidana yang terberat berada pada urutan pertama sebagai dakwaan primair. Disusul kemudian dengan dakwaan yang semakin ringan berupa rumusan dakwaan “subsidair” dan di bawah urutan dakwaan subsidair masih dimungkinkan lagi dakwaan diurutkan secara berjejer, yang perumusannya, “subsidair lagi”, “lebih subsidair lagi”, dan “lebih-lebih subsidair lagi”. Dakwaan dalam bentuk subsidair disusun jika peristiwa tindak pidana yang terjadi menimbulkan suatu akibat dan akibat yang ditimbulkan itu meliputi atau berkaitan erat dengan beberapa ketentuan pidana yang hampir saling berdekatan caracara pelaku melakukan delik. Alasan menggunakan dakwaan subsidair ini adalah jika fakta akibat yang ditimbulkan pelaku tindak pidana berkaitan (bersesuaian) dengan 148
Andi Hamzah (1996), Op. cit., hal. 190.
Universitas Sumatera Utara
pasal pidana tertentu, tetapi penuntut umum ragu atau tidak berani menentukan secara pasti bahwa akibat itu telah berkaitan terhadap pasal tersebut. Penuntut umum harus mengambil sikap untuk membuat dakwaan dalam bentuk subsidair dengan pertimbangan, jika di persidangan pengadilan, penuntut umum tidak mampu membuktikan dakwaan utama, telah mempersiapkan dakwaan pengganti (subsidair) sebagai pengganti dakwaan utama (primair). Jika dakwaan subsidair juga gagal dibuktikan, penuntut umum telah menyediakan pula dakwaan penggantinya berupa “subsidair lagi” atau “lebih subsidair lagi” atau lebih-lebih subsidair lagi”, dan seterusnya. Konsekeunsi dari dakwaan subsidair ini seolah-olah penuntut umum memasang jerat mulai dari jerat yang kasar sampai yang sehalushalusnya, dengan perhitungan salah satu jerat harus mengena. Putusan hakim dalam perkara pidana dibatasi oleh apa yang didakwakan penuntut umum, sama dengan dalam perkara perdata dibatasi oleh pula dengan apa yang ada di dalam gugatan. Hakim tidak boleh memutus di luar yang didakwakan penuntut umum. Idealnya adalah perbuatan yang sungguh-sungguh terjadi yang didakwakan dan itupula yang seharusnya wajib dibuktikan. Memang benar dominus litis adalah jaksa yang mewakili negara. Jaksa boleh mendakwa dan menuntut satu perbuatan (feit) saja walaupun terdakwa melakukan lebih dari satu perbuatan (feiten) dan perbuatan itu harus dilarang dalam hukum. 149 Walaupun penuntut umum mendakwa dan menuntut hanya terhadap satu perbuatan pidana saja dalam surat dakwaan tunggal, tetapi harus pula dilakukan 149
Andi Hamzah, “Kemandirian dan Kemerdekaan….Op.cit., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
secara sungguh-sungguh atas perbuatan itu terjadi dan sungguh-sungguh pula pembuktiannya dengan alat bukti yang cukup ditambah dengan keyakinan hakim. Penuntut umum harus yakin dengan dakwaan tunggal yang disusunnya itu tidak membuat terdakwa lepas atau bebas dari tuntutan pidana. Tuntutan pidana adalah berkenaan dengan pengenaan atau pencantuman pasal-pasal yang mencocoki terhadap fakta-fakta delik, pasal mana yang relevan untuk menjerat pelaku agar dapat dipidana 150, sedangkan dakwaan berkenaan dengan fakta-fakta delik yang dilakukan terdakwa. Oleh sebab itu terhadap keduanya baik dakwaan dan tuntutan dapat dilakukan secara bersamaan di dalam berkas perkara yang dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan untuk diperiksa, diadili, dan diputuskan oleh hakim. Wirjono Prodjodikoro mengatakan, “Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan, supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa. 151 Penuntut umum
150
Pasal 1 angka 7 KUHAP menentukan pengertian penuntutan yaitu: “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”. Kemudian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, menentukan: “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”. 151 Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana…OP. cit., hal. 164.
Universitas Sumatera Utara
berperan sebagai penentu apakah suatu perkara dapat dilanjutkan penuntutannya di sidang pengadilan atau dihentikan atau dikesampingkan (deponering). 152 Jika dikaitkan pengertian penuntutan yang dikemukakan tersebut di atas dengan ketentuan-ketentuan di dalam KUHAP yaitu pada Pasal 137 KUHAP (kewenangan mutlak menuntut) sampai dengan Pasal 147 KUHAP (diterima hakim pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum), ternyata tugas dan wewenang penuntutan belum selesai sampai di situ. Sebab makna dari ketentuan Pasal 1 angka 7 KUHAP dan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan menentukan penuntutan sampai pada diputusnya perkara tersebut oleh hakim pengadilan.
B. Keberatan Terdakwa Terhadap Dakwaan Keberatan terdakwa terhadap dakwaan dalam hal ini berkaitan dengan suatu peristiwa dalam proses persidangan sedangkan berlangsung apabila terdakwa atau penasihat hukum mengajukan suatu keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya (verklaring van onbevoegheid) atau dakwaan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) atau surat dakwaan harus dibatalkan (nietig van
152
Ibid., hal. 169. Lihat juga: M. Yahya Harahap (II), Op. cit., hal. 436-437. Menurut M. Yahya Harahap, penghentian penuntutan berbeda dengan pengeyampingan (deponering) perkara. Penghentian penuntutan mempedomani Pasal 140 ayat (2) KUHAP sedangkan pengeyampingan mempedomani Pasal 8 UU No.15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan (UU Lama). Menurut M. Yahya Harahap pengeyampingan perkara (deponering) adalah bahwa perkara tersebut tidak dilimpahkan jaksa ke pengadilan dengan alasan ”demi kepentingan umum” sedangkan dalam penghentian penuntutan tidak dialasankan pada kepentingan umum tetapi semata-mata didasarkan pada alasan kepentingan hukum itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
rechtswege atau null and void). 153 Suatu putusan sela dapat dijatuhkan bilamana terjadi pada saat atau setelah terdakwa atau pensehat hukumnya mengajukan keberatan (eksepsi). 154 Berikut ini beberapa bentuk dakwaan yang mengandung cacat formil dan dapat berdampak pada putusan hakim berupa tidak menerima dakwaan (niet ontvankelijke verklaard), karena: 155 1. Tidak memiliki dasar hukum; 2. Error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium; 3. Diajukan dengan melanggar kompetensi mengadili baik kompetensi relatif ataupun kompetensi absolut; 4. Kabur (obscuur libel); 5. Prematur; 6. Kadaluarsa; 7. Telah diputus sebelumnya dalam putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap sehingga menjadi ne bis in idem. Terhadap bentuk dakwaan yang mengandung cacat formil di atas dapat diajukan keberatan oleh terdakwa/pensehat hukumnya. Keberatan terdakwa terhadap dakwaan penuntut umum dapat dilawan oleh terdakwa dan/atau penasehat hukumnya atas dasar karena pengadilan tidak berwenang mengadili pada saat pemeriksaan pendahuluan (vide: Pasal 155 KUHAP). Keberatan terdakwa yang dimaksud di sini
153
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 122. 154 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2772/putusan-sela, diakses tanggal 11 Desember 2015, Artikel ditulis oleh Mulyadi, judul: “Putusan Sela”, dipublikasikan di website hukumonline, Tanggal 9 September 2003. Bandingkan juga dengan Lilik Mulyadi (III), Op. cit., hal. 137. 155 Muhamad Isnur, & Pratiwi Febry, & Restaria Hutabarat, & Eny Rofiatul N., & Arif Maulana, & Maruli Tua Rajagukguk, & Anugerah Rizki Akbari, & Ajeng Tri Wahyuni, Membaca Pengadilan Hubungan Industrial Di Indonesia: Penelitian Putusan Mahkamah Agung pada Lingkup Pengadilan Hubungan Industrial 2006-2013, (Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 2014), hal. 21-22.
Universitas Sumatera Utara
adalah keberatan terdakwa yang disampaikan pada saat pemeriksaan pendahuluan (terhadap identitas terdakwa dan persyaratan dakwaan), bukan keberatan terdakwa setelah dilakukan pemeriksaan pokok perkara atau belum ada pemeriksaan terhadap pokok perkara. Dalam hukum acara di Indonesia dikenal 2 (dua) macam kewenangan mengadili (kompetensi) yaitu kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Pada kompetensi absolut mempersoalkan kewenangan dari lembaga penyelesaian sengketa yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi, apakah melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Sedangkan pada kompetensi relatif, kewenangan tersebut berhubungan dengan lokasi atau letak pengadilan yang berwenang. 156 Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia dikenal ada 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu: lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. 157 Masingmasing lingkungan peradilan ini mempunyai wewenang dalam mengadili hal-hal tertentu sesuai yang telah ditentukan undang-undang bagi setiap lingkungan peradilan. Penentuan wewenang mengadili berdasarkan keempat lingkungan peradilan ini bersifat mutlak atau absolut, artinya kekuasaan mutlak bagi lingkungan peradilan umum tidak boleh mengadili perkara terkait dengan tindak pidana militer. Masing-masing lingkungan peradilan ini dengan sendirinya menjadi kekuasaan mutlak bagi lingkungan peradilan yang bersangkutan. Lingkungan 156
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Arbitrase VS. Pengadilan Persoalan Kompetensi Absolut yang Tidak Pernah Selesai, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 117. 157 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Universitas Sumatera Utara
peradilan yang lain tidak berwenang mengadili tentang apa yang menjadi wewenang peradilan umum, karena tindak pidana umum secara mutlak hanya dapat diperiksa dan diadili oleh peradilan umum. Sekalipun undang-undang telah menentukan batas wewenang masing-masing lingkungan peradilan ini, namun dalam praktiknya dapat timbul masalah perbedaan pendapat antara dua atau lebih lingkungan peradilan. Terdakwa dan/atau penasehat hukumnya dapat mengajukan keberatan bilamana terdapat indikasi peradilan umum tidak berwenang mengadili secara absolut. Inilah yang disebut dengan kompetensi absolut atau wewenang mutlak. 158 Sengketa wewenang mengadili juga bisa timbul selain dari faktor keempat lingkungan peradilan tersebut. Sengketa wewenang mengadili juga bisa sebagai faktor dari pembagian wilayah hukum masing-masing pengadilan. Pengadilan tertentu hanya mempunyai kekuasaan dan wewenang mengadili pada suatu wilayah atau daerah hukum tertentu. Setiap pengadilan negeri sudah ditentukan masingmasing
wilayah
atau
daerah
hukumnya
berdasarkan
pembagian
daerah
kabupaten/kota, dan hanya berwenang mengadili perkara yang terjadi di daerah hukumnya masing-masing, demikian pula untuk pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Perkara yang terjadi di luar daerah hukum Pengadilan Negeri A adalah menjadi wewenang Pengadilan Negeri yang lain. Inilah yang disebut kewenangan atau kompetensi relatif. 159
158 159
M. Yahya Harahap (I), Op. cit., hal. 92. Ibid., hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
Terdakwa dan atau penasehat hukumnya dalam mempertahankan hak-hak terdakwa dapat mengajukan keberatan terhadap sengketa mengenai kewenangan mengadili, baik mengenai kewenangan absolut maupun relatif. Bahkan sesuai Pasal 147 KUHAP setelah pengadilan negeri menerima surat pelimbahan berkas perkara dari penuntut umum, maka ketua pengadilan negeri tersebut harus mempelajari apakah perkara itu masuk ke dalam wewenang peradilan atau pengadilan yang dipimpinnya atau tidak. Ada dua kemungkinan, yaitu: 160 1. Perkara tersebut termasuk wewenang pengadilan negeri yang dipimpinnya, atau 2. Perkara tersebut tidak termasuk wewenangnya, tetapi termasuk wewenang pengadilan negeri yang lain. Bilamana ketua pengadilan negeri yang bersangkutan berpendapat bahwa perkara yang diterimanya termasuk wewenang pengadilan negeri yang dipimpinnya, maka perkara tersebut akan diperiksa dan diadili oleh pengadilan negeri itu sesuai dengan proses hukum acara pemeriksaan yang berlaku. Sebaliknya, jika ketua pengadilan berpendapat bahwa pengadilan yang dipimpinnya tidak berwenang untuk mengadilinya, maka berlaku ketentuan hukum acara sebagaimana yang diatur dalam Bagian Kedua Bab XVI KUHAP mengenai wewenang mengadili. Ada dua tahapan yang dapat menguntungkan terdakwa terkait dengan kewenangan mengadili ini, yaitu pertama: sesuai Pasal 147 dan Pasal 148 KUHAP, kedua: sesuai Pasal 156 KUHAP. Sesuai perintah dari Pasal 147 KUHAP kepada 160
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
ketua pengadilan negeri yang menerima pelimpahan perkara wajib memeriksa lebih dahulu terkait dengan wewenang mengadili, dan bilamana ketua berpendapat bahwa pengadilan yang dipimpinnya tidak berwenang, maka berkas perkara tersebut diserahkan atau dikembalikan kepada penuntut umum disertai dengan surat penetapan (vide: Pasal 148 KUHAP). Terhadap hal ini penuntut umum dapat mengajukan keberatannya (vide: Pasal 149 KUHAP). Kedua tahapan ini juga diatur dalam Pasal 156 ayat (1) dan ayat (7) KUHAP. Bilamana pada tahap pertama ini luput dari pemeriksaan ketua pengadilan, maka untuk mempertahankan hak terdakwa tersebut, pada tahap kedua, kepada terdakwa dan/atau pensehat hukumnya masih diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan mengenai pengadilan tidak berwenang mengadili. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP dalam hal terdakwa atau penasihat hukumnya mengajukan keberatan tentang pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan, yang disebut dengan keputusan sela. Berdasarkan ketentuan di atas ternyata dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP tidak hanya berlaku untuk masalah mengenai pengadilan tidak berwenang mengadili, tetapi juga termasuk untuk keberatan terdakwa terhadap: dakwaan tidak dapat diterima dan dakwaan harus dibatalkan. Pasal 156 ayat (1) KUHAP menentukan: Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan
Universitas Sumatera Utara
kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Syarat suatu dakwaan tidak dapat diterima adalah bilamana dakwaan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Mengenai dakwaan tidak dapat diterima, berdasarkan buku M. Yahya Harahap, berujud “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan”, ini sama maksudnya dengan dakwaan batal demi hukum (van rechtswege nietig/null end void) karena kekurangan syarat materiil. 161 Dakwaan tidak dapat diterima karena dakwaan tersebut tidak terang atau kabur (obscuur libel), 162 maksudnya adalah surat dakwaan tersebut tidak memuat unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan secara jelas den lengkap. Kalau unsurunsur tindak pidana yang didakwakan tidak disebutkan secara keseluruhan, maka terdapat kekaburan dalam surat dakwaan tersebut. Surat dakwaan yang tidak jelas, kabur, dan tidak terang tersebut dianggap batal demi hukum atau dengan kata lain tidak dapat diterima. Contoh surat dakwaan yang mencampuradukkan unsur-unsur penipuan dengan unsur penggelapan. 163 Dakwaan yang tidak dapat diterima atau batal demi hukum juga dapat berupa surat dakwaan itu mengandung pertentangan antara satu unsur dengan unsur yang 161
M. Yahya Harahap (II), Op. cit., hal. 392. Marwan Mas, “Penguatan Argumentasi Fakta-Fakta Persidangan Dan Teori Hukum Dalam Putusan Hakim: Kajian Putusan Nomor 181 K/Pid/2007/MA”, (Strenghtening The Argument On Legal Facts And Legal Theories In Judge-Made Laws: An Analysis on Decision Number 181 K/Pid/2007/MA), Jurnal Yudisial, Vol. 5, No. 3, Desember 2012, hal. 286. Hakim pengadilan dapat menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima atas alasan isi rumusan surat dakwaan kabur (obscuur libel). 163 M. Yahya Harahap (II), Loc. cit. 162
Universitas Sumatera Utara
lain. Pertentangan itu menimbulkan keraguan bagi terdakwa tentang perbuatan mana yang didakwakan kepadanya. Contoh terdakwa didakwa “turut melakukan” dan “turut membantu” melakukan perbuatan yang sama yaitu sama-sama pencurian. Perumusan dakwaan yang seperti ini dinyatakan batal demi hukum atau tidak dapat diterima dan harus dinyatakan oleh hakim pengadilan. 164 Dakwaan yang tidak jelas atau kabur dan dakwaan yang mengandung pertentangan antara satu unsur dengan unsur yang lain adalah pelanggaran terhadap syarat materiil. Namun berbeda dengan dakwaan yang tidak memuat fakta dan/atau keadaan. Dakwaan yang tidak memuat fakta dan/atau keadaan secara sempurna dan lengkap tidak mengakibatkan dakwaan batal demi hukum. Tanpa menyebut fakta dan/atau keadaan tidak mengurangi sahnya dakwaan karena hal itu sifatnya hanya lebih memberi penjelasan bagi terdakwa dan hakim tentang tindak pidana yang didakwakan. 165 Fakta dan/atau keadaan walaupun tidak disebutkan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, akan tetapi menurut M. Yahya Harahap termasuk sebagai syarat materiil. Namun ia juga mengatakan dakwaan yang tidak memenuhi fakta dan/atau keadaan tidak mengakibatkan dakwaan batal demi hukum. Pendapat ini sangat berbanding terbalik dengan sifat dari syarat materiil itu sendiri, karena tidak memenuhi syarat materiil dakwaan (vide: Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP) mengakibatkan dakwaan itu batal demi hukum. Ternyata M. Yahya Harahap
164 165
Ibid., hal. 393-394. Ibid., hal. 395.
Universitas Sumatera Utara
mempedomani pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 36 K/Kr/1968 Tanggal 23 Agustus 1969 sebagai yurisprudensi. 166 Terhadap ketentuan syarat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP merupakan syarat formil sedangkan syarat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP merupakan syarat materiil. 167 Kekurangan syarat formil surat dakwaan tidak menyebabkan dakwaan tersebut batal demi hukum 168, sedangkan kekurangan syarat materiil surat dakwaan misalnya dakwaan tidak jelas dan terang 169 atau karena dakwaan tersebut bertentangan antara satu dengan yang lainnya mengakibatkan dakwaan batal demi hukum (van rechtswege nietig/null end void). 170 Tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP tentang syarat materiil adalah batal demi hukum. 171 Dakwaan tidak dapat diterima atau dakwaan batal demi hukum menurut Tirtaamidjaja 172 juga disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1) karena dituntutnya seseorang, padahal tidak ada pengaduan dari si korban dalam tindak pidana aduan (klacht delicten), 2) adanya daluwarsa hak menuntut sebagaima Pasal 78 KUHP, 3) adanya unsur ne bis in idem sebagaimana ketentuan Pasal 76 KUHP, dan 4) adanya keberatan terhadap apa yang didakwakan kepada terdakwa sedang diperiksa oleh pengadilan lain (exceptio litis pendentis). Hal yang sama juga
166
Ibid. Lilik Mulyadi (I), Op. cit, hal. 41. 168 Matteus A. Rogahang, Loc. cit.. 169 Ibid., hal. 44. 170 Ibid., hal. 46. 171 Wilhelmus Taliak, Loc. Cit. 172 Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Jaksa, (Jakarta: Fasco, 1955), hal. 71. 167
Universitas Sumatera Utara
disampaikan oleh Amin 173, sedangkan M. Yahya Harahap menyebutkan karena faktor ne bis in idem. 174 Surat dakwaan harus dibatalkan, ini sama maksudnya dengan “kekurangan syarat formil dakwaan tidak sendirinya mengakibatkan batal demi hukum”, tetapi “harus dibatalkan”. Harus dibatalkan disebabkan karena kekurangan syarat formil. Perlu diperhatikan bahwa tahap ini masih berada pada tahap pemeriksaan pendahuluan, artinya kekurangan syarat formil dan materiil itu hanya bisa dilakukan pada saat pemeriksaan pendahuluan, dan bagi terdakwa pada tahap ini dapat mengajukan keberatannya atas kekurangan syarat formil maupun materiil tersebut, termasuk faktor-faktor di atas. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga klasifikasi keberatan terdakwa terhadap surat dakwaan yaitu: pertama, keberatan terdakwa karena pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya (verklaring van onbevoegheid), kedua keberatan terdakwa karena dakwaan tersebut tidak memenuhi syarat materiil dengan menyatakan dakwaan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard), dan ketiga keberatan terdakwa karena dakwaan tersebut tidak memenuhi syarat formil dengan menyatakan dakwaan harus dibatalkan (nietig van rechtswege atau null and void). Terhadap ketiga hal ini bagi terdakwa bilamana merasa keberatan
173
S. M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1971), hal.
141. 174
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1985), hal. 662.
Universitas Sumatera Utara
dapat mengajukan saat persidangan pendahuluan berlangsung, dan sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok perkara.
C. Putusan Hakim Pengadilan 1. Pengertian Putusan dan Keputusan Hakim Tujuan para pencari keadilan menempuh proses hukum melalui sidang pengadilan, selain bertujuan mencari keadilan, juga berharap memperoleh kepastian hukum dari putusan hakim. 175 Putusan hakim lazim disebut dengan putusan pengadilan, sesuatu yang ditunggu-tunggu dan dinanti-nantikan oleh para pencari keadilan untuk memperoleh kepastian hukum dan keadilan dari perkara yang sedang dihadapi. 176 Putusan hakim berbeda dengan keputusan hakim. Pengertian putusan dalam buku berjudul Peristilahaan Hukum Dalam Praktik menyebutkan putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan. 177 Rumusan tersebut kurang tepat karena antara putusan dan keputusan dicampuradukkan dalam satu pengertian yang sama. Rumusan yang tidak tepat terjadi sebagai akibat terjemahan dari ahli bahasa yang bukan ahli hukum.
175 176
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 48. Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004),
hal. 124. 177
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Peristilahaan Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985), hal. 221.
Universitas Sumatera Utara
Diperlukan kecermatan dan pemahaman dalam penggunaan istilah-istilah agar tidak menyesatkan. Menurut Leden Marpaung, mengenai putusan yang diterjemahkan dari hasil vonis adalah hasil akhir, berarti putusan akhir dari pemeriksaan pokok perkara di sidang pengadilan. Akan tetapi ada juga yang disebut interlocutoir yang diterjemahkan dengan putusan sela, dan preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan atau keputusan persiapan, serta keputusan provisionil yang diterjemahkan dengan keputusan sementara. 178 Pasal 1 angka 11 KUHAP menentukan: Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Kelemahan pengertian putusan dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP adalah tidak disebutnya putusan dalam bentuk tertulis. Pentingnya membuat putusan hakim dalam bentuk tertulis dimaksudkan agar putusan tersebut dapat diserahkan kepada yang berkepentingan, dikirim kepada Pengadilan Tinggi atau ke Mahkamah Agung apabila yang bersangkutan melakukan upaya banding maupun kasasi. Selain itu untuk memenuhi publikasi ke masyarakat dan sebagai arsip yang dilampirkan dalam berkas perkara. Pengertian putusan dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP kemudian dipertegas dalam Pasal 200 KUHAP yang menentukan: “Surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan”. Penandatanganan surat 178
Leden Marpaung (I), Proses Penanganan Perkara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995),
hal. 406.
Universitas Sumatera Utara
putusan dimaksud berarti menghendaki suatu putusan harus dibuat secara tertulis. Hal yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan: “Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang”. Pengertian putusan hakim menurut Lilik Mulyadi adalah: Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya. 179 Rumusan putusan yang disebut oleh Lilik Mulyadi tersebut di atas juga mengharuskan dibuat secara tertulis. Hal ini sejalan pula dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA-RI) Nomor 5 Tahun 1959 Tanggal 20 April 1959 dan SEMA-RI Nomor 1 Tahun 1962 Tanggal 7 Maret 1962 yang menegaskan konsep putusan harus sudah disiapkan lebih dahulu sebelum putusan diucapkan dan diserahkan kepada panitera untuk diselesaikan lebih lanjut. Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bila putusan pengadilan tidak diucapkan dalam sidang
terbuka
untuk
umum
(kecuali
undang-undang
menentukan
lain)
179
Lilik Mulyadi (III), Seraut Wajah Putusan hakim Dalam hukum Acara Pidana Indonesia: Perspektif, Teoritis, Praktik, Tenik Membuat, dan Permasalahannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 131.
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum. 180 Berdasarkan pengertian tentang putusan tersebut di atas, baik dalam doktrin maupun undang-undang, ternyata harus dipisahkan mana yang disebut sebagai “putusan” dan mana yang disebut sebagai “keputusan”. KUHAP sendiri tidak mendefenisikan tentang keputusan, namun sesuai dengan pandangan Leden Marpaung di atas, dapat diketahui sebenarnya untuk apa keputusan itu dibuat. Untuk mengetahui kemana arah suatu keputusan, maka dapat dipahami maksud dari Pasal 156 ayat (1) KUHAP menentukan: Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan yang dimaksud di sini adalah keputusan hakim yang berupa interlocutoir atau keputusan sela, dan preparatoire atau keputusan pendahuluan atau keputusan persiapan, serta provisionil atau keputusan sementara. 181 Bila diperhatikan lagi Pasal 156 ayat (7) KUHAP, keputusan itu dibuat adalah untuk penetapan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili. 180
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan: a. Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. b. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. c. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum. 181 Faisal Luqman Hakim, Nurainun Mangunsong, Ahmad Bahiej, Lindra Darnela, dan M. Musbahul Mujib (Tim Peneliti UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Disparitas Putusan Hakim Dalam Perkara Narkotika di Daerah Istemewa Yogyakarta, (Jakarta: Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2014), hal. 286.
Universitas Sumatera Utara
Berarti keputusan hakim sama maksudnya dengan penetapan hakim. Argumentasi ini didukung dengan Pasal 148 KUHAP dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Pasal 148 menentukan sebagai berikut: a. Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang memuat alasannya. b. Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada kejaksaan negeri di tempat pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan. c. Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik. Hal yang penting diperhatikan dalam Pasal 148 KUHAP tersebut di atas adalah tentang penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri yang tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Ini disebut sebagai surat penetapan. Selanjutnya bila diperhatikan Pasal 156 ayat (1) KUHAP dalam hal terdakwa atau penasihat hukumnya mengajukan keberatan tentang pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, maka selanjutnya hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Ini disebut sebagai surat keputusan. Berdasarkan Pasal 148 KUHAP dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat disimpulkan bahwa bila pengadilan negeri terbentur pada masalah kewenangan mengadili maka harus dikeluarkan surat penetapan atau surat keputusan. Berarti dalam surat penetapan atau surat keputusan adalah sama, yaitu sama-sama memiliki
Universitas Sumatera Utara
alasan yang sama yaitu sama-sama didasarkan pada tidak berwenangnya Pengadilan Negeri tersebut mengadili. Sedangkan yang dimaksud sebagai putusan adalah hasil vonis atau hasil pemeriksaan akhir, yang berarti putusan akhir dari pemeriksaan suatu pokok perkara di sidang pengadilan, atau yang disebut dengan putusan akhir. Bilamana membicarakan tentang kewenangan pengadilan negeri yang tidak berwenang mengadili maka berarti tahap pembicaraan ini masih berada dalam pemeriksaan pendahuluan yang keputusannya menghasilkan keputusan pendahuluan (preparatoire) atau disebut juga dengan keputusan sementara (provisionil). Apabila diperhatikan lebih lanjut ketentuan di dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP maka keputusan pendahuluan itu juga dapat dijatuhkan untuk surat dakwaan penuntut umum yang dinyatakan batal demi hukum (nietig van rechtswege atau null and void), termasuk batal demi hukum bilamana surat dakwaan itu tidak memenuhi syarat materiil sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP junto Pasal 143 ayat (3) KUHAP. Keputusan pendahuluan (preparatoire) atau keputusan sementara (provisionil) itu juga dapat dijatuhkan oleh hakim bilamana terkait dengan Pasal 156 ayat (1) KUHAP dalam hal surat dakwaan tersebut tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) disebabkan karena materi perkara tersebut telah kadaluarsa, atau materi perkara pidana tersebut merupakan materi perdata, atau perkara pidana tersebut disebabkan telah nebis in idem (telah diputus sebelumnya dalam perkara yang sama).
Universitas Sumatera Utara
2. Putusan Yang Bukan Putusan Akhir Sesuai Pasal 185 ayat (1) Het Herziene Reglement (HIR), dan pendapat dari Lilik Mulyadi menyatakan ada dua klasifikasi putusan hakim pengadilan yaitu putusan yang bukan putusan akhir dan putusan akhir. 182 Putusan yang bukan terkategori sebagai putusan akhir (vonis), yaitu: putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili, putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum, dan putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima. Sedangkan putusan yang terkategori sebagai putusan akhir adalah: putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging), putusan bebas (vrijspraak), dan putusan pemidanaan (veroordeling). 183 Bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa “penetapan” atau “putusan sela” atau sering juga disebut dengan istilah Bahasan Belanda yaitu tussen vonis. Putusan jenis ini merujuk pada Pasal 148, Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yakni dalam hal setelah pelimpahan perkara bilamana terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan keberatan (eksepsi) terhadap surat dakwaan penuntut umum, maka hakim dapat mengeluarkan putusan yang disebut dengan putusan sela atau penetapan. Putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa antara lain: 184 a. Penetapan yang menentukan “tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara” (verklaring van onbevoeg heid) karena merupakan 182
Lilik Mulyadi (III), Op. cit., hal. 136. Martina Indah Amalia, Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn), (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera, 2014), hal. 8. 184 Lilik Mulyadi (III), Op. cit., hal. 137. 183
Universitas Sumatera Utara
kewenangan relatif pengadilan negeri sebagaimana ditentukan secara limitatif dalam Pasal 148 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP. b. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan penuntut umum batal demi hukum (nietig van rechtswege atau null and void). Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP bilamana surat dakwaan telah melanggar ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dan dinyatakan batal demi hukum menurut ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP. c. Putusan yang berisikan bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP disebabkan karena materi perkara tersebut telah kadaluarsa, atau karena materi perkara seharusnya materi perkara perdata, atau perkara disebabkan karena nebis in idem, dan sebagainya. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, hanya ada tiga bentuk putusan yang bukan terkategori sebagai putusan akhir (vonis), yaitu: putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili, putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum, dan putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima.185 Dalam praktik pengadilan dikenal ada 4 (empat) putusan sela yaitu: 186 a. Putusan preparatoire yaitu: putusan yang dijatuhkan oleh hakim guna mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara tanpa mempengaruhi pokok perkara dan putusan akhir. b. Putusan interlucotoir yaitu: putusan yang berisi bermacam-macam perintah terkait masalah pembuktian dan dapat mempengaruhi putusan akhir. c. Putusan insidentil yaitu: putusan yang berhubungan dengan adanya insiden tertentu, yakni timbulnya kejadian yang menunda jalannya persidangan. Contoh: putusan insidentil dalam gugatan intervensi dan putusan insidentil dalam sita jaminan. d. Putusan provisionil yaitu: putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu menetapkan suatu tindakan sementara bagi kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Contoh: putusan yang berisi perintah agar salah satu pihak menghentikan sementara pembangunan di atas tanah objek sengketa. 185
Martina Indah Amalia, Loc. cit. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6260/penjelasan-soal-putusan-provisi,putusan-sela,-dan-penetapan-sementara, diakses tanggal 12 Desember 2015, Artikel ditulis oleh Radian Adi, berjudul: “Putusan Provisi, Putusan Sela, dan Penetapan Sementara”, dipublikasikan di website hukumonline, Tanggal 2 September 2013. 186
Universitas Sumatera Utara
Putusan interlucotoir diterjemahkan dengan putusan sela, dan preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan atau keputusan persiapan, serta keputusan provisionil yang diterjemahkan dengan keputusan sementara. 187 Putusan provisi dan penetapan sementara bersifat sangat segera dan mendesak. Terdapat nuansa yuridis yang bersifat identik antara putusan provisi dengan penetapan sementara. Apabila putusan provisi dituangkan dalam bentuk putusan sela, maka hakekatnya identik dengan penetapan sementara. 188 Putusan sela merupakan putusan yang belum menyinggung mengenai pokok perkara yang terdapat di dalam suatu dakwaan dan tuntutan pidana belum dibacakan. Dalam hal ini berkaitan dengan suatu peristiwa apabila terdakwa atau penasihat hukum mengajukan suatu keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan. 189 Perihal mengenai putusan sela dalam hukum acara pidana dapat disimpulkan dari Pasal 156 KUHAP. Kedudukan putusan sela berada pada pengadilan tingkat pertama, dalam hal ini adalah pengadilan negeri. Apabila dilihat dari pengertian terpidana berdasarkan Pasal 1 angka 32 KUHAP, yaitu: “Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
187
Leden Marpaung (I), Op. cit, hal. 406. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6260/penjelasan-soal-putusan-provisi,putusan-sela,-dan-penetapan-sementara, diakses tanggal 12 Desember 2015, Artikel ditulis oleh Radian Adi, berjudul: “Putusan Provisi, Putusan Sela, dan Penetapan Sementara”, dipublikasikan di website hukumonline, Tanggal 2 September 2013. 189 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2772/putusan-sela, diakses tanggal 11 Desember 2015, Artikel ditulis oleh Mulyadi, judul: “Putusan Sela”, dipublikasikan di website hukumonline, Tanggal 9 September 2003. 188
Universitas Sumatera Utara
hukum tetap”. Dari ketentuan Pasal 1 angka 32 KUHAP ini munculnya sebutan terpidana karena terhadap seseorang telah dijatuhkan putusan pemidanaan (veroordeling). Suatu putusan sela terjadi pada saat atau setelah keberatan diajukan oleh seorang terdakwa atau penasihat hukumnya. Suatu putusan sela dinyatakan terjadi pada saat seseorang masih dalam status sebagai terdakwa, bukan terpidana. Apabila seseorang telah menjadi terpidana, maka yang dapat dilakukan terpidana untuk mengajukan keberatannya adalah melalui upaya-upaya hukum yang telah diatur dalam KUHAP. 190 Perlu untuk diperhatikan bahwa apabila hakim menyatakan suatu putusan sela yang pada pokoknya menyatakan menerima keberatan terdakwa atau penasihat hukumnya atas salah satu materi mengenai pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya, atau dakwaan tidak dapat diterima, atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka dakwaan tersebut tidak akan diperiksa lebih lanjut. Sebaliknya apabila hakim menyatakan menolak keberatan terdakwa atau penasihat hukumnya atas salah satu materi sebagaimana dimaksud di atas, maka dakwaan tersebut akan dilanjutkan. 191
190
Upaya-upaya hukum dalam KUHAP dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: Upaya hukum biasa, terdiri dari: 1. Pemeriksaan tingkat banding pada Pengadilan Tinggi. 2. Pemeriksaan tingkat kasasi pada Mahkamah Agung. b. Upaya hukum luar biasa, terdiri dari: 1. Pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan umum, dimana permohonannya diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya. 2. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 191 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2772/putusan-sela, diakses tanggal 11 Desember 2015, Artikel ditulis oleh Mulyadi, judul: “Putusan Sela”, dipublikasikan di website hukumonline, Tanggal 9 September 2003. a.
Universitas Sumatera Utara
Bentuk penetapan atau putusan sela ini secara formal dapat mengakhiri proses perkara di pengadilan bilamana terdakwa dan atau penasehat hukumnya serta penuntut umum telah menerima materi yang telah diputuskan oleh majelis hakim dalam putusan sela atau penetapan tersebut. Akan tetapi secara materiil, perkara tersebut masih dapat dilanjutkan atau dibuka kembali bilamana penuntut umum melakukan perlawanan (verzet) dan kemudian perlawanan (verzet) tersebut dibenarkan sehingga Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk melanjutkan pemeriksaan perkara yang bersangkutan. 192 Putusan yang dijatuhkan setelah dilakukan perlawanan (verzet) disebut sebagai putusan sela, termasuk putusan yang dijatuhkan sebelum perlawanan (verzet) dilakukan juga disebut dengan putusan sela (untuk dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima) atau penetapan (untuk tidak berwenangnya pengadilan mengadili suatu perkara). Akan tetapi bila tidak ada eksepsi dan sidang dilanjutkan untuk memeriksa materi pokok perkara ternyata ditemukan ada ketidakcermatan surat dakwaan, maka putusannya tidak lagi berupa putusan sela melainkan harus menjadi putusan akhir. Putusan yang dijatuhkan setelah dilakukan perlawanan (verzet) disebut sebagai putusan sela dan apabila perkara ini diajukan kembali belum dikatakan bertentangan dengan asas ne bis in idem karena belum dilakukan pemeriksaan terhadap materi pokok perkara. Akan tetapi putusan yang dijatuhkan bila tidak ada eksepsi dan telah dilakukan pemeriksaan materi pokok perkara dan pembacaan 192
Lilik Mulyadi (III), Op. cit., hal. 137.
Universitas Sumatera Utara
tuntutan disebut dengan putusan akhir sehingga apabila perkara ini diajukan kembali bertentangan dengan asas nebis in idem.
D. Surat Dakwaan Batal Demi Hukum Setelah Pemeriksaan Pokok Perkara dan Pembacaan Tuntutan Sesuai Ketentuan Perundang-Undangan Yang Berlaku 1. Pemeriksaan Pokok Perkara Tahapan pemeriksaan pokok perkara adalah telah memasuki pemeriksaan oleh hakim terhadap inti perkara, setelah sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan pendahuluan merupakan sidang sebelum memeriksa pokok perkara. 193 Pemeriksaan terhadap pokok perkara dan pembacaan tuntutan sudah pasti akan menghasilkan putusan akhir yang dapat berupa putusan pemidanaan (terbukti bersalah) dan putusan bukan pemidanaan (bebas dan lepas). Sedangkan pemeriksaan pendahuluan menghasilkan putusan sela. Pemeriksaan pendahuluan disebut juga dengan sidang pertama. Sidang pertama merupakan sidang sebelum memeriksa pokok perkara. Dalam sidang pertama ini hakim pengadilan mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi dakwaan. Pemeriksaan ini dilakukan oleh hakim pengadilan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang terbuka untuk umum. Apabila dalam pemeriksaan ini
193
Ahmad Fadlil Sumadi, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Dalam Teori dan Praktik”, Jurnal Konstitusi, Vol. 8, No. 6, Desember 2011, hal. 857.
Universitas Sumatera Utara
ternyata materi dakwaan itu tidak lengkap dan/atau tidak jelas, maka hakim pengadilan dapat mengeluarkan putusan sela. 194 Apa saja bagian-bagian penting yang diperiksa hakim dalam pemeriksaan pokok perkara sesuai ketentuan KUHAP? Inilah yang menjadi inti pembahasan dalam sub bab ini. Berangkat dari ketentuan Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dan Pasal 159 KUHAP dapat diketahui batasan dimulainya pemeriksaan terhadap pokok perkara. Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP menentukan: Ayat (1): Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Ayat (2): Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Pasal 159 ayat KUHAP menentukan: Ayat (1): Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan di sidang. Ayat (2): Dalam hal saksi tidák hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan. Kalau diperhatikan dengan seksama, ada tiga tafsiran yang berkemungkinan dapat diberikan terhadap ketentuan Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yaitu: a. Kemungkinan pertama: Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, atau 194
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. Kemungkinan kedua: Jika hakim menyatakan keberatan tersebut tidak diterima, maka perkara itu diperiksa lebih lanjut, atau c. Kemungkinan ketiga: Jika hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Bilamana yang terjadi adalah kemungkinan pertama, maka hakim akan mengeluarkan putusan sela. Inilah yang disebut oleh Lilik Mulyadi sebagai “putusan yang bukan putusan akhir” sebagaimana telah dibahas pada sub sebelumnya. Tetapi jika yang terjadi adalah kemungkinan yang kedua dan ketiga, maka hakim akan mengeluarkan putusan akhir. Akan tetapi untuk kemungkinan yang kedua dan ketiga, seharusnya hakim mengeluarkan putusan pemidanaan, atau putusan bebas, atau putusan lepas dari segala tuntutan, bukan putusan batal demi hukum. Bilamana pemeriksaan dilanjutkan oleh hakim, maka pemeriksaan itu pada prinsipnya adalah telah memasuki pemeriksaan pokok perkara, dan putusannya bukan lagi putusan tentang pembatalan surat dakwaan, melainkan putusan akhir. Pemeriksaan pokok perkara ditandai dengan pemeriksaan terhadap para saksi sesuai Pasal 159 s/d 179 KUHAP, termasuk meminta keterangan terdakwa, menghadirkan saksi ahli sesuai Pasal 179 dan Pasal 180 KUHAP, pemeriksaan barang bukti sesuai Pasal 181 KUHAP. 195 Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, maka penuntut umum mengajukan tuntutan pidana sesuai Pasal 182 ayat (1) KUHAP, selanjutnya terdakwa dan/atau penasehat hukumnya mengajukan pembelaan (pledoi).
195
Andi Hamzah (1996), Op. cit. hal. 249.
Universitas Sumatera Utara
Pembacaan surat dakwaan masih merupakan awal dilakukannya pemeriksaan pendahuluan, yang kemudian menanyakan isi dakwaan kepada terdakwa, dan terdakwa mengajukan eksepsi. Materi eksepsi (exception) terdakwa dalam tahap ini menurut M. Yahya Harahap adalah mengenai tangkisan (plead) atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap materi pokok perkara dalam surat dakwaan, tetapi keberatan atau pembelaan itu ditujukan terhadap cacat formil yang melekat pada surat dakwaan, dan harus diajukan pada saat sidang pertama (pendahuluan), sesaat setelah penuntut umum membacakan dakwaan. 196 Bilamana pemeriksaan dilanjutkan oleh hakim, untuk memasuki materi pokok perkara (unsur materiil) maka pemeriksaan harus dilanjutkan dengan pemeriksaan alat-alat bukti (pemeriksaan para saksi, terdakwa, saksi ahli, barang bukti), dan pembuktian oleh hakim, hingga putusan akhir dijatuhkan. 197 Eksepsi (exception) atau keberatan terdakwa dinyatakan hakim ditolak, maka perkara tersebut harus dilanjutkan ke pemeriksaan materi pokok perkara untuk memperoleh putusan akhir. 198 Sesuai Pasal 182 ayat (1) KUHAP, setelah pemeriksaan alat-alat bukti dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab 196
M. Yahya Harahap (I), Op. cit., hal. 123. Ibid., hal. 169-134. Bandingkan juga dengan: Antory Royan Adyan, “Kedudukan Hakim Komisaris Sebagai Pengawas Penyidik Dalam Melakukan Tindakan Upaya Paksa”, Jurnal Hukum Staatrechts, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014, hal. 26. 198 http://news.detik.com/berita/2924026/eksepsi-ditolak-pemeriksaan-pokok-perkarachristopher-dilanjutkan, diakses tanggal 13 Desember 2015, Berita ditulis oleh Dhani Irawan, berjudul “Eksepsi Ditolak, Pemeriksaan Pokok Perkara Christopher Dilanjutkan”, dipublikasikan di website news.detik.com, Tanggal 25 Mei 2015. 197
Universitas Sumatera Utara
oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir. Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan. Pemeriksaan pokok perkara dinyatakan selesai atau ditutup (vide: Pasal 182 ayat 2 KUHAP) ditandai dengan selesainya perkara diperiksa oleh hakim sebelum menjatuhkan putusan akhir melalui proses panjang. Pemeriksaan pendahuluan meliputi: pemeriksaan terhadap identitas, dan peringatan ketua sidang kepada terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan, serta pembacaan catatan/surat dakwaan. Sedangkan pemeriksaan dilanjutkan (memasuki materi pokok perkara) meliputi: acara keberatan/eksepsi dari terdakwa dan atau penasehat hukumnya, dan pendapat jaksa penuntut umum, pemeriksaan alat bukti, tuntutan pidana (requisitoir), pembelaan (pleidooi), replik (repliek), 199 duplik (dupliek), rereplik (re-repliek), reduplik (re-dupliek), pernyataan pemeriksaan ditutup, serta musyawarah majelis hakim dan pembacaan putusan diucapkan. 200 Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa titik awal pemeriksaan pokok perkara dalam persidangan adalah saat setelah dilakukan pemeriksaan alat-alat bukti, hingga pemeriksaan dinyatakan ditutup oleh hakim, dan pembacaan tuntutan pidana. Apabila tahapan-tahapan ini telah dilalui maka hakim akan mengeluarkan putusan
199 200
akhir
yang
dapat
berupa
putusan
pemidanaan/terbukti
bersalah
Andi Hamzah (1985), Op. cit., hal. 259. Lilik Mulyadi (III), Op. cit, hal. 136.
Universitas Sumatera Utara
(veroordeling) atau putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak atau acquittal) atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van elle rechtsvervolging), bukan berupa putusan dakwaan batal demi hukum. 2. Pembatalan Dakwaan Dalam Putusan Akhir Putusan akhir lazim disebut dengan istilah putusan (eind vonnis) dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada hakikatnya putusan akhir dibuat setelah hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pemeriksaan terhadap area pokok perkara telah selesai diperiksa (vide: Pasal 182 ayat ayat (1), ayat (3) dan ayat (8) KUHAP), yang intinya tentang pemeriksaan pokok perkara dinyatakan selesai (ditutup) setelah JPU mengajukan tuntutan pidana, selanjutnya terdakwa/pensehat hukumnya mengajukan pembelaan, dan selanjutnya hakim bermusyawarah untuk menjatuhkan putusan akhir. 201
201
Pasal 182 KUHAP menentukan sebagai berikut: Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana; Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir. c. Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan. Jika acara tersebut pada ayat (1) telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya. Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang. Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.
(1) a. b.
(2)
(3)
(4) (5)
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan pokok perkara dinyatakan selesai (ditutup) ditandai dengan selesainya perkara diperiksa oleh karena hakim sebelum menjatuhkan putusan telah melalui proses acara sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, pemeriksaan terhadap identitas, dan peringatan ketua sidang kepada terdakwa supaya mendengar dan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan, pembacaan catatan/surat dakwaan, acara keberatan/eksepsi dari terdakwa dan atau penasehat hukumnya, dan pendapat jaksa penuntut umum, penetapan/keputusan sela, pemeriksaan alat bukti, tuntutan pidana (requisitoir), pembelaan (pleidooi), replik (repliek), duplik (dupliek), rereplik (re-repliek), reduplik (re-dupliek), pernyataan pemeriksaan ditutup, serta musyawarah majelis hakim dan pembacaan putusan diucapkan. 202 Putusan akhir terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu: (1) Putusan bebas (vide: Pasal 191 ayat 1 KUHAP) 203, (2) Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum
(6) Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Putusan diambil dengan suara terbanyak. b. Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. (7) Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia. (8) Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum. 202 Lilik Mulyadi (III), Seraut Wajah Putusan hakim Dalam hukum Acara Pidana Indonesia: Perspektif, Teoritis, Praktik, Tenik Membuat, dan Permasalahannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 136. 203 Pasal 191 ayat (1) KUHAP menentukan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dakwa diputus bebas”.
Universitas Sumatera Utara
(vide: Pasal 191 ayat 2 KUHAP) 204, dan (3) Putusan pemidanaan (vide: Pasal 193 ayat 1 KUHAP) 205. Putusan akhir yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum disebut onslag van alle rechtsvervolging, putusan akhir yang menyatakan bahwa terdakwa bebas dari segala tuntutan disebut vrijspraak, dan putusan akhir yang menyatakan bahwa terdakwa dipidana/dinyatakan terbukti bersalah disebut dengan putusan pemidanaan atau veroordeling. 206 Berdasarkan Pasal 197 KUHAP, suatu putusan akhir harus memuat unsurunsur yang disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP dengan ada pengecualian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 199 ayat (1) huruf a KUHAP. Pasal 197 KUHAP menentukan sebagai berikut: (1) Surat putusan pemidanaan memuat: a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; 204
Pasal 191 ayat (2) KUHAP menentukan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. 205 Pasal 193 ayat (1) KUHAP menentukan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. 206 Martina Indah Amalia, Op. cit., hal. 8-9.
Universitas Sumatera Utara
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera; (2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. (3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini. Berdasarkan Pasal 197 ayat (2) KUHAP tersebut di atas lah yang menegaskan suatu putusan dinyatakan sebagai putusan akhir. Bilamana tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k dan l KUHAP akan mengakibatkan putusan akhir itu batal demi hukum. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa dalam putusan akhir terdapat tiga model putusan akhir yaitu: putusan pemidanaan, putusan bebas, dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan pemidanaan (veroordeling) adalah putusan akhir dari proses persidangan di pengadilan yang menegaskan apabila hakim pengadilan berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan (vide: Pasal 193 ayat 1 KUHAP) dengan berlandaskan pada prinsip minimum pembuktian (vide: Pasal 183 KUHAP). 207 Pasal 193 ayat (1) KUHAP menentukan “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka 207
Lilik Mulyadi (III),¸Op. cit., hal. 134.
Universitas Sumatera Utara
pengadilan menjatuhkan pidana”. Pasal 193 ayat (1) KUHAP ini menegaskan tentang putusan pemidanaan atau putusan penjatuhan pidana. Putusan pemidanaan ini harus pula memenuhi syarat minimal pembuktian sesuai Pasal 183 KUHAP. Ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP menentukan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Putusan pemidanaan (veroordeling) merupakan putusan akhir yang berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman (punishment) atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, maka hakim tersebut telah yakin berdasarkan alatalat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam surat dakwaan. Lebih tepatnya lagi hakim tidak melanggar syarat minimum pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP. Pembentuk undang-undang memberikan kebebasan kepada para hakim untuk menentukan jumlah pidana dan tidak boleh melebihi atau mengurangi batas minimum dan maksimum terhadap sanksi pidana yang terbukti dalam persidangan. Mengenai berat ringannya atau lamanya pidana itu merupakan wewenang daripada judex facti (PN dan PT) yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex facti tersebut menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum atau minimum. 208
208
Sudikono Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal. 107. menurut Sudikono Mertokusumo, negara Indonesia menganut asas the persuasive of precedent yaitu
Universitas Sumatera Utara
Walaupun pembentuk undang-undang memberikan kebebasan kepada para hakim dalam menentukan batas maksimum dan minimum lamanya pidana yang harus dijalani terdakwa, bukan berarti hakim dapat dengan seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar yang lengkap. Penjatuhan pidana tersebut harus cukup dengan pertimbangan yang lengkap dan argumentatif pula. Pertimbangan hakim yang kurang (onvoldoende gemotiveerd) dapat dibatalkan oleh judex juris (MA). 209 Sedangkan yang dimaksud dengan putusan bebas (vrijspraak atau acquittal) adalah putusan akhir dari proses persidangan di pengadilan yang menegaskan apabila hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas perbuatan yang didakwakan maka terdakwa harus diputus bebas (vide: Pasal 191 ayat (1) KUHAP), dan pembebasan tersebut didasarkan pula pada pembuktian perbuatan terdakwa sesuai prinsip minimum pembuktian (vide: Pasal 183 KUHAP). 210 Putusan bebas (virjspraak) ditentukan di dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menentukan, “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dakwa diputus bebas”. Menurut Martimam pada aliran dualisme memandang Pasal 191 ayat (1) KUHAP mengandung menurut asas ini memberikan kebebasan kepada para hakim pengadilan dalam memutus suatu perkara tanpa terikat keputusan hakim terdahulu seperti yang dianut oleh negara-negara yang menganut asas the binding force of precedent sehingga seorang hakim dapat mengambil putusan berdasarkan keyakinannya. Namun kebebasan itu tidak bersifat mutlak adanya karena putusan yang diambilnya harus pula konstitusional, dan tidak sewenang-wenang, serta berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut hukum. 209 Lilik Mulyadi (III),¸Loc. cit. 210 Lilik Mulyadi (III),¸Op. cit., hal. 134.
Universitas Sumatera Utara
pemisahan antara unsur perbuatan (objektif) dan unsur si pelaku (subjektif), jika yang tidak terbukti itu unsur objektifnya (misalnya melawan hukum dan atau tidak ada alasan pemaaf) maka putusan harus bebas (vrijspraak). 211 Aliran monisme menyatukan unsur subjektif dan objektif secara bulat sedangkan aliran dualisme memisahkan antara unsur subjektif dan unsur objektif. Ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP ini sama isinya dengan ketentuan Pasal 313 HIR yang menentukan, “Jika pengadilan berpendapat bahwa kesalahan orang yang dituduh tidak terang, maka orang itu harus dibebaskan” (Indien de landraad bevindt, dat de schuld van den beklaagde niet bewezen is, wordt deze vrijsproken). Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti yang sah.
212
Sehingga ukuran bagi hakim untuk menjatuhkan putusan bebas, yaitu karena perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak cukup bukti untuk meyakinkan hakim dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan sehingga hakim tidak yakin terdakwa bersalah. 213 Putusan bebas terdiri dari bebas murni (zuivere vrijspraak) dan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak). 214
211
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No.20 Tahun 2001), (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 43. 212 Ibid. 213 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Sumur Indonesia, 1970), hal. 93. 214 Ramelan, “Sekilas Tentang Putusan Pembebasan Murni, Putusan Pembebasan Tidak Murni, Putusan Pelepasan Dari Tuntutan Hukum dan Upaya Hukum Kasasi”, Makalah Disampaikan
Universitas Sumatera Utara
Putusan bebas murni (zuivere vrijspraak) dijatuhkan karena pokok masalah yang dipertimbangkan oleh hakim tidak terbukti sebagaimana perbuatan yang didakwakan oleh JPU. Berdasarkan fakta-fakta yang diungkap di persidangan, kesalahan terdakwa yang didakwakan kepadanya tidak dapat dibuktikan secara sah yang meyakinkan. 215 Pokok perkara yang dipertimbangkan oleh hakim tidak terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada sehingga disebut putusan bebas murni (zuivere vrijspraak). 216 Sedangkan putusan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) adalah jika hakim berpendapat di dalam pertimbangan hukumnya bahwa unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti, akan tetapi pendapatnya tersebut salah karena keliru menafsirkan unsur-unsur tindak pidana dimaksud tidak sesuai dengan kehendak hukum. 217 Bilamana terdakwa dijatuhi putusan bebas (vrijspraak), maka terhadap terdakwa tersebut tidak dipidana atau tidak menjalani hukuman karena hasil pemeriksaan di persidangan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bagi hakim tentang materi yang didakwakan oleh penuntut umum berdasarkan alat-alat bukti
pada Seminar yang Diselenggarakan oleh Institute for Legal Constitutional & Government, Dengan Tema Kasasi Terhadap Putusan Bebas oleh Penuntut Umum, Aspek Teoritis dan Praktik Penyusunan Memori Kasasi, di Hotel Atlit Century Park, Jakarta, Tanggal 10 Juli 2012, hal. 7. 215 Ibid. 216 Ibid, hal. 8. Contohnya: A didakwa mencuri padahal A mungkir dan memberikan alibi pada saat yang bersamaan dengan waktu dan hari serta tanggal sesuai dengan yang didakwakan berada di tempat lain. Alibi terdakwa A dikuatkan dengan alat bukti yang lain, sementara yang menerangka A telah mencuri hanya ada satu saksi dan keterangannya juga tidak dengan pasti melihat si A mencuri. Contoh lain adalah pencuri yang mencuri harta tidak bertuan. 217 Ibid. Contoh: terdakwa didakwa mencuri aliran listrik dibebaskan atas dasar pertimbangan bahwa terdakwa tidak terbukti mencuri barang, karena unsur barang dalam Pasal 362 KUH Pidana tidak termasuk aliran listrik. Dalam contoh putusan hakim yang demikian merupakan kekeliruan hakim dalam menafsirkan unsur barang, karena pengertian barang di dalam Pasal 362 KUH Pidana meliputi barang yang berwujud dan tidak berwujud sehingga aliran listrik juga termasuk dalam hal ini.
Universitas Sumatera Utara
yang ada. Dengan kata lain hakim memandang asas minimum pembuktian sebagaimana dalam Pasal 183 KUHAP tidak terbukti. Contoh putusan bebas misalnya dalam hal terdakwa didakwa oleh penuntut umum dalam surat dakwaan melakukan tindak pidana penadahan (Pasal 480 KUHP), namun berdasarkan hasil pemeriksaan hakim di sidang pengadilan ternyata terdakwa tidak mengetahui, tidak menduga, atau tidak menyangka bahwa barang-barang tersebut berasal dari suatu kejahatan. Artinya salah satu unsur dalam Pasal 480 KUHP tidak dapat dibuktikan yaitu unsur niat (mens rea), sehingga kepada terdakwa tersebut harus dibebaskan. Sedangkan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van elle rechtsvervolging) adalah putusan akhir dari proses persidangan di pengadilan apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum (vide: Pasal 191 ayat (2) KUHAP), pelepasan terdakwa tersebut karena perbuatan itu merupakan lingkup hukum perdata, adat, dagang, atau adanya alasan pemaaf (strafuits-luitingsgronden atau feit de axcuse), atau karena adanya alasan pembenar (rechts-vaardingings-grond) yang ditentukan dalam Pasal 44 ayat (1), Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 KUHP. 218 Putusan lepas (onslag van alle rechttsvervolging) adalah putusan akhir yang menyatakan perbuatan yang didakwakan itu terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak 218
Lilik Mulyadi (III),¸Loc. cit..
Universitas Sumatera Utara
pidana. Ketentuan pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP ini adalah tentang putusan lepas. Aliran dualisme memandang Pasal 191 ayat (2) KUHAP ini adalah jika yang tidak terbukti itu unsur subjektif (misalnya unsur kesalahan), maka amar putusannya dilepaskan dari segala tuntutan (ontslag van rechtsvervolging). 219 Contoh untuk putusan lepas dari segala tuntutan hukum misalnya seorang terdakwa bertindak sebagai seorang “perantara” dalam transaksi jual-beli tanah beserta bangunan rumah di atasnya. Pihak penjual dan pembeli tidak pernah berhubungan satu sama lain. Perantara menyangggupi mengurus dan menyelesaikan transaksi jual-beli tanah dan rumah tersebut mulai dari harga, pembayaran, sampai pada pengurusan akta notaris. Jual-beli terjadi antara pembeli dan perantara, sementara uang pembelian diserahkan oleh pembeli kepada perantara. Pembuatan akta notaris tidak pernah terlaksana. Pembeli berupaya meminta kembali uangnya kepada perantara tersebut, tetapi ditolak dengan alasan uang tersebut adalah uang pembayaran utang si pembeli kepada si perantara. Fakta yuridis ini menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 441 K/Pid/1992 Tanggal 28 April 1994 bukan termasuk sebagai tindak pidana penipuan (vide: Pasal 378 KUHP), melainkan hanya sebagai hubungan keperdataan dalam kaitannya dengan wanprestasi yang seharusnya diajukan melalui gugatan perdata oleh si pembeli kepada si perantara, sehingga dengan demikian terdakwa dalam kasus ini 219
Ramelan, Op. cit., hal. 8 dan hal. 11. Adapun untuk putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa materi yang didakwakan oleh penuntut umum tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan, akan tetapi terdakwa tidak bisa dipidana karena perbuatan yang dilakukan terdakwa bukan merupakan tindak pidana, melainkan merupakan perbuatan hukum dalam lapangan perdata.
Universitas Sumatera Utara
harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum karena perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana, melainkan masuk dalam lapangan hukum perdata. Putusan bebas (vrijspraak atau acquittal) dan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van elle rechtsvervolging) disebut juga dengan putusan yang bukan pemidanaan, karena kedua putusan ini tidak menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 199 KUHAP menentukan: (1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat: a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f dan h; b. Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar putusan; c. Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pasal ini. Berdasarkan Pasal 199 KUHAP maka putusan yang bukan pemidanaan tidak memuat tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan (vide: Pasal 197 ayat 1 huruf e), tidak memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan (vide: Pasal 197 ayat 1 huruf f KUHAP), dan tidak memuat pernyataan kesalahan terdakwa (vide: Pasal 197 ayat 1 huruf h KUHAP). Oleh karenanya maka hanya ada dua bentuk putusan yang bukan pemidanaan yaitu putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan. Putusan batal demi hukum juga berlaku untuk putusan yang bukan pemidanaan bilamana tidak memenuhi syarat yang disebutkan dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Lilik Mulyadi menjelaskan bahwa putusan bebas (vrijspraak) berbeda dengan putusan lepas (onslag van recht vervolging). Pada putusan bebas, tindak pidana yang
Universitas Sumatera Utara
didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, atau tidak dipenuhinya ketentuan prinsip minimum pembuktian yaitu minimal 2 alat bukti yang sah dan disertai keyakinan hakim (vide: Pasal 183 KUHAP), sedangkan pada putusan lepas, segala tuntutan hukum atas perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan jaksa/penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, misalnya merupakan bidang hukum perdata, hukum adat atau hukum dagang. 220 Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa surat dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan pokok perkara (saat dijatuhkannya putusan akhir) sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku (KUHAP), sama sekali tidak terdapat pengaturannya di dalam KUHAP, sebab berdasarkan KUHAP hanya menentukan bahwa dalam putusan akhir hanya dikenal tiga macam/bentuk putusan akhir yaitu: putusan pemidanaan, putusan bebas, dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Meskipun Pasal 156 ayat (2) KUHAP menentukan: “Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan”, memberi peluang bagi hakim untuk melanjutkan pemeriksaan terhadap materi pokok perkara untuk selanjutnya
220
Lilik Mulyadi (IV), Hukum Acara Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 152-
153.
Universitas Sumatera Utara
menjatuhkan putusan akhir, namun bentuk putusan akhir itu bukan seharusnya membatalkan dakwaan, tetapi berupa putusan akhir (memidana, atau membebaskan, atau melepaskan terdakwa). Kalau ketentuan untuk putusan batal demi hukum, jelas ditentukan dasar hukumnya dalam Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Putusan yang tidak memenuhi elemen-elemen sebagaimana dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah batal demi hukum karena dianggap kelalaian mencantumkan, dan pembatalannya diajukan ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa dan/atau pensehat hukumnya. 221 Secara normatif menurut Lilik Mulyadi memang diakui “bila tidak mencantumkan unsurunsur yang disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah batal demi hukum. Namun dalam praktik pengadilan, yang sering terjadi adalah “dapat dibatalkan”, artinya harus ada upaya pembatalannya ke Pengadilan Tinggi. 222 Sedangkan ketentuan sebagai dasar hukum pembatalan dakwaan dalam putusan akhir tidak dikenal dalam KUHAP. Setidak-tidaknya KUHAP tidak mengatur secara tegas mengenai pembatalan dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara atau setelah tuntutan dibacakan (vide: putusan akhir), akan tetapi jika membaca redaksional Pasal 156 ayat (2) KUHAP yakni “….sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan”. Penekanan redaksional itu adalah dalam hal “…baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan…”. Dari ketentuan ini berarti
221 222
M. Yahya Harahap (I), Op. cit., hal. 386. Lilik Mulyadi (III), Op. cit., hal. 144-145.
Universitas Sumatera Utara
KUHAP memberikan sarana yuridis bagi hakim untuk memutuskan batal demi hukum atau tidak batalnya suatu dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara selesai. Sekalipun dalam Pasal 156 ayat (2) KUHAP menentukan “Jika hakim menyatakan keberatan tersebut tidak diterima, maka perkara itu diperiksa lebih lanjut”, atau “Jika hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan” (vide: kemungkinan kedua dan ketiga di atas), namun hakim harus memahami maksud ketentuan ini adalah bukan untuk membatalkan dakwaan di saat penjatuhan putusan akhir, tetapi lebih berupa koreksi atau penilaian lebih lanjut terhadap materi pokok perkara, dan harus diakhiri dengan putusan akhir. Kesalahan hakim dalam Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Simalungun adalah menjatuhkan putusan berupa “dakwaan batal demi hukum” pada saat putusan akhir, karena putusan akhir berarti telah melalui pemeriksaan materi pokok perkara. Bilamana dilihat dari segi cacat yuridis formal dari pelaksanaan hukum acara pidana yang seharusnya pembatalan dakwaan dilakukaan pada saat putusan sela (belum memeriksa materi pokok perkara) bila ada perlawanan (eksepsi) dari terdakwa. Pembatalan dakwaan yang dijatuhkan hakim pada saat putusan akhir adalah bertentangan dengan asas legalitas, karena KUHAP hanya mengenal putusan akhir berupa pemidanaan, bebas, dan lepas. 223 Oleh karena itu putusan hakim demikian harus ditafsirkan secara interpretasi argumentum peranalogiam (analogi) atau 223
Pertimbangan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 191 ayat (1), junto Pasal 191 ayat (2), junto Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang hanya mengenal putusan akhir berupa putusan pemidanaan, putusan bebas, dan putusan lepas, bukan putusan pembatalan terhadap surat dakwaan.
Universitas Sumatera Utara
ekstensif agar sekalipun putusan lepas hanya terkait dengan suatu peristiwa yang bukan merupakan peristiwa pidana harus juga masuk alasan karena suatu dakwaan tidak cermat, tidak lengkap, yang mengakibatkan dakwaan tersebut dibatalkan. Suatu dakwaan batal demi hukum sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP bisa dijatuhkan oleh hakim tidak dijelaskan secara limitatif dalam penjelasan KUHAP tentang waktunya. Hal ini mengakibatkan ada dua kemungkinan, pertama: hakim bisa saja menjatuhkan putusan berupa “dakwaan batal demi hukum” di saat putusan sela tetapi materi pokok perkara belum diperiksa. Kedua: hakim bisa menjatuhkan putusan “lepas dari segala tuntutan hukum” bilamana dijatuhkan pada saat putusan akhir bilamana materi pokok perkara telah diperiksa dan tuntutan pidana sudah dibacakan oleh penuntut umum. Argumentasi yang pertama di atas didasarkan pada maksud dari ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) junto Pasal 193 junto Pasal 197 KUHAP, yang pada prinsipnya hakim menjatuhkan putusan pada putusan akhir hanya berupa putusan pemidanaan, atau putusan bebas, atau putusan lepas, bukan berupa putusan “dakwaan batal demi hukum”. Karena terhadap ketiga jenis putusan ini pada pokoknya telah dilakukan pemeriksaan terhadap materi pokok perkara. Hakim dalam Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Simalungun adalah menjatuhkan putusan berupa “dakwaan batal demi hukum” pada saat putusan akhir setelah melalui pemeriksaan materi pokok perkara. Oleh karena hakim telah melakukan pemeriksaan terhadap materi pokok perkara dalam perkara a quo tersebut, maka hakim seharusnya menyatakan putusannya dalam bentuk putusan lepas dari
Universitas Sumatera Utara
segala tuntutan hukum (onslag van elle rechtsvervolging), bukan putusan “dakwaan batal demi hukum” karena putusan “dakwaan batal demi hukum” merupakan area putusan sela. Penafsiran hukum dalam kasus ini dilakukan interpretasi secara analogi. Salah satu jenis metode interpretasi menurut Sudikno Mertokusumo adalah interpretasi berdasarkan argumentum peranalogiam (analogi). Ada kalanya peraturan perundangundangan terlalu sempit ruang lingkupnya sehingga untuk dapat menerapkan undangundang itu pada peristiwa konkrit, maka hakim harus memperluasnya dengan metode yang disebut dengan argumentum peranalogian (analogi). Dengan analogi, peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur di dalam undang-undang harus diperlakukan sama. Interpretasi analogi ini diperlukan ketika hakim menemukan peristiwa-peristiwa yang analog atau mirip. Tidak hanya sekedar mirip, juga apabila kepentingan masyarakat hukum menuntut penilaian yang sama. 224 Interpretasi analogi digunakan apabila menghadapi peristiwa-peristiwa yang analog atau mirip. Penalaran analogi oleh hakim digunakan kalau hakim harus menjatuhkan putusan dalam suatu peristiwa atau konflik yang tidak tersedia peraturan-peraturannya. Dalam hal ini hakim bertindak sebagai pembentuk undangundang yang mengetahui adanya kekosongan hukum dan harus melengkapinya dengan peraturan-peraturan yang serupa. 225
224
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebagai Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2009), hal. 67. 225 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Hakim mencari pemecahan untuk peristiwa yang tidak diatur dengan penerapan peraturan dengan penerapan peraturan untuk peristiwa-peristiwa yang telah diatur yang sesuai secara analog. Contoh Pasal 1756 KUH Perdata mengatur mengatur tentang mata uang. Apakah uang kertas termasuk didalamnya? Dengan jalan analogi maka mata uang yang dimaksud dalam pasal tersebut ditafsirkan termasuk uang kertas. 226 Interperasi secara analogi selain merupakan metode penemuan hukum juga merupakan penciptaan hukum baru karena memperluas pengertian (makna). Analogi ini dapat juga disebut dengan interpretasi ekstensif. Metode interpretasi ekstensif memberi peluang untuk menafsirkan hukum secara luas, tetapi dalam konteks tidak ada kekosongan aturan dalam undang-undang. 227 Undang-undangnya lengkap mengatur, hanya saja tidak jelas atau kabur (samar-samar) sehingga perlu dijelaskan atau ditafsirkan. 228 Dalam penafsiran ini boleh dilampaui batasan yang diberikan oleh penafsiran gramatikal, atau memperluas asas legalitas. Misalnya kata “menjual” dalam 1576 KUH Perdata dapat ditafsirkan bukan hanya jual beli saja, tetapi termasuk setiap peralihan hak milik. 229 Sudikno Mertokusumo dengan tegas mengatakan, hakim pidana dilarang melakukan menggunakan analogi dengan memasukkan peristiwa-peristiwa ke dalam lingkup undang-undang pidana karena bertentangan dengan asas legalitas dalam Pasal 226
Ibid., hal. 68. Ibid. 228 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 81. 229 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 64. 227
Universitas Sumatera Utara
1 ayat (1) KUHP, tetapi tidak dilarang menggunakan interpretasi ekstensif, walaupun pada hakikatnya analogi itu bersifat memperluas juga seperti interpretasi ekstensif. Sehingga interpretasi yang dibolehkan analogi adalah interperasi yang bersifat ekstensif, dengan kata lain interpretasi itu dilakukan terhadap aturan yang sudah ada namun hanya karena aturannya tidak jelas atau samar-samar. 230 Penafsiran hukum dalam kasus ini dilakukan secara interpretasi argumentum peranalogian (analogi) terhadap ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP mengenai alasan putusan lepas dari segala tuntutan, maka bilamana perkara a quo tersebut ingin dipaksakan untuk diperiksa dan diputuskan dalam putusan akhir maka putusan hakim tersebut dapat dikategorikan sebagai putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag
van
elle
rechtsvervolging).
Berdasarkan
interpretasi
argumentum
peranalogian, hakim menemukan peraturan untuk peristiwa yang mirip bilamana peristiwa yang mirip itu telah diatur dalam undang-undang, tetapi tidak jelas aatau samar-samar. 231 Pasal 191 ayat (2) KUHAP menentukan: ”Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan”. Pasal 191 ayat (2) KUHAP ini bila ditafsirkan secara interpretasi argumentum peranalogian terkait dengan putusan ”dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan pokok perkara dan pembacaan tuntutan” maka putusan demikian itu
230 231
Ibid., hal. 69. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
harus dimasukkan ke dalam putusan akhir berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van elle rechtsvervolging), bukan lagi berupa putusan sela, sebab telah diperiksa materi pokok perkaranya atau tuntutan telah dibacakan. Berdasarkan interpretasi argumentum peranalogian pada prinsipnya putusan yang termasuk sebagai putusan akhir berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van elle rechtsvervolging) bukan saja hanya karena peristiwa itu bukan merupakan tindak pidana saja, tetapi dakwaan yang tidak dibuat secara cermat, jelas, dan lengkap bisa juga masuk ke dalam kategori putusan lepas dari segala tuntutan hukum, bahkan dakwaan atau tuntutan yang masih prematur, juga masuk dalam kategori putusan lepas atau menyebabkan dakwaan tidak dapat diterima. Berdasarkan interpretasi argumentum peranalogian terhadap Pasal 191 ayat (2) KUHAP adalah karena ada ketidakcermatan, ketidakjelasan, dan tidak lengkapnya materi surat dakwaan. Bilamana surat dakwaan tadi dibuat secara cermat, jelas, dan lengkap, maka kemungkinan terdakwa diputus lepas (onslag) karena telah melalui pemeriksaan materi pokok perkara menuju putusan akhir, dan putusan lepas (onslag) merupakan salah satu jenis putusan akhir menurut KUHAP. Ketidakcermatan isi dalam dakwaan adalah karena penuntut umum menyebut Rikal memberikan uang sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) kepada terdakwa untuk membeli narkotika jenis sabu kepada Wildan (DPO), namun berdasarkan fakta di persidangan terdakwa dan Rikal masing-masing patungan uang sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) untuk membeli narkotika jenis sabu tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Orang yang bernama Rikal dalam surat dakwaan terkait dengan tindak pidana tetapi penuntut umum tidak mencantumkan Rikal atau tidak memasukkan Rikal ke dalam DPO, sementara yang lain seperti Wildan dimasukkan ke dalam DPO, termasuk orang yang mengantarkan sabu kepada terdakwa yaitu Black juga tidak dimasukkan ke dalam DPO. Dalam hal ini maka dakwaan penntut umum tersebut terkategori sebagai dakwaan yang tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap. Bahkan yang membuat dakwaan penuntut umum semakin menjadi rumit, tidak cermat, tidak jelas, dan tidak tegas adalah disusunnya dakwaan seolah-olah untuk delik yang dilakukan secara perorangan, padahal untuk perkara a quo seharusnya disertakan pasal tentang delik penyertaan (deelneming) sesuai Pasal 55 KUHP dengan membuat atau menyusun dakwaan itu dalam bentuk dakwaan kumulasi, tetapi hal itu tidak dilakukan oleh penuntut umum. Pasal lain dalam KUHAP yang ditafsirkan secara interpretasi argumentum peranalogian atau interpretasi ekstensif adalah Pasal 156 ayat (2) KUHAP menentukan: “Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan”. Kelanjutan pasal ini tidak ditegaskan dalam KUHAP untuk menuju putusan akhir atau kembali ke putusan sela. Berdasarkan Pasal 156 ayat (2) KUHAP ini diinterpretasi secara argumentum peranalogian atau interpretasi ekstensif (luas), maka apabila hakim melanjutkan pemeriksaan materi pokok perkara tersebut oleh karena tidak ada eksepsi dari
Universitas Sumatera Utara
terdakwa atau penasehat hukumnya, bukan berarti berkonsekuensi menuju putusan sela berupa “dakwaan tidak dapat diterima” atau “dakwaan batal demi hukum”, tetapi harus menuju ke salah satu putusan akhir dari tiga jenis putusan akhir, yaitu menuju putusan pemidanaan, atau putusan bebas, atau putusan lepas. Oleh karena hakim menemukan ketidakcermatan surat dakwaan yang mengakibatkan surat dakwaan tersebut batal demi hukum, maka putusan demikian ini harus masuk ke dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van elle rechtsvervolging). Berdasarkan uraian di atas terkait dengan perkara a quo bila didasarkan pada interpretasi argumentum peranalogian atau interpretasi ekstensif, atau bila hakim hendak memeriksa materi pokok perkaranya lebih dahulu baru kemudian diputuskan dalam putusan akhir, maka seharusnya hakim mengatakan putusannya berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van elle rechtsvervolging), bukan putusan berupa “dakwaan batal demi hukum”, karena putusan berupa “dakwaan batal demi hukum” merupakan putusan sela. Konsekeunsi dari putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van elle rechtsvervolging) atau setidak-tidaknya telah dilakukan pemeriksaan terhadap materi pokok perkara adalah berlakunya asas ne bis in idem. Dengan demikian tidak salah kiranya bilamana hakim menyatakan putusannya dalam perkara a quo adalah putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van elle rechtsvervolging) karena majelis hakim telah memasuki pemeriksaan materi pokok perkara dan pembacaan tuntutan. Majelis hakim dikatakan salah menerapkan hukum acara formil dalam perkara a quo karena majelis hakim telah melakukan pemeriksaan materi pokok perkara dan
Universitas Sumatera Utara
diputuskan dalam bentuk “dakwaan batal demi hukum”, sehingga tidak kelihatan dalam perkara itu apakah putusan tersebut berupa putusan sela atau putusan akhir oleh karena disebutkannya “dakwaan batal demi hukum” setelah pemeriksaan materi pokok perkara. Sekalipun hakim tidak dengan tegas mengatakan putusannya berupa putusan akhir dalam perkara a quo, seharusnya bila hakim ingin menyatakan putusan “dakwaan batal demi hukum” tidak boleh dilakukan pemeriksaan terhadap materi pokok perkara, tetapi bila telah dilakukan pemeriksaan terhadap materi pokok perkara maka seharusnya putusan dalam perkara a quo itu masuk ke dalam putusan akhir berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Terkait dengan putusan dalam perkara a quo yang menyatakan surat dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan materi pokok perkara dan setelah tuntutan dibacakan diinterpretasi menjadi putusan akhir berupa putusan lepas dari segala tuntutan, didukung dengan yurisprudensi Mahkamah Agung yaitu Putusan Nomor: 545 K/Pid.Sus/2011 Tanggal 31 Mei 2011 atas nama terdakwa Susandhi bin Sukamta alias AAN dijatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van elle rechtsvervolging) dengan salah satu pertimbangan MA adalah karena dari sejak awal pemeriksaan terdakwa menyangkal dakwaan jaksa penuntut umum oleh karena surat dakwaan yang dibuat penuntut umum didasarkan pada BAP yang tidak sah dan cacat hukum. Surat dakwaan penuntut umum tersebut di atas dinyatakan tidak sah dan cacat hukum oleh karena BAP tidak sah karena dilakukan secara pemaksaan dan tidak
Universitas Sumatera Utara
sesuai hukum acara pidana yang berlaku terkait dengan penangkapan, penyitaan dan penggeledahan (Pasal 77 KUHAP), terdakwa dipukuli hingga mata kiri bengkak, bibir bengkak, diperiksa di ruang rapat sebuah perusahaan hanya pakai celana dalam dengan ruangan ac yang dingin. Terdakwa tidak didampingi oleh penasehat hukum, terdakwa mengakui tuduhan penyidik disebabkan karena merasa tidak tahan, lelah, dan sakit akibat dipukuli, tetapi pengakuan terdakwa tidak didukung dengan bukti karena Yanto Moge sama sekali tidak memberikan sabu/ineks kepada terdakwa. Berdasarkan pertimbangan di atas, MA membebaskan terdakwa dari segala tuntutan dan membatalkan surat dakwaan jaksa penuntut umum. MA juga membatalkan Putusan PT Jakarta Nomor: 167/Pid/2010/PT.DKI., Tanggal 5 November 2010 yang membatalkan Putusan PN Jakarta Selatan Nomor: 165/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel., Tanggal 17 Mei 2010. Sebelumnya PN Jakarta Selatan menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum Nomor Register Perkara: PDM148/Jkt.Slt/02/2010 Tanggal 5 Februari 2010 batal demi hukum dan menyatakan agar berkas perkara Nomor: 165/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel., atas nama terdakwa Susandhi bin Sukatma alias AAN dikembalikan kepada penuntut umum. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 545 K/Pid.Sus/2011 Tanggal 31 Mei 2011 atas nama terdakwa Susandhi bin Sukamta alias AAN ini apabila dibandingkan dengan Putusan PN Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim atas nama terdakwa Ikhsan Fauzi Rangkuti, jelas mengandung kemiripan, yaitu samasama mempersoalkan surat dakwaan penuntut umum yang tidak sah, tidak cermat, tidak jelas, sehingga hakim menyatakan surat dakwaan tersebut batal demi hukum.
Universitas Sumatera Utara
Namun putusan PT. DKI Jakarta dalam perkara AAN memasuki pemeriksaan terhadap materi pokok perkara dibatalkan oleh Mahkamah Agung, sedangkan dalam perkara Ikhsan Fauzi Rangkuti juga diperiksa materi pokok perkaranya oleh PN Simalungun tetapi belum memperoleh putusan dari Mahkamah Agung. Berdasarkan teori sistem hukum yang menghendaki keselarasan antar elemenelemen yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum, maka apabila perkara ini dikaitkan dengan substansi hukum, ditemukan kelemahan substantif dalam KUHAP karena tidak mengatur putusan dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan materi pokok perkara, lagi pula yang ditentukan dalam KUHAP hanya dikenal tiga jenis putusan akhir yaitu putusan pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP), putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP), dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Kelemahan dari sisi struktur hukumnya dapat ditemukan terkait dengan ketidakcermatan penuntut umum dalam menentukan dakwaan karena tidak mencantumkan delik penyertaan (vide: Pasal 55 KUHAP), karena orang yang bernama Rikal tidak dihadirkan dalam persidangan atau tidak masuk dalam perkara yang terpisah. Kemudian hakim dalam menginterpretasi tidak menyebutkan putusan dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan materi pokok perkara tersebut masuk ke dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Universitas Sumatera Utara