BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Era sepeda yang mulai digaungkan lagi sehingga belakangan ini kerap ditemui dibeberapa sudut kota Yogyakarta dan sekitarnya. Orang maupun komunitas menggunakan sepeda onthel, entah melalui konvoi yang mereka gelar maupun kala mereka tengah bercengkrama di pinggir jalan dengan “sepeda onthel” yang terjajar rapi di pinggir trotoar. Dikuatkan pula dengan perkembangan sepeda tua di Nusantara yang tumbuh bergeliat. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komunitas Sepeda Tua Indonesia (KOSTI) sejak awal 2008, bahwa jumlah klub & komunitas yang awalnya hanya 131 komunitas, di tahun 2009 bertambah menjadi 271 komunitas, dan di akhir tahun 2010 menjadi hampir 400-an komunitas sepeda tua seluruh Indonesia (Laporan Pengurus Pusat KOSTI 2008-2013). Sepeda memiliki sejarah panjang yang mana sepeda pada awalnya dibuat di Prancis pada tahun 1791. Kemudian pada tahun 1817, Baron Von Drais membuat sepeda tanpa pedal yang disebut dengan Hobby Horse. Pada tahun 1839, muncul sepeda dengan pedal. Awalnya bentuknya sangat unik, karena roda depan sepeda besar dan roda belakangnya kecil. Penemuanpenemuan baru mengenai bagian-bagian sepeda seperti pemberat engkol, rem, pelek, kayuh pedal hingga susunan rantai dan gir membuat sepeda semakin nyaman dikendarai. Tahun 1880-an sepeda roda tiga mulai populer karena dianggap aman untuk pria maupun wanita. Namun, pada tahun 1888 tren sepeda roda dua mulai diminati sejalan dengan penemuan teknologi ban angin oleh John Dunlop.
1
Produksi sepeda secara besar-besaran terjadi pada akhir abad 19 oleh negara-negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Amerika, Perancis, dan Jerman. Perekonomian yang timbul tenggelam akibat Perang Dunia I kemudian mulai gencar lagi setelah Perang Dunia I. Negara-negara Eropa mulai berlomba-lomba memproduksi alat transportasi tak terkecuali sepeda. Pada masa itu hasil produksi sepeda maupun barang industri lainnya terkenal berkualitas tinggi karena menggunakan bijih besi murni yang belum tercampur dengan besi bekas. Selanjutnya, sepeda masuk ke Indonesia sekitar abad ke 20 atau sekitar tahun 1910 dan tersebar diseluruh Indonesia sekitar tahun 1930 hingga tahun 1939. Sepeda-sepeda buatan Eropa yang mereknya antara lain Gazelle, Batavus, Reliegh dan lain sebagainya itu di kirim ke Indonesia menggunakan kapal kayu atau batu bara (Khastiti, 2011:6). Sepeda-sepeda itu dibawa dan dipakai oleh kolonial. Setelah itu, banyak saudagar, bangsawan dan misionaris tertarik dengan sarana transportasi ini dan mereka mulai mengunakannya. Kolonial menyebut sepeda dengan kata “Fiets”. Namun, orang jawa menyebutnya “pit”. Kata “onthel” berarti mengayuh, sehingga pengertian dari “sepeda onthel” adalah sepeda yang dikayuh. Meletusnya Perang Dunia II berdampak pada perekonomian Indonesia. Perdagangan tampak statis, para pedagang tidak lagi mendapat kiriman sepeda Eropa karena Jerman mengebom pabrik-pabrik di Belanda (Khastiti, 2011:7). Pasarannya juga bertambah mati ketika masuknya sepeda murah merek Phoenik dari Cina. Ditambah lagi, serbuan Jepang ke Indonesia pada tahun 1942 mempengaruhi masa kejayaan sepeda Eropa. Pihak Jepang melarang penggunaan sepeda-sepeda buatan Eropa sehingga para pemilik sepeda pun
2
susah mendapatkan suku cadang seperti ban hingga onderdil. Hal itu menyebabkan sepeda buatan Jepang banyak digunakan pada tahun 1960-an. Sejarah panjang itu menunjukkan bahwa sepeda-sepeda Eropa yang masuk ke Indonesia sangatlah terbatas sehingga sekarang menjadi barang yang benar-benar langka. Sepeda beserta suku cadangnya yang pada masa jayanya dijual ditoko-toko sepeda resmi yang ada di Indonesia sekarang tidak ada lagi di toko-toko sepeda. Toko-toko sepeda sekarang dipenuhi oleh sepeda-sepeda model baru seperti BMX, Fixie, MTB, dan lain sebagainya. Pencarian “sepeda onthel” pindah ke pasar-pasar sepeda tradisional maupun pasar-pasar “klitian”. Tak terkecuali terjadi di Pasar Barongan Bantul yang merupakan pasar sepeda yang cukup ramai pengunjung. Pasar Barongan Bantul yang berada di Jalan Imogiri Barat Km 18 itu tidak seperti pasar tradisional pada umumnya yang menjual bahan pokok seperti sayuran, daging, buah-buahan, dan lain sebagainya tetapi juga terdapat pasar sepeda yang terletak disisi barat pasar. Pasar Sepeda yang ada di Pasar Barongan Bantul merupakan pindahan dari Pasar Imogiri setelah adanya gempa bumi 2006. Relokasi yang dilakukan tidak lantas membuat pasar sepeda mati. Pada kenyataannya hingga kini tetap bertahan, bahkan menjadi salah satu rujukan bagi para penggemar “sepeda onthel” (Budiastyo, 2012). Terdapat ratusan sepeda onthel berjajar rapi di Pasar Barongan Bantul, ada yang sudah berkarat dan juga masih bagus dengan tahun pembuatan yang bervariasi. Merknya pun beragam mulai dari Gazelle, Simplex, Fongres, NSU (sepeda leter S), Rally, Humber, dan lain sebagainya (Budiastyo, 2012). Hal tersebut dapat membantu para pecinta sepeda onthel dalam mendeteksi dan mengetahui sepeda bersejarah.
3
Gambar 1. Penurunan Angka Kemiskinan di Indonesia sejak tahun 1998-2011.
Sumber data : http://www.tnp2k.go.id/id/kebijakanpercepatan/perkembangan-tingkat-kemiskinan/ diakses pada tanggal 20 Maret 2014 pukul 20.00
Mengingat persaingan dunia kerja yang semakin sengit dan penuh tantangan seperti sekarang ini membuka berbagai kesempatan seseorang untuk bertahan hidup. Sektor formal maupun informal terbuka untuk siapa saja yang memiliki kemampuan untuk masuk didalamnya. Sektor formal lebih menuntut pada kemampuan, ketrampilan yang didukung dengan pendidikan yang tinggi dan penguasaan teknologi yang tinggi pula. Peran pendidikan cukup tinggi untuk lepas dari belenggu kemiskinan. Namun banyak juga yang tertarik pada sektor lain yaitu informal. Sektor ini penuh resiko dan tidak pasti. Sektor ini juga mendapat posisi penting karena sektor ini sebagai jawaban dari ketidakmampuan sektor modern dalam menyerap tenaga kerja. Sektor informal merupakan usaha sendiri yang tumbuh dan berkembang atas inisiatif pelaku sendiri (Effendi, 2000: 46). Pelaku-pelaku kegiatan sektor informal cenderung kearah berusaha sendiri ataupun dibantu oleh tenaga kerja keluarga dengan modal yang terbatas. Untuk itu, sektor ekonomi yang menampung sektor informal adalah
4
usaha perdagangan, industri, dan jasa kecil-kecilan (Effendi, 2000: 37). Namun, tak jarang sektor informal mendapat sorotan negatif dan dianggap kurang baik oleh sebagian masyarakat. Padahal disatu sisi sektor ini mampu mengurangi adanya pengangguran dan dapat meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat. Keberadaan dan keberlangsungan kegiatan sektor informal dalam sistem ekonomi kontemporer bukanlah suatu yang negatif, namun lebih sebagai realitas
ekonomi
kerakyatan
yang
berperan
cukup
penting
dalam
pengembangan dan pembangunan masyarakat (Effendi, 2000: 3). Makelar dapat dikatakan masuk dalam sektor informal. Hal ini dikarenakan inisiatif yang muncul dalam diri seseorang yang diselimuti dengan keberanian menciptakan peluang kerja, berani mengambil resiko kegagalan, bekerja tidak mengenal lelah, dan mampu melihat dan mampu memanfaatkan peluang yang ada (Effendi, 2000: 47). Makelar dapat diartikan sebagai pihak yang menjembatani antara penjual dengan pembeli. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makelar adalah perantara perdagangan (antara penjual dan pembeli) yaitu orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli, untuk orang lain dengan dasar mendapatkan upah atau komisi atas jasa pekerjaannya (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1999: 618). Dalam Islam pun praktek makelar adalah sesuatu yang sah. Seperti yang telah dijelaskan oleh Al-Ghaziy dan Al-Baijuriy bahwa dalam transaksi yang menggunakan media makelar sebagai jembatan atau mediator sah/boleh untuk kedua belah pihak, dan kemanfaatannya itu timbul tidak hanya dari barang yang menjadi obyek transaksi melainkan kemanfaatan itu juga dari subyek yaitu pelaku (makelar) yang menjadi mediator untuk keberlangsungan dalam menjembatani transaksi jual-beli. Disamping itu, makelar setidaknya memiliki
5
kemampuan dalam hal menilai kualitas suatu barang atau jasa, sampai dengan kemampuan komunikasi guna meyakinkan pihak penjual untuk melepas barang/jasa tersebut dan meyakinkan pihak pembeli untuk mengambil barang/jasa tersebut (Ferli, 2013). Makelar juga menghadapi banyak ketidakpastian yang ada. Makelar yang bertindak selaku pihak yang memasarkan dagangan dari penjual ke pembeli tentunya menghadapi barang itu tidak terjual dan apabila barang itu tidak terjual maka makelar tidak mendapat upah. Walaupun pada suatu sisi ketika makelar itu telah berusaha dan akhirnya lelah maka ia berhak mendapat gaji. Sekiranya penyewaan makelar itu tidak sah (tidak berhasil dalam memasarkan) adanya, maka jika makelar tersebut menjadi lelah dikarenakan mondar-mandir dalam memasarkan barang itu adalah berhak menerima gaji sepatutnya, kalaupun tidak maka tidak berhak menerimanya (Zamzami, 2012: 83). Resiko bertambah ketika kemajuan teknologi seperti saat ini melaju cepat. Kehadiran jual-beli online seperti munculnya toko bagus, berniaga.com, kaskus menambah peluang makelar khususnya sepeda onthel semakin menyempit karena dengan hadirnya media baru itu tak banyak para penjual menjual barang dagangannya langsung ke media tersebut. Namun, dalam sektor informal yang cenderung memiliki tantangan lebih tinggi karena dirundung dengan ketidakpastian tergantung dengan keinginan pembeli dan ketersediaan barang tentunya bisnis makelar ini tak lepas dari adanya kepercayaan. Keterbatasan yang dimiliki seseorang dalam memperkirakan sesuatu maka untuk mengatasi ketidakpastiannya ia menjalin hubungan kepercayaan dengan orang lain (Damsar, 2011: 201). Menurut Torsvik (2000), kepercayaan adalah kecenderungan perilaku tertentu yang
6
dapat mengurangi resiko yang muncul dari perilakunya. Sedangkan Giddens (2005) mengungkapkan bahwa kepercayaan biasanya berfungsi untuk mereduksi atau meminimalisasi bahaya yang berasal dari aktivitas tertentu. Untuk itu, kepercayaan perlu dibangun dan disenergikan oleh makelar untuk bertahan dan berkelanjutan dalam profesi ini. Kepercayaan memegang peran penting karena dengan kepercayaan yang telah didapatkan oleh pembeli maupun penjual makelar ini dapat terus berjalan dan dapat terus hidup. Kerjasama tidak mungkin terjalin kalau tidak didasarkan atas adanya saling percaya di antara sesama pihak yang terlibat (Damsar, 2011: 202). Kerjasama yang terjalin tentunya akan memperlihatkan hubungan yang ada antara penjual, makelar dan pembeli sehingga praktek makelar dapat berjalan. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas mengenai fenomena kemunculan makelar sepeda onthel di Pasar Barongan Bantul karena pada kenyataannya makelar adalah profesi yang memiliki resiko dan memiliki ketidakpastian. Namun, masih saja ada geliat yang menekuni profesi makelar khususnya makelar sepeda onthel.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana lahirnya makelar “sepeda onthel” di Pasar Barongan Bantul ?
C. Tujuan 1. Mengetahui lahirnya makelar “sepeda onthel” di Pasar Barongan Bantul. 2. Mengetahui peluang dan tantangan makelar “sepeda onthel” di Pasar Barongan Bantul.
7
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi literatur tentang makelar khususnya makelar “sepeda onthel” di Indonesia. Walaupun ruang lingkup penelitiannya sangat sempit yaitu di Pasar Barongan Bantul dan settingnya juga spesifik yaitu sepeda onthel. Fenomena praktek makelar sepeda onthel ini yang tidak hanya sebagai gejala ekonomi saja tetapi juga diwarnai dengan sisi sosiologis sehingga dapat menggali lebih dalam mengenai nilai, sejarah, budaya, sosial yang menyertainya. Deskripsi mengenai kemunculan makelar “sepeda onthel” dan startegi-stategi dalam bertahan hidup sebagai makelar “sepeda onthel” dipandang juga sebagai fenomena sosial yang lekat dengan kondisi sosial, sejarah, budaya yang ada dimasyarakat.
E. Kerangka Teori Beragam pandangan mewarnai mengenai konsep tentang sektor informal. Menurut Sethuraman (dalam Setyaningrum, 1998: 23) sektor informal merupakan suatu manifestasi dari suatu kesempatan kerja di negara sedang berkembang. Sehingga dengan kata lain mereka yang masuk ke dalam sektor informal ialah mereka yang bertujuan lebih ke arah mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan. Disamping itu, sektor informal juga tidak dapat dilepaskan dari struktur pekerjaan dan konteks sosial dari pembangunan ekonomi suatu negara. Untuk itu, penciptaan kesempatan kerja yang diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi ternyata jauh dari pencari kerja yang memenuhi pasar kerja setiap tahunnya. Pandangan lain yang disampaikan oleh Effendi (2000: 46) bahwa terdapat dua kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dengan kehadiran sektor informal.
8
Pertama, kehadiran sektor informal sebagai pertanda ketidakmampuan sektor modern dalam menyerap pertambahan angkatan kerja. Kedua, sektor informal sebagai katub pengaman antara pengangguran dan keterbatasan peluang kerja. Sehingga kehadiran sektor informal bisa dijadikan sebagai jalan bagi angkatan kerja untuk menembus sulitnya peluang kerja. Hal ini yang menyebabkan masalah-masalah keterbelakangan yang muncul karena masalah internal maupun masalah eksternal yang sifatnya struktural. Hernando De Soto dalam Setyaningrum (1998: 24) melihat persoalan sektor informal sangat dekat dengan keterbelakangan dan kemiskinan disuatu negara tidak hanya karena persoalan internal kaum miskin, tetapi karena adanya faktor-faktor luar yang tidak memungkinkan mereka untuk berkembang lebih baik. Namun, keberanian orang-orang yang masuk dalam sektor informal guna memperoleh peluang kerja patut dihargai. Dengan inisiatif sendiri, diwarnai dengan jiwa mandiri, dan etos kerja yang tinggi tentunya menjadi obat ampuh dalam mengurangi beragam resiko kegagalan dan kerugian. Sehingga sektor informal ini dapat dijadikan wadah untuk pengembangan dan peningkatan kualitas manusia. Peran dan fungsi sektor informal tersebut tentunya menjadikan sektor informal berada pada posisi yang strategis dalam pembangunan. Hal itu dikarenakan sektor ini mampu membuka peluang kerja walaupun produktivitasnya kadang rendah namun dapat andil besar dalam menunjang pembangunan. Untuk itu, sektor informal mampu menjadi jawaban bagi kemelut kesenjangan pembangunan dan mengurangi beban pemerintah yang dalam banyak hal hampir tidak mampu mendapatkan jalan keluar yang tepat.
9
Oleh karena itu, pembangunan merupakan hal penting dalam kelahiran sektor
informal.
Peningkatan
pembangunan
juga
berdampak
pada
perkembangan sektor informal yang ada. Kedatangan sektor informal ini dipandang sebagai ketidakseimbangan kebijakan pembangunan. Pembangunan dianggap belum mampu menyediakan peluang kerja yang menyerap tenaga kerja dalam kegiatan formal (Effendi, 1995: 74). Ketidakmampuan itu karena industri yang diharapkan berkembang belum mampu berfungsi secara maksimal karena industri yang berkembang lebih menekankan pada industri padat modal, teknologi tinggi dan hemat tenaga kerja. Hal itu berdampak pada tuntutan ketrampilan pada bidang khusus dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Maka dari itu, banyak angkatan kerja yang memilih masuk kedalam sektor informal. Kemunculan sektor informal dengan kata lain akibat adanya hambatan struktural yang menghadang. Menurut Breman adanya hambatan struktural menyebabkan tidak adanya peluang kerja dalam memanfaatkan kesempatankesempatan yang ada dalam perekonomian (Effendi, 1995: 252). Beberapa persoalan mendasar mengenai sektor informal yang bersifat strukural di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia antara lain (Setyaningrum, 1998: 25) : a. Semakin memburuknya perbandingan antara luas tanah dengan jumlah penduduk, serta memburuknya bentuk pola pemilikan atas tanah. b. Adanya peningkatan jumlah pengangguran baik yang terselubung maupun yang terbuka dan adanya upah rendah yang diikuti oleh meningkatnya jumlah kaum proletaeiat di kalangan petani.
10
c. Kekuasaan birokrasi negara yang bersifat nepotistik dan feodal semakin terasa kuat dan semakin luasnya korupsi didalam tubuh birokrasi. d. Membesarnya kekuasaan golongan minoritas termasuk orang-orang asing di bidang ekonomi khususnya disektor perdagangan dan investasi. e. Adanya dualisme sosial, ekonomi dan teknologi. Berbagai persoalan struktural diatas, kemudian menjadi faktor-faktor yang turut menciptakan dan memperluas keberadaan sektor informal. Namun, terdapat faktor lain selain faktor struktural saja tetapi juga faktor kultural dan pilihan rasional, sebagai berikut: a. Faktor struktural merupakan faktor yang cukup kuat karena kelahiran sektor informal diakibatkan oleh kebijakan perekonomian yang tidak adil yang menimbulkan keterbatasan fasilitas, keterbatasan dalam hal pendidikan maupun keterbatasan komunikasi. b. Faktor kultural lebih kepada faktor keluarga dengan kata lain adanya keturunan dari orang tua yang menyebabkan sang anak memilih suatu profesi sama dengan profesi orang tuanya. c. Faktor pilihan rasional mengarah pada pilihan seseorang memilih sektor informal karena adanya pilihan-pilihan yang dapat memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya sehingga kemanfaatan yang didapat mampu memenuhi kebutuhan, keinginan dan kepuasan mereka. A. Faktor Struktural, Kultural dan Rasional Pasar merupakan suatu tempat terjadinya transaksi jual beli (penjualan dan pembelian) yang dilakukan oleh penjual dan pembeli yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Secara sederhana, definisi pasar selalu dibatasi oleh
11
anggapan yang menyatakan antara penjual dan pembeli harus bertemu secara langsung untuk mengadakan interaksi jual beli. Namun, pengertian tersebut tidaklah sepenuhnya benar karena seiring kemajuan teknologi seperti adanya internet membuat transaksi jauh lebih mudah dan cepat tanpa melakukan pertemuan langsung. Dengan kata lain, proses pembentukan pasar hanya dibutuhkan adanya penjual, pembeli bahkan memerlukan adanya perantara atau makelar dan barang yang diperjualbelikan serta adanya kesepakatanantara penjual dan pembeli. Pasar Barongan Bantul juga mengisaratkan sebuah pasar yang masih tradisional dan keberadaannya masih sangat aman karena tidak terdapat pasar modern. Sebuah ciri khas dari pasar tradisional ialah proses tawar-menawar dalam sebuah transaksi dan harga yang relatif murah. Adanya pasar “sepeda onthel” di Pasar Barongan tentunya menjadi hal pembeda dengan pasar tradisional lainnya. Fenomena “sepeda onthel” menjadi sesuatu yang turut mewarnai semaraknya pasar sepeda ini. Dijaman dahulu, “sepeda onthel” hanya dapat dimiliki oleh orang kota, para juragan, pejabat politik ataupun saudagar kaya, sedangkan kaum jelata cukup melihatnya saja dipinggir jalan karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk memilikinya, baik dari sisi ekonomi maupun akses untuk medapatkannya. Setelah itu, “sepeda onthel” statusnya beralih menjadi milik kaum marjinal atau golongan bawah karena tergeser oleh hadirnya kemajuan teknologi transportasi yang menghadirkan motor maupun mobil. Namun sekarang, “sepeda onthel” sekarang kembali menjadi simbol status orang berkecukupan seperti jaman dahulu kala.
12
“Sepeda onthel” juga telah merambah ke berbagai fungsi bukan hanya sebagai alat transportasi belaka melainkan juga untuk alat pendukung kebugaran tubuh, membantu menurunkan emisi pencemaran udara maupun fashion. Untuk itu, eksistensi “sepeda onthel” hingga saat ini memang menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi sesuatu yang dibutuhkan baik itu digunakan secara fungsional, dikoleksi, atau ditransaksikan di pasar sebagai sumber ekonomi. Hal tersebut tentunya menyebabkan banyak orang memburu dan mencari “sepeda onthel”. Suatu indikasi menarik ketika terjadi peningkatan jumlah komunitas “sepeda onthel”, yang mana sejak awal 2008, bahwa jumlah klub & komunitas yang awalnya hanya 131 komunitas, di tahun 2009 bertambah menjadi 271 komunitas, dan di akhir tahun 2010 menjadi hampir 400-an komunitas sepeda tua seluruh Indonesia (Laporan Pengurus Pusat KOSTI 20082013). Disamping itu, para orang muda yang baru lahir pasca tahun 1980-an pun tidak kalah gencar untuk menjadi bagian sejarah dari pemburuan dan penguasaan “sepeda onthel”. Walaupun mereka tidak merasakan atmosfir penggunaan “sepeda onthel “ pada tempo dulu, tetapi sejak adanya internet maka media ini ‘seolah-olah’ menjadi corong brand awareness (kesadaran merk) yaitu asosiasi konsumen dengan merk produk (Hermanu, 2013: 100). Mereka mulai tertarik untuk membeli produk “sepeda onthel “. Kaum muda Indonesia sekarang justru menjadi segmen yang dominan menguasai pasar sepeda tua dibanding orang dari generasi sebelumnya. Dikuatkan lagi, semenjak kehadiran internet, “sepeda onthel” menjadi banyak di-posting di media sosial seperti facebook, twitter, blog dan lain
13
sebagainya, sehingga orang yang memerlukan informasi dapat mengakses dengan murah dan gratis. Adanya blog misalnya dapat memperoleh informasi mengenai bentuk maupun nomor rangka (frame number) sepeda. Semenjak itulah, pengetahuan masyarakat khususnya di Indonesia mengenai “sepeda onthel” mulai terbuka dan teredukasi. Dengan kata lain, adanya peningkatan jumlah permintaan “sepeda onthel” setelah terbukanya pengetahuan masyarakat mengenai sepeda onthel dengan meningkatnya jumlah komunitas dan kaum muda yang ikut serta dalam meramaikan pasar menyebabkan terdapat suatu celah yaitu makelar untuk masuk kedalamnya untuk memperlancar adanya transaksi jual-beli. Sehingga fenomena tersebut memicu munculnya fenomena makelaran “sepeda onthel”. “Sepeda onthel” dapat dikatakan sebagai barang langka yang mana beberapa merk seperti Simplex maupun Fongres yang sudah tidak diproduksi menyebabkan jumlahnya sangat terbatas. Meningkatanya permintaan dengan ketersediaan barang yang terbatas menyebabkan banyak orang yang mengambil keuntungan disini salah satunya dengan menjadi makelar. Posisi makelar yang strategis yaitu diantara pemilik barang dengan pembeli membuatnya fleksibel. Makelar juga berperan sebagai orang yang sejatinya mengerti kondisi pasar sesungguhnya sehingga posisi ini sangat menguntungkan karena minim resiko. Walaupun begitu, makelar juga mempunyai tantangan yang besar pula yaitu ketidakpastian yaitu ketika barangnya belum terjual maupun ketika barang yang dicarinya belum ia dapatkan. Namun tetap saja masih ada saja geliat orang yang menekuni profesi ini. Berikut akan dijelaskan mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi makelar.
14
A. 1. Pengertian Faktor Struktural, Kultural dan Pilihan Rasional a. Faktor Struktural Faktor struktural disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Baswir, 1997: 21). Selain itu, hambatan-hambatan struktural akibat kebijakan yang diambil oleh pemerintah menyebabkan seseorang sulit mengakses sumbersumber ekonomi akibat kurangnya pendidikan, fasilitas, komunikasi hingga perlindungan hukum dan pemerintah. Breman (dalam Manning dan Effendi 1985: 252) mengatakan “jalan menuju atas sering dirintangi, sedangkan jalan ke bawah terlalu mudah dilalui”, himpitan struktural menyebabkan sempitnya peluang dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan yang ada dalam perekonomian. Sehingga masalah keterbelakangan, kekurangan modal, investasi rendah, tabungan rendah, pendapatan rendah dan produksi rendah senantiasa menghinggapinya.
b. Faktor Kultural Faktor kultural mengarah pada sikap individu yang berusaha mengikuti jejak orang tuanya dan berusaha melanggengkan pekerjaan itu. Disamping itu, faktor kultural ini timbul karena adanya sikap pasrah dengan keadaanya dan menganggap bahwa mereka miskin karena keturunan, atau karena orang tuanya bahkan nenek moyangnya juga miskin, sehingga usahanya untuk maju menjadi kurang. Hal ini sejalan
15
dengan apa yang dikatakan Baswir (1997: 21) bahwa terdapat faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya. Dengan kata lain faktor kultural ini merupakan juga buah dari faktor struktural yang dominan sehingga tidak ada proses transformasi kelas dimana buruh tani tetaplah buruh tani, begitu pula nelayan, pemulung, dan lain sebagainya.
c. Faktor Pilihan Rasional Faktor pilihan rasional merupakan pilihan seseorang dalam memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. Coleman menegaskan bahwa dalam memilih tindakan-tindakan tersebut seseorang akan lebih memaksimalkan utilitas, atau pemenuhan kepuasan kebutuhan dan keinginan mereka Heckathorn (dalam Ritzer and Smart, 2001), memandang bahwa memilih itu sebagai tindakan yang bersifat rasional dimana pilihan tersebut sangat menekankan pada prinsip efisiensi dalam mencapai tujuan dari sebuah tindakan. Secara umum, rasionalitas yang dikembangkan oleh pakar-pakar ekonomi politik baru, terutama dalam pilihan rasional, terkait dengan konsep – konsep seperti kesukaan / preferensi (preference), kepercayaan (beliefs), peluang (opportunities), dan tindakan (action).
16
F. Kajian Pustaka Pasar merupakan suatu tempat yang lekat dengan kehidupan kita untuk memenuhi suatu kebutuhan yang teringinkan. Pasar juga menjelma menjadi tempat berkumpulnya berbagai kepentingan dan transaksi didalamnya baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Pasar secara sempit diartikan sebagai tempat barang atau jasa diperjual belikan. Sedangkan pengertian pasar secara luas dalam ilmu ekonomi adalah besarnya permintaan dan penawaran pada suatu jenis barang atau jasa tertentu. Adanya penjual, pembeli, barang atau jasa yang diperjualbelikan hingga terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli menjadi suatu syarat adanya pasar. Didalam pasarpun membuka berbagai peluang usaha didalamnya baik yang tersegmentasi dalam sektor formal maupun sektor informal. Keduanya saling melengkapi dan saling sokong satu sama lain. Peluang tidak akan berarti tatkala tanpa adanya kemauan dan aksi yang nyata dalam menjalaninya. Begitu juga dengan peluang pasar yang tidak diambil dan dimanfaatkan, akan bersifat netral dan bahkan diambil secara cepat oleh seseorang yang ulet dan berkemauan tinggi. Tak terkecuali kejelihan seorang makelar dalam mengambil peluang usaha yang tersegmentasi masuk dalam sektor informal dalam suatu pasar. Sektor informal yang dibahas oleh Keith Hart (dalam Manning dan Effendi 1985) yang mana berbagai jenis usaha yang masuk dalam sektor informal tentunya cukup menarik dan perdagangan menjadi salah satu yang dikerucutkan dalam pembahasan makelar atau perantara. Keberagaman posisi pada perdagangan mengambarkan rantai distribusi barang-barang dan jual beli barang konsumsi yang dilakukan sewaktu-waktu merupakan cara untuk
17
meningkatkan penghasilan. Hal tersebut banyak digunakan pekerja dikota untuk mencari uang dengan jalan pintas. Untuk itu, apabila seseorang yang mempunyai sejumlah uang untuk di pinjamkan akan membeli barang yang menurut pikirannya bisa dibeli oleh orang lain dengan harga yang tinggi, sesudah barang itu digunakannya sendiri sementara waktu. Hal tersebut tentunya sangat menguntungkan dan tujuan utamanya ialah menempatkan diri antara pemilik dan calon pembeli. Modal utama dalam pekerjaan ini adalah penafsiran harga yang terlatih dan berbagai macam kontak sehingga dapat mengusahakan cepatnya arus barang jenis tertentu melalui dirinya. Sehingga pundi-pundi keuntungan akan cepat datang dan tidak perlu banyak investasi ataupun ruang penyimpanan. Menurut Burt, 2005:11-57, dalam bukunya berjudul “Brokerage and Closure” An Introduction to Social Capital, makelar adalah orang atau kelompok yang menguhubungkan beberapa orang yang membutuhkan barang dengan yang memiliki barang yang akan dipasarkan sehingga terjadilah yang dinamakan transaksi jual beli. Para makelar melihat peluang yang bagus dalam hal jual beli dengan modal koneksi yang dimiliki. Dengan modal sosial yang dimiliki maka makelar ini dapat mengembangkannya dalam hal bisnis maupun relasi. Makelar mengadakan promosi dalam beberapa cakupan agar dapat memperoleh kompensasi yang lebih tingi sesuai dengan barang diinginkan oleh konsumennya. Pada awalnya, para makelar berkutat pada relasi terdekat yang mereka miliki, misalnya adalah teman atau orang-orang yang berada pada komunitas yang sama dengannya. Selanjutnya berkembang dengan berbagai pengetahuan dan ilmu yang mereka miliki, mereka mulai merambah dunia
18
bisnis yang lebih tinggi dengan kompensasi yang lebih besar yaitu dengan promosi-promosi yang mereka lakukan. Kompensasi yang mereka dapatkan sesuai dengan keberhasilan promosi yang mereka lakukan. Namun patut dibedakan antara makelar dan sales atau agen. Makelar (broker/perantara) sejatinya berbeda dengan sales (agen). Seperti yang terdapat dibuku yang ditulis oleh Zian Pribadi (2012) yang berjudul “Buku Pintar jadi Makelar Semua Produk” dijelaskan bahwa makelar posisinya lebih independen dibanding sales yang mana tidak digaji oleh suatu perusahaan tertentu, mereka menerima fee dalam bentuk komisi atas jasa yang mereka berikan dalam jumlah yang telah disepakati sebelumnya. Fungsi utama seorang makelar adalah untuk mengatur kontak bisnis, di mana ia sama sekali tidak memiliki kepentingan secara pribadi kepemilikan, atau perhatian khusus terhadap barang yang ditransaksikan. Hal mendasarkan yang membedakan makelar dengan sales adalah makelar bertindak sebagai penengah (middleperson) yang tidak memihak ke salah satu pihak, sementara salaes merupakan “kaki tangan” dari pihak penjual/produsen. Tidak hanya perdagangan yang menjadi lahan bagi perantara tetapi juga perjanjian yang dapat diselesaikan adalah sumber “komisi” bagi semua pihak yang terlibat. Bagi sebagian orang yang berpengalaman dan berpengaruh dapat menikmati kehidupan yang enak dari usahanya sebagai perantara dalam berbagai urusan bisnis. Untuk itu, dunia perantara dan makelar dapat dikatakan sebagai kawasan yang subur bagi seorang yang ulet, baik yang bekerja maupun yang menganggur. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud memberi tambahan referensi mengenai makelar khususnya tentang lahirnya makelar “sepeda onthel”.
19
Walaupun sejatinya pekerjaan ini penuh ketidakpastian dan terkadang mendapat sorotan negatif dari masyarakat tapi bisnis ini menjadi sesuatu yang penting bahkan tumbuh subur di bumi Indonesia karena secara hukum makelar adalah pekerjaan yang sah.
G. Metode Penelitian Menyusuri sisi barat Pasar Barongan yang dipenuhi oleh puluhan “sepeda onthel” yang tertata rapi seperti kembali pada romansa klasik tempo dulu. Disertai keramaian pedagang, pembeli sepeda onthel yang mengundang peneliti untuk masuk didalam aktivitas di pasar sepeda tersebut. Selama penelitian peneliti datang ke Pasar Sepeda Barongan sejak awal aktivitas pasar itu dimulai yaitu sekitar pukul 8 pagi hingga aktivitas pasar mulai sepi dan tutup sekitar pukul 1 siang. Hal tersebut dilakukan agar peneliti cepat beradaptasi dan tidak terlihat asing oleh komunitas di pasar sepeda itu. Dalam jangka waktu 1 minggu peneliti tidak melakukan wawancara hanya melakukan observasi lapangan. Melalui sebuah angkringan yang berada di dekat dengan pasar sepeda itu peneliti melakukan observasi. Dari situ terlihat awal pedagang sepeda yang memiliki kios mengeluarkan sepedasepeda onthelnya. Kemudian mulai berdatangan beberapa orang yang datang menggunakan “sepeda onthel” entah itu yang mencari barang maupun yang menjual sepeda yang dibawanya itu. Adapun yang datang dengan menggunakan sepeda motor dengan membawa beberapa onderdil sepeda seperti ban, sedel, porok, dan lain sebagainya. Disamping itu, peneliti juga melakukan observasi di sebuah warung makan yang sederet dengan kios-kios penjual sepeda. Di warung makan itu,
20
para penjual sepeda sering memesan minuman maupun makanan sembari bercengkrama satu sama lain. Di lingkup warung makan itulah peneliti mulai mengamati dan ikut bercengkrama dengan topik yang sedang dibicarakan mulai dari cerita aktivitas sehari-hari, informasi tentang acara di desa, hingga informasi mengenai jual beli sepeda onthel. Pada minggu kedua dan ketiga peneliti mulai menjalin interaksi dengan penjual angkringan, penjaga parkir, hingga pedagang-pedagang sepeda yang memiliki kios disana untuk memperoleh informasi mengenai kondisi pasar. Awalnya peneliti memang dianggap orang asing dan mereka mulai bertanyatanya mengenai diri peneliti seperti rumahnya mana, masih kuliah apa sudah kerja hingga barang apa yang dicari. Celah ini yang digunakan peneliti untuk saling kenal dengan mereka dan sedikit banyak pengetahuan peneliti mengenai onderdil, asesoris hingga merk-merk sepeda memudahkan peneliti masuk dalam perbincangan mengenai “sepeda onthel”. Seiring berjalannya waktu peneliti mulai memperkenalkan diri kepada informan-informan kunci bahwa kedatangan peneliti untuk melakukan aktivitas penelitian dan tidak lebih. Setelah itu, peneliti mulai mencari informan-informan kunci yaitu makelar. Pencarian para perantara itu tidaklah mudah. Beranjak dari lima pedagang sepeda yang memiliki kios disana peneliti mulai menanyakan mengenai aktivitas jual beli “sepeda onthel” lebih mendalam. Informasi mengenai bagaimana para pedagang besar itu mendapat barang, dari siapa mereka mendapat informasi, kemudian bagaimana cara menjual. Peneliti selanjutnya bertanya kepada salah satu informan kunci yaitu salah satu pedagang “sepeda onthel” yang bernama Bapak Nuridi yang akrab dipanggil Pak Kebik. Bapak kelahiran tahun 1964 itu telah memulai bisnis
21
sepeda onthel sejak umur 25 tahun yang dimulai dengan membuka lapak di Pasar Imogiri hingga pindah ke Pasar Barongan pada tahun 2006 hingga sekarang. Kemudian penulis mengembangkan pencarian informasi makelar dengan menggunakan bantuan Pak Kebik. Peneliti mencoba bertanya kepada Pak Kebik mengenai aktivitas makelar “sepeda onthel” kemudian beliau memberi informasi bahwa di Pasar Barongan ini tidak lepas dari aktivitas makelar dan setidaknya terdapat lima orang makelar “sepeda onthel”. Untuk lebih lanjutnya, peneliti mulai diperkenalkan satu per satu dengan para informan-informan kunci itu yaitu makelar “sepeda onthel”. Setelah mengetahui mereka yang menjadi makelar peneliti juga melakukan pengamatan apakah benar mereka adalah makelar dengan cara melihat aktivitas mereka. Ternyata benar adanya, setiap ada pembeli datang mereka mencoba mendekati dan menanyakan barang apa yang sedang dicari. Apabila barang itu ada maka makelar itu mencoba memperlihatkan barang dan menjelaskan spesifikasi barang serta harganya. Akhirnya memutuskan untuk menjadikan kelima makelar itu menjadi informan utama dalam penelitian ini. Untuk memperoleh informasi lebih dalam peneliti mencoba lebih dekat dengan makelar yaitu melakukan interaksi, mengamati dan mengikuti aktivitas mereka. Dari situlah peneliti mulai melakukan wawancara tidak terstruktur dan mengalir seperti percakapan sehari-hari. Peneliti mempelajari strategi bagaimana makelar itu mendapat informasi mengenai onderdil, asesoris hingga sepeda utuh, bagaimana ia ikut memasarkan sepeda onthel itu, hingga siapa saja jaringannya baik itu pembeli maupun penjual. Dengan begitu peneliti mendapatkan informasi mengenai aktivitas makelar dan interaksi diantara
22
pembeli, makelar, dan pedagang sehingga bisa menganalisis mengenai kemunculan makelar “sepeda onthel ” di Pasar Barongan Bantul.
1. Teknik Pengumpulan Data a. Pengumpulan Data Primer Data primer dikumpulkan melalui wawancara tidak terstruktur dan observasi lapangan. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur dalam artian tidak harus menanyakan pertanyaan sesuai dengan urutan pertanyaan yang telah disusun bisa dilakukan acak dan mengalir begitu saja. Alat bantu saat melakukan wawancara selain interview guide adalah tape recorder atau rekaman agar setelah wawancara tidak ada data yang terlewatkan. Wawancara dilakukan selama 1-2 jam dan wawancara akan dilakukan beberapa kali guna memperoleh informasi yang maksimal. Informan-informan dapat dikategorikan sebagai berikut : 1. Makelar 2. Pemimpin Formal terdiri dari antara lain Camat, Kepala Desa. 3. Pemimpin informal terdiri dari Kepala Pengelola Pasar Barongan
b. Pengumpulan Data Sekunder Sebagai data tambahan dalam rangka menambah informasi tentang aktivitas makelar didapat dari berbagai sumber data sekunder sebagai berikut ; 1. Data Monografi statistik dari Desa Sumberagung dan Kecamatan Jetis 2. Statistik dari BPS Provinsi DIY
23
2. Teknik Analisis Data Studi kasus merupakan suatu bentuk penyelidikan fenomena didalam konteks kehidupan nyata dengan batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak tegas dan dimana multisumber bukti dimanfaatkan (Yin, 2013:18). Studi kasus dapat diartikan sebagai aktivitas sosial diciptakan melalui interaksi sosial, meskipun terletak dalam konteks tertentu dan sejarah , dan berusaha untuk mengidentifikasi dan menjelaskan sebelum mencoba untuk menganalisis dan berteori (Sheila Stark dan Harry Torrance , 2006). Studi kasus juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya ialah (1) memiliki batas, lingkup, dan pola pikir tersendiri agar dapat menangkap realitas serta menantang; (2) detail, menangkap makna di balik kasus sehingga bermanfaat untuk memecahkan masalah-masalah spesifik. Kemudian kelemahannya ialah terbentur dengan isu validitas dan reliabilitas dan yang kedua generalisasi dalam upaya teorisasi. Menganalisis data studi kasus adalah suatu hal yang sulit karena strategi dan tekniknya belum teridentifikasikan secara baik. Tetapi setiap penelitian hendaknya dimulai dengan strategi analisis yang umum yang mengandung prioritas tentang apa yang akan dianalisis dan mengapa. Stake mengungkapkan
empat
bentuk analisis
data beserta
interpretasinya dalam penelitian studi kasus (Kusmarni, 2010), yaitu: 1.
pengumpulan kategori, peneliti mencari suatu kumpulan dari contohcontoh data serta berharap menemukan makna yang relevan dengan isu yang akan muncul;
24
2. interpretasi langsung, peneliti studi kasus melihat pada satu contoh serta menarik makna darinya tanpa mencari banyak contoh. Hal ini merupakan suatu proses dalam menarik data secara terpisah dan menempatkannya kembali secara bersama-sama agar lebih bermakna; 3. peneliti membentuk pola dan mencari kesepadanan antara dua atau lebih kategori. Kesepadanan ini dapat dilaksanakan melalui tabel 2x2 yang menunjukkan hubungan antara dua kategori; 4. pada akhirnya, peneliti mengembangkan generalisasi naturalistik melalui analisa data, generalisasi ini diambil melalui orang-orang yang dapat belajar dari suatu kasus, apakah kasus mereka sendiri atau menerapkannya pada sebuah populasi kasus.
3. Penentuan informan, Pemilihan area penelitian, dan Waktu Penelitian Pasar Barongan berlokasi di Jl. Imogiri Barat, Dusun Barongan, Desa Sumberagung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Pasar Sepeda Barongan Bantul termasuk pasar “sepeda onthel” yang ramai pengunjung dan kegiatan jual beli sepeda onthel, asesoris, hingga onderdil sepeda onthel cukup tinggi serta memunculkan beberapa makelar “sepeda onthel”. Didukung dengan letaknya yang stategis membuat pasar ini lebih mudah dijangkau menjadi salah satu faktor pemilihan area penelitian. Disamping itu, Desa Sumberagung memiliki 3 potensi ekonomi unggulan desa yaitu potensi ekonomi di bidang perikanan, potensi perdagangan sepeda kuno atau “sepeda onthel”, dan potensi kreasi limbah plastik. Sejalan dengan tema dan masalah penelitian ini potensi perdagangan “sepeda onthel” perlu mendapat perhatian lebih. Perdagangan “sepeda
25
onthel” di Pasar Barongan mulai berkembang setelah adanya restrukturisasi Pasar Imogiri yang terletak di sebelah timur Desa Sumberagung pada tahun 2009. Hal tersebut membuat para pedagang sepeda mulai berpindah ke Pasar Barongan. Omset penjualan sepedanya pun cukup menjanjikan yaitu berkisar 4-15 unit sepeda per hari (Sumber data Desa Sumberagung tahun 2012). Hal tersebut tentunya juga tidak luput dari pandangan makelar untuk bergerak dalam meramaikan dan menggerakkan perdagangan “sepeda onthel’. Pekerjaan sebagai makelar yang acap kali
terlihat seperti
pengangguran, mobilitas tinggi dengan pergi kesana kemari yang kadang terlihat tidak jelas, terkadang terlihat sibuk telpon maupun sedang santai bercengkrama di sebuah angkringan atau warung makan sembari mengumpulkan informasi tentang suatu barang. Identifikasi makelar “sepeda onthel” di Pasar Barongan Bantul yang terbilang tidak mudah maka peneliti menentukan informan yang dianggap tahu (key informan) dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalahnya secara mendalam (Sutopo, 1988:22). Informan-informan kunci sering kali sangat penting bagi keberhasilan studi kasus (Yin, 2013:109). Peneliti mewawancari seluruh makelar yang ada di Pasar Barongan karena jumlah mereka hanya 5 orang. Wawancara mendalam digunakan untuk memahami latar belakang biografi makelar, alasan memilih profesi ini dan strategi bertahan hidup sebagai makelar “sepeda onthel”. Disamping itu, penelitian lapangan dilakukan selama tiga bulan, yaitu pada bulan Desember 2013 hingga Februari 2014. Kemudian pengolahan data dilakukan selama penelitian dan berlanjut hingga setelah penelitian lapangan.
26