1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hasil kerja intelegensia manusia paling mutkahir dari zaman pra-sejarah ditandai diantaranya dengan keberadaan berbagai coretan pada dinding-dinding batu. Hasil kebudayaan tersebut dikirakan berasal dari zaman batu akhir dimana kehidupan masyarakatnya dicirikan dengan kegiatan berburu dan meramu atau hunting and food gathering. Coretan-coretan zaman Paleolitik-Mesolitik pada umumnya menceritakan tentang kegiatan penghidupan manusia pada masa itu yang bertempat tinggal di gua-gua alami yang dalam (cave) gua-gua payung (rockshelter) . Aktivitas mencoret, mengukir, menggambar dan melukis pada dinding-dinding batu juga menjadi cikal-bakal lahirnya tulisan yang sekaligus menjadi awal zaman baru yaitu sejarah. Coretan dinding adalah pemula kebudayaan visual. Coretan-coretan prasejarah biasa disebut lukisan pra-sejarah, lukisan gua, rock art, rock painting dan cave art. Ilustrasi seperti gambar telapak tangan, goresan-goresan, gambar-gambar lainnya merupakan bukti eksistensi peradaban pra-sejarah. Perusahaan multimedia raksasa Walt Disney mendeskripsikan peristiwa seperti pada zaman itu dalam film animasi
Ice
Age.
Film
yang
berlatarbelakang
suasana
purbakala
ini
menggambarkan bagaimana manusia melakukan perburuan terhadap spesies gajah purba atau mammoth dalam beberapa adegannya. Kejadian yang dikemudian hari mampu dibaca oleh Manny sebagai spesies mammoth terakhir yang tersisa hidup
2
melalui lukisan dinding dalam gua-gua purba. Bagi Manny, coretan-coretan dinding itu bukanlah bahan penelitian arkeologi, sejarah peradaban ataupun lukisan yang bercitarasa seni maha tinggi sebagai simbol kedigdayaan sebuah zaman. Coretan-coretan dalam dinding gua digunakannya untuk mengenang keluarganya dan bagaimana mereka dibantai predator paling memusnahkan sepanjang peradaban, dalam hal ini manusia. Cerita animasi film Ice Age memang tidak sepenuhnya benar secara faktual untuk menggambarkan keberadaan coretan-coretan dinding. Apalagi beranggapan bahwa film ini cukup mampu untuk digunakan sebagai bahan penelitian mengenai peralihan zaman pra-sejarah menuju zaman sejarah. Meskipun demikian, film ini berhasil menjelaskan bahwa coretan-coretan dinding itu bukanlah sesuatu yang mengada begitu saja dan tanpa makna. Coretan-coretan seperti ini bersifat universal karena keberadaannya dapat kita temukan di berbagai tempat di seluruh dunia. Coretan dinding adalah pesan yang tentu saja memiliki makna tertentu. Walaupun tersebar di seluruh dunia, pada umumnya coretan dinding setidaknya memiliki makna yang relatif sama. Coretan-coretan ini sengaja dibuat oleh manusia untuk menunjukkan pengalaman, perjuangan dan harapan hidup. Coretan dinding adalah gambaran kehidupan suatu zaman dengan dinamikanya yang kompleks. Lukisan dan coretan pra-sejarah menggambarkan kehidupan sosial-ekonomis dan alam kepercayaan masyarakat pada masa itu. Seperti suatu manuskrip yang berisi kompleksitas pesan yang sangat padat mengenai berbagai hal tentang masyarakat prasejarah, coretan dinding mereka mengemban pelbagai hal tersebut.
3
Coretan Dinding dan Sejarah Perlawanan Politik Di beberapa kota besar di Tanah Air seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan sering terpampang di hadapan kita berbagai coretan atau mural di pagar tembok, dinding-dinding rumah atau gedung di dalam gang, lorong, atau bahkan di sepanjang jalan-jalan besar. Bagi pegawai dinas pariwisata dan tata kota, pelaku “pencoret” jelas saja adalah musuh. Mereka merusak kerapian dan keindahan kota. Belum lagi jika coretan itu berupa tulisan yang bernada subversif, tentu saja membuat aparat keamanan “garuk kepala” sambil mengernyitkan dahi mereka. Bagi masyarakat, mungkin banyak yang menyeringai pelaku sebagai perusak pemandangan, sebagian lagi mungkin malah beranggapan bahwa ini adalah hasil kerja seniman iseng yang kekurangan kanvas. Sangat sedikit yang memandang dan berpikiran terbuka dan menempatkan mural/coretan dalam konstruk masyarakat modern dan kompleks di mana bahasa komunikasi sangat beragam. Predikat paling santun diberikan atas keberadaan coretan dinding ketika dianggap sebagai aktivitas kesenian. Secuil saja yang mampu memahami bahwa coretan dinding adalah media komunikasi, ataupun sebagai teks dengan tingkatan signification yang tidaklah sederhana. Bangsa kita mungkin sudah terlampau kerdil dengan wabah amnesia yang kronis akibat pembodohan terstruktur selama ini sehingga lupa dan berperilaku ahistoris terhadap coretan dinding yang selain memiliki muatan seni juga memiliki peranan yang tidak sedikit dalam sejarah. Betapa tidak, dalam sejarah yang kita pelajari, hampir tidak pernah ditemukan eksistensi coretan-coretan dinding di dalamnya. Sejarah memang selalu dituliskan
4
berdasarkan rima yang “doyan” disenandungkan oleh penguasa.
Gambar 1.1 (Garaffiti stencil dan poster pada zaman perang kemerdekaan) Terima atau tidak, beberapa coretan dinding telah menjadi sumber inspirasi, sumber penyatuan gagasan, dan menjadi “prasasti-prasasti” sejarah yang diurai lagi oleh generasi kemudian. Revolusi kaum Bolsjevik yang termashyur di Rusia mencatat sejarah coretan dinding di istana raja dan di pabrik-pabrik guna menyadarkan masyarakat tentang kegentingan situasi dan apa yang seharusnya dilakukan. Pada tahun 1968, Revolusi Kaum Intelektual di Prancis mengisahkan bagaimana mahasiswa, dosen dan aktivis kiri serta kelas pekerja membuat coretan dinding sebagai bahan propaganda yang menggema di seluruh Prancis pada bulan Mei. Ketika semangat revolusi pada kaum muda kuba mulai surut pada tahun 70an, pemerintahan revolusioner Castro “mereinkarnasi” sosok Che Guevara dalam berbagai bentuk mural dan coretan dinding dengan semboyan yang paling terkenal
5
di antaranya Hasta la Victoria, dan Hasta la vista la Revolucion siempre. Dalam konteks sejarah Indonesia, beberapa semboyan yang terkenal yang biasa dijumpai di dinding-dinding tembok pada masa itu diantaranya adalah “Merdeka atau Mati, Boeng Ayo Boeng, dan Revolusi sampai Mati”.
Gambar 1.2 (Graffiti persiapan bumi hangus) Mural dan lukisan yang menggambarkan seorang pemuda memekikkan kata merdeka mampu membangkitkan dan mengobarkan semangat kaum muda untuk bangkit berjuang guna mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi fisik di tanah air. Kata-kata seperti “Merdeka atau Mati” dan “Revolusi Sampai Mati” dimassalkan melalui coretan-coretan dinding sanggup menggerakkan
6
pemuda secara massif untuk tergabung menjadi laskar-laskar dalam front-front perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Para pejuang yang menumpang di kereta-kereta api yang dindingnya dipenuhi coretan berbau semangat kebangkitan nasionalisme disambut oleh rakyat sebagai seruan mempertahankan kemerdekaan. Tahun 1950-an dikenal sebagai puncak seni dan sastra pembebasan di Tanah Air dimana mural atau coretan dinding juga terikut di dalamnya. Kenyataan bahwa penjajah Belanda tidak angkat kaki sepenuhnya dari bumi Indonesia dan penolakan terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) terwujud dalam seruanseruan coretan dinding. Laksana rambu jalan, kata-kata seperti “Ganyang Imperialisme Inggris-Amerika” dan “Ayo Tuntaskan Revolusi Kita” dapat dengan mudah dijumpai di dinding tembok pinggiran jalan. Keberadaan coretan dinding sepertinya sukar dilepaskan dari muatan ideologis-politis. Peranan coretan dinding pada Zaman Revolusi begitu signifikan sebagai media komunikasi menyerukan bahasa perjuangan dan alat propaganda yang eksis di ruang-ruang publik. Pada masa detik-detik terakhir pemerintahan Soekarno, coretan dinding memiliki andil dalam menyatukan gagasan soal persatuan nasional, kemerdekaan sejati, dan tugas-tugas revolusi selanjutnya. Pada zaman Orde Baru, terjadi pembungkaman terhadap suara-suara kritis termasuk prinsip kesukarelaan semua suku bangsa ke dalam sebuah Nation. Pemerintahan Soekarno melahirkan persatuan dan semangat Nasionalisme yang bersumber dari ide-ide yang ujung tombaknya adalah tulisan seperti coretan dinding, lukisan,mural, artikel, koran, selebaran dan sebagainya. Rezim Orde Baru memaksakan Nasionalisme melalui ujung senjata ABRI yang bersifat
7
militeristik sehingga Nasionalisme yang terbentuk adalah Nasionalisme berdarahdarah, penuh paksaan dan Chauvinis. Coretan dinding di Indonesia sendiri hadir tidak terlepas dari situasi sosial dan politik. Dimasa perang kemerdekaan coretan dinding hadir sebagai ekspresi menuntut kemerdekaan dari tangan bangsa kolonial. Di era reformasi ia hadir sebagai ekspresi penolakan terhadap rezim orde baru. Lalu, bagaimana dengan coretan dinding yang hadir pada pasca reformasi? Sebagai sebuah teks, coretan dinding di masa ini juga tidak dapat melepaskan dirinya dari situasi sosial dan politik pada hari ini.
Gambar 1.3 (Graffiti penolakan UU BHP di Jalan Perintis Kemerdekaan) Gempa bumi yang terjadi di Jogjakarta sekali lagi menghadirkan peran penting coretan dinding. Pasca gempa, berbagai coretan dinding berisi pesan
8
bangkit hidup kembali menghiasi puing tembok sepanjang Bantul hingga Sleman. Sementara di Jakarta, kemiskinan, penderitaan, ketidak-adilan dan ketidak berdayaan rakyat di tangan pemerintah tergambar satire dalam coretan-coretan dan lukisan dinding. Makassar kemudian seperti dibombardir oleh coretan yang berisikan penolakan terhadap UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang hadir di ruang-ruang dalam kota. Makassar dan Kemunculan Coretan Dinding Saat Ini “Negara institusi paling korup”, begitulah kata-kata tercetak dengan huruf kapital yang tertulis di tembok pagar tugu Mandala di pusat kota Makassar beberapa waktu yang lalu. Coretan berwarna hitam ini tampak kontras dengan pagar tembok yang berwarna kuning pucat. Dengan senjata spray paint bermerek dagang Pylox, salah seorang anggota Pylox Scuad yang wajahnya tertutup bandana motif Indian warna hitam dengan model rambut dread lock sebahu berhasil dengan enteng mencoretkan kata-kata itu di pagar tembok tersebut. Aktivitas ini tidaklah bisa dianggap mudah untuk dilakukan. Ratusan personil Kepolisian awas berjaga di sekitar mereka. Setelah selesai mencoretkan kata-kata tersebut, pelaku kemudian membubuhkan huruf A yang dilingkari sebagai penutup coretannya. Biasanya logo tersebut dikenal luas sebagai logo kaum “Anarkis”. Kejadian pencoretan itu terjadi pada Kamis siang tanggal 01 Mei 2008 lalu. Di seluruh dunia, tanggal 01 Mei biasa disingkat M1 dirayakan sebagai Hari Buruh Sedunia terkenal dengan sebutan May Day. Coretan “Negara institusi paling korup” tidaklah sedang “bersolo show”. Sepanjang tembok pagar itu masih ada beberapa coretan lain diantaranya, “Pemimpin takkan membawamu ke mana-
9
mana”, dan “Hancurkan Negara” yang titik penutupnya juga dibubuhi logo Anarki. Pelaku pencoretan semuanya tergabung dalam Pylox Scuad, salah satu kelompok Anarkis Makassar yang terbentuk dengan tugas khusus untuk mencoret. May Day 2008 di Makassar memang semarak, seperti demonstrasi yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Satu hari itu adalah milik kaum pekerja yang lazim disebut buruh. Front-front aksi dan kelompok-kelompok yang tergabung bersatu tumpah ruah kejalan sebagai massa aksi tidak hanya satu. Diantaranya juga terdapat kaum Anarkis dengan corak mode atribut yang tampak berbeda dengan massa aksi kebanyakan. Meski berbeda, sangat sulit untuk menemukan anggota dari Pylox Scuad yang bertugas melakukan pencoretan sepanjang jalan. Meraka sepertinya anonim. Terdapat berbagai berbagai cara bagaimana coretan dinding hadir menjadi pesaing terhadap baliho dan spanduk reklame di pinggiran jalan di kota Makassar. Ilustrasi tentang coretan “Negara institusi paling korup” karya Pylox Scuad di atas adalah penggambaran salah satu cara bagaimana coretan dinding itu hadir di Makassar. Kemunculan coretan yang lain
mungkin dikerjakan di luar masa
demonstrasi jalanan. Coretan dinding di tembok pagar PLTU Tello misalnya hadir bukan dari demondtrasi massa karena jalan di depan pagar itu biasanya bukan jalur dari demonstrasi massa di Makassar. Seperti coretan yang setia bersaksi kepada sejarah, kehadiran coretan dinding di Makassar pun meneriakkan perjuangan. Kebanyakan di antaranya bernada sosial-politis. Semangat yang sama dengan coretan dinding secara global, di Makassar opun memiliki semangat juangnya yang kadang bernada local
10
maupun isi internasional. Selebihnya adalah hasil kerja geng-geng anak muda dengan kecenderungan tertentu yang non politis tapi tetap dengan pesannya yang tertentu. Pemaparan mengenai kehadiran coretan dinding ini dari sudut pandang komunikasi, mengarah pada status coretan dinding sebagai hasil dari aktivitas berkomunikasi. Fulles dan Alexander mendefenisikan komunikasi sebagai perilaku simbolik yang menghasilkan saling berbagi makna dan nilai-nilai di antara partisipan dalam tingkat yang beragam (Pawito, 2007:68). berangkat dari defenisi ini, sangat jelas bahwa aktivitas mencoret dinding adalah aktivitas berkomunikasi. Coretan dinding memiliki makna bawaan secara inheren maupun dilekatkan oleh sang pencoret. Terdapat pembagian makna dan nilai-nilai antara pencoret dan pembaca coretan, tentu saja dalam tingkat partisipasi, apresiasi dan pemahaman yang beragam sebagaimana yang penulis paparkan sebelumnya. Analisis Semiotika sebagai Sarana Meneliti Coretan Dinding Ceratan dinding bukanlah sesuatu yang kosong makna. Tentu saja, keberadaan coretan dinding disekitar kita hadir dengan kandungan maknanya sendiri. Terdapat pesan tertentu di dalamnya. Coretan dinding adalah signification. St. Sunardi (2002) menjelaskan, “...signification adalah hal yang menunjuk signifier pada signified.” Ketika coretan dinding telah mewakilkan atau menunjuk terhadap sesuatu, artinya kebradaanya boleh dikategorikan sebagai suatu tanda atau sign. Keberadaan coretan dinding sebagai signification secara langsung menyertakan aspek material dan mental sekaligus. Pada dasarnya coretan dinding
11
adalah sign itu sendiri. Selanjutnya, terdapat aspek material berupa tulisan, lukisan atau mural yang berfungsi menandakan sesuatu. Pada saat yang sama, hadir juga aspek mental atau konseptual yang ditunjuk oleh coretan dinding semisal kesan yang bisa ditangkap secara mental. Akan berbeda halnya jika saja coretan dinding itu hadir dalam eksemplar tulisan semacam buku teks, jurnal atau bahkan infotainment. Barthes menjelaskan bahwa keberadaan material sebuah sign dalam hal ini coretan dinding dapat kita sebut sebagai signified . Kesan mental yang tampil dari pesan jelas akan berbeda. Hal inilah yang disebut oleh Barthes sebagai signifier (St. Sunardi, 2002:48). Coretan dinding, khususnya yang ada dan pernah ada di Makassar, yang berada dalam sistem signification inilah yang akan penulis coba uraikan apakah memiliki pesan yang sifatnya politis atau hanyalah sebuah fenomena yang bahkan malah “mengganggu”. Berdasarkan pada pemaparan tersebut, penulis merasa perlu dan tertarik untuk mengkajinya dalam bentuk skripsi yang berjudul: Representasi Pesan-Pesan Politik dalam Coretan Dinding (Analisis Semiotika Coretan Dinding di Kota Makassar). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis merumuskan masalah, yaitu: 1. Bagaimana kemunculan pesan-pesan politik dalam coretan dinding di kota Makassar ? 2. Bagaimana representasi pesan-pesan politik dalam coretan dinding di kota makassar ?
12
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kemunculan pesan-pesan politik dalam coretan dinding di kota Makassar. 2. Untuk mengetahui representasi pesan-pesan politik dalam coretan dinding di kota Makassar. 2. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Secara akademis, penelitian ini bertujuan memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu komunikasi, khususnya bagi pengembangan penelitian yang berbasis kualitatif. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan bisa memberi rekomendasi tentang semiotika sebagai salah satu metode kajian komunikasi. 2. Kegunaan Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan keberadaan pesan sosial politik secara positif untuk pendidikan berdemokrasi informal. Penelitian ini juga sebagai salah satu syarat meraih gelar kesarjanaan pada jurusan ilmu komunikasi, fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. D. Kerangka Konseptual Coretan Dinding; Fact dan After-the-Fact, Konotasi tanpa Mitos Dalam pandangan semiotika saussurean, tanda dianggap sebagai fact. Barthes mengatakan bahwa fact adalah wilayah yang selama ini dipelajari oleh
13
"ilmu positif tentang tanda"(St. Sunardi, 2002;311). Fact yang lahir sebagai buah pemikiran Ferdinand de Saussure dalam risalah mengenai apa yang disebut sebagai semiotika positiva. Wilayah fact adalah wilayah kajian positifistik linguistik yang sangat ilmiah. Semiotika positiva pada dasarnya telah mengunci alur pengembaraan dalam dunia tanda terbatas hanya dalam ragam pendekatan ilmiah yang bertujuan mengartikulasikan makna yang ditentukan lewat struktur. Hal inilah yang kemudian membiakkan sikap yang memandang bahasa sebagai fakta, dimana kajian bahasa itu harus bersifat ilmiah. Saussure membedakan tiga aspek bahasa, yaitu langage, langue, dan parole. Dari ketiganya, hanya langue-lah yang keberadaannya sebagai aspek yang pantas dipelajari secara ilmiah (St. Sunardi, 2002;313). Selanjutnya, kedua aspek yang lain dalam hal ini langage dan parole sepantasnya berada di tempat sampah ilmiah yang tidak tersentuh lagi untuk dikaji. Status fact yang terkungkung dalam kekuasaan semiotika positiva tersebut, kemudian dianggap telah menjadi peralatan atau pisau analisa tanda yang berkarat dan tumpul. Bayak hal yang sebenarnya menjadi darah, daging dan urat dalam tanda yang tidak lagi mampu untk dibedah menggunakan pisau analisa karatan ini. Anggapan ini tidak terlepas dari adanya beberapa temuan mengenai kelemahan fact atau semiotika positiva itu sendiri. Terdapat beberapa kecenderungan dalam semiotika positiva yang menjadi kelemahannya mengurai tanda. Hal-hal yang dianggap sepele menempati tempat sampah ilmiah yang tidak akan dikaji lagi dan dilumrahkan. Suatu tanda sering
14
dipahami semata-mata dari sudut materi benda itu, tetapi apa yang berada dibalik benda itu tidak lagi terpikirkan. Bisa jadi kemudian terabaikan karena analisa yang dipergunakan bahkan sama sekali tidak bisa menjangkaunya. Laksana sebuah ironi yang hadir menampar wajah ketika hal-hal yang ringan dan sederhana itu, pada kenyataannya tidak jarang malah memiliki peranan yang cukup besar dalam kehidupan kita. Beberapa produk budaya yang sering disepelekan bisa jadi menjadi hal yang sangat penting untuk dipelajari karena dapat menjadi cermin yang merefleksikan fenomena-fenomena yang dihadapi. Produk-produk budaya itu adalah bahasa, mitos, foto/gambar, karya sastra, dan wacana. Namun pada kenyataannya, melalui semiotika positiva, masih saja ada yang beranggapan bahwa produk budaya terebut hanyalah sesuatu yang tidak lebih dari remeh-temeh. Roland Barthes berada pada garis terdepan dalam prosesi penjungkalan fact. Ketika fact dianggap mandeg menjelasakan apa yang berada di baliknya, Roland Barhtes hadir menjelaskan apa yang disebut dengan After-the-Fact yang berada dibawah kibaran bendera semiotika negativa. After-the-fact adalah realitas filmis tanpa film, novelistik tanpa novel, fantasmatik tanpa kontemplasi, narativitas tanpa kisah, fotografis tanpa foto. After-the-fact adalah sebuah wilayah yang di dalamnya dimulai bahasa "baru" dan bahasa yang bisa diucapkan atau ditulis tidak lebih daripada "mendekati" - approximative. After-the-fact bukan-lah factum melainkan fictio, bukan wilayah faktual melainkan fiktif (St.Sunardi, 2002;311).
15
Hubungan fact dengan after-the-fact adalah hubungan yang muncul dari pengalaman kebuntuan dan pengalaman setelah menguras segala kemungkinan dari apa yang dianggap faktual dan bukanlah hubungan sekuensial, baik secara logis maupun kronologis, After-the-fact adalah bukan-tempat, non-place, a-topos; ia adalah "wilayah" negatif, heuristik, yang ditemui oleh seorang petualang semiotik setelah kehabisan semua kemungkinan berbicara tentang fact secara semiotik (St.Sunardi, 2002; 312). Di bagian yang lain, pertikaian berlanjut pada pemilik dari kedua pelabelan fakta ini yaitu semiotika positiva berhadapan dengan semiotika negativa. Barthes menyebut semiotika positiva sebagai "semiotika pertama" yang berbeda dengan "semiotika kedua" yang mempelajari wicara, wacana, konotasi, atau sistem makna yang lahir dari sistem linguistik atau langue (St.Sunardi, 2002; 313). Jika semiotika positiva adalah sebuah pendekatan ilmiah yang bertujuan mengartikulasikan makna yang ditentukan lewat struktur, semiotika negativa tidak lebih daripada "pemulung" yang mengais limbah yang tidak bisa masuk dalam struktur, dan oleh karenanya, tidak dapat diolah menjadi makna maupun pesan. Semiotika negativa, kata Barthes, mengumpulkan kenajisan bahasa, limbah linguistik, dan suara sumbang dari pesan. Jadi, semiotika negativa mengoleksi barang-barang yang mengancam kesucian bahasa, mengancam keilmiahan linguistik dan kejernihan pesan (St.Sunardi, 2008; 314). Semiotika negativa menjadikan momen terjadinya struktur sebagai channel favoritnya. Penentuan momen yang paling tepat merupakan seni
16
tersendiri. Adalah momen metonimik yang menunjukkan bahwa setiap unsur bisa menjadi dasar terciptanya struktur. Pada bagian ini, struktur dibutuhkan bukan untuk memastikan makna atau proses signifikasi, melainkan untuk memastikan permainan tak terbatas dari signifier. Terdapat keharusan untuk berhenti pada suatu fase saat setiap term bisa menjadi locus munculnya struktur. Setiap term diberi keleluasaan untuk menentukan strukturnya sendiri. Inilah yang disebut oleh Barthes sebagai etika tanda, demokratisasi tanda-tanda. Penggandaan tekstual dimaksudkan untuk mengubah wriasan bahasa yang otoritarian, kaku, dan militeristik menjadi lebih etis, sementara kualitas tanda untuk menghargai dirinya sendiri, menjadi tujuan pada dirinya sendiri (St.Sunardi, 2002; 331). Coretan dinding adalah “limbah” seperti yang dijelaskan sebelumnya. Sukar untuk menemukan struktur ilmiah didalamnya. Dia adalah kesepelean remeh-temeh yang sekali mengada kemudian hilang berganti warna yang polos. Dalam hitungan jam akan terlupakan seperti mayat tanpa kuburannya, bahkan namanya tidak terekam dalam obituari pemakaman. Dengan meminjam kejelian Barthes, sampah seperti coretan dinding kemudian berubah menjadi titanium yang berada pada jajaran logam mahal ditingkatan harga pasarannya. After-the-fact membantu untuk mengungkap keterselubungan sesuatu dibalik coretan dinding. Panji-panji semiotika negativa menjadi identitas dan pelindung coretan yang tertolak di ranah positifistik pesan dan bahasa. Gagasan Barthes dalam mengurai makna fact dan after the fact dikenal dengan model signifikansi dua tahap. Gagasan ini menjelaskan dua tahapan dalam mengurai makna suatu teks atau sign. Pada tahap pertama menggambarkan
17
bagaimana kerja denotasi mengurai makna alamiah suatu teks. Tahap pertama ini biasanya masih sangat strukturalis seperti apa yang dimaksud oleh Saussure. Penguraian makna denotasi berada pada wilayah struktur linguistik dari teks. Sedangkan pada tahap kedua terdapat dua percabangan analisis teks yaitu analisis konotatif dan analisis mitos. Analisis konotatif dan mitos mengurai makna sekunder lanjutan atau after the fact. Selanjutnya harus diingat
bahwa Barthes
secara terang-terangan
menyatakan bahwa analisis mitosnya ditujukan bagi praktik-praktik budaya masyarakat borjuis (Daniel Chandler 2007:145 , John Fiske 2004:122, St. Sunardi 2002:102). Jika hal ini dihadapkan pada praktik budaya yang dilakoni oleh masyarakat di luar kelas borjuis maka bisa jadi analisis mitos Barthes salah alamat. Teks-teks coretan dinding atau graffiti itu berasal dari kelompokkelompok minoritas atau subkultur dari masyarakat yang lebih luas. Barthes tidak mengarahkan amunisi analisisnya untuk menyerang kelompok yang berada disisi di mana dia berdiri. Seperti kebanyakan pemikir Prancis sezamannya semisal Foucault, tentu saja gagasan-gagasan Barthes itu untuk meng-counter kapitalisme. Coretan dinding atau graffiti merupakan suara-suara ketidakpuasan terhadap kondisi sosial politik yang pembentukannya tidak terlepas dari praktik masyarakat borjuis. Dengan demikian, analisis terhadap makna tanda oleh Barthes yaitu signifikansi dua tahap dalam menjelaskan fenomena coretan dinding atau graffiti pada tahap kedua cukup sampai analisis makna konotatif. Mitos yang dimaksudkan Barthes adalah yang praktik yang terjadi sebagai akibat dari
18
dominasi budaya besar oleh kelas-kelas yang berkuasa dalam hal ini masyarakat borjuasi (Daniel Chandler 2007:145 , John Fiske 2004:122, St. Sunardi 2002:102). Analisis konotasi digunakan untuk menjelaskan atfter the fact seperti yang dijelaskan sebelumnya. Coretan dinding atau graffiti bukanlah praktik mitos dalam masyarakat tetapi kehadirannya adalah untuk menantang mitos. Coretan Dinding; Budaya dan Subkultur Perihal mengenai defenisi budaya dan subkultur merupakan suatu wilayah kajian yang sangat luas dan beragam. Banyak ilmuan memberikan defenisi yang kadang memiliki tingkat kejelasan terhadap hal-hal secara mendetail yang juga bertingkat-tingkat. Olehnya itu, penulis merasa perlu memilih defenisi kebudayaan maupun subkultur yang sejalan dengan arah penelitian ini. Christine Daymon dan Immy Holloway mendefenisikan kebudayaan sebagai pengetahuan, kepercayaan, nilai dan makna yang diyakini oleh sebuah kelompok, organisasi, atau komunitas, meliputi “cara hidup” mereka yang khas. Pengekspresian budaya biasanya melalui prilaku, seperti bahasa maupun jargonjargon, tata aturan dan norma, ritual dan kebiasaan, cara berinteraksi ataupun berkomunikasi dengan orang lain, harapan dalam bermasyarakat, sampai, misalnya pada penggunaan barang dan jasa (C. Daymon dan I. Holloway 2008:203). Kajian mengenai subkultur sendiri dianggap sebagai salah satu bidang yang fundamental dalam cultural studies (David Walton 2008:139). Secara sederhana, subkultur bisa disebut sebagai bagian yang membentuk suatu budaya. Subkultur tidak hadir begitu saja, tetapi selalu ada suatu konteks yang
19
melatarinya. Kebudayaan dalam skala besar seperti Bugis-Makassar memiliki subkultur yang beragam sebagai penyusunnya. Terdapat subkultur Bugis dan Makassar dimana dari keduanya masih memiliki sub atau bagian yang lebih kecil lagi yang memiliki persamaan maupun perbedaannya sendiri-sendiri. Subkultur Bugis masih terpecah ke dalam beberapa sub-Bugis lainnya yang tentu saja memiliki kekhasannya masing-masing. Diantara persamaannya, terdapat beberapa perbedaan dalam berbagai hal antara Bugis Bone dan Bugis lainnya. Begitupun halnya dengan Makassar, terbagi kedalam sub seperti Makassar Gowa dengan Makassar Pangkajene ataupun Jeneponto. Dalam kajian komunikasi dan budaya, subkultur lazimnya diasosiasikan dengan kultur minoritas misalnya budaya jalanan, youth culture, dan beberapa budaya minor lainnya seperti kelompok homoseksual dan sebagainya. Setiap subkultur tentu saja memiliki norma-norma budaya yang khas dalam lingkup suatu budaya yang lebih luas. Pada awalnya ketika studi komunikasi dan cultural studies mulai menemukan bentuknya di Universitas Birmingham, subkultur menjadi satu kajian yang menempati ruang khusus bersama kajian kelompok-kelompok minoritas, kajian gender dan ideologi (Simon During 2005:20). Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) Universitas Birmingham telah menjadi pusat kajian komunikasi dan budaya yang terpenting dalam dunia akademik. CCCS menjadi tempat lahir dan berkembangnya kajian komunikasi dan budaya yang utama. Salah satu hal yang diidentikkan sebagai kelompok subkultur adalah yang menggunakan wilayah pendidikan sebagai sarana gerakan politik perlawanan.
20
Saat itu, politik perlawanan oleh kelompok pekerja menggunakan pendidikan sebagai sarana perjuangan politik sehingga kelompok ini disebut juga progressivist politics. Perkembangan awal subkultur sebagai bagian dari kajian komunikasi dan budaya menitik beratkan pada wilayah perbedaan ciri khas hobi, keseharian, dan akar geneologi asal-muasal kemunculan berbagai subkultur di Inggris (Simon During 2005:55). Berabagai subkultur mulai menjadi wilayah yang ramai diteliti misalnya subkultur Rap, Punk, Skinhead dan sebagainya. Deretan daftar subkultur tersebut juga memiliki agenda-agenda dalam kesehariannya tentang pandangan politik dan bagaimana memanifestasikannya. Salah satu cara misalnya dengan melalui coretan dinding atau lazim dikenal dengan graffiti dan biasanya sangat akrab dengan subkultur rap. Bukan hanya komunitas rap yang sering melakukan bombing atau mencoret dinding, akan tetapi hampir semua gerakan subkultur mengadopsi wahana ini sabagai salah satu cara penyuaraan eksistensi dan tuntutan politik. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa subkultur juga memimiliki semua elemen yang membentuk budaya seperti tata aturan, norma, pengetahuan umum yang khas, dan sebagainya. Di sisi lain, kajian budaya dan subkultur yang berkembang di Inggris dibangun dari tradisi berfikir Marxian. Adalah E.P. Thompson sebagai pelopor dari culturalism berdasarkan pada tradisi pemikiran Marxian terutama pada wilayah pertimbangan faktor ekonomi determinis mempengaruhi kebudayaan, disamping superstuktur tradisional. Sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelopor cultural studies lainnya yaitu Raymond Williams yang yang lebih menitik
21
beratkan kajian budaya sebagai suatu praktik atau perilaku tetapi masih berada di wilayah yang sama yaitu alur pemikiran Marxian. Tentu saja Raymond Williams berada pada sisi pemikiran Marxian terutama menyoal tentang subjektivitas seperti apa yang dimaksudkan tardisi Marxian-Lacanian (Graeme Turner 2003:20;55). Dengan demikian, tradisi subkultur di Inggris jelas saja berada pada sisi yang berlawanan dengan budaya dominan yang cenderung kapitalistik. Coretan Dinding; Everyday Life of Politics Pembahasan politik dalam kaitannya dengan penelitian ini bukanlah pembahasan politik dalam pengertian yang sederhana dan umum. Politik yang dimaksud bukan tentang proses eleksi atau kebijakan politik ligislatif secara langsung. Bukan pula tentang politik brokrasi dalam institusi raksasa semisal negara, parlemen, partai politik ataupun lembaga-lembaga pemerintahan. Politik yang dimaksud lebih menitik beratkan pada aktivitas politik sebagai perilaku dalam ruang-ruang keseharian atau dikenal dengan everyday life. Politik minoritas dalam proses dan manifestasinya. Politik pinggiran dan orang-orang tanpa kuasa mengacu kepada penentuan kebijakan politik makro. Dasar pandangan dari politik yang akan dibahas berasal dari beberapa pemikir misalnya Nietszche dimana pemikirannya dikembangkan menjadi suatu diskursus tentang perang di balik tanda. Diskursus ini berdasar pada perdebatan seputar ideologi yang melatari tindakan dalam ranah sosial seperti interaksi komunikasi. Dengan alasan tersebut, tentu saja akan selalu terjadi benturanbenturan ideologi dalam interaksi yang terjadi di ranah sosial. Diskursus ini kemudian menjelaskan bahwa pertarungan ideologi itu kadang terjadi dalam
22
tampakan yang sangat simbolis (Geoffry Waite 1983:70,71). Selain perang dibalik tanda, Nietszche juga banyak menyumbangkan gagasan untuk membedah praktikpraktik politik baik pada tataran politik skala makro maupun mikro sosial. Pemikiran yang lain berasal dari Michel Foucault tentang biopolitic. Bipolitik menyoal tentang subjek sebagai entitas yang dinamis (Antonio Negri dan Cesare Casarino 2004). Subjek dianggap mampu melakukan produksi termasuk dalam hal menolak atau menerima sesuatu. Subjek dianggap tidaklah statis atau diam tanpa melakukan perlawanan-perlawanan terhadap apa yang mendominasi dirinya yang biasanya merupakan serangan dari luar subjek. Biopolitik menjelaskan pertanyaan bagaimana memposisikan diri berhadapan dengan kekuasaan rezim atau pemerintahan yang dianggap melakukan pemusnahan massal terhadap warganya sendiri sementara disisi lain juga melakukan proyek kesehatan terhadap masyarakat yang sama (T. E. Woronov 2006:371). Biopolitik sendiri lahir dengan dilatari oleh situasi global dimana terdapat berbagai kejadian besar seperti perang dingin, wacana nuklir dan non poliferasi, penguatan hubungan internasional dan organisasi-organisasi, penguatan wacana demokrasi, kemajuan dan perkembangan tekhnologi, civil society, penetrasi oleh kapitalisme terhadap lingkungan sosial non-kapitalis dan sebagainya yang dikenal dengan era post-war. Kondisi tersebut menciptakan hal yang dikenal dengan hegemoni. Biopolitik lahir sebagai salah satu kritik terhadap konsep hegemoni tersebut (Julian Reid 2005:237,238). Sebenarnya, dihadapan kekuatan yang mendominasi, individu atau kelompok-kelompok kecil masyarakat tak berkuasa adalah objek. Biopolitik lahir mempersenjatai mereka dan
23
menunjukkan sesuatu yang mengarahkan kepada harapan hidup objek (individu atau kelompok) yang sebelumnya harapan ini berada di bawah kontrol dan dominasi Negara atau sistem sosial (Didier Fassin 2009:44). Selanjutnya,
aktualisasi
politik
yang
bisa
mengarahkan
kepada
pemahaman kehidupan keseharian dari kelompok-kelompok minoritas ataupun subkultur berasal dari pandangan pemikir-pemikir Situasionist International biasa disingkat SI. Kelompok SI adalah salah satu pihak yang berada di balik terjadinya peristiwa yang dikenal dengan nama “Paris May 68” dimana Prancis terutama kota Paris dilanda demonstrasi besar-besaran yang bahkan dianggap sebagai salah satu demontrasi terbesar sepanjang sejarah. May 68 berangkat dari keyakinan imaji bahwa kondisi yang berbeda dengan keteraturan kendali dibawah pemerintahan saat itu dan sistem yang menguasai dunia adalah mungkin terjadi. May 68 lahir untuk menuntut hal-hal yang dianggap tidakmungkin (Douglas Kellner 2001). Adalah Guy Debord dan Gil J Wolman, pemikir terkemuka dari kelompok SI memperkenalkan suatu konsep yang dinaimanya detournement pada tahun 1956 (Ken Knabb 2006:16). Detournement berasal dari kosa kata bahasa Prancis yang tidak memiliki padanan kata dalam bahasa Inggris. Konsep detournement sebenarnya adalah melakukan sentuhan ulang terhadap karya seni “tinggi” dalam hal ini lukisan maupun foto dengan tujuan tertentu misalnya mampu merubah kesan awal terhadap karya tersebut. Debord dan Wolman membawanya ke ranah sosial politik sebagai cara mengekspresikan sikap politik. Detournement adalah suatu aksi maupun kreasi makna simbolis pembalikan, bahkan dengan cara lucu
24
ataupun memalukan dengan tujuan politis tertentu (Karen Goaman, 2004:169). Lebih lanjut dijelaskan bahwa detournement adalah suatu format subversi budaya yang menyertakan teknik seperti „ad-busting‟ sebagai cara mengatasi pesan-pesan kapitalisme
dominan
yang
menarik
perhatian
masyarakat
kontemporer
pementasan tontonan alternatif (Saul Newman 2009:227). Dalam hubungannya dengan masyarakat consumer, detournement dianggap cara menjungkirbalikkan gagasan konvensional dan merubah persepsi simbol dan gambaran umum yang menjangkiti masyarakat tontonan yang disebut Debord sebagai the society of the spectacle. Cara ini diyakini mampu melepaskan individu dari belenggu ketertutupan dan hantu pikiran mereka agar bisa menjadi diri mereka yang sesungguhnya (Peter Marshall 2008:696). Mengacu kepada penjelasan sebelumnya, tampak bahwa coretan dinding ataupun graffiti menjadi salah satu cara melawan hegemoni. Graffiti merupakan detournament yang tidak jarang merubah tampilan suatu billboard atau wahana advertising melahirkan bentuk dan makna baru. Coretan Dinding; Komuniksai dan Semiotika Representasi realitas dalam coretan dinding telah membentuk simpul yang menyambungkan antara semiotika, budaya dan komunikasi (medium). Mengacu pada penjelasan Marcel Danesi, representasi adalah proses fisik dari perekaman pesan, gagasan, ataupun pengetahuan (Marcel Danesi 2010:3) . Dari serangkaian frasa ini dapat kita tinjau dua hal yang menyususnnya yaitu komunikasi coretan dinding dan semiotika coretan dinding.
25
Coretan dinding berada pada kategori komunikasi massa. Keberadaannya menempati ruang-ruang publik sebagai arena massa untuk berinteraksi. Coretan dinding tidak jauh berbeda dengan baligoo sebuah event atau dengan iklan di televisi. Kedekatan persamaan coretan dinding dengan sebuah baligoo misalnya pada letak keberadaannya yang biasanya di ruang terbuka yang bisa diakses secara terbuka dan luas oleh siapa saja. Meski demikian, baik coretan dinding maupun baligoo ada juga yang terkadang bersifat prifasi. Dalam kajian ini, hanya coretan dinding yang berada di ruang-ruang publik yang akan dibahas. Lain halnya dengan iklan televisi sebagai komunikasi massa yang menjadikan wilayang elektronika sebagai mediumnya. Akan tetapi dari segi persuasi persusasi pesan, ketiga ragam bentuk komunikasi massa ini memiliki nilai dan mengemis perhatian yang relatif sama. Perbedaan yang mencolok mungkin hanyalah diwilayah konotatif pesan dan kandungan ideologi yang terbawa dimana baligoo adalah praktik kelas borjuis sementara coretan dinding adalah kebalikannya. Semiotika coretan dinding mengarahkan kepada dua tahapan pemaknaan yang inheren dalam semiotika. Praktik ini sekaligus menggabungkan komunikasi dan semiotika, budaya dan mitos yang dalam semiotika Saussurean jarang dijumpai. Distribusi pesan melalui medium coretan dinding melazimkannya pada makna alamiah dan makna “peng-alamihan” yang sebelumnya dijelaskan sebagai fact dan after-the-fact. Inilah semiotika dua tahap yaitu tahapan pertama berkutat diwilayah makna alamiah atau denotatif dan pada tahap selanjutnya akan membongkar “pengalamiahan” atau konotatif. Denotasi berisikan makna-makna yang sangat umum yang bisa dipahami sebagai makna almiah dari suatu teks.
26
Denotasi mengandung makna langsusng dari teks secara literal. Dari kedua tahapan ini sebenarnya yang paling diharapkan adalah gambaran mengenai representasi pesan politik baik pada tahapan denotasi secara eksplisit maupun konotatif yang boleh jadi terkandung implisit. Tingkatan kedua dari model signifikansi dua tahap, konotasi dijelaskan sebagai makna dari sesuatu yang telah melalui proses peng-alamiah-an. Konotasi merupakan aspek makna yang berkaitan dengan perasaan, emosi, nilai-nilai kebudayaan, dan ideologi (John Fiske 2004:280). Chandler menjelaskan bahwa konotasi itu berupa asosiasi sosio-kultur dan individu dalam memproduksi dan membaca makna kode suatu teks. Menurutnya, Barthes menjelaskan bahwa konotasi itu mengandung makna tambahan atau berada dibalik makna denotatif (Chandler 2007: 246). Mengacu kepada Marcel Danesi (2010:44) yang menjelaskan konotasi sebagai mode operatif dalam pembentukan dan penyandian teks-teks kreatif, dapat dilihat bahwa konotasi itu memang mengandung suatu kode khusus. Kode-kode khusus inilah yang disebut sebagai culture code. Kode budaya ini bukanlah sesuatu yang sederhana dan konvensional dalam komunikasi tetapi mengandung konvensi relasi sebagai sistem procedural yang penggunaannya juga khusus pada kelompok-kelompok tertentu (Chandler 2007:148). Suatu teks yang pada tingkatan denotasi tetap memiliki makna yang sama, jika ia mengandung kode budaya kelompok tertentu maka maknanya bertambah dan pada tingkatan konotasi makna tersebut menjadi sangat khusus mengikuti konvensi dan unnsusr budaya yang penggunanaannya hanya oleh kelompok
27
tertentu tersebut. Tingkatan kedua signifikansi dua tahap ini mencoba meneropong produksi dan penggunaan kode-kode budaya dan maknanya. Teks coretan dinding bisa jadi memiliki kode budaya dengan makna yang berlapis-lapis ysebagang hanya digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu. Dengan konotasi, penulis berusaha melacak dan memahami praktik budaya coretan dinding dan relasi-relasi yang menjadi konteksnya. Pada tingkatan denotatif, bisa saja terdapat coretan yang secara langsung termaknai sebagai pesan politik. Namun sekali lagi terdapat “misteri” yang besar berada di balik kealamihan denotasi. Dengan demikian tabir misteri ini berusaha untuk dibuka melalui pendekatan tahapan konotasi. Bisa jadi misteri ini mengandung sesuatu yang lebih dari sekedar pesan politik usang instan yang akan segera hilang diganti dengan warna disiplin seperti sediakala dimana coretan itu belum “mengotori” dinding. Untuk lebih jelasnya bagaimana gambaran representasi pesan politik dalam coretan dinding yang dianalisis menggunakan pendekatan semiotika dijelaskan melaui kerangka konseptual berikut ini: Pemaknaan denotasi / konotasi Pesan politik dalam coretan dinding
Analisis semiotika
1. Latar belakang kemunculan pesan politik (denotasi). 2. Representasi pesan-pesan politik (konotasi). Representasi pesan-pesan politik dalam coretan dinding di kota Makassar
Gambar 1.4 (Bagan kerangka konseptual)
28
E. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang dikenal memiliki beberapa karakteristik tertentu. Konteks permasalahannya dilihat secara utuh dan penelitian difokuskan pada coretan dinding dengan bagunan representasi pesan politik yang terdapat didalamnya. Penelitian kualitatif semacam ini menjadikan peneliti maupun dengan melalui bantuan orang lain sebagai pengumpul data utama. Dalam hal ini pengumpulan informasi dari subyek penelitian dilakukan sendiri secara langsung oleh peneliti. Penelitian ini menggunakan prespektif semiotika budaya sebagaimana yang dibahasakan oleh Roland Barthes bahwa terdapat bebarapa tahapan pemaknaan di dalamnya. Keberadaan coretan dinding tidak bisa dilihat seperti sebuah bangunan yang berdiri sendiri atau sebagai sesuatu yang mengada begitu saja. Subyek pencoret tidak boleh kita abaikan dan menempatkannya berada diluar kajian. Pencoret adalah bagian integral dari coretan itu sendiri. Pencoret akan dilihat sebagai subyek awal yang meletakkan representasi pesan politik tersebut. Begitupun halnya dengan konsumen pesan dalam coretan dinding. Keterkaitan antara konstruktor pertama pesan melalui coretan dinding dengan konstruktor kedua atau konsumen pesan adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Selain itu, meta-realitas pesan dan material coretan dinding adalah salah satu federasi bernilai setara dengan kesatuan sebelumnya karena bagian ini adalah salah satu komponen yang menopang berdirinya bangunan kompleks dari kesatuan tersebut. Metode penelitian kualitatif dalam bangunan ilmu sosial memberikan ruang penafsiran yang lebih bebas terhadap sebuah objek penelitian.
29
1. Teknik Penelitian Teknik analisa semiotika Barthes adalah teknik penelitian yang digunakan. Teknik ini biasa disebut sebagai sintagma atau signifikansi dua tahap. Terdapat beberapa kelebihan teknik penelitian diantaranya adalah kemampuannya untuk menjelaskan apa yang berada di balik after-the-fact. Selain itu, teknik ini juga memiliki kesanggupan membongkar aspek discourse dari sebuah teks. Pendekatan semiotika Barthesian tidak menutup kemungkinan untuk mengalami elaborasi dengan bidang wacana selain semiotika. Hal ini dimaksudkan untuk terjadinya pengayaan yang kesemuanya itu bertujuan demi memperoleh kesimpulan yang lebih baik. 2. Teknik Penentuan Lokasi Penentuan lokasi didasarkan pada range obyek penelitian. Obyek material penelitian ini yang berupa coretan-coretan dinding atau graffiti dibatasi pada coretan dinding yang ada di kota Makassar. Dengan demikian, lokasi penelitian tentu saja berada di kota Makassar. 3. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini didasarkan pada kebutuhan penulis terhadap bahan analisa dan pengkajian. Kegitan pengumpulan data tersebut, telah dilakukan sejak penulis menentukan permasalahan yang sedang dikaji, pengumpulan data yang dilakukan adalah : a. Penelitian pustaka (library research), dilakukan dengan mengkaji dan mempelajari literatur yang berhubungan dengan permasalahan, untuk mendukung asumsi sebagai landasan teori permasalahan yang dibahas.
30
b. Melakukan wawancara dengan pencoret dinding dengan teknik penentuan informan homogen purposive. c. Pengumpulan data berupa teks, tulisan, coretan dinding berupa foto image dan film. Selain itu, pengumpulan data juga mencakup data-data lain yang berhubungan dengan penelitian ini. 4. Analisis Data Penelitian ini menggunakan model pendekatan semiotika Roland Barthes. Semiotika ini menitik beratkan pada tingkat pemaknaan dua tahap yang dikenal dengan sintagma atau signifikansi dua tahap. Tahap pertama ditandai dengan penguraian denotasi-relasi makna linguistik antara penanda dan petanda dalam sebuah tanda sebagai acuan realitas eksternal. Tahapan kedua menyajikan makna yang mengacu pada realitas yang telah melalui proses “pengalamiahan”.
Tahap Pertama
Tahap Kedua Tanda
Realitas
Penanda
Bentuk
Budaya Konotasi
Denotasi
Isi Petanda
Gambar 1.5 (Bagan signifikansi dua tahap)
31
Dari gambar di atas dijabarkan ke dalam dua tahapan analisis yaitu: 1. Deskripsi makna denotatif, yaitu menguraikan dan memahami makna denotatif yang coba disampaikan oleh sesuatu yang tampak secara nyata atau bentuk-kesan materil suatu tanda. Pada bagian ini coretan dinding di deskripsikan dengan identifikasi klasifikasi isi pesan atau makna denotasi dari bentuk kesan materilnya. Identifikasi pada sistem hubungan tanda dan corak gejala budaya yang dihasilkan oleh coretan dinding sebagi tanda. Ada tiga pola hubungan tanda yang dianalisis yaitu, hubungan simbolik, hubungan paradigmatik dan hubungan sintagmatik. 2. Analisis konotatif. Selain innate-meaning yang melekat pada coretan dinding, terdapat pula secondary meaning atau makna konotasi. Analisis ini memandang teks coretan dinding sebagai keseluruhan struktur yang memiliki makna konotatif tersembunyi. Mengacu pada penjelasan pada kerangka konseptual, penelitian ini tidak menggunakan analisis mitos dalam mengurai makna. Tingkatan konotasi berusaha meneropong dan menjelaskan keberadaan kode-kode budaya khusus yang terdapat pada teks-teks coretan dinding. Melalui konsep Barthes ini memungkinkan penulis melakukan pembongkaran “representasi” pesan politik beserta komponen penyusunnya dari fenomena coretan dinding.