Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Diskusi demokrasi seakan tidak pernah luput dari ide
kebarat-baratan. Tak
mengherankan jika kemudian adopsi praktik demokrasi merujuk pada model demokrasi barat. Konsepsi yang luar biasa hebatnya mengenai pemerintahan oleh banyak orang ini membuat demokrasi dianggap sebagai sebuah ide agung dan sempurna sehingga pencangkokan terhadapnya berlomba-lomba dilakukan oleh banyak negara-negara timur sekalipun. Demokrasi dengan sengaja ditanam di tanah air Indonesia dan pernah mengalami beberapa kali revisi disesuaikan dengan kebutuhan rezim. Terlepas dari hal itu, sebagian kalangan percaya bahwa demokrasi telah menjadi ide luhur yang mengakar sedari awal pembentukan negara Indonesia. Manifestasi demokrasi dapat terlihat dalam sila ke-4 Pancasila. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, persis dibawah Amerika Serikat dan India, tak mengherankan Indonesia menjadi telaah demokrasi dari berbagai lensa kajian. Label tersebut bukan hanya karena banyaknya jumlah penduduk, tetapi juga dari jumlah penyelenggaraan pemilihan umum. Indonesia disebut sebagai penyelenggara pemilu terbanyak di dunia. Setidaknya, hampir setiap 1,5 hari dilangsungkan sebuah pemilukada. Belum lagi jumlah daerah otonom baru yang terus bertambah (Tohari,2013:1). Demokrasi Indonesia boleh dibilang terjebak dalam retorika elektoral. Hanya ramai saat membicarakan kontestasi dan kandidasi yang menjadi wahana selebrasi para elite. Mengutip dari Purwo Santoso, demokrasi masih sekedar bagian dari sistem politik yang bekerja dalam wilayah yang timpang. Perwujudannya masih terbatas pada aksi-aksi komunal yang dibagian akhir merujuk pada tindakan-tindakan individual. Demokrasi lebih
1
dipopulerkan sebagai persoalan kebebasan individual, persamaan hak-hak, sekaligus melegitimasi aturan-aturan dan peran-peran berbagai institusi politik (Tohari,2013:ix-xvi). Nalar demokrasi populer mengisyaratkan bahwa demokrasi adalah arena kontestasi dan arena partisipasi bagi semua orang. Berangkat dari nalar tersebut semestinya demokrasi tidak sekedar membicarakan kekuasaan yuridis sebagai manifestasi dari suara mayoritas, namun juga telah merambah pada keterlibatan masyarakat dalam aktivitas sosial-politik. Bahwa demokrasi ditentukan oleh kedaulatan suara mayoritas dan diyakini memiliki prinsip universal (Nurtjahjo,2006:114). Kemudian menjadi penting untuk mengetahui apakah si mayoritas tersebut sesungguhnya telah mengamalkan demokrasi melalui mekanisme partisipasi dalam kerangka kerja tata kelola publik. Bahkan, masih menjadi pertanyaan apakah sesungguhnya mayoritas tersebut memahami konsep demokrasi yang ramai diagungkan. Gagasan demokrasi yang mengedepankan partisipasi sungguh dijelaskan dengan baik dalam demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif atau deliberasi sendiri telah menuai banyak definisi dari kalangan para filsuf. Namun secara garis besar memiliki pengertian yang serupa, yakni keterlibatan warga negara dalam urusan publik melalui penyampaian gagasan secara langsung. Forum diskusi yang memungkinkan pertemuan antar individu menjadi wadah penting dalam nafas demokrasi sehingga partisipasi masyarakat tidak terbatas pada pesta demokrasi semata. Di Indonesia, sebagian orang lebih akrab menyebut proses tersebut dengan istilah musyawarah. Menurut David Emannuel (Faishal,2007:5), terdapat beberapa aspek penting dalam demokrasi deliberatif yaitu: partisipasi (participation), kebebasan dan kesetaraan (liberty and equality), ketertarikan pada kebaikan bersama (appeals to the common good), keinginan untuk melakukan voting (needs to voting). Sementara Iris Marion Young (Farrelly,2004) juga
2
membagi dalam empat aspek; inklusi (inclusion), kesetaraan politik (political equality), rasionalitas/kewajaran (reasonableness), publisitas (publicity). Pemaknaan yang diberikan oleh David Emannuel dan Iris Marion hanyalah dua dari lusinan argumen yang menjelaskan tentang demokrasi deliberatif, baik secara teori maupun praktis. Namun disini penulis akan menggarisbawahi sebuah argumen menarik dari Hansen (Kusuma,2012:36) yang menyatakan bahwa deliberasi merupakan fitur inti dari demokrasi dan telah sejak lama menjadi elemen penting dari teori demokrasi. Demokrasi deliberatif masih menjadi tema besar, teori agung yang begitu abstrak yang bisa dikontekstualiasasikan pada masing-masing negara. Belum ada yang baku dari demokrasi deliberatif. Demi menyederhanakan peranakan definisi demokrasi deliberatif yang begitu kompleks, tulisan ini hanya akan menggunakan sebuah pemikiran demokrasi deliberatif yang diprakarsai oleh seorang filsuf Jerman, Jürgen Habermas. Rujukan terhadap teori Habermas dilatarbelakangi ketertarikan karena dalam berbagai literatur penulis hampir selalu menemukan nama Habermas disuguhkan diatas meja diskusi demokrasi deliberatif. Jürgen Habermas memberikan landasan yang lebih normatif dengan memasukkan sifat komunikatif dan emasipatoris dalam demokratisasi (Faishal,2007:5-9). Ditengah perdebatan terminologi demokrasi deliberatif, penulis percaya demokrasi deliberatif memberi sanjungan tinggi terhadap partisipasi langsung dalam nuansa dialog tatap muka demi mewujudkan tata pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan publik tentu memberi optimisme baru bagi terlaksananya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang sesungguhnya. Meski gagasan demokrasi deliberatif masih akan terus berkembang, serta kritik atasnya juga akan terus diperbaharui. Namun pada dasarnya, demokrasi deliberatif mengundang seluruh elemen masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara langsung dalam sebuah forum inklusif yang bertujuan membahas isu-isu publik.
3
Praktik deliberasi sendiri sangat dekat di lingkungan masyarakat dan dengan mudahnya dijumpai. Hampir di seluruh lingkungan tinggal terdapat forum warga maupun pertemuan rutin lainnya. Forum-forum tersebut merupakan contoh konkret dari praktik deliberasi. Di institusi publik, forum tersebut dikemas dalam rapat internal. Jürg Steiner beserta beberapa peneliti lain, pernah menuliskan adanya praktik deliberasi dalam rapat anggota dewan. Apapun labelnya, pertemuan antar individu yang memberi ruang bagi dialog aktif yang memuat opini publik sesungguhnya telah mewadahi praktik demokrasi deliberatif. Menjadi menarik apabila demokrasi deliberatif direfleksikan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Terlebih dengan esensi murni partisipasi ditengah ruang publik yang dinamis. Dalam konsepsi ini
masyarakat bukanlah objek, melainkan subjek demokrasi.
Dengan demikian perlu untuk mengetahui pemahaman masyarakat dalam memaknai demokrasi deliberatif. Elaborasi persepsi masyarakat terhadap kesesuaian pemahaman demokrasi deliberatif dalam kajian teoritis kemudian memiliki urgensi tinggi. Pemahaman tersebut akan berkorelasi dengan kehidupan demokrasi yang mereka ciptakan. Disisi lain, pemahaman tersebut dapat pula dilihat melalui praktik-praktik deliberasi yang telah dilakukan. B. Rumusan Masalah Berkaca dari keingintahuan tersebut maka rumusan masalah yang diajukan ialah : Bagaimanakah masyarakat desa memahami Demokrasi Deliberatif? C. Tujuan Penelitian Mencoba menjawab pertanyaan dasar penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi persepsi masyarakat desa dalam memahami demokrasi deliberatif. Dengan demikian dapat diketahui kesesuaian teori demokrasi deliberatif dengan realitas yang ada 4
pada masyarakat desa dalam memahami demokrasi deliberatif. Proses elaborasi dapat pula menjelaskan sejauh mana pengetahuan masyarakat tentang demokrasi deliberatif. Sekaligus dapat menggambarkan praktik-praktik deliberasi sebagai refleksi dari demokrasi deliberatif yang dipahami oleh masyarakat desa. Besar harapan penelitian ini dapat memberi sumbangsih terhadap khasanah ilmu sosial-politik melalui kajian jujur tentang pemahaman demokrasi deliberatif. D. Urgensi Penelitian Model demokrasi yang ditawarkan Habermas mencoba untuk menghadirkan paradigma baru bagi praktik hukum pasca-otoritarianisme. Bahwa sesungguhnya upaya pencarian legitimasi memiliki ciri diskursif. Forum-forum diskursif ala Habermas ini sangat relevan untuk masyarakat Indonesia pasca-Soeharto yang ingin mengedepankan hukum dan hak-hak asasi manusia dalam proses demokratisasi dan reformasi. Pejabat negara tidak berhak menyandang predikat adikuasa atas komunikasi publik, namun seluruh warga negara dipandang sebagai keseluruhan mekanisme demokrasi. Habermas menyambut pluralisme bentuk-bentuk komunikasi di dalam masyarakat majemuk modern (Hardiman,2009:19). Hal tersebut sesuai dengan peralihan kajian politik Indonesia dari konsep sentra negara menuju gagasan kedaerahan yang menyita perhatian baik dari kalangan akademisi maupun para pelaku politik. Pemerintah pusat tidak lagi menjadi poros utama dari teropong dinamika politik Indonesia. Ibarat sebuah panggung megah yang rutin mementaskan aktoraktor elit dengan setelan skenario sedemikian rapi, pada akhirnya gagal membius penonton untuk duduk manis kurang dari empat dekade. Singkat cerita, sebuah panggung megah tersebut pecah dalam panggung-panggung pementasan yang lebih kecil. Dengan menampilkan aktor dan problematika lokal, diharapkan dapat reflektif dalam nuansa kedaerahan.
5
Dalam hal ini, lokus politik tidak hanya diartikan dalam tatanan kabupaten/kota namun turun lebih jauh sampai ke level pemerintahan desa. Desa sebagai elemen terkecil dari penyelenggaraan aktivitas politik pemerintahan kemudian menjadi sorotan yang mewarnai polemik politik dewasa ini. Terlebih ketika tulisan ini dibuat, pembahasan tentang undangundang desa semakin massif. Hal tersebut membuktikan bahwa posisi desa sebagai tolak ukur penyelenggaraan pemerintahan tidak lagi disampingkan. Hal itu memupuk ketertarikan penulis untuk menelisik lebih lanjut menyoal desa sebagai sebuah entitas sosial dan politik. Fokus penelitian tidaklah banyak membahas pemerintahan desa semata, namun lebih kepada masyarakat desa itu sendiri. Untuk menghindarkan diri dari tuduhan corak penelitian yang sangat sosiologis, maka penulis ingin menegaskan bahwa kajian tentang partisipasi masyarakat dalam tata kelola pemerintahan turut serta menjadi bagian penting dalam penelitian ini. Selain itu, terdapat sebuah fenomena menarik yang menjadi urgensi penelitian. Hal tersebut ialah adanya pergeseran paradigma sosiologis yang diyakini sebagai corak khas masyarakat desa, secara inkremental berubah menjadi paradigma rasional. Masyarakat desa notabene dinilai sebagai entitas masyarakat tradisional yang memegang teguh adat dan budaya, kental dalam logika patron-klien, serta akrab dengan istilah gotong-royong. Pada prosesnya, nilai-nilai tersebut perlahan luntur tergantikan oleh kepentingan individu dalam transformasi menuju masyarakat modern. Modernitas yang dimaksud ialah pengabdosian cara berfikir rasional yang tumbuh subur ditengah masyarakat desa. Bila fenomena tersebut adalah benar, maka tulisan ini dapat memuluskan konsep Habermas menyoal syarat berlakunya demokrasi deliberatif yang bersih dari cara berfikir tradisional.
6
E. Review Literatur Gagasan tentang demokrasi deliberatif semakin berkembang seiring dengan kajian yang dewasa ini banyak dilakukan. Terdapat beberapa bahan bacaan dan penelitian ilmiah yang dijadikan penulis sebagai pedoman dalam memahami ide tentang demokrasi deliberatif. Setidaknya terdapat tiga penelitian dengan tema utama demokrasi deliberatif yang telah dibaca penulis sebelum melakukan penelitian. Ketiganya memiliki spektrum yang berbeda ketika berbicara tentang demokrasi deliberatif. Pertama, buku karya Jürg Steiner dkk, dalam Deliberative Politics in Action. Buku tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan diempat negara yakni Jerman, Switzerland, Inggris, dan Amerika Serikat. Fokus utama dalam penelitian tersebut memaparkan praktik demokrasi deliberatif yang berlangsung di dalam institusi parlemen. Melalui penelitian yang dilakukan, dapat dilihat jalannya proses sidang parlemen dari keempat negara. Analisis data yang dihasilkan ialah Discourse Quality Index (DQI) guna mengetahui kualitas deliberasi. Kedua, tesis karya Candra Kusuma yang berjudul ‘Demokrasi Deliberatif di Era Otonomi Daerah; Studi Kasus Forum Konstituen di Kabupaten Bandung’. Sesuai dengan judul yang diangkat, penulis menggunakan Forum Konstituen Kabupaten Bandung (FKKB) untuk menguji teori demokrasi deliberatif yang dipaparkan oleh Habermas. Alhasil, data lapangan praktis menunjukan sulitnya mengimplementasikan cita-cita demokrasi deliberatif ala Habermas. Hal tersebut disebabkan oleh diversitas kemampuan komunikasi. Dinamika organisasi yang terdapat pada FKKB, kemudian memberi rekomendasi baru pada model demokrasi deliberatif. Ketiga, sebuah jurnal karya Antun Mardiyanta dengan judul ‘Kebijakan Publik Deliberatif: Relevansi dan Tantangan Implementasinya’. Dalam jurnal tersebut, dijelaskan 7
implementasi dari aktivitas deliberatif negara selaku penyelenggara kebijakan. Pergeseran konsep government menjadi governance memberi andil besar bagi gerbang demokrasi deliberatif yang coba diadopsi dalam kebijakan publik deliberatif. Namun pada konteks Indonesia ternyata praktik kebijakan publik deliberatif masih tergolong lemah karena kurangnya koherensi dengan kebijakan yang lain. Penggambaran praktik demokrasi deliberatif menjadi sebuah benang merah yang menghubungkan ketiga penelitian tersebut. Sesungguhnya ketiga tulisan tersebut berusaha menceritakan kondisi deliberasi yang ada baik dalam lokus pemerintahan (dalam parlemen dan kebijakan publik) dan organisasi masyarakat (PKKB). Sejauh ini, belum ada penelitian yang mencoba mengelaborasi tentang bagaimana demokrasi deliberatif dimaknai oleh masyarakat. Hal itu dikarenakan lebih banyak yang memilih untuk mencermati praktik demokrasi deliberatif hingga pemaknaan/pemahaman terhadapnya menjadi luput dari perhatian. Untuk itu, penelitian ini ingin memberikan warna baru yang sekaligus dapat melengkapi penelitian-penelian yang telah ada sebelumnya. Karena sungguh penting untuk mengetahui pemikiran masyarakat dalam memahami demokrasi deliberatif, sebelum lebih jauh mengekplorasi praktik-praktik deliberasi yang tidak lain merupakan buah dari pemahaman tentang demokrasi deliberatif itu sendiri. Penelitian ini memiliki urgensi dalam menambah stok pengetahuan menyoal demokrasi deliberatif khususnya di Indonesia. F. Kerangka Teori Guna membantu mengarahkan landasan berpikir sebagai bekal riset dan penulisan, penulis menggunakan sebuah teori demokrasi deliberatif yang diprakarsai oleh Jürgen Habermas. Breakdown dari nilai-nilai demokrasi deliberatif kemudian menjadi perlu dengan motif mencari kondisi-kondisi komunikatif yang memungkinkan diskusi-diskusi rasional 8
tentang persoalan-persoalan publik dan pengambilan keputusan. Oleh sebab itu, selanjutnya penulis akan menggunakan teori demokrasi deliberatif yang digagas oleh Habermas. F.1. Demokrasi Deliberatif Istilah deliberasi berasal dari Bahasa Latin deliberatio yang dalam Bahasa Inggris disebut dengan deliberation. Istilah ini mengandung arti ‘konsultasi’, ‘menimbang-nimbang’, atau Indonesia telah memiliki kosa kata politis ini yakni ‘musyawarah’. Semua arti leksikal ini harus ditempatkan dalam konteks publik atau kebersamaan secara politis sehingga dapat dijadikan sebagai diskursus praktis. Teori demokrasi deliberatif tidak memusatkan diri pada penyusunan daftar aturan yang harus dilakukan oleh warga negara, melainkan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan itu. Tentu saja demokrasi deliberatif harus memerhatikan proses bagaimana keputusan politik dapat diambil dan konteks dimana keputusan tersebut dihasilkan. Model demokrasi deliberatif meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif sehingga model tersebut dapat secara memadai menjelaskan arti kontrol demokratis melalui opini publik. Bagi model demokrasi deliberatif adalah jauh lebih penting memastikan dengan cara manakah opini publik (yang bisa jadi merupakan opini mayoritas yang dianggap sahih dan universal) terbentuk sedemikian rupa sehingga seluruh warga negara dapat mematuhi opini-opini tersebut. Dengan demikian, demokrasi deliberatif mengacu pada prosedur formasi opini dan aspirasi secara demokratis (Hardiman,2009:128-129). Sedangkan Iris Marion Young (Farrelly,2004) memberi titik tekan lebih pada reasonableness ketika berbicara tentang demokrasi deliberatif. Reasonableness menjadi aspek penting dalam demokrasi deliberatif karena dapat menentukan bagaimana kesepakatan kolektif dibuat. Bahwa tiap individu memiliki pikiran dan rasionalitas yang plural. Sehingga dalam pluralitas tersebut perlu untuk saling memahami rasionalitas individu lain agar diskusi 9
dapat terus berjalan sampai kepada sebuah kesepakatan kolektif. Keseluruhan aspek penting dari demokrasi deliberatif yang ditawarkan oleh Iris Marion Young ialah; inklusi (inclusion), kesetaraan politik (political equality), rasionalitas/kewajaran (reasonableness), publisitas (publicity). Berbeda dengan David Emannuel, terdapat beberapa aspek penting dalam demokrasi deliberatif yaitu: partisipasi (participation), kebebasan dan kesetaraan (liberty and equality), ketertarikan pada kebaikan bersama (appeals to the common good), keinginan untuk melakukan voting (needs to voting). Tertulis dalam tesis Candra Kusuma (2012:37) Dryzek menjelaskan demokrasi deliberatif pada intinya dimaknai sebagai proses pengambilan keputusan yang egaliter dimana warga dapat mendengar, belajar, dan terlibat dari beragam cara pandang. Semua falsafah deliberasi tersebut dapat membantu penulis untuk mengetahui ide besar demokrasi deliberatif yang telah digagas para filsuf. Sesungguhnya diskusi tentang demokrasi deliberatif hampir selalu menyertakan nama seorang pemikir Jerman, Jürgen Habermas. Menurut Ridzer dan Goodman (2010), Habermas merupakan pemikir sosial terpenting saat ini. Habermas menyumbang gagasan penting bagi perkembangan ide demokrasi deliberatif. Pada penelitian ini, penulis memilih untuk menggunakan gagasan Habermas sebagai landasan berpikir. Gagasan Habermas yang dimaksud, pun telah banyak terangkum dengan baik dalam ulasan beragam buku yang turut digunakan penulis sebagai referensi dalam memahami teori Jürgen Habermas. Ide kedaulatan rakyat menjadi akar dari pemikiran demokrasi Habermas. Habermas berusaha menyelaraskan kondisi masyarakat dewasa ini dengan prinsip klasik tentang kedaluatan rakyat yang berbunyi bahwa semua kekuasaan negara berasal dari rakyat. Alhasil, ia menafsirkan dua unsur kata “demokratia” tidak hanya kekuasaan (kratos), melainkan juga rakyat (demos) diterjemahkan ke dalam konsep-konsep diskursus. Habermas membayangkan
10
bahwa rakyat tidak terdiri dari manusia-manusia, melainkan terdiri dari komunikasikomunikasi tanpa subjek. Dia membayangkan rakyat atau masyarakat sebagai suatu auditorium raksasa yang menjadi lokus sirkulasi komunikasi-komunikasi anonim (Hardiman,2009,102) Habermas menafsirkan kedaulatan rakyat itu sebagai prosedur komunikasi. Dalam prosedur komunikasi itu harus dimengerti dalam horizon intersubjektif. Prinsip demokrasi Habermas yang mendasarkan diri pada Kantian bahwa setiap orang seharusnya diperlakukan tidak sebagai sarana, melainkan sebagai tujuan Habermas menolak argumen bahwa komunikasi yang berlangsung di dalam MPR/DPR merupakan realitas politis tertinggi (Hardiman,2009:209). Dalam kondisi masyarakat kompleks, pemerintahan oleh rakyat menurut Habermas tidak dapat dimengerti secara konkretis. Kontrol atas pemerintahan dilaksanakan secara tidak langsung oleh opini publik. Guna memastikan bahwa sebuah opini publik mencerminkan kepentingan semua orang dan tidak mengabaikan minoritas, maka Habermas mengajukan model demokrasi deliberatif. Model ini sungguh menekankan pentingnya prosedur komunikatif. Legitimitas bukanlah soal kehendak individual ataupun kehendak umum, melainkan proses formasi deliberatif dan argumentatif-diskursif suatu keputusan politis yang ditimbang bersama-sama yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka atas revisi (Hardiman,2009:128-130). Kenyataan bahwa kondisi masyarakat telah berkembang sedemikian kompleks, tidak hayal membuat cita-cita demokrasi dimana rakyat dapat memerintah secara langsung menjadi suatu kemustahilan. Habermas meyakini pemerintahan oleh rakyat tidak dapat dimengerti secara konkretis. Namun, masyarakat tetap dapat melakukan kontrol atas pemerintahan
11
melalui kekuasaan opini publik. Untuk itu, diperlukan struktur-struktur komunikasi yang bersifat keseharian. Dengan demikian dapat menciptakan kultur politis yang tanggap. Habermas bertanggung jawab untuk menghidupkan kembali gagasan musyawarah di zaman ini, dan lebih teliti dalam memberikan pondasi demokrasi. Politik deliberatifnya tegas didasarkan pada gagasan kedaulatan rakyat. Habermas bersikukuh bahwa sumber dasar legitimasi adalah penilaian kolektif rakyat. Hal ini dapat ditemukan bukan dalam ekspresi dari kehendak populer tanpa mediasi, tapi dalam satu set disiplin praktis yang didefinisikan oleh deliberatif yang ideal (Gutmann&Thompson,2004:9). Habermas merasa perlu adanya pengoreksian dalam melihat sebuah kebaikan bersama sebagai sesuatu yang dapat dicapai melalui diskusi publik. Bukan dihasilkan melalui dialog semata. Model demokrasi deliberatif ini kemudian dijadikan Habermas sebagai upaya khusus dalam mencapai sebuah kebaikan bersama. Habermas sebenarnya lebih peduli pada orientasi dibanding hasil dari sebuah wacana publik. Model tersebut hanya dapat berjalan pada premis bahwa peserta yang terlibat dalam wacana publik ini memiliki tingkat kepercayaan yang baik dan paling tidak peserta memungkinkan untuk diajak memodifikasi atau menyisihkan pandangan-pandangan tertentu dari proses kompromi. Ruang publik yang demikian ini diartikan Habermas sebagai arena yang memungkinkan pengujian terhadap pemahaman dan kesepakatan. Ia membayangkan sebuah ruang publik yang imun terhadap konsensus palsu (Goode,2005:46-47). Menurutnya (Kusuma,2012:54), sebuah konsensus atau keputusan memiliki legitimasi apabila telah melalui proses pengujian atau diskursus, dimana semua isu dibahas bersama terutama dengan pihak-pihak yang terkait langsung dengan isu tersebut, dalam posisi setara dan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Pada akhirnya sebuah konsensus dapat
12
diterima secara intersubyektif. Diskursus tersebut hanya dapat berlangsung dalam sebuah wadah yang disebut ruang publik (public sphere). Ruang publik yang diandaikan Habermas bertujuan untuk membentuk kesepakatan intersubjektif yang bersandar pada nilai-nilai dan standar tertentu, yang kemudian dapat digunakan untuk menyelesaikan pertanyaan praktis. Dalam pandangan Habermas, ruang publik dilembagakan pada individual, emansipasi, serta perpanjangan komunikasi bebas dominasi. Habermas mendukung musyawarah demokratis atas hak-hak individu. Seperti dalam tulisannya: "..... privat dan otonomi masyarakat saling mengandaikan satu sama lain sedemikian rupa bahwa baik manusia maupun kedaulatan hak populer dapat mengklaim keutamaan atas yang lain" (Gutmann&Thompson,2004:26). Demokrasi adalah identitas dari warga negara dan negara. Demokrasi partisipatif sering kali berjalan bersama ketidakkepercayaan atas bentuk representasi. Dua sikap tersebut memiliki afinitas elektif. Habermas menghargai kepolosan proses percakapan, membaca, dan berbicara sebagai sebuah wacana yang layak bagi budaya demokratis dari pada bentuk kesopanan, pertunjukan serentetan proses seremonial, dan retorika-retorika yang lebih umum (Goode,2005:48). Terdapat tiga poin penting yang ditegaskan Habermas dalam menghidupkan praktik demokrasi deliberatif (Hardiman,2009:130-132). Pertama, pentingnya aturan-aturan main demokratis seperti halnya; jaminan atas hak kebebasan, adanya kompetisi partai, pemilihan umum yang fair, asas mayoritas, debat publik, dan lainnya. Artinya, proses deliberasi dapat berjalan apabila elemen-elemen inti demokrasi telah mendapat jaminan dari sistem bernegara. Kedua, pentingnya model demokrasi yang peka pada konteks mengingat
masyarakat
semakin kompleks. Dalam hal ini Habermas menjelaskan bahwa konsep demokrasi a la Aristoteles pada zaman Yunani Kuno dimana rakyat dapat bersuara langsung tanpa adanya
13
perantara dianggap tidak lagi relevan dengan kehidupan demokrasi saat ini. Faktor jumlah penduduk dan heterogenitas kepentingan yang tinggi memerlukan penyesuaian-penyesuaian baru. Bentuk penyesuaian tersebut diantaranya ialah pembentukan partai politik sebagai jembatan kepentingan, peranan media massa sebagai sarana kontrol, dan lain sebagainya. Meski perwujudannya masih jauh dari sempurna, namun kedua poin tersebut dapat dikatakan sudah terpenuhi dalam sistem demokrasi Indonesia sehingga poin terakhirlah yang menjadi kajian utama penelitian. Terakhir, yakni pentingnya bentuk argumentasi, inklusivitas para peserta dan kebebasan dari paksaan pencapaian konsensus. Dalam poin ini, Habermas menitip harapan bahwa pemerintahan oleh rakyat dapat terlaksana bila rakyat dapat berpendapat dengan leluasa. Rakyat dapat terlibat langsung dalam penentuan konsensus untuk menyelesaikan permasalahan publik. Melalui gagasan tersebut maka proses deliberasi yang sesungguhnya dapat hidup ditengah kondisi sosial politik yang dinamis. Demokrasi deliberatif merupakan sebuah desakan untuk membuka ruang-ruang dan kanal-kanal komunikasi politis dengan memperhitungkan pluralitas orientasi etnis, religius dan politis. Model demokrasi deliberatif ini dibangun dalam apa yang disebut Habermas sebagai sebuah diskursus. Habermas beragumentasi bahwa integrasi dan solidaritas sosial masyarakat-masyarakat kompleks itu tidak lagi dapat dijamin oleh agama atau pandanganpandangan metafisis, melainkan harus dikembalikan pada proses komunikasi sosial untuk mencapai saling pengertian diantara para warga negara (Hardiman,2009:5-6). Habermas memusatkan dirinya pada sebuah analisis rekonstruktif atas kondisi-kondisi komunikasi bebas dominasi. Guna menciptakan kondisi tersebut diperlukan sebuah upaya yang mengedepankan intersubjektivitas dalam mencapai sebuah konsensus. Habermas berupaya mewujudkan kebebasan melalui sebuah praksis emansipatoris (Hardiman,2009:1617). Asas demokrasi dengan penerapan prinsip diskursus tidak hanya menjelaskan hubungan-
14
hubungan simetris di antara para peserta diskursus, melainkan juga inklusivitas diskursus praktis. Untuk menunjukan bahwa diskursus praktis bukanlah ilusi, maka secara kritis Habermas menjabarkan tentang hak-hak dasar. Hak-hak dasar ini dihasilkan melalui prinsip demokrasi yang diartikan sebagai hakhak yang harus diterima para warganegara satu sama lain jika mereka hendak menata kehidupan bersama mereka secara legitim dengan sarana hukum positif. Habermas menggolongkannya ke dalam lima hak dasar. Pertama, hak kebebasan privat yaitu hak untuk bertindak yang dimiliki setiap orang tanpa diskriminasi. Kedua, hak yang berdasarkan pada keanggotaan sukarela seseorang dalam sebuah komunitas politis. Ketiga, hak pastisipasi terletak di pusat sistem hak-hak ini : hak untuk mendapat peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam proses formasi opini dan aspirasi secara demokratis. Keempat, hak dasar di atas mengandaikan hak kelima yaitu hak untuk mendapat jaminan atas kondisi-kondisi hidup yang dipastikan secara sosial, teknik dan ekologis. Habermas kiranya dapat berkata bahwa hak-hak partisipasi sangat sentral di dalam sistem hak-haknya (Hardiman,2009:84-85). Konsistensi Habermas dalam menjelaskan ‘ciri deliberatif’ secara tersirat diteguhkannya dalam memandang egalitas, inklusivitas, intersubjektivitas, dan partisipasi. Masing-masing selalu disinggung dalam setiap kesempatan untuk membangun konsep demokrasi deliberatif dan teori diskursus. Pada intinya, penelitian ini berpijak pada teori demokrasi deliberatif yang menggabungkan seperangkat prinsip untuk membangun kewajaran kerjasama politik dalam masyarakat demokratis. Beberapa percaya bahwa prinsip tersebut hanya menginformasikan pembuatan
keputusan
politik
di
pemerintah
atau
di
dalam
masyarakat
sipil
(Gutmann&Thompson,2004:95). Model demokrasi deliberatif menekankan pada pentingnya prosedur komunikasi untuk meraih legitimasi hukum di dalam sebuah proses pertukaran yang
15
dinamis antara sistem politik dan ruang publik yang dimobilisasi secara kultural. Prosedur komunikasi menjadi kata kunci dalam memaknai demokrasi deliberatif. Hal itu disebabkan proses masyarakat dalam mengambil keputusan jauh lebih penting daripada bentuk keputusan yang dihasilkan. Egalitas, inklusivitas, intersubjektivitas, dan partisipasi kemudian menjadi empat elemen yang memberi acuan dalam menjelaskan demokrasi deliberatif yang dimaksudkan oleh Habermas. G. Definisi Konseptual Guna memberi batasan-batasan terhadap konsep yang hendak diteliti, maka definisi konseptual yang digunakan dalam penelitian ini yaitu demokrasi deliberatif dalam kerangka teoritis. Dari sejumlah teori tentang demokrasi deliberatif, penelitian ini berpijak pada gagasan deliberatif menurut Jürgen Habermas. Demokrasi deliberatif dimaknai sebagai prosedur untuk menghasilkan sebuah keputusan. Rakyat secara bebas dapat mengikuti proses diskursus tersebut dan menyumbang opini-opini mereka sehingga akhirnya dapat membentuk sebuah kesepakatan kolektif. Dalam demokrasi deliberatif, jauh lebih penting memastikan opini mayoritas itu dapat terbentuk dan diterima secara intersubyektif. Demokrasi deliberatif tidak menganggap pilihan rakyat sebagai suatu hal yang diterima atau ditentukan begitu saja, tapi sebagai hal yang dicapai melalui pencarian panjang yang disertai tukar pikiran untuk membahas masalah bersama. Tujuannya adalah untuk menegakkan suatu proses deliberasi yang dasar strukturnya adalah ‘harapan untuk mendapatkan hasil yang dapat diterima secara rasional’ (Habermas,1996 dalam Held,2006:281). Proses seperti disebut diatas dapat dicapai dalam bentuk suatu kelompok masyarakat dimana pendapat tiap orang dipertimbangkan dan penilaian kolektif dicapai melalui deliberasi yang berdasar pada imparsialitas. Imparsialitas artinya bersikap terbuka dan berpegang terhadap argumentasi, dan menilai setiap sudut pandang sebelum memutuskan
16
mana yang baik dan benar. Debat publik pun harus dapat diikuti setiap pihak yang berkepentingan setara. H. Definisi Operasional Definisi operasional yang digunakan ialah operasionalisasi pemahaman demokrasi deliberatif melalui penyederhanaan model demokrasi deliberatif yang diandaikan oleh Jürgen Habermas. Upaya penyederhanaan ini dirangkum dalam empat elemen yaitu partisipasi, inklusivitas, egalitas, dan intersubyektivitas. Ke empat elemen tersebut barang tentu tidak dapat menampung keseluruhan konsepsi demokrasi deliberatif yang ditawarkan oleh Jürgen Habermas, namun paling tidak dapat menjadi acuan dalam membentuk alur pikir dalam memahami demokrasi deliberatif. Guna mengukuhkan operasionaliasi ke empat elemen tersebut, selanjutnya akan dibahas penjelasan Habermas tentang keempatnya. H.1. Partisipasi Partisipasi menjadi salah satu elemen penting untuk mewujudkan deliberasi. Berdasar pada pendapat Robert Alexy, Habermas sepakat bahwa semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut serta dalam diskursus. Pernyataan tersebut menyiratkan pengertian Habermas tentang siapa yang berhak mengikuti forum kepublikan. Lebih dari itu, setiap peserta boleh mempermasalahkan setiap pendapat; mengajukan pendapat apapun; mengungkapkan sikap, keinginan, dan kebutuhannya di dalam diskursus. Tak seorang pembicarapun boleh dihalangi untuk melaksanakan hak-haknya tersebut. (Hardiman,2009:48) Penulis mengartikan kata boleh sebagai konotasi dari wajib sehingga tidak ada paksaan bagi seseorang untuk ikut serta maupun berpendapat aktif dalam sebuah diskursus. Disisi lain Habermas berpendapat bahwa tidak masuk akal apabila keikutsertaan dalam sebuah diskursus hanya dengan maksud murni untuk mencapai sebuah konsensus saja.
17
Hal itu karena manusia tidak dapat dijauhkan dari kepentingan, sehingga keikutsertaan dilandasi oleh harapan agar konsensus yang tercapai dapat memenuhi kepentingankepentingan kita (Hardiman,2009:50) Partisipasi sendiri tidak dapat ditawar dan direduksi pada administrasi belaka (Hardiman,2009:194). Dihubungkan dengan segi politis, partisipasi warga pada formasi aspirasi opini adalah kunci dari integrasi politis. Dengan kata lain, partisipasi mempersilahkan semua warga negara yang berkepentingan untuk terlibat dan boleh menyampaikan aspirasi hingga tercapainya sebuah konsensus. H.2. Inklusivitas Tidak ada sebuah pandanganpun yang dapat menjadi dasar pijakan bersama sebelum disepakati bersama secara bebas oleh semua pihak yang berkepentingan (Hardiman,2009:24). Habermas merasa perlu untuk menghormati integritas setiap individu. Hal itu menjadi syarat bagi pembentukan dan upaya mempertahankan identitas. Habermas secara khusus membela kebijakan yang mendukung multikulturalisme, seperti halnya perbedaan pendidikan, pemerintah pun harus memberi dukungan pada kelompok minoritas dan sejenisnya (Goode,2005:80). Habermas hendak membongkar eksklusivitas proses deliberasi dalam parlemen dan memperluasnya sampai ke batas akhir ruang publik (Hardiman,2009:104). Penyebaran hakhak komunikasi dan hak-hak partisipasi coba diturunkan hingga ke ranah individu dalam sebuah diskursus yang bebas dan fair. Diskursus tersebut dapat ditemukan dimana saja para warga negara berkumpul dan memberikan opini mereka. Sejalan dengan teori ruang publiknya, para warga negara memiliki kemungkinan untuk mengungkapkan segala tema yang relevan untuk masyarakat supaya suara-suara sensitif dapat dikelola oleh sistem politik yang ada.
18
Walaupun Habermas tidak secara blak-blakan melucuti arti dari inklusivitas, namun usahanya dalam membuka kerangkeng eksklusivitas amatlah frontal. Pada hemat saya, Habermas mengandaikan sebuah idealitas ruang publik bukanlah terjadi di ruang sidang parlemen sehingga setiap orang yang berpikiran waras boleh mengambil bagian dalam diskursus. Habermas tidak mengenal istilah minoritas. Namun, yang perlu dicermati ialah Habermas tidak menggugurkan konsep perwakilan rakyat. Wakil rakyat diperlukan untuk menjamin keberlangsungan demokrasi yang utuh disebuah negara, akan tetapi isolasi terhadap partisipasi setiap warga negara menjadi penting untuk ditiadakan. Habermas mendasarkan pada serangkaian asosiasi yang (seharusnya) terbuka dalam prinsip untuk semua, memiliki sistem keanggotaan yang cair dan menghilangkan kelompok kepentingan khusus (Goode,2005:43). Terdapat empat fitur yang paling penting i) bahwa tidak ada seorang pun yang dapat dieksklusikan ii) bahwa semua peserta diberikan kesempatan yang sama untuk berkontribusi iii) bahwa setiap peserta secara sadar dapat berargumen dan iv) komunikasi harus dibebaskan dari paksaan eksternal dan internal (Goode,2005:73) H.3. Egalitas Sebuah konsensus rasional dapat ditemukan bila diskursus praktis dilakukan. Konsensus tersebut menjadi dasar bagi sebuah norma yang mengungkapkan kepentingankepentingan umum. Sebaliknya apabila norma-norma tidak mengatur kepentingan umum, maka mereka didasarkan pada kekuasaan. Habermas memberi julukan pada konteks tersebut sebagai kekuasaan normatif. Tidak semua kekuasaan normatif berakhir dengan keburukan selama terdapat upaya yang disebut dengan: kompromi. Kompromi dapat berlangsung jika masing-masing pihak yang terlibat memiliki kedudukan seimbang. Secara lebih tegas Habermas mengungkapkan bahwa sebuah kompromi dapat dijustifikasi sebagai kompromi
19
hanya jika dua kondisi dijumpai: keseimbangan kekuasaan antara kelompok-kelompok yang terlibat dan ketidakrampatan kepentingan-kepentingan yang dinegosiasikan. Apabila hanya ada satu saja kondisi umum dari formasi kompromi ini tidak terpenuhi, maka kita langsung akan berhadapan dengan apa yang disebut pseudo kompromi atau kompromi palsu (Habermas,2004:309-312). Bagi Habermas, komunikasi menyajikan tantangan khusus pada prinsip akses universal, hal tersebut hanya dapat ditunjukan melalui ukuran redistributif. Analisis Habermas mengakui bahwa diperlukan adanya kesamaan dalam ruang publik, seperti halnya kesamaan pola untuk mengakses waktu, ruang, kemampuan keaksaraan. Persamaan tersebut menentukan peluang untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Habermas juga mengakui bahwa kondisi teknologi modern kian memperbesar ketidaksetaraan (Goode,2005:38). Habermas mengamini kritik Kantian yang bersumber pada pandangan antiplatonis bahwa tak ada hal-hal yang lebih tinggi ataupun lebih rendah yang dapat menjadi sumber otoritas bagi kita (Hardiman,2009:31). Habermas mengandaikan sebuah diskursus dapat mengorganisasi diri dari subjek-subjek yang setara dan berkumpul secara sukarela. Habermas ingin menyapu bersih sumber kekuasaan yang disemayamkan pada pejabat pemerintah. Setiap warga negara berkesempatan untuk membuka ruang publik politis. Tentu saja tanpa memandang etnis, agama, jenis pekerjaan, dan status pembeda lainnya. Konstelasi tersebut menunjukan konsep egalitas versi Habermas. H.4. Intersubjektivitas Habermas melihat subjek, sama seperti intersubjektivitas yang mendahuluinya, terutama sebagai sesuatu yang secara potensial dapat dijadikan sebagai dasar diakuinya sebuah kebenaran. Bagi Habermas, subjektivitas manusia berada dalam kemungkinan penspesifikasian landasan-landasan rasional di dalam komunikasi intersubjektif atau dalam 20
kemampuan seseorang mengakomodasi dirinya pada landasan-landasan semacam itu atau kemampuan dalam menolak landasan-landasan dirinya sendiri (Habermas,2004:345-346). Dengan tegas Habermas menolak konsep monologal. Baginya, yang terpenting ialah kemasukakalan prosedur yang diakui secara intersubjektif. Lewat prosedur itulah produkproduk proses-proses rasional memperoleh kesahihannya. Hal ini berarti bahwa sifat rasional tidak dapat dicapai semata-mata oleh seorang objek tunggal. Bagitu pula sifat rasional hanya dapat dicapai secara komunikatif, yaitu melalui pemahaman timbal-balik dengan subjeksubjek lainnya (Hardiman,2009:33). Singkatnya, pendekatan terbaik berasal dari argumentasi rasional seluruh peserta forum. Habermas berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau tindakan seseorang bersifat rasional sejauh alasannya dapat dijelaskan atau diakui secara intersubjektif. Oleh sebab itu menjadi sangat penting sebuah prosedur yang memastikan bahwa orang dapat mengeluarkan klaim tanpa paksaan dan bebas kekuasaan. Berbicara tentang rasio, Habermas merasa perlu untuk mendengungkan pada kejadian manapun, seruan terhadap keberpihakan pada nalar. Berpihak artinya berat sebelah. Namun demikian keberpihakan ini masih dapat dibenarkan selama alternatif-alternatif yang dihadapi masih dalam bentuk komunikatif kehidupan bersama yang sudah lazim. Segera sesudah alternatif muncul dan berhasil memecahkan sirkuit intersubjektivitas yang ada, maka hanya keberpihakan yang berciri universal itulah yakni kepentingan nalar itu sendiri yang akan tampil (Habermas,2004:368). Mekanisme pemeriksaan secara intersubjektif dan prosedur yang diterima secara intersubjektif adalah syarat-syarat formal yang membentuk sebuah rasio prosedural. Tentu bab ini tidak akan menjelaskan keseluruhan konsep rasio prosedural, tetapi gagasan tersebut menjadi pijakan Habermas dalam memandang intersubjektivitas. Sesungguhnya rasio prosedural tidak memberikan ide subtantif apapun, melainkan menuntut sebuah prosedur
21
yang diterima secara intersubjektif dan sebuah mekanisme pengujian intersubjektif. Dengan mencoba mengambil alih perspektif orang lain, kita dan dia akhirnya dapat saling mengerti. Saling mengerti adalah syarat mutlak pencapaian konsensus bebas kekerasan. Sementara konsensus sendiri terbentuk lewat pengetahuan bersama yang diterima secara intersubjektif. Habermas seakan tidak dapat memisahkan antara rasio prosedural – tindakan komunikatif – intersubjektif. Karena memang semuanya membentuk ikatan interdependensi. Intersubjektif yang diaktualisasikan melalui tindakan komunikatif pada akhirnya membentuk sebuah, apa yang dikatakannya sebagai rasio prosedural. Intersubjektif adalah apa yang dimaksud dengan penerimaan warga negara (dalam hal ini peserta forum) atas kualitas argumen. Bahwa kekuasaan rakyat telah dicairkan secara komunikatif sehingga tercapailah sinergi antara kekuasaan administratif (dalam hal ini aturan/perundang-undangan) dengan kehendak rakyat (Hardiman,2009:102). Habermas berpendapat (Held,2006:278) bahwa rasionalitas seharusnya tidak hanya dipandang sebagai alat yang dipenuhi banyak objek dan elemen-elemen yang bijaksana yang digunakan oleh seorang individu untuk memanipulasi dunia, tapi juga dapat dianggap sebagai untuk menciptakan koordinasi tindakan-tindakan sosial. Hal ini juga bisa disebut sebagai inti norma-norma yang menjadi pedoman tindakan kita yang dapat diperdebatkan dan dikaji ulang. Rasionalitas dalam model ini tidak dapat dipisahkan dari pendapat orang lain. Penilaian orang lain (peserta forum) menjadi primer dalam sebuah diskursus.
22
I. Metode Penelitian I.1. Jenis Penelitian Desa sebagai entitas sosial-politik memiliki ciri khas yang berbeda dari satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut merupakan konsekuensi dari pola interaksi antar warga, letak geografis, ragam mata pencaharian, kondisi demografis, juga warisan budaya yang dipelihara. Oleh sebab itu, sebuah hasil studi tentang desa tidak dapat digeneralisir pada telaah desa lainnya. Terlebih dalam penelitian ini, penulis ingin mengamati lebih jauh tentang pemikiran, juga mencakup aktivitas masyarakat di sebuah desa secara mendalam. Untuk itu, penelitian ini akan menggunakan pendeketan kualitatif dengan metode studi kasus. Riset kualitatif dapat menganalisis perilaku dan sikap politik yang tidak dapat atau tidak dianjurkan untuk dikuantifikasi. Dengan kata lain, riset kualitatif cenderung fokus pada usaha mengeksplorasi sedetail mungkin sejumlah contoh atau peristiwa yang dipandang menarik dan mencerahkan, dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, bukan luas. Riset kualitatif memberi kesempatan ekspresi dan penjelasan yang lebih besar. Dengan menggunakan pendekatan ini, penulis meyakini data yang diperoleh dapat sesuai kebutuhan penelitian. Penulis ingin terlibat langsung dalam aktivitas warga Dusun Morangan untuk melihat praktek-praktek deliberasi sebagai buah dari pemahaman masyarakat tentang demokrasi deliberatif, baik dalam forum warga maupun hasil interaksi antar warga. Kesempatan yang demikian hanya dapat diperoleh bila penulis larut menjadi bagian dari warga desa dan turut serta
mengikuti
kegiatan-kegiatan
desa.
Selaras
dengan
pernyataan
Devine
(Harisson,2007:86) bahwa keuntungan dari kualitatif ialah membuat periset bisa mengamati sendiri masyarakat dalam situasi sehari-hari dan ikut beraktivitas bersama mereka.
23
Hardiman (2009:128) menegaskan bahwa proses deliberasi bukan melihat legitimasi yang terbentuk, melainkan kepada proses legitimasi itu sendiri. Deliberasi merupakan sebuah proses/prosedur. Tentu saja untuk dapat melihat proses tersebut, harus memperhatikan cara dan konteks keputusan kolektif terbentuk. Hal tersebut sesuai dengan riset kualitatif yang sebenarnya mencari jawaban dari ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ sesuatu dapat terjadi, bukan hanya ‘apa’ yang terjadi. Bogdan dan Biklen (1997:5) mendefinisikan metodelogi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar individu secara holistic. Sementara metode studi kasus semakin melengkapi karena merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau peristiwa tertentu. Peneliti menggunakan studi kasus tunggal yang mana terdapat signifikansi terhadap pengujian suatu teori dalam rancangan studi kasus tunggal. Selain itu, peneliti hanya menggunakan satu objek/kasus pada satu tempat penelitian, yaitu Dusun Morangan. I.2. Lokasi Penelitian Lokus penelitian jatuh kepada sebuah Dusun Morangan, Desa Sindumartani, Ngemplak, Sleman, DIY. Seperti diketahui, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) lekat dengan struktur pemerintahan yang monarki. Kemudian lahir pertanyaan unik lainnya, mungkinkan ke-khas-an corak pemerintahan tersebut masih diadopsi hingga ke pelosok desa-desa yang bermukim di wilayah administrasi DIY. Dusun Morangan sekilas nampak sama dengan desa-desa lainnya. Namun selain hijaunya tanah pertanian yang masih mendominasi, Morangan terletak sekitar 17 km dari puncak Merapi dan persis berada di bantaran Sungai Gendol. Hal tersebut yang membuat Morangan menjadi salah satu daerah tambang pasir yang setiap harinya rutin dilalui oleh 24
puluhan truk pengangkut pasir. Tentu menjadi perkara baru bila infrastruktur jalan desa tidak memenuhi standar lalu-lalang truk. Pemerintah desa dituntut untuk tidak hanya pandai berkompromi dengan penambang pasir, tetapi juga berkompromi dengan alam mengingat siklus empat tahunan Gunung Merapi yang menempatkan desa pada kawasan rawan bencana. Dusun Morangan juga memiliki bonus historis karena terdapat Candi Morangan yang menjadi salah satu cagar budaya. Dusun Morangan bukanlah salah satu desa tua yang dilengkapi keunikan kegiatan adat. Akan tetapi dengan segala kompleksitas desa, penulis secara lebih dalam ingin mengetahui bagaimana masyarakat memaknai dekomorasi deliberatif. Adanya kekayaan sumber daya alam dan ancaman bencana Gunung Merapi, mau tidak mau masyarakat Dusun Morangan harus bertemu untuk membahas isu publik tersebut. Dengan adanya kebutuhan akan pertemuan warga, maka masyarakat Dusun Morangan sedang memraktikan demokrasi deliberatif yang sesungguhnya. I.3. Sumber Informasi Untuk memenuhi hakekat dari penelian kualitatif yakni mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia dan sekitarnya. Dengan demikian peneliti perlu untuk menjalin hubungan yang intens. Namun tingginya intensitas yang harus dijalin, tidak memungkinkan apabila peneliti mengambil informasi dari seluruh warga desa. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh kunci sengaja dipilih sebagai sumber informasi utama. Tokoh kunci tersebut diantaranya; Bapak dan Ibu Dukuh, Bapak dan Ibu ‘Carik’, ulama desa yang kerap memimpin acara keagamaan, penyuluh kesehatan yang secara rutin menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan sebagai sarana berkumpul warga, ketua RT dan RW, serta pengurus karang taruna. Sumber informasi utama tersebut mencakup kata-kata dan tindakan. Pencatatan sumber data utama melalui wawancara dan pengamatan yang 25
merupakan hasil dari melihat, mendengar, dan bertanya. Selain itu diperlukan pula sumber data selanjutnya, yaitu pengamatan pada aktivitas dalam ruang publik yang ada di lingkungan desa. Selebihnya ialah data tambahan. I.4. Teknik Pengumpulan Data Menurut Bogdan dan Biklen (1982:31) penelitian kualitatif berusaha untuk memahami dan menafsirkan makna tentang suatu peristiwa dan interaksi perilaku manusia dalam situasi tertentu. Dalam upaya menemukan fakta dan data secara alamiah itulah, riset ini memiliki sejumlah ciri. Pertama, sumber data ialah situasi yang wajar atau natural setting dan peneliti merupakan instrumen kunci. Kedua, bersifat deskriptif. Ketiga, lebih memperhatikan proses ketimbang hasil atau produk semata. Keempat, cenderung menganalisa data secara induktif. Kelima, makna merupakan soal esensial bagi pendekatan kualitatif. Berpijak pada ciri penelitian, maka peneliti akan menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi partisipan. Wawancara mendalam dilakukan dalam bentuk percakapan yang mengalir, bergantung pada kualitas interaksi dengan informan, namun tetap fokus sehingga tidak keluar dari topik bahasan. Selain itu, dengan observasi penelitian ini dapat menemukan kejadian ‘sebagaimana adanya’ dan dapat menjadi sumber data yang kaya dengan dukungan dari data lain seperti halnya wawancara (Dargie,1998:66). Keuntungan lainnya, dengan observasi arti penting konteks dapat dikaji, membantu memahami proses dan praktik, dan menganalisis perilaku (Harrison,2009:94). Data yang diperoleh akan dikategorikan dalam data primer dan sekunder. Data primer berasal dari wawancara kepada tokoh kunci dan observasi pada setiap forum pertemuan warga. Forum pertemuan warga menjadi penting sebagai manifestasi dari praktek deliberasi. Sementara untuk data sekunder, masih dilakukan dengan wawancara dan observasi. Namun, wawancara dilakukan terhadap warga desa diluar tokoh kunci, seperti 26
halnya peserta forum pertemuan warga. Pun observasi yang dilakukan di luar forum warga, seperti halnya perbincangan antar warga atau acara besuk warga. Studi kepustakaan larut menjadi data sekunder. I. 5. Teknik Analisis Data Dalam rangka mencari pemahaman demokrasi deliberatif pada masyarakat desa, terlebih dahulu peneliti juga mencari sendiri makna demokrasi deliberatif yang dimuat dalam teks-teks buku, jurnal, maupun riset yang telah ada. Setelah merasa cukup dengan bekal pengetahuan atas demokrasi deliberatif, penulis memberanikan diri untuk memilih salah satu nama yang darinya banyak lahir gagasan-gagasan deliberatif. Ia adalah Jürgen Habermas. Kemudian, peneliti melakukan observasi singkat untuk menentukan tokoh-tokoh kunci dan kondisi masyarakat Dusun Morangan. Langkah selanjutnya, peneliti menyiapkan transkip wawancara. Wawancara tersebut akan menyajikan jawaban langsung atas pemaknaan demokrasi deliberatif menurut para informan. Guna melihat lebih jauh refleksi dari pemahaman
tersebut, maka peneliti
melakukan proses triangulasi dengan mengikuti beberapa forum warga untuk menemukan kesesuaian pemahaman masyarakat dengan aktivitas yang mereka kerjakan. Alhasil, penelitian ini dapat mengelaborasi kesesuaian makna demokrasi deliberatif yang tertuang dalam teori Habermas dengan pemahaman demokrasi deliberatif yang ada dalam masyarakat desa. J. Sistematika Penulisan Kajian tentang demokrasi deliberatif dalam perspektif masyarakat desa terangkai dari empat bab yang salig terkait :
27
Bab I merupakan bab pendahuluan yang menjelaskan tentang pentingnya membicarakan demokrasi deliberatif ditengah nalar demokrasi populer. Sesungguhnya demokrasi deliberatif bukan merupakan tema baru dalam khasanah akademik, akan tetapi penulis berusaha mengelaborasi pemahaman dari demokrasi deliberatif itu sendiri ketika kajian lain lebih banyak menaruh minat untuk menampilkan praktik-praktik demokrasi deliberatif. Pada bagian ini muncul sebuah pertanyaan yang menjadi dasar penelitian. Berangkat dari pertanyaan tersebut maka lahir kemudian tujuan penelitian, kerangka konseptual, dan metode penelitian yang terangkum dalam bab yang sama. Bab II menjelaskan tentang kondisi masyarakat Dusun Morangan yang dibagi ke dalam 3 katagorisasi. Pertama, kondisi sosial yang mencakup latar pendidikan, komposisi penduduk, dan bentuk-bentuk komunikasi antar warga. Kedua, kondisi ekonomi yang mencakup mata pencaharian penduduk, pendapatan keluarga, dan potensi sumber daya alam. Ketiga, kondisi politik yang mencakup pemetaan elit desa, corak pemerintahan, dan strategi pengelolaan sumber daya. Tentu saja kesemua hal tersebut dapat membekali penulis dalam menyusun bab selanjutnya. Bab III akan memuat elaborasi pemahaman masyarakat tentang demokrasi deliberatif. Pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi deliberatif kemudian menjadi komponen penting dalam proses elaborasi. Dalam bab ini penulis merangkai sub bab berdasarkan konsep demokrasi deliberatif Habermas, yakni pentingnya partisipasi, inklusivitas, egalitas, dan intersubyektif. Untuk melacak lebih jauh pemahaman masyarakat dalam memandang demokrasi deliberatif maka dalam bab IV akan dipaparkan sinkronisasi penggunaan forum warga sebagai sarana manifestasi dari pemahaman nilai-nilai demokrasi deliberatif. Bab V akan merangkum kesimpulan akhir penelitian yang telah dilakukan, termasuk penegasan atas perspektif masyarakat Dusun Kalimanggis Morangan dalam menelaah demokrasi deliberatif. 28