1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Dewasa ini setiap manusia berlomba-lomba mendapatkan penghasilan
yang cukup guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Banyak diantara mereka yang memilih untuk menjadi pegawai negeri sipil, karyawan swasta, buruh, pengusaha, maupun menjadi dewan perwakilan rakyat bahkan menjadi pejabat tinggi negara di Indonesia. Kebutuhan hidup yang tinggi dan gaya hidup materialistis tak hayal menjadi beban bagi sebagian masyarakat Indonesia yang miskin. Sehingga orang miskin menjadi pelaku kejahatan yang secara umum disebabkan oleh terbatasnya pendapatan mereka (Markum, 2009). Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan bermasyarakat, pada dasarnya istilah kejahatan itu diberikan kepada suatu jenis perbuatan atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat (Yurdan, 2010). Kejahatan yang dilakukan oleh orang miskin ini lebih mudah terungkap dan tertangkap pelakunya. Lain halnya dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang yang beruntung, jika kejahatan orang miskin berdasarkan jenis, tindakan, maupun lokasi kejahatannya berlangsung ditempat-tempat umum (perampokan di toko, peredaran narkoba di jalan umum, dan pekerja seks yang menawarkan diri di jalan umum) berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang yang beruntung atau tergolong kerah-putih (white collar crimes) yang sangat berbeda dengan pola
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
kejahatan yang dilakukan oleh orang miskin yaitu dengan cara korupsi (Markum, 2009). Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri,
menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Korupsi juga tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi, yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya sangat penting. Oleh karenanya, suatu pendekatan yang komprehensif dan multidisipliner diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif. Pendekatan dimaksud salah satunya adalah keberadaan bantuan teknis yang dapat memainkan peranan penting dalam meningkatkan kemampuan negara, termasuk dengan memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan lembaga untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif (Ali, 2011). Di Indonesia sendiri terdapat lembaga yang dibentuk secara khusus untuk memberantas para koruptor yang berada di Indonesia. Nama lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, dimana lembaga ini memiliki banyak fungsi dan tugas, salah satunya adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi (http://www.kpk.go.id/id/tentangkpk/fungsi-dan-tugas). Sejak pertama kali dibentuk hingga saat ini KPK memiliki prestasi yang cemerlang dalam hal memberantas korupsi, tidak sedikit para koruptor yang telah ditangkap dan dijebloskan kedalam lembaga pemasyarakatan. Diantaranya seperti kasus pejabat negara Lutfi Hasan Ishaq yang ditangkap oleh pihak KPK didalam sebuah kamar hotel di daerah Jakarta dengan seorang perempuan yang bernama Maharani yang merupakan salah satu mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta di daerah Jakarta. Lutfi Hasan Ishaq di vonis oleh hakim tipikor (tindak pidana korupsi) selama 18 tahun karena beliau terbukti bersalah pada kasus pencucian uang dan suap sapi impor, saat ini beliau menjalani masa hukumannya di lembaga pemasyarakatan khusus koruptor di Suka Miskin Bandung (http://www.tempo.co/read/news/2014/09/26/063609870/Luthfi-Hasan-IshaaqLebih-Adem-di-Sukamiskin). Selain itu ada pula kasus korupsi yang melibatkan istri dari artis terkenal Adji Masaid yang merupakan anggota komisi X DPR yaitu Angelina Sondakh. Beliau di tangkap oleh pihak KPK atas dugaan kasus korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pemuda dan Olahraga. Angelina di vonis MA selama 12 tahun penjara dan majelis juga mewajibkan Angelina Sondakh mengembalikkan uang suap Rp 12,58 Miliar ditambah 2,350 juta dollar AS yang sudah diterimanya, jika tidak dibayar maka harus diganti dengan kurungan selama 5 tahun, karena terbukti melanggar UU Pemberantasan tindak pidana korupsi Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a pada kasus suap wisma atlet SEA
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
GAMES di Jakabaring, Palembang (http://www.antaranews.com/berita/405991/ ma-hukum-angelina-sondakh-12-tahun-penjara). Di Indonesia yang menjadi pelaku korupsi tidak hanya orang-orang yang bekerja di Pemerintahan Negara Indonesia, melainkan pihak swasta pun berpeluang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan data statistik dari AACH (anti-corruption clearing house) terhitung dari tahun 2004-2015 (per 31 Januari 2015) terdapat sebanyak 78 orang anggota DPR dan DPRD, 22 orang Kepala Lembaga/Kementerian, 13 orang Gubernur, 45 orang Walikota/Bupati dan wakil, dan 109 orang yang bekerja di bidang swasta yang terlibat Tindak Pidana Korupsi (http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindak-pidana-korupsi-berdas arkan-tingkat-jabatan) Setiap orang yang sudah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung pada masing-masing kasus yang dialaminya wajib untuk melanjutkan sisa hidupnya dibalik jeruji besi atau Lembaga Pemasyarakatan. Istilah penjara secara resmi sekarang tidak digunakan lagi karena dianggap kurang manusiawi. Istilah yang kini secara resmi digunakan adalah Lembaga Pemasyarakatan (Korah, 2004). Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Sedangkan narapidana merupakan seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Harsono (1995) mempertegas bahwa narapidana adalah manusia yang tengah menjalani krisis, berada di persimpangan jalan, mengalami disosiasi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
dengan masyarakat dan tengah merencanakan kehidupan baru setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Cooke, dkk (2008) juga menegaskan bahwa narapidana mengalami kehilangan beberapa hal yaitu, (a) kehilangan kendali memilih hidup yang dijalani bahkan melakukan fungsi dasar seperti mencuci dan tidur yang berdampak pada putus asa, frustasi, bingung dan agitasi, (b) kehilangan keluarga dekat seperti anak dan suami, (c) kurangnya stimulasi kegiatan seharihari karena kegiatan di lembaga pemasyarakatan cenderung monoton, (d) kehilangan panutan terutama pada narapidana yang usia muda. Haney (2002) menyatakan bahwa ketika seseorang pertama kali menginjakkan kaki ke dalam tembok penjara, ia dipaksa untuk mampu menyesuaikan diri dengan rutinitas penjara yang kasar dan kaku, hilangnya privasi, dan mengalami suatu kondisi kritis, tidak menyenangkan dan sulit. Oleh karena itu setiap narapidana di wajibkan untuk bisa menyesuaikan diri selama berada di lembaga pemasyarakatan khususnya narapidana wanita dengan kasus korupsi yang dialaminya terlebih lagi seperti yang diketahui oleh masyarakat bahwasanya pelaku tindak pidana korupsi berasal dari kalangan pejabat-pejabat negara yang memiliki gaha hidup materialistis. Dalam LP, kehidupan yang dialami oleh para narapidana wanita tentu saja sangat berbeda dengan situasi sehari-hari di rumah. Perbedaan yang sangat jelas disebabkan oleh hilangnya kepribadian, hilangnya rasa aman, hilangnya kebebasan, hilangnya komunikasi personal, hilangnya kemudahan memperoleh barang kebutuhan dan jasa, hilangnya hubungan heteroseksual, hilangnya harga diri, hilangnya kepercayaan diri, dan hilangnya kreativitas (Harsono, 1995).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
Terlebih lagi mereka tidak akan mendapatkan fasilitas-fasilitas mewah yang biasa mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tentunya hal tersebut akan mempengaruhi keadaan psikologis mereka yang akan berdampak pada proses penyesuaian diri mereka selama berada di lapas. Rushing dalam Wulandhary (2008) hubungan antar sesama narapidana juga tidak semudah yang dikira. Para narapidana baru terikat pada suatu aturan yang sudah berkembang di dalam LP tersebut, jika mereka tidak ingin dimusuhi oleh para narapidana senior. Korah (2004) Selain dapat bermasalah dengan narapidana-narapidana lain (terjadi pertengkaran), mereka juga dapat bermasalah dengan para petugas/pembina LP (dimintanya pungli atau mendapat perlakuan kekerasan dari para petugas/pembina).
Hal-hal tersebut
tentunya akan
mempengaruhi penyesuaian diri narapidana korupsi di LP, terlebih lagi di dalam LP narapidana tidak memiliki barang kebutuhan dan jasa yang paling tidak diperlukan oleh golongan sosial ekonomi paling rendah di masyarakat. Scheneider dalam Setioroso (2013) Penyesuaian diri merupakan proses yang meliputi respon mental dan perilaku yang merupakan usaha individu untuk mengatasi dan menguasai kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, keteganganketegangan, frustasi, dan konflik-konflik agar terdapat keselarasan antara tuntutan dari dalam dirinya dengan tuntutan atau harapan dari lingkungan di tempat ia tinggal. Haber & Runyon dalam Silawaty & Ramdhan (2007) sesungguhnya penyesuaian diri adalah suatu proses yang akan terus berlangsung selama hidup.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
Efektivitas penyesuaian diri dilihat dari bagaimana seseorang mengatasi situasi yang terus berubah. Kualitasnya akan bervariasi dari waktu ke waktu dan dari situasi ke situasi. Sedangkan menurut pandangan psikologi, penyesuaian diri memiliki banyak arti, seperti pemuasan kebutuhan, keterampilan dalam menangani
frustasi dan konflik,
ketenangan pikiran/jiwa,
atau bahkan
pembentukkan simtom-simtom. Itu berarti belajar bagaimana bergaul dengan baik dengan orang lain dan bagaimana menghadapi tuntutan-tuntutan pekerjaan. Dalam hal ini seorang narapidana khususnya narapidana korupsi di tuntut untuk bisa beradaptasi atau dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di lembaga pemasyarakatan agar dapat memenuhi tuntutan sosial selama berada di lembaga pemasyarakatan. Dalam jurnal peran agama terhadap penyesuaian diri narapidana di lembaga pemasyarakatan yang ditulis oleh Silawaty & Ramdhan (2007) menyimpulkan
hasil
penelitian
mereka
yang
dilakukan
di
Lembaga
Pemasyarakatan Wanita bahwa yang menjadi masalah paling dasar bagi subyek adalah kehilangan kebebasan fisik dan kehilangan keluarga. Subyek menyadari dan menyesali atas perbuatan yang sudah mereka lakukan. Dengan menjalani kehidupan di dalam lapas, mereka menyadari bahwa uang bukanlah segalanya. Perasaan yang sering muncul adalah bosan, bete, stres, depresi bahkan ingin bunuh diri bisa muncul jika ada masalah khusus. Menyesuaikan diri dengan kehidupan di dalam lapas melibatkan menerima kenyataan harus hidup di sana. Penerimaan ini bisa terjadi sejak awal, pada tahun kedua, atau bahkan pada tahun
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
ketiga tergantung pada keinginan subyek untuk dapat menyesuaiakan dirinya dengan kehidupan di lapas. Tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian dari Wulandhary (2008) yang juga melakukan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Wanita mengemukakan bahwa masalah paling besar yang dihadapi oleh narapidana wanita adalah kehilangan kebebasan, kontrol dan otonomi serta kehilangan keluarga. Kehilangan keluarga merupakan dampak pemenjaraan yang paling berat yang dirasakan subyek, khususnya untuk subyek yang memiliki anak. Ketiga subyek dalam penelitian tersebut cenderung memakai strategi playing safe, dalam arti bahwa subyek selalu berjaga-jaga atas keamanan dan kenyamanan diri, bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkan dan tidak membuat masalah. Sumber kekuatan yang dalam penyesuaian diri subyek meliputi kondisi fisik yang sehat, dapat melakukan hobi dan minat tertentu, uang, keyakinan atau religius dan harapan akan masa depan. Oleh karena itu, di Lembaga Pemsayarakatan Tangerang yang dijadikan tempat penelitian dari keduanya menunjukkan fenomena permasalahan narapidana antara lain kehilangan kebebasan fisik dan kehilangan keluarga. Kehilangan keluarga merupakan dampak dari pemenjaraan yang paling berat yang dirasakan oleh subyek,
khususnya untuk subyek
yang
memiliki anak sehingga
mempengaruhi proses penyesuaian diri mereka selama berada di LP. Bukan hanya penyesuaian diri mereka terhadap lingkungan barunya melainkan juga penyesuaian diri terhadap masalah yang sedang mereka hadapi saat ini karena seperti yang masyarakat luar ketahui, para pelaku tindak pidana korupsi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
merupakan orang-orang yang memiliki jabatan di tempatnya bekerja dan mereka terbiasa hidup di tempat tinggal yang tentunya sangat nyaman dan kebutuhan finansialnya tercukupi. Sedangkan di dalam LP mereka harus hidup sederhana, berbagi tempat tidur dengan sesama narapidana lainnya, serta kehilangan kebebasan seperti di kehidupan mereka sebelum terlibat kasus korupsi. Penelitian sebelumnya membahas penyesuaian diri narapidana seperti penyesuaian diri narapidana pembunuhan, penyesuaian diri narapidana narkoba, penyesuaian diri narapidana remaja, dll. Namun peneliti belum menemukan adanya penelitian mengenai penyesuaian diri narapidana wanita pada kasus korupsi. Karena menurut peneliti seorang wanita secara psikologis cenderung lebih sensitive dan lebih mudah terguncang ketika mereka memiliki masalah dalam kehidupannya, lain halnya dengan pria yang secara psikologis lebih kuat dibandingkan wanita. Oleh karena itu peneliti tertarik dan akan melakukan penelitian mengenai ”Gambaran Penyesuaian Diri Narapidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Tangerang”. 1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan diatas, maka rumusan masalah penelitian adalah
“Bagaimana Gambaran Penyesuaian Diri Narapidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Tangerang ?” 1.3.
Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
pembacanya. Manfaat yang dimaksud adalah manfaat dari segi praktis dan teoritis. Manfaat Teoritis :
Penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya penelitianpenelitian dalam ilmu Psikologi terutama Psikologi Sosial, mengenai bagaimana penyesuaian diri narapidana korupsi di Lapas Tangerang
Manfaat Praktis :
Untuk memberikan informasi kepada seluruh masyarakat mengenai penyesuaian diri narapidana korupsi di Lapas Tangerang.
Memberikan masukkan bagi pemerintah untuk membuat program atau kegiatan didalam Lapas narapidana wanita yang bersifat tidak monoton.
1.4.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan berisikan intisari dari:
Bab I :
Pendahuluan Berisi uraian singkat tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II :
Kajian Teori Berisikan teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam menjelaskan permasalahan penelitian, terdiri dari teori-teori tentang penyesuaian diri, narapidana, dan korupsi.
Bab III :
Metode Penelitian berisikan pendekatan penelitian yang diterapkan pada penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
diterapkan pada penelitian, alat bantu pengumpulan data, tekniik analisis data, definisi operasional dan karakteristik subjek. Bab IV :
Analisis data nantinya akan berisikan gambaran umum dari ketiga subyek, gambaran intra subyek, gambaran inter subyek serta pembahasan mengenai gambaran penyesuaian diri dari ketiga subyek.
Bab V :
Kesimpulan nantinya akan berisikan diskusi, saran dan kesimpulan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/