BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Dunia perfilman saat ini semakin bervariasi, baik di luar maupun di dalam
negeri semakin banyak jenis film yang diadaptasi dari karya sastra. Hal itu disebabkan karena semakin banyak juga orang yang gemar membaca karya sastra seperti novel. Banyak novel yang memiliki jalan cerita serta alur yang menarik, kemudian sutradara melihat fenomena tersebut sebagai sesuatu yang bisa dikembangkan menjadi film. Penikmat film adaptasi juga memiliki pangsa pasarnya tersendiri, seiring dengan kegemaran masyarakat terhadap novel yang difilmkan. Perubahan dari suatu bentuk novel ke dalam film dinamakan ekranisasi. Menurut Eneste (1991:
60) ekranisasi
merupakan pelayarputihan atau
pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Istilah ekranisasi sendiri muncul dari bahasa Prancis yaitu écran yang berarti “layar”. Kemudian, ekranisasi lahir dan dijadikan teori oleh Pamusuk Eneste sebagai sebuah tanggapan atas fenomena yang sudah banyak terjadi, yaitu novel yang difilmkan (pemfilman karya sastra). Berbagai perubahan yang muncul dari ekranisasi adalah penciutan, penambahan, dan perubahan bervariasi (Eneste, 1991: 61). Berbicara mengenai film yang diadaptasi dari novel Prancis, tentunya tidak hanya novel L’Enfant Noir saja. Pada tahun 1958, Alexandre Astruc
memfilmkan sebuah novel karya Guy de Maupassant berjudul Une Vie. Kemudian novel Le Rouge et Le Noir karya Stendhal juga difilmkan pada tahun 1997 dengan judul yang sama. Ada pula novel Moderato Cantabile karya Marguerite Duras (1958) yang diangkat menjadi film oleh sutradara Peter Brook tahun 1960. Beberapa tahun ke belakang mulai bermunculan kembali film-film Prancis yang diadaptasi dari novel yaitu novel Bel Ami karya Guy de Maupassant diadaptasi menjadi film beberapa kali dan adaptasi yang terbaru muncul pada tahun 2012; novel Les Miserables karya Victor Hugo juga difilmkan pada tahun 2012; novel Madame Bovary karya Gustave Flaubert difilmkan terakhir pada tahun 1991 dan akan dibuat kembali pada tahun 2015; novel karya Alexandre Dumas berjudul Les Trois Mousquetaires berulang kali difilmkan dan terakhir difilmkan pada tahun 2011. Fenomena ekranisasi tidak hanya terdapat pada novel-novel Prancis saja, novel-novel di luar Prancis juga turut dialihwahanakan menjadi film. Novel Anna Karenina dari pengarang Rusia, Leo Tolstoy, tahun 1877 diangkat menjadi film di tahun 2012 dengan aktris utama Keira Knightley. Ada pula novel terkenal Pride and Prejudice karya pengarang terkenal Jane Austen, yang difilmkan pada tahun 1995 dan tahun 2005. Film Harry Potter ke 1-7 difilmkan dari novel karangan J.K Rowling kemudian The Lord of The Rings merupakan adaptasi dari novel karya pengarang legendaris Inggris J.R.R. Tolkien yang disutradarai oleh Peter Jackson. Pada hakikatnya, sebuah teks apapun wujudnya hanyalah merupakan himpunan teks-teks lain yang ada sebelumnya. Kaitan-kaitan antara teks-teks itulah yang
disusun menjadi makna oleh penerimanya, yaitu pembaca novel dan penonton film ( Damono, 2014 : 16). Menurut Chatman (1980: 22-26), novel dan film merupakan bentuk dari teks naratif yang terdiri dari suatu struktur yaitu cerita. Cerita terdiri dari dua hal yaitu peristiwa dan eksistensi. Peristiwa merupakan aksi dari pelaku di dalam cerita secara verbal maupun non-verbal. Eksistensi adalah karakter dan latar dari sebuah cerita. Peristiwa dan eksistensi merupakan bentuk dari sebuah isi cerita. Secara garis besar, film merupakan cara baru masyarakat untuk menikmati karya seni baru sekaligus memanfaatkan kecanggihan teknologi yang semakin berkembang. Film mulanya berkembang pada abad ke-18 ketika revolusi industri di dunia Eropa muncul, saat novel-novel klasik bertebaran menceritakan kisah yang bertemakan kehidupan1. Film yang pada waktu itu muncul sebagai cara berbeda untuk menikmati kisah kehidupan
yang telah ada sebelumnya pada
media novel, cerpen, puisi, dan lain sebagainya. Muhardi dan Hasanuddin WS (1992: 6) mengemukakan bahwa novel merupakan beberapa kesatuan permasalahan yang membentuk rangkaian permasalahan disertai faktor sebab akibat. Rangkaian ini terjadi disebabkan berpuluh-puluh permasalahan. Dengan kata lain, novel memang lebih rumit ketika diadaptasi ke dalam film, pendeskripsian keadaan yang diceritakan di dalam novel yang begitu kompleks dan detail akan berubah menjadi suatu hal yang biasa saja dan mungkin hanya sekelebat jika ditampilkan di dalam film. Namun tergantung 1
Durup, Frantz. 2015. “Le Cinéma n’a-t-il Vraiment Que 120 ans?”. Sumber: http://www.liberation.fr/culture/2015/03/19/de-quand-date-le-premier-film-de-l-histoire-ducinema_1223918 diakses pada Senin, 11 Mei 2015 pukul 13.53 WIB.
pada kemampuan atau komposisi kamera yang menyorot suatu keadaan secara mendetail dengan fokus tertentu. Sastra dan film betul-betul memiliki banyak unsur yang sama. Biarpun keduanya adalah media yang berbeda, keduanya mengkomunikasikan bermacammacam hal dengan cara yang sama. Analisis film yang perseptif dibangun atas unsur-unsur yang dipakai dalam analisis sastra (Boggs, 1992: 24). Perbedaan mendasar pada novel dan film adaptasi sangat lumrah dijumpai karena adanya perbedaan media. Di dalam novel, deskripsi penjelasan mengenai detail setiap keadaan dan bahkan setiap aktivitas yang ada pun dapat diungkapkan melalui novel. Seperti pada kutipan buku Novel Into Film yang ditulis George Bluestone (1957 : 2) “Because novel and film are both organic, in the sense that aesthetic judgements are based on total ensembles which include both formal and thematic conventions, we may expect to find that differences in form and theme are inseparable from differences in media.” "Karena novel dan film keduanya organik, dalam arti bahwa penilaian estetika didasarkan pada jumlah keseluruhan yang mencakup konvensi formal dan tematik, kita berharap menemukan perbedaan tersebut dalam bentuk dan tema tidak dapat dipisahkan dari perbedaan-perbedaan media."
Novel dan film memang berbeda material, namun novel dan film tidak dapat dipisahkan apabila keduanya memiliki satu pengikat yaitu cerita yang serupa atau adaptasi. Novel pada karya Camara Laye yang berjudul L’Enfant Noir merupakan novel autobiografi dan pernah meraih penghargaan dari Prix Charles Veillon. Penghargaan ini merupakan penghargaan internasional di Swiss sejak tahun 1948-1971 yang diberikan khusus untuk penulis novel francophone terbaik.
Novel tersebut merupakan salah satu novel pertama yang ditulis oleh penulis Afrika (Guinea) dan masuk ke dalam jajaran karya terbaik di benua Afrika. Camara Laye menuliskan kisahnya dalam novel autobiografi yang berjudul L’Enfant Noir pada tahun 1953. Novel itu menceritakan kisah hidupnya dimulai dari dia berusia sekitar lima atau enam tahun ketika Laye sering bermainmain di sekitar tempat kerja ayahnya, seorang pandai besi. Ayah Laye juga terkenal sebagai pembuat perhiasan di desa tempat tinggal mereka. Seperti novel autobiografi pada umumnya, novel ini menceritakan tentang kehidupan Camara Laye sebagai penulis sekaligus tokoh utama yang digambarkan sebagai “je” dalam penceritaannya. Laye menceritakan semua pengalamannya ketika dia tinggal di desa kelahirannya dan saat-saat dia pergi liburan ke rumah neneknya di Tindikan, yaitu desa kecil sebelah Barat kota Kouroussa. Kisahnya berlanjut hingga Laye remaja. Berkat kecerdasannya, Laye mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi jurusan teknik mesin di Prancis. Pada tahun 1995, Laurent Chevallier membuat film yang diadaptasi dari novel L’Enfant Noir karya Camara Laye dengan judul yang sama. Film ini berdurasi 92 menit dikerjakan atas kerjasama pemerintah Prancis dengan pemerintah Guinea. Film ini mengisahkan pengalaman hidup seorang anak lakilaki bernama Baba Camara yang tinggal di desa kelahirannya, Kouroussa, hingga ke ibukota, Conakry. Baba Camara belajar tentang kehidupan yang harmonis berkat ayahnya Madou Camara yang seorang montir dan ibunya Kouda Camara. Diceritakan Baba berangkat ke Conakry untuk hidup dengan pamannya. Di
Conakry dia hidup dengan penuh kasih sayang dari paman dan bibinya, namun hidupnya di sana juga memiliki sisi pahit yaitu ketika dia menjadi korban senioritas (bullying) dari teman-teman sekolahnya. Di Conakry, Baba melihat pertengkaran paman dan bibinya ketika pamannya meminta ijin menikah lagi. Akan tetapi, Baba hidup dengan damai bersama paman, bibinya, dan bibi barunya. Dalam cerita di film ini, dikisahkan juga sedikit cerita asmara Baba Camara saat berada di Conakry.
Gb. 12
Gb. 23
Conakry merupakan sebuah kota dekat pantai di sebelah Barat Daya negara Guinea, Afrika Barat. Conakry adalah ibukota Guinea yang terletak di pesisir Samudra Atlantik. Di dalam film L’Enfant Noir, sebagian besar cerita bertempat di Conakry dengan situasi tempat tinggal perkotaan yang cukup modern. 2
Diambil dari http://www.petasatelit.com/petasatelit/category.cgi?category=/ GUINEA&start=0 diakses pada 30 April 2015 pukul 15.06 WIB 3
Conakry [Map/Still]. Britannica Online for Kids. http://kids.britannica.com/elementary/art164172 diakses pada 12 Mei 2015 pukul 18.17 WIB
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, ekranisasi
memang memiliki banyak perbedaan yang melingkupi. Perbedaan tersebut ditinjau dari penambahan, pengurangan, dan variasi-variasi yang terdapat pada film L’Enfant Noir berdasarkan novel dengan judul yang sama. Maka pertanyaan penelitian yang akan diulas adalah: a. Apa saja perbedaan antara novel dan film L’Enfant Noir yang dapat ditemukan melalui analisis kernel dan satelit struktur naratif Chatman? b. Apa saja perbedaan alur cerita, penokohan, setting waktu dan tempat dalam film L’Enfant Noir berdasarkan novelnya?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk memberi informasi dan pengetahuan yang
lebih terhadap fenomena ekranisasi, yaitu proses pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Penelitian ini menggunakan objek material berupa novel L’Enfant Noir dan film dengan judul yang sama. Diharapkan melalui penelitian ini, pembaca dapat menumbuhkan rasa apresiasinya terhadap novel dan film adaptasi, sehingga pemahaman mengenai karya sastra menjadi lebih mendalam juga mengenai transformasi karya sastra terhadap bentuk film. Tujuan penelitian ini secara khusus guna mengungkapkan perubahanperubahan yang terjadi pada novel dan film dengan melihat perbedaan antara novel dan film L’Enfant Noir yang dapat ditemukan melalui analisis kernel dan
satelit menggunakan teori struktur naratif Chatman. Serta penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perbedaan alur cerita, penokohan, setting waktu dan tempat dalam film L’Enfant Noir berdasarkan novelnya.
1.4
Landasan Teori Pengarang pada karya sastra ataupun seorang novelis dapat menuliskan
apa saja yang diinginkannya. Ia bisa mengungkapkan segala segi kehidupan para pelakunya yaitu sikap hidupnya, perasaannya, pikirannya, masa lalunya, dan lainlain. Pendek kata, tak ada peristiwa atau hal yang tidak dapat dilukiskan seorang novelis. Namun tidak demikian dengan film, film mempunyai keterbatasan ruang dan keterbatasan teknis. Jangka putar film biasanya berkisar antara satu setengah hingga dua jam (Eneste, 1991: 23). Sehingga dari sekian banyak adegan pada novel yang dimasukkan ke dalam film, terjadi banyak perubahan baik itu dihilangkan ataupun ditambah adegannya. 1.4.1
Ekranisasi
Dalam bukunya Novel dan Film, Pamusuk Eneste menuturkan pemindahan novel ke layar putih mau tidak mau akan menimbulkan berbagai perubahan. Oleh sebab itu, ekranisasi adalah proses perubahan. Hal tersebut juga berarti terjadi perubahan pada alat-alat yang dipakai, yakni mengubah dunia katakata menjadi dunia gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Apa yang tadinya dilukiskan atau diungkapkan dengan kata-kata, kini harus diterjemahkan ke dunia gambar-gambar (Eneste, 1991: 60). Perubahan yang dapat terjadi pada proses ekranisasi terdiri dari tiga jenis, yaitu:
1. Penciutan Penciutan dalam proses ekranisasi berarti pula apa yang telah dinikmati selama berjam-jam atau berhari-hari harus diubah menjadi apa yang dinikmati atau ditonton selama 90 sampai 120 menit. Tidak semua hal yang diungkapkan dalam novel akan dijumpai di dalam film. Sebagian cerita, alur, tokoh-tokoh, latar ataupun suasana novel tidak akan ditemui dalam film. Sebab pembuat film sudah memiliki terlebih dahulu informasi-informasi yang dianggap penting. Apabila latar novel
dipindahkan secara keseluruhan ke dalam film,
kemungkinan besar film itu akan menjadi panjang sekali. Maka dalam mengekranisasi, latar juga turut mengalami penciutan (Eneste, 1991: 61-64). 2. Penambahan Dalam proses pembuatan film, sutradara dan penulis skenario mempunyai peran yang cukup besar di dalamnya. Untuk film yang ditransformasi dari sebuah novel, banyak penambahan di berbagai aspek. Penambahan yang digunakan dikatakan masih relevan dengan cerita secara keseluruhan dan dapat dikatakan penting dari sudut filmis (Eneste, 1991: 64). 3. Perubahan Bervariasi Ekranisasi memungkinkan adanya variasi-variasi tertentu antara novel dan film, kecuali adanya penciutan dan penambahan. Perubahan terjadi juga karena perbedaan media yang digunakan antara novel dan film,
sehingga waktu putar yang terbatas pada film juga menjadi alasan adanya variasi di dalamnya. Ekranisasi memungkinkan perubahan unsur-unsur cerita, alur penokohan, latar, suasana, gaya, dan tema/amanat novel dalam film. Dalm ekranisasi L’Enfant Noir, perubahan yang terjadi cukup banyak, namun perubahan yang paling menonjol dan paling kentara adalah perubahan tokoh utamanya atau perubahan penokohan yang sudah disebutkan oleh Eneste di atas. 1.4.2
Teori Struktur Naratif Seymour Chatman
Analisis struktur naratif yang dikemukakan oleh Seymour Chatman menjabarkan bahwa film dan novel memiliki alur yang kemudian dibagi atas kernel dan satelitnya masing-masing (Chatman, 1978: 22-25). Novel dan film merupakan suatu bentuk dari teks naratif yang memiliki posisi imbang dan sejajar, sehingga hal itulah yang membuat sistem tersebut dapat dianalisis . Peristiwa naratif tidak hanya sebagai logika penghubung, melainkan juga sebagai logika yang berhierarki (bersusun berdasarkan tingkatan). Beberapa bagian lebih penting dibandingkan dengan bagian yang lain. Pada naratif klasik, hanya peristiwa-peristiwa besar (peristiwa mayor) saja yang menjadi bagian dari rantai penghubung terhadap kemungkinan yang terjadi namun belum dapat diprediksi. Peristiwa kecil (peristiwa minor) memiliki struktur yang berbeda. Hal tersebut dikemukakan Chatman dalam bukunya Story and Discourse : Narrative Structure in Fiction and Film (1978: 53-54), dia juga turut mendefinisikan kernel dan satelit sebagai berikut:
a. Kernel (peristiwa mayor) adalah sebuah situasi naratif yang memunculkan suatu inti arahan yang penting dari peristiwa. Kernel tidak dapat dihapus tanpa menghancurkan logika naratif. b. Satelit (peristiwa minor) adalah suatu peristiwa dalam alur momen naratif yang dapat dihilangkan tanpa mengganggu atau merusak kelogisan plot/alur, meskipun dengan menghilangkan satelit dapat mengurangi keindahan naratif. Fungsi satelit adalah mengisi, mengelaborasi, juga melengkapi kernel. Satelit dapat berkembang seluas-luasnya tanpa batasan tertentu, satelit juga dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Berikut diagram hubungan antara kernel dan satelit seperti yang dipaparkan Chatman (1978: 54).
Kernel adalah bagian berbentuk persegi empat yang berada di atas setiap lingkaran, sedangkan lingkaran merupakan keseluruhan blok naratif. Kernelkernel yang dihubungkan oleh garis vertikal tersebut menandakan penunjuk arah utama dari kelogisan cerita (dengan kata lain, jalan cerita karya tersebut). Kemudian, garis yang membentuk sudut miring ke samping menandakan kemungkinan tetapi tidak mengikuti pola naratif. Selain itu, tanda titik merupakan satelit, titik yang berada pada garis vertikal adalah titik yang mengikuti alur normal cerita. Titik yang berada di luar garis vertikal dan digambarkan dengan tanda anak panah merupakan retrospektif dari awal atau akhir kernel, tergantung pada arah tanda panahnya (Chatman, 1978: 54-55). 1.5
Tinjauan Pustaka Penelitian ekranisasi terhadap film L’Enfant Noir hingga saat ini belum
pernah dilakukan sebagai skripsi. Meskipun demikian hasil penelitian dapat digunakan sebagai pembanding dan perujuk penelitian ini dibuat. Tinjauan pustaka ini digunakan pula untuk melihat sisi-sisi bidang yang pernah ataupun belum pernah digunakan, baik penelitian film, ekranisasi, novel, ataupun objek formal (teori) yang sama dengan penelitian ini. Tahun 2005 skripsi milik Yuyun Fatimah berjudul Tinjauan Estetika Resepsi Adaptasi Karya Sastra Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran larya Eric Emmanuel Schmitt ke dalam Film
meneliti bagaimana ekspresi sastra
tertuang dalam ekspresi sinematografis. Penelitian tersebut menganalisis mengenai proses récit littéraire menjadi récit filmique (adaptasi), serta menganalisis mengenai resepsi muncul dari hasil adaptasi. Berdasarkan
permasalahan yang diungkapkan dalam penelitiannya, Fatimah menggunakan teori sinematografi pada adaptasi sinematografi dan bahasa sinematografi. Teori estetika resepsi Jauss dengan pendekatan hermeneutik Paul Ricoeur juga turut digunakan dalam penelitian ini sebagai teori pendukung. Dalam penelitian ini juga dikemukakan istilah cakrawala harapan yaitu sistem referensi yang terbentuk secara obyektif yang memunculkan interpretasi baru terhadap karya pada masa yang berbeda dengan masa karya tersebut diciptakan. Penelitian tersebut menggunakan metode reka skenario, uraian, dan riset kepustakaaan. Reka skenario adalah menonton filmnya secara berulang untuk mencatat data verbal dan data visual. Uraian adalah mengolah data dengan menguraikan data yang diperoleh. Sedangkan riset kepustakaan adalah cara untuk mencari dan menelaah buku-buku sebagai bahan pustaka yang dipergunakan untuk menulis sumber tertulis. Hasil dari penelitian yang dilakukan Fatimah mengambil kesimpulan bahwa adaptasi novel ke film mempunyai banyak perubahan yaitu media tutur yang digunakan, ekspresi pembentuk cerita, dan struktur cerita. Adaptasi sinematografi karya sastra menawarkan sebuah imajinasi dan interpretasi yang merupakan hasil dari sebuah proses pembacaan yang berbeda imajinasi per orangnya. Penelitian tentang ekranisasi yang lain juga pernah dilakukan oleh Umilia Rokhani (2008) yang berjudul Transformasi Novel ke Bentuk Film: Analisis Ekranisasi terhadap Novel Ca Bau Khan. Penelitian tesis tersebut meneliti bagaimana sebuah novel ditransformasi ke dalam film. Film sebagai transformasi dan novel sebagai hipogramnya. Dalam penelitian ini, Rokhani menggunakan
pendekatan intekstual melalui sistem sastra dan sistem filmnya sebagai interpretasinya. Dalam penelitian tersebut Rokhani menggunakan teori struktur naratif Chatman dan teori intertekstual Kristeva. Penelitian ini menggunakan analisis kernel dan satelit yang telah dijabarkan oleh Chatman, dan analisis tentang kernel dan satelit dalam novel dapat diperoleh data kernel sebanyak 91 dan satelit sebanyak 284, serta di dalam film sebanyak 79 kernel dan 146 satelit. Dari analisis tersebut, peneliti berhasil menemukan persamaan dan perbedaan serta variasi yang terdapat dari proses transformasi novel ke film Ca Bau Khan. Penelitian lain yang berupa skripsi adalah milik Putri Devianita (2013) berjudul Transformasi Novel Moderato Cantabile karya Marguerite Duras ke dalam Film karya Sutradara Peter Brook (Analisis Ekranisasi). Persoalan yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah penambahan, pengurangan, variasi yang muncul serta tanda untuk menyampaikan pesan di dalam film. Teori yang digunakan merupakan teori Bluestone mengenai consept mental image dan visual image. Beberapa teori lain seperti teori Eneste Pamusuk, Nurgiyantoro, teori Boggs mengenai sudut pandang fiksi serta teori Alain Garcia tentang adaptasi juga disertakan. Metode yang digunakan Devianita merupakan metode deskriptif yaitu pengumpulan data berupa pembacaan novel dan menonton film secara berulang-ulang, penguraian deskripsi data, serta pengklarifikasian ke diagram peristiwa untuk memudahkan analisis data. Metode tambahan yang digunakan peneliti ini adalah deskriptif komparatif yaitu metode semiotik untuk membandingkan analisis setiap scene.
Sebuah penelitian lain berupa skripsi dari mahasiswa Bahasa Korea Universitas Gadjah Mada, khususnya bidang ekranisasi berjudul Transformasi Novel ke Bentuk Film: Kajian Ekranisasi terhadap Novel Wandeuk telah dilakukan oleh Seini Intanalia Zalukhu (2013). Persoalan yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah perbedaan apa saja antara novel dan film Wandeuk yang ditemukan melalui analisis kernel dan satelit masing-masing menggunakan teori struktur naratif Chatman. Teori yang digunakan yaitu Teori Struktur Naratif Seymour Chatman yang membahas mengenai isi/cerita dan wacana/ekspresi di dalam novel yang tertuang pada film adaptasinya. Peneliti juga menggunakan prinsip kajian intertekstual milik Napiah guna menelaah perubahan fungsi berupa transformasi, haplologi (penghilangan), ekserp (mempertahankan intisari), modifikasi (penyesuaian), dan ekspansi (perluasan). Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dengan cara menonton berulang dan metode analisis data. Metode analisis data yang digunakan adalah menyusun kernel dan satelit novel dan film menggunakan teori struktur naratif, lalu mencari perbedaan alur, serta menganalisis perbedaan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa ada alur yang tetap dipertahankan, alur yang dibuang, pengembangan, serta perubahan di beberapa bagian. Penelitian tersebut juga mengambil kesimpulan bahwa film tidak benar-benar diadaptasi sepenuhnya sama seperti novel karena perubahan medium penyampaian cerita berdampak pada fungsi-fungsi pembentuknya (terlihat pada penjabaran kedua bentuk struktur naratifnya).
Tahun 2014 penelitian mengenai ekranisasi dari Bima Sakti Wiratama berjudul Aspek-Aspek Perubahan Adegan dalam Film Une Partie de Campagne karya Sutradara Jean Renoir Diangkat dari Cerpen Guy de Maupassant: Analisis Ekranisasi. Fokus penelitian ini tertuju kepada pergeseran, penambahan, dan penciutan adegan dalam film yang dibuat berdasarkan cerpen karangan Guy de Maupassant. Teori yang digunakan adalah teori milik Eneste Pamusuk dan George Bluestone mengenai ekranisasi. Dalam hal ini, peneliti lebih mengarah pada aspek sinematik sebagai aspek terpenting dari proses ekranisasi. Peneliti juga terfokus pada perubahan-perubahan yang terjadi.
1.6
Metode Penelitian Sebelum menentukan metode yang tepat bagi penelitian ini, objek material
dalam penelitian ini adalah novel L’Enfant Noir karya Camara Laye dan film adaptasinya dengan judul yang sama karya sutradara Laurent Chevallier diproduksi tahun 1997. Penelitian ini akan melakukan perbandingan antara novel dan film tersebut. Metode ini dilakukan untuk membandingkan antara bentuk asal dengan bentuk perubahannya. Penambahan, pengurangan atau penciutan maupun variasi-variasi dari perubahan tersebut, maka perubahan-perubahan serta nilai estetiknya akan muncul. Langkah-langkah pada metode tersebut, dijabarkan sebagai berikut: 1.
Penerapan metode ini yaitu studi pustaka pada tahap awal terhadap novel L’Enfant Noir untuk dapat menganalisis kernel dan satelit pada novel tersebut.
2.
Langkah kedua, yaitu melakukan pengamatan terhadap kernel dan satelit dalam film L’Enfant Noir untuk dapat menganalisis alur cerita pada film tersebut.
3.
Ketiga, membandingkan kernel dan satelit pada novel dan film L’Enfant Noir. Dari ketiga tahap metode tersebut, maka diketahui persamaan, perbedaan, maupun variasi-variasi yang terdapat di dalamnya.
1.7
Sistematika Penyajian
Penulis membagi tulisan ini dalam 4 bab, yakni : Bab I. Pendahuluan, meliputi Latar Belakang Permasalahan, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Penyajian. Bab II. Pembahasan kernel dan satelit yang ada pada novel dan film L’Enfant Noir. Bab III. Analisis Bab IV. Kesimpulan Résumé Daftar Pustaka Lampiran