1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah keberadaan orang kulit putih di Amerika Serikat tidak dapat dipisahkan dari sejarah bangsa Eropa tepatnya Inggris Raya pada sekitar tahun 1500-an. Di era tersebut, tejadi konflik keagamaan yang tajam antara kaum puritan dengan penguasa kerajaan dan gereja. Kaum Puritan adalah sekelompok kaum Protestan Inggris di abad 16 dan 17, yang berusaha untuk memurnikan Gereja Inggris dari apa yang mereka dianggap praktek Katolik Roma, mempertahankan bahwa gereja itu hanya sebagian saja direformasi. Kaum puritan yang berkeinginan untuk memurnikan ajaran church of England yang dipandang oleh mereka telah menyimpang dari ajaran Jesus Kristus, dikejar, ditangkap dan dibunuh oleh penguasa kerajaan dan gereja dengan cara dibakar di tiang. Untuk menghindari kejaran dari penguasa kerajaan dan gereja saat itu, sebagian dari mereka melarikan diri dengan menggunakan kapal Mayflower menuju The New World. Singkat cerita mereka mendarat di Massachussets dan mendirikan koloni di tempat tersebut yang dikenal dengan Massachusetts Bay Colony (MacDonald. 1908: 22). Di koloni tersebut, mereka menerapkan ajaran Injil menurut keyakinan dan tafsir mereka. Menurut mereka, kepercayaan dan keyakinan ajaran agama seseorang merupakan masalah perseorangan antara individu dengan tuhannya, Jesus Kristus. Penguasa kerajaan maupun gereja tidak dapat mencampuri urusan tersebut. Jadi menurut mereka seseorang memiliki kemerdekaan dalam menjalankan keyakinan dan kepercayaan mereka tersebut. Koloni bangsa Eropa di tempat tersebut semakin berkembang dengan pesat baik dari jumlah populasi maupun kualitas kehidupan mereka. Kehidupan 1
2
ekonomi mereka di the promised land tampak lebih baik dibandingkan di tanah leluhur mereka di Old England. Mereka membuka ladang luas yang ditanami berbagai macam tanaman seperti anggur, kapas, padi, tebu tembakau dan sayuran, berternak berbagai jenis unggas,
serta membangun sistem
kemasyarakatan sebagai mana yang mereka cita – citakan. Berita kehidupan para kaum bangsa Eropa di the New World yang begitu menyenangkan dan membahagiakan tersebut akhirnya tersebar ke di daratan Eropa. Sejak saat itulah migrasi besar – besaran orang Eropa ke daratan Amerika Serikat berlangsung (Williams, 1944: 10). Implikasi dari kehidupan beragama yang lebih baik adalah munculnya nilai – nilai dan tatanan masyarakat yang lebih tertib, damai, harmonis saling menghargai dan menghormati keyakinan beragama.
Hal
tersebut bermakna bahwa daratan Amerika yang juga disebut The New Land di mata orang Eropa saat itu memiliki daya tarik yang sedemikian kuat sehingga mendorong mereka mendarat di tanah harapan (The Promised Land). Benua Amerika merupakan daratan yang sangat luas dan menyediakan berbagai sumber kehidupan. Tanah yang lapang dan luas serta subur menarik minat bangsa Eropa untuk mendarat di wilayah tersebut dan mengolah tanahnya dengan ditanami berbagai jenis tanaman. Tanaman – tanaman tersebut menjanjikan nilai ekonomi yang besar, seperti kapas, tebu, tembakau, teh, kopi, padi dan lain - lainnya. Selain tanahnya yang subur, di dalam perut bumi Amerika juga terkandung berbagai macam tambang yang memberi keuntungan ekonomi yang sangat besar, misalnya terdapat emas, minyak, dan masih banyak jenis tambang yang lain. Daya tarik itulah yang mendorong bangsa – bangsa Eropa Barat yang terdiri dari Spanyol, Perancis, Portugal, Inggris dan Belanda, melebarkan sayap emperiumnya di benua Amerika.
3
Selain hal tersebut, juga terdapat beberapa faktor yang mendorong mereka melakukan migrasi ke daratan Amerika. Faktor pertama adalah karakter bangsa Eropa yang bersifat imperialistik (Kroes, 1999: 465). Dari penelusuran sejarah diketahui bahwa bangsa Eropa atas nama kerajaannya,
melebarkan
sayap kekuasaan di berbagai belahan dunia, misalnya di Timur Tengah, India, Asia, Amerika dan masih banyak lagi wilayah lainnya di bumi ini. Dengan kemajuan dan kekuatan teknologi transportasi laut, navigasi dan persenjataan, mereka dengan percaya diri mengarungi samudra luas untuk meluaskan sayap kekuasannya. Dalam memperluas imperium kekuasaan dan perdagangannya, mereka menempuh berbagai cara, baik secara damai, yang berarti kedatangan bangsa Eropa diterima dengan baik dan bersahabat dalam perdagangan tanpa menimbulkan konflik dengan penduduk setempat, atau dengan cara kekerasan, yaitu perang, artinya bangsa Eropa menaklukkan penduduk suatu wilayah dengan angkat senjata. Faktor kedua adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi bermakna bahwa bangsa Eropa yang memiliki sifat imperialistik tersebut selalu berupaya mencari sumber – sumber ekonomi bagi kemakmuran dan kejayaan bangsanya. Mereka selalu mencari sumber – sumber yang dapat menopang kehidupan masyarakat Eropa agar dapat jaya dalam persaingan usaha perdagangan dunia. Faktor ketiga adalah faktor keingintahuan (curiosity) akan wilayah baru yang belum mereka ketahui. Rasa keingintahuan ini sangat besar sekali dorongannya sehingga hal tersebut mendorong bangsa Eropa selalu memuaskan rasa keingintahuan tersebut dengan berpetualang di berbagai belahan dunia ini termasuk Amerika. Faktor – faktor tersebutlah yang menggerakkan bangsa Eropa yang imperialistik dan selalu mencari sumber –
4
sumber kehidupan yang dapat menggerakkan roda ekonomi mereka yang semakin menggurita (Williams, 1944: 5). Untuk mengolah dan mengeksplorasi potensi – potensi ekonomi tersebut, bangsa Eropa khususnya Kerajaan Inggris memerlukan tenaga kerja manusia yang banyak. Pada mulanya orang kulit putih menggunakan tenaga orang Amerika asli, yaitu suku Indian, sebagai budak mereka. Selain itu, mereka juga mempekerjakan
orang
kulit
putih
dari
status
ekonomi
rendah
(Williams,1944:10). Pada perkembangannya, para pekerja kulit putih dan Indian dipandang oleh majikan kulit putih sebagai pekerja yang tidak disiplin dan hasil pekerjaannya tidak memuaskan para majikan. Perilaku pekerja kulit putih yang demikian tersebut disebabkan oleh adanya kedekatan hubungan ras diantara mereka, yaitu sesama orang kulit putih sehingga mereka lebih berani menentang permintaan majikan mereka. Sementara bagi orang Indian, menurut Williams (1944: 9), perilaku mereka yang merugikan majikan kulit putih dapat digambarkan sebagai berikut. ” In the New England colonies Indian slavery was unprofitable, for slavery of any kind was unprofitable because it was unsuited to the diversified agriculture of these colonies. In addition the Indian slave was inefficient. The Spaniards discovered that one Negro was worth four Indians. A prominent official in Hispaniola insisted in 1518 that "permission be given to bring Negroes, a race robust for labor, instead of natives, so weak that they can only be employed in tasks requiring little endurance, such as taking care of maize fields or farms." The future staples of the New World, sugar and cotton, required strength which the Indian lacked, and demanded the robust "cotton nigger" as sugar's need of strong mules produced in Louisiana the epithet "sugar mules." According to Lauber, "When compared with sums paid for Negroes at the same time and place the prices of Indian slaves are found to have been considerably lower." The Indian reservoir, too, was limited, the African inexhaustible. Negroes therefore were stolen in Africa to work the lands stolen from the Indians in America (Williams, 1944:9).”
5
(Koloni – koloni di New England, perbudakan orang Indian tidak menguntugkan karena hal tersebut tidak cocok dengan pertanian yang beraneka ragam jenis tanamannya. Selain itu, para budak Indian juga tidak efisien. Orang – orang Spanyol mengetahui bahwa seorang budak Negro berharga 4 budak Indian. Seorang pejabat terkenal di Hispanioal menekankan di tahun 1518 bahwa ijin untuk menggunakan orang Negro yang kuat menggantikan budak Indian yang sedemikian lemahnya sehingga mereka hanya cocok mengerjakan pekerjaan yang menuntut kekuatan tubuh yang kecil, seperti pekerjaan mengawasi ladang pertanian. Kebutuhan pokok ke depan di New World, seperti gula, kapas, menuntut kekuatan fisik yang tidak dimiliki oleh budak Indian, dan membutukan budak kapas orang Negro sebagaimana kebutuhan gula yang dihasilkan dari tenaga kimar yang diproduksi di Louisiana yang dijuluki “kimar gula”. Menurut Lauber, “Jika dibandingkan dengan jumlah uang yang dibayarkan bagi budak Negro di waktu dan tempat yang sama, harga budak Indian ternyata lebih rendah.” Jumlah budak Indian sangat terbatas sedangkan budak Afrika tidak terbatas. Oleh karenanya, orang – orang Negro diambil di Afrika untuk dipekerjakan di tanah yang diambil dari orang Indian di Amerika (Williams, 1944:9).”) Dari deskripsi di atas, diperoleh pemahaman bahwa budak orang Negro secara fisik lebih besar dan kuat tenaganya serta harga tenaga seorang budak Negro jauh lebih murah dibandingkan tenaga budak orang Indian. Disamping itu mereka dapat diperlakukan secara keras dalam disiplin kerja. Hal tersebut dilakukan oleh majikan kulit putih untuk mengendalikan stabilitas perkebunan yang mereka kuasai (Franklin, 1994: 32). Stabilitas perkebunan sangat diperlukan oleh majikan kulit putih guna meningkatkan produktifitas hasil perkebunan yang ujung – ujungnya akan meningkatkan keuntungan ekonomi bagi sang majikan. Berbagai cara telah dilakukan oleh majikan kulit putih untuk mengendalikan perilaku budak Negro di perkebunan. Pertama adalah pemberian stigma budak. Orang kulit putih memberi label para budak sebagai bukan manusia (inhuman) tetapi binatang seperti halnya kerbau. Stigma semacam itu mempengaruhi pola pikir para budak dan mereka merasakan bahwa martabat
6
mereka lebih rendah dibandingkan ras orang kulit putih (white supremacy). Akibatnya para budak merasa rendah diri dan merasa tersubordinasi oleh orang kulit putih. Dengan stigma tersebut, hal itu membuat orang kulit putih memperlakukan mereka secara semena – mena dan hal itu membuat para budak semakin merasa inferior. Kedua adalah dengan membuat berbagai regulasi atau peraturan. Dengan peraturan yang dibuat oleh orang kulit putih, para budak dituntut mematuhi peraturan yang berlaku di perkebunan. Para budak diharuskan menurut, patuh dan tunduk pada orang kulit putih sehingga dengan demikian mereka mudah dikendalikan. Peraturan yang dibuat oleh penguasa kulit putih disebut slave codes. Aturan ini berisi ketentuan – ketentuan yang harus ditaati dan dipatuhi tidak hanya oleh para budak tetapi juga oleh setiap pemilik budak. Sebagai contoh, South Carolina memberlakukan slave codes di Negara bagian tersebut sejak 1712, dengan ketentuan peraturan sebagai berikut: 1. Slaves were forbidden to leave the owner's property unless they obtained permission or were accompanied by a white person. 2. Any slave attempting to run away and leave the colony received the death penalty. 3. Any slave who evaded capture for 20 days or more was to be publicly whipped for the first offense; branded with the letter R on the right cheek for the second offense; lose one ear if absent for 30 days for the third offense; and castrated for the fourth offense. 4. Owners refusing to abide by the slave code were fined and forfeited ownership of their slaves. 5. Slave homes were searched every two weeks for weapons or stolen goods. Punishment for violations included loss of ears, branding, noseslitting and death. 6. No slave was allowed to work for pay, or to plant corn, peas or rice; or to keep hogs, cattle, or horses; or to own or operate a boat; to buy or sell or wear clothes finer than "Negro cloth. " Peraturan pada butir pertama mengatur cara para budak meninggalkan perkebunan seandainya
mereka
punya
keperluan yang mereka harus
7
meninggalkan perkebunan. Bagi para budak, peraturan tersebut sangat mencengkeram kebebasan mereka. Untuk mendapatkan ijin dari pemilik perkebunan sangat tidak mudah. Seandainya memperoleh ijin, mereka harus didampingi dan diawasi oleh orang kulit putih. Jadi situasi pertemuan terasa tidak nyaman dan bebas. Sedangkan peraturan kedua merupakan kultur hegemonik yang keras dalam memberi hukuman pada para budak yang melarikan diri. Para budak yang tertangkap ketika melarikan diri dari perkebunan dihukum mati. Menjalani kehidupan di dalam suatu perkebunan sangat berat dan penuh tekanan dari si pemilik kebun. Oleh karenanya sering terjadi usaha – usaha dari para budak untuk melarikan diri. Para budak tidak tahan tinggal didalamnya. Mereka merasa teralinasi dan terjebak dalam rutinitas kerja dan tekanan. Mereka merasa terkekang kebebasannya. Mereka ingin bebas dan lepas dari belenggu perbudakan. Untuk mengatisipasi hal tersebut, maka otoritas Negara bagian membuat peraturan tersebut. Peraturan yang ketiga merupakan usaha dari otoritas Negara bagian ini untuk mengendalikan para budak agar tidak meninggalkan perkebunan majikannya. Dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa budak yang tertangkap setelah melarikan diri selama 20 hari, akan dicambuk di depan umum. Hal itu dianggap sebagai pelanggaran pertama. Kalau melakukan pelanggaran kedua, mereka akan dihukum dengan dicap besi panas berbentuk huruf R di pipi kanan mereka. Pelanggaran ketiga dijatuhkan jika para budak tidak absen tidak bekerja selama 30 hari, maka satu daun telinga mereka dipotong. Untuk pelanggaran keempat, para budak dihukum kebiri atau dipotong alat kelamin mereka.
8
Pada peratura keempat dari slave codes yang berlaku di South Carolina menyatakan jika para pemilik perkebunan menolak mematuhi slave codes yang telah diberlakukan, mereka akan didenda dan para majikan kulit putih akan kehilangan hak kepemilikan budak. Dari aturan ini didapat pemahaman bahwa pemilik perkebunanpun sebenarnya juga mengalami tekanan. Jadi pemilik perkebunan sesama orang kulit putihpun mereka saling menghegemoni dengan maksud agar mereka sejalan dengan visi dan misi mereka sebagai kapitalis global. Aturan kelima mengatur cara mengendalikan budak dari kepemilikan senjata yang dapat dipergunakan untuk melawan majikan atau pemilik perkebunan. Para pengawas perkebunan setiap dua minggu sekali melakukan operasi penggeledahan di dalam rumah para budak untuk mencari senjata dan juga mencari barang – barang curian yang dilakukan oleh para budak. Kalau mereka terbukti menyimpan dan melakukan pencurian barang, mereka akan menerima hukuman berupa potong telinga, potong hidung hingga hukuman mati. Hidup di bawah tekanan semacam itu, tentu membuat para budak tidak nyaman dan terampas kehidupan privasi mereka. Sementara itu peraturan ketujuh menyatakan bahwa para budak tidak diperbolehkan bekerja untuk dibayar atau memperoleh upah, mereka tidak diperbolehkan menanam jagug, kacang – kacangan, atau padi untuk mereka. Para budak juga dilarang untuk beternak babi, kerbau atau kuda untuk kepentingan mereka. Selain itu, mereka juga tidak diperbolehkan memiliki atau mengemudikan kapal. Para budak juga tidak boleh membeli atau menjual dan memakai baju yang lebih bagus dari baju para budak yang biasa dipakai.
9
Dengan slave codes yang sekeras itu, sangat sulit bagi para budak meloloskan diri mereka dari sistim perbudakan yang dikelola oleh masyarakat kulit putih. Terlalu banyak sekali tekanan, ancaman dan hukuman yang mereka hadapi seandainya mereka mencoba kabur dari perkebunan majikan mereka. Jadi mustahil bagi para budak untuk memperoleh kemerdekaannya. Banyak usaha yang dilakukan orang Afro-Amerika untuk mendapatkan kemerdekaannya. Dari catatan sejarah menunjukkan bahwa antara tahun 1720 hingga 1740, di South Carolina terjadi pemberontakan budak berkali – kali. Salah satu diantaranya adalah Pemberontakan Stono (the Stono Uprising) pada tahun 1739. Pemberontakan ini mengakibatkan kepanikan yang luar biasa di kalangan orang kulit putih di South Carolina. Pemberontakan ini dipimpin oleh Tommy. Dia bersama – sama dengan sekitar 20 Black brothers dari Anggola mula – mula berbaris sambil menabuh drums berusaha untuk memprovokasi para budak lain untuk bergabung dengan mereka. Akhirnya mereka bergabung menjadi kekuatan besar menyerang majikan kulit putih mereka. Akibat pemberontakan tersebut, cukup banyak orang kulit putih yang meninggal. Pemberontakan ini juga meninggalkan puing – puing bangunan yang rusak terbakar akibat dari kerusuhan ini. Pemberontakan ini gagal meraih apa yang mereka cita-citakan, yaitu kemerdekaan. Pemberontakan lain dilakukan oleh seorang budak dari Virginia bernama Gabriel Prosser, pada sekitar tahun 1800-an. Dia memimpin sekitar 2000 budak untuk melakukan pemberontakan terhadap orang kulit putih (Stovall, 1976:52). Dia adalah seorang budak lelaki yang relijius. Pemberontakan ini direncanakan selain menyerang para orang kulit putih, mereka akan menduduki dan menguasai kota Richmond di Virginia. Namun rencana yang telah mereka susun matang
10
gagal berantakan karena pertama sebelum mereka mencapai kota Richmond terjadi hujan badai yang hebat yang mengakibatkan banjir bandang yang menggenangi jalan serta merusak jembatan, sehingga menghambat gerak maju mereka menuju ke kota tersebut. Alasan kedua, ada mata – mata di antara orang hitam yang memberitahu rencana pemebrontakan itu. “The “Toms” put the mouth on them.” “Meaning there were some poor Black brothers who thought they could make their burdons a little lighter if they told the white people what the Black were attempting to do. It is said that two Black brothers informed the whites of the Blacks’ planned attack on Richmond, Virginia. Therefore, as a result, the governor called out more than six thousand troops and many arrests were made. For their part in the planned attack, thirty-five Blacks were hanged, including the leader, Gabriel Prosser (Stovall, 1976:42).” (“The “Toms” put the mouth on them.” Yang berarti bahwa ada beberapa Black brother yang melarat yang berpikir bahwa mereka dapat lebih meringankan beban hidupnya jika memberitahu orang kulit putih apa yang sedang diusahakan orang hitam. Diceritakan bahwa 2 orang Black barothers memberikan informasi pada orang kulit putih tentang rencana penyerangan terencana oleh the Black terhadap kota Richmond, Virginia. Oleh karenanya, sebagai akibat dari informasi tersebut, gubernur menyiapkan lebih dari 6000 pasukan dan banyak penahanan terhadap pemberontak yang dilakukan. Atas keikutsertaan mereka dalam penyerangan yang terencana tersebut, 35 orang hitam digantung, termasuk pemimpinnya, Gabriel Prosser (Stovall, 1976:42).”) Dari peristiwa tersebut, didapat petunjuk bahwa sebenarnya di kalangan orang hitam sudah terdapat kesadaran untuk bekerjasama, berkoordinasi, mengatur gerakan melalui kepemimpinan yang baik. Namun usaha tersebut gagal. Kegagalan tersebut disebabkan oleh selain cuaca dan logistik yang kurang mendukung, juga disebabkan oleh pengkhianatan di antara orang hitam sendiri demi kepentingan dan keselamatan diri sendiri. Gerakan – gerakan pemberontakan orang hitam ternyata juga diatur melalui kegiatan dan pertemuan keagamaan orang hitam. Mereka mengadakan
11
pertemuan keagamaan dan dari situlah mereka terilhami oleh ajaran dalam kitab sucinya The Bible yang menceritakan pengalaman bangsa Israel memperoleh tanah kemerdekaannya. Dengan melalui kegiatan keagamaan ini, Gabriel Prosser dan
saudaranya,
Martin,
memompakan
semangat
kaum
hitam untuk
mendapatkan kemerdekaannya (Stovall, 1976:54). Namun usaha mereka gagal dan akibat dari kegagalan tersebut, Gabriel Prosser bersama 34 budak lainnya digantung hingga menemui ajalnya. Pemberontakan orang hitam tidak surut sampai pada kegagalan Gabriel Prosser. Justru Gabriel Prosser menjadi pendorong semangat para budak untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Setelah berselang sekitar 24 tahun dari perjuangan Prosser, muncullah tokoh pejuang hitam bernama Denmark Vesey. Dia seorang pendeta gereja Methodist di Telemanque wilayah di South Carolina. Perencanaan gerakan sama yaitu direncanakan dan dilakukan di gereja tempat peribadatan mereka. Di gereja, mereka tidak sekedar menghabiskan waktunya untuk bernyanyi – nyanyi dan berdoa, melainkan juga untuk merencanakan pemberontakan. Jadi gereja tidak saja berfungsi sebagai tempat peribadatan, melainkan juga sebagai tempat untuk menyusun dan merencanakan siasat pemberontakan.
Singkatnya
selama
masa
perbudakan,
orang
hitam
memanfaatkan pertemuan keagamaan mereka sebagai tempat untuk menutupi kegiatan sebenarnya (Stovall, 1976:56). Vesey adalah seorang mantan budak yang mampu membaca dan menulis. Pada umumnya budak hitam tidak dapat membaca dan menulis. Dia mengetahui dunia usaha dan perdagangan karena dia selalu menjadi mitra usaha majikannya. Dia membeli kemerdekaannya dari majikannya dengan membeli dirinya sendiri sebesar $600 saat itu (Stovall, 1976:56). Selepas dari itu, dia
12
mengembangkan usahanya dan berhasil. Cita–citanya adalah tidak hanya membebaskan
dirinya
sendiri
dari
belenggu
perbudakan,
tetapi
dia
menginginkan semua budak dimerdekakan. Selama sekitar dua tahun Vesey merencanakan gerakan melalui pertemuan keagamaan. Bagi orang hitam pertemuan keagamaan itulah merupakan wadah mereka yang strategis untuk menyusun kekuatan. Saat itu orang putih tidak menaruh curiga dengan pertemuan keagamaan mereka karena dalam pertemuan tersebut jumlah mereka kecil dan sangat yakin kegiatan tersebut tidak disalahgunakan. Mereka juga senang bahwa mereka memiliki rasa keagamaan yang tinggi. Namun hal itu berbeda di dalam benak para budak. Mereka memanfaatkan pertemuan keagamaan mereka untuk merencanakan pemberontakan. Disamping itu, Vesey bersama para budak lain saat itu mengumpulkan uang untuk membeli senjata. Vesey juga mempekerjakan pandai besi untuk membuat dan mensuplai daggers and bayonets. Mereka juga merekrut para mulatto sebagai pasukan gerakan mereka (Stovall, 1976:56). Namun sekali lagi, perencanaan yang sudah disusun selama kurang lebih 2 tahun gagal berantakan. Beberapa hari menjelang hari waktu pemberontakan, seorang budak yang dipercaya Vesey memberitahukan rencana pemebrontakan itu pada majikannya. Tentu saja ini merupakan bencana bagi rencana yang telah disiapkan selama 2 tahun itu. Akhirnya Denmark Vesey bersama 34 budak lainnya yang dianggap sebagai pemimpin ditangkap dan digantung hingga mati (Stovall, 1976:42).” (Stovall, 1976:57). Dari fakta - fakta sejarah tersebut dapat diketahui bahwa usaha masyarakat Afro-Amerika menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih dalam usaha untuk mendapatkan kemerdekaanya gagal di tengah jalan. Kegagalan
13
tersebut disebabkan berbagai hal, antara lain oleh cuaca, logistik yang kurang mendukung, pengkhianatan dari dalam sendiri dan kuatnya institusi perbudakan yang dikelola oleh orang kulit putih. Jadi realita sejarah bangsa Amerika Serikat menunjukkan bahwa masyarakat Afro-Amerika tidak dapat melumpuhkan kekuatan hegemoni masyarakat kulit putih yang terlembaga dalam institusi perbudakan. Hal sebaliknya justru terjadi dalam realita di beberapa novel yang ditulis oleh penulis Afro-Amerika. Hal tersebut menunjukkan bahwa realita dalam novel (das sein), masyarakat Afro-Amerika dapat menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih. Seharusnya (das solen) dalam novel menggambarkan bahwa
masyarakat
Afro-Amerika
tidak
dapat
menaklukkan
hegemoni
masyarakat kulit putih. Fenomena menarik tersebut terdapat dalam novel-novel Amerika, seperti Uncle Remus karya Joel Chandler Harris, An Ante-Bellum Sermon
karya Paul Laurence Dunbar, A Raisin in the Sun karya Lorraine
Hansberry , In Love and Trouble: Stories of Black Women karya Alice Walker dan Mules and Men karya Zora Neale Hurston. Bagian sejarah dan budaya bangsa Amerika Serikat inilah yang menjadi latar dan sekaligus dasar analisis kajian disertasi ini.
1.2 Masalah, Rumusan Masalah, Permasalahan Kajian disertasi ini menggunakan objek material novel The Conjure Woman karya Chesnutt, sedangkan masalah penelitian (objek formal) yang diteliti adalah takhayul masyarakat Afro-Amerika menaklukkan kuasa masyarakat kulit putih yang selanjutkan dijabarkan ke dalam rumusan masalah penelitian sebagai berikut.
14
1.2.1 Masyarakat Afro-Amerika Masyarakat Afro-Amerika banyak bermukim di Southern states. Masyarakat Afro-Amerika merupakan keturunan dari para budak yang berasal dari Afrika. Mereka dibawa ke wilayah Southern states oleh orang kulit putih Eropa, khususnya Kerajaan Inggris, untuk dijadikan budak dalam perkebunan yang mereka kuasai. Mereka dipaksa bekerja tanpa upah dan diperlakukan seperti binatang dan dianggap sebagai harta milik majikan perkebunan. Untuk mengendalikan perilaku mereka selama menjadi budak, otoritas Southern states memberlakukan peraturan yang dinamakan Slave Codes. Aturan tersebut mengatur para budak tentag hal –hal yang harus mereka lakukan dan yang tidak boleh mereka lakukan dalam menjalankan pekerjaan mereka diperkebunan. Kecuali hal tersebut, Slave Codes ini juga mengatur hak – hak yang dimiliki oleh para majikan kulit putih terhadap para budaknya. 1.2.2 Menaklukkan Definisi kata menaklukkan bervariasi. Dalam kamus Merriam-Webster dinyatakan menaklukkan bermakna to take control of (a country, city, etc.) through the use of force, to defeat (someone or something) through the use of force, to gain control of (a problem or difficulty) through great effort. (http://www.merriam-webster.com/dictionary/conquer). Pada kamus Cambridge dictionary kata manaklukkan diartikan to take control or possession of foreign land, or a group of people, by force, to deal with or successfully fight against a problem
or
an
unreasonable
fear.
(http://dictionary.cambridge.org/
dictionary/british/conquer). Menurut Collins dictionary dimaknai sebagai to overcome (an enemy, army, etc); defeat, to overcome (an obstacle, feeling, desire, etc); surmount, (transitive) to gain possession or control of by or as if by
15
force or war; win, (transitive) to gain the love, sympathy, etc, of (someone) by seduction
or
force
of
personality.
(http://www.collinsdictionary.com/
dictionary/english/conquer). Dengan mempertimbangkan makna menaklukkan dari ketiga kamus tersebut, dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa kata menaklukkan berarti mengalahkan seseorang atau mengalahkan sesuatu dengan menggunakan sebuah kekuatan. Kaitannya dengan penelitian ini, kata menaklukkan bermakna bahwa masyarakat Afro-Amerika mengalahkan masyarakat kulit putih dengan menggunakan kekuatan takhayul. 1.2.3 Masyarakat Kulit Putih Menurut sensus bangsa Anerika Serikat tahun 2000 dinyatakan bahwa The 2000 U.S. census states that racial categories generally reflect a social definition of race recognized in this country. They do not conform to any biological, anthropological or genetic criteria. It defines "white people" as "people having origins in any of the original peoples of Europe, the Middle East, or North Africa. (https://en.wikipedia.org/wiki/Definitions_of_whiteness_in_the_United _States) (Sensus 2000 AS menyatakan bahwa kategori rasial umumnya mencerminkan definisi sosial ras diakui di negara ini. Mereka tidak memenuhi kriteria biologis, antropologi atau genetik. Mendefinisikan "orang kulit putih" sebagai "orang yang memiliki asal-usul di salah satu bangsa asli Eropa, Timur Tengah, atau Afrika Utara) Dengan memperhatikan sensus tersebut dapat didefinisikan bahwa yang dimaksud dengan orang kulit putih adalah orang memiliki asal usul di salah satu bangsa asli Eropa, Timur Tengah atau Afrika Utara. Jadi yang dimaksud orang kulit putih Amerika Serikat adalah masyarakat kulit putih yang memiliki asal ususl dari Eropa.
16
1.2.4 Takhayul Takhayul pada masyarakat Afro-Amerika sangat erat kaitannya dengan sistem kepercayaan nenek moyang mereka. Menurut Franklin (1993:30) agama masyarakat Afrika terdahulu digambarkan sebagai pemujaan terhadap arwah nenek moyang (ancestor worship). Dia menjelaskan: ”The African believed that the spirit of their forefathers had unlimited power over their lives. Not only were the spirit of deceased members of the family worshipped, but any similar high regard was held for the spirit that dwelt in the family land, the trees, rocks in the community of the kinship group, and the sky above the community.” (“Orang-orang Afrika percaya bahwa arwah nenek moyangnya memiliki kekuatan yang sangat besar terhadap kehidupan mereka. Tidak hanya arwah anggota keluarga yang telah meninggal yang dipuja, tetapi juga penghormatan agung dilakukan untuk arwah nenek moyangnya yang masih berdiam di tanah pekarangan keluarga, di pohon-pohon, batu-batu disekitar anggota keluarga, dan di udara di atas komunitas keluarga.”) Dari deskripsi tersebut di atas, sangat jelas sekali bagaimana orang AfroAmerika memuja arwah nenek moyang mereka yang diyakini memiliki kekuatan yang besar atas mereka dan demikian pula jagad alam ini juga diyakini oleh mereka memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan mereka di dunia. Jadi mereka memuja matahari, batu besar, pohon besar udara karena mereka menyakini arwah nenek moyang mereka sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka.
Masyarakat Afro-Amerika di wilayah Southen states tersebut masih
meyakini dan mempraktekkan tradisi-tradisi leluhur mereka yang mengandung unsur-unsur takhayul. Unsur – unsur takhayul mencakup hal – hal yang tidak kasat mata dan irrasional. 1.2.5 Perbudakan Perbudakan merupakan sebuah sistem yang mengatur perilaku para budak dalam menjalankan tugas mereka serta mengatur majikan atas
17
kepemilikan para budak mereka. Hal tersebut dapat dilihat dari cara mereka memperlakukan orang Afro-Amerika sebagai budak yang bekerja di perkebunan milik orang kulit putih dan masyarakat kulit putih dalam berinteraksi dengan masyarakat Afro-Amerika dalam kehidupan masyarakat Selatan melabeli para budak sebagai binatang seperti kerbau (cattle) bukan manusia (inhuman). Dengan stigma semacam itu tehadap masyarakat Afro-Amerika, hal tersebut menjadikan orang kulit putih merasa derajatnya lebih tinggi di atas mereka. Sehingga dengan demikian, masyarakat kulit putih merasa memiliki supremasi kekuasaan yang lebih tingggi dan hal itu menjadikan masyarakat Afro-Amerika merasa inferior atau rendah diri dengan stigma tersebut. Budak adalah binatang bukan manusia sementara itu orang kulit putih martabatnya lebih tinggi dibandingkan budak mereka. Dengan stigma semacam itu, orang kulit putih merasa lebih leluasa memperlakukan dan mengontrol perilaku mereka. Ditambahkan lagi, karena mereka menganggap budak bukan manusia melainkan binatang, maka budak dipandang juga sebagai property atau harta beda yang dapat diperjualbelikan. 1.2.6 Southern States Southern states merupakan negara bagian Amerika Serikat yang terletak di wilayah Selatan Amerika Serikat. Southern states terdiri dari Delaware, Georgia, Meryland, South Carolina, Virginia, North Carolina, Kentucky, Tennessee, Lousiana, Mississippi, Alabama, Missouri, Arkansas, Florida dan Texas. Budaya Southern states memiliki corak dan ragam yang berbeda dari wilayah - wilayah lain di Amerika Serikat. Perbedaan budaya Southern dengan wilayah lain dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya iklim di wilayah tersebut, sumber daya alam dan manusia, kepadatan populasi, potensi ada
18
tidaknya ancaman dari luar dan juga faktor geografi wilayah Southern. Beberapa faktor tersebut membuat masyarakat di wilayah Southern menciptakan budaya mereka sendiri yang berbeda dari wilayah – wilayah lain di Amerika Serikat. Budaya yang berkembang di Southern states beraneka ragam bentuknya. Misalnya struktur masyarakat yang terbentuk di daerah ini masyarakat perkebunan (plantation). Dalam perkebunan yang menggunakan sistem perbudakan terdapat kelas – kelas dalam masyarakat itu, yaitu kelompok masyarakat kulit putih sebagai pemilik perkebunan dan kelompok masyarakat Afro-Amerika sebagai budak di perkebunan tersebut. Sistem perbudakan di perkebunan melahirkan tatanan masyarakat dan nilai – nilai dan norma – norma sosial yang khas. Hubungan majikan dan pelayan sangat lekat dalam kehidupan mereka sehari – hari. Berdasarkan masalah dan rumusan masalah yang telah ditetapkan tersebut selanjutnya dirumuskan permasalahan kajian yang mencakup hal – hal sebagai berikut. 1.2.7 Latarbelakang social, budaya dan sejarah masyarakat Afro-Amerika pada pertengahan abad XIX. Hal ini mengandung beberapa aspek permasalahan seperti sejarah, sistem
kepercayaan, serta aspek sosial
budaya lainnya. 1.2.8 Praktek budaya hegemoni masyarakat kulit putih terhadap masyarakat Afro-Amerika di Southern States. 1.2.9 Takhayul masyarakat Afro-Amerika sebagai alat untuk menaklukkan kuasa masyarakat kulit putih dalam novel The Conjure Woman.
19
1.3 Objek Penelitian Kajian disertasi ini menggunakan objek material novel The Conjure Woman karya Chesnutt, sedangkan objek formal (masalah penelitian) yang diteliti adalah takhayul masyarakat Afro-Amerika menaklukkan
kuasa
masyarakat kulit putih.
1.4 Faedah Penelitian Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk studi tentang kaum AfroAmerika (Black Study), karena dari kesimpulan akhir penelitian diperkirakan dapat menunjukkan karakteristik karya sastra orang Afro-Amerika (American Black Literature). Analisis isi dari karya sastra orang Afro-Amerika yang menyoroti khususnya usaha-usaha mereka melepaskan diri dari hegemoni orang kulit putih serta meningkatkan harkat dan martabatnya dapat memberi informasi terhadap kritik sastra Afro-Amerika atas penstereotipan karakter mereka dan representasi simbol dan mitos yang berkembang mulai tahun 1850 sampai dengan 1870.
1.5 Tujuan Penelitian Penelitian terhadap kaum Afro-Amerika dalam novel The Conjure Woman karya Chesnutt ini, dapat memberi dua tujuan pokok, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. 1.5.1 Tujuan Teoretis Secara teoretis, penelitian ini bertujuan untuk mengakumulasi ilmu sastra dalam pengkajian Amerika dengan mengaplikasikan teori sastra hegemoni dan
20
sosiologi sastra untuk menganalisis takhayul masyarakat Afro-Amerika menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih di Southern States tahun 1850 hingga 1870. Dengan demikian tujuan teoretis dapat diterapkan untuk menjawab permasalahan yang sudah dikemukakan. 1.5.2 Tujuan Praktis Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa sastra Afro-Amerika dapat memberikan sumbangan pengalaman yang akan dipakai untuk mengembangkan ilmu sastra Amerika dan pengetahuan masyarakat luas tentang ‘sastra Amerika’, tentang peristiwa yang dalam tataran sosial memberi pemahaman tentang peran takhayul bagi kehidupan sosial dan budaya yang mengelilinginya dan menunjukkan bahwa suatu karya sastra tidak lahir dalam kefakuman. Selain itu, penelitian ini juga untuk membuktikan bahwa novel yang ditulis orang Afro-Amerika, khususnya oleh Chesnutt dalam The Conjure Woman sebagai penanda bangkitnya masyarakat Afro-Amerika dalam aktifitas karya tulis bermutu yang tentu saja akan menanggalkan dan mengurangi citra mereka yang lemah dan tak berdaya. 1.6 Tinjauan Pustaka Kajian atau penelitian tentang novel The Conjure Woman karya Charles W. Chesnutt telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Diantara hasil penelitian tentang novel tersebut sebagai berikut. Paul R. Petrie. telah menulis artikel dalam jurnal akademik Studies in American Fiction Vol. 27, No. 2 tahun 1999 dengan judul Charles W. Chesnutt, the Conjure Woman, and the Racial Limits of Literary Mediation. Dalam tulisan tersebut dia menyoroti tentang tujuan Chesnutt menulis novel The Conjure Woman, yaitu tujuan sosial dan politik. Secara sosial kemasyarakatan,
21
masyarakat Afro-Amerika seharusnya dapat diterima dan diperlakukan sejajar dengan masyarakat Amerika Serikat. Secara politik, pasca-perang saudara masyarakat Afro-Amerika juga seharusnya telah memperoleh kemerdekaanya terlepas dari perbudakan karena perbudakan melanggar konstitusi Negara Amerika Serikat. Menurut Petrie, Chesnutt memiliki komitmen yang tinggi pada reformasi rasial yang progresif. Hal tersebut terkait dengan tekadnya untuk membebaskan para budak pria dan perempuan benar – benar merdeka. Selanjutnya penelitian tentang novel karya Chesnutt dilakukan oleh Harold J. Bruxvoort yang bertopik An Analysis of The Fiction of Charles W. Chesnutt. Penelitian tersebut merupakan hasil penelitian disertasi dia untuk memperoleh gelar doktor di The College of Art and Science di Drake University pada tahun 1998. Hasil penelitian ini mengungkapkan pandangan Chesnutt tentang keprihatinan dia terhadap kehidupan masyarakat Afro-Amerika pada era sebelum dan sesudah perang saudara, era rekonstruksi dan pasca-rekonstruksi. Pada era tersebut, banyak isu – isu sosial, politik dan rasial mendominasi perhatian Bruxvoort untuk diteliti. Dia menyakini bahwa hasil penelitiannya akan memberi sumbangan kepada para pembaca untuk lebih memahami karya – karya Chesnutt dan juga akan menambah perspektif pembaca tentang hubungan ras di wilayah Amerika Serikat bagian Selatan. Kajian lain tentang novel The Conjure Woman dilakukan oleh Maureen McKnight dengan judul “Scarcely in the Twilight of Liberty”: Empathic Unsettlement in Charles Chesnutt’s The Conjure Woman. Kajian ini diterbitkan dalam Iowa of Journal of Cultural Studies 5 terbit tahun 2004 oleh University of Iowa. Hasil kajian ini menyimpulkan bahwa melalui The Conjure Woman, Chesnutt bermaksud memperbaiki problem yang sangat komplek di wilayah
22
Selatan, seperti masalah perbudakan, hubungan antar ras dan lain – lain dengan melihat ketidakadilan masa lalu tersebut sebagai bahan pemicu untuk mencari keadilan di masa sekarang dan mendatang. Sedangkan kajian sosiologis dan historis terkait dengan masyarakat AfroAmerika, antara lain sebagai berikut. Telah banyak kajian tentang orang AfroAmerika dilakukan oleh beberapa peneliti. Diantara hasil kajian itu adalah kajian historis yang melacak jejak sejarah orang hitam Amerika dari tanah leluhurnya di Afrika Barat hingga sejarah keberadaan mereka di Amerika. Kajian ini dilakukan oleh Franklin, John Hope yang hasilnya ditulis dalam buku berjudul From Slavery to Freedom terbit tahun 1993. Buku ini memaparkan asal usul tanah leluhur mereka (The Land of Their Fathers), tatacara hidup mereka (The African Way of Life) yang mengungkap lembaga politik, kehidupan ekonomi , organisasi sosial, agama, dan kesenian mereka. Di samping itu buku ini juga mengungkap perdagangan budak hingga mereka dibawa ke Amerika Serikat sebagai budak. Buku ini juga mengungkap perbudakan di Amerika Serikat di jaman kolonial hingga terjadinya Civil War di Amerika Serikat. Sampai akhirnya mereka bebas, independen dan setara dengan kaum kulit putih di Amerika Serikat. Hasil penelitian lain yang mengkaji masyarakat Afro Amerika adalah kajian tentang system kepercayaan dan agama masyarakat Afro Amerika. Peneliti menggunakan pendekatan antropologi dalam meneliti realita kehidupan beragama dalam masyarakat Afro Amerika. Penelitian ini dilakukan oleh Philip Jenkins yang dituangkan dalam buku berjudul Mystics and Messiahs: Cults and New Religions in America History (2000). Bab V buku ini yang berjudul Black
23
Gods menjabarkan sejarah tentang praktek mistis di kalangan orang Afro Amerika di Amerika Serikat antara lain tentang Voodooisme. Hasil kajian lainnya adalah pengungkapan praktek takhayul dan mistisisme di era moderen. Penelitian ini dilakukan oleh Don Cupitt yang dituangkan dalam buku berjudul Mysticism After Modernity (1998). Buku ini mengupas hal-hal sebagai berikut: The Modern Construction of Mysticism and Religious Experience, Theories of Mysticism in Modernity, Dogmatic Theology is an Ideology of Absolute Spiritual Power, Mysticism is andy Kind of Writing, How Mystical Writing Produces Religious Happiness dan The Politics of Mysticism. Hasil penelitian lain mengungkapkan tentang interpretasi tentang sejarah kehidupan beragama masyarakat Afro Amerika. Penelitian ini meneliti tentang sistim kepercayaan orang Afro Amerika, kekuatan orang hitam untuk meraih dalam meyakini dan menjalankan kepercayaannya. Penelitian ini dilakukan oleh Wilmore, Gayraud S., yang dituangkan dalam buku berjudul Black Religion and Black Radicalism: An Interpretation of the Religious History of Afro – American People. Kajian
sosiologis
yang
dilakukan
oleh
Thomson,
Daniel
C.,
mengungkapkan sistem kekerabatan masyarakat Afro – Amerika yang mencakup kehidupan orang hitam di perkebunan di wilayah Selatan Amerika Serikat, beberapa institusi yang didirikan oleh mereka sebagai basis perjuangan mereka dan strata ekonomi orang hitam Amerika. Kesemuanya dituangkan dalam buku berjudul Sociology of the Black Experience yang diterbitkan tahun 1974.
24
Kajian berikutnya meneliti tentang hubungan black vernacular tradition dengan the Afro – American literary tradition. Penelitian ini dilakukan oleh Jr. Henry Louis Gates. Penelitiannya mencakup Theory of Tradition yang mengungkapkan tentang A Myth of Origins: Esu – Elegbara and Signifying Monkey, The Signifying Monkey and the Language of Signifyin(g): Rethorical Difference and the Orders of Meaning dan pada bagian lainnya menunjukkan beberapa kajian dari beberapa karya sastra orang hitam yang menunjukkan adanya kesesuaian antara black vernacular tradition dengan the Afro – American literary tradition. Hasil penelitian ini dituangkan dalam buku berjudul The Signifying Monkey: A Theory of African - American Literary Criticism yang diterbitkan tahun 1988. Kajian lain yang meneliti masyarakat Afro-Amerika mengungkapkan teori gerakan social masyarakat Afro Amerika dalam karya sastra. Penelitian ini meneliti tentang berbagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat Afro Amerika yang tersirat lewat berbagai karya sastra mereka. Ternyata jenis gerakan mereka beragam tetapi memiliki tujuan yang sama yaitu memperjuangkan hak – hak masyarakat Afro Amerika serta usaha untuk memperbaiki tarap kehidupan yang lebih baik dalam hidup berbangsa dan bernegara di Amerika Serikat. Penelitian tersebut dilakukan oleh J.Chester Hedgepeth yang hasilnya ditulis dalam buku berjudul Theories of Social Action in Black Literature yang diterbitkan tahun 1986. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti sekarang ini terdapat perbedaan dengan penelitian terdahulu dan terfokus pada takhayul masyarakat AfroAmerika menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih di Southern States yang terekspresi dalam novel The Conjure Woman karya Charles W. Chesnutt.
25
1.7 Kerangka Pemikiran Teoretis Dalam bagian ini, diuraikan kerangka pemikiran teoretis yang digunakan untuk menganalisis takhayul masyarakat Afro-Amerika menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih yang terrefleksi dalam novel The Conjure Woman karya Charles W. Chesnutt. Kerangka pemikiran teoretis ini sangat penting dan memiliki fungsi yang penting pula sebagai jalan dan arah untuk menguraikan permasalahan penelitian. Penelitian sastra ini selaras dan sejalan dengan pendekatan Pengkajian Amerika yang dalam analisisnya sama – sama menggunakan pendekatan interdisiplin untuk mengkaji fenomena pengalaman bangsa Amerika Serikat. 1.7.1 Pendekatan Pengkajian Amerika sebagai Studi Budaya Sebuah karya sastra merupakan produk sosial dan kultural. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa lahirnya karya sastra sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial dan kultural yang mengelilingi seorang penulis. Terkait dengan pengkajian sebuah karya sastra, tentu diperlukan berbagai disiplin untuk menganalisisnya. Hal tersebut sejalan dengan karakter pendekatan Pengkajian Amerika yang interdisipliner. Hal yang sama diungkapkan oleh McDowell. Dia mengungkapkan bahwa terdapat tiga hal yang pokok dalam pendekatan Pengkajian Amerika., yaitu waktu, disiplin ilmu dan tujuan jangka panjang. Secara rinci McDowell (1948: 82) menyatakan bahwa American Studies move toward the reconciliation of the tenses, the reconciliation of the academic disciplines, and a third long-ranged goal, namely, a reconciliation of region, nation, and world. (Pengkajian Amerika bergerak menuju rekonsiliasi waktu, disiplin akademik dan tujuan jangka panjang, yaitu rekonsiliasi wilayah, bangsa dan dunia).
26
Implikasi dari paradigma tersebut adalah bahwa pertama rekonsiliasi waktu yang terdiri dari waktu dulu, sekarang dan masa depan menggambarkan suatu proses dinamis yang terjadi dalam masyarakat. Fenomena sosial yang terjadi di masa lalu akan memberi pengaruh terhadap apa yang terjadi saat sekarang dan fenomena sosial yang terjadi sekarang juga memberi petunjuk atau gambaran fenomena sosial yang akan terjadi kedepannya. Terkait dengan kajian takhayul masyarakat Afro-Amerika menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih dalam novel The Conjure Woman, tentu harus diteliti latar belakang sosial budaya masa lalu yang mungkin memberi andil pada proses dan strategi penyusunan kemampuan tersebut. Kemudian latar belakang tersebut sejauh mana mempengaruhi atau memberi andil dalam membentuk karakter masyarakat Afro-Amerika saat ini dan bagaimana kemungkinan pengaruhnya ke masa depan masyarakat Afro-Amerika. Kajian ini nantinya diharapkan dapat menjawab pertanyaan bagaimana masyarakat Asfro-Amerika menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih. Kedua adalah rekonsiliasi disiplin ilmu. Hal tersebut mengandung makna bahwa dalam perspektif Pangkajian Amerika, peneliti menggunakan beberapa teori dalam analisisnya. Dengan demikian, hasil sebuah penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran, penjelasan atau elaborasi yang akurat tentang suatu
fenomena.
Terkait
dengan
perspektif
tersebut
penelitian
ini
mengaplikasikan lebih dari satu disiplin ilmu. Berdasarkan pada inti masalah penelitian, kajian ini menggunakan teori sosiologi sastra dan teori hegemoni. Terkait dengan perpektif sosiologi sastra, Gates Jr. (1994) berpendapat terdapat dua hal yang patut diperhatikan, yaitu (1) black experience yang merupakan sumber penciptaan karya sastra Afro Amerika dan (2) double
27
heritage yang menjadi ciri khas karya sastra Afro-Amerika. Pengalaman dan warisan merupakan dua hal yang menyangkut masa lalu dan keduanya sangat menentukan masa depan.
Selain dari itu, novel The Conjure Woman juga
merupakan refleksi dari bahasa, karya sastra, sejarah dan budaya Afro-Amerika dan bahasa, karya sastra, sejarah serta budaya memiliki jalinan yang erat satu dengan lainnya. Aspek keterkaitan ini merupakan unsur-unsur penting dalam metode Pengkajian Amerika. Ditambahkan lagi bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara masyarakat (komunitas) dengan pengarang; sehingga pengarang mampu mengekplorasi kreatifitasnya untuk kepentingan ke depan. Tate (1973: 115) mengungkapkan hal tersebut sebagai berikut: We may well add the concept of community to this, for without the community of particular language there could be no cultural community - or indeed any cultural diversity. It imperceptibly links the poet and the past. Language enables him to enter into communion with his progenitors, for values do not exist and are not born in a vacuum. ……………………………………………………………………………... The poet, in turn, again by means of language, perpetuates and enriches the thought, values, and feeling of the past for the benefit of the future. (Kita boleh menambahkan konsep komunitas dalam hal ini karena tanpa komunitas dari bahasa tertentu, tidak akan ada komunitas budaya atau keanekaragaman kultural. Hal itu secara jelas menghubungkan antara penyair dengan masa lalu. Bahasa memungkinkan dia masuk ke dalam hubungan erat dengan nenek moyangnya karena nilai-nilai tidak akan ada dan lahir dalam kefakuman ……………………………………………… Penyair, dengan sarana bahasa, melanggengkan dan memperkaya pikiran, nilai-nilai, dan perasaan masa silam untuk kemaslakhatan ke depan.) Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang masa lampau, perspektif sosiologi, budaya, dan sejarah kaum Afro-Amerika digunakan dalam penelitian ini.
28
We look upon American from a variety of different, often competing perspectives - popular culture, black culture, the culture of women, youth culture, the culture of the aged, Hispanic American culture, American Indian culture, material culture, the culture of poverty, folk culture, the culture of regionalism, the culture of academe, the culture of literature, the culture of professionalism, and so on (Wise,1970: 319) Keberadaan masyarakat Afro-Amerika, bagi masyarakat Amerika Serikat merupakan suatu keniscayaan. Kehadiran mereka memang dibutuhkan oleh kaum putih Amerika untuk kepentingan ekonomi mereka. Secara sosiologis masalah komunitas Afro-Amerika menyangkut masalah ras, dan ras merupakan konsep yang dikonstruksi secara sosial. Jadi gagasan ras tidak terlepas dari budaya. Terkait dengan penelitian terhadap karya sastra Afro-Amerika, khususnya novel The Conjure Woman, peneliti menggunakan teori sastra dengan memadukan teori dari disiplin lainnya. Hal ini memperkuat apa yang diisyaratkan dalam culture area dalam Pengkajian Amerika bahwa “The necessity of knowledge of literature technique is especially evident in historically oriented culture research” (Sykes dalam Merideth, 1968: 73). Dalam teori sosiologi dinyatakan bahwa individu-individu dapat membentuk kelompok menjadi suatu komunitas apabila mereka terikat oleh satu kebudayaan yang mereka anggap sama. Dalam teori sosiologi sastra, konsep kesamaan (homology) dan konsep totalitas (totality) sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Dengan adanya kesamaan tersebut, maka individu-individu tersebut mempunyai kesadaran kolektif. – asal usul yang sama , mempunyai hubungan kekerabatan – dan membentuk kelompok sosial yang dalam skala besar membentuk masyarakat. Suatu karya sastra dipandang sebagai sebuah struktur karena masyarakat dalam karya sastra merupakan sebuah kesatuan. As part of theoretical realm, a literary work is homologous to collective consciousness of class, or classes, if for no other reason than that of the
29
essential relatedness of theory and praxis and the need to see individual and their creations within the totality of their multi-leveled relations (Goldmann, 1980: 33). (Sebagai bagian dari ranah teoritis, sebuah karya sastra sesuai dengan kesadaran kolektif suatu kelompok atau banyak kelompok, jika tidak ada alasan lain kecuali alasan keterhubungan esensial antara teori dan praktek, kebutuhan untuk melihat manusia dan kreasi mereka dalam totalitas dari hubungan yang bertingkat banyak (Goldman, 1980:33))
Jadi unsur-unsur kultural yang berlaku dalam suatu komunitas yang akan diteliti harus dimasukkan dalam satu kesatuan kerangka pendekatan, yaitu sosiologi sebagai fakta sosial dan totalitas dalam karya yang mengacu pada seluruh proses sosio-historis. Model hubungan semacam ini disebut model of coherence. Menurut Rimmon-Kenan (1982: 124) models of coherence can derive either from reality or from literature. Dalam penelitian ini model yang dipakai adalah masyarakat Afro-Amerika. Oleh karena itu, penelitian ini akan menelusuri sejarah perbudakan, sistem sosial masyarakat hitam, dan sistem kepercayaannya terhadap takhayul serta penggunaan takhayul masyarakat AfroAmerika dalam menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih di Southern States. Ketiga adalah rekonsiliasi regional, bangsa dan dunia. Perspektif ini bermakna bahwa suatu fenomena sosial yang terjadi di suatu daerah memiliki pengaruh pada tingkat bangsa dan dunia. Novel The Conjure Woman merupakan potret sosial yang ditangkap oleh pengarang yang bertempat di suatu wilayah di Amerika Serikat. Chesnutt yang berdiam di wilayah Amerika Serikat bagian Selatan berdasarkan pengalaman hidupnya, mengangkat masalah-masalah yang dialaminya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh McDowell (1948: 85), regionalism in literature, painting, and music is the interpretation of human
30
experience in the symbols which the artist finds in that area of the United States with which, either for life or for the moment, he must be familiar. Dalam hal ini, Chesnutt dibesarkan di wilayah Amerika Serikat bagian Selatan sangat mengenal betul berbagai peristiwa di daerah Selatan. Sehingga lewat tokoh-tokoh dalam novelnya tersebut, dia mampu menceritakan, berbicara serta bernostalgia tentang kehidupan orang kulit hitam di Selatan. Novel The Conjure Woman tersebut dapat diklasifikasikan sebagai karya sastra regional dalam lingkup bangsa dan dunia karena karya ini tidak hanya menyuarakan nilai-nilai regional saja, tapi juga dapat mencakup nilai-nilai nasional dan universal. Hal ini juga sejalan dengan konsep mikro ke makro dalam studi Pengkajian Amerika.
1.7.2 Teori Hegemoni Masalah penelitian disertasi ini adalah takhayul masyarakat AfroAmerika menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih di Southern state.sDalam realita sejarah bangsa Amerika Serikat, terutama di Southern states, usaha masyarakat Afro-Amerika dalam melepaskan diri mereka dari hegemoni masyarakat kulit putih gagal terus. Sebaliknya dalam realita fiksi dalam novel The Conjure Woman,karya Charles W. Chesnutt, masyarakat AfroAmerika dapat menaklukkan dominasi masyarakat kulit putih. Inilah yang mendasari penelitian ini dilakukan. Terkait dengan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap latar belakang sosial dan budaya masyarakat Afro-Amerika mempercayai takhayul, menjelaskan praktek praktek hegemoni yang dilakukan masyarakat kulit putih terhadap masyarakat Afro-Amerika di Southern States dalam kurun waktu tahun 1850 sampai dengan 1870 dan memaparkan perlawanan (counter hegemony) masyarakat Afro-Amerika
31
terhadap hegemoni masyarakat kulit putih yang terefleksi dalam novel The Conjure Woman. Untuk
menganalisis
fenomena
tersebut,
teori
hegemoni
tepat
diaplikasikan. Pengaplikasian teori hegemoni dalam penelitian disertasi ini dengan pertimbangan bahwa masalah penelitian disertasi ini fokus pada takhayul masyarakat Afro-Amerika menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih di Southern States dalam novel The Conjure Woman. Dalam sistem perbudakan, terdapat dua golongan, yaitu golongan yang mendominasi yaitu golongan yang memiliki kuasa dan golongan yang tersubordinasi yaitu golongan yang tidak memiliki kuasa. Golongan dominan menekan golongan yang tersubordinasi untuk melakukan apa saja untuk kepentingan golongan dominan. Teori hegemoni dikenalkan oleh Antonio Gramsci asal Italia. Sebagai seorang aktifis politik dan pengikut Marxis, Gramsci berseberangan ide dan garis politiknya dengan pemerintah Italia saat itu. Menurut Patria (2003: 12) latar belakang politik, gagasan hegemoni tersebut adalah pengalaman Gramsci sendiri. Fokus perhatian Gramsci pada hal tersebut muncul dari situasi politik ketika ia hidup dan menjadi pemimpin intelektual dari gerakan massa proletar di Turin – selama perang dunia pertama dan masa sesudah itu. Italia, menjelang perang usai, merupakan sebuah pemandangan penting dari pertarungan politik partai, baik Kiri maupun Kanan. Sebuah pertarungan yang dengan cepat membuahkan kemenangan kepada fasisme pada tahun 1922 dan melenyapnya hak – hak politik. Sebagai anggota kunci dari Partai Sosialis Italia dan kemudian Partai Komunis Italia (PCI), Gramsci melihat kegagalan massa buruh revolusioner dan bangkitnya fasisme reaksioner didukung oleh banyak massa klas pekerja.
32
Dari peristiwa politik di Italia tersebut, akhirnya dia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Dari balik jeruji besi penjara, dia menulis buku berjudul Prison Notebook yang berisi pikiran – pikirannya tentang negara, kekuasaan dan hegemoni. Gramsci (dalam Baker, 2001: 59) merumuskan hegemoni sebagai berikut. “Hegemony implies a situation where a ‘historical bloc” of ruling-class factions exercise social authority and leaderhip over the subordinate classes through a combination of force and, more importantly, consent.” “Hegemoni mengandung makna suatu keadaan di mana blok historis dari faksi kelas penguasa menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinannya atas kelas subordinasi melalui kombinasi kekuatan dan yang lebih penting lagi, konsensus.” Dari pernyataan tersebut, terdapat dua unsur penting dalam hegemoni, yaitu force (kekuatan / kekuasaan) dan consent (konsensus). Kekuasaan diperoleh melalui jalan politik dan setelah mendapatkannya, penguasa membuat berbagai regulasi atau aturan yang cenderung memihak dan menguntungkan penguasa dan sebaliknya merugikan pihak yang dihegemoni. Ditambahkan lagi bahwa hegemoni juga merupakan proses untuk membuat, mempertahankan dan mereproduksi seperangkat makna dan praktek kekuasaan agar hegemon dapat mempertahankan hegemoninya atas kelompok yang terhegemoni. Jadi pertarungan hegemoni ini bukan merupakan pemberian gratis melainkan harus diperjuangkan dan dimenangkan dan selalu dipertahankan. Dari pengertian tersebut dapat diperoleh suatu pemahaman yang terkait dengan penelitian ini bahwa meskipun masyarakat kulit putih sedang berkuasa atas masyarakatAfro-Amerika, mereka harus terus mempertahankan kuasa tersebut. Di sisi lain masyarakat Afro-Amerika yang tersubordinasi tidak tinggal diam dan mencari cara agar terlepas dari hegemoni orang kulit putih. Beraneka
33
ragam cara telah dilakukan namun cara yang dilakukan oleh orang AfroAmerika dalam novel The Conjure Woman tergolong cerdik yaitu menggunakan takhayul sebagai sarana counter hegemony untuk menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih. Kelas pekerja, sebagaimana direpresentasikan oleh Uncle Julius dalam novel The Conjure Woman, dapat berkembang dan menjadi kelas hegemon jika kelas tersebut mampu membuat sistem aliansi dengan kelas lain atau kekuatan lain dan mencari cara menggabungkan kepentingan – kepentingan tersebut menjadi kepentingannya juga. Jadi hegemoni essensinya merupakan kemampuan suatu kelompok untuk membangun relasi dengan kelompok lain ataupun kekuatan sosial lain. Hal tersebut senada dengan apa yang dinyatakan oleh Simon (Simon, 1991: 26) sebagai berikut. Hegemony is a relation between classes and other social forces. A hegemonic class, or part of a class, is one which gains the consent of other classes and social forces through creating and maintaining a system of alliances by means of political and ideological struggle. (Simon, 1991: 26) (Hegemoni merupakan sebuah hubungan antara kelompok – kelompok dan kekuatan sosial lainnya. Kelompok hegemoni, atau bagian dari suatu kelompok, merupakan satu kelompok yang mendapatkan konsensus dari kelompok lain dan kekuatan sosial lain melalui penciptaan dan pemertahanan aliansi melaui perjuangan politik dan idiologi. (Simon, 1991: 26)) Dengan teori hegemoni, penelitian disertasi ini akan menjawab pertanyaan – pertanyaan yang terkait dengan cara dan bagaimana Uncle Julius menaklukkan kuasa masyarakat kulit putih yang direpresentasikan dalam tokoh John dan Annie. Uncle Julius sebagai representasi dari kelompok yang tersubordinasi berusaha mencari cara agar mampu menjadi kelompok
34
hegemonik. Terkait hal tersebut, Simon (1991: 33) menyampaikan pikirannya sebagai berikut. “A subordinate class can only become a hegeminic class by developing the capacity to win the support of other classes and social forces.” Simon (1991: 33). (Kelompok tersubordinasi hanya dapat menjadi kelompok hegemoni dengan meningkatkan kemampuan untuk memenangkan dukungan dari kelompok lain atau kekuatan sosial yang lain. Simon (1991: 33)) Dari pernyataan Simon natinya dapat diketahui bagaimana usaha masyarakat Afro-Amerika, dalam hal ini direpresentasikan oleh tokoh Uncle Julius, dalam menghegemoni masyarakat kulit putih yang direpresentasikan tokoh John dan Annie. 1.7.3 Teori Sosiologi Sastra Laurenson dan Swingwood menjelaskan bahwa terdapat tiga bidang yang dapat dilakukan oleh peneliti sastra dalam meneliti sebuah karya sastra, yaitu ranah sosiologi penulis, sosiologi pembaca dan sosiologi masyarakat. Kajian disertasi ini memfokuskan pada penelitian sosiologi masyarakat yang terkait dengan fokus penelitian, yaitu takhayul masyarakat Afro-Amerika manaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih di Southern States. Sebuah karya sastra, menurut Laurenson dan Swingwood (1972: 13) merupakan ducumentary aspect of literature yang bermakna bahwa sebuah karya sastra merupakan cermin dari jamannya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa novel The Conjure Woman sebagai dokumen dapat nenggambarkan fenomena dan keadaan masyarakat serta berbagai peristiwa pada eranya. Mengacu pada pandangan tersebut, sebagai penulis Afro-Amerika, Chesnutt
35
sangat dipengaruhi keadaan jamannya saat dia menulis novel The Conjure Woman dan hal ini menegaskan bahwa sebuah karya sastra tidak lahir dengan sendirinya atau di ruang hampa. Dengan demikian, banyak aspek yang dapat mempengaruhi maupun mengilhami Chesnutt dalam menciptakan novel The Conjure Woman. Aspek – aspek tersebut dapat berupa aspek politik, ekonomi, psikologi, keagamaan, sosial dan masih banyak lagi lainnya. Laurenson dan Swingwood
(1972:12) yang mengenalkan Teori
Sosiologi Sastra, memandang sebuah novel jauh mendalam. Hal tersebut terungkap dari pernyataan mereka sebagai berikut. “In the purely documentary sense, one can see the novel as dealing with much the same social, economic, and political textures as sosiology. But of course it achieves more than than this; as art, literature transcends mere description and objective scientific analysis, penetrating the surface of social life, showing the ways in which men and women experience society as feeling.”(Laurenson & Swingwood, 1972:12) (Dalam pengertian dokumen, seseorang dapat memandang novel sebagai hal yang berkaitan dengan tekstur sosial, ekonomi dan politik sama dengan sosiologi. Meskipun demikian, novel menyimpan lebih dari ini: sebagai seni, sastra melampaui deskripsi dan analisis ilmiah objektif semata, sastra menembus permukaan kehidupan sosial, menunjukkan jalan bagaimana manusia merasakan kehidupan sebagai perasaan.”(Laurenson & Swingwood, 1972:12) Pernyataan mereka menekankan bahwa karya sastra dikatakan melampaui analisis ilmiah objektif dikarenakan fakta dalam karya sastra merupakan mentifact tidak hardfact. Makna mentifact dalam sebuah jarya sastra adalah karya sastra mengungkapkan fenomena yang memiliki nilai – nilai universal. Hal tersebut berarti bahwa fenomena yang terjadi dalam sebuah karya sastra dapat terjadi diberbagai belahan dunia manapun. Sedangkan hardfact mengungkapkan peristiwa dalam dunia nyata yang bersifat absolut. Makna kata
36
absolut artinya fakta tersebut hanya berlaku pada peristiwa yang terjadi di suatu tempat dan tidak berlaku di tempat lain. 1.8 Metode Penelitian Metode penelitian merupakan bagian penting dalam suatu penelitian. Dalam bagian ini, diuraikan beberapa hal pokok yang meliputi obyek penelitian, jenis penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik pengolahan data. 1.8.1 Jenis Penelitian Penelitian dengan obyek material novel berjudul The Conjure Woman menjadikan teks novel tersebut sebagai sumber data dalam analisisnya. Dengan karakteristik sumber data yang berupa teks tersebut maka penelitian ini dimasukkan dalam jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu mencari sumber – sumber kepustakaan yang terdapat di beberapa perpustakaan, seperti Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya baik perpustakaan Sastra maupun di Antropologi serta Perpustakaan Pascasarjana Universitas Gadjahmada Yogyakarta Indonesia, Perpustakan Wilson, North Carolina Cellection, dan perpustakan Davis University of North Carolina Amerika Serikat.
1.8.2 Obyek Penelitian Dalam penelitian ini, obyek penelitian terdiri atas 2 macam, yaitu objek formal dan objek material. Objek materialnya adalah novel The Conjure Woman karya Charles W. Chesnutt,
sedangkan objek formal adalah takhayul
masyarakat Afro-Amerika menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih di
37
Southern States yang selanjutkan dijabarkan ke dalam permasalahan penelitian sebagai berikut. 1.8.2.1 Latarbelakang sosial dan budaya masyarakat Afro-Amerika pada pertengahan abad 19. 1.8.2.2 Praktek budaya hegemoni yang dilakukan masyarakat kulit putih terhadap masyarakat Afro-Amerika. 1.8.2.3 Takhayul masyarakat Afro-Amerika menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih dalam novel The Conjure Woman.
1.8.3 Teknik Pengumpulan Data Data penelitian disertasi ini berupa teks naskah novel The Conjure Woman. Dengan demikian peneliti membaca secara cermat teks –teks novel tersebut yang terkait dengan fokus penelitian. Agar diperoleh pemahaman dan pengertian yang mendalam dari teks – teks tersebut, penelitian juga melakukan penelusuran data – data lain yang menunjang penelitin ini. Untuk itu peneliti mengunjungi beberapa perpustakaan di Fakultas Ilmu Budaya dan Perpustakaan Pusat UGM serta perpustakaan di University of North Carolina at Chapel Hill. Peneliti pada bulan Nopember 2008 hingga bulan Pebruari 2009 juga mengunjungi beberapa tempat bersejarah di North Carolina, seperti lokasi perkebunan di masa perbudakan dimana dilokasi tersebut terdapat rumah – rumah tempat para budak berdiam serta beberapa rumah mewah besar milik para majikan kulit putih. Dengan melihat langsung dan mendapat penjelasan dari pemandu, hal tersebut menambah wawasan serta pandangan peneliti tentang perbudakan di Southern States.
38
Selain hal tersebut peneliti juga melakukan interview serta kunjungan ke rumah para pakar budaya di Universty of North Caroline yang dipandu oleh Prof. Dr. James Peacock, Guru Besar Antropolgi di universitas tersebut. Dari kegiatan tersebut, peneliti semakin memperoleh data yang penting untuk lebih memahami budaya di Southern States.
1.8.4 Tehnik Penganalisisan Data Peneliti menggunakan novel The Conjure Woman karya Charles W. Chesnutt sebagai sampelnya. Dasar pemilihan novel tersebut sebagai sample dengan pertimbangan bahwa novel The Conjure Woman merupakan episiodic novel yang mengungkap beberapa fenomena kehidupan yang dialami oleh masyarakat Afro-Amerika pada masa – masa menjelang Civil War hingga masa Rekonstruksi di wilayah Southern states. Dalam menganalisis fenomena tersebut, novel karya Charles W. Chesnutt yang berjudul The Conjure Woman dipergunakan sebagai sumber data analisisnya. Menurut Laurenson dan Swingwood (1972:13), sebuah karya sastra merupakan dokumen suatu masyarakat yang menyimpan berbagai informasi tentang
apa yang pernah
terjadi di suatu tempat pada waktu tertentu. Selain itu, ditambahkan oleh mereka bahwa sebuah karya sastra sangat erat kaitannya dengan keadaan atau situasi masyarakat penulisnya. Berdasar pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa novel The Conjure Woman yang ditulis oleh Charless W. Chesnutt sangat erat dengan keadaan penulis saat itu dan menceritakan apa yang telah terjadi di masyarakat sekeliling dia. Melalui karyanya tersebut, Chesnutt menceritakan apa yang pernah terjadi, dan memberi pandangan terhadap apa yang dia lihat, dia rasakan dan memberi solusi terhadap persoalan kehidupan masyarakat Afro-
39
Amerika pada saat menjelang Perang Saudara (Civil War), saat Perang Saudara dan masa Rekonstruksi khususnya dan masyarakat Amerika Serikat pada umumnya. Perang saudara Amerika Serikat terjadi dari tahun 1863 hingga 1865 dan masa Rekonstruksi setelah masa Civil War selesai. Jadi novel The Conjure Woman karya Chesnutt tersebut tidak lahir dalam kefakuman. Sebagai sebuah karya seni, menururt Laurenson dan Swingwood ( 1972: 12-13), karya sastra seperti novel The Conjure Woman: ”...... transcends mere description and objective scientific analysis, penetrating the surfaces of social life, showing the ways in which men and women experience sociey as feeling. ’Without the full literary witness,’ writes Richard Hoggart,’ the student of society will be blind to the fullness of a society.” (”.....semata – mata menghubungkan deskripsi dan analisis ilmiah yang objektif, yang menembus permukaan kehidupan sosial, yang menunjukkan cara bagaimana manusia menghayati masyarakat sebagai sebuah perasaan. ”Tanpa kesaksian kesastraan yang sepenuhnya,” tulis Richard Hoggart,” para mahasiswa yang mempelajari masyarakat akan buta (tidak tahu) akan kondisi masyarakat sepenuhnya.”) Dari kutipan tersebut diperoleh suatu pemahaman bahwa betapa pentingnya peran sebuah karya sastra dalam memahami fenomena dan kondisi suatu masyarakat. Oleh karenanya dengan menganalisis novel The Conjure Woman, selain dimaksudkan untuk mengakumulasi ilmu sastra Amerika juga untuk memperluas wawasan dan pengetahuan peneliti terkait dengan masyarakat Afro-Amerika di Southern states Amerika Serikat. Satu hal yang menarik dalam The Conjure Woman adalah penggunaan takhayul sebagai alat atau sarana untuk menaklukkan hegemoni masyarakat kulit putih atas masyarakat Afro-Amerika. Novel The Conjure Woman terdiri atas tujuh sub judul dan dalam ketujuh sub judul dalam novel ini, mengungkapkan bagaimana praktek – praktek budaya hegemoni yang dilakukan masyarakat kulit
40
putih dalam mengendalikan aspek – aspek kehidupan masyarakat Afro-Amerika di perkebunan serta mengungkap usaha masyarakat Afro-Amerika melawan praktek – praktek budaya hegemoni tersebut (counter-hegemony). Dalam novel ini, perlawanan masyarakat Afro-Amerika diekspresikan dalam bentuk takhayul. Jadi takhayul dipergunakan sebagai sarana untuk mempengaruhi masyarakat kulit putih dengan maksud agar mereka tidak memperlakukan orang AfroAmerika secara semena – mena dan membabi buta. Selain itu, takhayul juga dipergunakan masyarakat Afro-Amerika untuk memperjuangkan hak – hak mereka sebagai sesama warga Amerika Serikat yang telah dijamin dalam Konstitusi bangsa Amerika Serikat. Ditambahkan lagi bahwa takhayul tersebut juga merupakan usaha masyarakat Afro-Amerika untuk meraih impian mereka, yaitu terbebas dari perbudakan. Pengekspresian takhayul oleh Chesnutt dalam novel The Conjure Woman tidak bisa dilepaskan dari warisan budaya nenek moyangnya yang berasal dari Afrika. Keyakinan masyarakat Afro-Amerika pada takhayul terkait erat dengan sistem kepercayaan (belief system) nenek moyang mereka. Menurut Franklin (1993:30) agama masyarakat Afrika terdahulu digambarkan sebagai pemujaan terhadap arwah nenek moyang (ancestor worship). Dia menjelaskan: ”The African believed that the spirit of their forefathers had unlimited power over their lives. Not only were the spirit of deceased members of the family worshipped, but any similar high regard was held for the spirit that dwelt in the family land, the trees, rocks in the community of the kinship group, and the sky above the community.” (“Orang-orang Afrika percaya bahwa arwah nenek moyangnya memiliki kekuatan yang sangat besar terhadap kehidupan mereka. Tidak hanya arwah anggota keluarga yang telah meninggal yang dipuja, tetapi juga penghormatan agung dilakukan untuk arwah nenek moyangnya yang masih berdiam di tanah pekarangan keluarga, di pohon-pohon, batu-batu disekitar anggota keluarga, dan di udara di atas komunitas keluarga.”)
41
Secara historis orang Afro-Amerika berasal dari daratan Afrika dan mereka sebenarnya telah berbudaya ketika mereka dibawa ke daratan Amerika Serikat. Mereka kebanyakan dipekerjakan sebagai budak di beberapa negara bagian Selatan Amerika Serikat. Masyarakat Afro-Amerika di wilayah tersebut masih meyakini dan mempraktekkan tradisi-tradisi leluhur mereka yang mengandung unsur-unsur takhayul. Unsur – unsur takhayul mencakup hal – hal yang tidak kasat mata dan irrasional. Bagi masyarakat Afro-Amerika, hal – hal yang bersifat takhayul tersebut dapat
membantu
mereka
dalam
memecahkan
masalah
kehidupannya.
Fransworth (dalam Chesnutt, 1983:xv) menyatakan mereka memuja pohon, burung, binatang dan bahkan musim untuk membantu memecahkan persoalan hidupnya. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Pritchard (1984: 62) bahwa betapapun kepercayaan dan ritus primitif tampak menggelikan bagi pikiran kaum rasionalis, namun telah menolong orang-orang primitif dalam mengatasi problem dan kemalangan mereka, juga menghilangkan keputusasaan, yang menghambat perbuatan, dan memperkuat keyakinan untuk mendapatkan kesejahteraan individu, dan memberinya pengertian baru tentang nilai hidup dan segala aktifitas yang menunjangnya.
1.9 Sistematika Penyajian Laporan Agar laporan hasil penelitian disertasi ini dapat dibaca dengan runtut, maka peneliti menyajikan hasil penelitiannya dengan sistematika sebagai berikut. Bab 1 Pendahuluan membahas tentang latarbelakang penelitian, masalah, rumusan masalah dan permasalahan, objek penelitian, faedah
42
penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran teoretis, metode penelitian dan sistematika penyajian laporan. Bab 2 Tatanan Masyarakat Amerika di Negara Bagian Selatan Pertengahan Abad XIX mengulas tentang aspek budaya, aspek ekonomi, aspek politik, aspek agama, aspek pengetahuan dan teknologi. Bab 3 Masyarakat Afro-Amerika Pertengahan Abad XIX dalam Novel membahas tentang sosial budaya masyarakat Afro-Amerika tahun 18501870 dan budaya hegemoni
di Southern States tahun 1850-1870. Bab 4
Takhayul dalam Perspektif masyarakat Kulit Putih dan masyarakat AfroAmerika dalam Novel membicarakan tentang konsep takhayul, pandangan hidup orang kulit putih, takhayul dalam perspektif masyarakat kulit putih, pandangan hidup masyarakat Afro-Amerika, takhayul dalam perspektif masyarakat AfroAmerika. Bab 5 Kuasa Takhayul Masyarakat Afro-Amerika terhadap Hegemoni Masyarakat Kulit Putih dalam Novel membahas berbagai bidang seperti bidang ekonomi, kehidupan beragama dan kemanusiaan. Bab 6 Penutup menyampaikan kesimpulan sebagai hasil penelitian disertasi.