15
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perwujudan tujuan pembangunan nasional adalah terciptanya suatu masyarakat yang sejahtera. Seiring dengan perkembangan jaman yang pesat, dimana sangat dibutuhkan sekali dana dan anggaran dalam menyokong pembangunan yang merata disegala sektor maupun aspek kehidupan. Oleh karena itu disusun suatu perencanaan, baik yang mencakup tahapan pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan rencana jangka pendek. Dalam mewujudkan upaya tersebut, titik berat pembangunan diletakkan dibidang ekonomi. Untuk menunjang tercapainya sasaran dan tujuan pembangunan tersebut, diperlukan serangkaian kebijaksanaan yang saling mendukung, diantaranya adalah kebijaksanaan fiskal. Kebijaksanaan fiskal ini berkaitan erat dengan masalah Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pajak merupakan sumber penerimaan dalam negeri terbesar yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan. Hal ini tertuang dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dimana penerimaan utamanya berasal dari pajak. Khususnya dari segi penerimaan negara, pajak merupakan sumber penerimaan terbesar saat ini dan juga tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang harus berkembang dan meningkat sesuai dengan perkembangan kemampuan rakyat dan laju pembangunan. Dengan dana yang memadai
16
pemerintah akan mampu membiayai berbagai proyek besar sampai ke sektorsektor yang selama ini kurang mendapat perhatian. Melalui pajak pemerintah dapat mengatur keseimbangan kehidupan perekonomian dan pemanfaatan dana untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini dilakukan dalam rangka menunjang tekad untuk menegakkan kemandirian pembiayaan pembangunan, maka penggalian dan penggerakan sumber penerimaan dalam negeri haruslah didasarkan kepada penerimaan pajak dengan tetap memperhatikan kemampuan pembiayaan oleh masyarakat dan dunia usaha. Untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, pemerintah melakukan berbagai upaya antara lain dengan menyederhanakan administrasi pajak dan meningkatkan penegakan hukum bagi Wajib Pajak dan petugas pajak yang melanggar ketentuan perundang - undangan perpajakan. Target pajak yang harus dicapai Direktorat Jenderal Pajak untuk tahun 2014 mencapai Rp.1.370 Triliun (www.kemenkeu.go.id). Untuk dapat mencapai target tersebut diperlukan upaya-upaya maksimal terutama dalam menyadarkan Wajib Pajak dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya. Suksesnya pencapaian target tersebut perlu didukung dengan salah satunya tingkat kepuasan dan kepatuhan Wajib Pajak. Untuk meningkatkan kepuasan dan kepatuhan Wajib Pajak dapat dilakukan dengan mengedepankan upaya pelayanan, penyuluhan dan kehumasan dibandingkan tindakan pengawasan. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, menunjukkan bahwa Wajib Pajak membutuhkan penyuluhan secara langsung, oleh sebab itu perlu disusun strategi penyuluhan
17
berupa kelas pajak bagi calon Wajib Pajak, Wajib Pajak baru dan Wajib Pajak terdaftar. Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi pemerintahan di bawah Departemen Keuangan sebagai pengelola sistem perpajakan di Indonesia berusaha meningkatkan penerimaan pajak dengan mereformasi pelaksanaan sistem perpajakan yang lebih modern. Untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah melakukan reformasi perpajakan. Reformasi atau perubahan sistem mendasar terjadi pada pengelolaan perpajakan Indonesia dari sistem Official Assessment ke sistem Self Assessment . Self assessment system dimana memberikan kepercayaan penuh terhadap Wajib Pajak (Wajib Pajak) untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakan kepada fiskus. Tujuan reformasi perpajakan menurut Sony dan Siti (2006) adalah meningkatkan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak (Tax Payer’s Service Quality) sebagai sumber aliran dana untuk mengisi kas Negara, menekan terjadinya penyelundupan pajak (tax evasion) oleh Wajib Pajak, meningkatkan kepatuhan bagi Wajib Pajak dalam penyelenggaraan kewajiban perpajakannya, menerapkan konsep good governance, adanya transparansi, responsibility, keadilan, dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instansi pajak. Kontribusi pajak dalam mendanai pengeluaran negara yang terus meningkat membutuhkan dukungan berupa peningkatan kesadaran masyarakat Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya secara jujur. Menurut Safri Nurmanto dalam Siti Kurnia Rahayu (2010) mengatakan bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan
18
sebagai sutau keadaan di mana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung Self Assessment system, dimana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakannya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar serta melaporkan pajaknya tersebut. Menurut Safri Nurmantu (2003), terdapat dua macam kepatuhan yaitu kepatuhan material dan kepatuhan formal. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif /hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang - undang perpajakan. Sedangkan yang dimaksud kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang - undang perpajakan. Kewajiban perpajakan formal diatur dalam Undang - undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kewajiban pajak yang secara langsung dikenakan kepada Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan, disebut Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, karena mereka memperoleh penghasilann dalam jumlah tertentu, dan dalam jumlah itu, memenuhi syarat untuk dikenakan pajak. Sejak reformasi perpajakan tahun 1983, Indonesia menganut sistem pemungutan self assesment system. Sistem self assesment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan
19
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada ditangan Wajib Pajak . Wajib pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi,serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak
diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar, melaporkan dan mempertanggungjawabkan sendiri pajak yang terutang. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada Wajib Pajak sendiri (peran domain ada pada Wajib Pajak). Sistem self assesment menuntut Wajib Pajak
agar mandiri dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya. Salah satu contoh penerapan sistem self assesment adalah dalam hal melaporkan surat pemberitahua. Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan. SPT dapat dibedakan atas SPT Masa dan SPT tahunan. SPT tahunan, yaitu SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan yang terdiri atas SPT tahunan PPH Wajib Pajak Badan, SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi. Pemerintah dengan berbagai cara melakukan sosialisasi agar masyarakat menyadari bahwa pajak itu untuk kepentingan bersama. Dengan diberlakukannya peraturan yang mengatur perpajakan pemerintah mengharapkan
setiap Wajib
Pajak harus memenuhi kewajiban perpajakannya. Namun pada kenyataannya masih banyak Wajib Pajak yang tidak menyadari atau tidak mau memenuhi
20
kewajiban perpajakannya. Contohnya masih banyak Wajib Pajak
yang tidak
menyampaikan SPT. Untuk mengantisipasi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya selain telah mengatur sanksi dan denda perlu upaya dalam mengantisipasi karena dapat mengurangi potensi pajak yang seharusnya diterima oleh negara. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian apakah ada pengaruh sosialisasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Maka judul penelitian ini adalah “DAMPAK PELAKSANAAN SOSIALISASI PERPAJAKAN TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK (STUDI PADA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN DI KPP PRATAMA MEDAN KOTA)”.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka Perumusan masalah yang menjadi fokus perhatian peneliti adalah : “Bagaimana dampak pelaksanaan sosialisasi perpajakan terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak (studi pada penyampaian surat pemberitahuan tahunan di kantor pelayanan pajak pratama Medan Kota) ?”
C. TUJUAN PENELITIAN Dari permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah : Mengetahui dampak pelaksanaan sosialisasi perpajakan
21
terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak (studi pada penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota).
D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini akan memberikan manfaat bagi berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat tersebut adalah: 1. Secara Ilmiah Secara ilmiah sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori dan aplikasi yang diperoleh dari Program Studi Ekstensi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. 2. Secara praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai kontribusi terhadap pemecahan permasalahan yang terkait dengan peningkatan pemahaman mengenani perpajakan dan secara khusus terhadap kepatuhan Wajib Pajak,
dan hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan atau sumbangan pemikiran bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota sebagai salah satu lembaga yang mengurus pelayanan kepada masyarakat agar kiranya mengoptimalkan pelayanan publik yang berkualitas serta dapat mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya.
22
3. Secara akademis Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik langsung maupun secara tidak langsung bagi kepustakaan Program Studi Ekstensi Ilmu Administrasi Negara.
E. KERANGKA TEORI Studi kepustakaaan berkaitan dengan kajian teoritis dan referensi lain yang terkait dengan nilai, budaya, norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2007:14). Teori merupakan seperangkat konsep, definisi dan preposisi yang saling berhubungan yang disusun secara sistematis sebagai hasil dari penulisan ilmiah terdahulu dengan menggunakan seperangkat metodologi penulisan tertentu untuk menjelaskan gejala tertentu atau hubungan-hubungan dalam fenomena yang sedang diteliti. Berbagai teori yang dikemukakan dalam kajian teori disini merupakan sarana untuk menjawab rumusan masalah yang telah dituliskan di muka dan sebagai landasan untuk melakukan analisis dalam penelitian ini.
1. Evaluasi Kebijakan a.
Definisi Evaluasi Kebijakan Evaluasi merupakan salah satu tahapan penting dalam proses kebijakan
publik, namun seringkali tahapan ini diabaikan dan hanya berakhir pada tahap implementasi. Evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan (Subarsono, 2008:119). Evaluasi kebijakan digunakan untuk menilai
23
sejauhmana keefektifan kebijakan publik untuk dipertanggungjawabkan kepada publiknya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Menurut Muhadjir dalam Widodo (2008:112) mengemukakan “Evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat “membuahkan hasil”, yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target kebijakan publik yang ditentukan”. Dalam bahasa yang lebih singkat Jones dalam Winarno (2007:166) mengartikan evaluasi adalah “Kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan”. Serta secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai “Kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang menyangkut substansi, implementasi, dan dampak”. Hal ini berarti bahwa proses evaluasi tidah hanya dapat dilakukan pada tahapan akhir saja, melainkan keseluruhan dari proses kebijakan dapat dievaluasi. Dari beberapa pendapat para ahli mengenai yang dimaksud dengan evaluasi kebijakan dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan, keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu kebijakan publik dan menilai manfaat suatu kebijakan dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target kebijakan publik yang ditentukan dengan kata lain menyangkut substansi, implementasi, dan dampak suatu kebijakan publik.
24
Dalam Bingham dan Felbinger, Howlet dan Ramesh (1995) dalam Nugroho (2009:676-677) mengelompokan evaluasi menjadi tiga, yaitu : 1) Evaluasi administratif, yang berkenaan dengan evaluasi sisi administratif anggaran, efisiensi, biaya dari proses kebijakan di dalam pemerintah yang berkenaan dengan : a) effort evaluation, yang menilai dari sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan b) Performance evaluation, yang menilai keluaran dari program yang dikembangkan oleh kebijakan. c) adequacy of performance evaluation atau effectiveness evaluation , yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan. d) effeciency evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan penilaian tentang keefektifan biaya tersebut. e) process evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program. 2) Evaluasi judical, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan diimplementasikan, termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi negara, hingga hak asasi manusia. 3) Evaluasi politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituten politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan. Sedangkan menurut Dane (Wibawa, 1994) menyebutkan ada dua tipe evaluasi kebijakan, yaitu :
25
1) Sumative evaluation, adalah penilaian dampak dari suatu program. Disebut juga dengan evaluasi dampak (out come evaluation). 2) Formative evaluation, adalah penilaian terhadap proses dari program, disebut pula evaluasi proses. Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup susbtansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebiajakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evalusai kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalahmasalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. b. Sifat Evaluasi Gambaran utama evaluasi adalah bahwa evaluasi menghasilkan tuntutantuntutan yang bersifat evaluatif. Menurut Dunn (2003:608-609), evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya : 1.
Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan buka sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat
26
selalu dipertanyakan, evaluasi mecakup prosedur untuk mengevaluasi tujuantujuan dan sasaran itu sendiri. 2.
Interdependensi fakta-nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta” maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat untuk menyatakan demikian harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
3.
Orientasi masa kini dan masa lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarah pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbangan hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premispremis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante). Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan-tuntutan evaluasi
mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya kesehatan) dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki yang
27
merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran. c.
Fungsi dan Tujuan Evaluasi Kebijakan Sebagai salah satu tahapan dalam proses kebijakan, evaluasi memiliki
fungsi dan tujuan. Menurut Wibawa dalam Nugroho (2009 : 541-542), evaluasi kebijakan publik memilik empat fungsi, yaitu: 1.
Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hungungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah ,kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2.
Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3.
Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
4.
Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut. Beberapa ahli juga mengemukakan tentang tujuan-tujuan dari evaluasi,
Subarsono (2008 : 120) merinci beberapa tujuan dari evaluasi antara lain sebagai berikut :
28
1.
Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.
2.
Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui derajad diketahui berapa biaya dan manfaat suatu kebijakan.
3.
Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.
4.
Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.
5.
Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.
6. Sebagai bahan masukan (input) unutk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik. Oleh karena itu evaluasi kebijakan, pada prinsipinya digunakan untuk mengevaluasi empat asek dalam proses kebijakan publik (Wibawa, yuyun, agus, 1994:35), yaitu : 1) proses pembuatan kebijakan 2) proses implementasi 3) konsekuensi kebijakan
29
4) efektifitas dampak kebijakan d. Pendekatan Evaluasi Kebijakan Evaluasi kebijakan publik memiliki tipe dan pendekatan yang beragam dan berbeda, tergantung dari pada tujuan ataupun sudut pandang dari para evaluator yang akan melakukan evaluasi. Dunn (2003 : 613-620) membagi pendekatan evaluasi menjadi tiga bagian antara lain : 1. Evaluasi semu Evaluasi semu (pseudo evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri (self evident) atau tidak kontroversial. 2. Evaluasi formal. Evaluasi formal merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hal tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah dimumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuan dan target dirumuskan secara formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program. 3. Evaluasi keputusan teoritis.
30
Evaluasi keputusan teoritis adalah pendekatan yang menggunakan metodemetode
deskriptif
untuk
menghasilkan
informasi
yang
dapat
dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan. Asumsi dari evaluasi teoritis keputusan adalah bahwa tujuan dan sasaran dari perilaku kebijakan baik yang dinyatakan secara formal maupun secara tersembunyi merupakan ukuran yang layak terhadap manfaat atau nilai kebijakan dan program. Tabel 1.1 : Pendekatan Evaluasi Manurut William Dunn Pendekatan
Tujuan
Asumsi
Bentuk-Bentuk Utama
Evaluasi Semu Menggunkan metode
Ukuran manfaat atau 1. Eksperimental
deskriptif untuk
nilai terbukti dengan
menghasilkan informasi
sendirinya atau tidak 2. Akuntansi
yang valid tentang hasil
controversial
kebijakan
sosial
sistem sosial 3. Pemeriksaan sosial 4. Sintesis
riset
dan praktik Evaluasi
Menggunakan metode
Tujuan dan sasaran
Formal
deskriptif untuk
dari pengambil
menghasilkan informasi
kebijakan dan
yang terpercaya dan valid administrator yang mengenai hasil kebijakan secara resmi secara formal diumumkan diumumkan sebagai tujuan program
merupakan ukuran
kebijakan
yang tepat dari manfaat atau nilai
1. Evaluasi perkembangan 2. Evaluasi eksperimental 3. Evaluasi proses retrospektif 4. Evaluasi
hasil
retrospektif
31
Evaluasi
Menggunakan metode
Tujuan dan sasaran
1. Penilaian
Keputusan
deskriptif untuk
dari berbagai pelaku
tentang
Teoritis
menghasilkan informasi
yang diumumkan
tidaknya evaluasi
yang terpercaya dan valid secara formal mengenai hasil kebijakan ataupun diam-diam yang secara eksplisit
dapat
2. Analisis utilitas
merupakan ukuran
multiatribut
diinginkan oleh berbagai yang tepat dari pelaku kebijakan.
manfaat atau nilai.
Sumber : Dunn (2003:612) e.
Tahapan dan Kendala Evaluasi Kebijakan Evaluasi dalam pelaksanaanya memiliki tahapan atau langkah-langkah
yang dapat dilakukan agar dapat berjalan secara sistematis. Evaluasi dengan ilmiah merupakan evaluasi yang mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk menjalankan evaluasi kebijakan dibandingkan dengan tipe evaluasi lain (Winarno, 2007 : 169). Edward A. Suchman di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan tujuh langkah dalam evaluasi kebijakan (Winarno, 2007 : 169), yaitu : 1) Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi. 2) Analisis terhadap masalah. 3) Deskripsi dan standardisasi kegiatan. 4) Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi. 5) Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain. 6) Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.
32
Menurut Suchman, mendefinisikan masalah merupakan tahap paling penting dalam evaluasi kebijakan.Setelah masalah didefinisikan dengan jelas maka tujuan-tujuan dapat disusun dengan jelas pula. Oleh karena itu, ia juga mengidentifikasi beberapa pertanyaan operasional untuk menjalankan riset evaluasi seperti : 1) Apakah yang menjadi isi dari tujuan program ? 2) Siapa yang menjadi target program ? 3) Kapan perubahan yang diharapkan terjadi ? 4) Apakah tujuan yang ditetapkan satu atauan banyak (unitary or multiple) ? 5) Apakah dampak yang diharapkan besar ? 6) Bagaimanakah tujuan-tujuan tersebut dicapai ? Langkah-langkah tersebut dibuat agar suatu evaluasi dapat efektif dengan berjalan secara sistematis. Pada pelaksanaanya sendiri, evaluasi tidak terlepas dari kemungkin timbulnya masalah atau kendala. Hal ini disebabkan evaluasi juga merupakan proses yang kompleks, sehingga kendala atau masalah tersebut dapat menghambat pelaksanaan evaluasi tersebut. Anderson dalam Winarno (2007 : 175-179) mengidentifikasi enam masalah yang akan dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan. 1) Ketidakpastian atas tujuan-tujuan kebijakan. Bila tujuan-tujuan dari suatu kebijakan tidak jelas atau tersebar, maka kesulitan yang timbul adalah menentukan sejauh mana tujuan-tujuan tersebut telah dicapai. Ketidakjelasan biasanya berangkat dari proses penetapan kebijakan.
33
2) Kausalitas. Terdapat kesulitan dalam melakukan penentuan kausalitas antara tindakan-tindakan yang dilakukan terutama dalam masalah-masalah yang kompleks. Seringkali ditemukan suatu perubahan terjadi, tetapi tidak disebabkan suatu tindakan atau kebijakan. 3) Dampak kebijakan yang menyebar. Tindakan-tindakan kebijakan mungkin mempengaruhi kelompok-kelompok lain selain kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kebijakan. Hal ini sebagai akibat dari eksternalitas atau dampak yang melimpah yakni suatu dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pada keadaan atau kelompok selain mereka yang menjadi sasaran kebijakan. 4) Kesulitan-kesulitan dalam memperoleh data. Kekurangan data statistik dan informasi-informasi lain yang relevan akan menghalangi para evaluator untuk melakukan evaluasi kebijakan. 5) Resistensi
pejabat.
Para
pejabat
pelaksana
program
mempunyai
kecenderungan untuk tidak mendorong studi-studi evaluasi, menolak memberikan data, atau tidak menyediakan dokumen yang lengkap. 6) Evaluasi mengurangi dampak. Berdasarkan alasan tertentu, suatu evaluasi kebijakan yang telah dirampungkan mungkin diabaikan atau dikritik sebagai evaluasi yang tidak meyakinkan. Hal inilah yang mendorong mengapa suatu evaluasi kebijakan yang telah dilakukan tidak mendapat perhatian yang semsetinya bahkan diabaikan, meskipun evaluasi tersebut benar. f.
Bentuk Analisis Kebijakan Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat
dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan
34
sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2003:117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu: 1) Analisis Kebijakan Prospektif. Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan tranformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan (ex ante). Analisis kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan. 2) Analisis Kebijakan Retrospektif. Analisis kebijakan retrospektif adalah sebagai penciptaan dan tranformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Evaluasi proses retrospektif, yang cenderung dipusatkan pada masalah-masalah dan kendala-kendala yang terjadi selama implementasi kebijakan dan program. Evaluasi retrospektif lebih menggantungkan pada deskripsi ex post facto tentang kegiatan aktivitas program yang sedang berjalan, yang selanjutnya berhubungan dengan keluaran dan dampak. 3) Analisis kebijakan yang terintegrasi. Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil.
35
g.
Model Evaluasi Kebijakan Menurut Wayne Parsons (2008:549-552), ada dua macam model evaluasi
kebijakan yang digunakan yaitu : 1.
Evaluasi Formatif Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau
program yang sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang “seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa kondisi yang bisa meningkatkan keberhasilan implementasi”. Pada fase implementasi memerlukan evaluasi “formatif” yang akan memonitor cara dimana sebuah program dikelola atau diatur untuk menghasilkan umpan balik yang bisa berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi. Rossi dan Freeman dalam buku Parsons mendeskripsikan model evaluasi ini sebagai evaluasi pada tiga persoalan : - Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat - Apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain program atau tidak - Sumber daya apa yang dikeluarkan dalam melakukan program 2.
Evaluasi Sumatif Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur
bagaimana kebijakan atau program secara aktual berdampak pada problem yang ditanganinya. Model evaluasi ini pada dasarnya adalah model penelitian komparatif yang mengukur beberapa persoalan yaitu : a) Membandingkan sebelum dan sesudah program diimplementasikan
36
b) Membandingkan dampak intervensi terhadap satu kelompok dengan kelompok lain atau antara satu kelompok yang menjadi subjek intervensi dan kelompok lain yang tidak (kelompok kontrol) c) Menbandingkan apa yang terjadi dengan apa yang mungkin terjadi tenpa intervensi d) Atau membandingkan bagaimana bagian-bagian yang berbeda dalam satu wilayah mengalami dampak yang berbeda-beda akibat dari kebijakan yang sama. h. Kriteria Evaluasi Kebijakan Evaluasi kebijakan publik, dalam tahapan pelaksanaannya menggunakan pengembangan beberapa indikator untuk menghindari timbulnya bias serta sebagai pedoman ataupun arahan bagi evaluator. Kriteria-kriteria yang ditetapkan menjadi tolak ukur dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan publik. Nugroho (2009 : 536)
menjelaskan bahwasannya evaluasi memberi
informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.William N. Dunn (2003 : 429-438) mengemukakan beberapa kriteria rekomendasi kebijakan yang sama dengan kriteria evaluasi kebijakan, kriteria rekomendasi kebijakan sebagai berikut :
37
Tabel 1.2 : Kriteria Evaluasi Kebijakan Tipe Kriteria Efektifitas
Ilustrasi
Pertanyaan
Apakah hasil yang diinginkan telah Unit pelayanan dicapai?
Efisiensi
Seberapa
banyak
usaha
yang Unit biaya
diperluka untuk mencapai hasil yang Manfaat bersih diinginkan?
Kecukupan
Rasio biaya-manfaat
Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?
Biaya tetap (masalah tipe I) Efektivitas tetap (masalah tipe II)
Apakah Perataan
biaya
didistribusikan
dan
manfaat Kriteria Pareto
dengan
merata Kriteria
kaldor-
kepada kelompok-kelompok yang Hicks Kriteria Rawls
berbeda? Responsivitas
Apakah hasil kebijakan memuaskan Konsistensi dengan kebutuhan,
preferensi
atau
nilai survai warga negara
kelompok-kelompok tertentu? Ketepatan
Apakah
hasil
(tujuan)
yang Program
diinginkan benar-benar berguna atau harus bernilai?
publik
merata
dan
efisiensi
Sumber : William N. Dunn, 2003, Pengantar Ana Kriteria-kriteria diatas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi kebijakan publik. Karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang dirumuskan olleh William N.Dunn untuk setiap kriterianya. Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
38
1)
Efektivitas Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian
dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Apabila pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar dari pada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut. Willian N. Dunn dalam bukunya yang berjudul pengantar Analisis Kebijakan Publik : Edisi Kedua, menyatakan bahwa : “Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan,atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya” (Dunn,2003 :429). Apabila
setelah
pelaksanaan
kegiatan
kebijakan
publik
ternyata
dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu. Menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh Richard M. Steers dalam bukunya Efektivitas Organisasi menyebutkan beberapa ukuran dari pada efektivitas, yaitu : -
Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi;
-
Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan;
39
-
Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan; dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik;
-
Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut;
-
Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah semua biaya dan kewajiban dipenuhi;
-
Pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang dan masa lalunya;
-
Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya sepanjang waktu;
-
Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada kerugian waktu;
-
Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian tjuan, yaitu melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan perasaan memiliki;
-
Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu untuk mencapai tujuan;
-
Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai satu sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan mengkoordinasikan;
-
Keluwesan adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk mencegah keterbekuan terhadap rangsangan lingkungan; (Dalam Steers,1985:46-48)
40
Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan diatas, maka ukuran efektivitas merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yanag akan dicapai. 2)
Efisiensi Jika bicara mengenai efisiensi maka kita akan membayangkan hal
penggunaan sumber daya (resources) secara optimum untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Maksudnya adalah efisiensi akan terjadi jika penggunaan sumber daya diberdayakan secara optimum sehingga suatu tujuan akan tercapai. William N. Dunn berpendapat bahwa : “Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi,adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terkahir umunya diukur dari ongkos moneter. Efisieni biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisiensi.” (Dunn,2003:430) Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan. 3)
Kecukupan Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah
dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. William N. Dunn mengemukakan bahwa kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh
41
suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah (Dunn,2003 :430) Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kautnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. 4)
Perataan Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan
keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik. Willian N.Dunn menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat (Dunn, 2003:434). Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu mungkin dapat efektif,efisiensi, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari perataan yaitu keadilan atau kewajaran. 5)
Responsivitas Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai tanggapan
sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan. Menurut William N.Dunn, responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok
42
masyarakat tertentu (Dunn, 2003:437). Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan. Dunn pun mengemukakan bahwa: “Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas,efisiensi,kecukupan,kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan” (Dunn,2003:437) Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi, dan nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas,efisiensi,kecukupan, dan kesamaan. 6)
Ketepatan Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada
kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuab tersebut. William N.Dunn menyatakan bahwa kelayakan (Appropriateness) adalah: “Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut”. (Dunn, 2003:499)
43
Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya (bila ada). Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi sebelumnya baik dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau dimungkinkan alternatif lain yang dirasakan lebih baik dari suatu pelaksanaan kebijakan sehingga kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara lebih dinamis. i.
Metode Evaluasi Menurut Finsterbusch dan Motz dalam Subarsono (2008:128), untuk
melakukan evaluasi terhadap program yang telah diimplementasikan, ada beberapa metode evaluasi yang dapat dipilih yakni : 1.
Single program after-only, yaitu informasi diperoleh berdasarkan keadaan kelompok sasaran sesudah program dijalankan
2.
Single program befora-after, yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan perubahan keadaan sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.
3.
Comparative after-only, yairu informasi yang diperoleh berdasarkan keadaan sasaran dan bukan sasaran program dijalankan.
4.
Comparative before-after, yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan efek program terhadap kelompok sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.
44
Tabel 1.3 Metodologi untuk Evaluasi Program Jenis Evaluasi
Single Program After-
Pengukuran kondisi
Kelompok
Informasi yang
kelompok sasaran
Kontrol
diperoleh
Sebelum
Sesudah
Tidak
Ya
Tidak Ada Keadaan
Only
Kelompok sasaran
Single Program Before-
Ya
Ya
Tidak Ada Perubahan
After
Kelompok sasaran
Comparative After-Only
Tidak
Ya
Ada
Keadaan kelompok sasaran
dan
kelompok kontrol Comparative
Before-
Ya
Ya
Ada
After
Efek program terhadap kelompok sasaran
dan
kelompok kontrol Sumber : Subarsono (2008:130) j.
Evaluasi Dampak Sebelumnya telah disebutkan bahwa evaluasi kebijakan adalah suatu untuk
menentukan dampak dari kebijakan pada kondisi-kondisi kehidupan nyata. Dampak adalah perubahan kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari output kebijakan. Akibat dari output kebijakan ada dua macam yakni :
45
1.
Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran (baik akibat yang diharapkan atau tidak diharapkan) dan akibat tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran (impact).
2.
Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran, baik yang sesuai dengan yang diharapkan atau tidak dan akibat tersebut tidak mampu menimbulkan perilaku baru pada kelompok sasaran (effects). Evaluasi
dampak
merupakan
usaha
menentukan
dampak
atas
implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan pada keadaankeadaan atau kelompok-kelompok di luar sasaran atau tujuan kebijakan. Menurut Lester dan Stewart dalam Winarno (2007:170-171), setidaknya ada tigal hal yang dapat dilakukan oleh seseorang evaluator didalam melakukan evaluasi kebijakan publik, yaitu: pertama, evaluasi kebijakan mungkin menjelaskan keluaran-keluaran kebijakan, misalnya pekerjaan, uang, materi yang diproduksi, dan pelayanan yang disediakan. Keluaran ini merupakan hasil yang nyata dari adanya kebijakan, namun tidak memberi makna sama sekali bagi seorang evaluator. Kedua, evaluasi kebijakan barangkali mengenai kemampuan kebijakan dalam memperbaiki masalah-masalah sosial, misalnya usaha untuk mengurangi kemacetan lalu lintas atau tingkat kriminallitas. Dan ketiga, evaluasi kebijakan barangkali menyangkut konsekuensi-konsekuensi kebijakan dalam bentuk policy feedback, termasuk didalamnya adalah reaksi dari tindakan-tindakan pemerintah atau pernyataan dalam sistem pembuatan kebijakan atau dalam beberapa pembuat keputusan.
46
Pada sisi yang lain, Thomas R. Dye dalam Winarno (2007:171-173) menyatakan dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semuanya harus diperhitungkan dalam membicarakan evaluasi. 1.
Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat
2.
Kebijakan-kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan
3.
Kebijakan mungkin akan mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan dimasa yang akan datang
4.
Evaluasi juga menyangkut unsur yang lain, yakni biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan publik
5.
Dimensi yang terakhir dari evaluasi kebijakan adalah menyangkut biayabiaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik. Sekalipun dampak yang sebenarnya dari suatu kebijakan mungkin sangat
jauh dari yang diharapakan atau diinginkan, tetapi kebijakan tersebut pada dasarnya mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi masyarakat. k. Model Evaluasi Yang Digunakan Peneliti Di dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan evaluasi dampak dengan menggunakan model single program after-only. Peneliti hendak melihat keadaan kelompok sasaran sesudah program dijalankan.
47
2. Reformasi Administrasi Perpajakan a.
Pengertian Reformasi Perpajakan Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar pada disegala
aspek perpajakan. Reformasi perpajakan yang sekarang menjadi prioritas menyangkut modernisasi administrasi perpajakan jangka menengah (tiga atau hingga enam tahun) dengan tujuan tercapainya, pertama, tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi. Kedua, kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi. Dan ketiga, produktivitas aparat perpajakan yang tinggi. Sebagaimana kondisi masyarakat yang selalu berubah dan tuntutan adanya reformasi diseua bidang, kondisi dan situasi yang terjadi didalam proses pemberian pelayanan maupun penerapan administrasi kepada Wajib Pajak sudah semakin kritis dalam melihat setiap perubahan kebijakan pemerintah terutama dalam bidang fiskal. Kondisi ini mau tidak mau mengharuskan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan reformasi dibdang perpajakan. Sebagaimana yang menjadi sasarn sejak tahun 2002, bahwa reformasi perpajakan secara komperhensif sebagai satu kesatuan dilakukan terhadap tiga bidang pokok atau utama secara langsung menyentuh pilar perpajakan, yaitu: 1) Bidang administrasi, yakni melallui modernisasi administasi perpajakan. 2) Bidang peraturan, dengan melakukan amandemen terhadap Undang - undang perpajakan. 3) Bidang pengawasan, membangun bank data perpajakan nasional.
48
b.
Reformasi Administrasi Perpajakan Indonesia Administrasi perpajakan ialah cara-cara atau prosedur pengenaan dan
pemungutan perpajakan. Administrasi pajak dalam arti sempit merupakan penatausahaan dan pelayanan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban pembayaran pajak, baik penatausahaan dan pelayanan yang dilakukan di kantor pajak maupun ditempat Wajib Pajak, sedangkan administrasi pajak dalam arti luas meliputi fungsi, sistem dan organisasi atau kelembagaan. Sebagai suatu fungsi, administrasi perpajakan meliputi perencanaa, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian perpajakan. Sebagai suatu sistem, adminisrasi perpajakan merupaka seperangkat unsur (subsistem) yaitu peraturan perundang - undangan, sarana dan prasarana, dan Wajib Pajak yang saling berkaitan yang secara bersama-sama menjalankan fungsi dan tugasnya untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan sebagai lembaga administrasi perpajakan merupakan institusi yang mengelola sistem dan mengelola proses perpajakan yang terwujud pada kantor pusat, wilayah, dan pelayanan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia juga merupakan salah satu tolak ukur kinerja administrasi pajak. Administrasi perpajakan memegang peranan yang sangat penting karena seharusnya bukan saja sebagai perangka laws enforcement, tetapi lebih penting daripada itu, sebagai service point yang memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sekaligus informasi perpajakan. Pembaruan sistem administrasi perpajakan harus disusun dengan sebaik – baiknya sehingga menjadi instrumen yang mampu bekerja secara efektif dan
49
efisien. Menurut Carlos A Silvani (1992), administrasi perpajakan dikatakan efektif apabila mampu mengatasi masalah – masalah berikut : 1) Wajib Pajak yang tidak terdaftar (unregistered taxpayers) Ini artinya, sejauh mana administrasi pajak mampu mendeteksi dan mengambil tindakan terhadap masyarakat yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak walaupun seharusnya yang bersangkutan sudah memenuhi ketentuan untuk menjadi Wajib Pajak. 2) Wajib Pajak yang tidak menyampaikan surat pemberitahuan (stopfiling taxpayers) Yaitu Wajib Pajak yang sudah terdaftar di administrasi kantor pajak, tetapi tidak menyampaikan surat pemberitahuan. Administrasi pajak dituntut untuk dapat
mengumpulkan
data
sekaligus
menindaklanjutinya
dengan
meminimalkan kasus. 3) Penyelundupan pajak (tax evaders) Yaitu Wajib Pajak yang melaporkan pajak lebih kecil dari yang seharusnya menurut ketentua perundang – undangan perpajakan. Sistem Self Assessment yang sekarang berlaku memang rentan menyebabkan terjadinya modus kejahatan seperti ini, karena sangat tergantung dari kejujuran Wajib Pajak. 4) Penunggak pajak (delinquent taxpayers) Dari tahun ke tahum selalu ada tunggakan pajak yang terjadi, bahkan menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Permasalahan ini seolah sudah menjadi benang kusut yang selalu dihadapi oleh otoritas pajak setiap tahunnya.
50
Reformasi administrasi perpajakan adalah penyempurnaan kinerja administrasi, baik secara individu, kelompok, maupun kelembagaan agar efisien dan ekonomis dan cepat (Nasucha : 2004). Hal – hal yang dibutuhkan agar reformasi administrasi perpajakan berhasil yaitu: -
Struktur pajak disederhanakan untuk kemudahan, kepatuhan, dan administrasi;
-
Strategi reformasi yang cocok harus dikembangkan;
-
Komitmen
politik
yang
kuat
terhadap
peningkatan
administrasi
perpajakan. Elemen dasar reformasi administrasi perpajakan menurut Pallechio (19950 seperti yang dikutip oleh Nasucha memiliki syarat sebagai berikut: -
Komitmen politik yang berkelanjutan;
-
Staf yang mampu berkosentrasi terhadap pekerjaan dalam jangka panjang;
-
Strategi yang tepat dan didefinisikan dengan baik karena tidak ada strategi yang cocok untuk semua negara;
-
Pendidikan dan pelatihan pegawai;
-
Tersedia dana dan sumber daya lain yang cukup. Mengacu kepada prinsip – prinsip good governance reformasi administrasi
perpajakan dengan mengedepankan tujuan penerimaan negara dan mendorong tingkat kepatuhan sukarela, mengarah ke hal – hal berikut : 1) Partisipasi masyarakat yang yang tertib sosial karena pajak pada hakekatnya dari masyarakat, oleh masyarakat dan untu masyarakat.
51
2) Landasan dan kepastian hukum pengenaan, pemungutan, dan penarikan pajak. 3) Transparansi baik dari administrasi perpajakan, masyarakat yang membayar pajak maupun pihak yang terkait dengan sistem perpajakan. 4) Responsiveness, yaitu peka dan fleksibel terhadap pertumbuhan sosial, politik, hukum, ekonomi dan kebutuhan publik. 5) Keadilan dalam sistem perpajakan. 6) Adanya visi strategi dari administrator pajak. 7) Prnsip efektivitas dan efisiensi. 8) Profesionalisme dalam proses perpajakan. 9) Akuntabilitas dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. 10) Supervisi sehat. (Nasucha: 2004) Reformasi Perpajakan di Indonesia telah dilakukan pertama sekali pada tahun 1983 dimana saat itu terjadi reformasi atau perubahan sistem mendasar atas pengelolaan perpajakan Indonesia dari sistem Official Assessment ke sistem Self Assessment . Langkah pemerintah untuk terus meningkatkan penerimaan dari sektor pajak yaitu dengan melakukan reformasi perpajakan dari Official Assessment System menjadi Self Assessment System. Dalam official assessment system tanggung jawab pemungutan terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintah, sedangkan dalam Self Assessment system Wajib Pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan besarnya pajak yang terhutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan.
52
c.
Sistem Self Assessment Sistem Self Assesment adalah metode yang diterapkan untuk memberi
tanggung jawab penuh kepada Wajib Pajak
yang mana untuk memenuhi
kewajiban membayar pajak semua prosedur dan tahapannya dilakukan sendiri oleh pihak yang wajib membayar pajak tersebut. Dalam metode ini, pihak yang wajib membayar pajak diberikan wewenang untuk menghitung dan melaporkan seberapa besar beban pajak yang harus dibayar untuk setiap tahunnya, hal ini sudah ditentukan dalam Undang-Undang Perpajakan yang berlaku dan setiap Wajib Pajak harus mematuhi Undang - Undang tersebut. Self Assesment System menurut B Ilyas dalam bukunya Perpajakan Indonesia adalah pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak
untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar (2003:18). Sedangkan Self Assessment System menurut Siti Resmi dalam bukunya Perpajakan adalah system pemungutan pajak yang memberikan wewenang Wajib Pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak terhutang setiap tahunnya sesuai dengan undang-undang perpajakan yang berlaku (2003:27). Pada sistem official-assessment besarnya pajak yang seharusnya terutang ditetapkan sepenuhnya oleh Fiskus (aparat pajak). Kriteria dari Official Assesment system adalah : -
Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus;
53
-
Wajib Pajak bersifat pasif;
-
Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Sebaliknya Sistem Self Assessment merupakan sistem pemungutan pajak
yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak (Wajib Pajak), dimana kriteria Sistem Self Assessment antara lain: -
Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada Wajib Pajak sendiri;
-
Wajib
Pajak
Aktif
mulai
dari
menghitung,
memperhitungkan,
menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang; -
Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. Sebaliknya Perbedaannya kedua sistem ini terletak pada pemegang tanggung jawab
(siapa) yang menetapkan besarnya pajak yang seharusnya terutang. Jika dalam sistem official-assessment penetapan besarnya jumlah pajak Wajib Pajak menjadi tanggung jawab Fiskus, sehingga segala resiko pajak yang akan timbul menjadi tanggung jawab Fiskus, misalnya terlambat membayar atau melapor dikarenakan keterlambatan Fiskus menetapkan besarnya jumlah pajak terutang Wajib Pajak yang harus dibayar. Keterlambatan ini bisa saja dikarenakan terbatasnya petugas pajak untuk menghitung jumlah pajak yang harus dibayar Wajib Pajak, yang nota bene tidak sedikit jumlahnya. Pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem pemungutan pajaknya menjadi sistem Self Assessment dimana penetapan besarnya jumlah pajak yang
54
seharusnya terutang menjadi tanggung jawab Wajib Pajak itu sendiri, sehingga segala resiko pajak yang timbul menjadi tanggung jawab Wajib Pajak itu sendiri pula. Di sini terlihat adanya pergeseran tanggung jawab dari Fiskus kepada Wajib Pajak, yang tanpa disadari Wajib Pajak bahwa hal ini akan menjadi beban berat dalam melaksanakan kewajban perpajakannya. Fiskus dalam sistem Self Assessment hanya bertugas mengawasi pelaksanaannya saja yaitu dengan melakukan pemeriksaan atas kepatuhan Wajib Pajak terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. System Self Assessment yang kini dianut Indonesia memberikan kebebasan dan tanggung jawab yang besar kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hal ini akan berhasil apabila memenuhi beberapa syarat yang diharapkan ada dalam diri Wajib Pajak yaitu: -
Kesadaran Wajib Pajak (tax consciousness)
-
Kejujuran Wajib Pajak
-
Kemauan atau hasrat untuk membayar pajak (tax mindness)
-
Kedisiplinan Wajib Pajak (tax discipline) dalam melaksanakan peraturan perpajakan. Dalam system ini terdapat pemberian kepercayaan sepenuhnya kepada
Wajib Pajak untuk melakukan Self Assessment memberikan konsekuaensi yang berat bagi Wajib Pajak, artinya jika Wajib Pajak tidak memenuhi kewajibankewajiban Perpajakan yang dipikul kepadanya, sanksi yang dijatuhkan akan lebih berat. Oleh karena itu sistem Self Assessment mewajibkan Wajib Pajak untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku agar
55
Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik. Sistem ini juga dapat memberikan biaya tambahan (dalam arti luas) bagi Wajib Pajak karena Wajib Pajak akan mengorbankan lebih banyak waktu dan usaha serta biaya untuk membayar jasa konsultan pajak. Selain itu Self Assessment menunjukkan proporsi yang lebih kecil dari yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada, jumlah pajak yang dianggarkan akan menurun pula. Di lain pihak system ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu dapat meningkatkan produktifitas dan murah. Pemerintah tidak lagi dibebankan kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak terutang Wajib Pajak dan menerbitkan
Surat
Ketetapan
Pajak
untuk
memberitahukan
(sekaligus
memerintahkan pembayaran) jumlah tersebut kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan biaya sehubungan dengan hal tersebut dapat dihemat atau dialihkan untuk melakukan aktivitas pemerintahan lainnya. Selain itu system Self Assessment akan mendorong Wajib Pajak untuk memahami dengan baik atas system perpajakan yang berlaku terhadapnya. Selama pelaksanaan sistem Self Assessment dimulai sejak pertama kali reformasi perpajakan dilakukan hingga saat ini (1983-2009), sudah empat kali Undang - Undang KUP diubah yaitu tahun 1994, 1997, 2000 dan terakhir 2007. Perubahan yang dilakukan secara komprehensif ini membawa dampak bagi pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak, terutama perubahanperubahan
yang
berhubungan
dengan
kewajiban
Wajib
Pajak
dalam
menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya. Sering kali
56
mereka dihadapkan dengan keterbatasan informasi mengenai perubahan tersebut sehingga tidak sedikit yang akhirnya mendapat teguran dari Dirjen Pajak (Direktorat Jenderal Pajak) karena tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu. Dikarenakan Indonesia menganut sistem Self Assessment , hal ini memaksa Wajib Pajak untuk selalu aktif mencari informasi-informasi perpajakan yang terbaru, terutama yang berkaitan dengan kegiatan usahanya. Namun, tindakan Wajib Pajak tersebut kurang effektif jika tidak dibarengi dengan kebijakan Direktorat Jenderal Pajak dalam mensosialisasikan setiap informasi yang dipublikasikan kepada masyarakat. Hal ini patut diperhatikan karena tidak semua Wajib Pajak mengerti peraturan perpajakan tanpa adanya penjelasan dari Direktorat Jenderal Pajak, sehingga dapat mencegah timbulnya kesalah-pahaman antara Wajib Pajak dengan Fiskus. Di dalam melaksanakan sistem Self Assessment, pemerintah mengeluarkan beberapa
kebijakan
seperti
memberikan
penyuluhan
perpajakan
(tax
dissessmination), pelayanan perpajakan (tax service), dan pengawasan perpajakan (law enforcement ). Hal tersebut harus dapat dilaksanakan secara optimal agar tercipta kepatuhan sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan haknya di bidang perpajakan. Penyuluhan perpajakan perlu dilakukan untuk mmberikan penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan sistem Self Assessment ini, karena tidak satu pasal pun dalam undang-undang perpajakan yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem Self Assessment kecuali di dalam penjelasan atas undang-undang R.I No.6 Tahun
57
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi, Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah: a) Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. b) Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya
berkewajiban
melakukan
pembinaan,
penelitian,
dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundangundangan perpajakan; c) Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang (Self Assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak. Dari penjelasan tersebut diharapkan Wajib Pajak lebih memahami kewajiban perpajakannya,namun apakah sistem Self Assessment tersebut telah memenuhi kebutuhan Wajib Pajak dan Fiskus, dimana sistem tersebut harus dapat
58
mengefisiensikan administrasi pajak yaitu tidak menyulitkan pemerintah dalam memungut pajak dan memudahkan Wajib Pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya. Menurut Fritz Neumark, kemudahan dalam melakukan administrasi tercermin jika memenuhi empat syarat sebagai berikut: a) The requirement of clarity, yaitu dalam proses pemungutan pajak terdapat kejelasan, antara lain menyangkut kejelasan mengenai subjek, objek, tarif, kapan pajak harus dibayar, di mana harus dibayar, hak-hak Wajib Pajak, sanksi hukum bagi Wajib Pajak maupun bagi pejabat pajak (kursif-pen) dan sebagainya. b) The requirement of continuity, yaitu menyangkut perlunya kesinambungan kebijaksanaan, karena peraturan perundang-undangan kemungkinan dapat berubah-ubah dan bervariasi, tapi tetap dalam kerangka kebijakan umum perpajakan. c) The requirement of economy, yaitu menghendaki agar organisasi dan administrasi pajak (fiskus) dilaksanakan seefisien mungkin, karena biaya dan tenaga yang dikorbankan untuk pemungutan pajak harus seimbang, dalam hal efisiensi itu bukan hanya dari segi fiskus, tapi juga dari segi Wajib Pajak. d) The requirement of convinience, yaitu menghendaki supaya dalam melaksanakan kewajiban perpajakan Wajib Pajak merasa senang, maksudnya tidak merasa tertekan, merasa diburu atas kewajiban membayar pajak. Misalnya, merasa senang karena dapat mencicil hutang
59
pajak atau merasa senang karena tidak dipersulit dalam memperoleh kembali kelebihan membayar pajak. Pelayanan
di
bidang
perpajakan
dilakukan
untuk
memberikan
kenyamanan, keamanan dan kepastian bagi Wajib Pajak di dalam pemenuhan kewajiban dan haknya di bidang perpajakan. Sistem Self Assessment bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Namun system ini juga membuka adanya kemungkinan penyimpangan dari Wajib Pajak untuk tidak melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar. Direktorat Jendral pajak sebagai instansi yang diberi wewenang untuk menerapkan kebijakan dalam rangka mengawasi dan menjaga penerimaan pajak wajib untuk melakukan berbagai tindakan agar system Self Assessment berjalan dengan baik. Dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan system self assessment, Dirjen Pajak melakukan dua fungsi utama : 1) Fungsi pemeriksaaan (audit function) yang ditujukan untuk memantau dan mengawasi kepatuhan Wajib Pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 2) Fungsi pemungutan atau penagihan (colection function) yang ditujukan unuk meneliti dan mencatat pembayaran pajak, meneliti bahwa semua pelaporan Wajib Pajak telah diikuti dengan pelunasan pajak yang terutang, baik sebagian maupun keseluruhan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
60
Untuk meyakinkan sistem Self Assessment dilaksanakan dengan baik, perlu dilakukan pengawasan (Law enforcement ) dalam pelaksanaannya. Peran pengawasan ini dilakukan oleh Fiskus dalam bentuk pemeriksaan (tax audit) dengan maksud menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, kemudian penyidikan pajak (tax investigation) dan terakhir berupa penagihan pajak (tax collection). Pemeriksaan dalam fungsinya merupakan salah satu alat yang diperlukan dalam melaksanakan manajemen perpajakan. Khususnya dalam Self Assessment system ada ketentuan bahwa pelaporan Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) harus dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalahan. Pembuktian tersebut dilakukan melalui serangkaian kegiatan penelitian dan pemeriksaan. Pada prinsipnya pemeriksaan merupakan kegiatan mengumpulkan bukti/bahan-bahan untuk dijadikan dasar menerbitkan Surat Ketetapan dan tujuan lain yang berkaitan dengan administrasi pajak. Kecuali pemeriksaan tersebut merupakan kegiatan rutin yang bukan insidental. Penyidikan pajak dilakukan sebagai salah satu upaya Direktorat Jenderal Pajak untuk menindak Wajib Pajak yang telah melakukan tindakan pidana dalam bidang perpajakan. Menurut undang-undang perpajakan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan terjadinya tindakan pidana dalam perpajakan apabila Wajib Pajak melakukan hal-hal seperti alpa, sengaja, percobaan dan pengulangan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Oleh karena
itu
diperlukan
suatu
tindakan
penyidikan
untuk
mencari
dan
61
mengumpilkan bukti serta memperjelas tindak pidana pajak yang telah dilakukan Wajib Pajak. Penagihan pajak dilakukan apabila terdapat selisih perhitungan pajak terutang dalam SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dengan perhitungan menurut Fiskus sehingga timbul pajak terutang kurang bayar. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) untuk Wajib Pajak yang bersangkutan. Penagihan pajak juga dilakukan atas sanksi admnistrasi pajak berupa bunga dan denda yang timbul akibat kelalaian Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang belum dilunasi Wajib Pajak yang bersangkutan. Dalam praktiknya, sistem Self Assessment ini masih terbentur dengan beberapa kendala, diantaranya sebagai berikut: 1) Kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat untuk menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri masih diragukan kebenarannya,oleh karena itu dapat menimbulkan terjadinya penyeludupan pajak karena yang mengetahui kebenaran SPT yang dilaporkan Wajib Pajak hanya ia sendiri. 2) Masih
banyaknya
Wajib
Pajak
yang
kesulitan
untuk
menghitung/memperhitungkan pajak yang terutang, karena di dalam undang-undang tidak dijelaskan secara terinci bagaimana menghitung pajak terutang untuk berbagai jenis usaha, sehingga banyak perusahaan yang akhirnya melakukan kesalahan dalam menghitung pajak terutangnya. Lain halnya ketika Wajib Pajak harus melakukan rekonsiliasi laporan
62
keuangan komersial sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan menjadi laporan keuangan fiskal. Seperti yang dilakukan di Belanda, dimana laporan keuangan fiskal merupakan by product dari akuntansi komersial. 3) Kendala juga tidak terjadi di pihak Wajib Pajak, di pihak fiskus juga terjadi masalah yaitu terbatasnya akses data Wajib Pajak yang dimiliki oleh pihak ketiga sehingga mempersulit Direktorat Jenderal Pajak untuk mendeteksi kebenaran isi SPT yang dilaporkan Wajib Pajak. Sehingga pengawasan tidak dapat dilakukan secara optimal. Sejauh ini pelaksanaan sistem Self Assessment masih dipertahankan sesuai dengan yang tertera di dalam peraturan perundang-undangan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No.28 tahun 2007. Perubahan undang-undang yang terakhir ini sudah lebih banyak menunjukkan perkembangannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Fasilitas pelayanan pun sudah ditingkatkan dengan adanya modernisasi di kantor-kantor pelayanan pajak sehingga lebih memudahkan akses Wajib Pajak untuk mencari informasi perpajakan terkini, dan Wajib Pajak yang memilki mobilitas tinggi. Untuk menilai kinerja sistem pemungutan pajak ini, diperlukan beberapa alat ukur, menurut penelitian Gunawan Setiyaji dan Hidayat Amir, diantaranya : 1) Penerimaan pajak 2) Tax ratio (tax coverage ratio dan tax buoyancy ratio) 3) Jumlah pertambahan Wajib Pajak 4) Tingkat kepatuhan Wajib Pajak (voluntary compliance)
63
d.
Kewajiban Wajib Pajak Selain
mempunyai
hak,
Wajib
Pajak
juga
harus
menjalankan
kewajibannya. Kewajiban-kewajiban sebagai Wajib Pajak berdasarkan undangundang sebagai berikut: 1) Mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor pengukuhan pengusaha kena pajak. 2) Menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak terutang, termasuk kewajiban pemungut dan pemotong pajak. 3) SPT Mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, jelas, lengkap, dan ditandatangani. 4) Pembukuan - Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. - Menyimpan pembukuan selama 5 tahun. 5) Pembayaran utang Menangung renteng pembayaran PPN maupun akibat adanya utang pajak. Artinya, kita ikut bertanggung jawab melunasi utang meskipun terutang atas nama perusahaan milik kita. 6) Dan lain-lain (Widodo, 2008)
64
3. Sosialisasi Perpajakan a.
Pegertian sosialisasi Kegiatan penyuluhan pajak memiliki andil besar dalam mensukseksan
sosialisasi pajak keseluruhan Wajib Pajak. Hal ini tertuang dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP.114/PJ/2005 tentang Pembentukan Tim Sosialisasi Perpajakan. Berbagai media diharapkan mampu menggugah kesadaran Wajib Pajak dalam rangka meningkatkan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak dalam rangka pentingya pajak bagi pembiayaan negara dapat tersampaikan. Sosialisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti yaitu proses belajar seseorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyrakat di lingkungannya. Arti berikutnya adalah upaya memasyarakatkan sesuatu sehingga menjadi dikenal, dipahami, dihayati oleh masyarakat atau pemasyarakatan. Pengertian sosialisasi menurut Soerjono Soekanto adalah suatu proses yang menempatkan anggota masyarakat yang baru mempelajari norma – norma dan nilai – nilai masyarakat di tempat dia menjadi anggota, sedangkan pengertian sosialisasi menurut Robert M.Z Lawang adalah proses mempelajari norma, nilai, peran dan persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif dalam kehidupan sosial. Broom dan Seznic (1961) menyatakan bahwa sosialisasi adalah proses membangun atau menanamkan nilai – nilai kelompok pada diri seseorang. Ritcher Jr, (1987) Sosialisasi adalah proses seseorang memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap agar dapat berfungsi sebagai orang dewasa
65
dan sekaligus sebagai pemeran aktif dalam suatu kedudukan atau peranan tertentu di masyarakat. Menurut samudera (2004:6) bahwa dalam melakukan sosialisasi perlu adanya strategi dan metode yang tepat yang dapat diaplikasikan dengan baik, yaitu : publikasi, kegiatan, pemberitaan, keterlibatan komunitas, pencantuman identitas, dan pendekatan pribadi. Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan beberapa pengertian pokok sosialiasi sebagai berikut: 1) Sosialisasi adalah proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. 2) Dalam sosialisasi terjadi saling mempengaruh antara individu beserta segala potensi kemanusiaan masyarakat beserta kebudayaannya. 3) Melalui proses sosialisasi individu menyerap pengetahuan, kepercayaan nilai – nilai norma, sikap dan keterampilan – keterampilan dari budaya masyarakatnya. 4) Hasil sosialisasi adalah berkembangnya kepribadian seseorang menjadi suatu pribadi yang unik, sedangkan kebudayaan masyarakat juga terpelihara dan berkembang melalui proses sosialisasi.
b. Dimensi Sosialisasi Perpajakan Dampak dari adanya beberapa perubahan dalam undang - undang perpajakan mengharuskan Direktorat Jendral Pajak untuk melakukan sosialisasi perpajakan dan juga turut membantu masyarakat dalam memahami peraturan pajak terbaru. Dengan kegiatan sosialisasi perpajakan diharapkan dapat
66
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan perpajakan bagi semua Wajib Pajak, membangun kesadaran membayar dan melaporkan kewajiban. Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-98/PJ./2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja dan Laporan Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Unit Vertikal di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, disebutkan bahwa upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang hak kewajiban perpajakannya harus terus dilakukan karena beberapa alasan, antara lain: 1) Program ekstensifikasi yang terus menerus dilakukan Direktorat Jenderal Pajak diperkirakan akan menambah jumlah Wajib Pajak Baru yang membutuhkan sosialisasi/penyuluhan; 2) Tingkat kepatuhan Wajib Pajak terdaftar masih memiliki ruang yang besar untuk ditingkatkan; 3) Upaya untuk meningkatkan jumlah penerimaan pajak dan meningkatkan besarnya tax ratio; 4) Peraturan dan kebijakan di bidang perpajakan bersifat dinamis. Dalam rangka mencapai tujuannya, maka kegiatan sosialisasi atau penyuluhan perpajakan dibagi ke dalam 3 (tiga) fokus, yaitu: 1) Kegiatan sosialisasi bagi calon Wajib Pajak bertujuan untuk membangun awareness tentang pentingnya pajak serta menjaring Wajib Pajak baru. 2) Kegiatan sosialisasi bagi Wajib Pajak baru bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, khususnya bagi mereka yang belum menyampaikan SPT dan belum melakukan penyetoran pajak untuk yang pertama kali.
67
3) Kegiatan sosialisasi bagi Wajib Pajak terdaftar bertujuan untuk menjaga komitmen Wajib Pajak untuk terus patuh. Aspek yang akan diperoleh dari penyampaian informasi perpajakan yang dilakukan pemerintah akan sangat mempengaruhi kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak, (Soekanto, 2002) antara lain: 1) Waktu Dalam mensosialisasikan pajak Ditjen Pajak dapat menggunakan waktu di setiap kesempatan yang ada, baik dengan mengunjungi ke masing – masing rumah atau tempat uaha, maupun saat Wajib Pajak sendiri datang ke kantor pajak setempat. 2) Media yang digunakan Media informasi tentang pajak bersumber dari media massa, namun media luar ruang juga menjadi sumber informasi pajak yang diperhatkan masyarakat, maka sebaiknya media informasi lebih banyak digunakan dalam sosialisasi perpajakan. 3) Bentuk Sosialisasi Bentuk sosialisasi berupa penyampaian materi sosialisasi kepada masyarakat harus lebih ditekankan pada manfaat pajak, manfaat Nomor Pokok Wajib Pajak dan pelayanan pajak dimasing – masing unit. Sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat melalui seminar, diskusi, serta penyuluhan. 4) Informasi yang disampaikan
68
Kualitas informasi yang disampaikan sebaiknya menggunakan bahasa yang sesederhana mungkin dan bukan bersifat teknis, sehingga informasi tersebut dapat diterima dengan baik.
c.
Tugas Tim Sosialisasi Direktorat Jenderal Pajak mengatur pembentukan tim sosialisasi untuk
memberikan sosialisasi perpajakan bagi masyarakat dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP – 114/PJ/2005. Kepada tim sosialisasi perpajakan ini dibebankan empat tugas penting antara lain: -
Menyiapkan metode dan materi sosialisasi perpajakan kepada pelajar, mahasiswa, dan masyrakat Wajib Pajak
-
Melakukan sosialisai perpajakan kepada pelajar, mahasiswa, dan masyrakat Wajib Pajak
-
Meningkatkan pemahaman pelajar, mahasiswa, dan masyrakat Wajib Pajak tentang perpajakan
-
Tugas – tugas lain sebagaimana yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak. Segala biaya yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan tugas tim
berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Pajak ini dibebankan pada Daftar Alokasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Direktorat Jenderal Pajak.
d. Bentuk Sosialisasi Kegiatan sosialisasi atau penyuluhan perpajakan dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut:
69
1) Sosialisasi langsung Sosialisasi langsung adalah kegiatan sosialisasi perpajakan dengan berinteraksi langsung dengan Wajib Pajak atau calon Wajib Pajak. 2) Sosialisasi Tidak Langsung Sosialisasi tidak langsung adalah kegiatan sosialisasi perpajakan kepada masyarakat dengan tidak atau sedikit melakukan interaksi dengan peserta. Contoh kegiatan sosialisasi tidak langsung antara lain sosialisasi melalui radio/ televisi, penyebaran buku/ booklet/ leaflet perpajakan. Bentuk-bentuk sosialisasi tidak langsung dapat dibedakan berdasarkan medianya. Direktorat Jendral Pajak mengatur mengenai penyeragaman kegiatan sosialisasi perpajakan bagi masyarakat dalam surat edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-22/PJ/2007. Media informasi yang dapat digunakan dalam melakukan sosialisasi perpajakan meliputi media televisi, koran, spanduk, flyers (poster dan brosur), billboard/mini billboard, dan radio. Penyampaian informasi perpajakan dapat dilakukan dengan cara kontak langsung dengan masyarakat misalnya melalui seminar, diskusi dan sejenisnya.
4. Surat Pemberitahuan a.
Pengertian Surat Pemberitahuan Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan
untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (Waluyo, 2010:31)
70
b. Fungsi Surat Pemberitahuan Bagi Wajib Pajak, Surat Pemberitahuan adalah sebagai saran untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: 1) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (Satu Tahun Pajak) atau bagian tahun pajak; 2) Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak; 3) Harta dan kewajiban; 4) Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak Orang Pribadi atau Badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perundang – undangan perpajakan yang berlaku. Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: 1) Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; 2) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan yang berlaku.
71
Bagi pemotong pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. (Suandy: 2008)
c.
Jenis Surat Pemberitahuan Jenis SPT berdasarkan saat pelaporannya, SPT dibedakan menjadi 2 (dua)
yaitu sebagai berikut: 1) SPT Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau pada suatu saat. 2) SPT Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak. SPT Tahunan ini terbagi dalam 4 (Empat) Jenis SPT antara lain sebagai berikut: - SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (1770); - SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (1770S); - SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan dari satu pemberi kerja dengan penghasilan bruto tidak lebih dari Rp 60.000.000,00 setahun (1770SS); - SPT Tahunan PPh Badan (1771) (Waluyo, 2010 : 39).
72
d. Jangka Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan Batas Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan dibedakan untuk: 1) Untuk Surat Pemberitahuan Masa No
Jenis Pajak
Pihak Yang
Batas Waktu Penyampaian
Menyampaikan SPT 1.
PPh Pasal 21
Pemotong PPh Pasal 21
Paling 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir
2.
PPh Pasal 22
Bea Cukai
– Impor
3.
4.
PPh Pasal 22
PPh Pasal 22
14 (empat belas) hari setelah akhir Masa Pajak
Bendaharawan
14 (empat belas) hari setelah
Pemerintah
akhir Masa Pajak
Pemungut Pajak (DJBC)
Secara mingguan paling lama
oleh DJBC
7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak.
5.
6.
PPh Pasal 22
Pihak yang melakukan
Paling lama 20 (dua puluh)
penyerahan
hari setelah akhir Masa Pajak
PPh Pasal 22
Pihak yang melakukan
Paling lama 20 (dua puluh)
badan
penyerahan
hari setelah akhir Masa Pajak
Pemotongan PPh Pasal
Paling lama 20 (dua puluh)
23
hari setelah akhir Masa Pajak
Wajib Pajak yang
Paling lama 20 (dua puluh)
memiliki NPWajib Pajak
hari setelah akhir Masa Pajak
tertentu 7.
8.
PPh Pasal 23
PPh Pasal 25
73
9.
PPh Pasal 26
Pemotong PPh Pasal 26
Paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak
10. PPn dan
Pengusaha Kena Pajak
PPnBM
11. PPn dan
Paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak
Bea Cukai
PPnBM
Paling lama 7 (tujuh) hari setelah akhir Masa Pajak
DJBC 12. PPn dan PPnBM
Pemungut Pajak selain
Paling lama 20 (dua puluh)
Bendaharawan
hari setelah akhir Masa Pajak
2) Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan No
Jenis SPT
Batas Waktu Penyampaian
1.
SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang Paling lama 3 (tiga) bulan melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan setelah akhir Tahun Pajak bebas (1770)
2.
SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang Paling lama 3 (tiga) bulan tidak melakukan kegiatan usaha atau setelah akhir Tahun Pajak pekerjaan bebas (1770S)
3.
SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang Paling lama 3 (tiga) bulan mempunyai penghasilan dari satu pemberi setelah akhir Tahun Pajak kerja dengan penghasilan bruto tidak lebih dari Rp 60.000.000,00 setahun (1770SS)
4.
SPT Tahunan PPh Badan (1771)
Paling
lama
4
(empat)
bulan setelah akhir Tahun Pajak (Waluyo: 2010)
74
e.
Perpanjangan Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan
1) Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk data elektronik yang dihasilkan dari aplikasi yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak 2) Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan dibuat secara tertulis dan disampaikan ke KPP sebelum batas waktu penyampaian berakhir, dengan dilampiri: a) Perhitungan sementara pajak terutang dalam 1 tahun pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang; b) Laporan keuagan sementara; dan c) Surat Setoran Pajak (SSP) sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak terutang. 3) Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan Wajib Pajak ditandatangani Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak. 4) Jika ditandatangani Kuasa, SPT Tahunan harus dilampiri surat kuasa khusus. 5) Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan dapat dengan cara: a) Langsung; b) Melalui Pos dengan bukti pengiriman surat; c) Cara lain: - Melalui jasa ekspedisi atau kurir dengan bukti pengiriman surat; atau - e-filling melalui ASP
75
6) Penyampaian
pemberitahuan perpanjangan akan diberikan tanda
penerimaan surat atau bukti penerimaan elektronik 7) Pemberitahuan perpanjangan
yang tidak memenuhi ketentuan
dianggap bukan peberitahuan perpanjangan SPT Tahunan dan Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak. (Suandy: 2008)
f.
Sanksi Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan atau melebihi batas waktu perpanjangan penyampaian SPT, maka akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda. Besarnya denda adalah: 1) Sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa PPN; 2) Sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Orang Pribadi 3) Sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Badan. (Suandy: 2008)
g.
Mekanisme Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menerbitkan peraturan terbaru terkait
dengan proses penyampaian SPT Tahunan. Peraturan ini adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2012 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan SPT Tahunan, yang berlaku terhitung mulai 1 Januari 2013.
76
Berdasarkan sumber Ditjen Pajak, peraturan tersebut mencabut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2011 (berlaku sejak 30 Desember 2011) tentang perubahan kedua Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER19/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan SPT Tahunan. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2012 mengatur bagaimana cara wajib pajak (WP) menyampaikan SPT Tahunan. Ada empat cara penyampaian SPT Tahunan yang diatur dalam peraturan ini, yaitu: 1) Secara Langsung Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan secara langsung dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: - Melalui Tempat Pelayanan Terpadu Penyampaian SPT Tahunan harus disampaikan di TPT KPP tempat WP terdaftar dalam hal SPT Tahunan LB, SPT Tahunan pembetulan, SPT Tahunan yang disampaikan setelah batas waktu penyampaian SPT, dan/atau SPT Tahunan dalam bentuk e-SPT. - Melalui Pojok pajak/mobil pajak/dropbox di mana saja Yang dapat disampaikan melalui Pojok pajak/mobil pajak/dropbox dimana saja adalah untuk SPT Tahunan selain: SPT Tahunan LB, SPT Tahunan pembetulan, atau SPT Tahunan yang disampaikan setelah batas waktu penyampaian SPT. Penyampaian SPT Tahunan secara langsung dilakukan tidak dalam amplop atau kemasan lainnya.
77
2) Melalui pos dengan bukti pengiriman surat ke KPP tempat WP terdaftar Penyampaian SPT Tahunan melalui pos dilakukan dalam amplop tertutup yang telah dilekati lembar informasi amplop SPT Tahunan (format terlampir) yang berisi data sebagai berikut: - Nama Wajib Pajak - NPWP - Tahun Pajak - Status SPT (Nihil/Kurang Bayar/Lebih Bayar) - Jenis SPT (SPT Tahunan/SPT Tahunan Pembetulan Ke-...) - Perubahan Data (Ada/Tidak Ada) - Nomor Telepon - Pernyataan - Tanda Tangan WP
3) Melalui perusahaan jasa ekspedisi atau kurir dengan bukti pengiriman surat ke KPP tempat WP terdaftar. Penyampaian SPT Tahunan melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dilakukan dalam amplop tertutup yang telah dilekati lembar informasi amplop SPT Tahunan yang berisi data sebagai berikut: - Nama Wajib Pajak - NPWP - Tahun Pajak - Status SPT (Nihil/Kurang Bayar/Lebih Bayar)
78
- Jenis SPT (SPT Tahunan/SPT Tahunan Pembetulan Ke-...) - Perubahan Data (Ada/Tidak Ada) - Nomor Telepon - Pernyataan - Tanda Tangan WP.
4) E-filling melalui website DJP (www.pajak.go.id) atau penyedia jasa ASP.
5. Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung Self Assessment system, dimana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakannya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar serta melaporkan pajaknya tersebut.
a.
Definisi Kepatuhan Wajib Pajak Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif Wajib Pajak dalam
menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi, yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya. Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary of complience) merupakan tulang punggung dari self assesment system, dimana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan kemudian secara akurat dan tepat waktu dalam membayar dan melaporkan pajaknya.
79
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1995:1013), istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk, dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Jadi Wajib Pajak yang patuh adalah Wajib Pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan perajakan (Devano dan Rahayu, 2006:110). Pengertian kepatuhan Wajib Pajak menurut Safri Nurmantu yang dikutip oleh Siti Kurnia Rahayu (2010:138), menyatakan bahwa: “Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya”. Pengertian kepatuhan Wajib Pajak menurut Chaizi Nasucha yang dikutip oleh Siti Kurnia Rahayu (2010:139), menyatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak dapat didefinisikan dari: 1) Kewajiban Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri. 2) Kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat pemberitahuan. 3) Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang. 4) Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Sedangkan menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 dalam Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006:112), menyatakan bahwa: “Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara”.
80
b. Jenis Kepatuhan Wajib Pajak Adapun jenis-jenis kepatuhan Wajib Pajak menurut Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006:110) adalah: 1) Kepatuhan formal berkaitan dengan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kwajiban perpajkannya sesuai dengan undang- undang perpajakan yang berlaku. Kepatuhan formal dapat dilihat dari aspek kesadaran Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri, ketepatan waktu Wajib Pajak dalam menyampaikan SPT Tahunan, Ketepatan waktu dalam membayar pajak dan pelaporan Wajib Pajak melakukan pembayran dengan tepat waktu. 2) Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif/hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan yaitu sesuai isi dan jiwa undang - undang pajak kepatuhan material juga dapat meliputi kepatuhan formal.
c.
Fator-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Menurut Devano dan Rahayu (2006:112) kepatuhan Wajib Pajak
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: - Kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara. - Pelayanan pada Wajib Pajak. - Penegakan hukum perpajakan. - Pemeriksaan pajak. - Tarif pajak.
81
Administrasi perpajakan di Indonesia masih perlu diperbaiki, dengan perbaikan diharapkan Wajib Pajak lebih termotivasi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dengan alat untuk mencapai suatu sistem telah diperbaiki maka faktor-faktor lain akan terpengaruh. Administrasi baik karena intansi pajak, sumber daya aparat pajak, dan prosedur perpajakannya baik. Dengan kondisi tersebut maka usaha memberikan pelayanan bagi Wajib Pajak akan lebih baik, lebih cepat, dan menyenangkan Wajib Pajak. Dampaknya akan tampak pada kerelaan Wajib Pajak untuk membayar pajak. Wajib Pajak akan patuh (karena tekanan) karena mereka berfikir adanya sanksi berat akibat tindakan illegal dalam usahanya untuk menyelundupkan pajak. Tindakan pemberian sanksi tersebut terjadi jika Wajib Pajak terdeteksi dengan administrasi yang baik dan terintegrasi serta melalui aktivitas pemeriksaan oleh aparat pajak yang berkompeten dan memiliki integrasi tinggi, melakukan tindakan tax evasion. Penurunan tarif pajak juga akan mempengaruhi motivasi Wajib Pajak membayar pajak. Dengan tarif pajak yang rendah otomatis pajak yang dibayar pun tidak banyak.
d. Indikator Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak dalam Devano dan Rahayu (2006:110) sebagai “suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana: 1) Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan. 2) Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
82
3) Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. 4) Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Menurut Nasucha (2004) dalam Devano dan Rahayu (2006:111) kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi dari: 1) Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri. 2) Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan. 3) Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang. 4) Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Kemudian merujuk pada kriteria Wajib Pajak patuh menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 235/KMK.03/2003, bahwa kriteria kepatuhan Wajib Pajak adalah: 1) Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun terakhir. 2) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk menganggur atau menunda pembayaran pajak. 3) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir. 4) Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%.
83
5) Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.
F. DEFINISI KONSEP Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep kemudian peneliti diharapkan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian (event) yang berkaitan satu dengan yang lain. (Singarimbun, 1997:33). Untuk mendapatkan batasan-batasan yang lebih jelas agar penulis penulis dapat menyederhanakan pemikiran atas masalah yang sedang penulis teliti, maka penulis menemukan beberapa konsep yang digunakan, antara lain : 1. Sosialiasi perpajakan adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok. Upaya memasyarakatkan peraturan perpajakan sehingga menjadi dikenal, dipahami, dihayati oleh masyarakat atau pemasyarakatan 2. Kepatuhan Wajib Pajak adalah sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi
semua
kewajiban
perpajakan
dan
melaksanakan
hak
perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang - undangan perpajakan yang telah diatur.
84
G. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I
PENDAHULUAN Dalam hal ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep dan sistematika penulisan.
BAB II
METODE PENELITIAN Bab ini secara umum menguraikan tentang bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini memuat tentang gambaran umum atau karakteristik lokasi penelitian yang mencakup sejarah singkat, visi dan misi, tugas dan fungsi serta struktur organisasi.
BAB IV
PENYAJIAN DATA Bab ini membahas tentang hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan selama penelitian berlangsung dan juga dokumendokumen lainnya yang akan dianalisa.
85
BAB V
ANALISIS DATA Bab ini berisikan tentang kajian dan analisa data yang diperoleh dari lapangan saat penelitian dan memberikan interpretasi terhadap masalah yang diajukan
BAB VI
PENUTUP Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran dari penulis mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan.