BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sistem komunikasi yang sangat penting bagi manusia. Segala konsep, ide, atau pikiran dapat dikemukakan melalui bahasa yang digunakan dan dikuasai (Chaer, 1994:44). Bahasa dianggap sebagai salah satu cara manusia untuk berinteraksi baik itu dengan diri sendiri maupun orang lain (Aminuddin, 2011:28; Poedjosoedarmo, 2001:169). Sesuai dengan tujuh fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Michael Halliday (1973) dikutip oleh Brown (2007:246) mengenai begitu kompleksnya aplikasi bahasa bagi manusia dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama karena bahasa pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat penuturnya. Melihat kemajuan dan penggunaan bahasa yang cukup signifikan dan beragam menjadikan pemakai bahasa harus berpikir jeli dalam mengemasnya menjadi kumpulan kata atau kalimat yang menarik, dinamis, khas dan unik, berbobot, elegan, serta persuasif agar pesan dapat diterima dan dipahami denganmudah dan jelas. Pilihan untuk menggunakan bahasa lugas dengan konsepkonsep konkrit merupakan salah satu upaya penyampai pesan dalam menghindari penafsiran-penafsiran ganda. Namun ketika konsep-konsep konkrit tersebut tidak dapat membangkitkan gambaran yang lebih menarik, variatif, dan mudah diingat dalam pikiran penerima pesan, tantangan yang harus dihadapi adalah merubahnya menjadi suatu gambaran sederhana yang mudah dipahami dengan melibatkan
1
2
konsep-konsep abstrak dan pengalaman hidup atau cara pandang di dalamnya. Bahasa yang menunjukkan konsep-konsep tersebut dikenal sebagai bahasa yang tidak lugas atau bahasa figuratif/kiasan (figurative language). Namun bahasa figuratif (BF) masih dianggap tidak sedominan bahasa literal (BL) karena bahasa figuratif pada dasarnya membutuhkan proses kognisi yang lebih lama sebelum sampai pada makna yang sebenarnya. Pradopo (2005:38) menjelaskan bahwa bahasa figuratif sebenarnya adalah gaya bahasa kiasan, hal lain yang menyatakan suatu hal secara tidak langsung dengan menyamakan suatu hal lain yang sesungguhnya tidak sama atau menyatakan suatu hal dengan hal lain untuk mendapatkan gambaran angan (imaji) yang jelas. Keraf (2009:136) menggunakan istilah membandingkan dan analogi untuk menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain yaitu dengan menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan diantara keduanya. Penyampaian definisi yang sedikit berbeda dengan langsung menekankan pada makna dikemukakan oleh Abrams (1996:96): “Figurative language is a conspicuous departure from what competent users of a language apprehend as the standard meaning of words, or else the standard order of words, in order to achieve some special meaning or effect” Terjemahan: “Bahasa kiasan adalah suatu perubahan yang sangat menyolok dari pemahaman penutur bahasa terhadap makna kata baku atau rangkaian kata baku untuk memperoleh beberapa makna atau efek khusus” Abrams menyatakan bahwa bahasa figuratif secara tidak langsung merupakan penyebab munculnya makna figuratif. Figurative meaning/transfered meaning
3
adalah pemakaian leksem dengan makna yang tidak sebenarnya (Suwandi, 2008:96). Berdasarkan jenis, bahasa figuratif atau gaya bahasa kiasan terbagi menjadi: Pradopo (2005:38-41) mengidentifikasi sebanyak 8 jenis terdiri dari perbandingan atau perumpamaan (simile), perbandingan epos (epic simile), metafora, metafora yang diperjelas (extended metaphor), alegori, personifikasi, metonimi, dan sinekdoke. SementaraKeraf (2009:136-145) mengembangkannya menjadi16 jenis terdiri dari persamaan (simile), metafora, metafora yang diperluas (alegori, parabel, dan fabel), personifikasi (prosopopoeia), alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, sindiran (ironi, sinisme, dan sarkasme), satire, inuendo, antifrasis, dan pun (paronomasia). Variasi bahasa kiasan juga ditunjukkan oleh Abrams (1996:97-99) namun hanya terdiri dari lima jenis berupa simile, metafora, metonimi (metonymy), sinekdoke (synecdoche), dan personifikasi (personification/prosopopoeia). Pemakai bahasa dapat menemukan berbagai jenis bahasa figuratif tidak hanya dalam dunia sastra yang bernuansa puitis saja namun juga dalam kehidupan sehari-hari seperti yang sering dijumpai dalam dunia perpolitikan. Bahasa politik biasanya mengandung maksud yang tersembunyi dan terkadang dapat menimbulkan persepsi yang berbeda. Pada penelitian ini, penulis mengambil contoh pemakaian varian bahasa kiasan yang terdapat dalam naskah pidato politik seorang tokoh kulit hitam paling berpengaruh di Afrika Selatan yaitu Nelson Mandela. Naskah tersebut terdiri dari tiga pidato yang disampaikan di dalam berbagai kesempatan yaitu pada saat kesaksian Mandela di persidangan tahun
4
1964, kebebasan Mandela, dan inagurasi Mandela. Ketiga pidato ini disajikan agar konsistensi dan bentuk perjuangan Mandela dapat tergambar jelas mulai dari awal perjalanan hingga keberhasilan mencapai tujuan atau dikenal dengan istilah Long March to Freedom. Bahasa politik Mandela dipilih sebagai bahan kajian karena terbukti dari tulisan yang dilansir oleh sebuah laman yaitu www.portalhr.com yang mengutip pernyataan Nancy Duarte, Principal at Duarte Design, Inc. dari sebuah blog Linkedin bahwa Mandela dikenal sebagai komunikator yang baik, negosiator ulung, dan penyampai pesan yang unik. Nelson Mandela memasukkan empat jenis bahasa figuratif ke dalam pidatonya antara lain simile, metafora, metonimi, dan personifikasi untuk membantu Mandela dalam merefleksikan konsep-konsep pemikirannya mengenai berbagai hal. Simile didefinisikan sebagai perbandingan atau perumpamaan yang menyamakan suatu hal/benda dengan hal/benda lain secara eksplisit dengan menggunakan kata-kata pembanding yaitu seperti, sebagai, bagaikan, laksana, semisal, dan seumpama (Pradopo, 2005:38; Keraf, 2009:136) atau dalam bahasa Inggris ditandai dengan kata as atau like (Abrams, 1996:97), sedangkan metafora adalah kebalikan dari simile yaitu perbandingan dua entitas secara implisit dan tidak menggunakan kata-kata pembanding (Pradopo, 2005:40; Abrams, 1996:97). Ketika hanya satu entitas yang digunakan untuk menandai entitas lain karena dianggap memiliki pertalian yang sangat dekat, gaya bahasa kiasan tersebut adalah metonimi (Keraf, 2009:142; Abrams, 1996:98; Lakoff dan Johnson, 1980:35). Secara singkat metonimi dapat didefinisikan sebagai suatu kedekatan makna. Sementara itu, personifikasi yang merupakan corak khusus dari metafora
5
didefinisikan sebagai gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda mati/barang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Keraf, 2009:140; Abrams, 1996:99; Lakoff dan Johnson, 1980:33). Berikut contoh keempat jenis bahasa kiasan Nelson Mandela: Tabel 1.Varian Bahasa Figuratif (BF) dalam Naskah Pidato Nelson Mandela Simile The national mood changes as the season change.
Metafora On this day of my release, I extend my sincere and warmest gratitude to the millions of my compatriots and those in every corner of the globe who have campaigned tirelessly for my release.
Metonimi In fact, I believe none of the trial is irrelevant because it will, enable the Court to appreciate the attitude eventually adopted by the various persons and bodies concerned in the National Liberation Movement.
Personifikasi Experienceconvinced us that rebellion would offer the Government limitless opprtunities for the indiscriminate slaughter of our people.
Pada contoh simile, terlihat secara eksplisit perbandingan antara dua entitas menggunakan kata as sebagai penanda. Frase national mood “suasana nasional” disamakan dengan seasons change “perubahan cuaca”. Kedua entitas tersebut sama-sama dapat berubah dikarenakan oleh adanya pengaruh kondisi lingkungan yang terjadi di suatu wilayah. Selain secara eksplisit, perbandingan dua entitas juga dapat dilakukan secara implisit yaitu menggunakan gaya bahasa kiasan metafora. Frase in every corner of “di setiap sudut” menandai metafora dengan membandingkan antara globe “dunia” dan house “rumah”. Globe dan house disamakan untuk menunjukkan sebuah tempat yang sangat bermanfaat bagi manusia dalam beraktivitas. Seperti halnya simile dan metafora, Nelson Mandela menggunakan personifikasi juga untuk menunjukkan persamaan yaitu dengan membandingkan antara nomina experience “pengalaman” dan manusia. Proses
6
yang sedikit berbeda dari ketiga gaya bahasa kiasan sebelumnya, metonimi hanya menggunakan satu entitas yaitu bodies. Tubuh manusia digunakan Nelson Mandela tidak hanya semata-mata untuk untuk menggambarkan satu makna saja yaitu sekelompok orang, namun juga fungsi atau manfaat adanya keterlibatan orang-orang tersebut bagi Mandela. Keempat jenis bahasa figuratif tersebut memiliki keunikan tersendiri. Namun dikarenakan oleh signifikansi yang kecil dari simile, metonimi, dan personifikasi dalam tiga pidato tersebut dibandingkan dengan metafora, penulis memilih gaya bahasa kiasan metafora sebagai obyek penelitian. Metafora mendapat perhatian khusus karena dinilai telah menjadi satu keluaran atau sumber untuk melayani pikiran dan perasaan pemakai bahasa berupa motivasi yang kuat dalam menyatakan perasaan, emosi yang mendalam, dan sarana kebahasaan yang bersifat ekspresif seperti yang diungkapkan oleh Parera (2004:119). Pada pidato Nelson Mandela, metafora dimanfaatkan untuk mendramatisir kejadian-kejadian
penting
dalam
proses
perjuangannya,
membangkitkan
sentimen-sentimen dan solidaritas akan perasaan senasib dan sepenanggungan seperti sebuah pernyataan yang berbunyi: “We are in the same boat” yang bermakna to be in the same unpleasant situation as other people“ berada pada situasi yang tidak menyenangkan sama seperti orang-orang lainnya”. Karena berada di negara yang sama, tujuan yang sama, dan nasib yang sama diharapkan semua pihak yang terlibat saling mendukung demi kepentingan bersama. Pembahasan ini memasukkan personifikasi ke dalam analisis metafora karena sesuai dengan pendapat Lakoff dan Johnson (1980:34) bahwa jenis bahasa kiasan
7
ini merupakan kategori umum yang mencakup bagian-bagian yang sangat luas dari metafora yang juga dapat membantu manusia untuk memahami tujuan, tindakan, dan karakteristik dasar masing-masing. Berikut beberapa contoh penggunaan metafora oleh Nelson Mandela yang diambil secara acak (random sampling) dari tiga pidatonya: (1) Similarly in the underground resistance movements which sprung up in Europe during the last World War, communists played an important role. (A. SD. R13. 3) “Demikian pula dalam gerakan bawah tanah yang tiba-tiba muncul di Eropa selama Perang Dunia terakhir, komunis memainkan peranan pentingnya”. Pada saat perang, gerakan bawah tanah bukan merupakan hal yang baru. Gerakan ini tidak diartikan sebagai gerakan yang melakukan aksinya di bawah tanah melainkan sebagai gerakan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh pihak tertentu agar tidak diketahui oleh pihak lain. Gerakan bawah tanah sebagai nomina abstrak dibandingkan dengan penyakit sebagai nomina konkrit dengan kesamaan makna yaitu keduanya bergerak tanpa diketahui oleh target yang dituju dengan maksud ingin menaklukkan targetnya. Gerakan bawah tanah dan penyakit menunjukkan suatu pergerakan aktif dimana penyebarannya bergerak perlahan dan semakin meningkat dalam menggerogoti korbannya. Aktif adalah pergerakan tanpa henti atau bergerak secara kontinyu. Semakin sering pergerakan dilakukan semakin jauh peningkatan yang dihasilkan hingga sampai pada tujuan. Oleh karena itu, penulis memandang entitas-entitas tersebut dengan sebuah konsep metafora yaitu ACTIVE IS UP. Nelson Mandela menerapkan konsep metafora ini dalam perjuangannya. Dengan
8
gerakan bawah tanah, perjuangannya bersama warga kulit hitam berhasil mencapai kebebasan. (2) On this day of my release, I extend my sincere and warmest gratitude to the millions of my compatriots and those in every corner of the globe who have campaigned tirelessly for my release. (B. SD. R5. 1) “Pada hari pembebasan saya ini, saya mengucapkan terima kasih yang tulus dan terhangat kepada jutaan rekan-rekan saya dan orang-orang di setiap sudut dunia yang telah berkampanye tanpa lelah untuk pembebasan saya” Sebuah bangunan atau konstruksi biasanya memiliki beberapa bagian yang saling bersinggungan satu sama lain dengan mengacu pada suatu titik. Cambridge Dictionaries Online menafsirkan bagian ini sebagai the point, area, or line that is formed by the meeting of two lines, surfaces, roads atau dalam bahasa Indonesia berarti sudut. Data 2 dengan metafora yang berbentuk frase adverbia in every corner of menunjukkan pemaknaan yang implisit. Pada kenyataannya dunia itu tidak bersudut karena dunia atau bumi dengan segala sesuatu yang terdapat di atasnya berbentuk bulat. Jika menganalisa ungkapan metaforis linguistiknya, dunia dapat dibandingkan dengan sebuah rumah yang memiliki sudut. Dunia dan rumah sama-sama berfungsi sebagai tempat makhluk hidup terutama manusia dalam berkegiatan. Ungkapan ini juga dapat dijadikan dasar untuk menentukan konsep metafora yang sesuai yaitu COUNTRY IS A BUILDING. Globe atau dunia sebagai nomina abstrak mencakup banyak negara dengan keunikan dan kelebihan yang beraneka ragam. Negara yang berada dalam ruang lingkup dunia dipandang sebagai sebuah bangunan karena diharapkan negara juga memiliki kekuatan atau kekokohan sebuah bangunan. Apabila negara memiliki sifat bangunan yang kokoh
9
dan kuat, negara tersebut tidak akan mudah diprovokasi, digoyahkan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu atau negara lain, dan dapat memberikan rasa aman dan nyaman ketika tinggal di dalamnya. Sebaliknya jika negara dianggap tidak dapat memberikan rasa aman, nyaman rakyatnya akibat kekuasaan pemerintah kulit putih yang semena-mena seperti yang terjadi pada Afrika Selatan sekitar tahun 1962-1990. Padahal fungsi sebuah bangunan baik itu rumah, ruangan, dan lain sebagainya adalah kebalikannya, harus dapat menaungi orangorang yang berada di dalamnya agar merasa tenang dan nyaman. (3) We understand it still that there is no easy road to freedom. (C. TD. R13. 2) “Kami memahami bahwa tidak ada jalan yang mudah untuk mencapai kebebasan”. Berdasarkan ungkapan metaforis linguistik di atas, pengungkapan ranah Peristiwa dan Aksi ditunjukkan dengan pemilihan kata road “jalan” sebagai penanda metafora yang berperan penting dalam kehidupan manusia. Secara harfiah, nomina road digunakan untuk berlalu lintas, beraktifitas setiap waktu. Semakin bagus kualitas jalannya semakin nyaman dan aman bagi para penggunanya. Sementara itu, kata road dalam KBBI Daring (Online) dapat diartikan sebagai cara (akal, syarat, atau ikhtiar) untuk melakukan (mengerjakan, mencapai,
mencari)
sesuatu.
Hal
yang
lebih
bersifat
abstrak
dalam
penganalogiannya. Perbandingan yang ditemukan tersebut menunjukkan adanya kesamaan makna satu sama lain dalam komponen maknanya yaitu [+penting], [+bermanfaat], [+proses]. Jalan yang dimaknai dengan cara yang ditempuh oleh seseorang dalam melakukan sesuatu juga merupakan entitas yang digunakan oleh Nelson Mandela
10
dalam menggambarkan proses pencapaian tujuan akhirnya yaitu kebebasan. Mandela mengalami banyak kesulitan namun dapat berhasil dengan dukungan yang diberikan oleh banyak pihak sehingga konsep metafora yang mewakili konteks ini adalah: MEANS ARE PATHS. Kajian tentang metafora semakin menempati posisi penting dalam pengalaman berbahasa tidak hanya sekedar sebagai cerminan realitas, melainkan juga pembentuk realitas. Kemampuan dan kreatifitas dalam menciptakan sesuatu untuk menandai realitas baik itu bersifat abstrak maupun konkrit merupakan hasil dari pemikiran dan tindakan manusia ketika berinteraksi dan berkomunikasi. Thomas dan Wareing (2007:68) menambahkan bahwa metafora sangat berguna bagi para politisi karena walaupun menunjukkan suatu gambaran yang kompleks namun dapat disajikan secara sederhana. Kemudian, metafora juga dapat menciptakan gambaran mental yang mudah dipahami. Karena memiliki kaitan dengan pengalaman pribadi mereka sendiri sehingga ada kemungkinan besar sangat berpengaruh dalam membangun ideologi. Fenomena kebahasaan yang menunjukkan adanya relasi kesamaan antara satu hal dengan hal lain dalam membentuk sebuah makna membuat metafora berada dalam tataran Semantik yang berfungsi sebagai landasan teori dan payung analisis. Pengungkapan relasi persamaan dalam metafora dapat diperkuat dengan mengaplikasikan komponen-komponen makna yang menggunakan tanda (+) dan (-) untuk membuat garis pemisah antara satu unit leksikal dengan unit leksikal lainnya sehingga dapat memperjelas makna yang dimaksud dan membuktikan tingkat keefektifan metafora.
11
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang makna mendalam dari sebuah ungkapan metaforis linguistik yang berasal dari teks tertulis berupa pidato. Penulis ingin menunjukkan bahwa metafora tidak hanya menggambarkan ungkapan-ungkapan kiasan yang digunakan sebagai bumbu penyedap bagi sebuah rangkaian pidato agar terkesan lebih menarik dan elegan, melainkan dapat menyajikan suatu cara alternatif bagi para penyampai pesan untuk membantu meningkatkan kualitas pidatonya. Apapun yang akan dikemukakan terutama konseptualisasi maksud dapat tersampaikan secara singkat dan lebih terarah, unik dengan penekanan yang terlihat, tidak hanya sekedar membuat pidato dengan ala kadarnya, panjang lebar tanpa makna yang jelas, tanpa penguatan pesan di dalamnya, dan lain sebagainya.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, masalah-masalah yang dikembangkan berkaitan dengan analisis ungkapan-ungkapan metaforis linguistik dalam pidato Nelson Mandela dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimana makna dan pemetaan ranah metafora dalam naskah pidato Nelson Mandela berdasarkan elemen-elemen pembentuk?
2.
Bagaimana konsep-konsep metafora yang tercermin dalam naskah pidato Nelson Mandela?
12
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain: 1.
Mendeskripsikan makna dan ranah metafora dalam naskah pidato Nelson Mandela berdasarkan elemen-elemen pembentuk.
2.
Mendeskripsikan konsep-konsep metafora yang tercermin dalam naskah pidato Nelson Mandela.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tidak hanya secara teoritis namun juga secara praktis yaitu: 1.4.1 Manfaat teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi dunia penelitian khususnya ilmu linguistik, menambah pengetahuan, informasi, pemahaman, ide, atau teori-teori sebelumnya dalam mengkaji metafora di bidang semantik dengan menggunakan pidato sebagai sumber data, dan dapat melengkapi referensi tentang kemetaforisan.
1.4.2 Manfaat praktis Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi penunjang untuk kepentingan kebahasaan terutama bagi siapapun yang ingin belajar dan lebih memahami metafora. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi pedoman atau acuan bagi kajian-kajian berikutnya demi berkembangnya khasanah kebahasaan
13
yang ada, sebagai bahan perbandingan peneliti lain, serta dapat memberikan gambaran atau cara alternatif kepada para pemakai bahasa/penyampai pesan yang akan menuangkan pikiran, dan gagasannya ke dalam bentuk lisan atau tulisan sehingga lebih efektif dan menarik melalui ungkapan-ungkapan metaforis.
1.5 Tinjauan Pustaka Kajian tentang metafora telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dengan objek, fokus, dan konteks yang beragam. Tentunya akan tetap menunjukkan suatu keunikan tersendiri ketika bahasan yang dikaji berhubungan dengan analisis metafora dalam aspek kebahasaan. Para peneliti tersebut antara lain: Ishak Bagea (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Metafora dalam Bidang Pertanian Padi Masyarakat Dayak Buket Kabupaten Kutai
Barat
Kalimantan Timur:
Suatu Tinjauan Linguistik
Antropologi”. Bagea membahas mengenai bentuk ujaran yang tidak biasa atau berbeda dari bahasa Indonesia sebagai bahasa standar/baku dalam bahasa yang digunakan oleh masyarakat Dayak Buket sehari-hari. Hasil yang diperoleh antara lain metafora dapat dikelompokkan ke dalam bentuk kata kerja, kata benda, kata sifat, frase kata kerja, frase benda, frase sifat. Metafora dalam bidang pertanian padi ini dinilai membawa kearifan lokal masyarakat yang menggunakan, salah satunya adalah masyarakat Dayak Buket di kampung Linga Tivab Kecamatan Long Apari Kutai Barat Kalimantan Timur yang berkebudayaan Dayak. Ishak Bagea (2013) dalam penelitian keduanya berupa sebuah disertasi yang berjudul “Metafora dalam Wacana Pingitan pada Masyarakat Mawasangka
14
Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara (Suatu Tinjauan Linguistik Antropologis)”. Bagea lebih memaparkan metafora ditinjau dari konteks budayanya dengan menganalisis bahasa yang digunakan oleh masyarakat Mawasangka di Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara sehari-hari dalam sebuah wacana pingitan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa metafora dalam wacana pingitan bagi masyarakat Mawasangka memiliki peran penting dan mengandung arti yang mendalam karenadapat diterima dan dipakai sebagai pedoman untuk menciptakan keharmonisan antara seluruh penghuni semesta raya baik itu dari wujud tertinggi hingga masyarakat dan alam. Jika Ishak Bagea menganalisa metafora dengan fokus kajian Linguistik Antropologi, Hendrikus Lawe Kerans (2005) membuat tinjauan dari sisi etnografi komunikasi dengan penelitian yang berjudul “Metafora dalam Tradisi Tutu’ Ukut Raran Bahasa Lamaholot”. Dalam penelitian ini,bahasa Lamaholot yang digunakan oleh masyarakatnya dalam Tradisi Tutu’ Ukut Raran sebagai sumber data. Penciptaan metafora sangat dipengaruhi oleh ekosistem tempat manusia berada dan berinteraksi. Berdasarkan kategori dan organisme ekosistem yang digunakan dapat ditemukan macam-macam metafora dalam tradisi tersebut yaitu manusia, hewan, tumbuhan, benda-benda mati, bumi dan permukaannya, zat-zat, yang bertenaga, benda-benda angkasa (kosmos), dan hal-hal abstrak yang menunjukkan pola pikir dan pandangan masyarakat Lamaholot. Metaforametafora yang dihasilkan mempunyai pasangan yang berbentuk metafora & metafora dan metafora & non-metafora.
15
Peneliti lain yang membahas tentang adanya metafora dalam sebuah wacana adalah Deli Nirmala (2012) dengan disertasinya yang berjudul “Metafora dalam Wacana Surat Pembaca di Surat Kabar Harian Berbahasa Indonesia”: Suatu Tinjauan Linguistik Kognitif”. Dengan menggunakan metode nonparticipant observation dan notetaking and page filing techniques, data yang berupa ungkapan metaforis dipilih secara sengaja dan acak berdasarkan tema dari sumber data, kemudian dianalisis secara referensial, distribusional, refleksif introspektif, dan abduktif inferensial. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa frase nomina dan verba mendominasi ungkapan metaforis, dan terdapat 18 topik yang khas dalam wacana surat pembaca yaitu: dana, korupsi, lingkungan, pemerintahan, hukum, perasaan, persoalan, promosi, pendidikan, ideologi, budaya, politik, kehidupan, informasi, layanan bank, waktu, kemiskinan, dan pikiran. Kedelapan belas topik tersebut mempresentasikan pengalaman sosiokultural masyarakat yang bersifat negatif dengan konsep yang berbeda. Yulia Indarti (2008) dalam tesisnya yang berjudul “Metafora Kidung Ludruk” mengulas kiasan metafora dalam ranah semantik kognitif. Kidung yang terdiri dari kidung bedhayan dan kidung lawak dianalisis menggunakan pendekatan semantik kognitif dengan data yang berasal dari satuan lingual yang terdapat di dalamnya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa (1) metafora kidung
ludruk
digunakan
sebagai
sumber
kata-kata
baru
dengan
mempertimbangkan penggunaan kata-kata lama yang bermakna baru dan bahasa yang indah, (2) lambang metafora yang digunakan dalam kidung ludruk telah disesuaikan dengan karakteristik masyarakat, (3) penggunaan metafora dalam
16
kidung ludruk telah mempertimbangkan fungsi penggunaan bahasa sehingga kidung ludruk tersebut menjadi berterima oleh penonton. Sementara M. Imelda Kusumastuty (2011) dengan judul tesisnya “Medan Semantik Metafora Nominatif dalam Lirik Lagu Kla Project dan Bon Jovi serta Kaitannya
dengan
Sistem
Ekologi”
mengkaji
metafora
dengan
cara
mengidentifikasi dan mendeskripsikan medan semantik dari metafora nominatif secara komparatif dan kontrastif untuk melihat kaitannya dengan sistem ekologi dan budaya. Data bersumber dari 20 lagu Kla Project dan Bon Jovi yang dianalisis dengan menggunakan metode padan, kemudian data disajikan secara formal. Hasil yang diperoleh antara lain: (1) berdasarkan distribusi kategori medan semantik dapat dilihat masih terdapat ketidakseimbangan dalam ekosistem di sekitar pencipta metafora, (2) penggunaan metafora dapat digunakan sebagai indikator kualitas penulisan lirik, (3) 83,89% dari keseluruhan metafora merupakan konsep abstrak yang dikiaskan dengan konsep/sesuatu yang konkrit, (4) metafora dapat digunakan untuk mengamati kondisi sosial budaya di sekitar pencipta metafora. Roswita Silalahi (2005) dalam jurnal yang berjudul “Metafora dalam Bahasa Batak Toba” membahas metafora konseptual dengan fokus kajian tentang hubungan makna literal dan makna konteks dalam bahasa Batak Toba, bahasa daerah yang biasanya digunakan oleh masyarakat terutama di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara dan sesama suku Batak Toba yang tinggal di daerah lain. Penelitian ini menghasilkan suatu pembuktian bahwa terdapat berbagai jenis metafora konseptual kata dengan formulasi struktur /pola metafora bahasanya adalah X dan Y, atau X sebagai Y.
17
Sebuah artikel yang menganalisa penggunaan metafora dalam naskah pidato, penulis temukan di sebuah laman http://pakfaizal.com/the-use-of-metaphor-in-barackobamas-inauguration-speech/. Penelitian yangberjudul The Use of Metaphor in Barack Obama’s Inauguration Speech menyajikan data yang berasal dari pidato pelantikan presiden Amerika Serikat yaitu Barack Obama dengan menguraikan keunikan-keunikan pidato tersebut yang tergambar pada metafora yang digunakan. Data mencakup 23 kalimat yang kemudian dibentuk ke dalam konsep-konsep metaforanya. Hasil yang diperoleh adalah terdapat 8 konsep metafora yang terkenal dalam pidato Obama antara lain: CHANGES ARE MOVEMENT, STATES ARE LOCATIONS, STATES IS A MOTION OVER A LANDSCAPE, POLITICS IS FIGHT/WAR, ACTIONS ARE TRANSFER, POLITICS IS A JOURNEY, MORE IS UP; LESS IS DOWN, serta ACHIEVING A PURPOSE IS AGRICULTURE. Adapun penelitian yang khusus membahas metafora dalam naskah pidato Nelson Mandela baik itu berupa artikel, tesis maupun disertasi belum penulis temukan. Selain dikarenakan oleh kepopuleran Nelson Mandela sebagai seorang pejuang kebebasan, penulis melihat pidato yang disampaikan Mandela lebih bervariasi jangkauan ranah yang dikonseptualisasikan, serta banyak menyiratkan pesan-pesan moral yang dapat menjadi pegangan hidup atau acuan di semua aspek kehidupan dan juga contoh bagi semua kalangan terutama di dunia perpolitikan sekarang ini.
18
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Semantik Semantik berasal dari bahasa Yunani semainein yang berarti to signify “memaknai” (Aminuddin, 2011:15). Sebagai cabang ilmu bahasa, semantik mempelajari bagaimana makna disusun dan diungkapkan di dalam bahasa (Wijana, 2010:4). Munculnya unsur makna yang dihubungkan dengan istilah semantik dapat mengarah kepada sebuah teori umum yang menyatakan bahwa semantik adalah ilmu makna atau studi tentang makna. Teori ini dikemukakan oleh beberapa ahli bahasa diantaranya Verhaar (2010:285); Lyons (1995:3); Parera (2004:42); dan Ullman via Sumarsono (2012:1). Ruang lingkup semantik pada awalnya hanya meliputi makna kata, perkembangan, dan perubahannya (Suwandi, 2008:9) atau makna/arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal (Chaer, 2009:3) atau terletak pada pencirian hakikat makna dan hubungannya (Parera, 2004:51). Kajian semantik kemudian berkembang dengan melibatkan unsur makna dan pengalaman manusia. Pateda (2010:15) menjelaskan bahwa semantik merupakan ilmu yang mempelajari kemaknaan di dalam bahasa sebagaimana apa adanya (das sein) dan terbatas pada pengalaman manusia, sehingga secara ontologis masalah yang dikaji semantik dibatasi hanya pada persoalan yang terdapat di dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia. Sementara Leech menguraikan batas lingkup pengalaman manusia dengan lebih rinci yaitu dimulai dari pikiran, kognisi, konsep, hingga pengalaman. Leech (1974:ix) memandang semantik sebagai “the centre of the study of the human mind –
19
thought processes, cognition, conceptualization – all these are intricately bound up with the way in which we classify and convey our experience of the world through language”. Sesuatu yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami tersebut dapat dimasukkan ke dalam entitas dunia nyata seperti yang dilakukan oleh Morris yaitu dengan menekankan kajian semantik pada hubungan yang terjalin antara tanda-tanda dengan entitas di dunia nyata yang ditunjuk (melalui Rahyono, 2012:19). Hubungan antara makna dan sistem kognisi manusia berupa pikiran dapat menjadi penguat bagi pemakai bahasa dalam membentuk sebuah konsep baru seperti yang diilustrasikan oleh Ogden & Richards (1923:10-11) pada bagan di bawah ini: Thought or Reference
Referent
Symbol
Bagan 1.Segitiga Makna C.K. Ogden & I.A. Richards Odgen dan Richards menjelaskan bahwa thought “pikiran/gagasan” memiliki hubungan langsung dengan referent “acuan” dan symbol “lambang”. Pikiran atau referensi merupakan hasil konseptualisasi dari hubungan antara kedua hal tersebut yaitu berupa pemaknaan. Sementara untuk referent “acuan” dan symbol “lambang”
berlaku
sebaliknya.
Garis
putus-putus
di
antara
keduanya
menunjukkan bahwa referen dan lambang memang tidak berhubungan secara langsung.
20
Kridalaksana (2011:216) mengungkapkan definisi semantik sedikit agak berbeda dan lebih khusus yaitu semantik adalah bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan struktur makna suatu wicara, seperti pendapat Parker (1986:29): “Semantics is part of grammar proper, the study of the internal structure of language”. Tidak hanya makna yang harus diperhatikan namun juga strukturnya. Menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, serta pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat juga merupakan bagian dari kajian semantik (Suwandi, 2008:9). Pemaknaan memegang peranan penting bagi kajian semantik karena pemaknaan merupakan proses akhir suatu komunikasi (aktivitas berbahasa) untuk mendapatkan kejelasan dan kebenaran dalam menangkap informasi makna akan sesuatu hal agar kelangsungan komunikasi tetap terjaga tanpa menimbulkan kesalahpahaman. Salah satu cara untuk meminimalisir kesalahan yang terjadi adalah dengan menggunakan gaya bahasa kiasan metafora yaitu dengan menambahkan makna dengan nilai rasa lain pada makna dasarnya sehingga terkesan lebih kreatif, efektif, dan menarik. Semantik menjadi payung analisis metafora karena semantik tidak hanya dapat dihubungkan dengan psikologi, logika, dan filsafat, namun juga dengan ilmu politik (Pateda, 2010: 14) seperti sumber data penelitian ini.
21
1.6.2 Metafora Metafora telah menjadi bahan kajian yang penting sejak zaman kuno seperti yang dilakukan oleh Aristoteles dan Quintilian, dan telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan hingga sekarang. Sebagai bentuk bahasa yang khas dan bisa juga dianggap aneh karena relasi katanya melampaui batas relasi bahasa secara literal yang telah disepakati bersama dalam komunikasi sehari-hari, metafora menimbulkan perbedaan pendapat beberapa ahli linguistik antara lain mengenai definisi metafora dan penerapan maknanya. Pertama, metafora dapat berarti membawa perubahan makna,sesuai dengan asal katanya yaitu dari bahasa Yunani: meta dan pherein. Meta “atas” adalah prefiks yang biasa dipakai untuk menggambarkan perubahan (di atas atau sesuatu yang melebihi dari standarnya) dan pherein “diangkat” adalah memindahkan. Sementara, Searle memiliki definisi yang berbeda dengan menegaskan bahwa pada dasarnya metafora itu adalah makna maksud bukan semata-mata hanya perubahan makna. Makna maksud dipahami sebagai makna yang tersirat dari pembicara/penyampai pesan yang memiliki maksud lain ketika mengujarkan satu kata atau kalimat (melalui Parera, 2004:132). Kedua, tidak jauh berbeda dengan permasalahan di atas, silang pendapat terjadi ketika Cruse (1986:42) dan Taylor (2003:132) mengindikasikan bahwa metafora mengalami penyimpangan penerapan makna kepada suatu referen yang lain, sedangkan sebagian ahli bahasa menolak. Penjelasan teoritis dikemukakan Keraf (2010:139) dan Verhaar (dalam Wijana, 2008:48-49) sebagai bahan kajian. Menurut Keraf, penyimpangan makna hanya dapat terjadi dalam ungkapan dengan metafora yang masih hidup, sedangkan
22
untuk metafora yang mati tidak lagi dirasa adanya perubahan makna. Menyimpang menurut Verhaar berarti bahwa makna tidak bersifat semena atau arbitrer namun berdasarkan atas kesamaan tertentu seperti kesamaan sifat, bentuk, fungsi, tempat, atau kombinasi di antaranya. Misal: pemakaian kata lintah – lintah darat, kata daun – daun pintu, kata punggung - punggung bukit, dan kata kaki – kaki meja. Struktur dasar metafora sangat sederhana terdiri dari dua hal yaitu sesuatu yang sedang dibicarakan (yang dibandingkan) dan sesuatu yang dipakai sebagai bandingan. Jika dua hal tersebut saling berdekatan, metafora akan muncul namun mutu ekspresifnya tidak ada sama sekali. Sebaliknya, jika jarak antara dua hal tersebut cukup jauh, metafora akan makin efektif (Sumarsono, 2012:265-266). Metafora tidak selalu harus menduduki fungsi predikat, namun juga dapat menduduki fungsi lain seperti subyek atau obyek sehingga dapat berdiri sendiri sebagai kata (Keraf, 2010:139). Kövecses (2002:vii) mendefinisikan metafora sebagai gaya bahasa kiasan yang membandingkan satu hal dengan hal lain, misal: He is a lion (manusia dibandingkan dengan seekor singa). Keraf (2010:139) menggunakan semacam analogiyang membandingkan dua hal tersebut secara langsung, tetapi dalam bentuk singkat seperti buaya darat, buah hati, atau cindera mata. Keraf juga sependapat dengan Pradopo (2005:40) yang menyatakan bahwa metafora itu mempersamakan dua hal yang sesungguhnya tidak sama tanpa mempergunakan kata pembanding yaitu seperti, bak, bagai, bagaikan dan sebagainya. Contoh: dari karya Subagio Sastrowardojo yang berbunyi: “Bumi ini perempuan jalang” (Bumi
23
dibandingkan dengan sosok seorang perempuan yang memiliki sikap kurang baik). Secara umum, metafora adalah kesamaan antar makna dan merupakan penggunaan
bahasa
secara
non-literal
yang di
dalamnya
mengandung
perbandingan. Tergolong ke dalam bahasa kiasan (majas) seperti perbandingan, metafora lebih dikenal dengan pengkajian bahasa puisi dan bahasa sastra. Namun seiring perkembangannya, penggunaan metafora juga terdapat dalam bahasa keseharian. Lakoff dan Johnson (1980:3) mengambil contoh dari bahasa retorika yang memuat aturan-aturan dalam bahasa politik yang baik dan benar. Walaupun termasuk seni kuno yang mengajarkan tentang bagaimana berbicara secara elegan dan persuasif, namun Thomas dan Wareing (2007:68) menegaskan bahwa bahasa retorika masih tetap dijadikan acuan oleh para politisi hingga sekarang dengan mempelajari kebiasaan-kebiasaan tertentu yang bisa memperkuat dampak yang ditimbulkan oleh ucapan atau tulisan mereka. Perbedaan mendasar yang terlihat antara metafora dalam karya sastra dengan metafora dalam bahasa keseharian adalah jika yang pertama umumnya bersifat perseorangan, yang kedua berhubungan dengan motivasi sosial. Metafora tidak hanya sekedar persoalan bahasa, namun juga sejauh mana peran dan pengaruh metafora terhadap pemakai bahasa dalam berbicara, memahami, berpikir, dan bertindak. Dengan kata lain, metafora adalah pemahaman dan pengalaman akan sejenis hal yang dimaksudkan untuk perihal yang lain (Wijana, 2008:50). Fromkin (1993:151) mengartikan metafora dengan definisi yang lebih sederhana yaitu: “Interpretations of sentences are called
24
metaphor”. Namun menginterpretasi dan memahami metafora melalui ungkapanungkapan metaforis linguistik yaitu ungkapan yang mengandung makna kiasan bukan merupakan hal yang mudah karena pemakai bahasa harus memahami kedua makna sekaligus yaitu makna literal dan makna yang menggambarkan realitas dunia, kemudian pemakai bahasa juga dituntut untuk mencari relevansinya. Seorang pemakai bahasa/penyampai pesan harus memiliki methaporical competence (kemampuan metaforis) dalam mencari persamaan makna antar kata secara kontekstual. Menurut Keraf (2010:139), konteks diperlukan dalam kajian metafora karena konteks berperan sebagai pembatas makna. Konteks berhubungan dengan kata. Semakin tinggi frekuensi pemakaian sebuah kata, semakin banyak juga konteks yang cenderung dijalinnya atau semakin banyak kecenderungan bagi kata itu untuk memiliki arti/makna yang berbeda (Poedjosoedarmo, 2001:111). Ungkapan-ungkapan metaforis linguistik merupakan ungkapan yang berada dalam konteks karena konteks dapat memperkuat alasan atau menjadi penentu keberadaan sebuah kata bermakna metaforis atau tidak. Lakoff dan Johnson (1980:193) menekankan bahwa melalui metafora, manusia dapat memahami segala yang terjadi di dalam kehidupannya dari yang sulit untuk dijelaskan sekalipun seperti yang tergambar dalam kutipan pendapatnya: “Metaphor is one of our most important tools for trying to comprehend partially what cannot be comprehended totally: our feelings, moral practices, and spiritual awareness”. Secara keseluruhan, metafora memang bukan merupakan bahasa biasa. Metafora telah berjasa untuk menciptakan istilah-istilah
25
baru dalam khasanah kebahasaan, dapat memberikan wawasan baru bagi pemakai bahasa, serta dapat mempengaruhi struktur konseptual manusia.
1.6.3 Konsep Metafora Kajian metafora merupakan kajian yang menekankan pada penggunaan unsur linguistik yaitu linguistik kognitif yang menunjukkan sistem konsep dalam realitas kehidupan. Apa yang manusia bicarakan, pikirkan, dan lakukan menjadi satu rangkaian/ikatan yang saling mempengaruhi satu sama lain. 1.6.3.1 Teori Metafora Konseptual Kridalaksana (2011:132) mendefinisikan kata konsep sebagai gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, dan yang memerlukan penggunaan akal budi untuk memahaminya. Hubungan antara gambaran mental dan penggunaan akal budi menunjukkan bahwa sebuah konsep mengarah kepada ide atau prinsip/aturan moral yang membantu pemakai bahasa dalam menjelaskan atau mengontrol berbagai hal. Karena konsep metafora bersifat sistematis, bahasa yang digunakan untuk berbicara tentang aspek-aspek dari konsep tersebut juga bersifat sistematis (Lakoff dan Johnson, 1980:7). Mengacu kepada sifat universal bahasa yang sistematis tersebut, Rahyono (2012:188) mengemukakan bahwa pemanfaatan dan pemberdayaan bahasa harus dilakukan melalui proses konseptualisasi yang terstruktur. Metafora dikaitkan dengan pengalaman hidup atau cara pandang terhadap sesuatu dalam sistem konseptual manusia. Manusia berpikir dengan melihat kesamaan atau kemiripan satu pengalaman dengan pengalaman lain. Menurut Lakoff dan Johnson (1980:5),
26
pemahaman dan pengalaman seseorang akan sesuatu hal terhadap sesuatu yang lain adalah inti dari metafora konseptual itu sendiri seperti petikan pendapatnya: “The essense of metaphor is understanding and experiencing one kind of thing in terms of another”. Kövecses (2002:4) memformulasikan metafora konseptual sebagai pemetaan konseptual diantara dua ranah yaitu ranah konsep A adalah ranah konsep B seperti contoh berikut ini: He’s without direction in life. I’m where I want to be in life. I’m at a crossroads in my life. She’ll go places in life. He’s never let anyone get in his way. She’s gone through a lot in life.
(Kövecses, 2002:3)
Metafora-metafora yang dihasilkan merupakan cerminan dari realitas kehidupan. Terlihat dari beberapa frase yang diungkapkan oleh pemakai bahasa Inggris tersebut mengindikasikan suatu perjalanan yang ditempuh dalam hidup. Keadaan susah atau senang selalu dihadapi seperti kehidupan yang tanpa arah, berada di persimpangan, atau telah mengalami dan melewati banyak hal dalam kehidupan. Jadi, konsep yang tepat untuk metafora di atas: LIFE IS A JOURNEY“ Hidup adalah Perjalanan”. Life adalah konsep A dan A Journey adalah konsep B. Ungkapan-ungkapan metaforis linguistik dimanfaatkan untuk menyatakan perasaan dan gagasan kepada khalayak ramai atau sekedar memberikan gambaran
dari sebuah konsep untuk menekankan suatu pemikiran sehingga membuat siapapun terpengaruh pada tingkatan emosional dan intelektual. Gambarangambaran yang terwakili dalam ungkapan-ungkapan metaforis linguistik tersebut dapat menjadi dasar untuk memformulasikan metafora berdasarkan elemenelemen pembentuknya yang terpetakan dan terkonsep.
27
Newmark mengusulkan beberapa konsep di bawah ini untuk menganalisis metafora (lih. Parera, 2004:133): 1) Objek. Objek adalah butir makna yang dilukiskan dengan metafora. Objek dapat tampak dalam struktur luar dan dapat pula tidak tampak. Ini berarti dalam analisis makna metafora diperlukan struktur dalam. 2) Citra. Dalam bahasa Inggris dipadankan dengan image. Citra adalah kejadian, proses, hal yang hendak dicapai sebagai bandingan. Citra merupakan keterangan kepada objek atau topik. Dikatakan pula bahwa citra dapat menjadi topik kedua. 3) Sense “titik kemiripan”. Antara objek dan citra terdapat aspek-aspek khusus yang mempunyai kemiripan. Titik kemiripan itulah yang menjadi komentar bandingan bagi topik/objek. Dalam terminologi Richards yang dikutip oleh Ullmann (lih. Sumarsono, 2012: 266), konsep metafora terpetakan menjadi dua antara lain: tenor (makna atau arah umum) yaitu sesuatu yang dibicarakan, dan bandingannya disebut wahana (vehicle), sedangkan unsur atau unsur-unsur yang biasa dimiliki oleh tenor dan wahana membentuk dasar dari metafora. Dengan kata lain, kesamaan yang dibayangkan atau diciptakan antara keduanya membentuk dasar bayangan itu yaitu suatu unsur umum yang melandasi transfer. Lebih lanjut Ullmann juga mengutip pendapat Sayce yang menjelaskan bahwa jarak antara tenor dengan wahana (sudut bayang ‘angle of the image’) merupakan faktor penting dalam keefektifan metafora.
28
Sementara, Kövecses (2002:4) serta Lakoff dan Johnson (1980:265) menggunakan dua ranah (domain) dalam metafora konseptual yaitu ranah sumber (source domain) yang digunakan manusia untuk menggambarkan ekspresi metafora dalam memahami ranah konseptual yang lain (bersifat konkrit), sedangkan ranah sasaran (target domain) adalah ranah konseptual yang dapat dipahami melalui ranah sumber (bersifat abstrak). Namun, bentuk kesamaan atau kemiripan yang menjadi unsur penting metafora digambarkan terpisah: Kövecses (2002:6) menyebut kesamaan dengan a set of systematic correspondences between the source and the target in the sense that constituent conceptual elements of B correspond to constituent elements of A “seperangkat persamaan yang sistematis antara ranah sumber dan target dalam hal ini elemen konseptual pokok B yang sesuai dengan elemen pokok A” atau secara singkat menjadi a set of mapping relation or correspondences “seperangkat hubungan pemetaan atau persesuaian”, sedangkan Lakoff dan Johnson menggunakan istilah ground untuk relasi persamaannya. Ullman menambahkan bahwa unsur kesamaan tersebut dapat diamati dari dua sisi yaitu secara objektif dan emotif (melalui Sumarsono, 2012:266). Teori metafora konseptual yang berbeda ditunjukkan oleh Michael C. Haley dengan analisisnya yang menggolongkan data metafora ke dalam kategori medan semantik berdasarkan hirarkhi ruang persepsi manusia yaitu ke-ada-an, kosmos, energi, substansi, terestrial, benda (objek), kehidupan, makhluk bernyawa, dan manusia (melalui Wahab, 1990:148-149).
29
Dari beberapa teori metafora konseptual yang telah dijelaskan, penulis mengambil benang merah secara keseluruhan bahwa pemahaman akan konsep tersebut dapat berbeda-beda berdasarkan pendapat perorangan, namun yang menjadi titik berat atau unsur pemersatu adalah elemen persamaan atau kemiripan dari bentuk ungkapan yang bermakna.
1.6.3.2 Konsep Metafora Penelitian Kajian tentang konsep metafora pada penelitian ini lebih merujuk pada model konsep yang ditawarkan oleh Lakoff dan Johnson (1980) serta Kövecses (2002) dengan teori dua ranah. Penulis memilih teori ini untuk membentuk konsep metafora berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu (1) Lakoff, Johnson, dan Kövecses menunjukkan bahwa ungkapan linguistik yang digunakan sehari-hari memiliki hubungan metaforis atau pemetaan ranah konseptual dalam pikiran manusia dengan lebih khusus. Menurut mereka pada umumnya metafora didefinisikan sebagai alat untuk menggambarkan imajinasi puitis, aspek retorikal dan bahasa yang luar biasa. Oleh karena itu, seharusnya metafora tidak hanya dilihat sebagai suatu perkataan saja, namun juga sebagai alat pemikiran atau perbuatan manusia. Karena kenyataannya, banyak sekali konsep dasar yang ada dalam sistem pengetahuan manusia yang dipahami sebagai konsep metafora seperti waktu, jumlah, keadaan, perubahan, gerakan, akibat, tujuan, alat, kemampuan dan kategorisasi, menjadikan semua konsep ini menyatu dalam tata bahasa dan menjadi suatu metafora yang alami; (2) teori tersebut yang
30
memperkenalkan tentang metafora konseptual yang memandang kognisi sebagai hasil dari konstruksi mental manusia. Dengan memusatkan perhatian pada pandangan konseptual terhadap ungkapan metaforis linguistik yang digunakan dalam tekstertulis berupa pidato diharapkan dapat mengonseptualisasikan gagasan, pengalaman, dan perasaan yang terdapat dalam teks tersebut yaitu memfokuskan pada bentuk metafora yang daya metaforisnya aktif atau produktif berupa kata, frase, kalimat atau klausa dengan membandingkan sesuatu yang abstrak atau memiliki konsep yang sulit dijelaskan dengan hal yang konkrit yang lebih mudah untuk dipahami oleh penerima pesan karena dapat dijelaskan melalui proses visualisasi dan analogi yang didasarkan pada pengalaman nyata yang dirasakan, dialami, dan dipikirkan. Contoh: LOVE IS A JOURNEY “Cinta adalah Perjalanan” melalui ungkapan metaforis linguistik We aren’t going anywhere. Frase go somewhere menandai perjalanan menuju ke suatu tempat tujuan yang tidak jelas. Kata we dengan jelas mengarah kepada keterlibatan orang yang melakukan perjalanan. Terdapat tiga unsur pokok yang tergambar dalam kalimat yaitu pelaku perjalanan, perjalanan, dan tujuan. Namun, penyampai pesan sebenarnya ingin menjelaskan bahwa konsep tersebut berkaitan dengan hubungan percintaan atau perasaan cinta seseorang. Ranah sumber dan target diuraikan dengan lengkap sebagai berikut: (Kövecses, 2002: 6-7) Source: JOURNEY the travelers the vehicle the journey the distance the obstacles encountered decisions about which way to go the destinations of the journey
Target: LOVE the lovers the love relationship itself events in the relationship the progress made the difficulties experienced choices about what to do the goal (s) of the relationship
31
1.6.3.3 Pembagian Ranah Metafora Klasifikasi dua ranah yaitu ranah sumber (source domain) dan ranah sasaran (target domain) mengadopsi teori dari Kövecses (2002:16-25) yang secara khusus membagi ranah tersebut ke dalam sub-sub ranah yang berkaitan dengan realitas kehidupan manusia baik itu berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, pengamatan, dan lain sebagainya. Berikut uraian ranah metafora versi Kövecses terdiri dari 13 ranah sumber dan 13 ranah sasaran: 1.
Ranah Sumber (Source Domain) 1.1
The Human Body “Tubuh Manusia”. Ranah ini digunakan untuk memahami entitas abstrak pada ranah sasaran secara metaforis. Aspekaspek atau entitas yang termasuk dalam ranah Tubuh Manusia adalah bagian tubuh manusia termasuk kepala, wajah, kaki, dan lain-lain.
1.2
Health
and
Illness
“Kesehatan
dan
Penyakit”.
Ranah
ini
menggambarkan sifat-sifat penyakit dan kesehatan atau penyakit tertentu. 1.3
Animals “Hewan”. Ranah ini termasuk ranah sumber yang produktif. Manusia dapat disamakan dengan ranah Hewan seperti a brute, a tiger, a dog, dan sebagainya.
1.4
Plants “Tumbuh-tumbuhan”. Ranah ini secara metaforis mencakup berbagai macam tanaman, aktivitas yang dilakukan, dan tahap pertumbuhan tanaman.
1.5
Building and Construction “Bangunan dan Konstruksi”. Ranah ini menguraikan tentang benda-benda yang ada di dalam sebuah rumah,
32
bagian-bagian rumah, dan aktivitas yang dilakukan dalam proses pembangunan. 1.6
Machines and Tools “Mesin dan Peralatan”. Aspek metafora ditunjukkan dengan berbagai jenis mesin dan peralatan atau yang berhubungan dengan kedua entitas tersebut, dan segala aktivitas yang juga berkaitan dengan ranah ini.
1.7
Games and Sport “Permainan dan Olahraga”. Ranah ini tidak hanya mengarah kepada permainan dan olahraga dengan fungsi yang sesungguhnya namun juga sebagai entitas hiburan.
1.8
Money and Economic Transactions (Business) “Uang dan Transaksi Ekonomi (Bisnis)”. Aktivitas ekonomi melibatkan uang dan transaksi komersial dalam prosesnya. Peristiwa komersial termasuk di dalamnya beberapa entitas dan tindakan yaitu barang/komoditas, uang, serta serah terima barang dan uang.
1.9
Cooking and Food “Kegiatan Memasak dan Makanan”. Kegiatan memasak termasuk suatu proses yang kompleks dari beberapa unsur: pelaku, resep, bahan makanan, cara-cara memasak, dan produk/hasil.
1.10 Heat and Cold “Panas dan Dingin”. Ranah ini merupakan pengalaman manusia yang biasa dirasakan atau dialami sebagai efek dari temperatur udara di sekitar. Manusia biasanya menggunakan ranah Panas secara metaforis untuk menggambarkan perilaku seseorang dan sesuatu.
33
1.11 Light and Darkness “Cahaya dan Kegelapan”. Ranah ini juga merupakan pengalaman manusia yang sering digambarkan secara metaforis dengan kondisi cuaca. 1.12 Forces “Kekuatan”. Terdapat berbagai macam kekuatan yang termasuk ke dalam ranah ini yaitu gaya gravitasi, magnetis, elektris, dan mekanis dengan entitas: gelombang/ombak, angin, badai, api, dan pelaku yang melakukan sesuatu seperti mendorong, menarik, mengirimkan sesuatu, dan lain-lain. 1.13 Movement and Direction “Gerakan dan Arah”. Ranah ini melibatkan perubahan lokasi atau bisa juga bersifat statis. Arah yang dimaksud antara lain: depan-belakang, naik-turun. 2.
Ranah Sasaran (Target Domain) 2.1
Emotion “Emosi”. Konsep emosi mencakup rasa marah, takut, cinta, kebahagiaan, kesedihan, rasa malu, bangga, dan lain-lain. Ranah ini melibatkan kekuatan dari ranah sumber.
2.2
Desire “Nafsu”. Ranah ini dipahami sebagai kekuatan, tidak hanya secara fisik namun juga psikis seperti lapar atau haus. Selain itu, sering dipahami untuk menggambarkan unsur panas.
2.3
Morality “Moralitas”. Ranah ini dapat mengarah kepada sesuatu yang baik dan juga buruk sama seperti kejujuran, keberanian, kehormatan, dan lain-lain. Secara metaforis dapat dikaitkan dengan beberapa ranah sumber yaitu transaksi ekonomi, kekuatan, cahaya dan gelap, dan sebagainya.
34
2.4
Thought “Pemikiran”. Mencoba memahami pikiran manusia adalah bagian dari ranah ini seperti segala sesuatu yang berhubungan dengan pemikiran, persepsi, atau pemahaman, misal dapat digambarkan melalui kata seeing.
2.5
Society/Nation “Masyarakat/Negara”. Ranah ini melibatkan konsep ranah sumber yaitu konsep yang menggambarkan seseorang, keluarga, mesin, atau tubuh manusia.
2.6
Politics “Politik”. Dalam politik unsur kekuatan digunakan. Kekuatan politik secara konseptual dipahami sebagai kekuatan fisik. Ranah ini melibatkan ranah sumber seperti ranah Permainan dan Olahraga, Bisnis, dan Perang.
2.7
Economy “Ekonomi”. Ranah ini berkaitan dengan ranah sumber yaitu ranah Bangunan dan Konstruksi, Tumbuh-tumbuhan, dan Perjalanan (Gerakan dan Arah).
2.8
Human Relationships “Hubungan Manusia”. Ranah ini menunjukkan konsep suatu persahabatan, cinta, dan pernikahan. Secara metaforis dapat dibandingkan dengan beberapa ranah sumber yaitu ranah Tumbuh-tumbuhan, Mesin dan Peralatan, serta Bangunan dan Konstruksi.
2.9
Communication“Komunikasi”.
Dalam
berkomunikasi,
manusia
melibatkan pembicara/penyampai pesan, pendengar/penerima pesan, pesan berupa ekspresi linguistik, dan juga proses berpindahnya pesan dari penyampai kepada penerima melalui beberapa media. Ranah ini
35
berkaitan dengan ranah sumber diantaranya: container “wadah”, objek, dan proses pengiriman. 2.10 Time “Waktu”. Waktu merupakan konsep yang sangat sulit untuk dipahami. Waktu disamakan dengan benda yang bergerak secara metaforis. 2.11 Life and Death “Kehidupan dan Kematian”. Ranah ini bersifat alami secara metaforis. Kehidupan dipahami sebagai perjalanan ke suatu tempat tujuan yang dimetaforakan dengan hari, cahaya, kehangatan, dan lain-lain. Kelahiran dianggap sebagai kedatangan dan kematian dipandang sebagai keberangkatan sama seperti malam, kegelapan, dan dingin. 2.12 Religion “Agama”. Ranah ini melibatkan pandangan manusia tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan seperti keabadian, hidup sesudah/sebelum mati, dan sebagainya. 2.13 Events and Actions “Peristiwa dan Aksi”. Ranah ini dipahami sebagai ranah Gerakan dan Arah, dan ranah Kekuatan dalam ranah sumber. Beberapa hal yang termasuk dalam ranah sasaran ini adalah perubahan, penyebab, tujuan, dan cara.
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomen yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau
36
yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti apaadanya (Sudaryanto, 1988: 62) dan didasarkan pada data-data yang lengkap secara tipikal (bukan berdasarkan jumlah). Menurut Santana K. (2007:30), kerangka tulisan kualitatif menyampaikan data berupa perkataan orang atau kutipan, berbagai teks, atau wacana lain. Materinya mengeksplorasi pemaknaan ketika orang-orang, misalnya, melakukan tindakan komunikasi dan menginterpretasikannya kepada konteks yang luas. Sesuai dengan perspektif yang dipakai, penelitian kualitatif berusaha memahami makna dari fenomenafenomena, peristiwa, dan kaitannya dengan orang-orang atau masyarakat yang diteliti dalam konteks kehidupan dalam situasi yang sebenarnya (Subroto, 1992:6). Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil seperti dijelaskan di bawah ini: 1.7.1 Penyediaan Data Penelitian ini membahas tentang fenomena metafora beserta pemetaan ranah dan konsepnya. Sumber data primer dalam kajian berasal dari tiga pidato tertulis Nelson Mandela yaitu pada saat Mandela memberikan kesaksiannya di persidangan pada tahun 1964, Mandela bebas dari penjara, dan Mandela dilantik menjadi presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan. Data tersebut berisi ungkapan-ungkapan metaforis linguistik yang dipilah-pilah berupa kata-kata atau kalimat dengan menentukan kata kunci sebagai penanda metafora. Penulis menggunakan beberapa pemakai bahasa yang dianggap memiliki metaphorical competence
dalam
membantu
pengidentifikasian
data.
Kemudian,
data
dikelompokkan atau diklasifikasikan ke dalam tabel berdasarkan urutan ranah
37
metafora
menurut
Kövecses
(2002).Metafora
diberi
cetak
tebal
untuk
membedakan dengan entitas-entitas abstrak dan konkrit sebagai bagian dari ranah. Sementara bentukan konsep-konsep metafora diperoleh dari studi pustaka dan pengamatan penulis.
1.7.2 Analisis Data Data yang terkumpul dianalisa berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian dengan melihat klasifikasi yang ada sehingga dapat menunjukkan bentuk dan konseptualisasi yang mengindikasikan adanya sistem konsep yang terdiri dari konsep ranah target dan konsep ranah sumber. Elemen kesamaan atau kemiripan pada pemetaan metafora dianalisa berdasarkan hubungan yang tergambar dari kedua entitas yang ada dan didukung oleh analisis komponen makna. Teknik analisis makna ini merupakan satu usaha untuk mengelompokkan, membedakan, dan menghubungkan masing-masing hakikat makna (Parera, 2004:51). Konsep metafora yang terbentuk diperoleh denganmengelompokkan ungkapan-ungkapan metaforis linguistik berdasarkan teori metafora konseptual Lakoff dan Johnson (1980) dan Kövecses (2002), dianalisis secara berurutan sesuai dengan tingkat kemunculan konsep atau dominasi konsep. Konsep yang memiliki jumlah ungkapan paling banyak adalah yang paling dominan. Setelah itu, data dianalisa dengan menguraikannya berdasarkan kejadian dan latar belakang Nelson Mandela dalam perjuangannya sehingga dapat menggambarkan suatu keadaan dimana penerima pesan atau pembaca dapat merasakan dan mengetahui secara jelas.
38
1.7.3 Penyajian Data Penelitian ini disajikan secara deskriptif dalam dua macam bentuk tulisan yaitu informal dan formal. Tulisan informal menggunakan kata-kata biasa dan tulisan formal menggunakan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993: 144).
1.8 Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Bab I mengenai pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang penelitian berisi pemaparan hal ihwal pemikiran peneliti terkait dengan topik yang ada; rumusan masalah; tujuan penelitian; manfaat penelitian; tinjauan pustaka yang mengemukakan hasilhasil penelitian terdahulu yang relevan dengan kajian metafora; landasan teori yang menjelaskan tentang teori-teori pendukung yang relevan dengan penelitian dan materi yang dikaji dalam penelitian demi memudahkan peneliti lain dalam pengajuan penelitian lanjutan; serta metode penelitian yang menjelaskan tentang metode yang digunakan, teknik pengolahan data secara terperinci, dan penyajian data. Bab II berisi uraian dari rumusan masalah pertama yang telah disusun untuk memenuhi tujuan penelitian yaitu mengenai makna dan pemetaan ranah metafora. Bab III berisi uraian rumusan masalah kedua yaitu mengenai pembentukan konsep-konsep metafora. Bab IV berisi kesimpulan dan saran yang menjelaskan tentang kesimpulan dari analisis data yang telah dilakukan dalam bab sebelumnya serta saran bagi penelitian selanjutnya.