BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan pembangunan yang terjadi di Indonesia, terutama pada bidang ekonomi sangatlah cepat menyebabkan terjadinya kompetisi yang ketat di antara pelaku pasar dalam penyediaan modal, disamping itu terjadinya peningkatan pelayanan jasa dalam kuantitas yang berbagai produk pasar yang serba memudahkan konsumen. Untukmengelolasegala potensi yang dimiliki menjadi kekuatan ekonomi riil dengan memanfaatkan berbagai sarana permodalan yang ada sebagai sarana pendukung utama dalam pembangunan tersebut membutuhkan penyediaan dana yang besar. Pembangunan yang sedang digalakkan diberbagai sektor di negara Indonesia hingga dasawarsa terakhir ini selalu melibatkan modal ataupun dana yang tidak sedikit jumlahnya, maka untuk meningkatkan produksi dan jasa diberbagai sektor perlu dikembangkan terutama yang bersumber pada kemampuan dalam negeri dan salah satu usaha untuk itu ialah mendorong atau memberikan motivasi kepada pihak swasta untuk meningkatkan usahanya sehingga ikut serta dalam membiayai pembangunan nasional antara lain dalam bentuk penggalian dana yaitu pengarahan dana-dana tabungan masyarakat melalui lembaga keuangan atau perbankan, lembaga-lembaga keuangan non bank, pasar modal dan yang sekarang dalam proses pertumbuhan adalah lembaga leasing.
1
Di dalam rangka alih tehnologi dewasa ini, maka semua alternatif tersebut diatas harus mendapatkan tempat yang penting terutama menyangkut kebutuhan pembiayaan perusahaan, karena para pengusaha tidak bisa berharap banyak hanya dari satu sistem pembiayaan saja.Dengan demikian, maka wajar kalau bermunculan lembaga-lembaga baru yang kehadirannya memang sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat.Sebagai salah satu lembaga yang dimaksudkan adalah lembaga leasing,1 yang dibentuk berdasarkandalam hal ini Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. Lembaga pembiayaan leasing dalam terjemahan di Indonesia disebut Sewa Guna Usaha, yaitu suatu lembaga pembiayaan yang berorientasi pada pemberian atau peminjaman sejumlah modal kerja dalam bentuk alat-alat produksi dan leasing juga sebagai perusahaan pembiayaan sangat meringakan konsumen atau pasar yang kekurangan modal untuk membeli alat pendukung usaha maka leasing menjadi alternatif. Di tengah praktek dijumpai bahwa kehadirannya sangat dirasakan manfaat serta kegunaannya, apalagi lembaga leasing mempunyai daya tarik tersendiri bagi dunia pengusaha.Misalnya adanya hak opsi pada leasing yaitu hak untuk memilih bagi lessee pada masa akhir kontrak untuk membeli ataupun memperpanjang masa kontrak dari barang-barang modal yang bersangkutan
1
Eddy P Soekadi,1988, Mekanisme Leasing, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 23.
sesuai atau berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak.Karena di samping leasing mempunyai kekhususan, juga merupakan salah satu bentuk metode pembelanjaan barang modal bagi dunia usaha untuk memenuhi kebutuhan akan modal.Dengan adanya lembaga leasing, maka suatu badan usaha dapat memperoleh suatu barangserta mempergunakannya untuk proses produksi barang-barang modal dapat diartikan sebagai suatu proses yang terkait pada lembaga keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dan diartikan juga sebagai bentuk usaha yang bergerak di bidang pembiayaan perusahaan. Terhadap perjanjianleasing paling sedikit harus memuat keterangan terperinci
mengenai
obyek
perjanjian
financiallease,
jangka
waktu
financiallease, harga sewa serta cara pembayarannya, kewajiban perpajakan, penutupan asuransi, perawatan barang dan penggantian apabila terjadi kerusakan atau kehilangan barang.2Namun surat perjanjian leasing yang lengkap harus memuat hal-hal mengenai : subyek perjanjian leasing, obyek perjanjian, jangka waktu, imbalan jasa lease, kewajiban perpajakan, penutupan asuransi, tanggungjawab atas perjanjian financiallease, akibat kejadian lalai akibat rusak atau hilangnya obyek perjanjian leasing. Mengenai objek financial lease biasanya dibelilah lessor atau permintaan lessee.Sebelum barang tersebut dibeli, maka lessee dan supplier
2
Departeman Keuangan RI. Dirjen Moneter Dalam Direktorat Lembaga Keuangan,Himpunan Jadwal Pendidikan / Kursus Leasing Angkatan IV, 1986, hal. 17.
telah mengadakan pembicaraan mengenai jenis atau tipe barang, cara pengiriman barang, service dan perawatan serta mengenai harga barang. Kemudian supplier mengirimkan barang ke lokasi dimana lessee bisa menggunakan barang tersebut.Apabila supplier tidak dapat memenuhi janji maka yang berhak menggugat adalah pihak lessor sedangkan lessee dapat ikut sebagai penggugat kedua atau lessor memberikan kuasa kepada lessee untuk mewakilkan.3Dalam hal ini maka penjelasan mengenai leasing harus diperinci secara jelas yaitu terutama mengenai jenis, jumlah, lokasi dan lain sebagainya. Pengelolaan leasing haruslah mengacu kepada pemenuhan kewajiban dari masing-masing pihak yang terlibat didalamnya, tidak jarang di dalam praktek leasing hubungan lessor dan lessee hanya harmonis pada awal perjanjian, pada saat satu pihak membutuhkan sesuatu (modal pembiayaan), selanjutnya hubungan lessor dan lessse disertai berbagai persoalan dan yang utama sering adalah tertundanya pemenuhan kewajibandari lesseedengan unsur kesengajaan maupun unsur kelalaian pada lessoryang dapat menimbulkan resiko dalam perusahaan leasing tersebut, bahkan tidak jarang lessor kehilangan obyek leasing.
3
Achmad.Anwari,1988, Leasing di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,hal. 17.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka penulis ingin melakukan penelitian
tentang
Denpasar,dengan
perjanjian judul
yang
leasing
pada
diangkat
PT
Dipo
oleh
Star
Finance
penulis
adalah
”PenyelesaianSengketa Perjanjian Leasing Ketika Lessee Melakukan Wanprestasi Pada PT Dipo Star FinanceDenpasar”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana tanggungjawab para pihak dalam perjanjian leasing sebagai sumber pembiayaan barang modal bagi pengusaha pada PT Dipo Star Finance Denpasar? 2.Bagaimana akibat hukum bila lessee melakukan tindakan wanprestasi dalam perjanjian leasingpada PT Dipo Star FinanceDenpasar? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Guna menghindari keluarnya pembahasan penelitian ini dari pokok permasalahan yang telah diungkapkan di atas serta agar pembahasan dalam penelitian ini menjadi sistematis demi menemukan solusi permasalahan, maka perlu untuk menetapkan ruang lingkup dan batasan mengenai materi yang akan di bahas. Ruang lingkup dalam penelitian ini terbatas padabagaimana tanggungjawab para pihak dalam perjanjian leasing sebagai sumber pembiayaan barang modal bagi pengusaha pada PT Dipo Star Finance
Denpasardan bagaimana akibat hukum apabila lessee melakukan wanprestasi dalam perjanjian leasing pada PT Dipo Star Finance Denpasar. 1.4 Orisionalitas Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dibuat berdasarkan ide yang timbul dari pemikiran sendiri dari hasil membaca berbagai literatur. Berdasarkan dari penelusuran di internet, ditemukan penelitian yang sejenis namun memiliki perbedaan substansi dilihat pada tabel dibawah ini:
Nama
Judul
Rumusan Masalah
Pengarang
Universitas (Tahun)
Syukriah
Penerapan Prinsip
Fitriani
-
Bagaimanakah
Universitas
ItikadBaik Dalam
prinsip itikad baik
Mataram (2014)
Perjanjian Leasing
dalam perjanjian
(SewaGuna Usaha).
leasing ( sewaguna Usaha)? -
Bagaimanakah penerapan prinsip itikad baik dalam perjanjian leasing (sewa guna usaha)?
Agus
Perlindungan Hukum
Kusumarto
Terhadap Lessor Dalam
-
Bagaimana
Universitas
perlindungan
Pamulang
Perjanjian Leasing Bila
hukum kepada
Terjadi Wanprestasi
para pihak yang terlibat di dalam perjanjian leasing?
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. 1.5.1
Tujuan umum 1.
Untuk mengetahui tanggungjawab para pihak dalam perjanjian leasing sebagai sumber pembiayaaan barang modal bagi pengusaha.
2.
Untuk mengetahui akibat hukum apabila lesseemelakukan tindakan wanprestasi dalam perjanjian leasing
1.5.2
Tujuan khusus 1.
Untuk memahami tentang tanggungjawab para pihak dalam perjanjian leasing sebagai sumber pembiayaan barang modal bagi pengusaha pada PT Dipo Star FinanceDenpasar.
2.
Untuk mendalami tentang akibat hukum apabila lessee melakukan tindakan wanprestasi dalam perjanjian leasingpada PT Dipo Star FinanceDenpasar.
1.6 Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.6.1
Manfaat teoritis 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) dalam rangka pengembangan ilmu hukum. 2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian berikutnya.
1.6.2
Manfaat praktis 1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman untuk mengetahui tanggungjawab para pihak dalam perjanjian leasing sebagai sumber pembiayaan barang modal bagi pengusaha pada PT Dipo Star Finance Denpasar. 2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau masukan serta pengetahuan dalammengidentifikasi akibat hukum apabila lesseemelakukan tindakan wanprestasi dalam perjanjian leasingpada PT Dipo Star FinanceDenpasar.
1.7 Landasan Teoritis Perikatan berasal dari bahasa Belanda " verbintenis" atau bahasa Inggris "binding", yang dalam Bahasa Indonesia selain diterjemahkan sebagai “perikatan”, juga ada yang menterjemahkan sebagai “perutangan”. Untuk dapat memahami pengertian perikatan dan perjanjian, terlebih dahulu harus
mengetahui
adanya
perbedaan
penggunaan
istilah
“Verbintenis”
dan
“Overeekomst”. Kata “Verbintenis” dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan tiga istilah, yaitu: Perikatan, Perhutangan, dan Perjanjian. Untuk “Overeekomst”
dipakai
dua
istilah,
yaitu:
Perjanjian
dan
persetujuan.”Verbintenis” berasal dari kata kerja “Verbinden” yang artinya mengikat, jadi di sini menunjukan adanya ikatan dan hubungan, yaitu suatu ikatan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain di mana masing-masing terikat pada hak dan kewajibanya.4sedangkan“Overeekomst”berasal dari kata kerja “Overeenkomen” yang artinya setuju atau sepakat, jadi mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme, yaitu pada dasarnya, perjanjian dan perikatan timbul karenanya sudah dilahirkan pada detik tercapainya kesepakatan. Untuk hal ini penulis cenderung menggunakan kata perjanjian yang sama artinya dengan persetujuan terjemahan dari istilah “Overeenkomst”. Menurut Subekti, dalam buku Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesiakarya Sri Soedewi Masjhoen Sofran mendefenisikan bahwa “Suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak berdasarkan mana pihak yang satuberhak menuntut suatuhal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain itu berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut”.5Istilah kewajiban itu
4
Arus Akbar Silondae dan Wirawan B.Ilyas, 2012, Pokok-Pokok Hukum Bisnis Jakarta, Salemba, hal.79. 5
Sri Soedewi Masjhoen Sofran, 1987, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia,BinaCipta, hal. 23.
sendiri dalam ilmu hukum dikenal dengan prestasi, selanjutnya pihak yang berkewajiban dinamakan dengan debitur, dan pihak yang berhak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban atau prestasi disebut kreditur.6Perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari, dipelajari oleh ahli hukum serta dikembangkan secara luas menjadi hukum positif yang tertulis oleh para legislator.7 Pengertian perjanjian menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”8Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut merupakan pengertian yang tidak sempurna dan terdapat beberapa kelemahan karena hanya mengatur perjanjian sepihak dan juga sangat luas, bahkan rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Oleh karena
6
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani,2001, Jaminan Fidusia, PT Raja Grafindo Persada,
hal. 12. 7
Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Alumni, Bandung, hal.13
8
Marim Darus Badrulzaman, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Alumni Bandung, hal 23.
itu banyak pendapat mengenai pengertian perjanjian dari para sarjana antara lain: Menurut Subekti dalam bukunya yang berjudul Hukum Perjanjian, kata sepakat berarti suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak, berdasarkan pengertian kata sepakat tersebut berarti apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.9 Menurut Abdulkadir Perjanjian adalah “Suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan".10 Uraian tersebut memberikan makna bahwa perjanjian selalu merupakan perbuatan hukum persegi dua atau jamak, untuk itu diperlukan kata sepakat para pihak. Ada beberapa pakar atau ahli hukum lain yang memberikan definisi yang berbeda pada perjanjian.Pengertian perjanjian menurut Handri Raharjo ialah: Suatu hubungan hukum dibidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.11
9
Subekti, 1990,Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, PT Citra Aditya Bakti Bandung, (selanjutnya disebut Subekti I),hal. 26. 10
Ibid, hal. 34.
Secara umum pengertian perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau dua pihak, mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian, kesepakatan itu timbul karena adanya kepentingan dari masingmasing pihak yang saling membutuhkan.sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.12Perjanjian dapat dibedakan dengan berbagai cara, perbedaan tersebut sebagai berikut: a.Perjanjian timbal balik; b.Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban; c Perjanjian bernama (benoemd specified) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemd unspecified); d. Perjanjian campuran; e. Perjanjian obligatoir; f. Perjanjian kebendaan; g. Perjanjian konsesual dan perjanjian riil; h. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya; Pasal 1314 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membagi perjanjian dalam dua macam, yaitu: perjanjian cuma-cuma ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lainnya tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri, sedangkan perjanjian atas beban ialah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan 11
Handri Raharjo, 2009 , Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,
hal.42. 12
Ibid, hal.29.
sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.13Dari konstruksi Pasal 1314 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini, jelas leasing termasuk perjanjian atas beban, karena inti dari perjanjian atas beban ini tidak lain adalah beban untuk melakukan sesuatu prestasi yang harus dibalas dengan suatu kontraprestasi. Dengan demikian sama dengan perjanjian bilateral sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Sebaliknya, dari segi hubungan antara prestasi para pihak. Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yangtelah ditentukan oleh undang-undang, Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang terdiri dari empat syarat yaitu: a. Adanyasepakat mereka yang mengikat diri; Sepakat yaitu kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak, kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kewenangan untuk
melakukan
perbuatan-perbuatan
hukum
sendiri,
pada
umumnya seorang yang cakap melakukan perbuatan hukum apabila
13
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid ll, CV Rajawali, Jakarta.hal. 131.
ia sudah dewasa berumur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum 21 tahun.14 c. Suatu hal tertentu; Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian yaitu bahwa suatu perjanjian harus mengenai harus mengenai suatu hal tertentu yang merupakan pokok perjanjian yaitu objek perjanjian.15 Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam Pasal 1332 s/d 1334 KUH Perdata, yaitu yang pertama objek yang aka nada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung, yang kedua ialah objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian). 16 d. Suatu sebab yang halal. Suatu sebab atau causa yang halal yang dimaksud pada pasal 1320 KUH Perdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” atau tujuan dari para pihak
14
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
92. 15
Hartono Hadi Suprapto, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan, Jakarta, Liberty, , hal 34. 16
J.Satrio, 1999, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya,Alumni, hal.87
mengadakan perjanjian dan halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.17 Leasing merupakan suatu “kata atau peristilahan” baru dari bahasa asing yang masuk kedalam bahasa Indonesia, istilah leasing ini menarik karena bertahan karena nama tersebut tanpa diterjemahkan dalam bahasa setempat. Secara umum leasing itu ialah equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan/ barang modal yang digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak.18 Mengingat begitu luasnya serta kompleksnya pengertian leasing yang ditafsirkan oleh masyarakat, maka untuk menyelaraskan pengertian leasing pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia dalam Surat Keputusan Bersama (SKB)dengan
Nomor
KEP-122/MK/IV/2/1974,Nomor
23/M/SK/2/1974,
Nomor 30 / Kpb / I / 1974 merumuskan bahwa leasing adalah: Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan dalam suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai hak pilih (optie) bagi perusahaan dapat membeli barang-barang modal tersebut atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.19
17
Juajir Sumardi, 2012, Hukum Perusahaan Transnasional dan Franchise, Arus Timur, Makassar, hal.43. 18
Amin Wijaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, 1994, Aspek Yuridis Dalam Leasing, Rineka Cipta Jakarta, hal.7. 19
Charles Dulles Marpaung Ak,1985, Pemahaman Mendasarkan Usaha Leasing, Penerbit Integrita Press, Jakarta, hal. 8.
Dari bunyi ketentuan pasal tersebut kemudian jika kita bandingkan dengan ketentuan mengenai leasing menurut Pasal 1 ayat 1 SKB Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia pada prinsipnya memang sama dimana barangnya hanya diserahkan untuk dipakai atau dinikmati kegunaannya.Dengan ini berarti penyerahan barang hanya berupa penyerahan kekuasaan belaka.Mengenai dasar hukumnya sejauh ini masih berdasarkan SKB tersebut, berikut Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Republik Indonesia Nomor 34/KP/11/1980 tertanggal 1 Pebruari 1980.20Pengertian
leasing
yang
dimaksudkan
dalam
SKB
untuk
menggambarkan peranan danayang diperoleh dengan cara financial lease dibatasi hanya untuk pembiayaan barang modal saja. Pada prinsipnya istilah barang modal lebih dititikberatkan pada tujuan penggunaannya dan bukan pada bentuk barangnya. Kehadiran lembaga leasing sebagai salah satu bentuk usaha di bidang pembiayaan perusahaan oleh masyarakat bisnis baik kelas menengah ataupun atas di Indonesia memberikan angin segar bagi pengusaha di Indonesia, karena pada gilirannya dapat berperan meningkatkan pendapatan nasional.Usaha leasing dapat membantu badan-badan dan pengusaha-pengusaha Indonesia, terutama pengusaha industri kecil, dalam mengatasi cara pembiayaan untuk
20
Ibid, hal. 12
memperoleh alat-alat perlengkapan maupun barang-barang modal yang diperlukan.21 Dalam perjanjian khususnya perjanjian leasing juga memiliki kebijakan tentang kebijakan ganda dalam pasar leasing dimana lessee yang berbeda didalam resikonya.22 Dalam penyelidikan ciri khas dari keseimbangan perjanjian dapat menunjukkan bahwa debitur tidak berbeda dengan lessee yang lain meskipun lessee lainnya memilih lessor yang paling dominan. Serta, pembayaran kembali juga jaminan tidak ditentukan pada resiko proyek masingmasing lessee. Menurut Pengumuman Direktorat Jenderal Moneter Nomor Peng307/DJM III.1/7/1974 isi perjanjian leasing harus memuat keterangan terperinci mengenai: 1. Objek perjanjian finansiallease; 2. Jangka waktu finansial lease; 3. Harga sewa serta cara pembayarannya; 4. Kewajiban perpajakan; 5. Penutupan asuransi; 6. Perawatan barang; 7. Penggantian dalam hal barang hilang/ rusak.
21
Achmad.Anwari, op,cit,hal.14
22
J.Satrio, 1999, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Alumni, hal. 45.
Memahami isi perjanjian sewa guna usaha (lease agreement) tersebut dapatdisimpulkan bahwa prestasi (kontra prestasi) dalam perjanjian leasing adalah suatu kewajiban dan syarat dalam (promissory condition).Dikatakan demikian karena salah satu pihak, dalam hal ini lessor, terlebih dahulu wajib menyetujui memberikan fasilitas kepada lessee (prestasi) Karena masingmasing pihak mempunyai kewajiban, maka perjanjian leasing dapat juga disebut perjanjian bilateral. Dalam Black's Law Dictionary perjanjian bilateral diartikan sebagai: “Bilateral (or resiprocal) contracts are those by which the parties expressly enter into mutual engangements, such as sale of hire"(perjanjian bilateral, atau timbal balik adalah perjanjian yang para pihaknyamasing-masing berjanji, seperti misalnya dalam jual beli dan sewa). Hal ini membedakan dari perjanjian yang unilateral dimana salah satu pihak saja yang melakukan prestasi tanpa menerima balasan janji atau berjanji untuk melakukan kontraprestasi dari lawannya. Pemenuhan perjanjian atau hal-hal yang harus dilaksanakan disebut prestasi, dengan terlaksananya prestasi kewajiban-kewajiban para pihak berakhir sebaliknya apabila si berutang atau debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dia dikatakan berada dalam keadaan wanprestasi. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk.Terhadap kelalaian atau kegelapan diancam beberapa sanksi atau hukuman, karena wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat hukum, maka harus ditetapkan terlebih dahulu apakah debitur benar-benar melakukan wanprestasi atau tidak, karena wanprestasi dapat disebabkan oleh adanya
kesalahan debitur dengan unsur kesengajaan dan kelalaian.23Pada unsur kesengajaan, perbuatan yang menyebabkan terjadinya wanprestasi tersebut memang diketahui oleh debitur dan pada unsur kelalaian debitur melakukan kesalahan akan tetapi perbuatan itu tidak dimaksudkan untuk terjadinya wanprestasi dan ternyata hal tersebut dapat menimbulkan wanprestasi. 1.8 Hipotesis Berdasarkan kerangka teori ini, penulis menarik suatu jawaban sementara atau hipotesa sebagai berikut : 1.
Tanggungjawabpara pihak dalam perjanjian leasing sebagai sumber pembiayaan barang modal bagi pengusaha selama ini berdasarkan klausula baku yang disepakati oleh pihak lessor dan lessee. Dalam perjanjian tersebut diwajibkan memuat tentang hak dan kewajiban dari para pihak.Termasuk didalamnya tanggungjawab dari para pihak ketika terjadi permasalahan dalam perjanjian leasing. Mengingat perjanjian leasing sebagai metode pembiayaan barang modal sangat berfungsi bagi para pengusaha sehingga kebutuhan para pengusaha akan barang modal dapat terpenuhi berdasarkan pembayaran lessee rental. Dengan demikian para pengusaha terutama pengusaha kelas menengah ke bawah dapat mengembangkan kegiatannya.
23
J.Satrio,1992, Hukum Perjanjian, Bandung, PT.Citra Aditya Bhakti, hal.12.
2.
Dalam hal akibat hukum apabila lessee melakukan tindakan wanprestasi dalam perjanjian leasing,apabila lesseeyang melakukan wanprestasi, maka lessor berkewajiban untuk memberikan pembinaan dan teguran dengan memberikan somasi (peringatan) kepada lessee untuk memenuhi prestasinya sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Apabila pihak lessor sudah mengadakan somasi, namun pihak lessee tidak mau dan/atau tidak mampu untuk memenuhi prestasinya, maka pihak lessor akan mengambil kembali barang lessee yang dijadikan jaminan dalam perjanjian tersebut.
1.9 Metode Penelitian Dalam penulisan suatu karya ilmiah, terdapat satu komponen penentu sebagai syarat yang dipergunakan untuk pencarian data dari hasil karya ilmiah tersebut, dalam hal ini adalah metode penelitian. Menurut Sutrisno Hadi yang dimaksud dengan metodelogi ialah suatu cara/ metode untuk memberikan garis- garis yang cermat dan mengajukan syarat- syarat yang keras, yang maksudnya adalah menjaga ilmu pengetahuan yang dicapai dari suatu research dapat mempunyai harga ilmiah yang setinggitingginya.24 1.9.1.Jenis penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini dipakai jenis penelitian hukum yang bersifat empiris.Penelitian hukum empiris merupakan penelitian yang
24
Sutrisno Hadi, 1979, Metodelogi Reserch, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal.4.
membahas bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat.25Dalam penelitian ini yang diteliti adalah bagaimana tanggungjawab para pihak dalam perjanjian leasing sebagai sumber pembiayaan barang modal bagi pengusaha pada PTDipo Star Finance Denpasardan bagaimana akibat hukum apabila lessee melakukan wanprestasi
dalam perjanjian
leasingpada PT Dipo Star
FinanceDenpasar. 1.9.2 Jenis pendekatan Seperti telah dijelaskan bahwa jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian empiris. Sifat penelitiannya adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia.Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan fakta (the fact approach) dan Pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conseptual approach) 1.9.3. Bahan data Dalam penelitian empiris pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari lapangan yang dinamakan data primer dan data yang diperoleh dari bahan- bahan pustaka dinamakan data sekunder. Adapun data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua) sumber data, yaitu: 25
http://dalyerni.multiply.com/journal/item/19/MPPH_1_Pembukaan_pengertian_ tipe_data_dan_alat_pengumpulan_datadi unduh tanggal 24 Januari 2015 jam 10.00 WITA
1. Data primer Untuk mendapatkan data primer dilakukan penelitian lapangan (field research), yaitu dengan cara melakukan penelitian langsung ke lapangan yakni diperoleh secara langsung dari perusahaan leasingserta masyarakat yang pernah atau sedang bekerja sama dalam suatu perjanjian leasingpada PT Dipo Star FinanceDenpasar.
2. Data sekunder Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan berbagai data yang diperoleh dari menelaah literatur, jurnal serta surat kabar guna menemukan fakta maupun teori yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Mengenai data sekunder ini berdasarkan kekuatan mengikat dari isinya dapat dibagi menjadi 3, yaitu : a.
Sumber bahan hukum primer, yaitu bahan yang isinya mengikat, karena dikeluarkan oleh pemerintah,
b.
Sumber bahan hukum sekunder, yaitu bahan- bahan yang isinya membahas bahan primer, seperti buku, surat kabar dan artikel.
c.
Sumber bahan hukum tertier, yaitu bahan– bahan yang bersifat menunjang bahan- bahan primer dan sekunder.26
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.12.
Berkaitan dengan jenis- jenis data sekunder di atas, maka dalam penulisan penelitian ini akan digunakan : a. Sumber bahan hukumprimer, yaituseperti undang-undang, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Daerah dan yang lainnya. b. Sumber bahan hukum sekunder, yaitu buku- buku, surat kabar, jurnal tentang hukum perjanjian.
1.9.4. Teknik pengumpulan bahan data Dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, antara lain : a. Teknik studi dokumen atau kepustakaan Studidokumen atau kepustakaan adalah kegiatan mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumen-dokumen dan memeriksa atau menelusuri
dokumen-
dokumen
atau
kepustakaan
yang
dapat
memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti.27 Dalam penulisan ilmiah ini, teknik studi dokumen dilakukan dengan cara mencatat info dan data serta meneliti dokumen yang terkait dengan masalah yang diteliti di perusahaan leasingserta masyarakat yang pernah atau sedang bekerja sama dalam perjanjian leasing. . b. Teknik wawancara Wawancara adalah proses interaksi dan komunikasi serta cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada narasumber yang 27
Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 101.
akan diwawancara.28 Wawancara ini dilakukan dengan beberapa narasumber yaitu pihak perusahaan leasingserta masyarakat yang pernah atau sedang bekerja sama dalam suatu perjanjian leasing. 1.9.5. Teknik penentuan sampel penelitian Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik non probablility sampling yaitu purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah pihak- pihak yang terlibat langsung dalam perjanjian leasing pada perusahaan leasing serta masyarakat yang pernah atau sedang bekerja sama dalam suatu perjanjian leasing. 1.9.6. Teknik pengolahan data Apabila keseluruhan data sudah diperoleh dan sudah terkumpul, kemudian data diolah dan dianalisis dengan metode analisis kualitatif.Analisis kualitatif adalah data yang diperoleh dari beberapa sumber yang dikumpulkan untuk mendapatkan data yang relevan dengan masalah yang diangkat kemudian diolah secara deskriptif analitis yaitu menggambarkan secara lengkap tentang aspek-aspek tertentu yang bersangkutan dengan permasalahan dan selanjutnya dianalisa kebenarannya.29
28
Ronny Hanitijo, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 57. 29
Alimudin Tuwu, 1993, Pengantar Metode Penelitian, Universitas Indonesia, Jakarta,hal.73.