1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peluang bekerja dan berusaha bagi sejumlah penduduk yang semakin bertambah masih perlu diatasi dengan sungguh-sungguh. Menurut Badan Pusat Statistik (2009) jumlah pengangguran mengalami peningkatan sebesar 67 ribu orang dibandingkan dengan jumlah pengangguran di tahun 2008. Jumlah pengangguran akan semakin meningkat apabila pemerintah tidak segera menciptakan lapangan pekerjaan baru yang dapat menyerap mereka. Badan Pusat Statistik (2008)
mencatat bahwa dari jumlah penduduk
Indonesia yang bekerja (employment) 102,05 juta orang, hanya 28,52 juta orang bekerja di sektor formal dan sisanya 73,53 juta orang bekerja di sektor informal. Hal ini menunjukan bahwa sektor informal dapat menjadi sektor alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan penghasilan. Menurut Byrne & Strobl (2004) dalam Setyawan (2008) mengungkapkan bahwa sektor informal menjadi sektor ekonomi yang mendominasi daya serap tenaga kerja di berbagai negara berkembang. Keberadaan sektor formal dapat dijumpai pada perseroan terbatas, swasta, perguruan tinggi, sekolah, dan sebagainya. Sektor ini menekankan pada tujuan kegiatan yang terorganisir, terdaftar dan dilindungi oleh hukum. Berbeda dengan sektor formal, keberadaan sektor informal dapat dijumpai pada kegiatan pertanian, pedagang kaki lima, pengamen, pemulung, dan sebagainya. Sektor informal menekankan pada kegiatan yang memiliki karakteristik, seperti usaha skala kecil, kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, akses ke lembaga keuangan, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah dibandingkan sektor formal.1 Bagi Indonesia yang termasuk ke dalam negara yang sedang berkembang, sektor informal memiliki peran yang sangat penting guna menyediakan peluang bekerja dan peluang untuk 1
Tri Widodo, SE. Mec.Dev saat Diskusi di Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) dengan topik Sektor Informal Yogyakarta, pada hari Selasa 7 Maret 2005, www.ugm.co.id diakses pada tanggal 9 Oktober 2009
2
mendapatkan pendapatan bagi warga masyarakat yang tidak dapat memasuki sektor formal. Menurut Wirakartakusumah (1998) sektor informal menjadi salah satu bagian dari strategi masyarakat untuk bertahan hidup. Hal ini karena sektor ini mampu menciptakan lapangan usaha baru dan menciptakan pendapatan bagi pelakunya dan orang lain di kala pemerintah dan sektor swasta tidak mampu menciptakan lapangan kerja bagi kurang lebih 40 juta penganggur (Wibowo, 2002). Menurut penelitian Moir (1980) sebagaimana dikutip oleh Chandrakirana & Sadoko (1994) mengungkapkan bahwa ekonomi informal menyumbangkan 30 persen dari pendapatan regional Jakarta, atau senilai US $ 400 juta. Selain itu, menurut penelitian Desiar (2003), sektor informal mempunyai peranan yang cukup besar dalam menampung kelebihan angkatan kerja di sektor formal baik pada penduduk migran dan non migran. Berbagai pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa sektor informal merupakan pilihan yang layak dan rasional bagi sebagian rakyat serta dapat menghasilkan tingkat pendapatan yang setara dengan lapisan bawah ekonomi formal. Sektor informal mencakup beragam kegiatan ekonomi dengan karakteristik pelakunya yang beragam pula. Pemulung adalah satu contoh kegiatan pada sektor informal. Para pemulung melakukan pengumpulan barang bekas karena adanya permintaan dari industri-industri pendaur ulang bahan-bahan bekas. Adapun barang-barang bekas yang dikumpulkan, seperti plastik, kertas bekas, kardus, kaca, besi, tembaga, dan sebagainya. Keberadaan pemulung dapat dilihat dari dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi, profesi pemulung ini mampu memberikan peluang bekerja dan mendapatkan pendapatan kepada pemulung ketika pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk mereka yang sangat membutuhkan pekerjaan. Namun di sisi lain, keberadaan pemulung dianggap mengganggu kebersihan, keindahan, ketertiban, kenyamanan dan keamanan masyarakat. Kegiatan memulung dinilai sebagai aktivitas yang lebih positif dibanding dengan profesi jalanan lainnya dalam perspektif pemerintah maupun masyarakat kota sehingga banyak orang jalanan berganti profesi menjadi pemulung jika dinilai lebih menguntungkan (Twikromo, 1999). Walaupun kadang kala pemulung
3
masih mendapatkan kesulitan untuk bergabung di pemukiman warga karena masyarakat masih menganggap pemulung adalah pekerjaan yang rendah. Fenomena pemulung sebagai salah satu masalah sosial di Indonesia sangat menarik untuk diteliti dan dikaji. Namun, penelitian kehidupan pemulung sebagai bagian kecil dari suatu kelompok masyarakat dirasakan masih sangat terbatas. Penelitian-penelitian sebelumnya lebih menekankan pada sudut pandang ekonomi dan persepsi pemulung terhadap pekerjaan yang dilakoninya. Oleh karena itu, penelitian mengenai fenomena pemulung ini tidak menekankan pada analisis statistik, tetapi lebih menekankan pada deskripsi mendalam yang menggambarkan berbagai aspek dari kehidupan pemulung dan keluarganya.
1.2 Perumusan Masalah Keberadaan sektor informal akan terus langgeng, selama keberadaan sektor ini masih dapat memberikan alternatif bagi para pencari kerja yang membutuhkannya. Fenomena ini menampakkan bahwa eksistensi pemulung sebagai salah satu kegiatan ekonomi di sektor informal tidak dapat dihilangkan begitu saja. Jumlah pemulung saat ini semakin bertambah banyak karena berbagai faktor pendukungnya, seperti terbatasnya kesempatan memasuki sektor formal, tidak memiliki akses terhadap ekonomi dan teknologi, serta ketidakmampuan pemerintah dalam menangani masalah sampah yang menyebabkan sebagian orang termasuk pemulung melihat peluang untuk memanfaatkan sampah-sampah tersebut menjadi sumber penghasilan mereka. Profesi pemulung banyak digeluti oleh mereka yang memiliki keterbatasan dalam hal pendidikan dan keterampilan. Walaupun mereka memiliki keterbatasan tersebut, kehidupan para pemulung masih dapat bertahan bahkan tetap hidup di kala usaha-usaha lain mengalami kemunduran, terutama pada saat terjadi krisis moneter. Penghasilan yang diterima oleh para pemulung dapat mereka peroleh walaupun hanya dengan menggunakan modal yang sangat terbatas ataupun tanpa modal tertentu. Kehadiran pemulung secara tidak langsung membantu pemerintah khususnya Dinas Kebersihan dalam mengurangi jumlah sampah di lingkungan masyarakat, tempat pembuangan sampah (TPS) ataupun tempat pembuangan akhir (TPA).
4
Menurut Poerbo dkk (1985) dalam Anwar (1991), dalam sistem pengelolaan sampah pengumpulan barang bekas yang dilakukan orang gelandangan dianggap ikut menekan pertambahan volume sampah di kota-kota besar. Namun kadang kala pemerintah masih tetap memposisikan para pemulung sebagai pihak yang termarginalkan. Seringkali pula mereka dipukuli atau diusir dari tempat mereka mencari nafkah, tanpa memberikan solusi yang terbaik bagi mereka (Chandrakirana & Sadoko, 1994). Fenomena keberadaan para pemulung makin terlihat, terutama di daerah perkotaan maupun daerah yang dekat dengan pusat kota. Fenomena ini juga terjadi pada Kota Depok, lebih dari 90.000 penduduk yang tercatat sebagai warga Kota Depok hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah itu sekitar 6 persen dari total keseluruhan penduduk wilayah yang berpopulasi 1.431.000 jiwa, sehingga peningkatan urbanisasi kaum miskin akan memperburuk kondisi kemiskinan di Kota Depok2. Berkembangnya Kota Depok sebagai kota administratif pada 1997 membuat masyarakat desa yang berada di sekitar Depok tertarik untuk mengadu nasib di kota ini. Mereka yang kurang dibekali pengetahuan dan keterampilan yang memadai terpaksa menghuni tempat tinggal di tanah-tanah negara yang masih kosong. Hal ini disebabkan kondisi keuangan mereka yang tidak cukup untuk membeli rumah atau menyewa kontrakan. Bagaimanapun cara dan dengan persyaratan serta kondisi apapun, mereka selalu berusaha untuk mendapatkan tempat tinggal. Pentingnya rumah bagi manusia bukan hanya karena fungsinya sebagai tempat tinggal dan berteduh, tetapi juga karena beberapa fungsi lainnya yang saling berkaitan dengan eksistensi kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, tidak heran dapat ditemukan berbagai pemukiman kumuh termasuk lapak pemulung di Kota Depok. Kehadiran para pemulung tersebut dapat memberikan gambaran kehidupan ataupun aktivitas mereka dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan pemahaman di atas, maka dapat diajukan permasalahan mengenai potret kehidupan para pemulung di Kota Depok yakni : 1. Bagaimana karakteristik pemulung, keluarga pemulung, kerja pemulung dan lapak pemulung? 2
Muchdie, www.pikiranrakyat.com “Jelang Puasa Depok Diserbu Gepeng”, 20 September 2006, diakses pada tanggal 20 Maret 2010.
5
2. Bagaimana pola interaksi yang dibangun antar pemulung, pemulung dengan bos pemulung, dan pemulung dengan masyarakat setempat? 3. Apa saja kelembagaan penting yang terdapat dikalangan para pemulung, dan bagaimana proses muncul dan berkembangnya lembaga-lembaga tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui karakteristik pemulung, keluarga pemulung, kerja pemulung, dan lapak pemulung. 2. Menelaah pola interaksi yang dibangun di kalangan antar pemulung, pemulung dengan bos pemulung, dan pemulung dengan masyarakat setempat. 3. Menelaah kelembagaan yang ada dan proses muncul dan berkembangnya lembaga-lembaga di kalangan pemulung.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini merupakan proses belajar untuk lebih kritis dalam melakukan penelitian mengenai potret kehidupan di kalangan para pemulung. Penelitian ini diharapkan dapat memberi
informasi dan literatur penunjang bagi civitas
akademik dalam penelitian-penelitian sejenisnya. Bagi pemulung, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan positif kepada bos pemulung mengenai kesejahteraan mereka. Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerhati masalah sosial dan Pemda setempat dalam mengenali dan memahami gambaran kehidupan para pemulung sehingga menjadi salah satu rujukan dalam menyusun rancangan program untuk kesejahteraan para pemulung dan menemukan solusi yang tepat, terkait dengan permasalahan-permasalahan yang sering muncul di kalangan para pemulung.