BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan rezim dari Orde Baru (ORBA) ke Orde Reformasi ditandai dengan lahirnya berbagai Undang Undang (UU) seperti Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Lahirnya UU tentang Otonomi Daerah berimplikasi pada manajemen pendidikan nasional. Sejak Januari 2001 pemerintahan daerah mulai memberlakukan secara resmi otonomi pendidikannya. Dalam hal ini, pemerintah daerah berwewenang, antara lain, menetapkan kurikulum muatan lokal, merancang dan memfasilitasi buku teks dasar, dan bahkan membangun kemungkinan kerjasama dengan negara lain di bidang pendidikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas merupakan dasar hukum reformasi sistem pendidikan nasional dalam era reformasi. Undang-undang tersebut memuat visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional, serta strategi pengembangan pendidikan nasional untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan berdaya saing global. Pasal 50 Ayat (3) dalam UU tersebut mengamanatkan setiap daerah untuk membuka satuan pendidikan bertaraf internasional (selanjutnya PBI). Implikasinya, sejak tahun 2006 pemerintah mulai membuka Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (selanjutnya RSBI) di tengah menguatnya wacana globalisasi dalam pendidikan dan berkembangnya politik identitas
1
2
dalam pendidikan melalui pengajaran muatan lokal bahasa etnik di seluruh SD dan SMP (Hefner, 2007: 494; Rifai, 2011: 170-171). Berbagai peraturan dan kebijakan pendidikan masional khususnya dalam rezim ”reformasi” sering kali menimbulkan kontroversi bagi masyarakat dan para pelaku pendidikan, misalnya kebijakan sertifikasi guru/dosen, Ujian Nasionl (UN), Badan Hukum Pendidikan (BHP), sertifikasi guru, dan kehadiran RSBI sebagai implementasi dari kebijakan PBI dalam sistem pendidikan nasional. Secara konseptual dan implementasi kebijakan-kebijakan itu seperti kehilangan landasan filosofis, lebih terkesan upaya ”coba-coba” menghadapi berbagai kecenderungan kehidupan global. Berbagai kebijakan tersebut bersifat ideologis, paling tidak dalam pengertian berbentuk represi administratif nonfisis (Djokopranoto, 2011: 30-32; Althuser, 2004; 19; Eatwell dkk, 2001: 9; Sinaga, 2008). Di tengah hadirnya sekolah-sekolah RSBI, fenomena yang muncul justru paradoks dalam berbagai aspek seperti tenaga kependidikan, sarana pendidikan, dan kepemimpinan satuan pendidikan. Pemerintah, misalnya, mengembangkan mutu sekolah menengah dengan mendorong minimal satu sekolah yang dianggap bermutu di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI) pada tahun 2009 sesuai dengan Renstra Depdiknas
2005-2009 di
tengah
kompleksitas
permasalahan
pendidikan nasional. Menurut HAR Tilaar dalam pendidikan nasional mulai terlihat gejala-gejala pelaksanaan dari prinsip neoliberalisme yang tidak selaras dengan idealisme UUD, misalnya, pendidikan tinggi (PT) dengan bentuk badan
3
hukum milik negara (BHMN) (Rifai, 20011: 141-143; Tilaar, 2007: 242; Darmaningtyas, 2012: 58-61). Neoliberalisme
sebagai
ideologi
ditandai
dengan
semangat
individualisme dan pasar bebas dengan berkurangnya intervensi negara sebagai wujud dari ideologi liberalisme yang mengandung unsur-unsur ‖individualism, freedom, reason, equality, toleration, consent, dan constitutionalism‖. Sebagai pengembangan dari liberalisme, neoliberalisme sebagai ideologi pasar beroperasi melalui Ideological State Apparatus (ISA) seperti sekolah, ilmu pengetahuan, wacana sosial, guru
dan melalui Represive State Apparatus
(RSA) seperti administrasi pemerintahan dalam bentuk Ujian Nasional (UN) dan Standard Akreditasi yang bersifat administratif dan nonfisis (Heywood, 1997: 41-43; Althuser, 2004: 18-23). Dalam konteks politik pendidikan, Sirozi (2007: 19) menyatakan bahwa pendidikan adalah sebuah bisnis politik. Semua lembaga pendidikan dalam batas-batas tertentu tidak lepas dari bisnis pembuatan keputusan-keputusan yang disertai otoritas dan yang dapat diberlakukan.” Karena dimensi politis yang disebutkan di atas, sekolah-sekolah akan selalu berada pada posisi perjuangan politis dalam hal nilai-nilai, tentang siapa yang diuntungkan dari sebuah kebijakan pemerintah. Posisi sekolah menjadi arena pertarungan kepentingan di antara kelompok-kelompok status masyarakat, sekolah menjadi sarana seleksi menjadi kelompok dominan berkuasa di masyarakat (Widja, 2009:107-108). Itulah sebabnya, menurut Apple, perlu ada kajian tentang kurikulum dalam hubungannya dengan dinamika politik, ekonomi, sosial, dan
4
budaya; bagaimana pengetahuan yang diberikan di sekolah merefleksikan kekuasaan dan mendapat legitimasi dalam kehidupan ekonomi sehari-hari di tengah masyarakat kapitalis, dan apa peran yang dimainkan oleh pengetahuan tersebut dalam melanggengkan struktur sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang ada (http://www.freireproject.org/content/michael-apple, 21 Agustus 2011). Dengan demikian kebijakan Sisdiknas tidak terlepas dari sistem politik dan ideologi sepanjang sejarah Indonesia yang mewarnai kebijakan atau arah politik pendidikan nasional (lihat Tabel 1.1). Tabel. 1.1 Landasan Historis Sistem Pendidikan Nasional
Masa
Pra-kolonial
Kolonial
Soekarno
Orde Baru
“Reformasi”
Formal (resmi oleh “negara”)
Pemdidikan militer, pembibitan penerus takhta kerajaan
HIS, MULO, HBS, dll (Hindia Belanda)
SD, SMP, SMA, PT (Pemerintah Indonesia)
TK, SD, SMP, SMA, PT (pemerintah Indonesia)
Playgroup, TK, SD, SMP, SMA, PT (pemerintah Indonesia)
SKB, Kejar pake A, B, dan C Sekolah swasta dibawah yayasan
SKB, Kejar pake A, B, dan C Sekolah swasta dibawah yayasan
Pesantren, kursus, klub studi mahasiswa, LSM Pembangunan ekonomi dan insfrastruktur
Sekolah alternatif, homescholing, pesnatren, LSM Demokratisasi dan daya saing bangsa
Melawan represi rezim dan pembangun-isme
Melawan pendidikan modern, anti-neoliberal
Non-formal yang diatur “negara” Formal non-negara
Non-formal (nonnegara) Arah politik pendidikan negara (pendidikan formal) Posisi dan tujuan pendidikan non-negara (rakyat)
Padepokan, pesantren, perguruan, dll Status quo kekuasaan kerajaankerajaan Kekuatan oposisi dan alternatif dari penguasa (raja)
Taman Siswa, Sekolah Rakyat Tan Malaka, dll Pesantren, gerakan bawah tanah PKI, dll Kolonialisasi Hindia Belanda
Taman Siswa, pendidikan PKI, INS Kayutanam Pesantren, klub studi (PKI), dll
Melawan kolonialisme menuju kemerdekaan
Kedaulatan rakyat, sosialisme, nasionalisme
Nasionalisme dan sosialisme Indonesia
Sumber::http://pendidikankritis.wordpress.com Rifai (2011: 179-180) dalam bukunya Politik Pendidikan Nasional menyatakan bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di masa lalu adalah penyeragaman kurikulum di Indonesia di tengah realitas keberagaman potensi daerah dan masyarakatnya, misalnya, kurikulum sekolah di daerah pertanian sama dengan kurikulum sekolah di daerah pesisir pantai.
5
Gejala yang sama tampak dalam desain RSBI/SBI dengan ”format” yang sama di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, yaitu semangat menghasilkan lulusan berstandar internasional dengan penguatan kemampuan bahasa Inggris dan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk mata pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA). Dalam wacana sosial terdapat gagasan pro-kontra tentang PBI, yang bermasalah baik dari segi konsep maupun implementasi dari Undang-undang Sisdiknas khususnya pasal 50 ayat 3. Sebagian pakar menyatakan bahwa RSBI hanya sekedar label bagi sekolah-sekolah nasional yang pada dasarnya hanya bermakna ”sekolah unggulan” atau ”sekolah bermutu” sehingga tidak akan mengubah kualitas pendidikan secara signifikan, sementara pendapat lainnya (terutama pihak pemerintah) menyatakan bahwa sekolah ini dirancang secara khusus untuk menghasilkan lulusan yang siap bersaing dalam menghadapi era globalisasi dengan berbagai tantangannya. Salah satu persoalan konseptual dan implementasi satuan PBI tersebut adalah keberadaan sekolah-sekolah RSBI dalam hal strategi seleksi terhadap sekolah-sekolah menengah umum yang ada, khususnya sekolah-sekolah negeri sehingga menimbulkan prokontra dan kecemburuan di tengah masyarakat karena belum ada secara jelas kajian tentang validitas kriteria SNP dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini sekaligus dapat menjelaskan fenomena di lapangan mengapa dua sekolah RSBI di lokasi yang berbeda, seperti SMA di Jakarta dan di Bandarlampung, belum tentu memiliki standar kualitas dan kondisi yang sama untuk menjadi sekolah RSBI.
6
Dalam perkembangannya, permasalahan PBI beberapa tahun kemudian menjadi perdebatan publik baik di media massa maupun di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang melibatkan tokoh-tokoh pendidikan, penegak hukum, birokrat dan pejabat lembaga pendidikan, masyarakat sipil, dan para
intelektual yang umumnya berstatus dosen dan guru. Esensi
perdebatan adalah bahwa pihak yang setuju dengan RSBI beragumentasi bahwa PBI relevan dengan konstitusi untuk mencerdaskan bangsa dalam konteks globalisasi yang sarat dengan persaingan SDM. Pihak yang menentang berpendapat bahwa keberadaan RSBI/SBI tidak hanya bertentangan dengan konstitusi tetapi juga mengancam cita-cita pendidikan nasional dalam mencerdaskan bangsa sebagaimana tampak melalui berbagai fenomena dalam bentuk diskriminasi layanan pendidikan dan biaya pendidikan mahal yang dilegalkan melalui berbagai peraturan yang tidak adil. Pemerintah dalam upaya memajukan pendidikan melalui kebijakan PBI bersifat diskriminatif dalam alokasi aggaran terhadap sekolah-sekolah yang ada. Sekedar ilustrasi, anggaran pendidikan Tahun Anggaran 2012 yang dialokasikan kepada sekolah-sekolah RSBI berjumlah
Rp. 242 miliar
sedangkan alokasi anggaran untuk sekolah standar nasional (non RSBI) hanya sebesar Rp.108 milyar. Padahal, jumlah sekolah RSBI di seluruh Indonesia hanya sekitar 1300-an dari 181.083 sekolah secara nasional. Dalam hal ini, 70% alokasi anggaran justru diarahkan pada sekolah-sekolah RSBI yang jumlahnya hanya 0,7 % dari keseluruhan sekolah yang ada di seluruh Indonesia, sedangkan porsi 30% anggaran lainnya diperuntukkan secara tidak
7
adil
bagi
99,3%
sekolah
yang
tidak
berlabel
RSBI
(http://sabarnurohman.com/tag/rsbi/ 12 Maret 2014). Hal yang sama dapat juga tergambar dari jumlah SMA yang ada di dua provinsi DKI Jakarta dan Lampung (Tabel 1.2), hanya sejumlah kecil sekolah menengah umum yang berstatus RSBI dan mendapat perlakuan istimewa diantara seluruh sekolahsekolah yang ada. Tabel. 1.2 Jumlah SMA di Provinsi DKI Jakarta dan Lampung. TAHUN
DKI JAKARTA NEGERI
SWASTA
2005/2006
116
385
2006/2007
116
2007/2008
116
LAMPUNG
JUMLAH
NEGERI
SWASTA
JUMLAH
501
121
192
313
383
499
125
193
318
378
494
132
194
326
Sumber : Diolah dari Dokumen Departemen Pendidikan Nasional 2008 pada http://data.menkokesra.go.id/content/jumlah-sekolah-di-indonesia Dalam konteks pendidikan kritis, yang dipelopori oleh Paulo Freire (1970), permasalahan pendidikan terkait dengan situasi sosial-budaya masyarakat yang mengalami perubahan, mengungkung, tidak mencerdaskan, dan menimbulkan ketidakadilan. Prinsip utama dari pedagogi kritis ini ialah melihat proses pendidikan tidak terisolasi dari kehidupan sosial. Visi pendidikan kritis didasarkan pada pemahaman bahwa pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, kultural, dan politik dan dalam kerangka relasirelasi antara pengetahuan, kekuasaan dan ideologi yang berpengaruh pada institusi pendidikan dan subjektifitas peserta didik. Pada era globalisasi dan abad ke-21, pedagogi kritis melihat perubahan global telah melahirkan
8
berbagai masalah krusial di dalam pendidikan, sedangkan peran pendidikan itu sangat strategis dalam pengenalan nilai-nilai budaya sesuai dengan tuntutan zaman (Widja, 2009; Tilaar, 2011: 38-39; Nuryatno, 2008:2). Menurut Widja (2009) terdapat dua dimensi praktis pedagogik, yaitu dimensi teknis (strategi, proses serta tindakan) dan dimensi normatif (kebijakan dan rumusan nilai-nilai). Ia menekankan pentingnya permasalahan pendidikan dilihat dari perspektif ideologis karena secara teoretis upaya pemecahan masalah pendidikan harus dimulai dengan mengoreksi asumsi-asumsi yang tidak realistik sebagai dasar pengambilan kebijakan politik pendidikan (Widja 2009: 1 dan 5). Ideologi dalam hal ini secara kultural menentukan gagasangagasan yang mengunggulkan kepentingan kelompok sosial tertentu, tempat berlangsungnya pertarungan makna dan kepentingan kelompok-kelompok dominan yang membuat budaya bersifat ideologis (Widja 2009: 1 dan 5; Cavallaro, 2004: 135; Storey, 2007: 4-5). Kebijakan tentang PBI tidak terlepas dari berbagai isu yang diuraikan di atas, yaitu berkaitan dengan ideologi dan pertarungan wacana dalam konteks politik, ekonomi, sosial, budaya dan wacana ilmu pengetahuan. PBI relevan dipermasalahkan baik pada level kebijakan maupun implementasinya di tengah upaya memajukan pendidikan nasional memasuki “persaingan global” bersamaan dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat atas perlunya “budaya lokal” dan pendidikan karakter bangsa. Dalam perspektif kritis, visi pendidikan nasional harus difungsikan untuk mengkritisi hegemoni kekuasaan
9
yang tidak berpihak pada masyarakat tertindas akibat sistem dan struktur yang tidak adil. Permasalahan pendidikan dapat dikatakan berbeda dari suatu daerah dengan daerah lainnya. Dalam konteks sosial-ekonomi, implementasi kebijakan pendidikan di sekolah menengah umum di berbagai daerah seharusnya mempertimbangkan karakteristik dan situasi sosial, ekonomi, dan budaya suatu daerah. Pada kenyataannya secara normatif kebijakan dan pedoman pelaksanaan RSBI, misalnya dalam hal
bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar dan berbagai standar komponen pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (selanjutnya TIK) diarahkan sama di seluruh daerah. Hal ini merupakan bentuk hegemoni pemerintah melalui kebijakan pendidikannya. Selain itu, kebijakan RSBI dengan berbagai akibat sosial yang ditimbulkannya dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan cita-cita pendidikan Indonesia, bahkan melanggar UUD 1945 (Kompas. 16 Februari 2012, hlm.12). Dalam konteks uraian di atas, penelitian ini akan mempelajari wacana PBI dalam konteks sistem pendidikan nasional dengan menggunakan perspektif wacana kritis. Kajian wacana kritis melihat bahasa tidak sekedar alat, tetapi bahasa sebagai praktik sosial yang membentuk diskursus dan sebuah perspektif kritis yang dapat mengungkap permasalahan PBI sebagai salah satu jenis wacana, “…critical discourse views language as a form of social practice and focuses on the ways social and political domination reproduced by text and talk… (Barker, 2006: 81-83; Nunan, 1993: 12).
10
Dalam pandangan Cultural Studies, bahasa adalah budaya dan budaya merupakan praktik hidup sehari-hari termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, dan kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat” (Lubis, 2006: 147; Storey, 2007: 2; Sardar dan Van Loon, 2001: 4 dalam Parimatha, 2010). Dalam hal ini, berbagai teks yang menyangkut pengalaman siswa, guru, pemangku kepentingan pendidikan serta teks Undangundang dan kebijakan yang mengkonstruksi wacana PBI penting untuk dianalisis secara kritis. Tilaar (2011: 37) menyatakan bahwa bahasa mempunyai arti konstruksi di balik terwujudnya kata-kata di dalam bahasa itu. Dari bahasa dapat dibaca mengenai bentuk-bentuk regulasi dan dominasi di dalam kehidupan suatu masyarakat (Ascroft, dkk, 1989: 15-17; Tilaar, 2011: 37). PBI dalam implementasinya merujuk teori-teori pendidikan yang banyak bersumber dari “Barat”,
misalnya, dalam penyusunan kurikulum,
seleksi metode, dan penetapan materi ajar. Homi Bhabha (dalam Supriyono, 2004: 141) menyatakan bahwa teori itu sendiri merupakan wahana ideologi yang dapat menciptakan situasi politis. Dalam konteks inilah, berbagai kebijakan dan wacana pengetahuan berdampak pada landasan kependidikan, kurikulum, dan manajemen pendidikan, yang sekaligus merefleksikan ideologi politik kekuasaan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Ideologi dalam hal ini merupakan satu praktik yang di dalamnya individu-individu dibentuk, dan pembentukan ini sekaligus menentukan orientasi-orientasi sosial mereka untuk bertindak dalam suatu struktur yang selaras dengan ideologi tersebut.
11
Ideologi diproduksi oleh lembaga-lembaga, yang disebut oleh Althuser sebagai perangkat ideologi negara (State Idiological Apparatus) (Piliang, 2004: 456). Ideologi meliputi nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan tentang dunia etos, dan semacamnya. Dalam pengertian sempit, ideologi mengacu pada sistem gagasan yang dapat digunakan untuk merasionalisasikan, menyerang, atau menjelaskan keyakinan, tindakan, atau pengaturan kultural tertentu. Suatu sistem gagasan yang bersifat ”ideologis” biasanya dipahami sebagai gagasan-gagasan yang bersifat partisan. Karena sifatnya yang subjektif, ideologi tidak dapat diketahui melalui pengamatan langsung tetapi dapat disimpulkan dari suatu bentuk perilaku, yakni melalui pengamatan terhadap orang-orang yang berinteraksi dalam berbagai sistem sosial (Kaplan, 2002: 154-157). Secara teoretis ideologi pendidikan nasional melalui berbagai kebijakan dan implementasinya beroperasi secara linear melalui lembaga-lembaga pendidikan dan programnya. Namun akibat dinamika kekuasaan dan wacana sosial-budaya serta ”power relations” di era globalisasi, sistem pendidikan menjadi alat kekuasaan pemerintah untuk membangun dan melestarikan ideologinya baik secara sadar maupun tidak. Pendidikan dapat menjadi sekedar alat untuk memenuhi tuntutan pasar kerja, bukan dalam prinsip humanistik untuk mampu berpartisipasi dalam budaya dan masyarakat pendukungnya. Di satu pihak, wacana PBI dalam bentuk RSBI/SBI menunjukkan gejala-gejala kapitalisme yang tidak mengarah pada cita-cita pendidikan nasional. Di pihak lain, sesuai UUD 1945, tujuan pendidikan nasional adalah
12
untuk mencerdaskan, menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas (Tilaar, 2007: 242; Tilaar, 2006;76). Pendidikan dalam konteks pembangunan
nasional diharapkan memperkuat keutuhan bangsa, memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan memungkinkan setiap warga negara untuk dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Sementara Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan tersebar dalam relasi sosial melalui proses diskursif (formasi diskursif) dan bagaimana ideologi beroperasi, direproduksi, dan dipertahankan melalui bahasa. Bagi Foucault, diskursus bersifat ideologis dan politis serta berperan „menyatukan‟ bahasa dan praktik produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberikan makna kepada objek material dan praktik sosial. Dalam teori orientalisme, diskursus memiliki kekuatan untuk mengubah atau memengaruhi realitas. Dalam hal ini, ada hubungan antara kuasa dan pengetahuan yang dapat mengubah realitas sosial melalui kekuasaan yang direproduksi dalam suatu jaringan diskursif (Barker, 2006: 81-83; Said: 1978: 3; Gandi: 100-101). Dalam konteks wacana kritis, Mbete (2010) menyatakan bahwa bahasa merupakan fenomena sosial yang sarat makna kultural, bahasa tidak hanya sekedar alat (means), namun bahasa lebih dipandang sebagai energi, termasuk energi kekuasaan yang di dalamnya ada dominasi dan hegemoni. Karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk memahami hegemoni PBI melalui, misalnya, wacana historis tentang “standard internasional”, UU Sisdiknas, neoliberalisme, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan berbagai isu
13
penting lainnya yang terkait dengan pendidikan dan globalisasi (Beoang, 1997: xviii). Menurut Althusser ideologi tidak mencerminkan dunia nyata, melainkan
merepresentasikan
“hubungan-hubungan
imajiner”
individu-
individu terhadap dunia nyata, sedangkan posisi ideologi itu dibutuhkan masyarakat untuk mampu memaknai dan mengubah kondisi eksistensialnya (Storey, 2003: 160-172). Ideologi memiliki eksistensi material, yakni aparatusaparatus dan praktek-prakteknya yang diyakini dan dihayati oleh semua kelompok, dan terus mereproduksi kondisi-kondisi dan hubungan tatanan masyarakat yang sudah ada. Ideologi hidup dalam praktek-praktek kelompok kecil, dalam citraan, dalam obyek yang digunakan masyarakat, dan dalam organisasi-organisasi seperti sekolah, rumah dan media massa. Ideologi mencakup asumsi-asumsi, keyakinan, dan sistem nilai yang beroperasi dalam konteks sosial dan budaya, misalnya pilihan konteks lokal, nasional atau global (Hatim B dan Munday J, 2004: 102; Hatim dan Mason, 1997: 147). Kehadiran RSBI/SBI sebagai sebuah “terobosan” dalam sistem dan penyelengaraan pendidikan nasional sangat kontroversial. Kendati program ini dibangun atas argumentasi untuk meningkatkan mutu pendidikan dan daya saing nasional menghadapi era globalisasi, sejak awal kehadirannya program ini telah menuai banyak kritik dari masyarakat dan para pakar pendidikan. Kritik yang muncul, misalnya, bahwa sekolah RSBI merupakan pengembangan dari ideologi kapitalisme dan neoliberalisme karena dalam implementasinya “hanya” memberi kesempatan kepada kelompok ekonomi atas dengan modal
14
kuat dan semangat persaingan tinggi karenanya sulit diakses oleh masyarakat miskin untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Para pendudukung bentuk sekolah seperti ini umumnya adalah dari kalangan birokrasi pendidikan dan masyarakat kelas menengah. Berbagai permasalahan muncul baik yang terkait dengan konsep dan relevansi PBI dalam sistem pendidikan nasional maupun persoalan-persoalan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang melihat kebijakan PBI sebagai bentuk anomali dan pengingkaran terhadap cita-cita pendidikan nasional. Pendidikan nasional dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan sosial (ketidakadilan) dan budaya (nilai-nilai), ekonomi (kesenjangan sosial) dan politik (demokrasi) yang jika tidak ditangani secara tepat dapat meruntuhkan kehidupan bangsa. Salah satu realitas wacana PBI ini adalah beragamnya persepsi berbagai kalangan baik di ranah pendidikan maupun masyarakat terhadap eksistensi RSBI dan munculnya berbagai permasalahan yang tidak kondusif bagi pengembangan pendidikan nasional. Pakar pendidikan Winarno Surakhmad pernah menyatakan bahwa RSBI atau sekolah internasional itu adalah konsep yang tidak ada di dunia, kecuali di Indonesia. Hal ini menggambarkan konsep PBI ini tidak saja lemah dan membingungkan tetapi juga tidak memiliki pijakan filosofis dalam pendidikan Indonesia. Model pendidikan RSBI ini dipandang tidak menggambarkan semangat mencerdaskan bangsa sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa, khususnya dengan ketentuan patokan mutu pendidikan ke salah satu negara yang tergabung dalam Organisation for
15
Economic Cooperation and Development (OECD) dalam memajukan pendidikan nasional (Risalah Sidang MK, Selasa, 20 Maret 2012, hlm. 9). Paulo Freire dan Ivan Illich pada tahun 70-an telah mengkritik dan menyadarkan banyak orang bahwa dunia pendidikan yang selalu diasumsikan penuh kebajikan ternyata mengandung penindasan. Samuel Bowels dalam konteks pendidikan di Amerika Serikat juga mengkritik kapitalisme dengan melakukan analisis politik ekonomi terhadap pendidikan. Dalam hal ini pendidikan dipandang sebagai reproduksi terhadap sistem kapitalisme (Fakih, 2001: x-xi). Permasalahan ideologis dalam PBI perlu dibongkar dengan menyelidikinya dari berbagai wacana pendidikan dan wacana globalisasi dalam sistem pendidikan (persekolahan), dan politik budaya dari dimensi konstruksi dan reproduksi ideologis-kultural. Penelitian ini menganalisis bagaimana unsur-unsur „kuasa‟ beroperasi melalui institusi sekolah, wacana sosial-budaya, dan ilmu pengetahuan dalam pendidikan menengah umum. Penelitian ini dilakukan dengan perspektif teori-teori kritis dalam paradigma kajian budaya, yang melihat wacana PBI sebagai sebuah konstruksi dalam konteks relasi-kuasa hegemonik negara dan ditopang oleh wacana globalisasi dalam sektor pendidikan. Wacana PBI dipandang sebagai arena kontestasi ideologis kultural yang mengandung hegemoni, dominasi dan ketidakadilan yang melibatkan struktur kekuasaan negara, masyarakat sipil dan agen-agen pendidikan. Kontestasi wacana tentang PBI terjadi paling tidak selama lima tahun pelaksanaan RSBI sejak 2006 dalam berbagai wacana seperti Uji Materi pasal
16
50 ayat (3) Undang-undang Sisdiknas 2003 melalui sidang-sidang yang akhirnya pasal tersebut dibatalkan oleh MK karena dinilai bertentangan dengan semangat konstitusi. Dalam hal ini, sidang-sidang MK tentang wacana PBI tersebut dipandang bagian dari kontestasi kekuasaan tentang hegemoni dan kontra hegemoni PBI yang melibatkan pemerintah, intelektual, dan masyarakat sipil. As with the third dimension of power, hegemonic rule involves the capacity of a ruling class (or an elite or, more generally still, the status quo) to contain the subordinate masses through the enculturation of „common sense‟ ways of thinking and acting. To take this a step further, hegemony involves a process through which both rulers and ruled get something tangible, both material and psychological, out of their capacity to participate. Hegemonic (consensual) rule thus can only take place when the dominated take part; when they, in effect, become co-authors of their own oppression. But, as in the first dimension of power, this does not necessarily mean that the ruled want to be ruled (Comor, 2008: 33). Dengan penggambaran di atas tentang proses hegemoni, penelitan ini mengeksplorasi bagaimana hegemoni kelompok dominan (negara) berhadapan dengan kelas subordinat (masyarakat sipil dan pendidikan) tentang pentingnya PBI dalam pendidikan menengah umum. Eksplorasi dan analisis dilakukan melalui berbagai sumber data seperti, dokumen, sekolah-sekolah dan wacana sidang MK terkait pasal 50 ayat (3) Undang-undang No 20 Tahun 2003 dan implementasinya. Penelitian ini juga penting dari perspektif cultural studies karena misi keberpihakannya pada kelompok subordinat dan posisi intelektual organik yang resisten terhadap dominasi dan kepemimpinan politik (Lubis, 2006: 153-154; Gramsci, 1971: 57). Teori sosial kritis berpandangan bahwa dominasi (dalam masyarakat) bersifat struktural, dipengaruhi oleh institusi sosial yang lebih besar, seperti
17
politik, ekonomi, budaya, ideologi, dan diskursus. Teori sosial kritis berupaya membongkar struktur yang mendominasi masyarakat dan memahami akar penindasan yang terjadi. Teori
kritis juga berkeyakinan bahwa struktur
dominasi diproduksi melalui kesadaran palsu manusia yang dilanggengkan melalui ideologi (Marx), hegemoni (Gramsci), dan wacana kuasa (Foucault). Dalam hal ini, teori kritis mencoba menyingkap kesadaran palsu tersebut (Lubis, 2006: 62-63). Penelitian ini juga bersifat aktual dan kontekstual dengan adanya Putusan MK dan permohonan pihak pemerintah pasca putusan MK yang diwakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar penyelenggaraan RSBI di lapangan diberikan masa transisi hingga Juli 2013 untuk selanjutnya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan amanat konstitusi yang menghendaki penyelenggaraan pendidikan model RSBI dihentikan demi keadilan karena menimbulkan banyak permasalahan sosial dan politik (Kompas, Jumat 1 Februari 2012, hlm. 12; Kompas, Kamis Januari 2013, hlm. 1 dan 18). Dari perspektif teori kritis, ada beberapa asumsi yang dibangun dalam penelitian ini. Pertama, sistem pendidikan nasional tidak terlepas dari dinamika sosial, ekonomi dan politik yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme dan liberalisme global yang kemudian melahirkan kebijakan PBI. Kedua, negara dengan berbagai institusi yang menopangnya berperan menghegemoni masyarakat melalui berbagai wacana UU, kebijakan dan implementasi PBI yang kemudian menimbulkan permasalahan politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Ketiga, pengetahuan bersifat ideologis, merefleksikan nilai-nilai,
18
gagasan, dan kepentingan kelompok sosial tertentu. Dalam hal ini, ideologi bekerja untuk mendukung atau menentang (praksis sosial) tatanan ekonomi dan sosial yang berlaku melalui peran para agen untuk melanggengkan atau melawan (resisten terhadap) keberadaan PBI dalam pendidikan menengah umum sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
1.2. Rumusan Masalah Sesuai dengan uraian di atas, wacana atau tema PBI yang menjadi fokus penelitian ini menarik dan penting untuk diteliti secara kritis dengan rumusan permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah bentuk-bentuk hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan menengah umum? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan menengah umum? 3. Apakah makna hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan menengah umum? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus, dengan uraian sebagai berikut.
19
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami bentuk-bentuk hegemoni PBI dan faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI serta makna hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum.
1. 3. 2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Untuk
memahami
bentuk-bentuk
hegemoni
pendidikan
bertaraf
internasional dalam pendidikan menengah umum. 2. Untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan menengah umum. 3. Untuk memahami makna hegemoni pendidikan bertaraf internasional dalam pendidikan menengah umum. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini secara teoretis dan praktis dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.5. 1 Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan permasalahan hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum dari perspektif kajian budaya. Penelitian ini diharapkan sebagai “pintu masuk” untuk meneliti permasalahanpermasalahan pendidikan dari perspektif teori-teori kritis kontemporer yang
20
mengarah
pada
perubahan
sosial
dan
paradigma
pendidikan
yang
memerdekakan.
1.5. 1. Manfaat Praktis Pada tingkat praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk (1) memberikan pemahaman kepada pihak pemangku kepentingan dalam pendidikan untuk bersikap kritis terhadap wacana globalisasi dan kebijakan pendidikan menengah umum dan (2) masukan bagi pemangku kepentingan dalam pendidikan nasional untuk memahami dan melaksanakan kebijakan pendidikan secara kritis dan inovatif dengan mempertimbangkan realitas sosial-kultural bangsa dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang dapat “mendamaikan” kehidupan lokal, nasional, dan global.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Fokus penelitian ini adalah mengungkap bentuk-bentuk hegemoni PBI dalam
pendidikan menengah umum, faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI, dan makna
hegemoni
PBI
dalam
pendidikan
menengah
umum.
Menganalisis
permasalahan PBI dalam konteks pendidikan nasional melibatkan banyak unsur dan sifatnya kompleks karena terkait dengan wacana pendidikan dan globalisasi dalam relasi kekuasaan, Undang-undang, kebijakan kurikulum, metode pembelajaran, buku teks, dan dinamika wacana PBI sejak kemunculannya hingga akhirnya dasar hukumnya dianulir oleh lembaga MK. Penelitian ini sendiri dilakukan di lapangan sejak Januari 2012. Dengan demikian, fokus penelitian ini adalah wacana PBI dan eksistensi RSBI/SBI sebagai bagian dari wacana PBI sebelum pembatalan dasar hukumnya oleh lembaga MK 8 Januari 2013. Untuk menempatkan permasalahan penelitian ini dalam ranah pendidikan dan budaya, pada bagian ini dibahas beberapa buku, artikel dan laporan penelitian yang relevan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan penelitian ini. Masingmasing rujukan dibahas secara ringkas namun mendasar untuk melihat persamaan dan perbedaannya dengan penelitian yang diajukan di sini. Dengan cara demikian,
21
22
penelitian ini tampak dalam hal kebaruannya (novelty) dan urgensinya baik dalam ranah kajian budaya maupun dalam bidang pendidikan. Dalam konteks pendidikan nasional, praktek hegemoni (budaya) dapat terjadi melalui berbagai piranti dalam pendidikan nasional. Negara merekayasa kesadaran masyarakat untuk mendukung kekuasaan negara melalui para intelektual dalam birokrasi dan intervensi berbagai lembaga pendidikan sebagai sarana hegemoni di tengah masyarakat Indonesia kontemporer (Takwin, 2009: 74). Perangkat komputer dan internet, misalnya,
dalam konteks proses pembelajaran berbasis TIK, telah
menjadi “tuntutan wajib” dalam metode pembelajaran di kelas dewasa ini. Kehadiran teknologi ini bermasalah tidak saja terkait dengan pemerataan pengadaan perangkat ini di sekolah tetapi juga karena guru-guru seringkali tertinggal pengetahuan dan keterampilannya dari siswanya sendiri. Sejauh ini berdasarkan penelusuran kepustakaan, penelitian tentang hegemoni PBI dan implikasinya secara sosial, ekonomi dan budaya belum mendapat perhatian yang memadai di kalangan akademik dan peneliti pendidikan. Pada hal, dari segi wacana dan isu yang yang berkembang paling tidak selama lima tahun terakhir, kehadiran program PBI ini dalam sistem pendidikan nasional mendapat sorotan tajam dan kritik dari berbagai pihak yang peduli dengan permasalahan pendidikan nasional, khususnya pendidikan menengah umum. Penelitian tentang wacana PBI dari perspektif ideologis-kultural belum mendapat perhatian signifikan dari para peneliti pendidikan yang sepadan dengan wacana, respons masyarakat, serta efek yang ditimbulkannya terhadap pendidikan dan masyarakat pada umumnya.
23
Banyak penelitian yang ada masih berfokus pada masalah-masalah yang berdimensi teknis seperti metodologi dan efektifitas pengajaran/pembelajaran, relevansi kurikulum dengan buku teks, dan berbagai bentuk penelitian yang sifatnya evaluatif terhadap penyelengaraan pembelajaran dan kebijakan pendidikan. Secara keseluruhan penelitian tersebut belum banyak menyentuh permasalahan ideologiskultural dengan menggunakan teori-teori kritis untuk memahami PBI dalam konteks hegemoni dan sebagai arena kontestasi wacana sebagaimana diajukan dalam penelitian ini. Dalam konteks kajian budaya dan pedagogi kritis, pendidikan harus digugat dari perspektif ideologi terhadap kekuasan hegemonik yang membelenggu pendidikan dan wacana kuasa/pengetahuan sehingga pendidikan itu tidak sekedar bersifat instrumental tetapi juga sebagai proses penanaman nilai-nilai dan penguatan karakter anak didik yang bersifat fundamental dalam konteks keindonesiaan. Dalam semangat yang sama, Henry Giroux menggabungkan teori hegemoni Gramsci dan kajian budaya untuk menganalisis pendidikan kapitalis sebagai kekuatan korporasi dan dominasi. Giroux dalam kajiannya mengaitkan cultural studies, teori pendidikan dan teori sosial-politik dalam upaya meningkatkan kesadararan dan memberdayakan generasi mendatang dan menghidupkan demokrasi (Lubis, 2006: 158-159). Michael Apple (1978: 495-503) dalam sebuah tulisannya ”The New Sociology of Education: Analyzing Cultural and Economic Reproduction” menyatakan bahwa sekolah merupakan lembaga reproduksi ekonomi dan budaya, namun cara beroperasinya dalam lembaga pendidikan sangat kompleks. Menurut Apple eksistensi
24
sekolah tidak terlepas dari hubungannya dengan institusi yang lebih berkuasa, yaitu berbagai institusi yang dapat menghasilkan ketidakadilan struktural dan ketidakadilan dalam akses terhadap berbagai sumber daya. Melalui kurkulum, kegiatan pedagogis dan berbagai kegiatan evaluatif di kelas, sekolah-sekolah berperan besar dalam mempertahankan jika tidak dapat dikatakan menghasilkan ketidakadilan tersebut (http://newlearningonline.com/)
dan
(curriculum/michael-apple-on-ideology-in-
curriculum). Ada beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini yang masingmasing memiliki kontribusi yang khas terhadap kerangka pemikiran dalam penelitian ini. Karti Soeharto (2009) mengkaji ideologi pendidikan nasional dengan judul penelitian disertasi “Politik Pendidikan Nasional: Analisis Ideologi Pendidikan Melalui Interpretasi Elit Pendidikan Indonesia Terhadap UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas”. Penelitian ini menganalisis ideologi pendidikan nasional dari perspekftif elit pendidikan Indonesia. Analisisnya memberikan wawasan umum tentang peta ideologi pendidikan ”universal” dan posisi ideologi Undang-undang Sisdiknas dalam rumpun ideologi pendidikan yang ada, konservatif dan liberal. Secara khusus penelitian Karti ini mempermudah peneliti memahami konsep-konsep tentang kekuasaan, kewenangan dan legitimasi dalam kaitannya dengan teori-teori Foucault dan Gramsci yang digunakan dalam memahami permasalahan penelitian ini. Secara umum kesimpulan penelitian Karti yang disebutkan di atas adalah bahwa ideologi pendidikan nasional merupakan konvergensi ideologi konservatif dan progresif. Ideologi Pendidikan Nasional sebagaimana direpresentasikan dalam UU
25
Nomor 20 Tahun 2003 adalah ideologi pendidikan konservatisme sosial revisionis dan ideologi liberalisme kompromistik, lebih bersifat teoretis dan abstrak, tidak didasarkan pada kasus-kasus praksis pendidikan nasional. Berbeda dari penelitian yang dilakukan di sini, penelitian Karti tidak melihat permasalahan pendidikan nasional dari perspektif teori-teori kritis khususnya Teori Hegemoni dan Teori Kuasa/Pengetahuan dalam implementasi kebijakan pendidikan. Mbula Darmin (2011) dengan judul karya disertasinya “Penelitian Kebijakan tentang Internasionalisasi Pendidikan di Indonesia” menyoroti isu internasionalisasi pendidikan dalam kebijakan pendidikan nasional.
Fokus penelitian ini adalah
penelitian kebijakan internasionalisasi pendidikan dalam rangka memahami konsep SBI dalam konteks globalisasi dan negara kebangsaan Indonesia. Salah satu kesimpulan penelitian ini adalah bahwa konseptualisasi SBI sebagaimana konseptualisasi OECD menyisakan masalah abadi bagi Indonesia karena definisi dan konseptualisasinya tidak sesuai dengan konsep pendidikan menurut Pancasila dan UUD 1945. Penelitian ini memberikan pemahaman tentang konsep-konsep terkait dengan ideologi liberalisme kapitalis dan aspek-aspek sosial dari pendidikan yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Sebagaimana penelitian Karti, penelitian ini lebih ditekankan pada pemahaman pendidikan nasional dan internasionalisasi pendidikan secara etik. Penelitian disertasi oleh Ketut Suda (2009) dengan judul “Merkantilisme Pengetahuan dalam Pendidikan: Studi Kasus di Sekolah Dasar Melati Sukma Denpasar” mengkaji tentang praktik merkantilisme pengetahuan sebagai akibat dari
26
masuknya ideologi dan sistem ekonomi pasar kedalam perekonomian nasional dan pendidikan. Dengan menggunakan teori-teori hegemoni, komodifikasi, dan dokonstruksi penelitian ini mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya merkantilisme pengetahuan dalam sektor pendidikan seperti sistem penggajian guru dan marginalisasi guru dalam proses pembangunan. Bentuk merkantilisme yang ditemukan dalam penelitian ini antara lain pemberian pembelajaran tambahan dan penjualan produk industri yang terkait dengan pendidikan. Penelitian ini memberi wawasan kepada peneliti tentang proses terjadinya kapitalisasi pendidikan pada jenjang pendidikan dasar sebagai akibat “ekonomi pasar”. Berbeda dari penelitian tersebut, penelitian yang diajukan penulis di sini memiliki objek formal yang berbeda yaitu hegemoni Pendidikan Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan menengah umum dan menggunakan teori-teori kritis seperti teori wacana kuasa/pengetahuan (postruktural) untuk lebih memahami terjadinya proses hegemoni kapitalisme dan neoliberalisme dalam pendidikan. Disertasi penelitian dengan judul “Pengaruh Harapan Pelanggan, Kualitas yang Dipersepsi Pelanggan, Nilai yang Dipersepsi Pelanggan, Kepuasan Pelanggan, dan Keluhan Pelanggan terhadap Loyalitas Pelanggan di Sekolah Bertaraf Internasional” oleh Martinus Tukiran (2007) memberikan wawasan tentang hubungan masyarakat dengan berbagai aspirasinya tentang layanan pendidikan yang lebih dipandang sebagai komoditas. Penelitian ini berangkat dari paradigma berpikir bahwa pendidikan merupakan komoditas yang melibatkan lembaga penyedia jasa dan pelanggan dengan prinsip-prinsip transaksional seperti kepuasan pelanggan.
27
Paradigma penelitian ini menguatkan paradigma ekonomi liberal bahwa pendidikan sebagai industri jasa dan komoditas berbeda dengan industri jasa lainnya dalam hal hubungan pelanggan-penyedia atau pelayanan dengan standar “kepuasan pelanggan” dalam industri pendidikan. Penelitian lainnya yang penting dan relevan disajikan di sini adalah penelitian yang dilakukan oleh Mochtar Marhum (t.th:7-8) melalui judul tulisannya English Language in Indonesian Schools in the Era of Globalization tentang posisi bahasa Inggris dalam hubungannya dengan RSBI dan implementasi pendidikan. Penelitian ini melihat positif kehadiran atau kebijakan RSBI/SBI dalam sistem pendidikan nasional dengan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam rangka meningkatkan kompetensi komunikasi anak didik dan upaya membangun daya saing Indonesia dalam konteks global. Salah satu hasil penelitian ini menegaskan pentingnya RSBI/SBI sebagai “terobosan” dalam memacu daya saing nasional dalam era globalisasi. Penelitian ini lebih berfokus pada perspektif pendidikan dan pembelajaran dengan paradigma positivistik, tidak dianalisis berdasarkan teori-teori kritis dan pandangan ideologis-kultural dalam melihat hubungan antara bahasa Inggris dan ideologi globalisasi yang dapat bersifat hegemonik. Berbeda dari semua penelitian yang disajikan di atas, penelitian tentang Hegemoni PBI ini mencoba memahami wacana PBI dalam konteks pendidikan menengah umum sebagai sebuah konstruksi yang tidak bebas dari ideologi hegemonik dan wacana globalisasi. Hegemoni kekuasaan negara dan wacana globalisasi berperan mengonstruksi dan merasionalisasi PBI dalam sistem pendidikan
28
nasional. Selain itu, penelitian ini didasarkan pada kajian fenomena di lapangan (emik) dan dibangun atas hipotesis bahwa ideologi globalisme (kapitalisme dan neoliberlisme) dengan berbagai derivatnya seperti standarisasi dan komodifikasi pendidikan merupakan bentuk hegemoni kekuasaan yang ditopang oleh wacana kuasa/pengetahuan dan beroperasi melalui berbagai wacana UU dan kebijakan pemerintah, lembaga politik, praktik pendidikan dan intelektual yang kemudian membentuk kebijakan PBI. Hal ini dianalisis dengan menggunakan teori-teori hegemoni, wacana kuasa/pengetahuan dan praktik sosial dalam konteks kajian budaya. Dalam hal ini, berbagai wacana sosial, ekonomi, budaya dan politik dipandang sebagai “peristiwa” yang saling terkait dalam menghasilkan wacana PBI. Kerangka pikir kritis kajian budaya berbeda dari penelitian berparadigma positivistik. Kajian budaya bersifat politis dan menekankan perspektif ideologis dalam memahami suatu “objek”, ada posisi keberpihakan pada “subjek” yang tertindas (subordinat) dalam suatu struktur kekuasaan. Hal ini berbeda dari paradigma positivistik dalam ilmu pengetahuan yang dinilai bersifat “objektif” dan “bebas nilai”. Sejalan dengan perspektif kritis tersebut, teori-teori yang digunakan untuk memahami objek formal penelitian ini adalah teori-teori kritis dalam paradigma kajian budaya. Dengan berbagai uraian di atas tentang penelitian terkait dan sepanjang peneliti ketahui, penelitian tentang “Hegemoni Pendidikan Bertaraf Internasional dalam Pendidikan Menengah Umum” merupakan “objek” penelitian baru dan berbeda dari berbagai penelitian yang telah disajikan di atas. Dengan demikian “novelty” dari
29
penelitian ini sangat jelas dan penting diteliti dalam hubungan ilmu pendidikan dan kajian budaya.
2.2
Konsep Ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini sesuai dengan
berbagai teori yang digunakan dalam menganalisis permasalahan penelitian, yaitu tentang hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum.
2.2.1
Hegemoni Menurut Raymond William (1998: 144-145) hegemoni berarti bahwa negara
mengontrol pihak subordinat secara langsung dan mengarahkan bagaimana cara memandang dunia. Dalam hal ini hegemoni juga menyangkut upaya dominasi tentang bagaimana cara memandang dunia secara intelektual dan politis yang diungkapkan melalui berbagai institusi. Pengertian hegemoni terkait erat dengan ideologi. Dalam hal ini, ideologi dimaknai sebagai pengalaman hidup dan ide sistematis yang berperan mengorganisasi dan secara bersama-sama mengikat satu blok yang terdiri dari berbagai perekat sosial, dalam pembentukan blok hegemonis dan blok kontrahegemonis. Ideologi merupakan satu praktik yang di dalamnya individu-individu dibentuk dan diorientasikan untuk bertindak dalam struktur ini dengan berbagai cara yang selaras dengan ideologi (Barker, 2006: 62-63; Piliang, 2004: 456). Menurut Magnis-Suseno (1992: 229) istilah ”ideologi” dipergunakan dalam pengertian yang berbeda-beda. Magnis menguraikan makna ideologi pada salah satu
30
(atau kombinasi) dari tiga arti: (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah. Ideologi dalam arti yang pertama biasanya dipergunakan oleh kalangan filsuf dan ilmuwan sosial sebagai teori-teori yang berorientasi pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Kedua, ideologi dalam arti netral adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial tertentu, seperti “ideologi negara”. Dalam pengertian yang kedua ini, baik buruknya suatu ideologi tergantung kepada isi ideologi tersebut. Pengertian yang ketiga menyangkut keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Menurut Bagus (2002: 306) ideologi memiliki arti pejoratif (negatif) sebagai teorisasi dan khayalan kosong yang tidak realistis; atau bahkan palsu dan menutup-nutupi realitas yang sesungguhnya. Dalam konteks pemikiran Gramsci, ideologi dipahami sebagai ide, makna dan praktik yang merupakan peta makna yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktifitas praktis kehidupan. Ideologi memandu atau menyediakan aturan perilaku praktis dan tuntutan moral yang sepadan dengan kesatuan keyakinan antara konsepsi tentang dunia dan norma tindakan terkait. Gagasan Gramsci dalam konteks Cultural Studies tidak hanya memperhatikan budaya populer sebagai ranah perjuangan ideologis, tetapi juga perjuangan ideologis dan konflik di dalam masyarakat sipil sebagai arena sentral dalam politik budaya (Gramsci, 1971: 349; Lubis, 2006: 141-142).
31
Wacana digunakan dalam berbagai disiplin ilmu: linguistik (kritis), psikologi, sosiologi, sastra dan budaya dengan cakupan makna yang beragam. Salah satu definisi yang paling luas dan relevan dengan penelitian ini adalah:‘the general domain of all statements‘; that is, all utterances or texts which have meaning and which have some effects in the real world count as discourse” (arena seluruh pernyataan yang bersifat umum; yaitu berbagai bentuk ujaran atau teks yang memiliki makna dan pengaruh dalam dunia realitas dipandang sebagai wacana).
Definisi
lainnya adalah ‗an individualizable groups of statements‘ (sekelompok pernyataan yang berdiri sendiri) yang memiliki keteraturan, koherensi dan kekuataan dalam suatu struktur. Diskursus juga mencakup unsur-unsur, seperti pernyataan, aturan, subjek, proses, praktik, dan gagasan (Mills, 1997: 7). Pada level sistem ekonomi sosial, wacana dapat mengacu pada dominasi yang mengatur praktek gagasan, konsep, kategori and representasi makna sosial di dalam masyarakat, seperti wacana neoliberalisme, kapitalisme, sosialisme dalam sistem ekonomi. Efek ideologis suatu wacana dapat secara kognitif memengaruhi peserta wacana (Fairclough, 1992: 92). Menurut Foucault (2002:9), diskursus atau wacana merupakan cara untuk menghasilkan, praktik sosial, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan dibalik pengetahuan dan praktik sosial tersebut yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Diskursus atau wacana adalah apa yang menyatukan bahasa dan praktik, gagasan yang mengacu pada produksi pengetahuan lewat bahasa kemudian memberikan makna pada praktik-praktik sosial dan objek-objek material.
32
Pengetahuan dan bahasa secara diskursif mengonstruksi, mendefinisikan dan memproduksi objek-objek pengetahuan secara rasional. Wacana merujuk pada komunikasi pikiran, ekspresi gagasan-gagasan, percakapan, kata, terutama sebagai suatu subjek studi dan pokok kajian dalam risalah tulisan, disertasi, kuliah, ceramah, lisan atau tulisan yang pembahasannya merupakan hubungan antara konteks-konteks yang terdapat dalam teks (Soetrisno, 2007:286; Sobur, 2009: 9-10).
2.2.2
Pendidikan Bertaraf Internasional Dalam penelitian ini pendidikan bertaraf internasional (PBI) mengacu pada
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 50 ayat (3) yang menyatakan, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.” Frase ”satuan pendidikan yang bertaraf internasional” dalam Pasal 50 ayat (3) dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 61 ayat (1): Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional (selanjutnya SBI). Dalam implementasinya, RSBI merupakan satu bentuk layanan pendidikan fomal pada suatu satuan pendidikan dalam ”sejarah ” sistem pendidikan nasional. RSBI dalam hal ini merupakan tahapan dan strategi menuju SBI sesuai amanat Undang-Undang tersebut
33
di atas. Secara konsep dan implementasi PBI mengacu pada berbagai peraturan dan ketentuan pelaksanaan di lapangan, antara lain, SNP, orientasi kurikulum OECD dan kerjasama dengan mitra sekolah di luar negeri, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, sertifikasi ISO, pembelajaran berbasis teknologi dan informasi (TIK) dan partisipasi dalam Olimpiade.
2.2.3
Pendidikan Menengah Umum Pendidikan menengah umum dalam penelitian ini merujuk pada Pasal 18 ayat
(1), (2), dan (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan rumusan yakni, jenjang pendidikan sebagai lanjutan pendidikan dasar dan pendidikan menengah umum yang berbentuk sekolah menengah atas (SMA). Berbeda dari pendidikan menengah kejuruan, seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), pendidikan menengah umum lebih diarahkan pendidikannnya pada bidang akademik dan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Dengan uraian di atas tentang konsep-konsep dalam penelitian ini, hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum secara ringkas menyangkut dominasi atau kontrol dari pihak dominan (pemerintah sebagai representasi negara) atas subordinat (pelaku dan pemangku kepentingan pendidikan) melalui berbagai wacana dan praktik diskursif, sistem berpikir, gagasan, nilai-nilai, institusi dan praktik-praktik Pendidikan Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan menengah umum sehingga pihakpihak yang terkait dengan pelaku pendidikan pada Pendidikan Menengah Umum
34
berpikir dan bertindak sesuai dengan konstruksi berpikir dan kepentingan pihak hegemonik.
2.3 Landasan Teori Permasalahan wacana PBI dalam penelitian ini dijelaskan dengan menggunakan Teori Hegemoni (Gramsci) yang didukung oleh Teori Wacana Kuasa/Pengetahuan (Foucault), dan Teori Praksis Sosial (Bourdieu). Dalam proses kerja ilmiah, teori diperlukan dalam bentuk kerangka teori untuk memahami dan merajut keseluruhan objek, konsep dasar, dan memecahkan masalah objek yang diteliti melalui metode yang diturunkan dari pemahaman atas teori untuk kemungkinan temuan baru (Ratna, 2010: 46-49). Objek formal dari penelitian ini adalah tentang hegemoni (ideologi), sedangkan objek materilnya adalah wacana PBI. Dari perspektif teori-teori kritis, PBI dipandang sebagai produk wacana yang dikonstruksi atau terkonstruksi secara sosial dan termanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti Undang-undang, peraturan dan institusi formal seperti sekolah RSBI dengan segala program dan kegiatannya. Implementasi dalam bentuk RSBI dalam penelitian ini dipandang sebagai bagian rangkaian konstruksi wacana tentang PBI khususnya pada jenjang pendidikan menengah umum. Semua teori yang disebutkan di atas akan dijadikan landasan teoretis untuk memahami dan mengidentifikasi permasalahan wacana PBI. Penggunaan berbagai
35
teori ini secara eklektik diharapkan dapat mengungkap dan menjelaskan bentukbentuk hegemoni PBI, faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI dan makna hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum. Sanderson (2003: 619) berpendapat bahwa eklektisme merupakan satu perspektif yang menekankan perlunya kombinasi berbagai teori digunakan untuk menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang suatu “objek” penelitian. Penggunaan teori secara eklektik dalam penelitian ini penting dan relevan dari perspektif kajian budaya untuk menjelaskan hegemoni wacana PBI dalam pendidikan menengah umum secara lintas disiplin dan komprehensif. Teori-teori yang digunakan di sini juga dijelaskan dalam hubungannya dengan objek yang diteliti sehingga semakin jelas bagaimana berbagai teori tersebut berfungsi atau digunakan sebagai “pisau analisis “untuk membedah permasalahanpermasalahan penelitian. Tradisi pemikiran dalam ranah kajian budaya sebagai lintas bidang ilmu dan ilmu-ilmu sosial humaniora pada umumnya melihat “objek atau realitas” yang sama dengan titik penekanan, konsep dan perspektif yang berbeda. Uraian didukung oleh gagasan-gagasan yang relevan dengan, misalnya pemikiran Eagleton tentang ideologi (Takwin, 2009: 3-4) dan pemikiran Bourdieu tentang pendidikan sebagai ranah beroperasinya hegemoni (Gramsci) dan diskursus (Foucault). Pemikiran strukturalisme tentang kekuasaan menurut Antonio Gramsci (18911937) berkaitan dengan konsep hegemoni, sedangkan pemikiran postsrukturalis berhubungan dengan pemikiran Michel Foucault (1926-1984) tentang wacana sebagai
36
sumber daya kekuasaan atau kekuasaan itu sendiri. Pemikiran sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu (1930-2002) tentang praktik sosial yang bersifat relasional memiliki persamaan dengan pemikiran Foucault tentang “power relations”, sebuah analisis tentang mekanisme dominasi untuk membebaskan kelompok yang terdominasi. Konsep hegemoni juga banyak diserap oleh Bourdieu dalam pandanganpandangannya tentang fenomena pendidikan, melalui konsep-konsep cultural capital, cultural reproduction, symbolic power, dan lain-lain dari komponen teori praksis Bourdieu yang dianggap mampu menjelaskan banyak karakteristik sistem pendidikan kontemporer (Widja, 2007: 81; Bourdieu dalam Harker et. al. (eds), 1990). Baik Marxisme menurut pemikiran Antonio Gramsci melalui karyanya Selections from the Prison Notebooks (1971) maupun Michel Foucault dalam Power/Knowledge (1980) memandang kekuasaan sistem kapitalisme secara berbeda. Gramsci menekankan hubungan basis (ekonomi) dan superstruktur (ideologi) secara resiprokal yang membentuk kekuasaan, sedangkan Foucault melihat kekuasaan terletak pada diskursus dan “power relations”. Menurut Foucault kekuasaaan bukanlah pengaruh beroperasinya ideologi, melainkan hal-hal yang besifat materillah (material practices) yang beroperasi secara relasional dan saling terjalin (menstruktur) dan berkelindan dengan berbagai jenis relasi lainnya sehingga menghasilkan kondisi (formasi diskursif) untuk mengontrol apa yang dapat ditulis, dipikirkan, dan dilakukan pada suatu bidang tertentu (Foucault. 1980: 142; Storey, 2003: 132-133).
37
Perbedaan pemikiran Gramsci (Marxisian Barat) dan Foucault (Nietzsean) dalam melihat kekuasaan terletak pada perbedaan antara “relasi produksi” dan “relasi kekuasaan” atau antara penguasaan sarana produksi dan penguasaan praktik wacana/diskursus. Gagasan Gramsci merujuk pada integrasi “structure and superstructure”, lebih bersifat struktural (Gramsci, 1971: 137), sedangkan bagi Foucault yang menganut prinsip membangun kekuasaan (will to power), memandang kekuasan sebagai pertarungan atau kontestasi wacana. Orientasi pemikiran Gramsci bersifat mendominasi (power over), sedangkan pemikiran Foucault berorientasi pada perimbangan kekuasaan (balances of powers), dalam arti upaya “partisipasi” dalam arena kontestasi kekuasaan melalui wacana. Mark Olssen, dkk, (2004) dalam bukunya yang berjudul Education Policy: Globalization, Citizenship and Democracy menunjukkan pengertian kekuasaan menurut Foucault dengan yang lainnya dengan penjelasan berikut. Foucault replaces the concept of ideology with that of discourse. He represents discourse as one of a variety of practices whose most significant units are ―serious speech acts‖, both written and spoken. A discourse is defined in terms of statements (enonces), of ―things said‖. Statements are events of certain kinds, which are both tied to historical context and capable of repetition. Further, as Foucault (1972: 49) describe them, ―Discourses are composed of signs but what they do is more than use these signs to designate things. It is this ―move‖ that we must reveal and describe (Olssen, dkk, 2004: 22-23). Bourdieu memiliki persamaan pemikiran dengan Foucault dalam hal „kekuasaan‟ yang bersifat relasional. Bagi Bourdieu kekuasaan diuji dan diraih pada ranah (field) melalui relasi modal (kapital) dan habitus. Modal dapat berupa ekonomi, sosial, budaya, linguistik dengan nilai simboliknya yang semuanya atau masing-
38
masing berkontribusi untuk meraih kekuasaan (praktik sosial). Selain itu, individu menurut Bourdieu dapat bertindak sebagai agensi yang „merekayasa‟ modal, habitus, dan „doxa‟ dalam meraih atau menolak kekuasaan (counterhegemony) dalam praktik sosial. 'Social capital is the 'the aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of a durable network of more or less institutionalized relationships of mutual acquaintance and recognition' (Bourdieu 1983: 249). Dalam hal mengungkap hegemoni dan resistensi tentang PBI, pemikiran Foucault dan Bourdieu ini digunakan untuk menjelaskan kontestasi wacana dalam masyarakat dan arena pendidikan yang melibatkan ilmu pengetahuan (sebagai legitimasi kekuasaan yang bersifat diskursif) dan dinamika peran pendidikan sebagai alat reproduksi dan transformasi modal dalam konteks globalisasi dan praksis sosial. Dalam hal ini, analisis dilakukan dalam konteks pemikiran geneologis atau konstruksi tentang bagaimana tiga komponen diskursif yaitu ilmu pengetahuan, institusi, dan tokoh dalam membangun kuasa dalam arena pendidikan (Adian, 2002:22-23). Dari segi makna, pemikiran Gramsci tentang ideologi dan Foucault tentang wacana serta Bourdieu tentang peran agensi dan struktur digunakan untuk membedah secara kritis relasi kuasa dalam wacana PBI dalam pendidikan menengah umum. Secara teoretis, misalnya, peran agensi dalam wacana PBI dan relasi kekuasaan dapat menjadi kekuatan mediasi (mediating force) antara kekuatan hegemonik dan resistensi masyarakat dalam sistem pendidikan. Dalam hal terakhir ini, teori Bourdieu tentang habitus dan modal dapat menjelaskan “resistensi” dari pihak guru, siswa, dan masyarakat, dan para intelektual terhadap kekuasaan hegemonik.
39
Pemerintah sebagai representasi negara merupakan pihak yang menghegemoni kesadaran masyarakat dan pelaku pendidikan mengenai wacana PBI dan satuan PBI sebagai strategi peningkatan mutu dan daya saing pendidikan nasional menghadapi dinamika dan tantangan globalisasi.
2.3.1
Teori Hegemoni (Gramsci) Dalam tradisi pemikiran ortodoks Marxisme, kekuasaan terkait dengan
dominasi dan penindasaan kelas pekerja atau buruh oleh kelas kapitalis. Kekuasaan kapitalis atas kelas pekerja terutama bersumber dari penguasaannya atas sarana produksi (means of production). Pemikiran ini terkait dengan pembedaan Marxisme antara basis (base) dan bangunan atas (superstructure) di mana yang kedua dipandang berfungsi untuk yang pertama sehingga perubahan yang terjadi pada level superstruktur memengaruhi pada level yang pertama (Eatwell. et al, 2001: 6-7). Dalam perkembangannya, teori hegemoni Antonio Gramsci (1891-1937) terkait dengan tiga bidang, yaitu ekonomi, negara, dan masyarakat. Istilah hegemoni dalam hal ini mengacu pada gagasan tentang penguasaan kelompok dominan dalam suatu masyarakat atas kelompok-kelompok subordinat melalui proses kepemimpinan intelektual dan moral,
melalui konsensus dengan menggunakan kepemimpinan
politik dan ideologis yang dalam operasinya didukung oleh kaum intelektual yang disebut intelektual organik. Dengan demikian, hegemoni terjadi apabila kelompok
40
subordinat telah menerima cara berpikir kelompok dominan (Bocock, 1986: 33; Simon, 1999: 9; Gramsci, 1971: 57) Pemikiran Gramsci tentang kekuasaan berbeda dari pemikiran Marxisme Ortodoks. Kekuasaan bagi Gramsci tidak hanya bersumber dari basis (ekonomi) tetapi juga dari superstruktur (ideologi) dengan keyakinan bahwa kelompok dominan menjadi dominan adalah karena kekuasaan bersumber tidak hanya dari penguasaan ekonomi tetapi juga dari ideologi, keduanya bersifat resiprokal (Gramsci, 1971: 366). Superstruktur sebagai bentuk mengandung kekuasaan yang membentuk kekuatan materil dari basis. Masyarakat bertindak tidak hanya didasarkan pada alasan ekonomi tetapi juga berdasarkan persepsinya terhadap sesuatu. Dengan demikian, pada level ideologilah manusia menjadi sadar tentang konflik-konflik yang terjadi di dunia ekonomi (Gramsci, 1971: 162 dan 376). Menurut Gramsci, ideologi berperan penting dalam membangun dan melanggengkan kekuasaan. Kelompok-kelompok dominan mendapatkan dukungan dari kelompok subordinat karena kelompok dominan mampu mengintegrasikan kepentingan ekonomi kelompok subordinat dalam operasi kekuasaannya dan membuat kelompok sebordinat memahami kepentingannya sebagai kepentingan bersama. Pandangan Gramsci ini beroperasi melalui alat hegemoni (seperti lembaga pendidikan) yang di dalamnya terjadi pertarungan ideologi (Piliang, 2004: 357). Kelompok dominan “memanfaatkan” kesadaran kelompok subordinat kedalam perspektifnya - inilah yang dinamakan Gramsci sebagai hegemoni, yang juga bisa
41
berarti dominasi dalam pandangan hidup, kebudayaan, dan ideologi (Santoso, 2007: 23). Kemenangan ideologi menghasilkan tidak saja penguasaan ekonomi dan politik tetapi juga kemenangan intelektual dan moral sehingga menciptakan hubungan hegemonik. Hegemoni berarti suatu situasi, di mana sebuah blok historis, faksi-faksi kelas dominan (yang berkuasa) menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinannya pada kelas-kelas subordinat melalui kombinasi paksaan dan persetujuan (Barker, 2005:513). Pentingnya pengaruh ideologi ini membuat Gramsci menekankan analisisnya tentang peran ideologi dalam membangun dan melestarikan hegemoni dan pentingnya peran intelektual dalam pengembangan dan praktek ideologi pada level hegemonik. Hegemoni ide-ide menjadi efektif dengan menggunakan bahasa sebagai alat dominasi dan ketika kelompok subordinat telah menerima cara berpikir kelompok dominan (Santoso, 2007: 24; Gramsci: 1971: 57). Kerangka pikir teori hegemoni yang diuraikan di atas digunakan terutama untuk memahami permasalahan pertama dalam penelitian ini yakni bentuk-bentuk hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum sebagai akibat dari hubungan antara politik pendidikan nasional melalui wacana UU, kebijakan, peraturanperaturan dan praktik-praktik pendidikan (sekolah) dan wacana globalisasi dengan ideologi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Salah satu asumsi dasar penelitian ini adalah bahwa wacana PBI tidak terlepas dari hegemoni globalisasi dan diskursus kuasa/pengetahuan (Foucault) yang beroperasi dalam sistem pendidikan nasional, khususnya dalam pendidikan menengah umum. Pemerintah sebagai
42
representasi negara menghegemoni masyarakat pendidikan tentang PBI sebagai solusi bagi berbagai permasalahan pendidikan menghadapi dinamika dan tantangan globalisasi.
2.3.2
Teori Wacana Kuasa/Pengetahuan Michel Foucault (1926-1984) dalam beberapa bukunya yang sangat terkenal
dan berpengaruh dalam kajian budaya, seperti The Archaelogy of Knowledge (1972), Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977), dan Power/Knowledge (1980) memandang bahwa pengertian kekuasaan menyangkut ide-ide tentang wacana atau diskursus. Kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari diskursus, khususnya diskursus ilmu pengetahuan sebagai sumber daya sekaligus bentuk kekuasaan itu sendiri. Pemikiran Foucault tentang diskursus menyingkap bagaimana diskursus orientalisme sebagai suatu konstruk pengetahuan tentang Timur dan bentuk hubungan antara kekuasaan-pengetahuan yang mengartikulasikan kepentingan Barat. Diskursus tidak bersifat netral tetapi politis dan ideologis. Dalam hal ini, kebenaran suatu diskursus tergantung pada apa yang dikatakan, terutama siapa yang menyatakan, kapan dan di mana ia menyatakannya (Said, 1978; 705; Storey 2003: 135; Foucault: 2002: 13). Menurut Foucault, kekuasaan harus dipahami dalam operasinya atau praktiknya yang tidak dimiliki oleh negara tetapi dapat bersifat individual dan dalam bentuk jaringan organisasi, sebagaimana tergambar melalui kutipan berikut.
43
Power must be analyzed as something which circulates, or rather as something which only functions in the form of a chain. It is never localized here or there, never in nybody's hands, never appropriated as a commodity or piece of wealth. Power is employed and exercised through a net-like organization (Foucault, 1980:98). Foucault memandang kekuasaan dan pengetahuan sangat terkait dalam hal yang disebut sebagai formasi diskursif (mengkondisikan). Diskursus merupakan sarana bagi suatu institusi untuk
meraih kekuasaan melalui proses definisi dan
eksklusi dan formasi diskursif tertentu. Institusi memiliki otoritas untuk mendefinisikan ”kebenaran” tentang suatu topik. Suatu formasi diskursif merupakan seperangkat aturan tak tertulis yang berusaha mengontrol apa yang dapat ditulis, dipikirkan, dan dilakukan pada suatu bidang pembahasan tertentu (Storey, 2003: 132133). Menurut Barker (2005: 106), diskursus menyediakan cara-cara membincangkan suatu topik secara konsisten, dengan motif, praktik, dan bentuk pengetahuan yang diulang-ulang di beberapa wilayah aktivitas. Menurut Foucault dalam The Archaeology of Knowledge (1977), kekuasaan menciptakan pengetahuan dan pengetahuan dapat menghasilkan kekuasaan secara produktif. Pengetahuan merupakan dampak dari hubungan kekuasaan-pengetahuan (relasional) dan perubahan-perubahannya dalam sejarah (Foucault, 1977: 27-28). Knowledge linked to power, not only assumes the authority of 'the truth' but has the power to make itself true. All knowledge, once applied in the real world, has effects, and in that sense at least, 'becomes true.' Knowledge, once used to regulate the conduct of others, entails constraint, regulation and the disciplining of practice. Thus, 'there is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does not presuppose and constitute at the same time, power relations (Foucault 1977: 27).
44
Dalam hal ini, menurut Storey (2003: 132), analisis genealogi adalah menyangkut hubungan antara kekuasaan (power) dan pengetahuan (knowledge) yang beroperasi melalui formasi-formasi diskursif, yaitu kerangka-kerangka konseptual yang mengajukan sejumlah cara berpikir dan menolak cara-cara berpikir lainnya. Hal inilah kemudian dapat melahirkan apa yang disebut dengan “rezim kebenaran” melalui diskursus yang dibentuk oleh kekuasaan melalui hubungan-hubungan kekuasaan yang mendasarinya dan demi kepentingan kekuasaan tersebut (Fakih, 1997: 169; Mills, 1997: 18; Eriyanto, 2001: 67). Praktik
diskursus
pengetahuan
dan
kekuasaan
perlu
dikaji
modus
pembentukannya melalui analisis hubungan historis antara kekuasaan dan diskursus. ”It is from the point of view of property that there are thieves and stealing” (Foucault, 1980:36). Kekuasaan dan pengetahuan bersifat resiprokal dan produktif. Dalam hal ini, Foucault memusatkan perhatiannya pada bagaimana manusia meregulasi dirinya sendiri dan yang lain melalui produksi dan kontrol pengetahuan. Foucault menyelidiki ilmu pengetahuan yang membentuk kekuasaan melalui pembentukan manusia sebagai subjek dan penggunaan ilmu pengetahuan untuk mengatur subjek. ”..since power is everywhere it was probably better to concentrate on the local microphysics of power that surround the individual‖ (Said, 1993: 26). Wacana merupakan ”lokasi epistemologis” bagi bertemunya kekuasaan dan pengetahuan dalam mengonstruksi ”siapa” (agen) yang harus dikendalikan dan ”apa” (objek permasalahan) yang harus dijadikan target intervensi politik (Ritzer, 2008:8081). Dalam konteks ini pengetahuan dapat dipahami sebagai bersifat ideologis dan
45
tidak bebas dari kepentingan. Konstruksi pemikiran Foucault ini terutama digunakan untuk menjelaskan permasalahan kedua dalam penelitian disertasi ini, faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI dalam pendidikan memengah umum.
2.3.3
Teori Praksis Sosial (Bourdieu) Pierre Bourdieu dalam teori praksis sosialnya mengajukan konsep habitus dan
field. Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dalam menghadapi realitas sosial. Manusia dibekali dengan sederetan skema yang terinternalisasi untuk mempersepsi, mamahami, menghargai serta mengevaluasi realitas sosial. Habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran-kultural, yakni pengaruh sejarah yang dianggap alamiah. Habitus mendasari field diartikan sebagai jaringan relasi antara posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individual. Field adalah semacam hubungan yang terstruktur serta tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan (Takwin, 2009: 114). Berdasarkan pengertian habitus dan field serta mekanisme kerjanya pada diri manusia, Bourdieu mengajukan konsep doxa yang pengertiannya menyerupai ideologi. Doxa adalah sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi tanpa dipertanyakan. Dalam prakteknya, doxa tampil lewat pengetahuan-pengetahuan yang begitu saja diterima sesuai dengan habitus dan field individu. Kehidupan sosial tidak dapat dipahami semata-mata sebagai agregat perilaku individu. Praksis tidak dapat
46
dipahami secara terpisah dalam pengambilan keputusan individu atau sebagai suatu yang ditentukan oleh ‟struktur supra individual (Takwin, 2009: 115; Jenkins, 2004: 106-107) Ada semacam aturan yang tidak terucapkan dalam setiap field yang bekerja sebagai modus kekerasan simbolik (symbolic violence). Kekerasan dalam bentuknya yang sangat halus dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi karena sudah mendapat legitimasi sosial. Bahasa, makna dan sistem simbolik para pemilik kekuasaan ditanamkan lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari kesadaran. Kekerasan simbolik dalam bentuk konkretnya dalam pendidikan adalah ketika seorang guru atau dosen secara halus memaksakan pengetahuannya untuk diterima oleh murid-muridnya. Pengetahuan-pengetahuan yang diterima begitu saja merupakan bentuk konkret dari doxa (Takwin, 2009: 116-117). Uraian di atas tentang teori-teori yang digunakan memiliki kekhasan masingmasing dalam menggambarkan cara kerja kekuasaan. Meski berbeda sudut pandang dan istilah, semuanya memiliki persamaan dalam hal kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau suatu kelompok sosial untuk memengaruhi orang atau kelompok lain melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Pemikiran-pemikiran Foucault menekankan tentang diskursus sebagai sumber dan praktik kekuasaan, Gramsci tentang ideologi sebagai sarana hegemoni, dan Bourdieu tentang praktik sosial sebagai perjuangan untuk “hidup”. Teori-teori tersebut dipandang relevan untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan penelitian ini, yaitu tentang hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum.
47
Model Penelitian
Wacana Lokal/Nasional
1. Ideologi Pendidikan Nasional 2. Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Bentuk-bentuk Hegemoni PBI dalam PMU
Politik Pendidikan Nasional
1. Neoliberalime Hegemoni PBI dalam Pendidikan Menengah Umum
2. Kapitalisme. 3. Budaya/Nilainilai
Faktor-faktor yang memengaruhi Hegemoni PBI dalam PMU
Temuan Penelitian
Keterangan:
Wacana Globalisasi
: hubungan saling memengaruhi : pengaruh searah (dominasi)
Makna Hegemoni PBI dalam PMU
48
Politik pendidikan sebagai praktik dan kontestasi budaya dipengaruhi oleh faktor internal yaitu wacana ideologi negara dengan aspek sosial ekonomi dan budaya dan faktor eksternal yaitu wacana globalisasi dengan berbagai orientasi ideologinya. Politik pendidikan nasional menghasilkan kebijakan tentang satuan PBI dalam bentuk implementasi RSBI berdasarkan UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3) dan berbagai peraturan derivatnya yang dipengaruhi oleh wacana globalisasi. Hegemoni negara yang direpresentasikan oleh pemerintah beroperasi melalui berbagai Undang-undang dan kebijakan serta implementasinya yang didukung dengan wacana kuasa/pengetahuan tentang PBI. Pemerintah menghegemoni masyarakat dan pelaku pendidikan tentang wacana PBI sebagai sebuah terobosan dalam reformasi pendidikan nasional untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan daya saing nasional menghadapi tantangan globalisasi. Wacana globalisasi memproduksi pengetahuan seperti “standarisasi pendidikan“ lewat bahasa yang memberikan makna pada praktik-praktik sosial dan objek-objek material. Pengetahuan tentang standarisasi secara diskursif mengonstruksi, mendefinisikan dan memproduksi objek-objek pengetahuan melalui wacana yang melihat hubungan globalisasi dan pendidikan. Hubungan antara ideologi pendidikan nasional dan wacana globalisasi menghasilkan hegemoni wacana PBI dalam pendidikan menengah umum. Dalam hal ini penelitian diarahkan untuk memahami bentuk-bentuk hegemoni PBI, faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI, dan makna hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini difokuskan untuk membongkar wacana PBI (objek materil penelitian) dengan menganalisis berbagai pandangan dan pengalaman guru, siswa, pakar pendidikan dan bahasa, dan orangtua siswa serta berbagai wacana sosial budaya lainnya tentang pendidikan yang dapat menjawab permasalahan penelitian yang telah dirumuskan. Analisis juga dilakukan terhadap berbagai wacana (dokumen) pendidikan seperti Undang-undang, kebijakan-kebijakan, dan berbagai peraturan pemerintah (PP), Peraturan Menteri dan berbagai ketentuan lainnya yang terkait dengan tema dan implementasi PBI. Wacana PBI dianalisis secara kritis untuk mengungkap bentuk-bentuk hegemoni (objek formal), dominasi, kuasa, pengetahuan, dan kepentingan yang meliputinya (Lubis, 2006: 136). Perkembangan PBI dalam bentuk RSBI/SBI tidak terlepas dari wacana perkembangan ilmu pengetahuan dan wacana sosial melalui berbagai tulisan, bacaan, buku, disertasi, ceramah dan berbagai komunikasi gagasan lainnya yang memberi makna pada praktek sosial dan objek-objek material, yang di dalamnya terdapat relasi-relasi antara kuasa dan pengetahuan yang melandasinya, serta kemungkinan bentuk-bentuk kekuasaan yang masing-masing atau semuanya beroperasi membentuk dan mengarahkan perkembangan pendidikan itu sendiri, khususnya dalam hal PBI. Hal ini terkait dengan genealogi atau asal-asul, dalam
49
50
bentuk kesinambungan serta ketaksinambungan historis sebuah wacana dan aplikasinya dalam kondisi historis yang spesifik (Barker, 2005: 512). Untuk membongkar wacana PBI dan permasalahannya, metode kualitatif dengan perspektif wacana kritis sesuai dengan karakteristik penelitian ini. ”Critical Discourse Analysis (CDA) is obviously not a homogenous model, nor a school or a paradigm, but at most a shared perspective on doing linguistics, semiotic
or discourse analysis (van Dijk 1993: 131). Kajian wacana kritis
difokuskan pada bagaimana kekuasaan sosial disalah-gunakan, didominasi, direproduksi dan ditolak (resistensi) melalui teks dalam konteks sosial dan politik. Selain menggunakan analisis objektif-kritis, analisis juga dilakukan berdasarkan pengalaman pribadi sebagai dosen atau pendidik selama paling tidak 25 tahun. Selain itu, peneliti ”diuntungkan” karena memiliki pengalaman dan terlibat dalam proses awal terbentuknya satuan RSBI, 2004-2006. Dalam hal ini, peneliti memiliki pemahaman tentang objek dan ranah yang diteliti selain pemikiran kritis dan sikap intuitif terhadap permasalahan yang diteliti. Dengan demikian, metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat “eklektif”: dekonstruktif, analitisinterpretatif, dan intuitif.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perpustakaan-perpustakaan dan di sekolahsekolah, yang sengaja dipilih untuk kepentingan penelitian ini, yaitu di dua sekolah (SMA) berlabel RSBI di Jakarta dan di Bandarlampung yang dipandang
51
mewakili implementasi kebijakan PBI pada jenjang pendidikan menengah umum dalam konteks wacana PBI. Selain itu, kedua sekolah tersebut termasuk sekolah terbaik di daerah masing-masing baik dari segi prestasi akademik maupun non akademik. Pelaksanaan penelitian di lapangan berlangsung selama delapan bulan, sejak Februari – Agustus 2012. Verifikasi data lapangan kembali dilakukan pada bulan Februari-April 2013 setelah adanya putusan lembaga MK tentang pembatalan pasal 50 ayat (3) tentang dasar hukum satuan PBI. Dalam hal ini, pembahasan data dan permasalahan penelitian tentu saja merefleksikan dinamika wacana PBI pasca putusan MK tersebut untuk lebih memastikan aktualitas dan konteks (relevansi) penelitian. Ada beberapa pertimbangan lainnya dalam pemilihan lokasi penelitian. Secara politik, Jakarta merupakan pusat berbagai pengambilan keputusan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan Negara, sekaligus dipandang sebagai barometer dari efektifitas suatu kebijakan termasuk kebijakan pendidikan. Dengan asumsi tentang Jakarta sebagai pusat pemerintahan, kegiatan politik dan bisnis serta barometer kemajuan pendidikan nasional, maka lokasi utama penelitian ini dipilih di salah satu sekolah yang berstatus RSBI di Jakarta yaitu SMA Negeri 78 Jakarta dengan kondisi sekolah yang relatif mendekati SNP dan ketentuan Ditjen Dikdasmen (2010) tentang RSBI, seperti standar atau kriteria SDM, sarana prasarana TIK, dan berbagai fasilitas penunjang lainnya. Jakarta sebagai ibukota juga memiliki akses, heterogenitas kultur, dan penggunaan yang relatif tinggi terhadap berbagai fasilitas TIK sekaligus dipandang sebagai barometer
52
(keberhasilan atau kegagalan) suatu kebijakan dan implikasinya terhadap pendidikan
nasional.
Untuk
mendapatkan
”data
pembanding”
tentang
implementasi kebijakan PBI, lokasi pendukung penelitian dipilih SMA Negeri 2 Bandarlampung, yang juga berstatus RSBI dan salah satu sekolah favorit di kota Bandarlampung,, sekolah yang sengaja dipilih di daerah dalam konteks otonomi daerah dan manajemen pendidikan pasca otonomi daerah.
3.3 Jenis Data dan Sumber Data Jenis data penelitian terdiri atas data kualitatif dan data kuantitatif sebagai data sekunder. Data kualitatif meliputi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara secara langsung dan mendalam dengan para narasumber dari dua sekolah di Jakarta dan di Bandarlampung (guru, Pimpinan Sekolah, Siswa), orangtua siswa dan tokoh masyarakat, pakar pendidikan, dan rekaman dan risalah Sidang MK. Data sekunder diperoleh dalam bentuk dokumen tertulis berupa undang-undang, peraturan, buku, artikel dan berita media massa serta berbagai objek (gambar). Wawancara dilakukan terutama
di Jakarta, Bandarlampung, Yogjakarta, dan
Denpasar baik secara langsung berhadapan muka maupun melalui percakapan jarak jauh dengan telepon. Sebagai kajian wacana, semua teks (bentuk tulis dan hasil wawancara) dalam penelitian ini diperlakukan sebagai data primer yang dianalisis dan data sekunder sifatnya hanya pendukung untuk hasil analisis. Seluruh data diolah dan dianalisis
53
secara kritis dan konseptual untuk memahami permasalahan penelitian. Secara khusus data dari media massa dalam penelitian ini sangat penting dan mendukung penelitian ini karena posisinya tidak saja sebagai salah satu pilar demokrasi tetapi juga wacana yang dapat menggambarkan kontestasi ideologi dan aspirasi publik yang berkontribusi terhadap dinamika perubahan nilai-nilai sosial tentang PBI. “Media texts do indeed function ideologically in social control and social reproduction, but they also operate as cultural commodities in a competitive market [ . . . ], are part of the business of entertaining people, are designed to keep people politically and socially informed, are cultural artefacts in their own right, informed by particular aesthetics; and they are at the same time caught up in – reflecting and contributing to – shifting cultural values and identities.” (Teks-teks media sungguh dapat berfungsi secara ideologis, namun teks-teks media juga berperan sebagai komoditas kultural dalam pasar kompetitif, bagian dari usaha untuk menghibur orang, dirancang untuk memberikan informasi secara politik dan sosial, artefak kultural dalam dirinya, disajikan dengan estetika khusus, dan pada saat yang sama terperangkap dalam – merefleksikan dan mendukung – mengubah nilai-nilai budaya dan identitas) (Fairclough 1995: 47). Dengan demikian, penelitian ini dilakukan dengan beberapa sumber data, yaitu dua sekolah berlabel RSBI di Jakarta dan di Bandarlampung (guru, Kepsek/Wakasek, siswa, Staf Administrasi), orangtua siswa dan tokoh masyarakat, beberapa pakar pendidikan (narasumber), dan wacana Sidang MK tentang gugatan masyarakat terhadap pasal 50 ayat (3) Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang satuan PBI.
3.4 Teknik Penentuan Informan Pada tahap awal ditetapkan tujuh informan kunci secara purposive atau sesuai dengan tujuan yang ingin diperoleh dari informan. Informasi yang diperoleh
54
dari informan tersebut selanjutnya dikembangkan secara terus-menerus dengan prinsip bola-salju (snowball) sesuai kebutuhan dan kecukupan data untuk mengungkap permasalahan penelitian. Kriteria penentuan informan kunci ini pada dasarnya dipilih dengan pertimbangan: (1) memiliki pengalaman atau terlibat secara langsung/tidak langsung dalam permasalahan yang diteliti; (2) guru bahasa Inggris dan MIPA dan siswa sekolah SMA; (3) tidak memiliki kepentingan pribadi (bersifat objektif); (4) memiliki pemahaman yang memadai tentang permasalahan yang diteliti (Endraswara, 2006: 115-119; Mulyana, 2002; 173-176).
3.5 Instrumen Penelitian Instrumen utama penelitian ini adalah pedoman wawancara, alat perekam suara, kamera, dan alat pencatat data lisan dan tulisan. Pedoman wawancara dengan daftar pertanyaan terbuka dirancang dan digunakan untuk menjaring berbagai pandangan, pendapat, sikap dan pengalaman narasumber, pimpinan sekolah, guru dan siswa tentang RSBI, masyarakat dan orangtua siswa, dan berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan pendidikan dan wacana PBI dalam lingkup Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk validitas data, kriteria yang digunakan mencakup kredibilitas (kepercayaan), keteralihan (transfarability), ketergantungan (dependabilitiy), dan kepastian (confirmability) (Sugiyono, 2007: 276). Selain itu, validitas (validasi) data juga didukung dengan triangulasi dengan menghimpun data dari berbagai sumber baik melalui wawancara maupun pengecekan dokumen.
55
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pemeriksaan dokumen, dan seleksi teks atau wacana sosial. Teknik ini didasarkan pada perspektif wacana kritis bahwa data yang dikumpulkan memiliki pola-pola yang dapat membangun korespondensi atau hubungan antara wacana yang beroperasi dalam ranah penelitian yang dapat dikonfirmasi dengan teks-teks lainnya dalam hal sejauh mana data sesuai dengan permasalahan dan analisis data penelitian. Penggunaan beberapa teknik pengumpulan data ini juga didasarkan pada kelaziman dalam Kajian Budaya untuk menggali data sebanyak mungkin yang dapat menggambarkan secara utuh fenomena atau permasalahan hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum.
3.7 Metode dan Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif dan interpretatif.
Data
yang diperoleh dikritisi dan diklasifikasikan berdasarkan asumsi kultural serta dengan sikap fleksibel, reflektif, dan objektif (Endraswara, 2003: 15). Untuk itu, pertama-tama, data hasil wawancara disusun dalam bentuk transkrip hasil wawancara.
Selanjutnya, proses reduksi dilakukan untuk memilah data yang
relevan dan tidak relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Data yang relevan disusun secara kategoris dan tematis dalam tabel-tabel hasil reduksi agar lebih mudah dipahami. Sebagai penelitian kualitatif, jika pada tahap reduksi
56
ternyata masih terdapat data yang kurang, maka pengumpulan data dilanjutkan hingga semua data yang dibutuhkan semaksimal mungkin tersedia. Data juga dianalisis dengan cara mengembangkan taksonomi dan geneologi (rangkaian pemikiran) berdasarkan teori-teori tentang diskursus, sistem klasifikasi deskriptif yang mencakup sejumlah informasi secara sistematis. Analisis kualitatif sebagai model alir (flow model) dilakukan dengan cara: (1) Reduksi data, yaitu proses pemilahan, penyederhanaan, pengabsahan, dan transformasi data. (2) Penyajian data, yaitu menyusun berbagai informasi untuk penarikan simpulan (3) Penarikan simpulan dilakukan dengan menguji catatan lapangan: kebenaran, kecocokan, dan validitas makna yang muncul di lokasi penelitian. Selanjutnya uraian di atas disederhanakan menjadi tiga tahapan, yakni (1) indentifikasi data dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi; (2) klasifikasi data sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian; dan (3) interpretasi hasil analisis wacana dan berbagai faktor yang memengaruhinya (Miles dan Haberman dalam Nawawi, 1992: 15-18; Salim, 2006: 22).
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Sebagai penelitian kualitatif, penyajian data dilakukan secara informal (deskriptif) dan secara formal berupa tabel, gambar, bagan, dan foto. Penyajian hasil analisis dituangkan ke dalam delapan bab dalam bentuk (format) disertasi.
BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN
Dalam bab ini, pertama, dibahas wacana PBI sebagai objek materil dari penelitian sekaligus memberikan gambaran latar belakang dan landasan kebijakan satuan PBI dan eksistensi RSBI dalam konteks pendidikan menengah umum. Data bersumber dari berbagai dokumen seperti, UU, peraturan dan berbagai panduan penyelengaraan RSBI/SBI dan hasil wawancara dengan narasumber. Selanjutnya, disajikan gambaran mengenai lokasi penelitian yang merupakan bagian penting dari sumber data penelitian, yaitu, SMA Negeri 78 Jakarta dan SMA Negeri 2 Bandarlampung, saat penelitian ini dilakukan keduanya berstatus RSBI.
4.1. Pendidikan Bertaraf Internasional Untuk
mengemban
fungsi
pendidikan
nasional,
pemerintah
menyelenggarakan sistem pendidikan nasional berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan nasional diarahkan
untuk
mampu
menjamin
pemerataan
kesempatan
pendidikan,
peningkatan mutu dan relevansi serta efsiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun, sedangkan peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berdaya saing menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan adalah untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan
57
58
kebutuhan berbasis sumber daya alam Indonesia, sedangkan peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan pembaruan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan (Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006). Implementasi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan seperti PP No 19 Tahun 2005 tentang SNP,
yaitu perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional
pendidikan, yaitu, standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar tenaga pendidik dan kependidikan, standar manajemen/pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian (Tabel 4.1). Secara konsepsional, PBI diarahkan untuk menambah delapan standar pendidikan tersebut dengan standar pendidikan negara OECD dengan harapan agar pendidikan nasional mampu bersaing pada aras global. Tabel 4.1 Delapan Standar Pendidikan Nasional No 1
2
Standar Nasional Pendidikan Rujukan ”bertaraf internasional” Standar Isi: ruang lingkup materi dan Kurikulum bertaraf internasional dengan tingkat kompetensi yang dituangkan mengadaptasi kurikulum sekolah mitra yang dalam kriteria tentang kompetensi diakui baik kualitasnya di negara OECD lulusan, kompetensi bahan kajian, atau negara maju lainnya. kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar Proses: berkaitan dengan - PP No. 19/2005 Pasal 19: Proses pelaksanaan pembelajaran pada satu pembelajaran diselenggarakan secara satuan pendidikan untuk mencapai interaktif, inspiratif, menyenangkan, standar kompetensi lulusan. menantang, dst
-
berbasis TIK dan menggunakan bahasa Inggris
59
Tabel 4.1 Delapan Standar Pendidikan Nasional 3
Standar Kompetensi Lulusan: kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
4
Standar Pendidikan dan Kependidikan: kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan
5
Standar Pengelolaan: berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Standar Sarana dan Prasarana: standar negara maju: perpustakaan, kriteria minimal tentang ruang belajar, laboratorium (IPA, IPS, Matematika, tempat berolahraga, tempat beribadah, TIK/Komputer, Bahasa, Pendidikan perpustakaan, laboratorium, bengkel Teknologi Dasar), ruang kelas, dll kerja, tempat bermain, tempat berekreasi, serta sumber belajar yang menunjang proses pembelajaran, termasuk TIK Standar Pembiayaan: mengatur - PP No.19 Tahun 2005 pasal 62 ayat (1): komponen dan besarnya biaya operasi pembiayaan pendidikan terdiri atas satuan pendidikan yang berlaku selama biaya investasi, operasi, dan personal satu tahun. - Permendiknas No 69 tahun 2009 tentang
6
7
8
mampu berbahasa Inggris dan memanfaatkan TIK pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Kepsek minimal S2, 20% guru S2 dari PT dengan program studi berakreditasi A, dan mampu berbahasa Inggris sesuai bidang studinya dan Guru MIPA berpendidikan S2, sesuai bidang ilmu dan mampu berbahasa Inggris dan menggunakan TIK dalam mengajar berbasis TIK (cyber school), orientasi meraih ISO 9001 dan 14000, memiliki sister school, melaksanakan MBS, mampu kerjasama dengan stakeholder lain
Standar Penilaian Pendidikan: berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. PP No.19 Thun 2005 Pasal 63: (1) Penilaian terdiri atas: a. penilaian hasil belajar oleh pendidik; oleh satuan pendidikan; dan c. oleh Pemerintah (untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu dalam bentuk Ujian Nasional).
Standard Pembiayaan yang diperluas sesuai dengan tuntutan kurikulum SBI memperoleh prestasi kejuaraan internasional/nasional, baik akademik maupun non akademik menggunakan model-model penilaian sesuai tuntutan kurikulum SBI dan sertifikasi internasional bagi lulusan
Sumber: Data Diolah
60
Visi pendidikan nasional, menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003, menekankan terbentuknya masyarakat yang damai, demokratik, berkarakter baik, berkeahlian, kompetitif, progresif dan makmur. Dengan visi ini, Departemen Pendidikan (2005-2011) memberikan landasan penyelenggaraan SBI dan alokasi anggaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dalam hal ini, Pemerintah memandang bahwa sekolah menengah merupakan satuan pendidikan yang strategis untuk menghadapi persaingan global. Peningkatan kualitas sekolah menengah diharapkan menghasilkan lulusan yang berdaya saing internasional dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya standar pendidikan yang lebih tinggi secara nasional (Renstra Depdiknas, 2005; Strategi Teknologi dan Informasi 20042009, Departemen Pendidikan Nasional, 2004). Berdasarkan buku “Panduan Penyelenggaraan Rinsisan SMA Bertaraf Internasional” (2010:2), visi pendidikan nasional yang menjadi fokus internal Kemdiknas adalah “Terselenggaranya Layanan Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif” yang kemudian diwujudkan dengan misi 2010-2014 sebagai berikut. a. b. c. d. e.
Meningkatkan Ketersediaan Layanan pendidikan Memperluas Keterjangkauan Layanan pendidikan Meningkatkan Kualitas dan relevansi Layanan pendidikan Mewujudkan Kesetaraan dalam Memperoleh Layanan Pendidikan Menjamin Kepastian Memperoleh Layanan Pendidikan
Penyelenggaraan RSBI/SBI dalam sistem pendidikan nasional secara normatif mengacu pada Amanat Konstitusi tentang hakikat dan tujuan pendidikan nasional sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 tentang tujuan penyelenggaraan
61
pemerintahan negara Indonesia: “...melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Salah satu asumsi penelitian ini adalah bahwa UU Sisdiknas 2003 pasal 50 tentang PBI dengan berbagai orientasi ideologinya tidak muncul dalam ”kevakuman” budaya tetapi dalam konteks hegemoni wacana global tentang pendidikan dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dalam kerangka pemikiran Foucault, di satu pihak, wacana PBI dapat dijelaskan dalam konteks praktik diskursus melalui produksi dan kontrol pengetahuan dan disiplin masyarakat. Di pihak lain, negara berperan menghegemoni masyarakat pendidikan dan sekolah melalui UU, kebijakan dan implementasinya dalam bentuk program RSBI/SBI dengan berbagai program dan kegiatannya. Gagasan pemerintah tentang pendirian sekolah RSBI didasarkan pada realitas dan tantangan era globalisasi yang sarat dengan budaya kompetitif dalam pengembangan IPTEK, manajemen dan sumber daya manusia pada aras internasional. Selain itu, realitas pendidikan nasional yang kualitasnya rendah membutuhkan sebuah terobosan. Logikanya adalah bahwa pendidikan berkualitas akan menghasilkan keunggulan IPTEK dan selanjutnya meningkatkan efektifitas dan efisiensi suatu produk, menurunkan biaya produksi, meningkatkan nilai tambah, dan akhirnya meningkatkan kualitas produk-produk unggulan nasional. Keunggulan manajemen pengembangan SDM dapat meningkatkan kinerja
62
pendidikan. Dengan SDM yang unggul dan daya saing yang tinggi pada tingkat internasional, maka daya tawar nasional akan dengan sendirinya meningkat pada aras internasional di era globalisasi. Wacana yang berkembang tentang kondisi kualitas pendidikan nasional yang sangat memprihatinkan dan berdaya saing rendah dan wacana globalisasi yang sarat dengan tantangan dan isu persaingan merupakan “kondisi objektif” terhadap perlunya eksistensi PBI sebagai bagian dari strategi pendidikan dan reformasi pendidikan nasional. Untuk dapat bersaing di era globalisasi, pendidikan nasional membutuhkan standarisasi mutu, efisiensi manajemen, dan kompetensi lulusan yang unggul dan berdaya saing sesuai dengan tantangan dan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan globalisasi. Hal ini kemudian melahirkan berbagai Undang-undang dan peraturan sebagai landasan yuridis untuk penyelenggaraan satuan PBI, antara lain, sebagai berikut. 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 50 ayat (3):
“Pemerintah
dan/atau
pemerintah
daerah
menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 3. Peraturan Pemerintah (PP) No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), pasal 61 ayat (1)
63
4. PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 5. PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan 6. PP No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan 7. PP No. 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan 8. Permendiknas No 63/2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan 9. Permendiknas No 78/2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 telah ditetapkan tahapan skala prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) ke-1 tahun 2005-2009, yaitu untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap layanan pendidikan. Selanjutnya, dalam Renstra 2010-2014, pemerintah menargetkan bahwa pada tahun 2014 minimal 50% kabupaten/kota di seluruh Indonesia telah memiliki satuan pendidikan yang berstatus SBI (Dok. Kemdiknas, Pengantar RSBI, 2008). Pengaruh wacana globalisasi dengan orientasi ideologinya terhadap Sistem Pendidikan Nasional semakin nyata dalam berbagai rumusan peraturan dan pedoman penyelenggaraan RSBI/SBI sebagai turunan dari UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3) tentang PBI. Hal ini juga tampak melalui Peraturan Pemerintah No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), pasal pasal 61 ayat (1) dan
64
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. RSBI merupakan satuan pendidikan yang secara normatif dianggap telah memenuhi atau mendekati SNP dan selanjutnya diperkaya dengan standar kualitas pendidikan dari salah satu negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya. SNP disebut juga dengan Indikator Kinerja Kunci Minimal (IKKM) atau Indikator Kinerja Utama (IKU). Sementara standar pendidikan dari negara anggota OECD disebut dengan unsur X atau Indikator Kinerja Kunci Tambahan (IKKT), yang isinya merupakan pengayaan atau penambahan dari standar pendidikan nasional (SNP) dengan berbagai komponennya. Secara normatif, Standar Nasional Pendidikan (SNP) harus dipenuhi oleh satuan pendidikan yang “ditunjuk” sebagai RSBI, yang meliputi kompetensi lulusan, isi, proses, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Sedangkan pengayaan dengan standar (pendidikan) negara maju dapat berupa penyesuaian, penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, dan pendalaman pada peningkatan mutu pendidikan menuju mutu bertaraf internasional. Dalam operasionalnya, RSBI juga dituntut untuk menjalin kerjasama dengan sekolah lain, baik di dalam maupun luar negeri, sebagai bentuk perujukan (benchmarking) dan lembaga pendidikan tinggi sebagai pengguna lulusan, mengembangkan program sertifikasi, meningkatkan daya saing
65
dalam lomba tingkat internasional (Sumber: Panduan Penyelenggaraan Rintisan SMA Bertaraf Internasional, 2009). RSBI mengacu kepada salah satu negara yang memiliki pendidikan yang baik di negara-negara OECD: cara belajar, prosesnya, kurikulumnya. Kita menggunakan kurikulum nasional yang diperkaya dengan kurikulumkurikulum dari negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan yang baik (Suyanto, Dirjen Didaksemen Kemdikbud). Sesuai
dengan
Renstra
Depdiknas
2005-2009,
Pemerintah
telah
mengembangkan banyak sekolah di banyak kabupaten/kota di seluruh Indonesia menjadi sekolah berkeunggulan lokal dan internasional pada tahun 2009. SBI sebagai satuan pendidikan diselenggarakan dengan menggunakan konsep SNP yang diperkaya dengan standar kualitas pendidikan dari salah satu negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, komponen-komponen SNP merupakan standar minimal yang harus dipenuhi oleh suatu satuan pendidikan. Dengan ketentuan bahwa SNP sebagai standar minimal pendidikan nasional, maka pelaksanaan PBI sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional diarahkan untuk menaikkan standar minimal tersebut. Kualitas pendidikan nasional dikategorikan secara formal menjadi tiga, yaitu: Sekolah Kategori Standar, Sekolah Kategori Mandiri, dan Sekolah Bertaraf Internasional. Sekolah kategori mandiri (SKM) adalah sekolah yang telah memenuhi delapan komponen SNP. Secara normatif, menurut UU Sisdiknas 2003 SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh Indonesia.
66
Dalam hal ini, pencapaian SNP merupakan syarat utama bagi suatu sekolah untuk melaksanakan program RSBI. Dalam operasionalnya, RSBI dituntut menjalin kerjasama dengan sekolah yang memiliki reputasi internasional sebagai perujukan dalam berbagai komponen standar pendidikan. Bentuk kerjasama lainnya dapat dilakukan dengan lembaga pendidikan tinggi sebagai pihak pengguna lulusan. Selain itu, SMA bertaraf internasional juga harus mengembangkan program sertifikasi dan akreditasi serta meningkatkan daya saing dalam lomba tingkat internasional (Sumber: Buku Panduan RSBI, 2009:19). Dengan mengacu pada SNP dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 pasal 11 dan Pedoman Penyelenggaraan Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional, sekolah SMA atau sederajad dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu Sekolah Kategori Standard (SKS); Sekolah Kategori Mandiri (SKM); dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Sekolah Kategori Standard adalah sekolah-sekolah yang dinilai belum memenuhi SNP. Sekolah Kategori Mandiri (SKM) adalah sekolah-sekolah yang hampir atau telah memenuhi SNP. Status RSBI adalah sekolah yang dikategorikan memenuhi delapan (8) komponen SNP yang kemudian dikembangkan dengan mengacu pada standar mutu pendidikan di negara-negara OECD (Sumber: Pedoman Penyelenggaraan Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional, 2008:8-10). Berdasarkan UU Sisdiknas 2003 pasal 35 dan PP Nomor 19 Tahun 2005 pengkategorian sekolah nasional didasarkan pada berbagai kriteria yang terdapat pada delapan SNP. PP Nomor 19/2005 pasal 11 dan 16 memberikan kategori
67
pendidikan dasar dan menengah sebagai berikut: a.
Sekolah formal standar
(sekolah potensial/rintisan), yaitu kategori sekolah yang belum memenuhi SNP, b. Sekolah Standar Nasional (SSN), sekolah yang sudah atau mendekati SNP, dan c. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu sekolah yang sudah memenuhi SNP yang diperkaya dengan standard pendidikan dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya (Sumber: Dit. Jend. Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah; 2007). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, sebagaimana telah disajikan di atas menetapkan SNP. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Sisdiknas menyatakan bahwa peningkatan delapan standar pendidikan nasional harus dilakukan secara berencana dan berkala. Dalam penjelasan resmi Pasal 35 ayat (1) dikemukakan, bahwa SNP merupakan syarat untuk menjadi SBI. Dalam Permendiknas Nomor 78/2010 pasal (2) secara rinci disebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan SBI untuk SMA adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki: a. kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan dan diperkaya dengan standard kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara anggota OECD atau negara maju lainnya; b. daya saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan menampilkan keunggulan lokal di tingkat internasional; c. kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional yang dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan bentuk penghargaan internasional lainnya; d. kemampuan bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan; e. kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (skor TOEFL Test > 7,5 dalam skala internet based test (IBT), skor TOEIC 450 dan/atau bahasa asing lainnya;
68
f. kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosio-kultural, dan lingkungan hidup; g. kemampuan menggunakan dan mengembangkan TIK secara profesional. (Panduan Penyelenggaraan Rinsisan SMA Bertaraf Internasional, 2010:7-8) Dalam konteks standar pendidikan nasional, kurikulum merupakan bagian dari komponen standar isi dan standar proses pendidikan yang menjamin pencapaian standar kompetensi lulusan dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 36 Undang-Undang Sisdiknas 20/2003 mengatur mengenai kurikulum dalam ayat (1), (2), dan (3). Dalam ayat (3) dikemukakan bahwa “Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Ketentuan ini berlaku tidak saja bagi sekolah bertaraf nasional (SSN), tapi juga bagi satuan PBI (RSBI/SBI). Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka keragaman potensi daerah dan lingkungan sesuai Pasal 36 Undang-Undang Sisdiknas ayat (3) huruf d. Selanjutnya, Pasal 4 (1) Kurikulum SBI disusun berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan yang diperkaya dengan standar dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Ayat (2) SBI menerapkan satuan kredit semester (SKS). Ketentuan tentang kurikulum ini menunjukkan bahwa RSBI/SBI dengan mengacu OECD menimbulkan dualisme penyelengaraan pendidikan dengan diterapkannya sistem kredit semester (SKS). Menurut Prof Slamet selaku Saksi/Ahli dari Pemerintah” pada sidang MK di Jakarta Rabu 11 April 2012 menyatakan:
69
…sekolah bertaraf internasional itu sama dengan standar nasional pendidikan plus pengayaan. Nah standar nasional pendidikan itu adalah itu jati diri Indonesia, itu adalah karakter … karakteristik Indonesia, makanya sebenarnya SBI itu pada dasarnya yang pokok adalah standar nasional pendidikan plus tambahan. …Karena pada dasarnya pendidikan di Indonesia tidak steril dengan perkembangan global. Oleh karena itu kita tidak boleh “Katak di bawah tempurung” mengaku sudah hebat, tetapi sesungguhnya ketika kita benchmarking kita bandingkan dengan sekolah-sekolah dari negara maju kita kalah jauh. … dan tambahan-tambahan itu kita cari melalui benchmarking terutama adalah sekolah-sekolah yang lebih hebat dari Indonesia ini (Prof Slamet, Risalah Sidang MK, Rabu 11 April 2012, hlm. 7-8). Standar proses pembelajaran mengacu pada Pasal 5 ayat (1) SBI melaksanakan standar proses yang diperkaya dengan model proses pembelajaran di negara anggota OECD atau negara maju lainnya. (2) Proses pembelajaran dalam ayat (1) menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis TIK, aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan kontekstual. (3) SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional bagi mata pelajaran tertentu. (4) Pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia (5) Penggunaan bahasa pengantar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya pada ayat (3) dimulai dari kelas IV untuk SD. Sebagai salah satu komponen standar nasional pendidikan, berdasarkan PP.19 Tahun 2005 tentang SNP, Pasal 29 ayat (5) Tenaga pendidik dan Kependidikan untuk SMA dan sederajad disyaratkan untuk memiliki kompetensi dan kualifikasi sebagai berikut.
70
a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) b. latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan c. sertifikat profesi guru Dalam konteks PBI, standar pendidik adalah mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis teknologi informasi dan mengajar dalam bahasa Inggris, memiliki paling sedikit 10% pendidik yang berpendidikan S2, memiliki sertifikat kompetensi dan skor TOEFL, mempekerjakan pendidik warga negara asing apabila tidak ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 30% negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kepala sekolah, tenaga pendidikan. SBI memenuhi standar tenaga kependidikan yang diperkaya sekolah sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) wajib S2 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A (Permendiknas No. 78/2009).
Tentang OECD Salah satu ciri “internasional” dari RSBI adalah terkait dengan forum OECD. OECD merupakan sebuah forum kerjasama bagi 30 negara maju untuk menghadapi permasalahan-permasalahan atau tantangan globalisasi di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Negara anggota OECD adalah Australia, Austria, Belgia, Kanada, Republik Chehnya, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Luxembourg,
71
Meksiko, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Republik Slowakia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu peran OECD adalah membantu pemerintahan negara aggotanya untuk menghadapi berbagai perkembangan dan masalah baru, seperti ekonomi, pendidikan dan su-isu atau kebijakan domestik dan internasional. Secara yuridis dan konseptual “Pendidikan Bertaraf Internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan dalam sistem pendidikan nasional setelah suatu satuan pendidikan (sekolah)
memenuhi delapan standar pendidikan nasional
(SNP): standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan sesuai dengan PP NO. 19 tahun 2005. Satuan PBI merupakan satuan pendidikan yang telah memenuhi SNP dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju atau salah satu negara anggota OECD yang dijadikan rujukan standar mutu.
Karakteristik Proses Belajar Mengajar a. Proses belajar mengajar pada SBI menjadi teladan bagi sekolah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa enterpreneur, jiwa patriot, dan jiwa inovator; b. Diperkaya dengan model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah satu negara OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; c. Menerapkan pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran;
72
d. Pembelajaran
kelompok
sains,
matematika,
dan
inti
kejuruan
menggunakan bahasa Inggris, sementara pembelajaran mata pelajaran lainnya, kecuali pelajaran bahasa asing, harus menggunakan bahasa Indonesia. (Sumber: Panduan Penyelenggaraan Rinsisan SMA Bertaraf Internasional, 2010) Karakteristik Keluaran/Lulusan a. SBI
memiliki
keunggulan
yang
ditunjukkan
dengan
pengakuan
internasional terhadap proses dan hasil atau keluaran pendidikan yang berkualitas dan teruji dalam berbagai aspek; e. Mempunyai pengakuan internasional yang dibuktikan dengan hasil sertifikasi dan akreditasi berpredikat baik dari salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. (Sumber: Panduan Penyelenggaraan Rinsisan SMA Bertaraf Internasional, 2010)
Karakteristik Kepala Sekolah a. berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A dan telah menempuh pelatihan kepala sekolah dari lembaga yang diakui oleh Pemerintah; b. mampu berbahasa Inggris secara aktif; f. bervisi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan entrepreneur yang
73
kuat. (Panduan Penyelenggaraan Rinsisan SMA Bertaraf Internasional, 2010) Salah satu karakteristik RSBI/SBI dari segi manajemen adalah orientasi sekolah untuk meraih sertifikat ISO sebagai indikator kualitas manajemen dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen industri sekaligus untuk mendapatkan pengakuan (kualitas) internasional dalam rangka persaingan global. Pengelolaan RSBI/SBI mensyaratkan adanya program pengayaan standar pengelolaan (manajemen) dari sekolah yang dijadikan mitra di suatu negara anggota OECD atau negara maju lainnya dengan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO 14000 versi terakhir. Selain itu, dalam operasionalnya RSBI/SBI disyaratkan untuk menjalin kerja kemitraan dengan sekolah-sekolah unggul di dalam negeri dan/atau di negara maju; serta mempersiapkan peserta didik untuk meraih prestasi pada tingkat nasional dan internasional dalam aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni dengan rincian sebagai berikut. 1. Output/outcomes bercirikan: (a) lulusan dapat melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri, (b) lulusan dapat bekerja pada lembaga-lembaga dan/atau dunia bisnis bertaraf internasional, dan/atau berusaha secara mandiri dalam kancah persaingan global. 2. Proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan harus bercirikan internasional, yaitu: (a) menumbuhkan kreativitas, dan kewirausahawanan, (b) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan, (c) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK. 3. proses pembelajaran menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (bilingual), (e) proses penilaian menggunakan model-model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD, (f) manajemen penyelenggaraan memenuhi standard internasional yaitu ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, serta menjalin kerjasama dalam
74
bentuk sister school dengan SBI di luar negeri. (Sumber: Buku Panduan RSBI, 2009, 2010) Dengan uraian di atas, berikut ini beberapa jenis SMA dalam sistem pendidikan nasional berdasarkan Panduan Penyelenggaraan Sekolah Berstandar Internasional. 1. SMA Kategori Mandiri, sekolah yang telah memenuhi SNP dan mampu menerapkan dan mengelola pembelajaran dengan sistem SKS. 2. Rintisan SMA Bertaraf Internasional, sekolah yang telah memenuhi seluruh SNP, menerapkan SKS dan dalam proses menuju SMA bertaraf internasional. 3. SMA Bertaraf Internasional, yaitu sekolah yang telah memenuhi seluruh SNP, menerapkan SKS, dan mengembangkan keunggulan yang mengacu pada peningkatan daya saing yang setara dengan mutu sekolah-sekolah unggul dari negara maju. 4. SMA Franchise, yaitu sekolah yang diselenggarakan warga negara Indonesia, memberlakukan kurikulum asing dan wajib mengajarkan pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan kepada peserta didik warga negara Indonesia. 5. SMA Asing, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga/negara asing, memberlakukan kurikulum asing, dan diperuntukkan bagi warga negara asing yang berada di Indonesia. SMA Asing ini wajib mengajarkan pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan kepada peserta didik warga negara Indonesia (Sumber: Buku Panduan RSBI, 2009:19). Tabel 4.2. Data Sekolah Berdasarkan Kategori Sekolah SPM
SPM
SSN
RSBI
Total
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
SD
65.869
44.84
75.965
51.71
4.831
3.29
239
0.16
146.904
SMP
8.892
26.01
15.226
44.54
9.711
28.41
356
1.04
34.185
SMA
3.990
35.30
4.210
37.24
2.745
24.28
359
3.18
11.304
SMK
2.493
27.20
3.143
34.30
3.177
34.67
351
3.83
9.164
Total
81244
40.31
98.544
48.89
20.464
10.15
1.305
0.65
201.557
Sumber: Dokumen Kemdiknas, 2011
75
Visi dan misi SMA bertaraf internasional merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional dalam hal peningkatan mutu. Dengan merujuk UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pemerintah merumuskan visi pendidikan nasional: Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional tersebut, Depdiknas berhasrat tahun 2025 untuk menghasilkan: INSAN INDONESIA CERDAS DAN KOMPETITIF. Selanjutnya, Direktorat Pembinaan SMA menetapkan visi pengembangan SMA sebagai berikut:
“Terwujudnya
instansi profesional, akuntabel, kuat dan berwibawa sebagai pendorong menuju Sekolah Menengah Atas mandiri berskala nasional dan internasional.” (Kemdiknas, 2010: 9-10) Berdasarkan visi Kemdikbud dan Direktorat Pembinaan SMA, SMA bertaraf internasional kemudian merumuskan visi tersebut kedalam misinya, misalnya (1) menjaga keutuhan NKRI, (2) membekali siswa dalam hal budi pekerti luhur sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, (3) memberdayakan potensi kecerdasan siswa baik dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam meningkatkan daya saing secara internasional. Misi tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menyusun program, yaitu untuk menghasilkan lulusan yang berstandar nasional dan internasional. Lulusan berstandar nasional mengacu pada rumusan
76
UU Sisdiknas Nomor 20/2003 dalam PP Nomor 19/2005, dan Permendiknas no. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Pada level implementasi di sekolah, visi dan misi diterjemahkan oleh satuan pendidikan ke dalam beberapa target dan program yang mengarah pada pemberdayaan sekolah menuju satuan SBI, seperti berikut. a. Mendidik siswa menjadi sumber daya yang dapat bersaing secara nasional dan internasional b. Meningkatkan sarana-prasarana olah raga, laboratorium, ruang multi media untuk menunjang prestasi siswa dibidang IPA, ketrampilan bahasa Inggris, TIK, dan memiliki kesegaran jasmani . c. Meningkatkan kompetensi guru dalam proses pembelajaran dengan menambah variasi metode dan model pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan dengan menggunakan perangkat TIK d. Mendidik siswa untuk mampu berpartisipasi dalam berbagai Olimpiade MIPA baik pada tingkat nasional maupun internasional ((Kemdiknas, 2010: 9-10)
Berbagai uraian di atas tentang dasar hukum dan eksistensi RSBI/SBI menjelaskan hubungan antara wacana global dan pendidikan dengan berbagai permasalahan sosial, ekonomi dan budaya yang muncul akibat kebijakan tersebut. Wacana PBI tidak semata-mata bersumber dari dasar hukum yang terdapat dalam UU Sisdiknas 2003 yang diperdebatkan oleh banyak pihak tetapi juga terkait dengan hegemoni wacana global tentang pendidikan dan peran negara (politik pendidikan) dalam upaya memajukan pendidikan nasional.
Dengan kata lain,
wacana PBI hadir dalam konteks dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik dan dalam konteks kepentingan di arena internasional, regional dan lokal (nasional). Ada koherensi isu-isu antara globalisasi yang bermuatan daya saing
77
bangsa, standar kualitas, produktifitas, TIK, dan wacana PBI hingga melahirkan satuan pendidikan dalam bentuk RSBI.
4.2. Lokasi Penelitian Dalam bagian ini disajikan secara ringkas gambaran sekolah-sekolah yang dijadikan lokasi penelitian, yang berlabel RSBI di Jakarta dan di Bandarlampung, yaitu “sekolah unggulan” dan favorit di daerah masing-masing. Sebagaimana dikemukakan dalam bab terdahulu bahwa pemilihan lokasi RSBI di Jakarta didasarkan pada pertimbangan bahwa Jakarta sebagai ibukota memiliki akses, heterogenitas kultur, dan penggunaan yang relatif tinggi terhadap konteks ”internasional” dan bahasa Inggris. Selain itu, dan ini lebih penting, Jakarta juga dipandang sebagai barometer efektifitas suatu kebijakan dan implikasinya terhadap pendidikan nasional, sedangkan Bandarlampung dipilih sebagai pembanding dalam kaitannya dengan relevansi pendidikan berlabel ”internasional” dalam konteks otonomi daerah dan manajemen pendidikan nasional.
4.2.1 SMA Negeri 78 Jakarta Penelitian ini dilakukan di sekolah-sekolah yang berstatus RSBI
atau
“unggulan nasional” yang dipandang lebih menonjol dalam hal wacana PBI dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam rangka meningkatkan daya saing siswa dan lulusan
SMA pada era globalisasi. SMA Negeri 78 Jakarta
merupakan salah satu SMA berstatus RSBI dari banyak SMA di Jakarta.
78
Tidak semua sekolah negeri atau swasta dapat menggunakan label RSBI atau SBI. Berdasarkan wawancara mendalam dengan pimpinan dan guru, sekolah ini telah mencapai atau mendekati SNP yang merupakan persyaratan untuk ditetapkan oleh pemerintah sebagai sekolah RSBI sejak tahun 2006. Sebelum ditetapkan berstatus RSBI, sekolah ini pada dasarnya
merupakan salah satu
sekolah favorit dan unggulan di Jakarta. SMA Negeri 78 Jakarta sebelum dan setelah ditetapkan sebagai sekolah RSBI tetap diminati oleh calon siswa khususnya yang berdomisili di Jakarta. Penetapan RSBI bagi SMA Negeri 78 Jakarta didukung oleh profil SDM, program dan berbagai aktivitas ”unggulan” sampai capaian akademik dan non akademik selama lima tahun terakhir. Dalam hal ini, profil dan ”track records” SMA Negeri 78 dinilai mendekati ”kondisi” delapan SNP: standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Dalam proses menuju sekolah RSBI, menurut wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Ridnan Wargiyanto (Lampiran 3, Gambar 3), SMA Negeri 78 selain berstatus sekolah unggulan juga memiliki fasilitas dan sarana prasarana, catatan prestasi yang baik dan dipercaya oleh masyarakat sebagai sekolah berkualitas di Jakarta. Berbeda dari sekolah-sekolah RSBI pada umumnya, sekolah ini sejak berstatus RSBI langsung membuka satu “kelas internasional”. Menurut Ridnan, program kelas internasional tersebut diadakan sejak 2006 untuk memenuhi permintaan dan kepercayaan orangtua terhadap sekolah tersebut. Selanjutnya Ridnan menyatakan:
79
Jadi RSBI itu di SMA 78 dimulai tahun 2006. Kita harus mencapai targettarget pagu RSBI setelah sekolah ini dinilai mencapai standard pendidikan kemudian ditingkatkan statusnya menjadi RSBI. Namun sejak awal kita juga membuka kelas khusus, yaitu kelas internasional dengan ketentuan yang berbeda dengan sisw-siswa lainya dan dengan biaya yang berbeda dengan siswa-siswa lainnuya. Nah...jadi dengan dengan ditunjuknya sebagai RSBI kita menerima dana ”block grant” dari departemen (Diknas) sebesar Rp.300 juta pertahun sampai tahun kelima. ..Itu untuk seluruh kelas pembelajarannya bilingual yang berafiliasi dengan Cambridge...dengan kompetensi nasional plus adopsi kurikulum. Tujuannya supaya anak-anak RSBI ini dapat lulus pada sertifikat yang diadakan Cambridge...tetapi untuk mencapai A-level yang lulus tidak semua dari 24 siswa hanya dicapai oleh 10% siswa (Wawancara 23 April 2012). Dari segi sarana prasarana, berdasarkan observasi di lapangan ditemukan bahwa setiap ruang kelas dilengkapi dengan berbagai sarana pembelajaran TIK dan multimedia. Sekolah ini juga memiliki sarana dan prasarana pembelajaran seperti laboratorium atau perpustakaan yang relatif memadai untuk proses pembelajaran yang berkualitas, terlepas dari kualifikasi dan kompetensi guru-guru dan SDM yang ada, yang akan dibahas lebih detil pada bagian berikutnya (Lampiran 3, Gambar 1 dan Gambar 4) Dari segi proses pembelajaran, dalam derajat tertentu kedua sekolah mengklaim telah melaksanakan standar proses yang diperkaya dengan model proses pembelajaran Cambridge dengan menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis TIK, aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan kontekstual. Sekolah ini, dari segi standar isi telah menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh sekolah dan diperkaya dengan kurikulum negara maju (OECD) dengan cara mengadaptasi kurikulum Cambridge khususnya untuk mata pelajaran MIPA serta telah
80
menerapkan sistem kredit semester (SKS) sesuai Pedoman Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional. Dari segi bahasa pengantar, sekolah SMAN 78 telah menggunakan bahasa Inggris hanya untuk mata pelajaran MIPA dan mata pelajaran bahasa Inggris saja. Penggunaan bahasa pengantar bahasa Inggris sepenuhnya digunakan pada kelas internasional dan metode pembelajaran bilingual (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) untuk kelas RSBI. Kendala umum yang dihadapi oleh dua sekolah yang diteliti adalah terkait dengan tuntutan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Bahasa Inggris dipandang penting untuk memajukan kualitas pendidikan, kendati dalam implementasinya tidak didukung oleh ketersediaan guru dan tenaga kependidikan yang mumpuni sebagaimana diakui oleh Wakasek dalam kutipan berikut: kendala yang utama pelaksanaan program RSBI sekolah kami adalah bahasa Inggris, sehingga penilaiannya bilingual untuk seluruh siswa dibawah sekolah RSBI, kecuali untuk kelas internasional untuk lima mata pelajaran ”pure” bahasa Inggris...Terkait dengan eksistensi kelas internasional di SMA Negeri 78 Jakarta ...kalau kelas internasional ini memang tuntutan orangtua untuk kami buka supaya anak-anaknya semakin baik dalam bahasa Inggris (Wawancara 23 April 2012). Kutipan di atas menjelaskan bahwa pelaksanaan pembelajaran dalam bahasa Inggris yang merupakan ciri khusus RSBI menghadapi kendala karena penyiapan guru-gurunya diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Namun, keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di RSBI menunjukkan bagaimana masyarakat dan orangtua terhegemoni dengan citra dan label ”internasional”.
81
Dari segi anggaran sekolah, menurut Ridnan, sejak ditetapkan sebagai sekolah RSBI, SMA Negeri 78 mendapat program bantuan dana pemerintah sejak tahun 2006. Dana tersebut diberikan selama lima tahun yang dialokasikan secara khusus untuk pembiayaan kegiatan peningkatan berbagai sumber belajar, seperti ruang guru dalam rangka pengembangan profesionalismenya dan fasilitas pembelajaran lainnya seperti laboratorium MIPA, laboratorium bahasa, dan laboratorium komputer. Namun demikian, porsi terbesar dari anggaran sekolah bersumber dari orangtua atau masyarakat. Sekolah ini, menurut Ridnan, pada dasarnya tidak mengandalkan subsidi pemerintah (APBN atau APBD) untuk pembiayaan program-program unggulan sekolah karena nilainya tidak signifikan untuk memajukan sekolah dengan program RSBI. Secara umum profil SDM dan tenaga kependidikan yang terdapat di SMA Negeri 78 Jakarta dinilai memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas sebagai prakondisi untuk ditetapkan sebagai SMA RSBI pada tahun 2006. Dari 78 guru yang ada 34 orang mengajar bidang MIPA dan bahasa Inggris dengan tingkat pendidikannya secara berurutan adalah 19 orang berkualifikasi S2, 58 orang S1, dan hanya satu orang yang berpendidikan Diploma Tiga. Dengan profil SDM dan ”track record” (rekaman jejak) yang dimilikinya, sekolah ini telah dikategorikan sebagai sekolah unggulan dan favorit di Jakarta sebelum ditetapkan sebagai sekolah RSBI. Selama lima tahun terakhir berstatus RSBI, SMA Negeri 78 Jakarta memiliki catatan prestasi yang baik pada tingkat nasional dan internasional yang dapat
82
dibanggakan oleh sekolah dan masyarakat pendukungnya (Tabel. 4.3). Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Ridnan Wargianto, sekolah ini telah dinilai sebagai sekolah yang mendekati atau dianggap mendekati delapan komponen SNP oleh pemerintah (Depdiknasi) dan karenanya dianggap sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai sekolah yang layak untuk mendapatkan status RSBI menuju SBI. Dengan statusnya sebagai sekolah RSBI, sekolah mendapat dukungan baik dari pemerintah maupun masyarakat dalam bentuk anggaran peendidikan yang berbeda dai sekolah sejenis. Tabel 4.3 Daftar Prestasi Guru 2006- 2012 Nama Prestasi
Akademik/ Non Akademik Non Akademik
Tahun
Penyelenggara
Tingkat
2006
Dinas Pend.
Nasional
Non Akademik
2006
Dit PSMA
Internasional
Non Akademik
2007
Dit PSMA
Nasional
Tim Penulis PKN Mahasiswa Akademik
2007
Dinas Pend.
Nasional
Penulis UN Bahasa Indonesia Akademik
2008
Dit PSMA
Nasional
Pembicara Seminar Simposium Instruktur Balitbang Puskur
Non Akademik
2008
Dinas Pend.
Nasional
Non Akademik
2009
Dit PSMA
Nasional
Guru Berprestasi
Non Akademik
2009
Sudin
Kab/Kota
Pembicara Seminar Nasional
Non Akademik
2010
Dit PSMA
Nasional
Penulis Buku Bahasa Indonesia Assesor Ujian Speaking ESL
Akademik
2010
Dit PSMA
Nasional
Akademik
2010
Cambrige
Internasional
Tim Pembahas Juknis Penyelenggaraan SKS Peserta TOT Fasilitator
Non Akademik
2011
Dit PSMA
Nasional
Non Akademik
2011
Dit PSMA
Nasional
Peserta WS Bahan Ajar Berbasis TIK Tim Pengembang Dit PSMA
Non Akademik
2011
Dit PSMA
Nasional
Non Akademik
2012
Dit PSMA
Nasional
Guru Berprestasi Fasilitator dan Narasumber Sekolah Penulis Konten Multimedia
Sumber: Dokumentasi SMA Negeri 78 Jakarta
83
Dalam kaitannya dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan realitas kemampuan bahasa Inggris guru-guru SMA Negeri 78, Ridnan Wargiyanto, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum menyatakan bahwa: secara objektif guru-guru di sekolah kita belum mampu untuk mengajar dalam bahasa Inggris…kecuali untuk kelas internasional ”pure” menggunakan bahasa Inggris dengan menggunakan kombinasi guru-guru dari luar dan kita sebagian. Dulu kita pernah menggunakan tenaga pengajar dari luar, native speaker khusus untuk mata pelajaran MIPA. Kemudian tantangannya adalah guru-guru kami di sekolah ini sudah banyak yang tua-tua, kebanyakan di atas 45 tahun ..sudah susah belajar bahasa Inggris (Wawancara 23 April 2012). Kutipan di atas menjelaskan bahwa sekolah belum “mandiri” dalam hal ketersediaan guru untuk melaksanakan program “internasionalnya”. Selain itu, secara objektif SMA Negeri 78 sebagai sekolah RSBI pada dasarnya belum memiliki, misalnya, persyaratan
10% tenaga pendidik dengan kualifikasi
pendidikan S2 lulusan dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A sebagaimana diamanatkan dalam Permendiknas No. 78 tanggal 16 Oktober 2009 (lihat Tabel 4.4). Dengan realitas SDM tersebut, sekolah melakukan program pengembangan guru dan mempekerjakan tenga honorer untuk mencapai tujuannya sesuai dengan misi RSBI/SBI. Pada kenyataannya, kondisi SDM yang ada belum layak untuk melaksanakan berbagai program pengembangan sekolah untuk mencapai visinya, khususnya guru untuk “kelas internasional”. Kelas internasional diadakan secara eksklusif untuk para siswa yang diseleksi secara berbeda dari siswa lainnya di sekolah yang sama. Dalam hal ini, menurut salah seorang guru yang diwawancarai, beberpa tenaga guru honorer direkrut dari luar sekolah yang sesuai
84
dengan “standard internasional”. Hal ini dilakukan karena sekolah secara objektif belum memiliki tenaga pendidik berkompeten untuk mengajar dalam bahasa Inggris di kelas internasional. Kendati sekolah memiliki program pelatihan guru untuk kualifikasi pengajar “sekolah internasional”, namun hasilnya belum sebagaimana diharapkan. Tabel 4.4: Data Informasi Guru Terkait Mata Pelajaran “Bertaraf Internasional” No
Jumlah Guru
Jenjang Pendidikan D3, S1, S2, dst
Mengajar
Sertifikasi
Mapel
Tahun
1
6
4 S1 dan 2 S2
B. Inggris
2007
2
6
5 S1 san 1 S2
Biologi
2007
3
7
6 s1 dan 1 S2
Fisika
2008
4
7
S1
Kimia
2007
5
7
2 orang S2
Matematika
2007
6
1
D3
Matematika
2008
Sumber: Dokumentasi SMA Negeri 78 Jakarta Sebagaimana
diamanatkan
Undang-undang,
peraturan
dan
petunjuk
penyelenggaraan RSBI, SMA Negeri 78 juga telah mengembangkan KTSP yang disusun berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan. Salah satu prinsip pelaksanaan kurikulum tersebut adalah terciptanya suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (PP Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi). Kurikulum yang digunakan SMA Negeri 78 Jakarta juga telah diperkaya dengan kurikulum Cambridge dalam bentuk buku teks siswa, buku pegangan guru,
85
dan bahan ajar elektronik hasil bekerjasama dengan lembaga Cambridge. Sekolah ini juga menerapkan sistem administrasi berbasis TIK dan proses pembelajaran dengan Sistem Kredit Semester (SKS) (Panduan RSBI, 2009:19).
Secara
akademik dan non akademik, sekolah ini dikategorikan sebagai sekolah berprestasi di Jakarta dengan berbagai program dan kegiatan yang mendukung untuk menjadi sekolah unggul. Ada pun prestasi atau perkembangan sekolah ini selama lima tahun terakhir sejak berstatus RSBI dapat disajikan pada Table 4.5 berikut. Tabel 4.5: Data Prestasi Siswa 5 (Lima) Tahun Terakhir No 1
Festival Coral Int'r
Individual/ Kelompok Kelompok
2
Olimpiade Fisika
Individual
Akademik
Internasional
3
Story Telling 2012
Individual
Akademik
Internasional
4
Language for the Games Komp. Desain Poster Anti Korupsi OSN
Individual
Akademik
Internasional
Individual
Non Akademik
Nasional
Individual
Akademik
Nasional
Individual
Akademik
Internasional
8
International Biology Olympiad OSN
Individual
Akademik
Nasional
9
Fest. Paduan Suara
Kelompok
Non Akademik
Internasional
10
Juara Catur
Individual
Non Akademik
Nasional
11
Penulis Novel
Individual
Non Akademik
Nasional
12
Individual
Non Akademik
Internasional
13
Penulis Muda Berbakat FLSSN
Kelompok
Non Akademik
Nasional
14
APhO & Ipho
Individual
Akademik
Internasional
15
APhO & Ipho
Individual
Akademik
Internasional
16
Fest .Paduan Suara
Kelompok
Non Akademik
Nasional
17
Penghargaan Khusus
Individual
Akademik
Internasional
5 6 7
Nama Prestasi
Akademik/Non Akademik Non Akademik
Tingkat Internasional
Sumber: Dokumen Sekolah SMA Negeri 78 Jakarta
86
Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA Negeri 78 Jakarta (wawancara Rabu 21 Maret 2012), Ridnan Wargiyanto, SMA Negeri 78 Jakarta melaksanakan program RSBI sejak 2006 dengan desain sejak awal telah membuka kelas internasional (KI) dan menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk mata pelajaran MIPA dan Bahasa Inggris. Kelas internasional ini dilaksanakan atas permintaan orangtua siswa. Kelas internasional
(KI) diatur
dengan kapasitas 24 siswa per kelas (moving class). Biaya sekolah ditetapkan secara paket dengan 24 juta rupiah per siswa/tahun, tanpa ada pungutan tambahan. Menurut salah seorang orangtua siswa (Kholil), secara keseluruhan dia mengeluarkan biaya sekitar 42.000.000,- (empat puluh dua juta rupiah) per tahun. Dia merasa bahwa biaya tersebut masih relatif murah jika dibandingkan dengan sekolah sejenis yang cukup berkualitas, walaupun dia sendiri mengaku tidak termasuk keluarga yang mampu secara ekonomi. Dari segi proses, sekolah ini menggunakan ”double curriculum”, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan kurikulum Cambridge yang diadopsi dan diadaptasi secara khusus untuk mata pelajaran MIPA dan bahasa Inggris, sehingga setiap tahun, menurut pimpinan sekolah, para siswa mengikuti ujian Cambridge sebagai bagian dari upaya standarisasi dalam komponen standar kelulusan siswa dalam SNP. Selain itu di sekolah ini juga ada kegiatan ekstrakurikuler (secara mandiri dan di bawah bimbingan tutor) sebagai upaya untuk penguatan pengajaran bahasa Inggris (English Club). Menurut Wakil Kepala
87
Sekolah, hal ini merupakan salah satu perbedaan kegiatan RSBI terkait bahasa Inggris dari SMA non RSBI atau sekolah reguler pada umumnya. Buku teks MIPA dan bahasa Inggris yang digunakan sekolah tertulis dalam bahasa Inggris, misalnya, Advance level Mathematics Statistics 1 oleh Steve Dobbs and Jane Miller, dan sebagian buku lainnya menggunakan dwi bahasa. Pengadaan buku-buku ini secara langsung dipesan melalui mitra sekolah atau lembaga luar negeri dalam hal ini lembaga Cambridge di Inggris. Di sekolah ini terdapat seorang guru ”bule” yang khusus mengajar di kelas internasional dengan sistem kerja dan penggajian tersendiri (honorer). Selain itu, tidak semua guru tetap MIPA dan Bahasa Inggris yang ada di sekolah mengajar di kelas internasional, guru-guru diseleksi sesuai standar kelas internasional terutama prestasi akademik dan kemampuan bahasa Inggrisnya. Profesionalisme guru dilihat dari ”standar internasional”. Menurut informan yang diwawancarai untuk penelitian ini, salah satu ciri RSBI/SBI adalah memiliki murid atau peminat dari berbagai kebangsaan/negara (khususnya ekspatriat), namun kenyataan di lapangan tidak menunjukkan realitas demikian, dalam arti sampai waktu penelitian ini dilakukan hampir tidak ada orang asing atau ”ekspatriat” yang terdaftar menyekolahkan anaknya di SMA Negeri 78 Jakarta walaupun sekolah ini berlabel RSBI dan bahkan melaksanakan ”kelas internasional”. Selain itu, menurut informan masih ada kesalah-pahaman di tengah masyarakat tentang keberadaan RSBI, misalnya tentang biaya mahal dan eksklusifitas perlakuan, tentang bahasa pengantar bahasa Inggris, dan peluang
88
siswa kurang mampu secara ekonomi untuk diterima di sekolah berlabel RSBI. Sekolah ini, sejak ditetapkan sebagai RSBI tahun 2006, mendapat subsidi atau bantuan anggaran pemerintah yang berasal dari APBN/APBD sebesar
Rp.
300.000.000,- setiap tahun dan digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana fisik sekolah dan program peningkatan kualitas proses pembelajaran. Sumber dana lainnya, yang menjadi salah satu permasalahan kontroversial di masyarakat, diperoleh secara langsung dari orangtua siswa sebesar Rp. 24.000.000,-/tahun. Dari segi sarana dan prasarana pendidikan, secara umum SMA Negeri 78 Jakarta berupaya untuk memenuhi standar sarana dan prasarana yang mendukung efektivitas proses pembelajaran sebagai sekolah berlabel RSBI, antara lain: 1) Perpustakaan dilengkapi dengan buku-buku pelajaran berbahasa Inggris, buku referensi, jurnal nasional dan internasional, buletin, koran, majalah, serta perangkat audio visual; 2) Laboratorium Fisika, Biologi, Kimia yang dilengkapi dengan peralatan dan bahan praktikum untuk menunjang proses pembelajaran dengan dukungan TIK: 3) Laboratorium Bahasa dengan koleksi dalam bentuk rekaman suara, video atau media rekam lainnya; dan 4) Laboratorium Multimedia dengan menggunakan teknologi multimedia dan komputer. Laboratorium komputer digunakan untuk praktikum pembelajaran TIK. Dari segi sarana prasarana, setiap ruang kelas, khususnya “kelas internasional” dilengkapi dengan berbagai sarana pembelajaran yang berbasis TIK dan sarana pembelajaran multimedia yang memadai (Gambar 1).
89
Dari segi output setelah melaksanakan program RSBI/SBI, setiap tahun sekolah ini berhasil meluluskan siswanya dengan tingkat kelulusan 100% dalam Ujian Nasional. Dari segi outcome, seorang lulusan sekolah ini dilaporkan melanjutkan studi ke Malaysia secara korespondensi, namun sejak sekolah tersebut berstatus RSBI dan menyelenggarakan ”kelas internasional”, belum ada data yang menunjukkan bahwa ada lulusan sekolah ini yang melanjutkan studi dengan program reguler ke suatu universitas di luar negeri, sebagaimana diharapkan dalam desain awal pembukaan program RSBI/SBI. Dari uraian singkat di atas tentang SMA Negeri 78 Jakarta, sekolah ini dapat dikatakan memiliki visi dan misi yang menonjol dibanding sekolah-sekolah SMA pada umumnya. Visi: Menjadi Sekolah Berprestasi, Berkarakter, Religius, dan Berwawasan Lingkungan dan Misi: 1. Melaksanakan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan standard internasional (University of Cambridge International Examination) 2. Melaksanakan program peningkatan kompetensi siswa di bidang akademik dan non akademik yang dapat bersaing di tingkat nasional dan internasional. 3. Melaksanakan program peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan. 4. Melaksanakan program kerjasama dan kemitraan dengan institusi pendidikan, pemerintah, usaha dan industri. 5. Melaksanakan pengelolaan layanan pendidikan sesuai standar mutu ISO 9001 dan 14001. 6. Melaksanakan pendidikan karakter agar terwujud lulusan yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. 7. Melaksanakan program pengembangan sekolah ramah sosial dan ramah lingkungan (Sumber: Dokumen SMA Negeri 78 Jakarta).
90
4.2.2 SMA Negeri 2 Bandarlampung Posisi SMA Negeri 2 Bandarlampung dalam penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan data pembanding terhadap SMA Negeri 78 Jakarta yang dijadikan lokasi utama penelitian. SMA Negeri 2 Bandarlampung merupakan salah satu SMA dari tujuh SMA berlabel RSBI yang ada di Provinsi Lampung dan salah satu dari dua SMA RSBI yang ada di kota Bandarlampung. Sekolah ini sengaja dipilih untuk melihat konteks PBI dan SNP dengan lingkungan sosialbudaya daerah dan otonomi daerah dalam bidang pendidikan. Sebelum ditunjuk sebagai SMA berlabel RSBI pada tahun 2007, SMA Negeri 2 Bandarlampung merupakan salah satu sekolah favorit di kota Bandarlampung. Setiap tahun ajaran baru sekolah ini termasuk dalam daftar atas yang menjadi pilihan calon siswa baru di antara sekolah-sekolah negeri yang ada di kota tersebut. Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Bandarlampung, Supanto, menyatakan: Berbeda dari tiga sekolah RSBI yang ada di Lampung, sekolah kami ditetapkan oleh pemerintah sebagai RSBI sejak 2007. Sejak ditetapkan sebagai RSBI kami melakukan banyak pembenahan dan berbagai program penguatan SDM khususnya guru dan sarana prasarana pembelajaran yang menurut kami sangat penting untuk peningkatan kualitas pendidikan sesuai dengan harapan pemerintah dan masyarakat (Wawancara dengan Supanto, Senin 11 Juni 2012 Sebelum mendapat status sekolah RSBI pada tahun 2007, SMA Negeri 2 Bandarlampung telah menjadi sekolah favorit atau unggulan di daerah itu. Menurut Supanto, penanggungjawab RSBI SMA Negeri 2 Bandarlampung (Wawancara Sabtu 6 April 2013) perbedaan sekolah ini sebelum dan sesudah menjadi RSBI terletak pada anggaran dan fasilitas sarana dan prasarana
91
pembelajaran. Anggaran sekolah setelah berlabel RSBI bersumber dari pemerintahan pusat dan daerah serta pungutan dari masyarakat dan orangtua siswa yang secara keseluruhan sangat signifikan pengaruhnya untuk meningkatkan program peningkatan mutu sekolah melalui, misalnya, pengadaan sarana prasarana sekolah dan pelatihan dan pengembangan SDM yang mendukung program sekolah. Berbeda dari SMA Negeri 78 Jakarta, SMA Negeri 2 Bandarlampung tidak memiliki kelas internasional. Pada dua tahun pertama, sekolah ini membuka dua “kelas RSBI” dengan jumlah peserta masing-masing kelas 32 siswa. Dalam perkembangan berikutnya, seluruh kelas dan jurusan di SMA 2 diperlakukan sama dalam konteks RSBI, dalam arti pengembangan mutu antara Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tidak dibedakan dalam perlakuannya. Dari segi biaya pendidikan (SPP), siswa jurusan IPA dan IPS sama besarnya dikenakan kepada seluruh orangtua siswa. Sekolah ini juga menyediakan beasiswa bagi pendaftar dengan kemampuan ekonomi lemah tetapi dinilai memiliki kemampuan akademik yang tinggi. Menurut pimpinan sekolah, tanpa merinci persentase penerima beasiswa, banyak siswa warga miskin yang mereka terima dengan pemberian fasilitas beasiswa, bahkan ada siswa yang bebas dari biaya pendidikan (SPP). Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya sekolah untuk menepis tuduhan dan anggapan masyarakat bahwa sekolah RSBI ditujukan hanya untuk anggota masyarakat yang mampu secara ekonomi.
92
Dari segi kerjasama luar negeri sebagai salah satu ciri RSBI, SMA Negeri 2 Bandaralampung pada dasarnya belum memiliki bentuk kerjasama yang sifatnya mengikat dengan lembaga-lembaga pendidikan di luar negeri. Pada saat penelitian ini dilakukan hubungan kerjasama dengan lembaga (sekolah) luar negeri baru pada tahap penjajakan kerjasama untuk menggunakan kurikulum Cambridge. Namun selama dua tahun pertama berstatus RSBI, sekolah ini telah menjajaki beberapa bentuk kerjasama dengan lembaga di luar negeri seperti Filipina dan Malaysia namun belum sampai ke tahap nota kerjasama/kesepahaman yang sifatnya mengikat. Dalam hal kerja sama internasional, SMA Negeri 2 Bandarlampung masih berada pada tahap membangun komunikasi dengan beberapa lembaga di luar negeri termasuk lembaga Cambridge Inggris dan telah mensosialisasikannya di sekolah sebagai salah satu program unggulan sekolah. Dalam dua tahun pertama setelah berstatus RSBI, sekolah ini juga telah menggunakan buku-buku teks dari Cambridge (Lampiran 3, Gambar. 10) dengan menggunakan tenaga pengajar MIPA dari perguruan tinggi setempat, Universitas Lampung, untuk mengajar dalam bahasa Inggris karena kompetensi guru-guru yang ada di sekolah secara objektif dinilai belum memadai untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan bahasa Inggris. Guru-guru MIPA dan bahasa Inggris yang menjadi unggulan RSBI tercatat hanya dua orang yang memiliki kualifikasi akademik S2, situasinya sangat jauh dari kondisi yang diharapkan sebagai sekolah menuju SBI (lihat Tabel. 4.6)
93
Tabel 4.6: Data Guru SMA Negeri 2 Bandarlampung Terkait Mata Pelajaran “Internasional” No
Jumlah Guru
Jenjang Pendidikan D3, S1, S2, dst
Mengajar Mapel
1
5
4 S1 dan 1 S2
B. Inggris
2
6
6 S1 san 0 S2
Biologi
3
6
6 s1 dan 0 S2
Fisika
4
5
S1
Kimia
5
10
1 D3 dan 1 orang S2
Matematika
Sumber: Dokumentasi SMA Negeri 2 Bandarlampung Buku-buku impor produk Cambridge yang digunakan untuk pembelajaran MIPA dan bahasa Inggris menurut penanggung jawab RSBI cukup mahal, Rp. 300.000,- 400.000,- per mata pelajaran dan digunakan hanya selama dua tahun, 2007-2008. Dalam perkembangan selanjutnya, implementasi program RSBI bagi SMA Negeri 2 Bandarlampung mengalami perubahan kebijakan dari Kemdiknas pusat, yang menghimbau agar sekolah ini menghentikan penggunaan buku-buku Cambridge tersebut dan kembali menggunakan buku-buku terbitan nasional. Padahal,
sejak ditetapkan sebagai RSBI sekolah tersebut beberapa kali telah
melakukan pelatihan guru dalam bahasa Inggris secara reguler untuk memacu kompetensi seluruh guru sesuai tuntutan sekolah berlabel RSBI. Dalam desain dan praktiknya, pelatihan ini terbuka bagi seluruh guru mata pelajaran yang berminat meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya (Wawancara dengan Supanto, 6 April 2013).
94
BAB V BENTUK-BENTUK HEGEMONI PENDIDIKAN BERTARAF INTERNASIONAL DALAM PENDIDIKAN MENENGAH UMUM
Bab ini akan menjawab pertanyaan pertama dari penelitian ini yaitu tentang bentuk-bentuk hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum. Secara teoretis permasalahan PBI dilihat dari perspektif ideologis kultural dan dalam konteks arena pertarungan ideologis dan asumsi-asumsi yang menjadi dasar pengambilan kebijakan politik pendidikan. Bentuk-bentuk hegemoni PBI dalam pembahasan di sini merefleksikan hubungan antara SNP sebagai standar minimal pendidikan nasional dan standar pendidikan “bertaraf internasional” dalam berbagai bentuk dan komponen standarisasi pendidikan. Analisis dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari observasi lapangan dan hasil wawancara dengan beberapa narasumber, yaitu para elit dan pakar pendidikan, kepala sekolah, guru, siswa dan orangtua siswa, dan teks-teks berupa koran, risalah sidang MK dan catatan langsung peneliti ketika menghadiri Sidang MK, buku, serta dokumen-dokumen yang mendukung tujuan penelitian. Dengan menggunakan kerangka pemikiran kritis, bentuk-bentuk hegemoni dibahas melalui tema-tema yang melihat hubungan globalisasi dan kebijakan PBI dalam konteks sistem pendidikan nasional: Wacana Standarisasi, Kapitalisasi Pendidikan, Pencitraan Kualitas Internasional, Stratifikasi Pendidikan, dan
95
Identitas/Jati diri Bangsa, yang semuanya merupakan wacana publik saat penelitian ini dilakukan, yaitu setelah RSBI berkembang selama hampir enam tahun hingga kemudian dasar kebijakannya, yaitu UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3), dianulir oleh lembaga MK Selasa 8 Januari 2013 karena dinilai menciderai nilainilai pendidikan nasional.
5.1 Standarisasi Pendidikan Mark Olssen dkk (2004: 4) dalam bukunya yang berjudul Education Policy: Globalization, Citizenship and Democracy menyatakan bahwa teori globalisasi menekankan cara “baru” dimana suatu negara-bangsa dipengaruhi oleh tatanan dunia internasional. Secara umum hal ini dapat dikatakan terkait dengan kategori ekonomi, budaya dan politik, yang masing-masing saling terkait. Selain itu, berbagai bentuk globalisasi dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Pesatnya perkembangan TIK beberapa dekade terakhir telah mengurangi peluang sebuah negara-bangsa untuk mempertahankan kebijakan ekonominya tanpa pengaruh negara lain. Akibat dari perkembangan teknologi dan liberalisasi pasar, pemerintahan suatu negara menjadi rentan terhadap pengaruh negara lain dan polapola interaksi membuat identitas budaya secara tradisional semakin berkurang. Wacana penting dalam usaha pengembangan pendidikan nasional beberapa dekade terakhir adalah terkait dengan standarisasi mutu, produktifitas, dan relevansi pendidikan yang berdampak pada daya saing bangsa dalam era
96
globalisasi. Dalam konteks ini, pendidikan nasional ditandai dengan lahirnya Undang-undang Sisdiknas 20 Tahun 2003 yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pendidikan nasional dan kebijakan PBI melalui pasal 50 ayat (3) yang menyatakan “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.” PBI menjadi pilihan strategis menghadapi permasalahan pendidikan nasional dan globalisasi. Wacana globalisasi dengan karakteristiknya seperti persaingan, standarisasi dan produktifitas kemudian menjadi “bagian” dari sistem pendidikan nasional. Globalisasi menuntut adanya standarisasi mutu pendidikan untuk dapat berdaya saing tinggi sebagaimana diamanatkan secara implisit dan ekplisit melalui Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Seorang mantan birokrat Kemdikbud menggambarkan semangat globalisme dalam wacana PBI sebagai berikut. dengan melihat spektrum masalah pada saat itu tantangan bangsa, dana yang ada, situasi pendidikan kita, dan dunia global yang tidak bisa dielakkan maka berbagai kebijakan kemudian ditempuh untuk mulai membangun sekolahsekolah berkualitas yang dapat memberikan kemampuan bagi anak-anak Indonesia bersaing dalam dunia global. Membangun sekolah nasional plus, yaitu sekolah-sekolah dengan kurikulum nasional yang diberi muatan plus, seperti teknologi informasi dan komunikasi, desain, komunikasi visual, Inggris, dan lain sebagainya (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu 11 April 2012, hlm. 17). Kutipan di atas menjelaskan pentingnya reformasi pendidikan dalam menjawab tantangan globalisasi untuk meningkatkan daya saing bangsa.
97
Rendahnya mutu pendidikan nasional mengakibatkan kurangnya daya saing bangsa di tingkat regional maupun global. Dari perspektif ekonomi, semakin tinggi daya saing suatu negara, semakin mudah negara tersebut meningkatkan devisa nasionalnya melalui berbagai produk yang bernilai ekonomis. Daya saing menjadi sebuah bentuk rasionalisasi tujuan pendidikan nasional pada era globalisasi yang berorientasi ekonomi berbasis ilmu pengetahuan. Dalam konteks yang lebih luas, tantangan pendidikan nasional dihadapkan sekaligus untuk menghadapi tuntutan lokal, regional dan global, sebagaimana tergambar dari kutipan berikut. SBI itu juga harus tidak boleh steril dengan pengembangan regional. Kita punya ASEAN, kita punya APEC, kita punya SEAMEO, kita punya bermacam-macam lembaga supranasional yang kita tiap tahun itu adalah urun terus, andil uang tetapi kalau kita tidak bisa berkolaborasi dan bersaing sama mereka, akhirnya tiap tahun kita hanya urunan tapi tidak pernah memanfatkan organisasi-organisasi supranasional yang saat ini mau tidak mau kita sudah kena dampaknya. Nah, oleh karena itu, SBI harus bisa bekerja sama, berkolaborasi dengan sekolah-sekolah di wilayah ASEAN, di wilayah APEC. Yang terakhir, RSBI memang namanya sekolah bertaraf internasional, harus tidak boleh steril dengan perkembangan global (Slamet, Risalah Sidang MK, Rabu 11 April 2012, hlm. 9). Tingkat daya saing pendidikan Indonesia memang tidak menggembirakan. Beberapa hasil survei sejak tahun 1997 hingga 2007 dalam World Competitiveness Year Book 1997-2007 menunjukkan bahwa daya saing pendidikan Indonesia pada tahun 1997 menempati urutan ke-39 dari 49 negara. Untuk tahun 1999, dari 47 negara yang disurvei, Indonesia berada pada urutan 46. Pada tahun 2002, Indonesia berada pada urutan 47 dari 49 negara, dan tahun 2007 pada urutan ke 53 dari 55 negara (http://t4belajar.wordpress.com). Tingkat pendidikan masyarakat berkontribusi terhadap daya saing di tingkat internasional. Pada tahun 2005 daya
98
saing Indonesia di urutan ke-69 dan meningkat menjadi urutan ke-54 pada tahun 2009 (The Global Competitiveness Report 2009-2010). Pada level regional, kualitas manusia Indonesia berdasarkan indikator IPM, berada di posisi ke-6 dari 9 negara anggota ASEAN (Human Development Report, 2009). Tabel 5.1: Peringkat CGI 2010-2011 dan 2009-2010 Negara
2010-2011
Swiss Swedia Singapura Amerika Serikat Jepang Malaysia China Brunei D Thailand Indonesia India Brazil Vietnam
Peringkat 1 2 3 4 6 26 27 28 38 44 51 58 59
Skor 5.63 5.56 5.48 5.43 5.37 4.88 4.48 4.75 4.51 4.43 4.33 4.28 4.27
2009-2010 Peringkat 1 4 3 2 8 29 29 32 36 54 49 56 75
Sumber: The Global Competitiveness Report 2010-2011, World Economic Forum Pada kurun waktu yang sama dengan hasil survei di atas, menurut statistik dan data angkatan kerja dan jenjang pendidikan sekolah menengah atas (lihat Analisis Sub Sektor, Appendiks 3 dan TA Report Sub Sector Analysis, Mei 2005), tenaga kerja Indonesia pada tingkat internasional tidak kompetitif. Rata-rata masa sekolah hanya 6, 21 tahun. Sementara itu 26% dari perusahaan besar Indonesia melaporkan bahwa tingkat pendidikan dan kinerjanya kurang produktif dibandingkan perusahaan-perusahaan di Filipina dan India. Indonesia juga berada
99
pada posisi terendah dari sepertiga negara-negara (66 persen) pada Indeks Pertumbuhan Kompetitif Forum Ekonomi Dunia 2003, di bawah posisi Malaysia dan Thailand yang berada pada sepertiga ranking atas. Laju pengangguran di Indonesia menunjukkan angka yang cukup tinggi (9,5% tahun 2003) dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Korea (3,7%), Thailand (1,5%) dan Malaysia (3,4%). Dalam konteks permasalahan pendidikan nasional pada masa reformasi, kebijakan PBI merupakan upaya peningkatan mutu pendidikan dan daya saing nasional yang rendah pada skala global. Menurut Indra Djati Sidhi hasil survei lembaga internasional 2005, pada masa tingginya intensitas praktik wacana PBI, menunjukkan peringkat daya saing global (Global Competitiveness Index), Human Development Index (HDI) dan income per capita Indonesia secara berurutan berada pada peringkat 69 dari 125 negara, ranking 110 dari 177 negara dan US.$ 1267. Dari segi IPM bidang pendidikan pada tahun 2011, Indonesia tergolong rendah, berada di urutan ke-119 dari 187 negara dan di urutan ke-12 dari 21 negara. IPM Indonesia pada tahun yang sama berperingkat ke -124 dari 189 negara dengan kenaikan yang tidak signifikan selama 31 tahun dan posisinya di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Filipina (Kompas Rabu 14 Desember 2011, hlm.1 dan 15). Wacana publik tentang globalisasi dan daya saing tenaga kerja Indonesia merupakan kondisi yang menuntut standarisasi berbagai komponen pendidikan. Berbagai upaya kemudian dikerahkan untuk melakukan inovasi dan diversifikasi
100
pendidikan. Hal ini sesuai dengan PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yaitu: meningkatkan kualitas dan daya saing lulusan di tingkat regional dan internasional; mengantisipasi peningkatan migrasi tenaga kerja internasional; meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar kerja internasional; dan mempertahankan peluang kerja tenaga kerja Indonesia (TKI) di pasar kerja nasional yang dibentuk oleh Perusahaan Asing di Indonesia. Hal ini tergambar dari penjelasan berikut. Indonesia mempunyai sumber daya manusia yang jumlahnya 230 sekian juta, itu kalau tidak dikelola dengan baik, beban. Tapi, kita juga punya sumber daya alam yang melimpah. Kita punya tanah yang subur, tetapi kok kita apel saja impor, kedelai impor, lalu beras impor. Kita itu mau bertani, mau beternak apa saja bisa, kok lembu sampai impor, kita juga lautan kita luar biasa, mutiara saja kok enggak bisa mengelola yang bisa mengelola malah orang Jepang. Mutiara terbaik di dunia itu adalah terkenal Jepang, tapi asalnya dari NTB, utara Lombok itu. Tidak hanya itu saja, tambang-tambang kita ini mestinya dikelola oleh anak-anak kita sendiri yang kita siapkan dengan matang. Tapi, dalam kenyataannya kita tahu semua bahwa sumber daya alam yang … yang melimpah itu dikelola oleh orang luar negeri karena kita tidak menyiapkan dengan baik (Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 11). Dalam sebuah wawancara dengan Prof Slamet tentang isu daya saing pendidikan Indonesia dalam konteks globalisasi, ia menyatakan bahwa pendidikan nasional mesti dikaitkan dengan keuntungan komparatif dan keuntungan kompetitif. Keuntungan komparatif menyangkut keunggulan yang dimiliki oleh Indonesia tetapi tidak dimiliki oleh negara lain seperti kekayaan budaya atau seni tradisi yang dapat dikembangkan dan sumber daya alam yang melimpah tetapi tidak didukung oleh SDM (keuntungan kompetitif) yang menguasai ilmu dan teknologi modern.
101
Dalam konteks RSBI kita berbicara tentang konteks kompetisi yang universal…Kita punya keuntungan komparatif yang tidak dimiliki oleh bangsa lain seperti sumber daya alam yang melimpah dan kaya dengan seni budaya, Nah kita kurang kompetitif dari segi ilmu dan teknologi (Wawancara Sabtu 25 Agustus 2012 di Kampus Pascasarjana UNY, Yogjakarta). Implementasi UU Sisdiknas 20/2003 dan berbagai peraturan terkait dalam bentuk satuan pendidikan RSBI merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional dan merespons tantangan global melalui standarisasi pendidikan, daya saing dan produktifitas SDM. Dalam hal ini relevan apa yang dikatakan Ritzer dan Godman (2007: 587), bahwa globalisasi adalah satu kata yang secara akademik menjadi pusat ketertarikan tetapi juga kecemasan publik. Kecemasan itu berkaitan dengan sifat karakteristik globalisasi yang mendramatisir seluruh aspek kehidupan manusia di seluruh dunia. Dalam hal ini, pendidikan nasional dihadapkan pada tantangan untuk melakukan reformasi dan inovasi jika tidak mau menjadi pecundang dalam konteks globalisasi dan hubungan internasional. …pada dasarnya penyelenggaraan SBI memang sudah sejak awal direncanakan untuk bisa menghadapi era globalisasi, yaitu menyiapkan sumber daya manusia yang benar-benar tidak hanya mampu tapi juga sanggup untuk berkolaborasi, bekerja sama dan juga bersaing dengan negara-negara lain …kalau tidak menyiapkan diri, seperti Malaysia, seperti Singapore kita akan dilanda oleh sejumlah ribuan mahasiswa asing yang akan ke Indonesia (Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 10). Dengan kekuasaan hegemonik yang dimilikinya dan realitas kompleksitas permasalahan pendidikan nasional, Negara melegitimasi perlunya inovasi dan diversifikasi layanan pendidikan berupa satuan PBI, tidak saja demi menghadapi globalisasi tetapi juga untuk melayani tuntutan masyarakat kelas menengah,
102
mengatasi masalah kualitas pendidikan yang rendah dan kesenjangan kualitas antar-sekolah dan antar daerah. Seorang narasumber menyatakan bahwa “masyarakat membutuhkan SBI bagi anak-anak mereka supaya nantinya bisa kuliah di luar negeri dan mampu bersaing dalam arena yang lebih luas”. Satuan pendidikan bertaraf internasional itu, pada saat ini sedang dalam pengembangan melalui Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau RSBI.Tujuan RSBI adalah untuk menghasilkan lulusan yang melampaui standar nasional pendidikan sehingga memiliki daya saing komparatif tinggi termasuk kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing (Risalah Sidang MK, 6 Maret 2012, hlm. 4). Secara eksplisit Permendiknas Nomor 78/2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada jenjang Pendidikan Menengah pasal 2 mendukung kondisi di atas. Tujuan penyelenggaraan SBI adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan menampilkan keunggulan lokal pada tingkat internasional, kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional yang dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan bentuk penghargaan internasional lainnya; kemampuan bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan; e. kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (skor TOEFL Test > 7,5 dalam skala internet based test (IBT) bagi SMA; f. kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosio-kultural, dan lingkungan hidup; g. kemampuan menggunakan dan mengembangkan teknologi komunikasi dan informasi secara profesional (Permendiknas Nomor 78/2009 pasal. 2).
103
Dengan uraian di atas, tampak ada koherensi gagasan mengenai pendidikan dan globalisasi, kondisi pendidikan nasional dan kualitas SDM, lembaga internasional dan wacana ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta semangat memajukan pendidikan nasional melalui standarisasi pendidikan. Berbagai wacana tersebut memiliki apa yang dikatakan oleh Foucault sebagai “power” (kuasa) yang beroperasi melalui wacana PBI. Untuk dapat bersaing di era global, pendidikan harus memenuhi standar-standar kualitas yang berlaku secara global.
5.2 Kapitalisasi Pendidikan Secara historis, perubahan orientasi sistem pendidikan nasional menuju liberalisme sejak ORBA ditandai dengan ratifikasi pendidikan sebagai bagian dari WTO, pendidikan menjadi salah satu komoditas industri. Hal ini kemudian mendapat titik kulminasinya melalui UU Sisdiknas 2003 sebagai “legal policy” dari
pelaksanaan
pendidikan
nasional
seperti
kebijakan
PBI.
Dalam
perkembangannya, PBI kemudian menjadi perdebatan publik khususnya dalam kaitannya dengan amanat konstitusi dan implementasinya yang menimbulkan masalah-masalah sosial dan budaya. Kehadiran RSBI digugat oleh masyarakat karena dipandang bertentangan dengan konstitusi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 50 ayat (3) dinilai bertentangan dengan UUD 1945 kendati suasana kebatinannya ketika undang-undang itu dibuat adalah untuk meningkatkan daya saing pendidikan nasional pada aras internasional.
104
Dewasa ini rasionalisme ekonomi telah menjadi ideologi dominan, dimana pendidikan dipandang sebagai produser barang dan jasa yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Proses globalisasi yang berciri ekonomi ditandai dengan berbagai aktivitas ekonomi sebagai praktik-praktik kapitalisme yang bermakna kultural dan proses-proses kultural global. Keadilan sosial dan nilai-nilai kebersamaan telah dipertukarkan dengan konsep-konsep penting dalam wacana ekonomi global seperti produktifitas, daya saing, efisiensi, dan keuntungan sebesar-besarnya (Zajda, 2005; xiii-xiv; Barker, 2005: 133). Economic globalization is about processes that enable the free flow of goods, services, investments, labour and information across national borders in order to maximize capital accumulation. Thus global capitalism involves the commodification of all kinds of human endeavour in or der to produce surplus value and profit... (Olsson, dkk, 2004: 5).
Wacana pendidikan tidak terlepas dari isu ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Wacana PBI dalam sistem pendidikan nasional selain terkait langsung dengan eksistensi UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 juga tidak terlepas dari isu-isu sosial-ekonomi Indonesia dalam konteks internasional. Wacana PBI juga terkait dengan keinginan sebagian orangtua siswa untuk menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri dan harapan pemerintah agar warga negara asing yang berada di Indonesia dan luar negeri mau bersekolah di sekolah-sekolah Indonesia, yang secara ekonomi dapat menguntungkan bagi pengembangan pendidikan nasional khususnya dan kehidupan bangsa secara umum.
105
“ Ya saya menyekolahkan anak saya di RSBI dengan biaya yang mahal yah wajar dan tentu aja untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang terbaik. Soal supaya bisa melanjutkan ke luar negeri ya tentu saja, orangtua mengharap itu kalau memang mampu, tetapi diterima kualiah di dalam negeri pada universitas terbaik seperti UI juga senang” (Wawancara dengan Khalil, 8 Agustus, 2012). Dalam kurun waktu tingginya indeks investasi asing di Indonesia sebelum krisis ekonomi 1997, banyak manajer ekspatriat yang bekerja dan bertempat tinggal dalam waktu yang lama di Indonesia. Situasi ini dipandang sebagai peluang (sekaligus ancaman) untuk membuka sekolah internasional yang dapat menyediakan program pendidikan bersertifikat internasional bagi anak-anak ekspatriat untuk mendapat pengakuan secara internasional atau di negaranya ketika mereka kemudian pindah tugas ke negara lain atau kembali ke negerinya. Banyak lembaga pendidikan menawarkan program pendidikan internasional dengan mengadaptasi kurikulum “internasional”, khususnya di wilayah perkotaan seperti Jakarta. ...globalisation, political and economic system and the competitive market forces have generated a massive growth in the knowledge industries that are having profound differential effects on educational institutions and nations in general (Zajda and Geo-Jala, 2009). One of the effects of forces of globalisation is that educational organisations, having modelled its goals and strategies on the enterpreneurial business, are complelled to embrace the corporate ethos of the efficiency, accountability and profitdriven managerialism. Hence, the politics of education reforms reflect this new emerging paradigm of standars-driven policy (Zajda, 2010: xiii).
Dengan adanya UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, sekolah-sekolah dapat menerima siswa non ekspatriat dengan kurikulum yang disesuaikan dengan tuntutan masyarakat lokal maupun internasional. Hal ini mendorong pemerintah
106
untuk membangun SBI sesuai dengan tantangan globalisasi dan realitas mutu pendidikan nasional yang tidak menggembirakan. Selain itu, pada penghujung tahun 90-an, beberapa sekolah menengah juga memiliki hubungan internasional termasuk sekolah-sekolah swasta dengan target standar kelulusan yang lebih tinggi. Sejumlah siswa menunjukkan peningkatan jumlah pendaftar di sekolahsekolah swasta yang dikenal di masyarakat dengan biaya mahal, yang biasanya juga disebut sebagai sekolah “nasional plus” karena memiliki sertifikasi dan akreditasi internasional dan sistem pengajaran bilingual berbasis bahasa Inggris. Sekolah-sekolah semacam ini selain berbiaya mahal kualifikasi lulusannya juga dapat bersaing dengan sekolah-sekolah di luar negeri dan di bursa dunia kerja. Hal inilah salah satu faktor utama yang mendorong pemerintah membangun SMA berkualitas tinggi secara nasional (Asian Development Bank: Project Technical Proposal, 2006:4). Kapitalisasi pendidikan juga tampak dari penggunaan buku teks MIPA dan bahasa Inggris di dua sekolah yang diteliti di Jakarta dan Bandarlampung. Pengadaan buku-buku impor di dua sekolah tersebut yang secara langsung dipesan dari luar negeri dalam hal ini lembaga Cambridge di Inggris di mata masyarakat cukup mahal. Dari segi tenaga kependidikan, guru ”bule” yang mengajar di kelas internasional pada SMA 78 Jakarta mendapat sistem kerja dan penggajian tersendiri (honorer). Guru-guru yang mengajar bidang MIPA di ”kelas internasional” diseleksi sesuai prestasi akademik dan kemampuan bahasa Inggrisnya. Dalam hal ini, pendidikan dalam konteks globalisasi sudah menjadi
107
urusan ”lintas-batas” negara dan diarahkan tidak lagi hanya untuk konsumsi ”dalam negeri” tapi juga untuk melayani masyarakat internasional. Ibrahim Musa, pakar pendidikan yang bersetuju dengan SBI berdasarkan hasil penelitiannya tentang profil pembiayaan pendidikan pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama RSBI di Surakarta dan Jakarta menyatakan: ...dalam literature, paling tidak ada dua konsep tentang pendidikan, yaitu pendidikan sebagai investasi dan pendidikan sebagai konsumsi. Pendidikan dikatakan sebagai investasi karena melalui pendidikan, seorang memperoleh kompetensi yang digunakan sebagai modal untuk meningkatkan penghasilan di masa yang akan datang. Biaya pendidikan merupakan investasi yang akan menghasilkan keuntungan secara ekonomi dan nonekonomi dengan tingkat yang lebih tinggi dibandingkan perolehan dari bunga bank. Ini konsep dasar perhitungan ekonominya...Pendidikan dikatakan juga sebagai konsumsi. Karena melalui pendidikan, seseorang bukan sekadar memperoleh kompetensi untuk modal kerja, tapi juga untuk mendapatkan kepuasan waktu memenuhi mata pendidikan, kemudian kebanggaan selama mengikuti pendidikan (Ibrahim Musa, Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 19).
Teori Wacana Kuasa/Pengetahuan oleh Foucault menekankan bahwa pengetahuan menghasilkan kekuasaan. Kutipan di atas tentang pembiayaan pendidikan menjelaskan dan menegaskan bagaimana peran ilmuan/intelektual mendefinisikan “kebenaran” tentang pendidikan sebagai investasi berdasarkan pengetahuan dan rasionalisasi “objek” pengetahuan. Bagaimanapun, kegiatan investasi tidak terpisahkan dari kapitalisme yang berorientasi keuntungan ekonomis. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, ilmuan berkuasa untuk menyatakan sesuatu itu benar atau tidak. Intelektual sebagai bagian dari struktur kekuasaan negara berperan merasionalisasi dan melegitimasi eksistensi satuan PBI dalam sistem pendidikan nasional. Secara politik, pendidikan sebagai investasi juga didukung
108
oleh PP No. 19 Tahun 2005 pasal 62 ayat (1) menyatakan bahwa pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Dalam konteks pemikiran Foucault tentang kuasa/pengetahuan, pengertian pendidikan sebagai investasi memberikan rasionalisasi tentang mahalnya pendidikan berkualitas standar, bahwa pendidikan membutuhkan modal ekonomi dalam membangun masa depan siswa (masyarakat) yang lebih baik dan sejahtera pada era globalisasi. Dalam hal ini, pendidikan menjadi “hak eksklusif” kelompok atau anggota masyarakat kelas ekonomi menengah. Pendidikan (sekolah) mahal dalam bentuk atau desain RSBI dapat memarginalisasi anggota masyarakat dari kalangan
ekonomi
bawah,
menutup
peluang
mereka
untuk
mengubah
kehidupannya menjadi lebih baik melalui pendidikan. Dalam konteks pendidikan sebagai tanggung jawab negara untuk mencerdaskan bangsa, negara seharusnya bertanggungjawab untuk menjamin tersedianya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa “pandang bulu”. Pendidikan yang merupakan hak dasar warga negara berdasarkan UU berperan strategis dalam membangun karakter bangsa dan setiap warga negara. Hal ini secara tegas termaktub dalam UU Sisdiknas 2003 pasal 41 ayat (3): “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.“ Dengan rasionalisasi bahwa pendidikan merupakan investasi untuk pendidikan berkualitas dan negara memfasilitasi RSBI untuk menggali dana dari
109
masyarakat membuat dunia pendidikan terjerumus kedalam liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Proses komersialisasi pendidikan terjadi dalam pengertian biaya pendidikan disesuaikan dengan strata pendidikan (reguler, RSBI, atau “ standar internasional”) dan daya beli masyarakat. Status ekonomi menjadi sebuah “mekanisme seleksi” untuk mengakses pendidikan berkualitas. Ironisnya, biaya pendidikan justru semakin mahal setelah anggaran pendidikan ditanggung oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dalam konteks UU Otonomi Daerah, dan di tengah Negara melalui konstitusi telah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Menurut laporan “Tinjauan Belanja Publik di Sektor Pendidikan” (Education Public Expenditure Review) oleh Bank Dunia bersama Pemerintah Belanda dan Uni Eropa di Jakarta, Kamis 14 Maret 2013, terungkap bahwa anggaran pendidikan 20 % dari APBN tidak efektif meningkatkan kualitas pendidikan nasional karena anggaran tersebut lebih banyak dialokasikan untuk membayar gaji guru dan tunjangan sertifikasi guru. Proses sertifikasi guru yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas guru, menurut speasialis Pendidikan Bank Dunia untuk Indonesia, Mae Chu Chang, ternyata tidak juga mampu meningkatkan kualitas pendidikan dan prestasi belajar siswa (Kompas, Jumat 15 Maret 2013, hlm. 12). Kompleksitas permasalahan pendidikan dan kecenderungan terjadinya komersialisasi dan komodifikasi pendidikan telah menuai banyak kritik dan keprihatinan
dari
berbagai
kalangan
masyarakat.
Bahkan
ada
yang
110
mengindikasikan bahwa kebijakan pendidikan yang “salah” sekarang ini tidak terlepas dari kebijakan Kemdikbud. Perwakilan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (Lampiran 3, Gambar 7), misalnya, yang bergiat dalam advokasi masyarakat dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengkritisi kebijakan pendidikan nasional yang tidak berpihak pada masyarakat dan meminta pemerintah untuk menghentikan komersialisasi dan kapitalisasi dalam pendidikan (http://www.rmol.co/read/2013/04/29/108294/1/KOMERSIALISASIPENDIDIKAN-NASIONAL). Dalam konteks pendidikan kritis, hubungan status sosial ekonomi masyarakat dan akses pendidikan seperti RSBI menegaskan bahwa “orang miskin” sulit mendapatkan pendidikan bermutu. Padahal, sesuai konstitusi, Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas 2003: “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu...”
Namun, faktor
pendidikan yang diharapkan dapat mengubah status sosial ekonomi mereka menjadi warga negara sejahtera menjadi sirna. Dengan demikian, terjadi paradoks dalam satuan PBI bahwa orang “miskin” (ekonomi) dan kurang “pintar” (akademik) menjadi tetap marginal karena untuk mengubah nasibnya justru dihadapkan pada kenyataan apakah dia memiliki modal atau tidak, yang miskin tetap miskin dan yang kaya semakin kaya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Michael (1978) bahwa sekolah menjadi sarana reproduksi ketidakadilan sosial dalam pendidikan modern yang bersifat kapitalistik.
111
Di satu sisi, kesempatan untuk mengakses pendidikan bermutu yang dijamin oleh undang-undang merupakan peluang untuk mendapatkan modal bagi masyarakat miskin sebagai warga negara. Di sisi lain, warga negara miskin dan masyarakat pada umumnya sulit masuk ke sekolah RSBI karena realitasnya sebagai sekolah mahal. Dengan mengacu pada pemikiran Bourdieu (Jenkins, 2004: 156-157), tentang kekerasan simbolik, dalam ranah pendidikan terjadi kekerasan ekonomi sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak adil bagi warganya. Masyarakat dengan ekonomi lemah semakin terpinggirkan dari arus pendidikan bermutu. Padahal, pendidikan sejatinya difungsikan oleh negara untuk mengurangi kesenjangan sosial ekonomi masyarakat dengan desain sekolah yang menjamin akses pendidikan bermutu bagi setiap warga negara. Pendidikan itu sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari perspektif ekonomi, pendidikan dapat meningkatkan modal dan produktivitas tenaga kerja melalui pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya. Secara teoretis dan praktis pelaksanaan PBI atas nama Undangundang dan didukung oleh para intelektual dengan legitimasi ilmu pengetahuan justru semakin memarginalkan
masyarakat ekonomi lemah dalam mengakses
pendidikan. Pendidikan bermutu menjadi pendidikan kapitalistik. Dalam hal inilah, secara ideologis, negara merekayasa kesadaran masyarakat dan pelaku pendidikan untuk mendukung kekuasaan negara melalui peran para intelektual dalam birokrasi dan lembaga pendidikan sebagai sarana hegemoni di tengah masyarakat Indonesia kontemporer (Takwin, 2009: 74).
112
Dari perspektif ideologi liberal, pendidikan dilihat hanya masalah ekonomi dan kompetensi bukan dalam konteks humanistik dan integratif. Dengan argumentasi ilmiah Ibrahim Musa, misalnya, sebagai representasi pemerintah, menyimpulkan bahwa biaya penyelenggaraan RSBI masih dalam kerangka struktur biaya pendidikan berdasarkan SNP. Ia bahkan menyatakan bahwa tidak ada liberalisasi pendidikan pada SBI dengan alasan normatif dalam UU bahwa “pemerintah dan pemerintah daerah, membiayai pendidikan sesuai dana yang tersedia dan masyarakat membantu dalam pendanaan sesuai keinginan mereka akan mutu layanan pendidikan yang bertaraf internasional”. Padahal, fakta di lapangan, menurut seorang narasumber bahwa pembiayaan pendidikan RSBI lebih banyak menyedot dana dari masyarakat dan peran pemerintah daerah belum maksimal sebagaimana diharapkan (Wawancara dengan Supanto, Senin 11 Juni 2012). Pembiayaan pendidikan RSBI menjadi kapitalistik, diskriminatif dan kurang demokratis. Akibatnya, misalnya, yang kaya dan memiliki talenta “istimewa” mendapat “perlakuan istimewa” atas pendidikan bermutu sebagaimana dapat dipahami melalui konsep dan kenyataan empiris tentang RSBI. Dalam hal ini, globalisasi dengan ideologi liberalisme dan kapitalismenya harus dilihat secara kritis dalam memajukan pendidikan nasional. Selain itu, OECD sebagai organisasi ekonomi, berfokus pada “pendidikan demi pekerjaan” sesuai dengan wacana globalisasi. Perspektif efisiensi ekonomi lebih dominan dan pendidikan dipandang lebih bersifat teknis (Darmin, 2011:262).
113
Konsep dan penyelenggaraan RSBI mengandung banyak permasalahan dalam sistem pendidikan nasional. Dengan menjadikan negara-negara maju OECD sebagai “benchmarking” kualitas pendidikan nasional maka logikanya proses pendidikan dibangun dengan prinsip-prinsip kapitalistik dan persaingan yang secara sosio-kultural tidak realistik bagi Indonesia dan tidak sesuai dengan konstitusi. Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam suatu acara simposium di Jakarta tahun 2011 menyatakan bahwa berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pemerintah, pendanaan RSBI sebagian besar memang ditanggung orangtua dan pemerintah pusat. Pendanaan dari pemerintah daerah justru tidak terjadi sebagaimana diharapkan. Sebagian besar siswa RSBI berasal dari kalangan kaya karena biaya masuk RSBI relatif mahal yaitu berkisar Rp 15 juta dan uang sekolah sekitar 450. 000,- per bulan, sedangkan alokasi 20 persen untuk siswa miskin melalui beasiswa juga tidak dipenuhi RSBI (Kompas, Kamis 10 Maret 2011, hlm. 12). Secara ekonomis, sebagaimana diakui oleh beberapa narasumber dari dua sekolah yang diteliti, strategi pengembangan SBI sangat mahal dan menambah beban pengelolaan sekolah. Pembiayaan yang mahal tersebut terkait dengan berbagai program “ambisius”, antara lain, program kerjasama internasional, pelaksanaan sertifikasi sistem manajemen mutu (ISO), program bench marking internasional dengan sekolah mitra (OECD), pengadaan sarana dan prasarana modern (TIK), dan penguatan kualitas SDM (Guru, Kepala Sekolah) dengan program kualifikasi S2 dari universitas berakreditasi A.
114
Salah satu ciri inovatif pendidikan modern di berbagai belahan dunia adalah penggunaan berbagai produk teknologi canggih yang dianggap dapat membuat proses pembelajaran lebih efektif dan kreatif. Pemanfaatan TIK di bidang pendidikan di Indonesia sebenarnya telah mulai disosialisasikan sejak tahun 1980-an
dalam rangka meningkatkan “computer literacy” dan hal ini
dipertegas lagi dalam kurikulum 2004 melalui mata pelajaran
TIK. Dalam
pandangan pendidikan modern, faktor-faktor yang menjamin keberhasilan pendidikan dalam arti proses belajar untuk menghasilkan keluaran yang baik adalah SDM dan sarana dan prasarana yang memadai (Sumber: Panduan Penetrasi dan Integrasi ICT/Telematika untuk Sekolah Menengah Atas, 2005:1). Hal ini didukung lagi melalui UU sebagaimana tergambar dari kutipan berikut. Untuk menyediakan layanan pendidikan yang bermutu sebagai prestasi ataupun konsumsi, diperlukan dukungan sumber daya pendidikan yang memenuhi persyaratan standar nasional pendidikan seperti dinyatakan … dalam Undang-Undang Tahun 2003 Pasal 35. Yang merupakan jaminan agar dapat terjadi proses pembelajaran yang efektif, produktif, menyenangkan, dan memberdayakan peserta didik (Putusan MK tentang RSBI, hlm.137). Dalam konteks PBI, Suyanto, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemdikbud, menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang pesat dewasa ini telah memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan termasuk desain pendidikan Indonesia dalam skala global. Menurut Suyanto dalam era informasi dan komunikasi, manajemen produksi dan sumber daya manusia bertumpu pada teknologi digital dan networking dengan orientasi global. Hal ini menuntut pergeseran prioritas dan diversifikasi sasaran
115
program pendidikan dengan pendekatan inovatif dan kreatif yang memungkinkan Indonesia dapat berperan aktif dalam percaturan global (Suyanto, Risalah Sidang MK, Selasa, 6 Maret 2012, hlm.3-4). Menurut Indra Djati Sidhi, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi dan salah seorang pendukung keberadaan RSBI, salah satu makna dari RSBI adalah membangun sekolah nasional plus, yaitu sekolah-sekolah dengan kurikulum nasional yang diberi muatan plus, seperti TIK, desain, komunikasi visual, dan bahasa Inggris. Proses pembelajaran berbasis TIK dipandang sebagai “jaminan” untuk mencapai sukses dalam pembelajaran. Paradigma ilmu pengajaran yang berpusat pada guru berubah ke pembelajar dengan dukungan sarana dan prasarana seperti komputer, fasilitas internet, dan berbagai perangkat multimedia lainnya. Kesuksesan pembelajaran dilihat dari bagaimana guru memfasilitasi proses pembelajaran dengan berbagai perangkat multimedia untuk menghasilkan standar lulusan yang diharapkan. TIK merupakan pemicu dari terjadinya transformasi kehidupan bermasyarakat yang lebih efektif dan efisien. Dipergunakannya TIK dalam proses pembelajaran (e-education), pemerintahan (e-government), bisnis (ebusiness), dan lain-lain adalah bukti bagaimana teknologi mampu mengubah pola tindak individu dan komunitas dalam berbagai aktivitas kegiatan seharihari. TIK merupakan pendorong terciptanya daya saing yang signifikan bagi sebuah negara dalam konteks globalisasi…Semakin tinggi daya saing sebuah negara, semakin mudah yang bersangkutan meningkatkan devisa dan pendapatan nasionalnya (Sumber: Profil dan Panduan Pelaksanaan Program ICT Pura, 2011: 14-15). Kutipan di atas sangat jelas menunjukkan hubungan antara globalisasi dan reformasi pendidikan yang diorientasikan pada daya saing ekonomi dan devisa
116
negara dan pemanfaatan TIK untuk efektifitas dan efisiensi. Dalam memajukan pendidikan, pemanfaatan TIK selaras dengan paradigma proses pembelajaran yang lebih menekankan “barang” (peralatan teknis) dibanding “manusia” dalam arti berkurangnya “peran” guru dalam interaksi belajar. Penggunaan proses pembelajaran berbasis TIK di sekolah RSBI merupakan sebuah penegasan dan proses pendisplinan para agen pendidikan sebagai “driver” dalam era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan lalu lintas sumber daya ekonomi. Perkembangan TIK juga meningkatkan mobilitas manusia dan informasi yang membuat batas-batas sistem (pendidikan) suatu negara menjadi “cair” sebagai akibat dari intensitas hubungan internasional. Menurut Slamet, penyelenggaraan RSBI/SBI sejak awal direncanakan untuk menyiapkan SDM menghadapi era globalisasi dan mampu bekerjasama dan bersaing dengan negara-negara lain. Selanjutnya Slamet menyatakan bahwa SBI itu diadakan selain untuk menghemat devisa juga untuk mencegah ―capital flight‖ ke luar negeri. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia terkait dengan mutu dan produk pendidikan. SBI dikembangkan berangkat dari kondisi dan kepentingan nasional, mengembangkan keunggulan lokal, dan berdasarkan pilarpilar Indonesia yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD), NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya, dalam sebuah wawancara (25 Agustus 2012) menurut Slamet, harus diakui bahwa dalam implementasi PBI masih ada banyak masalah baik dari segi SDM birokrasi maupun aspek lainnya yang terkait dengan pengelolaan dan
117
penyelenggaraannya. Bahkan, berdasarkan studi kasus yang dilakukannya sendiri ada sekolah yang mengutip biaya pendidikan yang cukup besar dari orangtua siswa tetapi peruntukannya bukan untuk kegiatan belajar mengajar. Menurut Slamet, diperlukan pengendalian dari pihak yang berwewenang agar dana yang dihimpun dari masyarakat dan bentuk pengeluaran sekolah lainnya lebih diarahkan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang benar-benar meningkatkan kualitas pendidikan sebagaimana diharapkan. Paradoksnya lagi dalam pendidikan Indonesia, khususnya satuan pendidikan bertaraf internasional, ini bisa membuat orang jadi tidak berdaya. Untuk bisa pintar sekolah ... di sekolah yang baik, saya harus punya modal, padahal modal itu yang saya enggak punya. Kami sekolah untuk mendapat modal, dapat penghasilan lebih bagus, kok harus punya modal dulu, lingkaran setan. (Bagus Takwin, Risalah Sidang, Rabu 2 Mei 2012, hlm.17). Secara ekstrim, pandangan masyarakat tentang RSBI adalah bahwa model sekolah ini telah terjebak ke dalam komodifikasi pendidikan yang berdampak pada masalah terpinggirnya akses pendidikan bagi sebagian masyarakat ekonomi lemah. Pendidikan bermutu kemudian hanya dinikmati secara eksklusif oleh mereka yang mampu membayar biaya pendidikan yang lebih mahal sehingga layanan pendidikan menjadi diskriminatif. Hal ini diperkuat oleh penjelasan seorang guru sebagai berikut. Ini masih di kelas internasional, ini fasilitas lain. Locker, mereka punya lemari kayu dan mereka masih punya apa itu ... lemari besi, ya. Seperti itu dan mereka pun disediakan printer, ini tidak ada di kelas RSBI, ini hanya ada di kelas internasional. Karena di kelas internasional … itu satu tahun anak membayar Rp. 31.000.000,00, tapi itu sudah yang termurah karena kalau yang termahal di Jakarta itu ada Rp. 45.000.000,00, ... pokoknya betul-betul memang ada barang, ada harga, ya... (Retno L, Risalah. Sidang MK, Selasa, 20 Maret 2012, hlm.24).
118
Penjelasan di atas sekaligus menunjukkan bagaimana pendidikan telah terperosok ke dalam kapitalisme dan materialisme. Mereka yang membayar lebih tinggi nilainya mendapatkan layanan pendidikan yang lebih baik. Biaya tinggi pendidikan akibat kapitalisasi pendidikan menghasilkan “kebutuhan palsu” seperti locker dan lemari besi yang tidak signifikan berkontribusi pada peningkatan kualitas
pembelajaran.
Akses
masyarakat
terhadap
pendidikan
menjadi
terstratifikasi sehingga kelompok masyarakat tertentu terpinggirkan. Situasi ini menguatkan prinsip dagang yang sudah populer di masyarakat: “ada uang, ada barang” atau “jenis sekolah yang anda pilih menunjukkan isi kantung anda”. Situasi ini mempersempit peluang masyarakat miskin untuk mengubah “nasibnya” melalui pendidikan akibat dari orientasi kebijakan pendidikan yang “pro-pasar” dan konsumtif. The rise of market-oriented policy is a major obstacle to democratic economic development. By reducing explicit social regulation of private economic activity and ‗leaving things to the market‘, neo-liberalism prevents the implementaion of programmes that would allow people to exercise political control over their economic affairs, involve people in solving their own economic problems, and serve the material needs of the great majority (MacEwan, 1999:5) Bentuk ketidakadilan lainnya akibat kebijakan PBI bagi guru-guru adalah terbukanya peluang bagi guru asing untuk mengajar di Indonesia sebagai implikasi dari Undang-undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 yang memberi legitimasi bagi masuknya investasi asing dalam sektor pendidikan melalui rumusan pasal 64 dan 65 berikut.
119
Pasal 64 Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia. pasal 65 (1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga negara Indonesia. (3) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola warga negara Indonesia. (4) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Dengan semangat yang sama, pengelola RSBI berdasarkan Undang-undang juga diberikan hak untuk mempekerjakan tenaga asing sebagai pendidik dengan ketentuan paling banyak 30% dari jumlah pendidik yang ada. Fakta empiris menunjukkan bahwa beberapa sekolah, termasuk SMA Negeri 78 Jakarta, juga mempekerjakan tenaga asing dengan label “native speaker” khususnya untuk guru bahasa Inggris. Dalam hal ini kebijakan PBI dalam pendidikan menengah dengan rasionalisasi untuk menghasilkan manusia yang siap bersaing di arena internasional telah memproduksi ketidakadilan struktural dalam hal kesempatan
120
kerja bagi sebagian warganya. Secara khusus, ketidakadilan bagi guru tergambar dari penjelasan seorang pengamat pendidikan berikut ini. undangan untuk guru asing itu sendiri merampas hak untuk bekerja yang seharusnya dimiliki oleh warga Indonesia. Kedua, tidak mungkin tercipta keadilan di dalam SBI karena guru dari warga asing jelas akan dibayar 10 kali lipat dari guru warga negara Indonesia (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa, 24 April 2012, hlm.25). Kutipan di atas menjelaskan implikasi dari liberalisasi pendidikan nasional melalui Undang-undang dan implementasi PBI melalui RSBI. Perkembangan globalisasi yang cenderung memaksakan “ideologi standarisasi” dalam pendidikan menengah umum telah menyingkirkan sebagian guru dan hal ini berpotensi meminggirkan sumber daya pendidikan yang lebih besar karena mereka kalah bersaing dengan tenaga asing. “Ya kita di sekolah ini memang menggunakan ada tenaga asing ya yang kita harapkan bahasa Inggrisnya sebagai native speaker karena guru-guru kita terus terang masih perlu ditingkatkan kemampuannya…” (Wawancara dengan Ridnan, Rabu 21 Maret 2012). Dalam hal ini, pandangan ideologi liberal cenderung mengabaikan ketidaksetaraan atau ketidakadilan dalam masyarakat karena ideologi liberal berangkat dari keyakinan bahwa antara pendidikan dan politik atau ekonomi tidak berhubungan (Haralambos & Hoborn, 2000:781; O‟Neil, 1961:68 dalam Soeharto, 2009:145).
121
5.3 Pencitraan Kualitas Internasional Perkembangan pendidikan nasional yang kapitalistik tidak terlepas dari wacana pendidikan modern yang ditopang oleh Undang-undang yang berorientasi pada globalisme dan neoliberalisme. Dalam hal ini, liberalisasi ekonomi telah merambat ke dalam liberalisasi pendidikan. Filosofi pendidikan nasional yang seharusnya berorientasi pada “subjek” manusia sebagai agen perubahan justru pada kenyataannya bergeser pada “objek” barang. Proses pembelajaran yang baik dilihat dari indikator-indikator materil seperti penggunaan sarana prasarana yang cenderung berbiaya tinggi. Hal ini sesuai dengan semangat “materialistik” yang terkandung dalam UU Sisdiknas No. 20 /2003 tentang Sisdiknas pasal 1 ayat (1): Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara Rumusan pasal di atas lebih menonjolkan suasana belajar atau “kondisi belajar” daripada “tujuan belajar” (tujuan pendidikan), lebih mengutamakan bentuk daripada substansi yang kemudian membentuk pencitraan pendidikan yang baik. Hal ini diperkuat oleh pandangan guru-guru dan siswa tentang keunggulan RSBI dibanding sekolah-sekolah reguler. Mereka menyatakan bahwa “sekolahnya nyaman untuk belajar, ruang AC, dan memiliki fasilitas multimedia dan pembelajaran berbasis TIK”. Dengan kata lain, ada kesejajaran antara penekanan rumusan tujuan dalam pasal di atas dan persepsi dan “pengalaman” siswa dan guru tentang pendidikan yang bermutu. Dalam hal ini, pada level sistem nilai ada
122
koherensi antara amanat UU Sisdiknas yang dikemukakan di atas dan orientasi anak didik tentang pembelajaran yang baik. Keadaan demikian juga dapat tergambar dari kutipan berikut. …Pendidikan kemudian dikemas sebagai sebuah komoditi untuk dikonsumsi Pendidikan kemudian berkembang menjadi sebuah institusi yang mencari nilai tukar (exchnge value), lewat penciptaan berbagai citra (image) dalam rangka memperoleh nilai keuntungan (profit). Pendidikan kemudian dimuati dengan tanda-tanda (sign) sebagai upaya menciptakan nilai tukar tersebut. Citra-citra seperti gedung-gedung yang nyaman, lokasi yang strategis, peralatan dan laboratorium yang modern, jaringan yang bersifat global digunakan sebagai nilai jual (nilai tukar) dari institusi yang bersangkutan (Piliang, 2004:364). Kutipan diatas menegaskan bahwa pencitraan adalah terkait dengan sesuatu yang dapat dipahami melalui persepsi namun tidak memiliki eksistensi secara substansial. Dalam konteks budaya posmodern, masyarakat pendidikan tidak dihadapkan sepenuhnya pada realitas yang sebenarnya tetapi pada simulasi. Dalam konteks ini, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam suatu acara simposium di Jakarta tahun 2011 tentang RSBI menyadarinya dengan menyatakan: ternyata sekolah bertaraf internasional tidak sederhana. Ini perjalanan panjang yang wajahnya sampai sekarang belum jelas. Karena itu kami belum berani menyebut sekolah bertaraf internasional (SBI), tetapi masih rintisan SBI Untuk itu, pemerintah menahan dulu pemberian izin baru RSBI (Kompas, Kamis 10 Maret 2011, hlm. 12). Menurut Djokopranoto, dengan mengacu pada rumusan pasal pasal 1 ayat (1) UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, pengertian pendidikan yang dianut oleh pengambil keputusan puncak, baik eksekutif maupun legislatif, adalah berdasarkan pengertian pendidikan yang rancu dan keliru. Selanjutnya, Djokopranoto
123
berargumentasi bahwa berdasarkan pengertian rumusan pasal di atas, pendidikan dapat dicapai dengan sekedar mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Proses pendidikan direduksi menjadi sekedar pembelajaran. Hal ini dipandang bermasalah dari segi etika pendidikan (Djokopranoto, 2011:16-17). Orientasi sistem pendidikan nasional untuk mengadopsi atau mengadaptasi kurikulum internasional kurang realistik dan menjadi anomali pendidikan nasional karena standar pendidikan nasional masih memerlukan kajian lebih dalam. Ketika seorang narasumber ditanya apakah sekolah RSBI dengan delapan komponen SNP plus pengayaannya itu berarti bahwa lulusan sekolah-sekolah nasional dengan SNP itu tidak mampu bersaing secara internasional, Prof Slamet yang diwawancarai Sabtu 25 Agustus 2012 di Yogjakarta dengan tegas justru menyatakan: ...nah, ini masalahnya karena ketika SNP itu dirumuskan mungkin belum ada kajian atau benchmarkingnya. Memang ada banyak hal yang masih harus dikritisi tentang RSBI ini (Wawancara Sabtu 25 Agustus 2012). Kebijakan dan berbagai konsep terkait dengan RSBI/SBI banyak didasarkan pada asumsi-asumsi tanpa didahului kajian fakta di lapangan, misalnya kesiapan pendidik dan tenaga kependidikan dalam proses pembelajaran dengan bahasa Inggris dan penggunaan sarana dan prasarana pendidikan. Ketentuan lainnya, misalnya, persentasi guru dengan 20 % berkualifikasi S2 dari perguruan tinggi dengan program studi yang berkreditasi A serta berbagai ketentuan lainnya yang tidak realistik untuk dipenuhi oleh sekolah-sekolah pada umumnya. Dalam hal inilah muncul kritik masyarakat tentang keberadaan satuan PBI sebagai
124
pengingkaran terhadap kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa karena sebagian besar sekolah yang ada masih jauh dari keadaan SNP, sementara ada sebagian kecil sekolah (RSBI) didesain menuju SBI dengan perlakuan khusus dari negara. Negara semestinya menjamin keadilan bagi setiap warganya, khususnya melalui akses pendidikan yang memang sangat strategis bagi pembangunan bangsa. Prof Slamet lebih lanjut menyatakan: Sekolah-sekolah yang telah dinyatakan sebagai RSBI harus melakukan upayaupaya yang … untuk melampaui SNP dan mencari pengayaan yang dilakukan melalui strategi patok duga atau benchmarking dengan sekolah-sekolah unggul atau sekolah-sekolah favorit baik dari dalam maupun luar negeri... (Risalah Sidang MK, Rabu 11 April 2012, hlm.7). Berbeda dari pemikiran di atas, Darmaningtyas, pengamat pendidikan, menyatakan bahwa kebijakan RSBI dalam berbagai program dan kegiatannya justru tidak mencerdaskan karena dalam konsep dan implementasinya mengurangi substansi pendidikan sebagai upaya pencerdasan bangsa. Dengan merujuk pada beberapa ketentuan dan penyelenggaraan RSBI, Darmaningtyas mengemukakan: ...Tujuan RSBI atau SBI yang hanya diarahkan untuk meningkatkan daya saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu, dan bentuk penghargaan … internasional lainnya. Ini sungguh mereduksi makna konstitusi negara yang mengamanatkan pencerdasan bangsa karena tugas pencerdasan jauh lebih tinggi daripada sekedar mengumpulkan piala atau medali. Bila sekedar untuk mendapatkan medali, tidak perlu membentuk RSBI atau SBI, tapi cukup membuat program yang seperti yang dilakukan oleh Prof. Yohanes Surya yang sudah terbukti mampu mengantarkan putera-puteri Indonesia memperoleh medali perunggu hingga emas di tingkat internasional...(Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 23). Menurut Henk Oonk (2011: 3-5) istilah pendidikan internasional dan sekolah international dalam bidang pendidikan secara umum belum digunakan
125
secara meluas dan terdefinisikan secara ketat, dalam arti bahwa belum ada definisi atau konsep tunggal tentang pendidikan internasional atau sekolah internasional. Sejarah pendidikan internasional sebagai bidang kajian formal dalam pendidikan juga dapat dikatakan masih relatif baru, sedangkan istilah ”sekolah internasional” telah mengalami perkembangan cepat selama empat dekade terakhir dan relatif masih menarik bagi para peneliti di bidang pendidikan (Oonk, 2011: 3-5). Konsep pendidikan internasional telah banyak digunakan dalam wacana pendidikan, namun istilah ini memiliki interpretasi yang beragam di kalangan para ilmuan dan praktisi pendidikan.
Pendidikan internasional menyangkut suatu
proses sedangkan sekolah internasional adalah tentang lembaga. Kedua istilah ini dalam perkembangannya mengandung konsep yang belum matang, dalam arti keduanya belum terdefinisikan secara matang baik pada lingkup wacana pendidikan maupun sosial. Barangkali, itulah salah satu sebabnya penggunaan kata ”internasional” dalam RSBI tidak hanya menimbulkan permasalahan konseptual tetapi dalam praktiknya mendapat banyak kritik dari masyarakat pemerhati pendidikan. Indra Djati Sidhi, seorang intelektual pendukung sekolah RSBI/SBI dalam sistem pendidikan nasional menyatakan: Penggunaan kata “internasional” bukan dimaksudkan untuk menghilangkan budaya bangsa atau karena kita tidak percaya diri atau ikut-ikutan kurikulum negara lain, melainkan untuk mengingatkan kita bahwa mutu pendidikan yang diberikan haruslah mampu memberikan kompetensi yang mencerdaskan peserta didik sekaligus dapat bersaing dengan mutu pendidikan negara mana pun tanpa menghilangkan jati diri bangsa (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu 11 April 2012, hlm. 16).
126
Permasalahan RSBI di lapangan tidak sesederhana yang digambarkan di atas. Pandangan di atas hanya mewakili banyak pendapat baik di kalangan pengambil kebijakan maupun pakar pendidikan. Secara konseptual, makna “internasional” dalam konteks RSBI diterjemahkan ke dalam beberapa aspek atau komponen standar pendidikan seperti kualifikasi akademik guru dan staf administrasi, standar kompetensi lulusan, kurikulum, proses pembelajaran yang berbasis TIK yang mengacu pada negara maju serta berbagai kegiatan non akademik yang bersifat internasional. Pada level implementasi, makna “bertaraf internasional” jauh lebih kompleks karena sudah melibatkan aspek budaya, ekonomi dan politik. Pada level budaya, berbagai hal yang bersifat internasional memiliki daya tarik dan gengsi tersendiri, sebagaimana dapat dipahami melalui penjelasan berikut. Saya dua minggu yang lalu jalan-jalan di Sidoarjo ada plakat besar sekali. Telah dibuka sekolah la, la, la, dengan menggunakan kurikulum Cambridge, saya pikir ini apa ya. Perlu kita ingat bahwa internasional adalah kualitas bukan status. Internasional adalah kualitas. Dulu walaupun tidak bersekolah dengan sekolah berstatus internasional banyak kita yang bisa berperan secara internasional (Itje K, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012. hlm.27). Ironisnya, secara konsep dan implementasi, target non akademik berupa capaian kemenangan dalam lomba-lomba internasional dipandang sebagai salah satu indikator keberhasilan PBI. Dalam hal ini, pendidikan menjadi terperosok pada pencitraan “gengsi internasional” dan gengsi sosial bukan pada substansi dan karakter yang hendak dibangun melalui pendidikan. Salah satu tujuan RSBI/SBI adalah meningkatkan daya saing melalui kriteria perolehan medali emas, perak,
127
perunggu,
dan
bentuk-bentuk
penghargaan
internasional
lainnya
(lihat
Permendiknas No. 78/2009 pasal.2). Perolehan berbagai medali melalui perlombaan internasional dan nasional menjadi indikator sekaligus memberikan citra sekolah bermutu. Sekolah menjadi ruang sosial untuk meningkatkan gengsi melalui berbagai “produk pendidikan” (lihat Gambar 2). Musni Umar, selaku saksi pemohon Pengujian pasal 50 ayat (3) UndangUndang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pada sidang MK menyatakan sebagai berikut. Menggunakan nama RSBI dan SBI pada sekolah-sekolah pemerintah telah menyesatkan masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa RSBI tidak berkorelasi dengan peningkatan kualitas di sekolah. Kalau barometer untuk mengukur berkualitas tidaknya sekolah, dari Ujian Nasional dan ujian seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri, maka SMA Negeri berlabel RSBI belum terbukti lebih berkualitas dibanding sekolah non-RSBI (Risalah Sidang MK, Selasa, 15 Mei 2012, hlm.18).
Kutipan di atas sesuai dengan realitas lapangan yang ditemukan di SMA Negeri 2 Bandarlampung bahwa sekalipun sekolah ini berstatus RSBI namun secara administratif sekolah ini memilih untuk tidak menggunakan label tersebut. Sekolah ini, menurut Wakil Kepala Sekolah, lebih fokus pada usaha penguatan kualitas pembelajaran karena sekolah ini pada dasarnya telah dikenal masyarakat sebagai sekolah “bermutu” dan favorit di Bandarlampung sehingga tidak dirasakan perlu menonjolkan label RSBI. Pihak manajemen sekolah menyadari bahwa “standar internasional” yang dipersyaratkan atau diharapkan oleh Kemdikbud masih jauh dari realitas objektif sekolah tersebut, khususnya dalam hal standar
128
proses pembelajaran dan kualitas atau kualifikasi tenaga kependidikan dan SDMnya secara umum, namun diakui bahwa citra “internasional” yang melekat pada sekolah ini tetap membawa kebanggaan tersendiri bagi warga sekolah (Wawancara dengan Wakasek, guru, dan siswa, Agustus 2012). Selain itu guru dan anak didik juga telah terhegemoni dengan label-label yang berasosiasi dengan “internasional” dan simbol-simbol modern seperti sertifikat manajemen ISO yang mengukur kualitas pelayanan sekolah seperti pelayanan sebuah perusahaan, yang secara signifikan juga berkontribusi terhadap tingginya biaya pendidikan. Hal ini dapat dipahami melalui penjelasan seorang narasumber, Supanto, dalam kutipan berikut. Semua ruangan AC…sebelum RSBI tidak ada AC. Biaya listrik saja minimal 15 juta perbulan. Dengan RSBI itu anak-anak juga betah belajar, senang dan bangga. Guru-guru setiap tahun kita kirim ke SEAMOLEC (Southeast Asian Ministers of Education Regional Open Learning Centre, pen) Singapura, Malaysia…kita tidak mudah untuk menembus ke sana kita juga sudah mendapatkan ISO 9001 versi 2008. Untuk kota Bandarlampung kami adalah salah satu dari dua SMA yang sudah meraih sertifikat ISO, dan kami kerja keras untuk mendapatkan standard ISO tersebut, guru memang kerja keras untuk peningkatan mutu…(Wawancara Senin 11 Juni 2012). Dalam kaitannya dengan kutipan di atas, Retno, guru SMA Negeri 13 Jakarta yang berstatus RSBI, menyatakan bahwa sekolah RSBI semakin mahal karena lebih mengutamakan kenyamanan belajar siswa dan biaya tersebut dipungut dari siswa (Kompas, Rabu 21 Maret 2012). Kholid, guru Fisika SMA Negeri 2 Bandarlampung, yang mulai mengajar di sekolah tersebut sejak 2010, menyatakan bawa pada dasarnya ia tidak memandang penting apakah suatu sekolah berlabel internasional atau tidak. Menurut Kholid
129
yang penting adalah kualitas proses pembelajaran dan lulusannya bisa mencapai standar kelulusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah berkualitas. Ia memandang bahwa label sekolah “bertaraf internasional” tidak penting apalagi secara objektif SDM dan fasilitas pendidikan di sekolah belum sepenuhnya mendukung sebagaimana diharapkan. Kalau saya lebih setuju ke mutu yang dibawahnya gitu…mutunya itu yang dikedepankan setara dengan sekolah internasional lainnya. Kalau masalah bahasanya boleh-boleh saja sih…bahasa Indonesia, yang penting kurikulumnya. Kalau saya…saya arahkan ke soal-sosal Olimpiade gitu… (Wawancara dengan Kholid, April 2013). Ketika ditanyakan pandangannya tentang relevansi penggunaan bahasa Inggris dalam mata pelajaran MIPA dan hubungannya dengan usaha memajukan kualitas pendidikan yang bertaraf internasional, Kholid, lebih jauh menjelaskan: Bahasa Inggris memang penting ya... Namun komunikasi pembelajaran itu tidak lancar. Kemampuan guru-guru secara umum tidak mendukung ya...Tidak penting kalau itu menggunakan bahasa Inggris. Anak-anak itu jadi susah menerimanya. Jadi untuk bahasa saya rasakan belum siap…bahasa Inggris itu penting…Kalau yang paling relevan dengan bahasa Inggris itu ya ketika mereka itu nanti ingin melanjut ke luar negeri termasuk untuk ikut Olimpiade karena soal-soal Olimpiade itu ya bahasa Inggris. Natalia, guru Matematika SMA Negeri 2 Bandarlampung yang telah mengajar sejak 2007 ketika sekolah ini mulai ditetapkan statusnya sebagai RSBI mengaku bahwa awalnya ia menggunakan bahasa Inggris dalam mengajar, khususnya pada awal pembukaan kelas. Namun dalam perkembangannya, ia menyadari bahwa penggunaan bahasa Inggris dapat mengganggu interaksi belajar yang kemudian berpengaruh pada pemahaman siswa terhadap pelajaran. Selengkapnya ia menjelaskan:
130
Ketika pertama kali saya mengajar di SBI pengantar saya ya dalam bahasa Inggris..kemudian saya campur-campur dengan bahasa Indonesia…karena anak-anak belum tentu sama (penguasaan bahasa Inggrisnya, pen.) kalau materi saya tetap tidak akan menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Inggris Matematik itu beda dengan bahasa sehari-hari. Kata “akar” misalnya dalam Matematik bukan “root” dalam bahasa Inggris…ya kita harus hati-hati kalau mengajarkan Matematika dengan bahasa Inggris…(Wawancara dengan Natalia, April 2013). Dalam konteks modal simbolik, bahasa Inggris juga menjadi bagian pertimbangan orangtua siswa ketika memilih sekolah bagi anaknya karena bahasa Inggris diasosiasikan dengan kualitas sekolah yang baik. Kemampuan bahasa Inggris juga berguna untuk membaca buku-buku pengetahuan dalam bahasa Inggris.
Faktor gengsi berbahasa Inggris merupakan simbol kemajuan dalam
wacana globalisasi (Wawancara orangtua siswa, Kh). Salah seorang narasumber yang diwawancarai menyatakan: ya memang sebagai orangtua, saya memilih sekolah yang berkualitas dan yang bisa mempersiapkan anak saya bisa bersaing jika ingin masuk ke perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri, …ya tapi dalam negeri pun misalnya kemampuan bahasa Inggris juga sangat penting….baik di sekolah dan juga ketika kerja nantinya…tetapi terus terang saya juga masih kecewa dengan sekolah RSBI tempat anak saya sekolah…(Wawancara dengan AD Maret 2012). Dari dua sekolah yang diteliti, SMA Negeri 78 Jakarta dan SMA Negeri 2 Bandarlampung, ditemukan adanya persamaan bahwa status RSBI selain membawa prestise bagi warga sekolah khususnya dalam kaitannya dengan persaingan antar-sekolah juga terdapat peningkatan atau perbaikan fasilitas sekolah berupa sarana-prasarana pembelajaran, meningkatnya motivasi para guru untuk memajukan kualitas pendidikan, meningkatnya prestasi siswa secara
131
akademik, partisipasi dan pemenangan olimpiade pada tingkat nasional, dan meningkatnya kesejahteraan guru dan pimpinan sekolah secara umum. Secara khusus, orientasi olimpiade dan perlombaan-perlombaan tingkat nasional dan internasional meningkatkan citra dan gengsi (distinction) sekolah sebagai sekolah bermutu. Implementasi RSBI adalah “kebohongan publik” atau pencitraan sebagai pendidikan bermutu internasional. Ada penilaian di masyarakat bahwa dengan berlabel internasional, maka sekolah RSBI dipandang sudah dapat bersaing secara internasional dan proses pembelajaran berlangsung sepenuhnya dalam bahasa Inggris sebagaimana diharapkan oleh masyarakat dan pemerintah (Wawancara dengan AD dan Khl, 8 Agustus 2012). Hal yang sama secara implisit juga diakui oleh seorang narasumber lain dengan menyatakan: Karena persiapannya yang kurang cermat, maka evaluasi dan perbaikannya … perbaikan penyelenggaraan SBI, RSBI, sporadis, tidak holistik, dan cenderung membuat sekolah menerjemahkan kata internasional dengan bahasa Inggris … (Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm.28). Padahal, apa yang dipromosikan sebagai ”bertaraf internasional” tidak sesuai dengan kenyataan dan harapan masyarakat. Idealisasi penggunaan bahasa Inggris di kelas sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak didukung oleh persiapan yang matang dan komponen tenaga pendidik yang memadai kualitasnya. Hal ini tergambar dari pernyataan seorang pelatih guruguru pada tingkat nasional, Itje Khodijah, seperti berikut. Karena bahasa Inggris menjadi icon di sekolah-sekolah SBI/RSBI, maka kemampuan guru dalam menggunakan bahasa Inggris untuk mengajar
132
terutama Matematika dan IPA menjadi penting. …Namun kenyataannya sampai saat ini kompetensi guru Bahasa Inggris sebagai tolok ukur kemampuan menggunakan bahasa Inggris bagi guru mata pelajaran lain masih pada kategori yang secara umum rendah (Risalah Sidang MK, Rabu, 2 Mei 2012, hlm. 24). Ada kesenjangan antara idealisasi RSBI sebagai sekolah bermutu dengan berbagai pencitraannya di masyarakat dan realitas objektifnya tentang kualitas dan kompetensi guru-guru bahasa Inggris. Realitas proses pembelajaran yang sebenarnya terjadi di sekolah menunjukkan bahwa bahasa Inggris tidak digunakan dalam arti yang sebenarnya, seperti di SMA Negeri 2 Bandarlampung. Pandangan Itje Khodijah yang dikemukakan di atas juga diperkuat oleh seorang narasumber penelitian ini, yaitu Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA Negeri 78 Jakarta dengan penjelasan sebagai berikut. secara objektif guru-guru di sekolah kita belum mampu untuk mengajar dalam bahasa Inggris…dulu kita pernah menggunakan tenaga pengajar dari luar, native speaker khusus untuk mata pelajaran MIPA. Kemudian tantangan lainnya adalah guru-guru kami yang ada di sekolah ini sudah banyak yang tua-tua yah 50-an tahun di atas 40 tahun usianya jadi...sudah susah belajar bahasa Inggris (Wawancara 8 Agustus 2012 dengan RW). Menurut persepsi informan, seorang guru SMA Negeri 78 Jakarta, salah satu ciri RSBI mestinya memiliki murid atau peminat dari berbagai kebangsaan/negara dan bersekolah di RSBI, namun kenyataan di lapangan tidak menunjukkan situasi demikian. Padahal, wacana yang berkembang dalam masyarakat dan semangat awal pendirian RSBI untuk menggunakan ”bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar” adalah untuk membuka peluang bagi warga negara asing dari dalam dan luar negeri untuk bersekolah di ”sekolah-sekolah
133
internasional” Indonesia, yang secara teoretis akan menguntungkan perekonomian nasional. Namun, implementasi RSBI dihadapkan pada situasi yang kompleks seperti realitas guru-guru yang belum berkualifikasi (S2) dan lemah dalam kompetensi bahasa Inggris. Hywel Coleman, konsultan di British Council dan staf pengajar di Universitas Leeds Inggris terkait bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di RSBI pernah menyatakan bahwa menyiapkan siswa berwawasan global seharusnya tidak diartikan secara sempit dengan menggunakan bahasa Inggris di sekolah. Menurut Coleman globalisasi tidak berarti bahwa siswa harus bisa bersaing dengan siswa lain dari negara lain. Selanjutnya ia menyatakan bahwa ”di dunia global, sekolah internasional justru harus menyiapkan diri sebagai mitra atau sahabat negara lain. Sekolah internasional harus diartikan sebagai upaya sekolah menyiapkan
siswa
untuk
bisa
hidup
bersama
dalam
perbedaan
dan
keanekaragaman” (Kompas, Kamis 10 Maret 2011, hlm.12). Pandangan Colemen ini lebih menekankan pentingnya “kerjasama” daripada “daya saing”. Dalam konteks nilai dan sosio-kultural Indonesia, kerjasama lebih memiliki pijakan filosofis dalam konsep “gotong royong”. Realitas lain tentang PBI adalah orientasi untuk mendapatkan standar pengelolaan bertaraf internasional seperti
ISO 9100 dan ISO 14001 sebagai
bagian dari pengayaan bagi komponen standar pengelolaan pendidikan. Yang menjadi permasalahan dengan standar ini, selain biaya tinggi yang harus dikeluarkan oleh sekolah untuk mendapatkannya juga tentang sejauh mana ia
134
berkontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan melalui proses pembelajaran di kelas dan di tengah realitas kualitas pendidik yang masih di bawah kualifikasi yang diharapkan. Logikanya, pengelolaan berdasarkan ISO tidak akan efektif jika tidak didukung oleh komponen sumber daya pendidikan dan komponen lainnya. Jaminan keberhasilan pendidikan tentu saja ditentukan secara integratif/holistik oleh berbagai komponen standar, terutama profesionalisme guru. berbicara proses mendidik anak, …tidak cukup dengan sekadar menunjukkan dokumen-dokumen saja bahwa ini sekolah sudah ter-ISO (Badan Standarisasi Internasional, pen), dan sebagainya, tetapi menyangkut bagaimana proses di dalam kelas ketika guru mengajar, itu yang menjadi utama yang meningkatkan kualitas (Itje K, Risalah Sidang, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 20-21). Pengamatan langsung yang dilakukan peneliti pada ”kelas internasional” dalam mata pelajaran Biologi di Kelas Internasional SMA 78 Jakarta menunjukkan suasana pembelajaran yang kurang interaktif, guru tampak mendominasi proses pembelajaran (Lampiran 3, Gambar 9). Seorang guru senior bahasa Inggris pada SMA Negeri 2 Bandarlampung sekaligus selaku koordinator guru-guru pengajar bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar berpendapat bahwa pembelajaran bahasa Inggris perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan tuntutan sosial dan dinamika pendidikan menghadapi era globalisasi, termasuk penguasaan bahasa Inggris sebagai respons terhadap tuntutan ekonomi dan budaya dan pekerjaan anak didik kelak setelah lulus. Namun, ketika ditanyakan tentang realitas implementasi bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolahnya, ia menyatakan:
135
bahasa Inggris dipakai sebagai bahasa pengantar saja….greetings, opening, dan closing kelas saja…kalau inti atau konsep ilmunya MIPA, Biologi disampaikan dalam bahasa Indonesia…supaya tidak salah... Jadi dalam mengajar kita tidak sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris...apa lagi menyangkut konsep-konsep...kita guru-guru menggunakan bahasa Indonesia...tetapi kita tetap memotivasi anak-anak bahwa bahasa Inggris itu penting untuk pendidikan dan karir mereka kelak (Wawancara dengan SS, Selasa 29 Mei 2012). Kutipan di atas menunjukkan bahwa bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar tidak hanya bermasalah secara konseptual tetapi juga pada level implementasi karena lemahnya kemampuan guru-guru dalam komunikasi akademik bahasa Inggris. Realitas tersebut menguatkan pandangan sebagian masyarakat tentang pencitraan RSBI sebagai sekolah ”bertaraf internasional” dengan menggunakan ikon bahasa Inggris. Hal ini didukung oleh realitas lapangan melalui penjelasan seorang siswa (Lampiran 3, Gambar 6) yang menyatakan bahwa yang berbahasa Inggris di kelas ketika mengajar hanya guru-guru bahasa Inggris. Selengkapnya Ia menyatakan: Yah yang kita alami selama ini guru-guru jarang menggunakan bahasa Inggris ketika mengajar. Tapi guru-guru bahasa Inggris memang lebih sering menggunakan bahasa Inggris di kelas tetapi tidak dengan guru-guru MIPA. ...Tetapi yang jelas bahasa Inggris sangat penting...Buku-buku dan internet dan pengetahuan lainnya banyak dalam bahasa Inggris (Wawancara dengan Amelia, 2012). Dengan kata lain, ada kesenjangan antara harapan dan realitas, ada kesenjangan antara konsep dan implementasi termasuk perbedaan persepsi tentang bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di antara para pelaku pendidikan, seperti pada level birokrasi pendidikan, Kepala Sekolah. dan guru-guru. Kebijakan bahasa
136
Inggris sebagai bahasa pengantar untuk mata pelajaran MIPA dipandang tidak realistik. Bahkan seorang guru Fisika yang diwawancarai menyatakan: Di Smanda ini banyak anak-anak kita yang bahasa Inggrisnya bagus, malah banyak siswa yang lebih baik bahasa Inggrisnya daripada banyak guru...ya kalau gurunya berbahasa Inggris justru mereka bilang lucu...bahasa Inggrisnya lucu, karena mungkin tidak terbiasa ya berbahasa Inggris, karena sekolah RSBI, mereka belajar bahasa Inggris dan anak-anak di luar sekolah juga banyak yang ikut kursus bahasa Inggris dan bagus-bagus (Wawancara dengan Kh). Persepsi dan pemahaman di masyarakat adalah bahwa sekolah RSBI telah menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas dalam arti yang sebenarnya. Padahal, realitas pendidik di sekolah belum sepenuhnya mendukung untuk itu. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA Negeri 2 Bandarlampung, Payudi, yang intinya menyatakan bahwa kompetensi bahasa Inggris para guru khususnya guru-guru MIPA di sekolah tersebut memang belum memadai untuk sekolah dengan kriteria RSBI, sehingga sekolah tidak menetapkan kriteria kemampuan guru secara ketat dalam berbahasa Inggris. Karena kompetensi guru-guru secara umum masih lemah dalam bahasa Inggris, sekolah ini setiap tahun melakukan program pelatihan bahasa Inggris bagi guru yang berminat, tidak terbatas pada guru-guru MIPA dan bahasa Inggris. Dalam hal ini, Payudi, secara rinci mengungkapkan: Sekolah ini mulai menjadi RSBI tahun 2007 dan untuk mengajarkan mata pelajaram bidang MIPA, kami meminta dosen-dosen Unila (Universitas Lampung) lulusan luar negeri dan harus doktor untuk mengajar. Ini berlangsung selama satu...dua tahun pertama, kemudian setelah satu tahun kemudian kembali diserahkan kepada guru-guru kami di sekolah ini dengan kemampuan bahasa Inggris yang masih perlu ditingkatkan terus (Wawancara Selasa 29 Mei 2012).
137
Kutipan di atas menjelaskan tidak hanya permasalahan SDM yang tidak siap dan menimbulkan permasalahan pendidikan secara ”internal” bagi sekolah tetapi lebih jauh juga memengaruhi lembaga lain seperti dosen-dosen perguruan tinggi yang harus ”dibajak” karena ketidaksiapan tenaga pendidik sekolah yang bersangkutan untuk melaksanakan proyek pendidikannya. Selain itu, staf pengajar dengan kualifikasi doktor dari luar negeri dengan kemampuan bahasa Inggris yang baik tentu tidak menjamin keberhasilan proses pembelajaran karena hal ini juga menyangkut aspek pedagogis. Asumsi bahwa orang yang mampu berbahasa Inggris dengan sendirinya mampu mengajarkan bidang ilmunya dalam bahasa Inggris masih perlu diuji karena belum memiliki validitas empiris. Dalam konteks pembiayaan pendidikan dan pungutan biaya pendidikan kepada orangtua, pemerintah gagal mengontrol sekolah, baik jumlah pungutan maupun pengalokasiannya, misalnya, pungutan biaya tinggi untuk studi banding dan lain-lain yang sebenarnya bukan program pokok dalam peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini sering menjadi sorotan kritik dari masyarakat terhadap program RSBI (Wawancara dengan Prof. Slamet Sabtu 25 Agustus 2012). Dengan kata lain, teori wacana kuasa/pengetahuan tidak selalu efektif beroperasi dalam kebijakan dan implementasinya dalam bidang pendidikan. Hal ini menjelaskan bahwa teori kuasa/pengetahuan Foucault tidak sepenuhnya dapat menjelaskan efektifitas kebijakan PBI karena banyak faktor yang terkait dengan
138
subjek/agen seperti sumber daya pendidikan, modal (kompetensi) guru yang tidak mendukung untuk, misalnya, mengajar dalam bahasa Inggris (Bourdieu 1983: 249) Pencitraan RSBI sebagai sekolah berkualitas juga dapat dijelaskan secara analitis-kritis dengan menggunakan pemikiran Roland Barthes dengan konsep ideologi dan mitosnya. Menurut Barthes terdapat dua sistem pemaknaan: denotasi dan konotasi. Denotasi adalah level makna deskriptif dan literal, sedangkan konotasi adalah makna dibangun oleh penanda yang terkait dengan aspek budaya yang lebih luas seperti keyakinan, sikap, dan ideologi. Dalam kontesks RSBI, kata ‟internasional‟ dapat bermakna bahwa ”mutu” pendidikannya diakui di berbagai negara. Secara konotatif kata ‟internasional‟ dapat bermakna hebat, luar biasa, berbahasa Inggris, kompetitif, dan kehidupan yang lebih baik (Hoed, 2008: 12-13; Barker, 2006: 72). Hal ini dapat dipahami secara lebih baik dari hasil wawancara dengan salah seorang siswa SMA Negeri 78 Jakarta yang merasa bangga menjadi bagian dari sekolah tersebut dalam kutipan berikut. Buku-buku yang kita gunakan sebagian besar berbahasa Inggris. Dibanding waktu SMP yang menggunakan metode bilingual, guru-guru di sini lebih banyak berbahasa Inggris. Kalau di sini di kelas KI (kelas internasional) ini belajarnya lebih cepat daripada di kelas RSBI (Pandu, siswa Kelas Internasional SMA Negeri 78 Jakarta).
5.4 Stratifikasi Pendidikan Henry Giroux (dalam Tilaar, 2009: 77) menyatakan bahwa pendidikan bukanlah arena netral yang bebas dari kekuasaan dan politik. Ia tidak sekedar
139
transmisi informasi yang sudah jadi, melainkan sebuah arena terjadinya hubungan yang kompleks antara pengetahuan dan kekuasaan. Pedagogy does not represent a neutral site, free from the operations of power and politics. Far from being the simple transmission of ready-made information, pedagogy is for Giroux a site of a terrain where the complex relations between knowledge and power are worked over (Giroux dalam Tilaar, 2009:77). Secara spesifik, sekolah menjadi lokasi bertemunya berbagai kepentingan politik dan arena praktik wacana. Dalam hal inilah terjadi kontestasi diskursus tentang ilmu pengetahuan dan politik sebagai legitimasi kekuasaan yang bersifat diskursif dan dinamika peran pendidikan sebagai alat reproduksi dan transformasi sosial dalam berbagai bentuknya di tengah masyarakat (praksis sosial). Menurut teori reproduksi sosial, sekolah dapat mereproduksi ketidakadilan sosial melalui analisis kompleksitas hubungan antara sekolah dan ekonomi, budaya, dan linguistik. (http://wiki.answers.com). Dalam konteks masyarakat industri kapitalis hal ini dapat dipahami melalui peran sekolah melanggengkan kelas sosial ekonomi. Dari segi budaya, teori ini menekankan bagaimana budaya sekolah terbentuk dan budaya sekolah tersebut kemudian berperan sebagai mediasi untuk menghasilkan kelas sosial, sebagaimana dalam kutipan berikut. The social reproduction theory views school as a functional station which trains individuals who later will be capable of maintaining the economic and social classes in industrialized capitalist societies. The cultural reproduction theory emphasizes the way in which school culture is reproduced and legitimated and how the reproduction of school culture plays a ‗mediating role in reproducing class societies (Giroux H A dalam Suwignyo, 2012:36).
140
Dalam kaitannya dengan kebijakan dan implementasi PBI, pelanggengan status sosial ekonomi dapat dilihat dari orientasi RSBI pada aspek ekonomi dan budaya global dalam berbagai aspek pembiayaan pendidikan yang mahal (ekonomi), budaya sekolah berbasis TIK, orientasi untuk mendapatkan ISO 9100 dan ISO 14001, orientasi olimpiade, dan penerapan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar yang membuat sekolah menjadi eksklusif dan sulit diakses oleh masyarakat dari status sosial-ekonomi tertentu. Seluruh aspek tersebut menjadi efektif beroperasi melalui sekolah sebagai instrumen ideologi pemerintah yang bersifat hegemonik. Schools as a part of the ideological state apparatus have now become the primary source in creating a consenting work force within the capitalist system. Schools accomplish this task by transmitting the skills and knowledge necessary for workers to adjust to their their role in a capitalist mode of production”. (Sekolah sebagai bagian dari apparatus ideologis negara telah menjadi sumber utama terciptanya tenaga kerja yang patuh pada sistem kapitalisme. Sekolah menjalankan tugas ini dengan memberikan ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh para perkerja untuk beradaptasi dengan peran mereka dalam sarana produksi kapitalis) (Francis, 1995:4).
Kutipan di atas menegaskan bahwa sekolah dapat menjadi pencetak utama agenagen kapitalis dalam sistem produksi melalui pengetahuan dan ketrampilan yang diberikan sekolah. Sekolah yang dikelola dengan prinsip kapitalis kemudian membuat sebagian kelompok masyarakat “tidak berdaya” untuk memasukinya. Dengan kata lain,
orangtua yang kurang mampu secara ekonomi akan sulit
mendapatkan pendidikan bermutu dan berbagai fasilitas yang cenderung berbiaya tinggi. Hal ini kemudian berpengaruh pada peluang mereka untuk diterima
141
bersekolah di RSBI. Dalam hal ini, sekolah tidak lagi berperan mengubah “nasib” masyarakat tetapi sekolah justru menjadi arena untuk melestarikan ketidakadilan. Hal ini didukung oleh penjelasan seorang pengamat dan pelaku pendidikan dengan menyatakan: RSBI/SBI bukannya mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan hanya menimbulkan stratifikasi sosial baru karena hanya mendidik dan mengajar anak-anak yang berkualitas dan memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi… (Darmin, Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm.17-18). Pada level proses pembelajaran di kelas, ketidakadilan yang berkaitan dengan perbedaan biaya pendidikan juga terjadi dalam hal sarana prasarana pembelajaran baik di satu sekolah maupun antarsekolah. Dalam satu sekolah seperti SMA Negeri 78 Jakarta selain berstatus RSBI juga memiliki kelas khusus yang dinamakan “kelas internasional”. Fasilitas yang dapat digunakan oleh “kelas internasional” berbeda dengan kelas-kelas lainnya di sekolah yang sama. Penggunaan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran di SMA negeri 78 Jakarta hanya dilakukan secara eksklusif di “kelas internasional” sejak sekolah tersebut berstatus RSBI pada tahun 2006. Buku-buku yang digunakan sebagian berbahasa Inggris terbitan luar negeri, khususnya Cambridge. Dalam konteks ini, Pemerintah sebagai representasi negara menghegemoni masyarakat pendidikan melalui kebijakanmya yang memperkenalkan kategori-kategori sekolah secara nasional di tengah keinginan masyarakat kelas menengah untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Situasi ini juga terekam melalui kesaksian seorang guru di sekolah negeri yang berlabel RSBI dan memiliki “kelas internasional” seperti berikut.
142
…ketika harus menggunakan media-media lain seperti internet atau bermain peran dan lain-lain, semua persis sama saya lakukan. Baik itu kelas internasional maupun RSBI. Kebetulan jamnya juga sama, saya dua jam. Tapi kalau mata pelajaran IPA tadi, kan untuk kelas internasional semua berbeda jumlah jam. Karena kan mereka tidak belajar IPS, tapi hanya belajar IPA. Sehingga seluruh mata pelajaran IPA itu lebih banyak, gitu…Hanya saja tampaknya perlakuan istimewa dan permakluman sering dilakukan di kelas internasional, gitu (Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm.30-31). Kutipan di atas tidak hanya menjelaskan perbedaan proses belajar yang tidak adil di satu sekolah tetapi juga perlakuan istimewa yang diberikan ke sekolah berlabel RSBI dan “kelas internasional” dibanding sekolah-sekolah reguler. Sekolahsekolah umum lainnya tidak mendapat anggaran khusus dari pemerintah dan tidak dibolehkan untuk menggali dana dari masyarakat sebagaimana dinikmati oleh sekolah-sekolah RSBI. Hal ini bertentangan dengan pasal 11 ayat (1) Undangundang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang layanan pendidikan bagi warga negara tanpa diskriminasi. Secara sosial budaya eksistensi RSBI mendorong berkembangnya stratifikasi dan dikotomi sosial. Dari segi ekonomi (biaya tinggi) dan sosial (unggul-marginal), misalnya, sekolah-sekolah berlabel RSBI didesain menjalin kerjasama dengan sekolah-sekolah bermutu baik di dalam maupun di luar negeri, sedangkan sekolah-sekolah sejenis yang tidak berlabel RSBI tidak didorong untuk melakukan hal yang sama, sebagaimana tampak dari kutipan berikut. Legal policy yang mengamanatkan agar SBI menjalin kemitraan dengan sekolah unggul di dalam dan/atau negara lain, sesungguhnya SBI telah melakukan stratifikasi... Bahwa sekolah-sekolah unggul menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah unggul dan sekolah-sekolah pinggiran melakukan kerja sama dengan sekolah-sekolah pinggiran pula (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa, 24 April 2012, hlm.26).
143
Kutipan di atas menegaskan realitas di lapangan bahwa dua sekolah yang diteliti cenderung hanya melakukan kerjasama dengan sekolah-sekolah yang dianggap bermutu baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam hal ini, sekolah tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai sarana atau upaya mencerdaskan bangsa sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional dalam konstitusi dimana setiap sekolah seharusnya mendapat perlakuan yang sama untuk meningkatkan kualitas proses pembelajarannya.
Sekolah
justru
berperan
menciptakan
segregasi
sosial
berdasarkan status sosial-ekonomi yang di banyak negara liberal sekalipun tidak lagi diterima, tetapi ironisnya di negara berideologi Pancasila justru dikembangkan melalui kebijakan pendidikan dalam bentuk satuan PBI. Dalam hal ini, pendidikan menjadi arena “konflik” sosial sebagaimana digambarkan oleh Michael Apple dalam kutipan berikut. Education plays a significant role in this reproduction and sruggle, by being not simply an instrument through wich the bourgeoisie effects its domination over other groups, but also by being the result of struggle between dominant and dominated groups. Education is a state apparatus that both the result of social and economic contradictions and the source of new contradictions at one and the same time (Apple, 1982: 19-20). Secara normatif sekolah yang berlabel RSBI itu harus memenuhi persyaratan standar nasional pendidikan. Padahal, pada kenyataannya sekolahsekolah yang ada bervariasi mutunya baik antarprovinsi, antarkabupaten/kota, dan bahkan antarsekolah di suatu kota. Situasi pendidikan nasional dengan berbagai
144
kategori mutu dan akses pendidikan berdasarkan status sosial ekonomi masyarakat mengingatkan situasi pendidikan Indonesia pada masa kolonial 1907: …Dutch was introduced and used as the language of instruction at what was called the First-Class school—a school for Indonesian children from the royal and the better-off families. In that year, too, the so-called desa or village school was established, first in Java then in Sumatra, for children in the rural areas. The upward and downward educational policy created different layers of schooling. Not long after the dawn of the twentieth century, three types of public primary schools were available to Indonesians from three categories of social classes: the First-Class school for the indigenous elite; the village school for the rural masses; and the Second-Class school for children of the ordinary urban dwellers which hovered in between the two afore-mentioned schools in terms of social standing (I.J. Brugmans, 1938 dalam Suwignyo, 2012:49). Kebijakan RSBI dengan permasalahan stratifikasi pendidikannya dapat menghasilkan kesenjangan mutu anak didik dan antarsekolah karena adanya pembedaan-pembedaan perlakuan oleh pemerintah seperti dalam hal anggaran pendidikan, sarana prasarana dan kualifikasi guru. Anggaran dan kualifikasi guru lebih tinggi kepada satuan PBI dibanding kepada satuan pendidikan sejenis yang tidak berlabel “internasional”. Kebijakan ini menimbulkan dikotomi sekolah: seperti sekolah bermutu-tidak bermutu, mahal-murah, kaya-miskin, internasionalnasional. Padahal, salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional menurut UU Sisdiknas No. 20/2003 adalah bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan. Yang terjadi di lapangan justru sebaliknya, sebagaimana tergambar dari kesaksian seorang guru berikut ini. …kalau pengalaman saya mengawas di sekolah-sekolah lain ketika ujian nasional…dibanding sekolah di sekitar di Jakarta Utara, maka sekolah saya ini sungguh sangat mewah dan megah… sekolah lain itu sangat sederhana. Sekolah negeri juga tapi sangat sederhana, jauh sekali dari fasilitas yang
145
dimiliki oleh sekolah saya…(Retno L, Risalah Sidang MK, Selasa, 20 Maret 2012, hlm. 22). Perbedaan layanan pendidikan tidak hanya terjadi antarsekolah tetapi juga dalam satu sekolah RSBI yang melaksanakan program khusus “kelas internasional”. Hal itu ditemukan di SMA Negeri 78 Jakarta, yang berlabel RSBI sekaligus memiliki “kelas internasional” dengan spesifikasi guru tersendiri, biaya pendidikan mahal, proses pembelajaran dan sarana prasarana yang berbeda dengan siswa lainnya di sekolah yang sama. Dalam sebuah wawancara dengan seorang narasumber, Darmin, (Rabu 2 Mei 2012), ditegaskan bahwa RSBI justru menimbulkan stratifikasi sosial baru melalui stratifikasi pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah. Menurut Darmin RSBI/SBI justru menyiapkan tenaga kerja memasuki perusahaan multinasional dan merupakan kampanye internasionalisasi ekonomi pasar kapitalis neoliberal. Hal ini juga tergambar dari penjelasan seorang guru intelektual, Retno, yang dengan tegas menyatakan: …Jelas berbeda, kelas internasional itu Rp.31.000.000,00, itu saja SMA sekolah saya itu berdasarkan ketentuan minimum yang ada di DKI memang Rp. 31.000.000,00 dan satu-satunya RSBI yang bayarannya Rp. 31.000.000,00 … eh, satu-satunya kelas internasional yang bayarannya Rp. 31.000.000,00, tetapi kalau dikaitkan dengan RSBI soal bayaran, kan itu jelas berbeda, kalau antara RSBI dengan kelas internasional… kalau di RSBI-nya ya ada perbedaan jelas, wong naik terus kok, sejak dijadikan RSBI, itu kan yang saya tahu. Dan kalau dibilang mahal ya versi saya dong, Pak, mahal. Saya kan guru, yang buat saya Rp.600.000,00 saya enggak… enggak bisa bayar sekolah anak Rp.600.000,00. Saya punya 3 anak dan kalau semuanya Rp.600.000,00 rasanya saya tidak tidak sanggup,sementara gaji saya hanya Rp. 2.500.000,00 (Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm.47).
146
Dari segi mutu, posisi satuan RSBI dalam sistem pendidikan nasional dikategorikan sebagai sekolah yang melampaui standar nasional (SNP) atau “siap” menuju SBI. SNP dalam hal ini merupakan standar minimal pendidikan yang harus dipenuhi oleh suatu satuan pendidikan yang meliputi delapan standar: (1) kompetensi lulusan, (2). isi, (3). proses, (4). penilaian, (5). pendidik dan tenaga kependidikan, (6). sarana dan prasarana, (7). pengelolaan, dan (8). pembiayaan. Dari aspek mutu, sekolah di Indonesia dikelompokkan ke dalam sekolah yang mutunya di bawah standar nasional pendidikan (Sekolah Standar Pelayanan Minimal), sekolah yang mutunya memenuhi standard nasional pendidikan yang disebut dengan Sekolah Standar Nasional (SSN), dan sekolah yang mutunya melebihi standar nasional pendidikan yang disebut dengan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) Gagasan tentang kategorisasi sekolah di atas menggambarkan bagaimana sekolah menjadi sarana reproduksi struktur sosial yang ada. Hal ini secara tidak langsung didukung oleh Suyanto, seorang pejabat Kemdikbud, dengan menyatakan bahwa sebuah institusi pendidikan bisa dibedakan menurut fasilitas pelayanan pendidikan, yaitu ada yang standar pelayanan minimal, standar nasional, RSBI dan SBI
(http://www.tempo.co/read/news/2012/02/14/079383936/Pemerintah-
Bersikeras-Pertahankan-RSBI). Dalam hal ini, sekolah berperan melanggengkan ketidakadilan di masyarakat. Sekolah tidak lagi mengemban fungsi produktifnya tetapi justru terjebak pada fungsi reproduksinya di masyarakat sebagaimana di perusahaan-perusahaan dan industri barang dengan prinsip kapitalis. Sekolah membedakan siswa tidak hanya berdasarkan kemampuan ekonomi tetapi juga
147
tingkat kecerdasan dan bakat. Hal ini dipertegas lagi oleh seorang intelektual, Indra Djati Sidhi, dengan penjelasan sebagai berikut. Secara psikologis peserta didik dapat dibedakan kemampuannya ke dalam: a. berkemampuan kurang, berkemampuan sedang, dan berkemampuan tinggi. Ini dipandang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 32, antara lain dengan adanya pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, serta peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan, dan bakat istimewa. Peserta didik pada satuan pendidikan RSBI/SBI termasuk dalam kelompok yang memiliki potensi kecerdasan atau bakat yang tinggi (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 6). Wacana kuasa/pengetahuan tentang kategori kemampuan anak didik sebagaimana dikutip di atas berperan melegitimasi status dan kapasitas akademik anak didik dalam implementasi kebijakan RSBI. Padahal, kategori anak didik ”berkemampuan kurang, ”berkemampuan sedang”, dan ”berkemampuan tinggi” dalam konteks pemikiran Foucault tentang kuasa/pengetahuan bisa jadi hanya ”permainan angka” atau ”definisi” yang dapat diperdebatkan secara epistemologis. Dalam hal inilah pengetahuan bersifat ideologis dan politis yang dapat melanggengkan struktur sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Dari perspektif teori kritis, pengetahuan tentang pembedaan atau kategori kemampuan (calon) anak didik yang disebutkan di atas lebih merefleksikan kepentingan tatanan ekonomi kapitalis dan neoliberalisme. Hal itu dijadikan sebagai mekanisme seleksi (kontrol) tentang siapa yang “layak” dan “tidak layak” bersekolah di RSBI. Dalam konteks inilah pendidikan seharusnya tidak boleh diserahkan kepada mekanisme
148
pasar sehingga tidak menjadi arena bisnis bagi pihak-pihak yang berkepentingan (Sirozi, 2007: 19; Widja, 2009:107-108). Dari segi standar proses dan tenaga kependidikan, bahasa Inggris di RSBI juga menjadi alat kontrol dan sarana hegemonik dalam proses pembelajaran. Nilai TOEFL dijadikan alat kontrol untuk menentukan siapa guru yang layak mengajar dan siapa siswa yang layak diterima. Padahal, seorang guru dengan kemampuan akademik tinggi belum tentu memiliki kemampuan bahasa Inggris dan ideologi TOEFL “mengganjalnya” untuk mengajar di sekolah RSBI. Selain itu, nilai TOEFl seorang guru yang tinggi pun tidak menjamin bahwa dia efektif dalam mengajar sebagaimana dijelaskan seorang pelatih guru bahasa Inggris berpengalaman berikut ini. Bahwa TOEFL bukanlah ukuran untuk melihat bahwa seseorang mampu … mengajar atau melaksanakan proses pengajaran di dalam kelas dengan menggunakan bahasa Inggris karena TOEFL adalah to access ability to communicate successfully in an academic setting in English speaking countries. …TOEFL adalah tujuannya untuk membuat orang mampu belajar di negara-negara berbahasa Inggris (Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 23). Secara sosiologis implementasi kebijakan RSBI mendukung teori reproduksi sosial yang tidak adil dan menimbulkan stratifikasi sebagaimana dikemukakan oleh pakar psikologi sosial dan pendidikan dari Universitas Indonesia berikut ini. Saya mengidentifikasi bahwa Satuan Pendidikan Bertaraf Internasional pada konsepnya, … bertujuan membedakan satu kelompok orang dari kelompok orang lainnya. Bahwa satu kelompok orang ingin dibuat lebih bagus. Entah karena dasarnya mereka lebih cerdas, entah karena mereka lebih kelihatan prestasinya lebih baik, dan sebagainya. Usaha itu disahkan atau bahkan
149
dilegalkan dalam undang-undang… (Bagus Takwin, Risalah Sidang MK, Rabu, 2 Mei 2012, hlm. 15). Selanjutnya, dengan merujuk diversifikasi layanan pendidikan dalam sistem pendidikan nasional, Bagus Takwin menyatakan bahwa praktik RSBI mengotakkan masyarakat melalui layanan pendidikan. Hal ini semakin menguatkan anggapan generasi muda bahwa uanglah cara memenuhi keinginan di tengah akses pendidikan dan kesetaraan yang bermasalah terhadap pendidikan publik. Pendidikan menjadi membebani masyarakat (Kompas, Kamis 22 Maret 2012). Padahal, Undang-Undang secara imperatif mengamanatkan jaminan peluang yang sama bagi semua warga negara untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Dalam konteks ini, Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dengan nada keras menyatakan bahwa RSBI/SBI tidak sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional, menciderai nilai-nilai luhur bangsa. …pemerintah mengistimewakan RSBI/SBI sehingga menimbulkan diskriminasi. Pemerintah sengaja menciptakan dua kelompok, yakni kelompok anak yang cerdas sedemikian rupa dan kelompok anak yang sekadarnya (Daoed Joesoef, Kompas, Rabu 16 Mei 2012, hlm. 12). Ia juga mempertanyakan acuan standar pendidikan RSBI/SBI pada negara-negara yang tergabung dalam OECD. Indonesia, menurut Daoed, semestinya mengacu pada lembaga UNESCO (Organisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan)
dari
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
karena
Indonesia
merupakan anggota UNESCO, bukan anggota OECD. Tujuan OECD sendiri adalah melayani kepentingan 30 negara anggotanya untuk menghadapi masalahmasalah ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam konteks globalisasi dan
150
permasalahan-permasalahan khas negara-negara anggotanya sebagaimana dalam penjelasan berikut. The OECD is a unique forum where the governments of 30 democracies work together to address the economic, social and environmental challenges of globalisation. The OECD is also at the forefront of efforts to understand and to help governments respond to new developments and concerns, such as corporate governance, the information economy and the challenges of an ageing population. The Organisation provides a setting where governments can compare policy experiences, seek answers to common problems, identify good practice and work to co-ordinate domestic and international policies (OECD, 2010: 2). Negara-negara OECD memiliki tantangan yang berbeda dengan Indonesia. Karena itu acuan pendidikan nasional terhadap sistem pendidikan OECD tidak rasional. Hal ini tidak selaras dengan visi pendidikan nasional, yaitu: Terselenggaranya Layanan Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif” untuk diwujudkan dengan misi 2010-2014, yaitu meningkatkan layanan pendidikan, keterjangkauan layanan pendidikan, kualitas dan relevansi layanan pendidikan, kesetaraan memperoleh layanan pendidikan, dan kepastian memperoleh layanan pendidikan. Dalam konsep dan praktiknya, RSBI menawarkan kesempatan hanya kepada sekelompok orang secara diskriminatif, sebuah kebijakan yang berperan mengorganisasi dan membangun blok hegemonik (Barker, 2006: 62-63). Dalam konteks pedagogi kritis, hal ini dapat melanggengkan ketidakadilan sosial melalui pendidikan (sekolah) yang tidak berpihak pada anak didik. Analisis kritis tentang kondisi pendidikan dengan kebijakan RSBI dikaitkan dengan dimensi sosio-ekonomi politik menunjukkan kondisi pendidikan
151
yang tidak berpihak pada masyarakat. Kemampuan ekonomi dan ”akademik” (NEM dan UN) dijadikan sebagai salah satu persyaratan untuk masuk di RSBI. Dengan kata lain, jika anak didik lemah secara ekonomi dan akademik, maka kondisi itu dianggap ”salah masyarakat sendiri” mengapa ”miskin dan bodoh”. Dari perspektif teori kuasa/pengetahuan, hal inilah yang dimaknai sebagai ketidakadilan sosial akibat hegemoni kekuasaan tentang subjek yang layak mengakses pendidikan bermutu. Sekolah yang secara struktur berada dibawah Kemdikbud menjadi instrumen negara untuk menciptakan ketidakadilan sosial dalam sistem pendidikan yang berorientasi globalisme. Bahkan negara justru melepaskan diri dari tanggungjawabnya untuk mencerdaskan warganya melalui liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan. Manifestasi neoliberalisme dalam pendidikan telah banyak disoroti oleh para pakar pendidikan melalui berbagai wacana yang melihat secara teoretis hubungan antara neoliberlisme dan pendidikan. Secara ekonomi, ketimpangan pendapatan masyarakat selama 10 tahun terakhir di Indonesia, misalnya, mengalami peningkatan signifikan diantara penduduk yang secara statistik menunjukkan terjadinya peningkatan tingkat kemiskinan dan pola pembangunan yang tidak berpihak ke kelompok miskin (Kompas Selasa 29 Januari 2013, hlm. 6). Dengan gambaran ini, peran lembaga pendidikan sebagai institusi demokratis untuk mengubah tingkat kehidupan masyarakat menjadi hilang. Sekolah dikendalikan oleh kekuatan kapital dan kebijakan negara yang melegitimasi ketidakadilan melalui sistem persekolahan semacam RSBI. Dalam prakteknya,
152
seperti SMA Negeri 78 Jakarta, membuka “kelas internasional” dengan orientasi standar pendidikan Cambridge yang bersifat eksklusif, menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris, dan dengan biaya pendidikan yang relatif mahal (berbeda diantara siswa) dalam satu sekolah. Filosofi pendidikan Indonesia pada dasarnya tidak memberi ruang pada perlakukan istimewa kepada individu dengan alasan seseorang itu “unggul”. Keunggulan itu sebenarnya justru bentuk capaian atau tujuan dari pendidikan, bukan mekanisme untuk mendapatkan pendidikan bermutu sebagaimana dirasakan oleh masyarakat melalui RSBI yang mensyaratkan siswa “unggul” (akademik dan ekonomi). Desain RSBI adalah menyeleksi “manusia unggul” melalui sekolah publik untuk dapat bersaing dalam dunia global. Hal ini sesuai dengan pandangan pendidikan liberal bahwa pendidikan individu dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, sebagaimana dapat dipahami melalui pandangan seorang birokrat pendidikan berikut. RSBI itu adalah salah satu strategi untuk menuju dan mencerdaskan secara keseluruhan. Ketika ada anak bangsa yang dalam kehidupannya itu lebih unggul, ini akan menarik dampaknya. Ada multiplayer effect terhadap bangsabangsa anggota bangsa lain (Suyanto, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 43). Kendati RSBI itu didukung dengan argumentasi sebagai strategi untuk mencerdaskan bangsa secara keseluruhan, dalam prosesnya kebijakan ini tidak seharusnya mengorbankan hak warga negara lainnya dalam mengakses pendidikan secara diskriminatif, apalagi dengan argumentasi bahwa sekelompok orang atau individu dianggap unggul dan karenanya lebih berhak untuk mendapatkan
153
perlakuan istimewa dari negara. Inilah salah satu kenyataan empiris tentang wacana PBI dalam bentuk RSBI. Hal ini sesuai dengan ideologi pendidikan liberal yang lebih fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan individu daripada masyarakat (Haralambos dan Hoborn, 2000:780 dalam Soeharto, 2009: 143). Keunggulan seseorang itu, dalam konteks politik pendidikan nasional seharusnya diakui sebagai “output” dari akses yang adil terhadap (proses) pendidikan. Namun dalam hal RSBI, ideologi kekuasaan justru berpihak pada kelompok dominan (kelas menengah) di masyarakat yang pada gilirannya melanggengkan ketidakadilan sosial. Dengan kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya, negara mendefinisikan “kebenaran” bagi pihak lain (subordinat). Dalam hal ini, neoliberalisme sebagai ideologi ditandai dengan semangat individualisme dan peran negara berkurang melalui sekolah untuk menjamin keadilan dalam pendidikan. Pemerintah memiliki kekuasaan hegemonik untuk “mendikte” sekolah dan masyarakat tentang pendidikan yang baik dan benar dengan mengintroduksi RSBI/SBI melalui kekuasaan politik dan ekonominya, yaitu dengan memberikan anggaran tambahan dari APBN/APBD dalam bentuk subsidi khusus dan fasilitas lainnya berupa izin bagi sekolah untuk memungut dana tambahan dari masyarakat. Sekolah yang berstatus RSBI mendapat “izin istimewa” dari pemerintah untuk memungut pembiayaan pendidikan tambahan sedangkan sekolah sejenis yang tidak berstatus RSBI justru dilarang oleh pemerintah. Dengan kata lain, terjadi paradoks karena jika konsep utama status RSBI itu adalah dalam rangka
154
peningkatan kualitas, logikanya semua sekolah seharusnya boleh memungut biaya pendidikan tambahan dari masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Sisdiknas atau Permendiknas No 69 tahun 2009, yang semestinya tidak hanya belaku secara diskriminatif untuk sekolah yang berlabel RSBI/SBI. Ketika hal ini ditanyakan kepada Koordinator RSBI SMA 2 Bandarlampung, Supanto, ia menyatakan: jika berbicara tentang peningkatan kualitas, anggaran pemerintah itu sebenarnya tidak cukup untuk pembiayaan sekolah…pemerintah seharusnya sadar jugalah…memberi peluang kepada sekolah yang non RSBI untuk menggali dana tambahan dari orangtua. Secara objektif anggaran pemerintah untuk sekolah tidak memadai untuk meningkatkan mutu sekolah sesuai yang diharapkan pemerintah dan masyarakat (Wawancara Senin 11 Juni 2012). Bentuk diskriminasi lainnya yang menimbulkan kecemburuan di kalangan sekolah negeri adalah dukungan pemerintah terhadap sekolah-sekolah RSBI untuk membangun kerjasama dengan sekolah-sekolah berkualitas di negara maju, khususnya di salah satu negara yang tergabung dalam organisasi OECD. Padahal, jika bentuk kerjasama tersebut dipandang positif terhadap kemajuan pendidikan nasional maka sangat mungkin bahwa banyak sekolah yang lebih berkualitas daripada sekolah RSBI namun tidak mendapat perlakuan yang sama dengan RSBI, situasi paradoks dan ketidakadilan dalam pendidikan nasional. Pendidikan bermutu dan kesempatan yang sama untuk mendapatkannya adalah hak setiap warga negara. Hal ini seharusnya tidak dapat dibatasi oleh status atau label sekolah apalagi didukung dengan ketentuan atau peraturan pemerintah. Status sekolah sebagai RSBI pada kenyataannya berimplikasi sosial dan ekonomis. Secara sosial ekonomi, kehadiran satuan sekolah tersebut telah menghasilkan
155
dikotomi sosial dan biaya pendidikan semakin sulit dijangkau oleh masyarakat sebagaimana tergambar dari kutipan berikut. … ketika belum dilabeli RSBI atau SBI, sekolah-sekolah tersebut dapat diakses oleh warga … seluruh warga tanpa hambatan ekonomi, sekarang setelah dilabeli dengan RSBI, itu menjadi sulit bagi semua warga. “Tidak ada hal yang siginifikan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sekolahsekolah yang sudah unggul sejak dulu itu ketika dilabeli RSBI, kecuali dua hal. Pertama, menggelontorkan uang ratusan juta rupiah dengan dana pinjaman dari luar negeri. Kedua, memberikan kebebasan kepada sekolahsekolah tersebut untuk melakukan pungutan kepada murid. Ini bahaya dari SBI (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 2627). Gagasan pada kutipan di atas sekaligus menggambarkan perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap sekolah-sekolah yang ada. Kehadiran RSBI menciderai nilai-nilai dan rasa keadilan sosial karena menciptakan ”tembok” segregasi sosial melalui pendidikan. Hal ini secara tidak langsung juga diakui oleh seorang pakar pendidikan, Prof Slamet, yang setuju namun sekaligus bersikap kritis terhadap eksistensi RSBI/SBI dengan menyatakan: Menurut saya, seharusnya dituntaskan terlebih dahulu pemenuhan kewajiban pendidikan dasar karena sekolah-sekolah yang saat ini mendapat dukungan sumber dana dan sumber daya dari pemerintah melalui sekolah RSBI, sebelumnya adalah sekolah-sekolah yang memang sudah unggul mutunya, sehingga pemberian status SBI/RSBI hanya sedikit saja menambah polesan terhadap sekolah-sekolah tersebut. Yang nampak menonjol saat ini hanya segi fasilitas fisik, walaupun ada penambahan-penambahan sedikit dari segi kualitas, tetapi yang diterima memang anak-anak yang sudah berkualitas (Prof. Slamet, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 23). Pinjaman dana dari luar negeri dan kebebasan sekolah melakukan pungutan biaya pendidikan dari orangtua siswa merupakan implikasi dari semangat liberalisasi pendidikan yang ditandai dengan berkurangnya kontrol
156
negara atas penyelenggaraan pendidikan. Bahkan negara, misalnya dalam konteks wajib belajar Sekolah Dasar (SD), melegitimasi sekolah Rintisan Sekolah Dasar Bertaraf Internasional (RSDBI) untuk melakukan pungutan biaya pendidikan dari orangtua murid dan masyrakat sebagaimana tampak dari penjelasan seorang pimpinan sekolah dalam kutipan berikut ini. … sesuai dengan surat edaran Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta bahwa untuk memenuhi biaya operasional dan pemenuhan sarana prasarana sekolah demi memenuhi standar RSBI, maka SD RSBI Menteng 01 dapat menghimpun atau meminta sumbangan pendidikan dari masyarakat peduli pendidikan… (Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 4). Padahal, akses terhadap pendidikan dasar sebenarnya sudah dijamin oleh negara berdasarkan Pasal 6 UU Sisdiknas 20/2003 bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Hal ini kemudian berpotensi menimbulkan ketidakadilan dalam penggunaan anggaran. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya bahwa wacana PBI tidak terlepas dari wacana perkembangan ilmu pengetahuan, ekonomi dan politik melalui berbagai tulisan dan bentuk-bentuk komunikasi gagasan lainnya yang memberi makna pada praktek sosial, termasuk hegemoni ideologi dalam mengarahkan perkembangan pendidikan nasional. Hal ini mendapat penegasan dari pemikiran Foucault tentang genealogi historis sebuah wacana dan aplikasinya dalam kondisi historis yang spesifik (Barker, 2005: 512). Pemikiran Gramsci (1976:213-214) tentang hegemoni menekankan suatu situasi dimana sebuah blok historis dari fraksi-fraksi kelas yang berkuasa menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinatnya
157
melalui konsensus atau “paksaan halus”. Situasi hegemonik dalam konteks RSBI terjadi dalam hubungan antara wacana globalisasi tentang pendidikan dan peran pemerintah melalui kebijakan pendidikan berhadapan dengan struktur sekolah dan masyarakat pendidikan sebagai pihak terhegemoni.
Kehadiran RSBI menjadi
legitimate melalui sosialisasi dan internalisasi ideologi, kultur, nilai-nilai, normanorma baik oleh pemerintah maupun oleh media massa. Guru dan pihak sekolah dengan kultur (habitus) birokrasi yang sudah terbangun berperan ”hanya” perpanjangan tangan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah, yang juga terhegemoni dengan pemikiran-pemikiran globalisme dalam pendidikan. Sekolah atau guru-guru, khususnya di lembaga pendidikan negeri, telah terbiasa menerima begitu saja suatu kebijakan. SBI itu bagus sih pak sebagai pendekatan untuk peningkatan mutu sekolah…hanya di masyarakat terjadi kesalahan persepsi melihatnya. Kita juga melihat bahwa ada juga orangtua siswa yang merasa kesal anaknya tidak dapat masuk ke sekolah ini karena seleksi akademik yang ketat dan biaya yang memang relatif mahal. Lalu masyarakat mengatakan sekolah ini eksklusif dan hanya untuk orang kaya (Wawancara dengan Ridnan W, Rabu 8 Agustus 2012). Salah satu wacana “tubuh” atau wacana permukaan yang sering muncul dari pemerintah tentang RSBI/SBI adalah bahwa program ini merupakan bentuk pendekatan atau strategi untuk peningkatan mutu sekolah menghadapi persaingan global. Peningkatan mutu sekolah dan diversifikasi layanan pendidikan dilaksanakan dengan cara menampung anak didik dengan kemampuan istimewa. Dalam kenyataanya adalah anak didik istimewa diseleksi dari segi kemampuan keuangan dan kemampuan akademik, lebih tampak sebagai “topeng” untuk
158
menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap pendidikan nasional. Upaya pemerintah memajukan pendidikan tidak berpijak pada realitas sosial, ekonomi, dan budaya bangsa. “Semua warga negara harus mempunyai akses yang sama. Tidak boleh dibedakan kaya-miskin atau Jawa dan luar jawa, semua harus punya akses yang sama. Prinsipnya jangan sampai gara-gara tidak punya uang kemudian tidak bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas” (Kompas, Kamis 15 Juli 2010, hlm. 12). Pasal 5 Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Realitas RSBI justru membungkus kepentingan ideologis (kapitalis) yang bersifat diskriminatif dan mengandung pelanggengan struktur sosial yang tidak adil dalam masyarakat. Sekolah RSBI mendapat perlakuan khusus untuk menerima anak didik dengan bakat istimewa dengan mengorbankan semangat “pendidikan untuk semua” berdasarkan konstitusi. Padahal, pssal 11 Undangundang Sisdiknas 2003 juga menetapkan bahwa Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
wajib
memberikan
layanan
dan
kemudahan
serta
menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Dalam hal ini, Ketua Dewan Pembina Sarjana Pendidikan Indonesia menyatakan bahwa pemerintah seharusnya meningkatkan mutu pendidikan dengan standar pendidikan yang terbaik untuk semua orang (Kompas, Jumat 2 Desember, 2011, hlm. 12).
159
5.5 Jati Diri Bangsa Globalisasi tidak semata-mata menyangkut bidang ekonomi, baik ditinjau dari sifat, sebab maupun konsekuensi-konsekuensinya. Globalisasi juga bersifat sosial, politis dan kultural. Secara politis, globalisasi telah “memaksa” banyak negara untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian kebijakan pendidikan yang menimbulkan permasalahan budaya, khususnya persoalan hegemoni globalisme atas jati diri bangsa. Dalam hal ini, globalisasi merupakan sejumlah proses yang tidak teratur, berlangsung dalam bentuk fragmentaris dan oposisional. Sekalipun tidak sama dengan westernisasi – seluruh negara di dunia saat ini dipengaruhi oleh terjadinya proses globalisasi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Barker bahwa globalisasi bukan semata-mata permasalahan ekonomi, tetapi juga menyangkut makna budaya (Giddens, 2003:73; Barker, 2006: 115-116). Permasalahan RSBI tidak saja terkait dengan ”manajemen pendidikan” tetapi juga menyangkut hal-hal yang bersifat ideologis yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ingin dikembangkan melalui sistem pendidikan nasional. PBI sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional dan daya saing pada era globalisasi secara konsepsional merupakan satu bentuk internasionalisasi pendidikan nasional yang tidak steril dari permasalahan jati diri bangsa. Internasionalisasi pendidikan untuk memperkuat daya saing bangsa dinilai salah kaprah karena pendidikan seharusnya diarahkan untuk memperkuat jati diri dan kemandirian bangsa. Dalam konteks ini, globalisasi membawa pengaruh positif
160
dan negatif terhadap berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi dan budaya nasional (Kompas, Kamis 8 Maret 2012). Wacana jati diri bangsa dalam konteks hubungan pendidikan nasional dan globalisasi dipandang relevan di tengah kompleksitas permasalahan sosial budaya yang sedang menghimpit bangsa Indonesia. Pendidikan dalam konteks globalisasi tidak hanya melayani kepentingan yang bersifat ekonomis tetapi juga dapat mengangkat nilai-nilai lokal yang menguatkan jati diri bangsa. Proses globalisasi dengan
sifatnya
yang
membawa
homogenisasi
budaya
global
dapat
menghilangkan jati diri bangsa. Permasalahan jati diri dalam hubungannya dengan pendidikan merupakan salah satu isu perdebatan tentang satuan PBI, sebagaimana dapat dipahami melalui kutipan berikut. Saya menuntut pembubaran RSBI dan SBI berdasarkan alasan nalariah …setelah mengetahui bahwa standar pendidikan negara maju yang dipakai sebagai pedoman pembelajaran di RSBI dan SBI adalah standar kompetensi salah satu sekolah terakreditasi di negara-negara anggota OECD… sebuah organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan dari negara-negara industrial maju. Keanggotaanya tertutup bagi negara-negara belum maju, termasuk Indonesia. Jadi dengan memandang standar ke sana, apakah kita menganggap perlu menyiapkan anak-anak Indonesia untuk bisa diterima sebagai pegawai di lembaga itu? (Daoed Djoesoef, Risalah Sidang MK, 2012, hlm. 30-31). Kutipan di atas tidak hanya mengindikasikan terjadinya disorientasi pendidikan nasional. Pendidikan nasional seharusnya lebih diorientasikan pada “nationcharacter building” yang sejak era reformasi mengalami permasalahan sosialbudaya yang akut seperti maraknya budaya korupsi dan konflik sosial-budaya di berbagai daerah. Bangsa Indonesia dengan keberagamannya masih mengalami persoalan serius dalam hal menerima perbedaan suatu budaya dengan yang lainnya
161
dalam payung “Indonesia Merdeka”. Hal inilah salah satu konteks pendidikan yang seharusnya menjadi bagian integral dari upaya membangun pendidikan nasional berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan orientasi pembangunan karakter bangsa, bukan berorientasi ”budaya global” atau globalisme. Dalam konteks yang sama, seorang pemerhati pendidikan menyatakan: … OECD bagaimana pun bagusnya adalah bagus untuk OECD, tapi belum tentu bagus untuk Indonesia...Sekarang ini, negara republik Indonesia yang tadinya satu, menjadi 500 lebih. Nah, 500 lebih ini, itu dikaitkan dengan 500 lebih daerah otonom … pendidikan di sana bersifat … bersifat kontekstual (Winarno, Risalah Sidang MK, Selasa, 20 Maret 2012, hlm. 10). Kebijakan dan konsep SBI yang dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional menurut Winarno tidak berakar dari kebudayaan nasional. Orientasi pendidikan pada negara-negara OECD merupakan sebuah anomali yang mengabaikan permasalahan-permasalahan kebangsaan aktual yang sedang “keropos” di tengah arus globalisasi. Hal ini justru dapat menghanyutkan Indonesia dalam pusaran kepentingan global karena tidak mengakar pada kekuatan sendiri. Dalam hal ini, Tilaar (2012) menyatakan bahwa dalam menghadapi era globalisasi, posisi Indonesia sebenarnya bisa memilih untuk menguatkan identitas Indonesia dengan menyediakan pendidikan bermutu dengan tiga modal besar, yakni kekayaan alam, budaya, dan sumber daya manusia (Kompas, Rabu 16 Mei 2012, hal 12). Dalam konteks pendidikan sebagai arena kontestasi, pandangan bahwa kebijakan PBI berpotensi menggerus budaya bangsa mendapat respons yang
162
berbeda dari Prof Slamet selaku pendukung eksistensi RSBI dalam sistem pendidikan nasional. Ia menjelaskan: Pada dasarnya SBI itu kan sederhana, cuma standar nasional plus tambahan, gitu lho. Nah, kalau standar nasional itu kan yang pokok itu, tambahantambahan itu memang tambahannya, tapi kan lalu kayaknya yang menjadi gara gara ini tambahannya yang dibesar-besarkan seolah-olah SBI itu tidak berjati diri Indonesia… Yang tambahan itu saja yang kita cari karena memang kita harus mengikuti arus globalisasi, jangan-jangan sampai Matematika kita dengan Jepang sama-sama SMP kita kalah... (Slamet, Risalah Sidang, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 45). Kutipan di atas menyederhanakan identitas budaya hanya dari segi penambahan komponen standar pendidikan OECD khususnya untuk ilmu “hard science”. Padahal, konsep “tambahan” itu menjadi persoalan karena pendidikan tidak dapat dilepaskan dari aspek sosial, ekonomi, dan budaya dalam konteks relasi kuasa. Secara konseptual dan implementasi, misalnya, orientasi dan “benchmarking” kualitas pendidikan nasional melalui PBI pada negara-negara OECD telah menghasilkan implikasi turunan seperti importasi buku ajar, sertifikasi ISO, dan standarisasi berbagai komponen pendidikan yang membuat praktik pendidikan nasional menjadi mahal dan diskriminatif serta tidak menggambarkan realitas sosiokultural bangsa Indonesia. Dari perspektif budaya, pendidikan sebagai institusi strategis untuk penanaman nilai-nilai budaya dan identitas nasional, pihak yang resisten terhadap PBI berpendapat bahwa permasalahannya menyangkut sistem pendidikan nasional dan pengembangan budaya bangsa. Sistem pendidikan nasional itu harus diarahkan terutama untuk melayani kepentingan nasional. RSBI yang berorientasi
163
negara-negara OECD menjadi ancaman tersendiri sebagaimana diungkapkan oleh Winarno Surakhmad berikut. Begini, akan bangga kita sebagai orang Indonesia apabila suatu saat sistem pendidikan nasional berkembang sedemikian rupa, sehingga orang-orang datang ke Indonesia belajar di Indonesia karena sistem pendidikan nasional itu menjadi sistem yang baik sekali. Bukan oleh karena sistem ini sudah menyerupai OECD (Winarno S, Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm. 9). Dari segi penalaran deduksi, pilihan sistem pendidikan nasional seharusnya didasarkan pada nilai-nilai kultural bangsa, berdasarkan realitas sosiokultural bangsa sebagai komponennya untuk menghasilkan sistem dan bentuk masyarakat yang khas sesuai cita-cita pendidikan Indonesia. Pandangan Winarno di atas tentang keberadaan RSBI lebih didasarkan pada sentimen nasionalisme. Hal ini dapat dipahami dalam konteks permasalahan nasional yang menunjukkan terjadinya degradasi nilai-nilai kebangsaan Indonesia dan konflik-konflik sosial sektarian. Dalam hal ini, kebijakan pendidikan dinilai kurang peka terhadap permasalahan mendasar bangsa. Orientasi pendidikan nasional melalui satuan pendidikan RSBI diwujudkan melalui berbagai komponen pendidikan yang dapat dipahami dari pendapat seorang birokrat pendidikan nasional berikut. RSBI mengacu kepada salah satu negara yang memiliki pendidikan yang baik di negara-negara OECD: cara belajar, prosesnya, kurikulumnya. Kita menggunakan kurikulum nasional yang diperkaya dengan kurikulumkurikulum dari negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan yang baik… (Suyanto, Dirjen Didaksemen, Kemdikbud).
164
Menurut Winarno sistem pendidikan yang paling relevan saat ini adalah sistem pendidikan yang mendukung nasionalisme yang dewasa ini sangat serius masalahnya, tidak seperti RSBI yang kontroversial tersebut. Penggunaan bahasa Inggris, misalnya, dalam pendidikan perlu dikaitkan dengan masalah-masalah nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa. Pendidikan sebagai sarana penguatan nilai-nilai identitas dan kebangsaan seharusnya tidak terjebak pada penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah. Hal ini didukung oleh Abdul Chaer yang berbicara tentang bahasa Inggris dalam hubungannya dengan pendidikan dan bahasa nasional. Dalam hal ini, bahasa Inggris diasosiasikan dengan bahasa elit dan “bergengsi” dan dengan demikian bahasa Indonesia dapat terpinggirkan menjadi bahasa kaum bawah. ...penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah, kebijakan ini tidak hanya memberi dampak negatif terhadap upaya pemerintah untuk membina Bahasa Indonesia, pembinaan akan terhambat karena bahasa Inggris ini, ya anak-anak pasti akan lebih bangga berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Saya pernah mendengar sendiri di salah satu TK di Kelapa Gading kata gurunya, “Kalau kamu bisa berbahasa Indonesia cuma bisa ngomong sama orang Indonesia, tapi kalau kamu bisa berbahasa Inggris bisa ngomong dengan orang asing, orang siapa saja.” …(Abdul Chaer, Risalah Sidang MK, 24 April 2012, hlm. 22). Kutipan di atas juga menegaskan tentang bahasa sebagai modal budaya yang dapat memengaruhi motivasi sesorang dalam belajar di era globalisasi. Kuatnya pengaruh globalisme berpotensi meminggirkan identitas nasional. Salah satu fenomena terkait dengan realitas pengajaran bahasa di SMA, misalnya, adalah rendahnya apresiasi dan nilai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, berbeda dengan perolehan nilai bahasa Inggris. Pada pelaksanaan UN 2011,
165
misalnya, 80% siswa SMA yang gagal UN tersandung dengan perolehan nilai bahasa Indonesia yang tidak mencapai standar nilai 4.0 dan 60% dan siswa SMK yang gagal UN terkait dengan nilai bahasa Indonesia yang juga tidak mencapai standar kelulusan UN (Bali Post, Minggu 15 Mei 2011, hlm. 1). Fakta lainnya yang dapat ditemukan di masyarakat dan sekolah adalah bahwa seorang siswa dapat memiliki beberapa kamus bahasa Inggris, tetapi belum tentu memiliki kamus bahasa Indonesia atau kamus bahasa daerah. Dalam hal ini, paradigma pedagogi kritis melihat posisi guru, siswa, dan masyarakat harus terbebas dari hegemoni budaya, sehingga anak didik tidak mengalami ketercerabutan budaya dalam arti menjadi orang-orang yang tercerabut dari “kebudayaan saya” (Spradley, 1997: 14; Tilaar, 2011: 44-45). Dalam konteks identitas bangsa, berkurangnya peluang bahasa Indonesia sebagai bahasa IPTEK akibat ekstensifikasi ruang penggunaan bahasa Inggris di lembaga pendidikan. Bagi kebanyakan anak Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua setelah bahasa ibu. Dalam jangka waktu tertentu, posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dikhawatirkan akan menjadi bahasa kaum bawah yang membedakan mereka dari anak-anak dari kelompok elit terpelajar (Itje K, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 28). Penjelasan di atas mengingatkan pemikiran Bourdieu (1991) bahwa bahasa Inggris merupakan “kapital budaya” dan “modal simbolik” dalam konteks kehidupan modern, sedangkan bahasa Indonesia atau bahasa daerah menjadi bahasa “kelas dua”. Dalam perspektif psikolinguistik, seseorang tetap lebih efektif menyerap suatu pembelajaran dengan menggunakan bahasa ibu dibanding bahasa kedua dan/atau bahasa asing. Dengan demikian, penggunaan bahasa Inggris
166
sebagai bahasa pengantar bermasalah secara metodologis. Secara konstitusional, sesuai UU Kebahasaan 2005, kebijakan ini dapat diterima jika dasarnya hanya menguatkan pencapaian tujuan dan proses pembelajaran bahasa Inggris. Selain itu, tantangan guru yang meliputi bahasa, pedagogi, dan content (akademik) menjadi sangat berat ditengah kualitas guru yang rendah dan manajemen pendidikan yang kompleks. Pengajaran Bahasa Inggris sendiri di Indonesia, sesuai Surat Keputusan No. 096/1967 oleh Menteri Pendidikan (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1984: 126), pengajarannya didasarkan pada alasan instrumental atau peran bahasa ini sebagai bahasa internasional dan bahasa IPTEK sebagaimana juga tersirat dalam UU Sisdiknas UUNo.20/ 2003 (ayat, 3) “Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka NKRI dengan memperhatikan, antara lain, keberagaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; dinamika perkembangan global; dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan”. Berdasarkan rumusan UU di atas dan dari perspektif pendidikan kritis, penggunaan bahasa Inggris seharusnya merefleksikan tidak hanya nilai-nilai “globalisasi” tetapi juga identitas dan nilai-nilai budaya nasional. Selain itu, bahasa Inggris relevan dipersoalkan dalam hal impor buku-buku berbahasa Inggris baik untuk mata pelajaran MIPA dan “benchmarking” kualitas sebagaimana dalam konsep dan implementasi RSBI.
167
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI HEGEMONI PENDIDIKAN BERTARAF INTERNASIONAL DALAM PENDIDIKAN MENENGAH UMUM
Menurut Raymond William (1998: 144-145) hegemoni tidak hanya terbatas pada pengertian bahwa negara mengontrol pihak subordinat secara langsung tetapi juga termasuk mengarahkan bagaimana cara memandang dunia. Dalam hal ini hegemoni juga menyangkut upaya dominasi bagaimana cara memandang dunia secara intelektual dan politis yang diungkapkan melalui berbagai institusi. Pengertian ini sesuai dengan teori-teori kritis yang digunakan
untuk
coba
menyingkap
kesadaran
palsu
yang
hendak
dilanggengkan oleh kelompok dominan melalui hegemoni (ideologi) dan wacana kekuasaan (Lubis, 2006: 62-63; Mills, 1997: 7; Cavallaro, 2004: 137). Faktor-faktor yang memengaruhi hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum dalam pembahasan di sini mencakup faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terkait dengan politik pendidikan nasional dan kebijakan otonomi daerah dalam pendidikan. Faktor eksternal menyangkut hegemoni wacana globalisme misalnya tentang standarisasi pendidikan dan daya saing bangsa, dan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan IPTEK. Kedua faktor internal dan eksternal tersebut saling terkait dalam mendorong terjadinya hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum dan
168
pendidikan nasional. Cakupan pembahasan dan relasi berbagai “wacana: terkait dengan kedua faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Bagan 2).
P.Pendidikan & Globalisasi Bank Dunia, WTO, OECD
UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
PP No 19/2005 tentang SNP
UU OTODA Nomor 22 tahun 1999
UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen
PP NO.48 Tahun 2008 ttg Pendanaan Pendidikan
Permendiknas No 78/2009 tentang Penyelenggaraan SBI
LPMP dan BSNP
Pendidikan Bertaraf Internasional
Bagan 2. Faktor-faktor Politik Pendidikan, Globalisme dan Kebijakan PBI
6.1. Politik Pendidikan Nasional Dalam pembahasan ini, politik pendidikan dimaknai sebagai kajian tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan cara-cara pencapaian tujuan tersebut. Kajian pendidikan dalam hal ini terkonsentrasi pada peran negara dengan berbagai perangkatnya dalam bidang pendidikan yang dapat menjelaskan pola kebijakan dan proses pendidikan serta berbagai asumsi, maksud dan outcome dari berbagai strategi pendidikan dalam suatu masyarakat secara lebih baik (Sirozi, 2005:9). Dengan demikian,
169
membahas politik pendidikan nasional berarti mengkaji hubungan geneologi tujuan pendidikan nasional dan pilihan cara-cara atau strategi oleh negara dengan berbagai kebijakan dan asumsi yang mendasarinya untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut secara lebih baik. Politik dalam arti kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Menurut Sirozi (2007:17-18) dalam masyarakat modern pendidikan merupakan komoditas politik dan wilayah tanggungjawab pemerintah yang bersifat politis. Karena bersifat politis, kebijakan-kebijakan pendidikan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor non politis dalam proses pembuatannya. Karena kuatnya kaitan antara masalah pendidikan dan politik, maka kebijakan pemerintah dalam pendidikan pada umumnya merefleksikan pandangannnya tentang masyarakat dan keyakinan politiknya serta kepentingan-kepentingannya. Dalam konteks sistem pendidikan nasional, pendidikan dipahami sebagai upaya sistematis dan berkesinambungan agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran. Secara normatif, penyelenggaraan pendidikan nasional tertuang dalam UUD 45 Amandemen, antara lain, Pasal 28 C ayat (1), Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, Pasal 31 ayat (1), Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pendidikan dan (2), Pemerintah mengusahakan dan menjelenggarakan satu sistim pendidikan nasional, yang diatur dengan undang-undang, Pasal 32 UUD 1945: Pemerintah
170
memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Selanjutnya penyelenggaraan pendidikan nasional diatur dalam UU No 20/2003, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No 19/2005 tentang SNP, serta berbagai Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri tentang hakekat, fungsi, standar lulusan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Secara historis, paradigma Pendidikan Nasional
menunjukkan
dinamika perkembangan isu dan tantangan sesuai konteks zamannya. Sejarah pendidikan nasional sebelum kemerdekaan, pasca kemerdekaan dan masa ”reformasi” telah
melahirkan banyak perubahan dalam sistem pendidikan
nasional. Berbagai perubahan tersebut tidak terlepas dari paradigma berpikir (filsafat pendidikan), konsep dan fungsi pendidikan dalam konteks berbangsa dan bernegara. Wacana kualitas pendidikan dan daya saing bangsa pada era globalisasi telah menggiring munculnya wacana PBI. Francis Wahono (2001) dalam bukunya Kapitalisme Pendidikan; Antara Kompetisi dan Keadilan menyatakan bahwa paradigma pendidikan Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari warisan kolonial ke masa Orde Baru dengan kapitalisme liberal. Pada masa kolonial Jepang, sistem pendidikan nasional berhaluan liberalis-feodalis.
Paradigma liberalis-feodalis
ini
kemudian
diperkukuh oleh paradigma kompetisi yang merupakan turunan dari nilai-nilai globalisasi. Pendidikan dalam konteks dunia modern dan globalisasi adalah arena kontestasi. Perubahan orientasi sistem pendidikan nasional menuju liberalisme ditandai dengan ratifikasi pendidikan sebagai bagian dari WTO. Hal ini
171
mendapat titik kulminasinya melalui UU Sisdiknas 2003 sebagai “legal policy” dari berbagai penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang salah satu wujudnya dalam bentuk RSBI. Ideologi “internasional” (liberalisasi dan kapitalisasi) dalam pendidikan nasional semakin menguat dengan adanya pasal 50 ayat (3) Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 yang baru-baru ini (8 Januari 2013) telah dibatalkan oleh MK. Satuan PBI yang dalam pengelolaannya berbentuk RSBI merupakan strategi untuk menghasilkan kompetensi lulusan yang melampaui SNP yang didukung dengan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional. Dalam hal ini, PBI menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional dalam memajukan kualitas pendidikan. Menurut UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat (3), sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Sedangkan satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. RSBI sendiri merupakan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal. Dengan demikian, sesuai dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, eksistensi RSBI sebagai bentuk satuan PBI merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Sebagai realisasi dari UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dan berbagai peraturan yang mengikutinya, pemerintah sejak tahun 2006 telah membuka satuan PBI dalam bentuk RSBI di berbagai daerah.
Pada tahun ajaran
172
2009/2010, misalnya,
di seluruh Indonesia jumlah sekolah pada jenjang
pendidikan dasar terdapat 173.118 dan menengah 19.435 sehingga secara keseluruhan berjumlah 192.553 sekolah, sedangkan sekolah berstatus RSBI hingga saat ini (tahun 2012) mencapai 1.343 sekolah, dengan rincian SD sebanyak 239, SMP sebanyak 351, SMA sebanyak 363, dan SMK sebanyak 390 (Sumber: Dokumen MK, 2013). Kebijakan pemerintah tentang satuan PBI pada jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk mendukung layanan pendidikan yang bermutu, relevan, dan berkesetaraan di semua kabupaten/kota. Pelaksanaan program ini menggunakan strategi: (1) Fasilitasi sarana dan prasarana untuk penerapan sistem pembelajaran bermutu; (2) Penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana untuk penerapan sistem pembelajaran bermutu yang berbasis kearifan dan keunggulan lokal; (3) Pemberian subsidi dalam upaya meningkatkan akses layanan pendidikan bermutu; (4) Penyediaan tenaga pendidik atau guru yang berkompeten dan (5) Penyediaan dan penguatan manajemen satuan pendidikan yang berkompeten. Pada level implementasi dan evaluasi, target Program Pendidikan Menengah tersebut di atas dicapai melalui berbagai kegiatan yang mendukung manajemen dan pelaksanaan tugas-tugas teknis lainnya, penyediaan dan peningkatan pendidikan serta peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik atau guru yang berkompeten untuk jenjang pendidikan menengah. Keberhasilan pelaksanaan program ini diukur dari ketercapaian indikator kinerja (KIK) sebagaimana tergambar pada Tabel berikut.
173
Tabel 6.1. Indikator Kinerja Utama Program Pendidikan Menengah Kemdikbud No
Target
Kondisi Awal
2010
2011
2012
2013
2014
1
Persentase Kab/Kota dgn Minimal 1 SMA RSBI Persentase SMA dgn LAB.Komputer Persentase SMA/SMLB dgn LAB.Multimedia Jumlah Bersertifikat ISO 9001:2008 Nilai Total Medali Kompetisi Internasional Persentase Guru Kualifikasi S-1/D-4 Rasio Guru – Siswa SM Persentase dgn Rasio Guru – Siswa 1:20 :32
18.0%
28.4%
38.8%
49.2%
59.6%
70.0%
3,5%
24,5%
45,4%
66,3%
86,6%
100,0%
63%
70%
78%
85%
93%
100%
20
316
612
908
1.204
1.500
20
22
24
27
30
33
74,0%
77,1%
82,8%
87,2%
92,3%
98,0%
1:27
1:28
1:29
1:30
1:31
1:32
43%
46%
48%
51%
53%
53%
2 3
4 5
6 7 8
Sumber: Dok. Depdiknas, 2011 Untuk mewujudkan fungsi pendidikan nasional itu, pendidikan nasional diarahkan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam hal ini, UUD 45 Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Selanjutnya dalam ayat (3) dinyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-undang. Sebagaimana dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa wacana PBI merupakan arena kontestasi yang bersifat politis dan ideologis. Negara
174
(pemerintah) dengan dukungan para intelektual berupaya mengukuhkan kebijakan tersebut melalui wacana pengetahuan diskursif dan praktik kekuasan hegemonik sebagaimana dapat dipahami melalui penjelasan seorang ahli pendidikan berikut. …Pendidikan nasional sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 seyogianya dimaknai secara philosophic dan continuum eclectic. Perenialisme, yakni filosofi yang menekankan pada pewarisan nilai luhur (truth, goodness, beauty). Esensialisme yang menekankan pada conservation of culture, progresivisme yang menekankan pada pemberdayaan individu, dan rekonstruksionisme yang menekankan pada pembangunan masyarakat secara interaktif. Karena itu, konsepsi sekolah bertaraf internasional seyogianya dipahami secara … secara filsafat pendidikan eklektik dalam rangka diversifikasi layanan pendidikan untuk mewadahi perwujudan individual differences dan educational differentiation, yang telah menjadi jiwa dari Sistem Pendidikan Nasional Indonesia (Prof Udin, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 7). Dengan otoritas yang dimilikinya, pendapat ilmuan yang dikutip di atas menguatkan dan melegitimasi relevansi RSBI dalam pendidikan nasional dengan argumentasi bahwa diversifikasi layanan pendidikan adalah untuk mengakomodasi “individual differences” dan “educational differentiation” dalam kerangka pikir
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
“dibumbui” dengan jargon-jargon ilmiah dan filosofis. Padahal, dalam perspektif Pancasila, yang menjadi tolok ukur keadilan sosial seharusnya adalah apakah suatu kebijakan sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional. Dalam konteks cultural studies wacana ilmiah merupakan bagian dari produksi pengetahuan dan praktik politik yang tidak pernah bersifat netral atau objektif, melainkan menyangkut soal posisionalitas, soal siapa yang berbicara, kepada siapa dan untuk tujuan apa (Barker, 2006: 6).
175
Dalam konteks yang sama, Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Prof Slamet, pendukung satuan PBI menyatakan bahwa: Secara filosofis, SBI menganut pandangan eksistensialisme dan esensialisme sekaligus. Pandangan eksistensialisme menyatakan bahwa pendidikan harus mengembangkan eksistensi peserta didik yang berbedabeda dalam dimensi jiwa dan raganya sesuai dengan kodratnya sebagai manusia yang memiliki perbedaan. Sehingga meskipun peserta didik diberi peluang yang sama, akan selalu ada perbedaan pencapaian prestasi belajar. Nah, pendidikan harus mampu menjamin keadilan atau kewajaran” (Prof Slamet, Risalah MK, Rabu 11 April 2012, hlm. 6). Pandangan dalam kutipan di atas khususnya “…meskipun peserta didik diberi peluang yang sama, akan selalu ada perbedaan pencapaian prestasi belajar” tidak dapat dijadikan alasan untuk diskriminasi layanan pendidikan. Hal itu tidak relevan karena desain RSBI pada kenyataannya bersifat eksklusif, tidak memberi peluang yang sama bagi warga Negara sesuai semangat konstitusi. Penyelenggaraan RSBI didasarkan pada filosofi eksistensialisme dan esensialisme. Filosofi eksistensialisme menekankan pengembangan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui proses pendidikan yang properubahan, mengembangkan bakat, minat, dan kemampuanya. Filosofi esensialisme memandang fungsi dan relevansi pendidikan sebagai kebutuhan, individu, keluarga, dan kebutuhan berbagai sektor pada level lokal, nasional, maupun internasional. Dalam konteks globalisasi, pendidikan nasional dirancang untuk menyiapkan SDM yang mampu bersaing secara internasional (http://dikdas.kemdikbud.go.id/content/rsbi/pengantar/pengantar-ri.html diakses 23 Mei 2012 ). Dalam hal inilah perspektif kajian budaya menawarkan filosofi kritis, yang memandang teori-teori pendidikan tidak steril dari ideologi.
176
Perkembangan pesat dalam IPTEK memunculkan tuntutan baru dalam pendidikan. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan diversifikasi program pendidikan dengan pendekatan inovatif dan kreatif sehingga produk atau SDM Indonesia diharapkan dapat lebih berperan dalam ranah global. Namun, dalam implementasinya, terjadi diskriminasi berdasarkan status sosialekonomi. Tidak semua warga negara berpeluang yang sama untuk sekolah di RSBI. Pendidikan menjadi jauh dari semangat demokratis. Padahal, pasal 5 Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, selain mengatur tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, juga mengatur SNP, kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pendanaan, pengelolaan, peran masyarakat, dan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi untuk menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara. Pasal 10 juga mengamanatkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah berhak
mengarahkan,
membimbing,
membantu,
dan
mengawasi
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, pasal 11 ayat (1) mengamanatkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Ayat (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun.
177
Permendiknas Nomor 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI menegaskan bahwa PBI adalah pendidikan yang telah memenuhi SNP yang diperkaya dengan standar pendidikan negara maju. SBI dirancang untuk menghasilkan kompetensi lulusan plus standar kompetensi pada sekolah terakreditasi (sekolah mitra) di suatu negara anggota OECD. Dalam implementasinya, pemerintah mengembangkan sekolah-sekolah unggulan yang ada menjadi SBI melalui strategi RSBI. Membangun sekolah nasional plus, yaitu sekolah-sekolah dengan kurikulum nasional yang diberi muatan plus, seperti teknologi informasi dan komunikasi, desain, komunikasi visual, bahasa Inggris, dan lain sebagainya. Konsep ini pada umumnya diikuti oleh sekolah-sekolah swasta yang ada.Kenapa konsep ini kita laksanakan? Karena kalau kita memulai dari awal membangun sekolah baru, recruit new teacher dan semuanya, kita enggak ada uang, uangnya akan habis diserap untuk itu semua, tapi kita memanfaatkan yang ada, kita revitalisasi, kita tingkatkan untuk melihat bagaimana perilaku anak-anak kita yang kemudian dilakukan continuous improvement (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 16). Secara historis dan filosofis PBI dalam bentuk program SBI berdasarkan penjelasan Menteri Pendidikan Nasional pada Rapat Kerja Komisi X DPR RI 21 Maret 2011 dan Ditjen Dikdasmen (2010) bahwa pada tahun 1990-an banyak sekolah yang berlabel internasional tetapi tidak jelas standardnya dan penyelenggaraannya belum memiliki payung hukum sedangkan sekolahsekolah berkualitas sangat diperlukan agar Indonesia berdaya saing internasional. Selain itu, banyak orangtua yang mampu secara ekonomi memilih menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan pemerintah merasa perlu membangun sekolah berkualitas, baik kualitas proses maupun produknya
178
diakui secara internasional. Hal inilah yang “menginspirasi” dan mendorong pemerintah untuk merancang dan merintis sekolah bertaraf internasional. Dalam perkembangan selanjutnya, sejak tahun 2003 sistem pendidikan nasional telah memiliki dasar hukum untuk mengembangkan SBI berdasarkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat (3): “pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Undang-Undang ini kemudian disusul dengan berbagai peraturan dan petunjuk teknis untuk implementasinya mengacu pada berbagai perundangan-undangan yang relevan. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 043/P/2004 tentang Pembentukan Tim Pengendali SBI dan Sekolah Asing di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari wacana PBI dalam pendidikan nasional. Salah satu tugas tim ini adalah membantu pimpinan Depdiknas mengendalikan sekolah yang bertaraf internasional dan sekolah asing di Indonesia (Depdiknas, Himpunan Kepmennas RI, 2004: 195-199). Dengan beberapa fenomena dan pertimbangan di atas, Pemerintah mulai merintis SBI untuk meningkatkan relevansi dan kualitas proses serta hasil pendidikannya untuk menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Sejak tahun 2006 pemerintah mendirikan satuan PBI tanpa terlebih dulu melakukan pengkajian yang mendalam dan komprehensif terhadap sekolah-sekolah berlabel internasional yang telah berkembang di masyarakat. Pemerintah justru tergiring untuk mengikuti kecenderungan yang
179
terjadi di tengah masyarakat dengan membangun RSBI dengan strategi menyeleksi sekolah-sekolah unggulan dan favorit yang telah ada di berbagai kabupaten/kota di Indonesia untuk diarahkan menjadi SBI. Konsep dan implementasinya kemudian menjadi permasalahan kontroversial (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) dan digugat oleh masyarakat, para intelektual, aktivis sosial dan organisasi aliansi guru melalui lembaga MK dan melalui berbagai wacana media massa paling tidak sejak Februari 2012.
6.2 Otonomi Manajemen Pendidikan Runtuhnya rezim Orde Baru melahirkan era reformasi yang ditandai dengan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia: sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Kekuasaan yang sebelumnya bersifat
sentralistik dan otoriter kemudian
terpolarisasi
dan
mengarah
pada
desentralisasi dan demokratisasi. Dalam pemerintahan, semangat reformasi ditandai dengan lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 yang pada intinya memberikan kekuasaan politik dan ekonomi bagi daerah-daerah dan kemudian
berimplikasi
pada otonomi
manajemen
pendidikan. Sejak 2001 pemerintahan daerah mulai memberlakukan secara resmi otonomi pendidikannya. Dalam hal ini, perubahan rezim dari Orde Baru ke rezim orde reformasi ditandai dengan perubahan orientasi politik dalam kebijakan pendidikan dan implementasinya. Wacana otonomi pemerintahan daerah dalam perkembangannya berpengaruh pada sistem pendidikan nasional khususnya dalam hal manajemen
180
pendidikan. Salah satu permasalahan serius dari sistem pendidikan nasional pada masa awal reformasi adalah manajemen pendidikan yang tersentralisasi. Berbagai kebijakan tentang pendidikan mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan bersifat sentralistik sehingga dirasakan kurang kondusif untuk memberdayakan peran pemerintah daerah dan sumber daya daerah dalam memajukan pendidikan nasional. Hal ini dirasakan sebagai kendala bagi reformasi pendidikan dan semangat demokratisasi yang berkembang pasca rezim otoriter Orde Baru. Padahal UU otonomi daerah 1999 yang telah mulai diimplementasikan pada tahun 2001 memberikan tanggung jawab besar kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk pengelolaan pendidikan dan sektor lainnya seperti kewenangan atas anggaran sendiri. Selain itu, UU tersebut juga memberikan kewenangan dan tanggungjawab kepada Pemerintah Propinsi untuk melakukan koordinasi dan supervisi. Lahirnya UU tentang Otonomi Daerah berimplikasi pada manajemen pendidikan nasional termasuk pada kebijakan sekolah RSBI/SBI sebagai salah satu strategi peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan antardaerah. Otonomi daerah dalam bidang pendidikan ini kemudian disusul oleh UU dan berbagai peraturan pemerintah, seperti UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Otonomi daerah pada Kabupaten/kota memiliki semangat yang sama dengan kebijakan satuan PBI yang juga diarahkan untuk dibangun di setiap kabupaten/kota. Pada level satuan pendidikan, UU Sisdiknas dan PP tersebut, misalnya, mengamanatkan tersusunnya KTSP sebagai wujud dari otonomi sekolah
181
dengan mengacu pada standar isi dan standar kompetensi lulusan yang dibuat atau ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP ini secara
normatif
bertugas
secara
independen
untuk
mengembangkan,
memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan SNP. Dalam konteks standarisasi dan kompetensi, BSNP kini berperan sebagai organisasi industri pendidikan yang menentukan seperti standar isi, standar kelulusan, standar kurikulum dari berbagai jenis dan jenjang pendidikan (Tilaar, 2006: 21) Menurut Tilaar (2006: 78) profil pendidikan di Indonesia sangat kompleks. Berbeda dari pendidikan di negara maju yang relatif homogen, profil pendidikan Indonesia sangat beragam karena adanya perbedaan yang mencolok antar daerah, antara kota dan desa, dan antar pulau seperti SumatraJawa, Sumatra-Sulawesi. Gambaran pendidikan menengah umum pada tataran nasional dan internasional menunjukkan rendahnya mutu pendidikan nasional. Hal ini merupakan salah satu faktor penting yang mendorong pemerintah untuk menyelenggarakan program PBI dalam memajukan kualitas pendidikan nasional. Dalam konteks standarisasi pendidikan nasional, eksistensi RSBI dipandang relevan dalam konteks reformasi sistem pendidikan nasional, khususnya dalam kerangka penguatan pendidikan menengah umum. Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 mengamanatkan sistem yang bersifat integratif. Sistem pendidikan nasional terdiri atas lima jenjang: Pendidikan Usia Dini (2 tahun untuk usia 4-5 tahun), pendidikan dasar (6 tahun untuk usia 6-12 tahun), pendidikan menengah pertama (3 tahun dengan usia 13-15 tahun), pendidikan menengah atas (3 tahun untuk usia 16-18 tahun),
182
pendidikan tinggi (3-4 tahun pada tingkat sarjana; dan pascasarjana tingkat Magister dan Doktor).
Namun, program-program tersebut diselenggarakan
oleh sekolah negeri maupun swasta di bawah Departemen Pendidikan dan Departemen Agama sehingga menghasilkan empat jenis sekolah. Jenis sekolah lainnya adalah pesantren, 68% pesantren yaang memberikan beberapa jenis pendidikan sekolah formal di luar kajian keagamaan. Sejumlah pesantren memiliki sekolah di bawah Departemen Pendidikan dan Departemen Agama. Dalam hal ini, 43% pendaftar SMA berasal dari sekolah swasta (Appendiks 4. Dokumen ADB, 2006). Pada saat siswa melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan tinggi, sekolah swasta di bawah Departemen Agama (Depag) memiliki jumlah pendaftar yang secara proporsional lebih rendah dibandingkan dengan sekolah di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Pada tingkat sekolah dasar, sekolah di bawah Departemen Pendidikan menyumbang 90% dari semua sekolah yang ada dengan 93% dari sekolah negeri. Di tingkat SMP, sekolah di bawah Departemen Pendidikan Nasional memberikan konstribusi 94% dengan 53%nya dari sekolah negeri. Di tingkat SMA, memberikan konstribusi 98% dari semua sekolah yang ada dengan 46%nya dari sekolah negeri. Sekolahsekolah di bawah Depag hampir semuanya swasta pada semua jenjang: 87% di SD, 75% di SMP dan 66% di SMA (Appendiks 4. Dokumen ADB, 2006). Selain itu, sistem pendidikan nasional dikaitkan dengan kebijakan otonomi daerah semakin menunjukkan dualisme sistem pendidikan nasional. Sekolah-sekolah
yang
berada
dibawah
Departemen
Pendidikan
dan
183
Kebudayaan
terdesentralisasi,
sedangkan
satuan
pendidikan
dibawah
Departemen Agama tersentralisasi dalam pengelolaannya. Hal ini, dalam konteks manajemen pendidikan, menimbulkan persoalan tersendiri, khususnya dalam hal pendanaan dan pembinaan pendidikan yang juga berpengaruh pada kualitas pendidikan. Dalam konteks otonomi daerah (Rahmat, 2011: 1-2), PBI merupakan kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkan daya saing lulusan dan kualitas pendidikan yang setara secara nasional. Penyelenggaraan PBI diharapkan menjadi medan persaingan antar-daerah untuk menghasilkan SDM yang unggul sebagai modal dasar untuk lebih kompetitif baik pada tingkat nasional maupun global. Hal ini memiliki persamaan dengan salah satu fungsi penyelenggaraan UN, yaitu dalam rangka standarisasi kualitas pendidikan di seluruh daerah di Indonesia. Pemerintah dan pemerintah daerah dalam konteks UU Otonomi Daerah, melalui konstitusi telah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya 20% dari APBN dan APBD. Secara konseptual, otonomi pendidikan menuntut partisipasi dan kemandirian daerah otonom dalam manajemen atau pengelolaan pendidikan di daerahnya, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Sebagai implikasinya kekuasaan otonomi ini menuntut kesiapan berbagai instrumen pemerintahan dan kultur untuk melaksanakan otonomi pendidikannya, misalnya dari segi SDM dan pembiayaan pendidikan. Dalam hal ini, semangat otonomi pendidikan justru dihadapkan pada realitas tentang lemahnya partisipasi pemerintah daerah dalam mendorong kebijakan
184
PBI baik dari segi dana maupun dalam upaya mempersiapkan SDM yang berkualitas sesuai dengan yang diharapkan. Dalam implementasi PBI, keterpinggiran sebagian masyarakat dari akses pendidikan bermutu seperti RSBI tentu saja bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas. UU Sisdiknas tersebut mengamanatkan
bahwa
negara
memikul
tanggung
jawab
pendanaan
pendidikan (pasal 46 ayat 2), “Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa negara harus memrioritaskan sekurang-kurangnya 20% dari APBN untuk pendidikan. Hal ini dipertegas lagi pada Bagian Keempat tentang Pengalokasian Dana Pendidikan pasal 49 ayat (1), “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD”. Dalam hal ini, peningkatan anggaran pendidikan seharusnya dapat memperbaiki akses dan kualitas pendidikan sebagaimana tergambar dari kutipan berikut. Dalam bidang pendidikan, peningkatan anggaran secara dramatis telah dilakukan. Jika pada tahun 2005 anggaran pendidikan hanya Rp 78,5 trilyun, maka sesuai dengan amanat konstitusi anggaran pendidikan telah berhasil ditingkatkan dua kali lipat, menjadi Rp 154,2 trilyun pada 2008. Pada tahun 2009, amanat konstitusi telah berhasil dipenuhi dengan meningkatkan anggaran pendidikan menjadi Rp 207,4 trilyun atau 20 % dari APBN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014). Namun,
sebagaimana
diungkapkan
sebelumnya
bahwa
peran
pemerintah daerah belum maksimal dalam menjamin penyelenggaraan pendidikan sesuai Undang-undang dan harapan masyarakat. Selain itu,
185
anggaran pendidikan 20% dari APBN tidak efektif meningkatkan kualitas pendidikan nasional karena anggaran tersebut lebih banyak dialokasikan untuk membayar gaji guru dan tunjangan sertifikasi guru. Proses sertifikasi guru yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas guru ternyata tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan dan prestasi belajar siswa (Kompas, Jumat 15 Maret 2013, hlm. 12). Dalam aspek lainnya, secara normatif sebagai implementasi UU otonomi daerah dalam pendidikan, sejak tahun 2001 pemerintah daerah telah diberikan wewenang untuk menetapkan kurikulum muatan lokal, merancang dan memfasilitasi buku teks dasar, dan bahkan membangun kemungkinan kerjasama dengan negara lain di bidang pendidikan. Namun, kesiapan SDM dan kondisi keuangan sebagian daerah tidak mendukung untuk melaksanakan otonomi pendidikannya sesuai amanat UU dan harapan masyarakat. Perpaduan tantangan globalisasi dan semangat memajukan pendidikan berdasarkan sumber daya lokal/daerah semakin memperjelas dan menegaskan kelemahan manajemen pendidikan nasional. Tidak semua sekolah-sekolah kita mempunyai sarana, prasarana seperti laboratorium ataupun perpustakaan yang memadai. Belum lagi pengelolaan pendidikan dalam moda desentralisasi memberikan banyak tantangan yang harus diselesaikan dengan cepat, antara lain capacity building pengelola pendidikan di daerah, di lain pihak kita sudah berhadapan dengan tantangan global yang tidak bisa dielakkan lagi artinya selain menyelesaikan berbagai masalah pendidikan yang ada kita juga harus menyiapkan peserta didik kita untuk dapat bersaing dalam dunia global meneruskan estafet pembangunan bangsa (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 15). Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, eksistensi PBI dalam wujud RSBI/SBI merupakan desakan kekuatan pasar dan sosio-ekonomi global yang
186
beroperasi melalui sektor pendidikan, yang lebih “popular” dengan ideologi neoliberalisme,
yang kemudian direproduksi dan dilegitimasi oleh sistem
pendidikan nasional melalui Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 beserta berbagai peraturan derivatnya dalam konteks hegemoni kekuasaan dan relasi-kuasa pengetahuan. Akibatnya, pemerintah tidak dapat menjamin akses pendidikan bagi setiap warga negara sesuai amanat UU. Pendidikan justru beroperasi dengan prinsip-prinsip dan mekanisme “pasar”, yang didukung oleh Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 yang memberikan kebebasan kepada sekolah untuk memungut biaya pendidikan dari masyarakat. Dalam konteks pendidikan dasar, hal ini bertentangan dengan konstitusi Pasal 31 ayat (2) yang menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Hegemoni pemerintah sebagai pihak pemegang “kebenaran” atas wacana PBI sangat menonjol dalam sistem pendidikan nasional, khususnya dalam pendidikan menengah umum. Kehadiran RSBI sebagai realisasi semangat untuk mencapai standar pendidikan internasional tidak dapat dilepaskan dari sikap dan pandangan para elit bangsa dan elit pendidikan pada tingkat pemerintahan pusat yang “gamang” menghadapi perkembangan global yang bersifat hegemonik. Hal ini juga disebabkan kurangnya kajian mendalam oleh pemerintah tentang kelayakan dari segi aspek sosial budaya dan standar pendidik sebagai salah satu standar pendidikan nasional dan konsistensi pemberdayaan sekolah dalam implementasi PBI.
187
Dalam perkembangannya, wacana PBI melahirkan berbagai konsep dan makna yang kabur, misalnya, SNP Plus, Kategori/klasifikasi Mutu, muatan lokal, RSDBI, organisasi OECD, Perlombaan Olimpiade, metode pembelajaran berciri internasional (TIK), sekolah mandiri, reguler yang secara konseptual dan kultural kurang dipahami oleh banyak pelaku pendidikan. Hal ini menunjukkan selain terjadinya disorientasi ideologi pendidikan nasional juga terkait dengan realitas lemahnya SDM
(birokrasi) yang mengurusi sektor
pendidikan, khususnya dalam hal sosialisasi gagasan-gagasan baru dalam inovasi pendidikan. Kualitas sekolah RSBI dari suatu daerah ke daerah lainnya pada kenyataannya tidak sama tetapi diklaim mencapai SNP dan kemudian ditunjuk menjadi RSBI.
Hal ini tentu saja menyesatkan masyarakat,
sebagaimana diakui oleh seorang narasumber sebagai berikut. Karena persiapannya yang kurang cermat, maka evaluasi dan perbaikannya … perbaikan penyelenggaraan SBI, RSBI, sporadis, tidak holistik, dan cenderung membuat sekolah menerjemahkan kata internasional dengan bahasa Inggris dan keterampilan-keterampilan ekstrakurikuler lainnya…Jika dilihat dari praktek pelaksanaan proses penyelenggaraan program RSBI, maka muncul persepsi bahwa program ini merupakan kebohongan publik. Karena masyarakat yang mempercayakan pendidikan anaknya kepada sekolah RSBI, sebagian besar hanya mengerti bahwa RSBI membedakan anak-anak mereka dari kelompok anak-anak yang lain yang tergolong kurang cerdas tanpa kritis terhadap proses pembinaan berbagai aspek kecerdasannya (Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 28). Kutipan di atas menegaskan bahwa semangat awal melakukan pemerataan kualitas dalam konteks otonomi daerah justru kontraproduktif dengan realitas objektif daerah yang belum siap dari segi sumber daya. Persiapan pembukaan RSBI yang tidak didasarkan pada kajian cermat dan komprehensif telah menimbulkan persepsi yang berbeda diantara pelaku pendidikan. Pemerintah
188
(pusat) menghegemoni otoritas pendidikan daerah tentang PBI dengan wacana “pemerataan kualitas” dan daya saing pada aras nasional dan global. Uraian di atas menunjukkan secara jelas bagaimana hubungan antara eksistensi RSBI dan realitas rendahnya kualitas pendidikan nasional, kesenjangan mutu pendidikan antardaerah dan hubungan antara otonnomi daerah dan wacana globalisasi. Permendiknas Nomor 78/2009 tentang penyelenggaraan SBI pada jenjang Pendidikan Menengah pasal 2 mendukung kondisi di atas. Pendidikan nasional diarahkan pada internasionalisasi mutu dan aspek pembangunan ekonomi, sosial, dan teknologi dalam konteks daya saing pada era globalisasi.
6.3. Wacana Globalisme Istilah globalisasi merupakan sebuah konstruk yang kompleks dan sebuah eufemisme yang menyembunyikan pertarungan makna dan dominasi ideologi. Globalisasi dipandang sebagai hegemoni neoliberal dan borjuis yang melegitimasi ”sistem exploitatif” (Zajda, 2005; xiii). Dalam operasinya, globalisasi
ditandai
dengan
terjadinya
mobilitas
yaitu
(1)
manusia
(ethnoscape), (2) uang (finanscape), (3) teknologi (technoscape), (4) media (mediascape, (5) dan ideologi (ideoscape) dengan nilai-nilainya yang berkonfrontasi dengan nilai-nilai kebangsaan suatu negara (Appadurai, 1997). Pemahaman tentang globalisasi di atas dapat menggambarkan bagaimana globalisme berpengaruh pada eksistensi PBI.
Hal ini juga sesuai dengan
pengertian globalisasi sebagai sebuah proses dalam kutipan berikut.
189
Globalisasi adalah suatu proses, bukan suatu pengertian yang statis. Globalisasi juga bukan sesuatu yang otomatis terjadi. Ia lahir dari perilaku manusia dan gagasan-gagasan yang lahir dari berbagi interaksi antarmanusia, antarmasyarakat, dan antar negara, yang pada abad kedua puluh yang lalu dimulai dari bidang ekonomi (Hoed, 2008: 101). Globalisasi sebagai proses meningkatnya mobilitas orang, budaya, ide, nilai-nilai, pengetahuan dan teknologi dan ekonomi lintas batas mengakibatkan dunia saling terhubung dan ketergantungan. Dalam pendidikan, globalisasi melibatkan beberapa faktor penting yaitu, masyarakat berbasis pengetahuan, ICT, ekonomi pasar, liberalisasi perdagangan dan struktur pemerintahan. Masyarakat berbasis pengetahuan mementingkan produksi dan pemanfaatan pengetahuan secara profesional. Kemajuan TIK berimplikasi pada upaya sekolah mengembangkan metode pembelajaran berbasis internet dan komunikasi internasional. Ekonomi pasar berdampak pada komersialisasi dan komodifikasi pendidikan seperti melalui akreditasi, standarisasi mutu dan pengakuan internasional, dan liberalisasi perdagangan terwujud dalam berbagai peraturan “ekspor-impor” jasa pendidikan dalam bentuk materi ajar. Dalam hal RSBI, kurikulum Cambridge dan buku-buku yang digunakan dalam proses pembelajaran. Globalisasi berdampak pada kebijakan dan peraturan tentang perlunya implementasi standarisasi internasional seperti akreditasi manajemen ISO untuk mendapatkan pengakuan internasional (Darmin, 2012: 242-244). Menurut Joel (2004:37) dalam bukunya yang berjudul
How
Educational Ideologies Are Shaping Global Society, Bank Dunia dan organisasi-organisasi PBB merupakan bagian dari banyak organisasi yang
190
peduli terhadap pendidikan komunitas global dan Bank Dunia memiliki saling keterkaitan dengan lembaga OECD. Secara historis, lembaga-lembaga pendidikan berperan besar dalam membangun komunitas global. Sebagian organisasi pendidikan dunia terlibat dalam, misalnya, pembentukan klub-klub Esperanto tahun 1890 yang mengajarkan dan mendukung bahasa Esperanto sebagai bahasa global dalam upaya membangun perdamaian dunia melalui sebuah
“bahasa
persatuan”.
Selanjutnya
organisasi-organisasi
tersebut
menggarap isu-isu pembangunan dan pemberantasan kemiskinan sebagaimana tergambar dari kutipan berikut. When World War II, global educational organizations blossomed as part of postwar construction, the Cold War, and the dismantling of colonial empires. ... OECD, the World Bank, and the U.N. eductional organizations were born from the wars‘s ashes. By the 1970s, these organizations‘ activities expanded beyond postwar reconstruction to issues of development and eradication of poverty. In the process, they created a framework for the globalization of educational policies. (Joel, 2004:37) Dalam bidang ekonomi, lembaga-lembaga regional dan internasional seperti Asian Development Bank (ADB), World Bank (Bank Dunia) dan International Monetary Fund (IMF) berperan besar dalam memengaruhi kebijakan perekenomian Indonesia ke arah ideologi neoliberal melalui beberapa tokoh ekonomi Indonesia yang sudah dikenal publik seperti Widjojo Nitisastro dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Sejak era Orde Baru hingga kini, era reformasi, hubungan Indonesia dengan lembaga-lembaga internasional ini diyakini memiliki pengaruhi besar terhadap berbagai aspek sosial ekonomi Indonesia (Mantra. D, 2011:17-18). Dalam konteks neoliberalisme, hal ini juga didukung oleh MacEwan (1999:4) dengan menyatakan:
191
While the basic tenets of neo-liberalism operate in the rich countries, the policy plays its most role in many of the low-income countries of Latin America, Africa, Asia and Central and Eastern Europe. Within these countries, influential groups see their fortunes tied to neo-liberalism, but the conflict over economic policy is seldom confined within a nation‘s borders. Officials from the international lending agencies, particularly the IMF and the World Bank, from the governments of the economically advanced countries, particalarly the United States, and from private internationally operating firms use their economic and political power to foist ‗market-oriented‘ policy on the peoples of the low-income countries (MacEwan, 1999:4). Proses globalisasi terutama didorong oleh kekuatan pasar, yang menyebar ke sebagian besar wilayah kehidupan, diantaranya pendidikan. Inovasi teknologi telah menjadi prakondisi bagi percepatan proses globalisasi sejak tahun 1970-an. Kekuatan globalisasi mencakup penyebaran gagasan, diantaranya persepsi bahwa berbagai bagian dari dunia ini adalah saling terhubung) (Zhang Xiaoqing and Holger Daun, t.th: 165-166). Dalam hal ini, pemerintah (negara) dengan kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya berperan menggerakkan para intelektual dan elit pendidikan sebagai agen perubahan masyarakat dalam konteks dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan politik dan globalisasi yang berpengaruh terhadap sistem pendidikan nasional melalui berbagai wacana, seperti undang-undang dan berbagai kebijakan yang mendorong kehadiran PBI dalam bentuk RSBI/SBI. Dengan wacana globalisasi, para intelektual cenderung menoleh ke halhal yang ”berbau” globalisme. Isu standarisasi pendidikan dan daya saing menjadi pilihan untuk dapat berkiprah pada level internasional. Keberhasilan pendidikan nasional dilihat dari tingkat daya saing dan sejauh mana anak didik dapat berpartisipasi dalam ”event” internasional. Hal ini dapat tergambar dari
192
kutipan berikut oleh seorang intelektual yang mendukung eksistensi PBI dalam sistem pendidikan nasional. … apabila bangsa Indonesia bercita-cita menghasilkan peraih Nobel, maka mau tidak mau satuan pendidikan nasional harus menerapkan standar pendidikan yang bertaraf internasional…“Upaya untuk mencerdaskan bangsa sehingga mampu berkompetisi secara global (Prof. Yohanes, Risalah Sidang MK, Selasa, 24 April 2012, hlm. 13).
Kutipan diatas secara jelas menggambarkan globalisme dengan orientasi bahwa “target” pendidikan berupa hadiah Nobel dan kompetisi bertaraf internasional dipandang sebagai bentuk upaya mencerdaskan bangsa. Hegemoni globalisme dalam hal ini beroperasi melalui Undang-undang dan berbagai ketentuan pemerintah yang dapat diberlakukan dalam sektor pendidikan dan berbagai wacana pengetahuan yang merasionalisasi pentingnya satuan PBI dalam sistem pendidikan nasional. Raymond William dalam bukunya
Key Words: A Vocabulary of
Culture and Society (1988) menjelaskan istilah hegemoni tidak terbatas pada pengertian bahwa negara melakukan kontrol politik secara langsung terhadap pihak subordinat tetapi juga dominasi bagaimana cara memandang dunia secara intelektual dan politis yang diungkapkan melalui berbagai institusi (William, 1998:144-145). Dalam hal ini hegemoni wacana globalisme tentang pendidikan “yang benar” beroperasi melalui berbagai lembaga dunia atas sistem pendidikan nasional. Negara dalam proses hegemoninya ditopang oleh para intelektual melalui berbagai diskursus tentang relevansi PBI dalam pendidikan Indonesia modern dan era globalisasi yang sarat dengan persaingan. Dalam konteks ini, hegemoni pada level pemikiran, kesadaran dan perilaku
193
terkait dengan tiga bidang, yaitu ekonomi (economic), negara (state), dan masyarakat (civil society) (Bocock: 1986: 33). Dalam hal ini, pihak yang terhegemoni melihat globalisme sebagai hal yang wajar dan karenanya mendukung
pihak
dominan
dalam
berbagai
implementasinya
dalam
pendidikan.
Globalism," therefore, is the belief or a form of knowledge that "globalization" should happen. Globalism accepts "globalization" as natural. …globalization, in fact, causes the Americanization of the world culture and McDonaldization of the society: it is not a process carefully planned, but it is a mere affirmation of the structure of the unequal global relations in which a few Center nations dominate over the Periphery nations…Thus, "globalism" justifies "globalization" as it is happening today. "Globalism" prevents us from recognizing the three consequences of globalization including: (1)Anglo-Americanization, (2)Transnationalization and (3) Commercialization of our contemporary life (Sumber:http://www.miresperanto.narod.ru/en/english_as_intern/hegemon y_of_english.htm). Secara geneologis, sejak tahun 1995, Indonesia telah menjadi anggota WTO dan menyepakati Agreement on Agriculture dengan meliberalisasi sektor pertanian domestik melalui beragam implementasi kebijakan neoliberal di sektor pertanian. Dengan menjadi anggota WTO, Indonesia ikut meratifikasi semua perjanjian perdagangan multilateral. Tahun 2005 negara-negara anggota WTO telah menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain teknologi informasi dan komunikasi (TIK), pendidikan tinggi, dan pendidikan sepanjang hayat. Dengan demikian globalisasi dan internasionalisasi menjadi tak terelakkan dalam sektor pendidikan (Mantra, 2011; 7; Effendi, 2005: 1-2).
194
Konsep pendidikan sepanjang hayat (lifelong learning) sendiri yang muncul di Eropa pada tahun 1960 dan 1970 merupakan adaptasi dari pemikiran neoliberal yang kemudian dipromosikan oleh organisasi UNESCO dan OECD. Konsep ini merupakan sebuah bentuk privatisasi tanggungjawab pendidikan untuk melayani dan mempromosikan kepentingan pasar dalam konteks masyarakat pasca kesejahteraan (a post-welfare Eropa,
hal
ini
merupakan
strategi
society). Dalam konteks
pendidikan
untuk
mengalihkan
tanggungjawab biaya pendidikan dan pengetahuan pada individu (Apple dalam Darmin, 2011:84-85). Kehadiran Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tidak terpisahkan dari wacana globalisasi dengan orientasinya pada sektor ekonomi. Hal ini terkait dengan ratifikasi Indonesia atas perjanjian-perjanjian perdagangan dalam WTO yang mengikat seluruh anggotanya. Secara khusus Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Sisdiknas itu mengamanatkan di setiap daerah kabupaten/kota untuk membuka sekurang-kurangnya satu satuan PBI. Sebagai implikasi dari UU tersebut, sejauh ini Pemerintah telah mendirikan sekitar 1.300 sekolah RSBI di berbagai kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Internalisasi ideologi PBI yang lebih berorientasi globalisme beroperasi melalui berbagai Undang-undang, kebijakan pendidikan dan peraturan pemerintah. serta berbagai sosialisasi pendidikan dan wacana-wacana diskursif melalui jargon-jargon modernisme, seperti “SDM”, “kualitas standard”, “daya saing bangsa di arena internasional”, ”globalisasi”, sertifikat ISO, ”efisiensi,
195
dan ”produktifitas”. Isu-isu pendidikan dalam kaitannya dengan ekonomi dan globalisasi sangat intensif beberapa tahun terakhir menjelang dan setelah era reformasi di Indonesia baik melalui media massa maupun dalam berbagai forum ilmiah. Menurut Djokoparanoto (2011: 89) globalisasi tidak hanya menyangkut dan berdampak pada bidang ekonomi, tetapi juga menyangkut dan berdampak pada hampir seluruh bidang kehidupan manusia, termasuk bidang pendidikan. Pendidikan nasional dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan sosial (ketidakadilan), budaya (nilai-nilai), ekonomi dan politik (demokrasi). Selanjutnya Djokopranoto menyatakan: Globalisasi di satu pihak dapat dan sudah menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan yang makin lebar, tetapi di lain pihak menyediakan kesempatan lebih lebar untuk berkembang. Dampak ini dapat berpengaruh buruk tetapi dapat juga berpengaruh baik pada bidang pendidikan. Berpengaruh buruk jika kita hanya melihat sisi persaingan yang tidak adil dan jika kita ikut terhanyut di dalamnya. Berpengaruh baik apabila kita mampu memanfaatkan globalisasi (Djokopranoto, 2011: 89-90). Kutipan di atas menggambarkan bahwa pilihan untuk berpartisipasi dalam arena kontestasi global sangat tergantung pada bagaimana bangsa Indonesia menyikapi globalisasi secara kritis melalui program-program pendidikan yang tidak kontraproduktif dengan visi pendidikan nasional. Dalam hal ini, bagaimana pendidikan nasional dapat memanfaatkan globalisasi tanpa mengorbankan visi dan misi negara-bangsa. Dalam pandangan teori kritis, kaum intelektual dapat memilih untuk terlibat dalam kegiatan produksi pengetahuan dan/atau “kebenaran”, baik untuk mendukung hegemoni global atau menantangnya (kontra-hegemoni) melalui institusi sosial dan praktik-
196
praktik (wacana) pengetahuan. Dalam konteks ini, pengetahuan secara inheren bersifat ideologis, sosial dan politis dalam arti tidak bebas nilai
dan
kepentingan dan kuasa kelompok sosial tertentu (Foucault, 1977: 27-28; Mantra. D, 2011:17-18; Lubis, 2006: 155). Dalam bukunya, Globalisation and The Politics of Education Reform, Joseph Zajda dan Maclean A Geo-Jaja (2011:xiii) menyatakan bahwa istilah globalisasi merupakan sebuah konstruk yang kompleks dan sebuah eufemisme yang menyembunyikan pertarungan makna dan dominasi ideologi, mulai dari model Wallerstein (1979) tentang ”sistem-dunia” dan pendekatan Castell (1989) tentang identitas tunggal dan integrasi masyarakat jaringan yang bersifat lokal dan global secara simultan hingga globalisasi dalam bentuk jaringan kerja. Kekuasaan aliran modal, teknologi dan informasi menentukan munculnya ”masyarakat jaringan”.
Dalam hal ini globalisasi dipandang
sebagai hegemoni neoliberal dan borjuis yang melegitimasi ”sistem exploitatif”. Istilah globalisasi, seperti halnya posmodernisme, saat ini digunakan secara meluas dalam teori-teori sosial, riset kebijakan dan pendidikan (Zajda, 2005:xiii; Lubis, 2006:201). The World system (WS) is the structure and relationship between different interdependent components (states, transnational companies, organizations, etc), while globalization implies the processes and flows that take place in the WS. When the links between the components become more extensive and form chains, networks, exchanges and transactions, these processes may be seen as globalization (Henderson, 1996) (Sistem Dunia adalah struktur dan hubungan antara komponen-komponen yang berbeda dan saling ketergantungan (negara, perusahaan lintasnegara, organisasi, dsb), sementara globalisasi menyiratkan makna proses dan aliran yang terjadi dalam Sistem Dunia. Bila keterkaitan antara komponen-komponen tersebut menjadi semakin intensif dan membentuk
197
jaringan, proses-proses ini dapat dipandang sebagai globalisasi.) (Zhang Xiaoqing and Holger Daun, t.th, hlm. 165-166). Selanjutnya, Joseph Zajda dan Maclean A Geo-Jaja (2005:xiii-xiv) menyatakan
bahwa
globalisasi,
marketisasi
dan
reformasi
berbasis
kualitas/efisiensi di seluruh dunia telah mengakibatkan perubahan-perubahan struktural dan kualitatif dalam pendidikan, termasuk meningkatnya orientasi pendidikan pada ”belajar sepanjang hayat bagi semua” dan ”ekonomi pengetahuan” dalam budaya global. Dalam sebuah artikel tentang globalisasi yang berjudul Dialectics of Globalization (t.th), Kelner menyatakan: Globalization continues to be one of the most hotly debated and contested phenomena of the past two decades. A wide and diverse range of social theorists have argued that today's world is organized by accelerating globalization, which is strengthening the dominance of a world capitalist economic system, supplanting the primacy of the nation-state by transnational corporations and organizations, and eroding local cultures and traditions through a global culture. (Globalisasi terus menjadi salah satu fenomena perdebatan dan kontestasi yang paling hangat dalam dua dekade terakhir. Para ahli teori sosial dari lingkup yang luas dan beragam berpendapat bahwa dunia saat ini diatur oleh percepatan globalisasi, yang memperkukuh dominasi sistem ekonomi kapitalis, menanamkan keunggulan negara-bangsa oleh korporasi dan organisasi lintasbangsa, dan menggerus budaya dan tradisi lokal melalui budaya global) (Kellner, t.th. hlm. 1). Kutipan di atas menegaskan kompleksitas permasalahan tentang globalisasi baik dari segi ekonomi maupun budaya. Dalam konteks pendidikan modern, pemerintah dalam upaya mencapai pendidikan berkualitas cenderung menoleh pada isu-isu pendidikan internasional. Tujuan utama pendidikan dipandang sebagai upaya meningkatkan prospek sosial ekonomi individu dan hal ini diyakini dapat dicapai hanya melalui standarisasi pendidikan. Pendidikan berkualitas menuntut standarisasi manajemen maupun proses
198
pembelajaran yang didukung oleh TIK yang canggih. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global tidak terlepas dari dinamika yang terjadi pada aras internasional, khususnya memasuki tahun 2020 sebagai era perdagangan bebas baik di tingkat regional maupun global. Berbeda dari gambaran di atas, perdebatan tentang globalisasi (ideologi) di Indonesia nyaris “sepi” di kalangan para pakar pendidikan, mereka lebih cenderung terhegemoni oleh wacana globalisasi. Wacana globalisasi yang muncul sejak tahun l980-an telah membawa perubahan pola pikir dan paradigma di Indonesia, termasuk dalam dunia pendidikan sebagai bidang strategis untuk mengatasi permasalahan daya saing SDM pada tingkat internasional. Beberapa fenomena permasalahan pendidikan di Indonesia, antara lain: (l) kualitas pendidikan tidak memuaskan, bahkan tercatat berperingkat rendah pada tingkat Asia sekalipun (2) biaya pendidikan dari waktu ke waktu dirasakan semakin mahal akibat daya beli dan daya saing masyarakat yang rendah (3) lahirnya pemikiran-pemikiran baru untuk membuka sekolah-sekolah bertaraf internasional, (4) munculnya gagasangagasan baru berupa kurikulum berbasis kompetensi, ”life skills” dan pembelajaaran berbasis TIK menjadi sangat penting (Sinaga, 2005: 2-3) Pendidikan dalam konteks globalisasi melibatkan berbagai lembaga internasional yang menyokong internasionalisasi pendidikan, seperti World Bank (Bank Dunia), OECD, International Monetary Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), dan UNESCO. Bahkan, organisasi-organisasi Bank Dunia, WTO, dan IMF merupakan instrumen pendorong bagi meningkatnya
199
pasar regional dan global yang sekaligus berfungsi sebagai lembaga-lembaga pengendali bagi pertukaran ekonomi global. Hal ini sejalan dengan pemahaman umum bahwa isu negara-bangsa dan nasionalisme sudah agak usang (Calderone and Rhoads, 2011:4). Bank Dunia sebagai investor global terbesar dalam sektor pendidikan merupakan lembaga yang bekerja dengan organisasi internasional lainnya. Lembaga ini didirikan pada tahun 1947 sebagai organisasi keuangan antarpemerintah untuk membangun kembali Eropa. Saat ini Bank Dunia dimiliki oleh lebih daripada 184 negara anggota pemegang saham. Dalam operasionalnya lembaga ini meminjamkan dana untuk proyek-proyek pendidikan kepada LSM global seperti dalam proyek ”Early Child Development: The First Step to Education for All‖,Aga Khan Foundation, Save the Children, Open Society Institute. Selain itu World Bank juga menggunakan standar pendidikan seperti OECD. Menurut laporan Bank Dunia yang bertajuk ”Education Sector Strategy”,: Specific international targets have been agreed on for universal primary education, adult liracy and gender parity in basic education within the Education for All Initiative and the OECD‘s Development Assistance Committe (DAC) goals (Spring, 2004:29-30). Penegasan bahwa lembaga OECD merupakan salah satu instrumen globalisasi juga tampak dari kutipan berikut. OECD telah berkembang pesat dalam mengglobalisasikan ekonomi dunia. OECD sendiri diglobalisasi oleh anggotanya yang baru ...Selanjutnya OECD menganalisis segi-segi dari globalisasi, dan implikasi kebijakannya telah menjadi tema pusat dari karya OECD, sebab tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan globalisasi telah menjadi prioritas tinggi dari pengambil kebijakan dalam negara-negara OECD (OECD, 1996:15).
200
Secara formal, globalisasi diperkokoh oleh WTO untuk mengatur sistem perdagangan multilateral. Indonesia sebagai negara yang turut menandatangani pembentukan WTO harus tunduk pada prinsip lembaga tersebut dalam menjamin terciptanya perdagangan bebas dan praktik persaingan bebas. Liberalisasi perdagangan dunia pada dasarnya mencakup dua kategori barang dan jasa, yakni berdasarkan kesepakatan dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan General Agreement on Trade and Services (GATS). Pendidikan termasuk dalam kategori jasa dan Indonesia terikat untuk mematuhinya dalam konteks kesepakatan GATS (Djokopranoto, 2011: 43-44). Ideologi “internasional” (liberalisasi dan kapitalisasi) dalam pendidikan nasional tidak dapat dilepaskan dari peran WTO yang memasukkan pendidikan sebagai komoditas internasional yang kemudian beroperasi di Indonesia melalui kebijakan-kebijakan pendidikan seperti RSBI. Eksistensi RSBI merupakan hegemoni kekuatan pasar global dalam sektor pendidikan, yang kemudian direproduksi dan dilegitimasi oleh sistem pendidikan nasional melalui Undang-undang Sisdiknas 20/2003 beserta berbagai peraturan derivatnya. Dalam konteks ekonomi, tiga lembaga internasional seperti ADB, Bank Dunia dan IMF berperan besar dalam memengaruhi kebijakan perekenomian Indonesia ke arah ideologi neoliberal melalui beberapa tokoh ekonomi Indonesia seperti Widjojo Nitisastro dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Sejak era Orde Baru, hubungan Indonesia dengan lembaga-lembaga internasional
201
tersebut diyakini sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek sosial ekonomi Indonesia. Pada era reformasi hubungan Indonesia dengan lembaga-lembaga internasional tersebut masih dirasakan pengaruhnya melalui, misalnya, peran tokoh ekonomi Sri Mulyani, sebagaimana terungkap melalui kutipan berikut. Sri Mulyani juga memiliki kedekatan dengan IMF, di mana pada tahun 2002-2004 ia menjabat sebagai Direktur Pelaksana IMF mewakili 12 negara di Asia Tenggara...Bahkan Sri Mulyani per 30 Juni 2010 menduduki jabatan penting sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.Suatu posisi yang mustahil dapat diduduki oleh seseorang yang tidak memiliki keyakinan fundamental terhadap neoliberalisme dapat menduduki posisi penting dalam lembaga memperjuangkan paradigma tersebut (Mantra, 2011: 191-192). Kutipan di atas sekaligus menegaskan bahwa sulit mengabaikan bagaimana ekonomi neoliberal tidak memengaruhi sektor pendidikan nasional melalui pemikiran-pemikirannya. Selain itu,
tokoh-tokoh ekonomi tersebut di atas
selain pernah menjadi tokoh penyelengara negara mereka juga berlatarbelakang dari lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi). Sektor pendidikan merupakan salah satu inti dari misi Bank Dunia untuk mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat dunia. Dalam sebuah laporan Bank Dunia tentang Pendidikan dan Pembangunan, lembaga ini bahkan mengklaim sebagai satu-satunya lembaga keuangan eksternal terbesar yang turut membiayai pendidikan. Dengan perannya sebagai pemberi dana terbesar, Bank Dunia bahkan mampu memengaruhi suatu kebijakan pendidikan melalui berbagai persyaratan pinjaman ke berbagai negara dan organisasi swasta, dan bahkan kebijakan pengembalian pinjaman oleh suatu negara yang dapat memengaruhi anggaran pendidikan negara tersebut. Dengan demikian negara yang terkait dengan kebijakan Bank Dunia menjadi berperan
202
merepresentasikan kepentingan global dan berpotensi mengabaikan situasi lokal (Spring, 2004:28). Dalam sejarahnya,
mulai rezim Orde Baru hingga era reformasi,
wacana pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari wacana globalisasi dan peran Bank Dunia. Dalam hal ini, Bank Dunia sebagai lembaga keuangan internasional berperan aktif dalam memberikan bantuan pendidikan untuk mengembangkan RSBI/SBI (Darmin, 2011, 294). Selain itu, dalam sebuah laporan Bank Dunia (1998) yang bertajuk Education in Indonesia: From Crisis to Recovery, terungkap juga bahwa pendidikan nasional dihadapkan pada permasalahan manajemen pendidikan yang sentralistik (Supriyadi dan Jalal, 2001). Berdasarkan laporan tersebut, Bappenas kemudian mengkaji program pendidikan seperti MBS. Kajian tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Proses terjadinya “intervensi” Bank Dunia dalam implementasi suatu kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut (Bagan 3).
Bagan 3: Model Aliran Pemikiran Global-Lokal
203
Ketika wacana yang diuraikan di atas berkembang munculah UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 tentang peran pemerintah daerah dalam mengelola pendidikan, yang kemudian diberlakukan mulai 1 Januari 2001 (Syaukani, 2001). tanggungjawab
UU otonomi daerah ini memberikan wewenang dan
kepada
Pemerintah
Kabupaten/Kota
untuk
mengelola
pendidikan (dan berbagai sektor lainnya) dan Pemerintah Provinsi berperan untuk melakukan koordinasi dan supervisi. Demokratisasi pengelolaan pendidikan diharapkan dapat memajukan pendidikan nasional dengan melibatkan pemerintah daerah melalui instrumen UU otonomi daerah dan partisipasi masyarakat. Kehadiran Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tersebut di atas tidak terlepas dari pengaruh wacana global khususnya lembaga keuangan World Bank sebagai lembaga donor dan salah satu agen globalisasi. Hal yang sama, tentang bagaimana dinamika pendidikan nasional tidak steril dari wacana globalisasi,
juga dapat dikaji dan dipahami melalui UU Sisdiknas 2003,
khususnya terkait dengan wacana PBI dan negara-negara maju yang tergabung dalam OECD yang juga “agen” globalisasi. OECD sebagai forum negaranegara maju, dalam hal ini, menjadi acuan standar kualitas pendidikan bagi sistem pendidikan nasional. Dalam bidang ekonomi-keuangan, OECD bersama-sama dengan Kementerian Keuangan Indonesia juga telah mengembangkan program kerjasama yang menyangkut topik-topik misalnya lembaga keuangan, investor dan pendidikan keuangan. Selain itu, OECD juga berperan dalam pendidikan
204
pada tingkat regional, Asia Tenggara, khususnya di Indonesia sebagaimana tampak pada penjelasan berikut. Pendidikan, bukan hanya sebagai pilar pertumbuhan ekonomi tetapi juga prasyarat pembangunan jangka panjang, yang dapat memberdayakan individu untuk menjadi warga negara aktif. OECD berusaha memahami dampak pendidikan terhadap pertumbuhan nasional dan kesejahteraan individu, serta perannya dalam memberantas kemiskinan dan hambatan sosial. Organisasi ini juga menyediakan data dan analisis lintas negara serta memberikan saran yang spesifik untuk suatu negara dalam menyusun kebijakan pendidikan mulai dari anak usia dini hingga usia sekolah dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pembelajaran orang dewasa…Kajian mengenai Kebijakan Pendidikan di Indonesia, rencananya akan dilaksanakan pada tahun 2013 untuk memeriksa keseluruhan sistem pendidikan Indonesia (OECD, 2012: 48). Kutipan di atas secara jelas menunjukkan bagaimana pengaruh OECD terhadap pendidikan nasional mulai dari anak usia dini hingga pendidikan tinggi, tidak hanya “karakter liberal” OECD tetapi juga bagaimana pengaruh “eksternal” dalam sistem pendidikan nasional dan bahkan tercatat berlanjut hingga tahun 2013. Dalam konteks pemikiran Foucault tentang geneologi wacana, sebuah kajian pada tahun 2003 dilakukan oleh OECD dengan mensurvei kemampuan membaca, matematika dan sains siswa berusia 15 tahun (setara kelas 1 SMA di Indonesia). Dalam kajian tersebut ditemukan bahwa siswa Indonesia menempati posisi ke-39 dari 41 negara yang disurvei dalam hal kemampuan membaca dengan rata-rata skor sama dengan 74% dari ratarata OECD. Negara yang mencapai skor tertinggi adalah Finlandia. Dalam bidang matematika, siswa Indonesia bahkan berada di urutan ke-39 dari 41 negara yang ikut dalam tes dengan rata-rata skor sama dengan 73% dari ratarata OECD dan hanya 66% dari negara yang mencapai skor tertinggi, yaitu Hongkong. Dalam bidang sains, siswa Indonesia berada di ranking 38 dari 41
205
negara yang ikut dalam tes dengan rata-rata skor sama dengan 79% dari ratarata OECD dan hanya 71% dari negara yang mencapai skor tertinggi, yaitu Korea (Sumber: Proposal untuk ADB 2005, hlm. 8). Produksi dan sirkulasi wacana merupakan satu komponen dari praktik wacana dan pembangunan merupakan satu bentuk wacana. Dalam konteks pendidikan sebagai target pembangunan yang strategis bagi negara, menurut Escobar (Mulyani, 2009: 90-92; Escobar, 1995: 430-431), paling tidak ada tiga strategi atau tahapan penetrasi teori pembangunan sebagai mekanisme kontrol dan disiplin dalam hubungan “kerjasama” antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. 1. Strategi atau tahap teori-teori
“identifikasi permasalahan secara progresif”, yaitu
pembangunan
dengan
“penciptaan”
masalah
untuk
menjustifikasi intervensi kekuasaan (kebijakan). Dalam hal ini, identifikasi mutu pendidikan nasional yang rendah menyebabkan daya saing lulusan dan pekerja Indonesia rendah pada level global (field of intervention). Hal ini merasionalisasi perlunya reformasi pendidikan nasional (intervensi) untuk meningkatkan daya saing pendidikan Indonesia pada aras global. 2. Strategi “profesionalisasi pembangunan”, yaitu tahap pembangunan dijabarkan menjadi masalah-masalah ilmiah dan teknis. Misalnya, standar kompetensi lulusan atau “bertaraf internasional” yang mengarah pada rezim kebenaran (regime of truth). Pada level ini permasalahan pendidikan mulai dikontrol melalui pengetahuan berbasis rasionalitas (field of the control of knowledge).
206
3. Strategi “institusionalisasi pembangunan”, yaitu penerapan teori-teori pembangunan pada level institusi, baik nasional maupun internasional untuk membangun dan memperkuat jaringan kuasa/pengetahuan
yang
“mengikat” orang dalam perilaku dan rasionalitas. Dalam konteks pendidikan nasional, eksistensi intitusi BSNP, OECD, Cambridge, World Bank, dan institusi lainnya merupakan bagian dari jaringan yang memproduksi wacana PBI (standarisasi) sebagai hal yang rasional dalam konteks globalisasi. Dalam perspektif teori orientalisme, diskursus atau wacana pembangunan memiliki kekuatan/kuasa untuk memengaruhi realitas. (Escobar, 1995: 157; Said: 1978: 3) Ketiga strategi tersebut di atas secara koheren dapat menunjukkan rasionalisasi reformasi pendidikan nasional yang menghasilkan wacana PBI melalui wacana pengetahuan sebagai sebuah proses konstruksi yang tidak bebas nilai-nilai globalisme. Dalam hal ini pengetahuan dipandang tidak bersifat netral, tetapi terikat dalam rezim-rezim kekuasaan. Pada level ideologi, reformasi pendidikan mewakili kepentingan kelompok dominan dalam hubungan internasional (kapitalis), baik secara politis maupun secara struktural sosial dan menjustifikasi status dan keinginan kelompok dominan tersebut dengan merasionalisasikan keunggulannya. (Mulyani, 2009, hlm. 90-92; Foucault dalam Ristiyantoro, 2006: 75; Widja 2009: 24) Pada level regional, pembangunan pendidikan nasional juga tidak dapat dilepaskan dari peran Indonesia dalam organisasi regional Association of South East Asian Nation (ASEAN). Menurut Mantra (2011:17-18) dalam konteks
207
“Indonesia dan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015”,
gagasan mengenai
integrasi ekonomi regional ASEAN juga berlandaskan pada liberalisme yang tidak bebas dari kepentingan kelompok-kelompok sosial dan ekonomi kawasan. Bahkan Indonesia turut berperan dalam mendukung keberadaan sistem kapitalis di tingkat kawasan ASEAN, sebagaimana secara jelas terungkap dalam kutipan berikut. Beragam upaya liberalisasi ekonomi yang digalang pemerintah Indonesia di tingkat ASEAN dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk melestarikan eksistensi kapitalisme regional. Dan minimnya persiapan yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi integrasi ekonomi regional dipengaruhi oleh gagasan liberalisme yang diyakini merupakan gambaran dari realitas atau kebenaran akan keadaan sosial dan ekonomi, sehingga muncul optimisme di kalangan pemerintah akan kesiapan ekonomi Indonesia dalam menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015 nanti (Mantra, 2011:17-18). Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 sejak awal berlandaskan pada liberalisasi tenaga kerja berbasis keterampilan. Di dalam Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC), dinyatakan bahwa ―The AEC will establish ASEAN as a single market and production base making ASEAN more dynamic and competitive with new mechanisms and measures to strengthen the implementation of its existing economic initiatives; accelerating regional integration in the priority sectors; facilitating movement of business persons, skilled labour and talents; and strengthening the institutional mechanisms of ASEAN…‖ Agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah mendorong mobilitas tenaga kerja terampil berdasarkan kualitas pendidikan di masing-masing negara. Dengan kata lain, penekanan dari liberalisasi sektor tenaga kerja Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah tenaga kerja yang terampil
208
yang bebas pergerakannya di negara-negara kawasan ASEAN. Dengan demikian, kualitas SDM menjadi kunci bagi daya saing tenaga kerja (Mantra, 2011:141). Dalam hal ini, kualitas SDM Indonesia berada pada peringkat bawah diantara negara-negara ASEAN dan dengan program PBI, kualitas SDM Indonesia diharapkan memiliki posisi tawar yang tinggi. Dalam konteks kerjasama regional Asia termasuk ASEAN, sebelum ASEAN Community terbentuk pada 2015, pemerintah Indonesia bahkan akan mendorong adanya standar pendidikan regional sebagai upaya mengangkat posisi tawar kualitas SDM negara-negara kawasan untuk memiliki penjaminan mutu, daya saing dan kualitas pendidikan dan selanjutnya lulusannya diakui di Eropa dalam menghadapi era globalisasi (Kompas, Rabu 15 Mei 2013, hlm. 12). Strategi dan arah kebijakan pembangunan pendidikan Indonesia untuk tahun 2010-2014 dirumuskan berdasarkan pada visi, misi, tujuan strategis Kemdiknas dan mengacu pada Rencana Pendidikan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 serta hasil evaluasi pembangunan pendidikan hingga tahun 2009. Kebijakan pendidikan Indonesia juga terkait dengan konvensi internasional yang mengharuskan pemerintah untuk memberikan layanan pendidikan kepada setiap warga negara, khususnya Konvensi Dakar tentang Pendidikan untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of Child), Millenium Development Goals (MDGs), dan World Summit on Sustainable Development (Sumber: Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014).
209
Wacana global dalam kaitannya dengan berbagai aspek pembangunan pendidikan nasional secara jelas tergambar dalam rumusan tujuan SBI, yaitu untuk menghasilkan lulusan yang memiliki: a. standar kompetensi lulusan plus standar kompetensi sekolah terakreditasi di negara anggota OECD; b. daya saing komparatif tinggi dengan keunggulan lokal ditingkat internasional; c. kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional; d. kemampuan bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan; e. kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya; f. kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosiokultural, dan lingkungan hidup; dan g. kemampuan menggunakan dan mengembangkan teknologi komunikasi dan informasi secara professional. (Sumber: Permendiknas No. 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI). Eksistensi RSBI dipandang selain sebagai pengembangan produk kebijakan yang bersifat hegemonik juga akibat dari hubungan kekuasaanpengetahuan yang beroperasi melalui formasi-formasi diskursif, yang kemudian melahirkan “rezim kebenaran” atau sistem berpikir. (Foucault, 1977: 27-28; Mills, 1997: 18; Eriyanto, 2001: 67). Dasar hukum keberadaan satuan PBI yaitu UU Sisdiknas 2003 pasal 50 ayat (3) merupakan bentuk hegemoni negara yang didukung oleh kuasa/pengetahuan tentang wacana globalisasi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk sekolah RSBI di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dengan mengacu pada pemikiran Althuser (1971), sekolah sebagai aparatus ideologi negara berperan menghasilkan tenaga kerja dalam
210
sistem kapitalis dengan memberikan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan
sistem
produksi
kapitalis.
Dalam
hal
ini,
Pemerintah
mengembangkan kebijakan tentang RSBI sebagai sekolah bermutu dalam menghadapi berbagai tantangan pada skala nasional, regional, dan global. Kebijakan pemerintah dengan berbagai peraturan yang mendukung implementasi RSBI/SBI merupakan wujud dari terciptanya „blok historis‟ (historical blocs) neoliberalisme di Indonesia. Menurut Gramsci (1971), blok historis ini tercipta ketika kekuatan sosial dominan menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan politiknya. Dalam konteks PBI, hegemoni pemerintah secara formal bertahan hingga pasal UU yang menjadi dasar hukum kebijakan RSBI dibatalkan oleh MK Januari 2013. Pemerintah telah berhasil menghegemoni masyarakat pendidikan dalam kurun waktu 2006-2013 melalui konstruksi PBI dan implementasinya, yang kemudian secara khusus sejak 2012 mendapat ―counter-hegemony “melalui wacana media dan mekanisme Uji Materi oleh lembaga MK yang akhirnya menganulir pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas 2003 yang merupakan landasan hukum eksistensi satuan PBI karena dinilai dapat menimbulkan dualisme sistem pendidikan, diskriminasi pendidikan, dan bentuk baru liberalisasi pendidikan (Putusan MK, 2013). Dalam konteks daya saing, menurut Bagus Takwin, pakar psikologi pendidikan dari Universitas Indonesia, salah satu kemungkinan motif pembuatan Undang-Undang UU Sisdiknas khususnya pasal 50 ayat (3) tentang PBI adalah adanya ketakutan di kalangan elit Indonesia bahwa orang Indonesia akan kalah bersaing dengan asing. Makna “asing” itu dalam hal ini dianggap
211
sebagai lawan. Padahal, menurut Bagus, dalam kehidupan modern yang penting adalah bagaimana bisa berpartisipasi. Dalam hal ini, pemerintah justru terhegemoni oleh standar kualitas pendidikan internasional sebagaimana dapat dipahami melalui kutipan berikut. …benchmark yang bersifat internasional ini perlu kita ikuti, karena kalau tidak kita sebagai bangsa bayangkan kalau kita tidak memiliki kualitas yang baik saya khawatir bahwa suatu ketika kalau RSBI ini tidak terlindungi, kemudian akan hadir sekolah-sekolah bertaraf internasional yang lain di samping internasional yang sudah ada, seperti Gandhi, Jakarta International School, Australian International School, kita akan kalah dan akan menjadi penonton. Lalu dia akan lari ke luar negeri ke Australia, ke Singapura, ke Amerika, para orang tua rata-rata puas kalau ditanya walaupun agak mahal lebih suka menyekolahkan di RSBI daripada menyekolahkan ke luar negeri (Suyanto, Risalah Sidang MK, Selasa 6 Maret 2012, hlm. 19). Dalam konteks globalisasi dan realitas kualitas pendidikan nasional yang memprihatinkan, situasi pendidikan nasional juga tergambar dari opini Amril Aman pada salah salah satu media terkemuka nasional (Kompas, Jumat 19 April 2013, hlm. 6) dengan tajuk “Darurat Pendidikan Nasional.” Dalam konteks karut marutnya pelaksanaan Ujian Nasional 2013 dan kontroversi tentang konsep dan implementasi “Kurikulum 2013”, Amril Aman menyakatan bahwa: …Tanpa kualitas pendidikan yang baik, generasi masa depan tidak akan mampu bersaing pada era globalisasi. Globalisasi membuka peluang bagi setiap anak bangsa berkompetisi tak hanya di tataran domestik, tetapi juga internasional. Globalisasi akan bermanfaat hanya jika kita mampu bersaing dengan bangsa lain. Ketakmampuan bersaing akan membuat bangsa kita kalah bersaing, baik di luar maupun di negara sendiri…Kalau itu yang terjadi, jika saat ini sebagian bangsa kita menjadi pekerja kelas bawah di negara orang sebagai TKI, bisa-bisa nanti banyak diantara bangsa kita jadi pekerja kelas bawah di negeri sendiri…(Kompas, Jumat 19 April 2013, hlm. 6).
212
Dalam
konteks
pemikiran
Gramsci,
ideologi
kapitalisme
dan
neoliberlisme sebagai bagian dari globalisasi menghegemoni kesadaran para intelektual dan pengambil kebijakan pendidikan. Melalui kepemimpinan intelektual dan politiknnya,
negara menghegemoni masyarakat tentang
pentingnya inovasi dalam pendidikan nasional untuk menjawab tantangan globalisasi dengan cara membangun semangat persaingan berdasarkan struktur sosial masyarakat, misalnya, yang kaya dan memiliki talenta “istimewa” mendapat “perlakuan istimewa” untuk pendidikan bermutu sebagaimana dapat dipahami melalui konsep dan kenyataan empiris tentang RSBI. Dalam konteks ini,
Gramsci
menekankan
peran
ideologi
dalam
membangun
dan
melanggengkan hegemoni dan peran intelektual (kuasa/pengetahuan) dalam pengembangan dan praktek ideologi (Santoso, 2007: 24). Indra Djati Sidhi (2012) dalam sidang MK tentang uji materi UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3) menyatakan bahwa hasil survei lembaga internasional pada tahun 2005 tentang peringkat daya saing Indonesia menempati posisi 69 dari 125 negara dalam Global Competitiveness Index (GCI), ranking 110 dari 177 negara dalam hal Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan komposit indeks pembangunan, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan suatu bangsa dengan income per capita US$. 1267. Dalam hal ini, posisi daya saing dan IPM Indonesia di arena internasional termasuk dalam kategori lemah. Hal ini menjadi kondisi rasional bagi perlunya terobosan pendidikan dalam membangun kerjasama internasional.
213
Rendahnya daya saing bangsa akibat kualitas pendidikan juga berdampak pada tingginya angka pengangguran. Indikator sosial-ekonomi yang mengkhawatirkan adalah bahwa 30 juta orang khususnya masyarakat pedesaan diperkirakan akan kekurangan peluang pekerjaan. Hal ini merupakan bagian dari tantangan pendidikan nasional dan tantangan sosial ekonomi seperti tergambar pada kutipan berikut. Ekonomi Indonesia harus mengalami perubahan yang dramatis agar dapat berpacu dengan eknonomi regional lainnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak menciptakan lapangan kerja baru – di tahun 2003 kehilangan hampir 900.000 lapangan kerja dengan lebih dari separuhnya berasal dari sektor industri. Satu-satunya sektor yang menciptakan sejumlah besar lapangan kerja baru adalah tenaga kerja takdibayar di sektor pertanian (Sumber: Asian Development Bank: Project Technical Proposal, 2006: 3). Dalam konteks pemikiran Foucault tentang wacana kuasa/pengetahuan, kondisi sosial-ekonomi dan daya saing merupakan “pengetahuan objektif” bagi eksistensi UU Sisdiknas 2003. Pendidikan nasional perlu merespons situasi nasional dan global. Dalam hal ini, pemerintah kemudian merasionalisasi isu globalisasi dan menghegemoni masyarakat kedalam perspektifnya tentang perlunya program PBI. Hal ini juga terefleksi dari pandangan lembaga DPR tentang Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas melalui keterangan berikut. ….dalam rangka menghadapi era globalisasi yang tidak mungkin lagi dihindari, pembentuk Undang-undang mengantisipasi dengan membuat sejumlah kebijakan yang diharapkan mampu menyiapkan bangsa Indonesia dalam menghadapi kompetisi global. Kebijakan yang paling strategis adalah dengan merintis penerapan program pendidikan di sekolah dasar dan sekolah menengah yang memungkinkan lulusannya siap berkiprah dalam kancah percaturan dan kompetisi global. Sekolah tersebut kemudian disebut sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau yang lebih dikenal SBI dan RSBI (Sumber: Dokumen Putusan MK tentang Permohonan Pengujian Materi Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas).
214
Sebagai implementasi UU Sisdiknas 20/2003, pemerintah telah melahirkan berbagai peraturan teknis yang kemudian mendukung wacana perlunya satuan PBI untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui program standarisasi berbagai komponen pendidikan demi daya saing dan produktifitas di arena internasional. Dengan kata lain, secara geneologis, terbangun rentetan wacana yang menghasilkan kuasa pengetahuan dan pengetahuan menghasilkan kekuasaan, bahwa RSBI/SBI merupakan akibat formasi diskursif yang bersifat produktif dari hubungan kekuasaan/pengetahuan dan dinamikanya tentang “standarisasi pendidikan” dan sekolah bertaraf internasional (Foucault, 1977: 27-28). Dengan kekuasaan yang dimilikinya, negara memiliki “power” intelektual dan politik untuk mendefinisikan apa yang relevan dan baik bagi masyarakat dalam hal pendidikan. Dalam hal ini, wacana globalisasi dan ideologi kekuasaan berpengaruh terhadap proses kehadiran SBI. Sesuai pemikiran Gramsci (1971: 57), sekolah sebagai aparatus ideologis dioperasikan oleh kekuasaan (negara) untuk menghegemoni dan mendisplinkan masyarakat sesuai tantangan global. Tujuan RSBI adalah untuk menghasilkan lulusan SNP plus sehingga memiliki daya saing komparatif tinggi dan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing. Oleh karena itu, RSBI dirancang menjadi SBI dengan menggunakan kurikulum nasional yang diperkaya menjadi kurikulum bertaraf internasional…(Permendiknas No. 78/2009 tentang Penyelenggaraan SBI). Daya saing pendidikan Indonesia masih jauh dari negara-negara maju. Untuk dapat bersaing pada aras internasional, pendidikan nasional harus tunduk pada standar internasional. Kenyataan ini menjadi sebuah rasionalisasi
215
untuk memaksakan gagasan internasionalisasi kualitas pendidikan nasional. Berbagai pengaruh internal seperti mutu pendidikan yang rendah, produktifitas tenaga kerja yang tidak memadai, dan pengaruh eksternal seperti hegemoni politik dan ekonomi negara-negara maju kian memantapkan wacana PBI sebagai bentuk hegemoni politik berbasis pengetahuan dalam sistem pendidikan nasional. PBI dipandang sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan dan tantangan dunia dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik. Negara melegitimasi perlunya inovasi dan diversifikasi layanan pendidikan dalam bentuk RSBI melalui kebijakan dan UU, tidak saja demi kepentingan peran Indonesia dalam konteks internasional tetapi juga berdasarkan tuntutan objektif masyarakat kelas menengah dan realitas perbedaan kualitas antar-sekolah dalam pendidikan nasional. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang narasumber penelitian ini bahwa “masyarakat (orangtua siswa) kita membutuhkan sekolah bertaraf internasional bagi anak-anak mereka supaya nantinya bisa kuliah di luar negeri atau bersaing dalam arena yang lebih luas”. Seorang intelektual, dengan modal simbolik yang melekat pada dirinya, mendukung keberadaan RSBI dalam sistem pendidikan nasional dengan pernyataan berikut. Pada beberapa kesempatan saya melihat semangat dan antusiasme yang besar untuk mencapai mutu yang tinggi yang kita lihat dari capaian ujian nasional, olimpiade, lomba-lomba, atau melanjutkan ke perguruan tinggi terkemuka di dalam dan di luar negeri, kepercayaan yang besar dari masyarakat, ingin anaknya masuk di RSBI, dan dari tahun ke tahun jumlahnya meningkat (Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 17).
216
Pembahasan di atas sejauh ini telah menunjukkan hubungan antara pendidikan dan konteks sosial, ekonomi, budaya dan politik dan menunjukkan koherensi antara satu wacana dan wacana lainnya dalam membangun hegemoni wacana globalisme dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini sesuai dengan pemikiran Foucault bahwa berbagai wacana yang melibatkan institusi, organisasi, individu, dan jaringannya beroperasi dalam berbagai bentuk dan teknik untuk menghasilkan kekuasaan, dalam hal ini, kekuasaan globalisme atas pendidikan nasional melalui isu PBI dan implementasinya melalui RSBI.
6.4 Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional dan IPTEK Seiring dengan perkembangan globalisasi dan usaha memajukan pendidikan nasional, pemerintah telah mempertimbangkan dinamika global dan lokal melalui program PBI yang mencakup penguatan kompetensi bahasa Inggris bagi anak didik. Peran Bahasa Inggris dalam ilmu pengetahuan dan komunikasi internasional dirasakan sangat penting untuk dapat berdaya saing pada arena internasional. Dalam konteks tersebut, pembahasan pada bagian ini menyangkut faktor bahasa Inggris dalam konteks globalisasi dan pendidikan yang kemudian berpengaruh terhadap kebijakan PBI dalam sistem pendidikan nasional. Makna dan implikasinya dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik pendidikan juga dibahas. Pembahasan didasarkan pada kerangka pikir wacana globalisme yang melihat hubungan antara bahasa Inggris dan politik pendidikan nasional, bahasa Inggris dan jati diri bangsa, bahasa Inggris dan
217
pedagogi, dan bahasa Inggris sebagai kapital (modal) dari perspektif teori Bourdieu. Pengaruh bahasa Inggris tidak terlepas dari sejarah kekuasaan Barat, pengaruh perkembangan sains dan teknologi yang kemudian berkembang ke negara-negara non penutur bahasa Inggris, termasuk Indonesia. Kekuasaan IPTEK dan kebudayaan tidak terpisahkan dari penyebaran bahasa Inggris di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dilihat dari berbagai produk teknologi dan komunikasi modern yang dominan menggunakan bahasa Inggris dan dalam penggunaan jaringan komunikasi internet yang semakin masif dewasa ini. The internet is a powerful technological tool utilized by the World Bank, NGOs, and intergovernmental organizations to link members and spread information around the world. Human rights, environmental, and other organizations use the Internet to sound global alarm about what they consider to be impending crises. Besides global linkages, the Internet is now a major player in global educational projects. (Spring, 2004: 28-29) Secara historis, akhir Perang Dunia II pada tahun 1945 ditandai dengan pesatnya perkembangan IPTEK yang kemudian menghasilkan era baru dalam bidang
sains, teknologi, ekonomi pada aras internasional. Dunia yang
didominasi oleh kekuasaan teknologi dan perdagangan menuntut perlunya bahasa internasional dalam hal ini pilihannya adalah bahasa Inggris (Hutchinson dan Waters, 1987:6-7). Perkembangan tersebut hingga saat ini sangat nyata pengaruhnya dalam berbagai bidang khususnya bidang pendidikan yang sarat dengan pemanfaatan TIK dan bahasa Inggris. Dalam konteks RSBI, hal tersebut tergambar dari pendapat seorang birokrat pendidikan melalui kutipan berikut.
218
…RSBI itu adalah bicara kualitas, yang eksklusif adalah kualitasnya tetapi tetap saja Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang harus dikuasai, namun pengayaan bahasa asing ini akan memberikan unggulan-unggulan komparatif dan unggulan kompetitif bagi siswa-siswa kita karena ketika kita berbicara layanan, ketika standardnya tidak internasional saya kira kita akan ditinggalkan…(Suyanto, Dirjen Didaksemen, Kemdikbud). Dalam bidang teknologi, perkembangan media TIK telah memunculkan tuntutan-tuntutan baru yang berbau kapitalisme, misalnya, pengadaan berbagai perangkat belajar (keras maupun lunak) bahasa Inggris. Bagaimanapun, eksistensi produk teknologi dan kebudayaan seperti buku teks dan berbagai media pembelajaran lainnya tidak terpisahkan dari aspek ekonomi. Sebagai produk budaya modern, penyusunan atau pengadaan buku teks juga menyangkut kekuatan kapital, komoditas yang dihasilkan oleh industri budaya kapitalis
yang
seolah
menawarkan
keberagaman
tetapi
sebetulnya
menghegemoni (Sugihartati, 2010: 36-37). Secara genealogis, bahasa Inggris dan kebijakan pendidikan di berbagai negara kolonial di dunia, termasuk Indonesia, dapat ditelusuri dari sejarah perkembangannya. Status bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang diajarkan di lembaga pendidikan di Indonesia ditandai juga dengan hadirnya berbagai lembaga pendidikan nonformal seperti Lembaga Indonesia-Amerika (LIA) dan British Council yang telah lama berperan sebagai “donatur” atau pemasok buku-buku teks dan bahkan guru-guru bahasa Inggris di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. Dari perspektif pendidikan dan teori Bourdieu, bahasa dipandang sebagai modal yang termanifestasi dalam realitas sosial sebagai modal kultural, simbolik dan materil bagi penggunanya. Bahasa Inggris sebagai bahasa
219
pergaulan internasional memberi nilai tambah ekonomis dan sosial bagi penggunannya dalam bentuk modal jaringan yang bersifat bisnis. Nilai simbolik dan kultural dari kemampun bahasa Inggris dapat memberikan rasa bangga dan status sosial terpelajar bagi yang menggunakannya, dan dapat memperluas akses penggunanya terhadap sumber daya pendidikan. Wacana bahasa Inggris tidak dapat dilepaskan dari tantangan pendidikan nasional dalam menghadapi globalisasi. Bahasa Inggris dalam konteks globalisasi dipandang sebagai sumber daya (capital) yang didukung oleh berbagai lembaga pendidikan luar maupun dalam negeri, seperti British Council, Cambridge, USAID, media massa cetak dan elektronik, radio, perusahaan media internasional seperti CNN, BBC, VOA yang turut dalam produksi dan reproduksi hegemoni Bahasa Inggris di Indonesia. Secara politis sekolah-sekolah dan masyarakat dihadapkan pada nilai-nilai tentang siapa yang diuntungkan dari suatu kebijakan dalam hubungannya dengan dinamika politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam hal ini, penggunaan bahasa Inggris di sekolah RSBI dapat menimbulkan efek sosiokultural, ideologis dan politis. Kebijakan tersebut dapat membangun dan melanggengkan struktur sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan masyarakat. Peran Bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi sangat penting untuk dapat berdaya saing dalam dunia internasional. Dari analisis berbagai dokumen, pandangan para praktisi pendidikan dan berbagai teks mereflesikan nilai-nilai globalisasi dalam fakta sosial Indonesia. Kurikulum Bahasa Inggris
220
juga merefleksikan perkembangan pendidikan nasional dalam kaitannya dengan situasi politik, ekonomi, sosial, budaya dan IPTEK. Penetapan standar kompetensi bidang TIK dan berbahasa Inggris telah membangkitkan kesadaran tentang pentingnya hal itu sebagai bekal siswa pada kehidupannya di masa depan. Dampak dari itu, penggunaan internet berkembang masif di seluruh sekolah penyelenggara. English Day diimplementasikan di hampir seluruh sekolah sekali pun belum dapat mendongkrak penguatan siswa berbahasa Inggris (Rahmat, 2011: 3). Dalam konteks wacana PBI, kebijakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar terkait dengan posisi bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan sebagai salah satu mata pelajaran yang mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional. Dalam hal ini, keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 096/1967 menegaskan bahwa fungsi Pengajaran Bahasa Inggris adalah sebagai alat untuk mempercepat proses pembangunan negara dan bangsa; membentuk persahabatan dengan bangsabangsa lain; dan menjalankan kebijakan luar negeri, sedangkan tujuan pembelajarannya adalah untuk mencapai kompetensi: 1) membaca secara efektif; 2) mengerti bahasa lisan; dan 3) kemampuan berbicara (Depdikbud, 1981:139). Dari segi politik pendidikan, posisi bahasa Inggris sebagai bahasa asing ditegaskan dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003 pasal 33 ayat (3) “Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik” dan pasal 37 tentang kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan: “Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional; Bahasa daerah merupakan
221
bahasa ibu peserta didik; dan bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang sangat penting dalam pergaulan global”. Selanjutnya dalam UU Sisdiknas Pasal 42 ayat (2) dinyatakan bahwa “Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu”. Dalam konteks penyelenggaraan RSBI, peran bahasa Inggris dipertegas dalam Permendiknas No. 78 Tahun 2009, antara lain, dalam pasal 2: e. kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya; f. kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosiokultural, dan lingkungan hidup; dan pasal 5 poin (3) SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional bagi mata pelajaran tertentu. Hal ini sesuai dengan fungsi dan tujuan pengajaran bahasa Inggris di SMA, yaitu sebagai alat pengembangan diri siswa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni budaya sehingga mereka dapat berkembang menjadi warga negara yang cerdas, terampil dan berkepribadian Indonesia. Tujuan pengajaran bahasa Inggris adalah: 1. mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bentuk lisan dan tulis: mendengarkan (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). 2. menumbuhkan kesadaran tentang hakikat dan pentingnya bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar. 3. mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitan antar bahasa dan budaya serta memperluas cakrawala budaya sehingga siswa memiliki wawasan lintas-budaya dan melibatkan diri dalam keragaman budaya. (Depdiknas, 2004:6).
222
Kebijakan tentang bahasa Inggris dalam konteks PBI tidak hanya sebagai bahasa pengantar untuk mata pelajaran MIPA, tetapi juga untuk penguatan kemampuan bahasa Inggris anak didik. Posisi bahasa Inggris dalam sistem pendidikan nasional menunjang penguasaan IPTEK dan pergaulan antarbangsa. Dengan demikian, wacana bahasa Inggris telah lama di Indonesia sebagai bahasa yang diasosiasikan dengan modernitas, sains dan teknologi. Kemampuan bahasa Inggris diharapkan berkontribusi terhadap pembangunan di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan budaya bangsa. Sebagai bagian dari reformasi pendidikan menghadapi globalisasi, RSBI merupakan implementasi dari Undang-undang Sisdiknas tentang satuan PBI
sedangkan
bahasa
Inggris
berperan
untuk
mendukung
misi
penyelenggaraan PBI untuk memajukan pendidikan nasional sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut. Dalam proses pembelajaran di RSBI, penguasaan bahasa Inggris bagi seorang guru sangat perlu sekali, terutama untuk guru-guru MIPA (Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi). Bahkan nilai TOEFL>500 bagi guru MIPA merupakan hal yang sangat mendesak dan substansial sekali, karena dengan penguasaan empat keterampilan berbahasa Inggris, yaitu listening (mendengarkan), writing (menulis), reading (membaca), dan speaking (berbicara) yang relatif baik, maka guru tidak “grogi” dalam menghadapi peserta didiknya… (Syaiful Rohman, “Guru dan Masa Depan RSBI”, 07 August 2011). Menurut Oonk, dkk
(2011; 68-74) dalam bukunya yang berjudul
Internationalisation in Secondary Education in Europe, proses integrasi Eropa, internasionalisasi ekonomi dan masyarakat global, dan berkembangnya keberagaman siswa (bangsa dan ras) akibat migrasi merupakan isu sentral yang harus dihadapi oleh masyarakat Eropa dalam pendidikan. Pengajaran
223
bahasa asing menjadi penting untuk mengembangkan kompetensi interkultural yang dibutuhkan dalam pendidikan yang berorientasi global. Hal ini berimplikasi pada pendidikan nasional, antara lain, bahwa internasionalisasi pendidikan bermakna diversifikasi dan intensifikasi pengajaran bahasa asing, penggunaan bahasa asing dalam situasi otentik, penggunaan bahasa asing dalam situasi komunikasi interkultural, pengembangan profil sekolah kompetitif, dan orientasi bi-nasional dan standard internasional (Oonk dkk, 2011; 68-74). Berbeda dengan konteks pendidikan di Eropa, dalam wacana PBI muncul isu yang menghubungkan bahasa Inggris dan jati diri bangsa. Sebagian pakar bahasa dan budaya mengkhawatirkan tergerusnya identitas atau jati diri bangsa akibat penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses pendidikan. Namun, sebagian tidak mempersoalkannya dengan alasan normatif bahwa Indonesia telah memiliki Undang-Undang yang dapat “menyelamatkan” bahasa Indonesia dengan ketentuan, misalnya, bahwa dalam forum resmi pejabat negara harus menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal ini, penggunaan bahasa Inggris dipandang sesuai dengan tantangan globalisasi dengan logika penjelasan berikut. Di era global, kita tidak bisa mengisolasi diri kita sendiri, kita tidak bisa mengatakan jati diri kita itu akan rusak dan terobek-robek ketika kita bisa berbahasa asing, justru kalau kita berbahasa asing, kita bisa menjelaskan ini pribadi kita, ini karakter kita, ini jati diri kita kepada bangsa-bangsa lain di dunia ini…(Suyanto, Risalah Sidang MK, Selasa 6 Maret 2012, hlm. 20). Pandangan di atas menegaskan pijakan dan tujuan rasional penguatan bahasa Inggris dalam konteks pendidikan nasional dan globalisasi. Hal ini juga
224
sesuai dengan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia yang lebih didasarkan pada motivasi instrumental dalam pengertian bahwa kompetensi bahasa Inggris bukan dimaksudkan untuk “menjadi” orang Inggris tetapi sekedar “alat” untuk berkomunikasi dalam konteks IPTEK dan kehidupan global sebagaimana tersirat dalam UU Sisdiknas. UUNo. 20/2003, (ayat 3) “Kurikulum disusun sesuai
dengan
jenjang
pendidikan
dalam
kerangka
NKRI
dengan
memperhatikan, antara lain, keragaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; dinamika perkembangan global; dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan”. Namun, berdasarkan rumusan UU ini, peran bahasa Inggris seharusnya merefleksikan tidak hanya nilai-nilai globalisasi tetapi juga identitas keindonesiaan yang beragam. Dalam hal ini, penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah di daerah tertentu seharusnya dipertimbangkan secara kritis tentang dampak sosial budaya dan ekonominya. Di pihak lain, sebagian masyarakat menentang penggunaan bahasa Inggris melalui kebijakan RSBI. Mereka resisten dengan argumentasi bahwa UUD 1945 telah menegaskan bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara yang juga berlaku dalam konteks pendidikan. Hal ini juga dinilai bertentangan dengan pasal 33 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan pasal 29 ayat (1) UU No.24/2009 bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pendidikan nasional dan Pasal 41 ayat (1) yang menyatakan bahwa pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi Bahasa Indonesia. Dalam hal ini, bahasa Inggris dapat mengancam jati diri bangsa dengan
225
memarginalisasi posisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai kekayaan budaya bangsa. Dengan digunakannya bahasa Inggris … sebagai salah satu bahasa pengantar di RSBI, saya kira hal ini bisa menghambat, menghambat rasa cinta. Anak-anak memang bisa diajar untuk berbahasa Indonesia dengan baik karena mereka menginginkan nilai yang baik. Tapi mendidik mereka untuk menjadi cinta kepada Bahasa Indonesia, itu rasanya sukar. Apalagi saat ini masyarakat di Indonesia sudah sangat gandrung terhadap bahasa Inggris (Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 20). Kutipan di atas menegaskan pengaruh bahasa Inggris secara sosial budaya sekaligus menguatkan gagasan yang pernah diungkapkan oleh seorang budayawan Ajip Rosidi tentang "Soempah Pemoeda" dan identitas kebangsaan dengan menyatakan: … Tanpa bahasa, bangsa tidak akan mungkin dapat berkembang, bangsa tidak mungkin dapat menggambarkan dan menunjukkan dirinya secara utuh dalam dunia pergaulan dengan bangsa lain…Jadi, bahasa menunjukkan identitas bangsa. Bahasa, sebagai bagian kebudayaan dapat menunjukkan tinggi rendahnya kebudayaan bangsa. Bahasa akan menggambarkan sudah sampai seberapa jauh kemajuan yang telah dicapai suatu bangsa. Ikrar berupa "Soempah Pemoeda" inilah yang menjadi dasar yang kokoh bagi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia. Bahkan, pada perjalanan selanjutnya, bahasa Indonesia tidak lagi sebagai bahasa persatuan, tetapi juga berkembang sebagai bahasa negara, bahasa resmi, dan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (Pikiran Rakyat,Sabtu 3 April 2010). Kutipan di atas juga mengindikasikan visi budaya bahwa bahasa Indonesia tidak hanya diharapkan sebagai bahasa negara dan bahasa resmi, tetapi juga bahasa IPTEK di masa depan. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan berpotensi mendegradasi peran dan peluang bahasa Indonesia sebagai bahasa keilmuan dan identitas bangsa. Dalam konteks kebijakan RSBI, keberadaan OCED dengan visimisinya (globalisasi) akan semakin efektif jika didukung oleh bahasa Inggris
226
sebagai ”pemersatu” untuk sosialisasi agendanya. Bahasa menjadi sarana pemersatu budaya sekaligus sarana penetrasi nilai-nilai ekonomi, sosial dan politik. Penggunaan bahasa Inggris di sekolah dipandang dapat memperlancar agenda globalisasi (Mbula, 2011: 42). Dalam hal ini bahasa Inggris dapat mendegradasi
eksistensi bahasa nasional sebagaimana dikemukakan oleh
seorang pakar bahasa sebagai berikut. …fungsi sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan tampaknya di Indonesia tidak ada masalah. Yang menjadi masalah ialah fungsinya sebagai bahasa negara, banyak rongrongan yang dihadapi bangsa Indonesia berkenaan dengan bahasa Negara, apalagi zaman sekarang zaman … katanya zaman era globalisasi. Ya, termasuk juga saya kira rongrongan yang di … dengan digunakannya bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di RSBI, meskipun tidak semua mata pelajaran (Abdul Chaer, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 19). Menurut Daoed Joesoef
legalisasi bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar untuk mata pelajaran MIPA di RSBI/SBI, selain menyalahi amanat konstitusi juga bahwa pendidikan semestinya bukan berfokus pada penguasaan bahasa asing, melainkan membiasakan peserta didik untuk menggali, mengenali, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan moral yang berguna bagi diri, masyarakat, dan bangsanya (Kompas, Kamis 16 Februari 2012, hlm. 12). Secara tegas Daoed Joesoef menyatakan: Penggunaan bahasa asing dalam hal ini bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pembelajaran, terang-terangan tanpa tedeng aling-aling telah mengkhianati Sumpah Pemuda tahun 1928. Sumpah yang secara resmi kita nobatkan dan akui merupakan tonggak sejarah kedua dari perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia (Daoed Joesoef, Risalah Sidang MK, Selasa 15 Mei 2012, hlm. 26-27). Secara psikososial, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pada RSBI menguatkan hegemoni budaya atas masyarakat bahwa
227
bahasa Inggris identik dengan kemajuan atau modernitas. Penggunaan bahasa Inggris dapat menanamkan dan menguatkan persepsi bahwa hanya dengan penguasaan bahasa Inggrislah seseorang bisa meraih kemajuan. Padahal, menurut Darmaningtyas, hal itu tidak didukung oleh kenyataan empiris karena, misalnya, dalam perlombaan Olimpiade, banyak pemenang olimpiade yang tidak mampu berbahasa Inggris. RSBI/SBI membuat warga minder sejak dini karena menganggap bahwa yang modern, yang maju, dan yang hebat hanyalah mereka yang menguasai bahasa Inggris saja. Sehingga mereka cenderung akan mengutamakan penguasaan bahasa Inggris dengan mengabaikan keberadaan Bahasa Indonesia terlebih bahasa daerah (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 28). Untuk memperkuat agumentasinya, Darmaningtyas merujuk pada seorang fisikawan handal berkebangsaan Jepang yang pernah meraih hadiah Nobel dan yang tidak mampu berbahasa Inggris. Ia menekankan bahwa eksistensi bahasa Inggris dapat mendegradasi posisi bahasa Indonesia sebagai simbol nasionalisme. Bahasa Inggris baik di mata guru maupun siswa diasosiasikan dengan pendidikan berkualitas. Bahasa Inggris, dalam hal ini, telah menghegemoni masyarakat sebagaimana tampak dari kesaksian seorang Hakim MK, Maria Farida, sebagai berikut. …banyak orang-orang yang berlomba-lomba untuk menyekolahkan anaknya ke sekolahan yang bertaraf internasional, menganggap sekolah yang bertaraf internasional itu lebih tinggi dari pada yang lain...kalau kita sekarang pergi ke beberapa tempat ke mal dan sebagainya, kita melihat anak-anak kecil kita tidak berbahasa Indonesia tapi mereka berbahasa Inggris, dan…mereka pasti sekolah di PAUD atau TK-TK yang berbahasa Inggris, apakah itu tujuan kita? ini negara yang pluralis dari segi agama, bahasa, adat istiadat, dan segala macam...kalangan yang tidak mampu itu merasa direndahkan, tetapi juga mereka berusaha bagaimana bisa masuk
228
sekolah yang bertaraf internasional, kemungkinan dari segi finansial atau dari segi kemampuan dia tidak bisa masuk ke situ (Risalah Sidang MK, Selasa 6 Maret 2012, hlm. 12). Kutipan di atas tidak hanya menjelaskan bagaimana bahasa Inggris telah meminggirkan bahasa Indonesia pada ranah sosial, tetapi juga menunjukkan bahwa bahasa Inggris berperan sebagai kapital sosial-budaya. Pemberlakuan bahasa Inggris dalam pendidikan nasional dapat menimbulkan tidak saja ketidakadilan karena hanya sebagian kecil masyarakat (anak didik) yang “menguasai” bahasa tersebut. Dalam hal ini, Pierre Bourdieu (1989) menyatakan bahwa dalam ruang sosial, bahasa menyangkut arena pertarungan kekuasaan. Penggunaan simbol-simbol bahasa, seperti fenomena maraknya penggunaan ungkapan (kata-kata) bahasa Inggris oleh elit Indonesia dalam forum-forum resmi merefleksikan bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai sarana untuk menguasai orang lain baik secara kasar maupun secara halus (Fashri, 2007; Harker dan Wilkes ed., 2005, Widjoyo dan Noorsalim. Ed. 2004: 201). Kebijakan tentang bahasa Inggris pada RSBI melahirkan kekerasan simbolik dan psikologis melalui perlakuan diskriminasi berbasis bahasa, misalnya dalam bentuk pembagian/pemisahan kelas. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa siswa-siswa “kelas internasional” dengan kemampuan bahasa Inggris menjadi siswa “kelas satu”, sedangkan siswa-siswa “reguler” yang tidak berbahasa Inggris menjadi siswa “kelas dua” sebagaimana ditemukan di SMA Negeri 78 Jakarta yang menyelenggarakan “kelas internasional”. Sekolah ini mengelola kelas khusus yang dinamakan kelas
229
internasional dengan biaya pendidikan, proses dan fasilitas pembelajaran yang berbeda dari siswa lainnya di sekolah yang sama. Dalam hal ini, “kapital linguistik” (bahasa Inggris) dan kapital ekonomi menjadi “alat kontrol” untuk mendapatkan pendidikan “bermutu”. Sebagaimana dikemukakan dalam bab pertama bahwa perkembangan media TIK dan bahasa Inggris dalam pembelajaran telah memunculkan tuntutan-tuntutan baru yang berbau kapitalisme. Penggunaan bahasa Inggris dan TIK di RSBI merupakan ciri yang menonjol dibanding sekolah-sekolah reguler. Bagaimanapun, produk teknologi seperti buku teks impor dan berbagai perangkat TIK relatif mahal. Pengadaannya menyangkut kekuatan kapital, komoditas industri budaya kapitalis yang menghegemoni dalam ranah pendidikan akibat liberalisasi pendidikan dalam bentuk kurikulum dari negara lain. Dalam hal ini, kurikulum Cambridge dan buku-buku teks yang digunakan sekolah RSBI, misalnya, sudah menjadi salah satu sumber ketidakadilan dalam proses pendidikan,―The world of textbooks is an unequal world” (Sugihartati, 2010: 36-37; Altbach, 1991: 242). Abdul Chaer yang tidak bersetuju dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan RSBI, dalam sidang Sidang MK di Jakarta Selasa, 24 April 2012 menyatakan: ….penggunaan bahasa Inggris pada RSBI itu mempunyai dampak yang kurang baik bagi pembinaan bahasa (Indonesia, pen). Mengenai bahasa Inggris sebagai mata pelajaran …saya mengatakan bahwa bahasa Inggris memang harus dikuasai oleh anak-anak kita dengan lebih baik. Kenapa? Bukan alasan supaya gengsi, tapi ilmu-ilmu sekarang masih datang dalam bahasa Inggris, dalam bahasa asing, termasuk bahasa Inggris (Abdul Chaer, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 21).
230
Penggunaan bahasa Inggris dalam dunia pendidikan bersifat politis dan ideologis. Bahasa Inggris menyangkut sumber daya ekonomi, IPTEK, dan bahasa pergaulan antarbangsa. Dalam hal ini, bahasa Inggris dapat memengaruhi aspek sosial budaya secara tidak adil, seperti potensi terjadinya marginalisasi bahasa nasional dan bahasa-bahasa lokal akibat intensitas dan keyakinan yang tinggi terhadap fungsi dan peran bahasa Inggris dalam pendidikan pada era globalisasi. Dari segi kapital, kemampuan bahasa Inggris dapat memberdayakan penggunanya untuk “bertarung” dalam ranah sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Peran bahasa Inggris, di satu pihak, terkait dengan akses terhadap kemajuan sosial ekonomi, pengetahuan dan berbagai bentuk hubungan internasional yang dapat menguntungkan bagi penggunanya. Di pihak lain, penggunaan bahasa Inggris secara meluas juga dapat mengancam bahasabahasa lain, menjadi sarana untuk mengembangkan kapitalisme dan dominasinya dalam ruang sosial. Dalam konteks sistem pendidikan nasional, menurut Indra Jati Sidhi, penggunaan bahasa Inggris turut mendukung upaya peningkatan mutu pendidikan dengan penjelasan berikut. Tidak ada masalah dengan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau English as a Second Language. Gontor (lembaga pesantren, pen) dan berbagai pesantren telah menggunakan sejak lama bahasa Inggris dan bahasa Arab dalam proses belajar mengajar dan sama sekali tidak melunturkan nasionalisme atau jati diri bangsanya…(Indra DS, Risalah Sidang MK, Rabu, 11 April 2012, hlm. 17). Pandangan di atas sekilas rasional, namun data empiris di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat juga “tertipu” tidak saja karena kebijakan dan implementasi bahasa Inggris menimbulkan ketidakadilan sosial tetapi juga
231
bahwa ketersediaan tenaga pendidik dan kompetensi guru tidak “seindah” yang digambarkan pemerintah. Dalam implementasinya, banyak permasalahan yang tidak sesuai dengan tuntutan standar pendidikan nasional. Bahasa Inggris di satu sisi dapat berperan sebagai “capital” bagi masyarakat, tetapi di sisi lain, secara budaya berpotensi meminggirkan posisi bahasa Indonesia. Bahasa Inggris seringkali menjadi sarana mekanisme kontrol baik bagi perusahaan asing maupun lokal. Dalam hal ini, misalnya, banyak iklan lowongan kerja di media massa yang mensyaratkan bahasa Inggris, pada hal lingkungan kerjanya di Indonesia. Dalam dunia pendidikan, bahasa Inggris digunakan, khususnya di sekolah-sekolah internasional yang dikelola swasta di kota-kota besar seperti Jakarta, namun menjadi permasalahan ketika diberlakukan pada sekolah-sekolah umum. Bahasa asing boleh digunakan dalam satuan pendidikan asing, yang mendidik warga negara asing. Ya, contoh di sini mungkin di Jakarta ada International School atau juga ada Gandhi‘s School …Ada satu prinsip dalam proses belajar yang mengatakan bahwa sampaikanlah materi pelajaran dalam bahasa yang sederhana dan mudah diterima oleh siswa sesuai dengan tingkat pendidikannya. Jadi, pertanyaan kita … mana sih yang lebih mudah dipahami anak-anak, anak-anak Indonesia, pelajaran yang diberikan dalam bahasa Inggris atau dalam Bahasa Indonesia? Ya, jawab saya dalam Bahasa Indonesia (Abdul Chaer, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 19-20). Penjelasan di atas menunjukkan bahwa resistensi terhadap penggunaan bahasa Inggris di RSBI tidak hanya didasarkan pada argumentasi “nasionalisme” tetapi juga pedagogi. Menurut Abdul Chaer penggunaan bahasa Inggris tidak hanya meminggirkan posisi bahasa Indonesia di “tanahnya” sendiri, tetapi juga secara metodologis (pedagogis) menghambat daya serap anak didik terhadap materi pembelajaran.
232
Secara historis dan politis, kurikulum pendidikan nasional pernah mengalami proses yang tidak selaras dengan tujuan pendidikan. Kurikulum pendidikan
tidak lagi sebagai persoalan kebudayaan, melainkan lebih
dipandang sebagai kepentingan politik dan ekonomi. Pada masa Orde Baru kurikulum pernah dijadikan sarana indoktrinasi bagi penguasa melalui, misalnya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Kemudian kurikulum 1994 menonjolkan pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris dan kurang pada pelajaran seni, kurang pada citarasa seni dan manusia direduksi hanya untuk menguasai teknologi saja (Rifai, 2011: 169-170). Tilaar (2011: 37) menyatakan bahwa bahasa bukan sekedar bunyi yang mempunyai arti, namun bahasa mempunyai arti konstruksi di balik terwujudnya kata-kata yang digunakan di dalam bahasa itu. Dari bahasa dapat dibaca mengenai bentuk-bentuk regulasi dan dominasi di dalam kehidupan suatu masyarakat. Itulah sebabnya penting ada politik bahasa di dalam suatu masyarakat (Ascroft, et al, 1989: 15-17; Tilaar. 2011: 37). Studi poskolonial sebagai gerakan perlawanan terhadap kolonialisme berkembang menjelang abad ke-21 dan mengkaji masalah-masalah ketidakadilan sosial-budaya dan ilmu pengetahuan yang diakibatkan hegemoni, kolonialisme, dan kekerasaan epistemologi Barat (Lubis, 2006: 202). Bila sejarah kolonial dan imperialisme dikaitkan dengan ekspansi bahasa Inggris, hegemoni dapat terjadi tidak saja melalui kebijakan bahasa, tetapi juga melalui berbagai introduksi dan distribusi pengetahuan melalui
233
bahasa Inggris di sekolah maupun di masyarakat. Dalam dunia akademik, misalnya, muncul istilah yang dikenal dengan “imperialisme linguistik” yang menjelaskan bahwa suatu bahasa dapat lebih berperan daripada bahasa lainnya akibat terjadinya hegemoni sosial dan politik. Buku Ashcroft (1989), The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literatures secara jelas memaparkan informasi tentang hegemoni budaya dan peran bahasa Inggris sebagai aparatus ideologis pada masa kolonial dan pascakolonial. Posisi suatu bahasa dapat menjadi dominan berhadapan dengan bahasa lainnya karena dominasi ideologi serta peran ahli bahasa yang kemudian dapat menjadi sumber ketidakadilan sosial. Salah satu fenomena pengajaran bahasa di SMA, misalnya, adalah rendahnya apresiasi dan nilai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, berbeda dengan perolehan nilai bahasa Inggris. Nilai perolehan UN 2010 SMA/SMK, terlepas dari kontroversi UN, secara nasional lebih rendah dibanding beberapa mata ujian lainnya termasuk bahasa Inggris. Pada pelaksanaan UN 2011, situasi yang lebih mengejutkan terjadi pada nilai perolehan bahasa Indonesia secara nasional. 80% siswa SMA yang gagal UN tersandung dengan perolehan nilai bahasa Indonesia yang tidak mencapai standar nilai 4.0 dan 60% dan siswa SMK yang gagal UN terkait dengan nilai bahasa Indonesia yang juga tidak mencapai standard kelulusan UN (Bali Pos, Minggu 15 Mei 2011, hlm. 1). Fenomena lain yang dengan mudah ditemukan di masyarakat adalah bahwa seorang siswa dapat memiliki beberapa kamus bahasa Inggris, tetapi belum tentu memiliki kamus bahasa Indonesia atau kamus bahasa daerah.
234
Dalam hal ini, paradigma pedagogik kritis melihat posisi guru, siswa, dan masyarakat harus terbebas dari hegemoni budaya, tidak berorientasi pada standardisasi dan liberalisasi sebagai ciri-ciri neoliberalisme dan komodifikasi pendidikan, sehingga anak didik tidak mengalami ketercerabutan budaya dalam arti menjadi orang-orang yang tercerabut dari “kebudayaan saya” (Spradley, 1997: 14; Tilaar, 2011: 44-45). Menurut para pendukung kebijakan RSBI, penggunaan bahasa Ingrris dalam pendidikan sangat penting karena bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa internasional yang dapat meningkatkan daya saing lulusannya. …pengayaan bahasa asing ini akan memberikan unggulan-unggulan komparatif dan unggulan kompetitif bagi siswa-siswa kita karena ketika kita berbicara layanan, ketika standarnya tidak internasional saya kira kita akan ditinggalkan. Menjadi TKI pun kalau tidak bisa bahasa asing saya kira akan jauh lebih tidak berdaya dibandingkan dengan mereka yang menguasai bahasa asing (Suyanto, Risalah Sidang MK, Selasa 6 Maret 2012, hlm. 17). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 33 ayat (1) secara tegas menyatakan bahasa Indonesia merupakan bahasa negara dan menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Namun ayat (3) menegaskan, “Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik”. Hal ini kemudian digunakan sebagai legitimasi penggunaan bahasa Inggris. ….dewasa ini meskipun SBI belum ada, tetapi di beberapa RSBI sudah dibuat kelas-kelas khusus yang disebut kelas internasional dengan mengadopsi kurikulum yang dari luar negeri. Jadi, sudah berbeda dengan yang di kelas-kelas RSBI lainnya. dua bahasa pengantar, yaitu Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia untuk mata pelajaran ilmui-ilmu sosial dan bahasa Inggris untuk mata pelajaran matematika, fisika, dan biologi (Abdul Chaer, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 17-18).
235
Dalam bab-bab sebelumnya telah diuraikan bagaimana bahasa yang digunakan di sekolah dapat mereproduksi sekaligus merepresentasikan struktur dan status sosial. Dalam hal ini, para siswa yang mengikuti kelas internasional secara umum telah mengikuti kursus-kursus bahasa Inggris sebelum masuk SMA, yang menunjukkan sekaligus status sosial ekonominya. Melalui observasi proses pembelajaran di kelas internasional pada SMA Negeri 78 Jakarta dan wawancara dengan dua orang siswanya (8 Agustus 2012) ditemukan penjelasan berikut. secara umum kami tidak kesulitan memahami bahasa Inggris guru yang mengajar kami, tetapi agak sulit dalam mengungkapkannya”. Dulu waktu SMP memang kami sudah mengikuti kursus-kursus bahasa Inggris dan terbiasa mempraktekkannya (Wawancara dengan Pandu, Rabu 8 Agustus 2012). Ketika ditanyakan pendapat mereka tentang berapa siswa dari 24 orang dalam kelasnya yang mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris, mereka mengatakan bahwa secara umum baik dan tidak ada masalah dengan proses pembelajaran dengan menggunakan bahasa Inggris. Namun berdasarkan pengamatan peneliti di kelas, interaksi guru-siswa kurang berlangsung dengan baik dalam bahasa Inggris. Proses interaksi belajar lebih menonjol satu arah dari guru ke siswa. Observasi juga dilakukan terhadap berbagai fasilitas pembelajaran yang digunakan. Buku-buku yang digunakan di kelas internasional adalah buku-buku impor berbahasa Inggris dan sebagian bilingual. Hal ini menunjukkan bahwa kelas internasional dengan berbagai program dan fasilitas yang dimilikinya menempati struktur sosial tersendiri di masyarakat, dalam arti
236
mereka lebih merepresentasikan suatu kelas sosial dalam sekolah publik. Hal inilah yang dikatakan dalam teori reproduksi sosial bahwa “yang kuat yang berkuasa” melalui legitimasi lembaga pendidikan. Dalam hal ini, lembaga pendidikan berperan sebagai sarana hegemoni kekuasaan dan melakukan kekerasan simbolik baik melalui kebijakan maupun praktik-praktik pendidikan (Piliang, 2006;359). Dalam konteks pemikiran Bourdieu, jika bahasa Inggris sebagai sumber daya kultural atau kapital linguistik maka diskriminasi akses pendidikan berbasis bahasa Inggris pada RSBI merupakan bentuk ketidakadilan yang dihasilkan oleh negara melalui lembaga pendidikan. Bentuk ketidakadilan lainnya adalah pemberian angggaran ”block grant”,
fasilitasi sarana dan
prasarana, pengadaan guru berkualitas. Dalam batas tertentu, pemberian ”block grant” ke sekolah-sekolah RSBI merupakan
bentuk ”kuasa hegemonik”.
Dengan statusnya sebagai sekolah RSBI, sekolah mendapat izin istimewa dari pemerintah untuk memungut biaya ”rasional” dari orangtua siswa dengan argumentasi sekolah ”bertaraf internasional”. Secara ekonomi, siswa yang berasal dari ekonomi lemah sulit mengakses layanan pendidikan bermutu. Para siswa yang masuk kategori ”lemah” dari segi ekonomi dan intelektual (miskin dan bodoh) juga terbatas aksesnya
terhadap
pendidikan
bermutu.
Dalam
konteks
wacana
kuasa/pengetahuan oleh Foucault (1977), siswa berbakat harus mendapat diversifikasi layanan pendidikan khusus (normalisasi) dalam bentuk ”bertaraf internasional” atas nama Undang-undang dan rasionalitas pengetahuan (expert
237
knowledge). Perpaduan kemampuan ekonomi dan ”kapasitas intelektual” subjek (warga negara) menjadi masukan (kategori dan identitas) untuk mengeksklusi subjek lainnya setelah ”agen kekuasaan” mendefinisikan pendidikan ”bertaraf internasional”. Dominasi bahasa Inggris dalam ranah sosial, ekonomi dan politik dan bahkan dalam pendidikan, pada dasarnya, telah lama berlangsung di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Dalam era globalisasi, bahasa Inggris mendominasi bahasa internet dan berbagai produk IPTEK lainnya. Bahkan para pakar pendidikan dan hubungan internasional berpendapat bahwa globalisasi didukung oleh pemanfaatan kemajuan TIK serta penggunaan bahasa Inggris dalam berbagai konteks kehidupan modern. Hal ini juga tergambar dari pendapat Crystal (2003) pada kutipan berikut: globalization has also initiated the age of information technology requiring the deployment of the Internet whose main language is English…the spread of information technology worldwide is strongly linked with the diffusion of the English language. To put it differently, it can be stated that while English has contributed to the proliferation of this technology, the information technology has also boosted the diffusion of English through Internet communication (Hismanoglu, 2011:1). Dalam konteks hegemoni bahasa Inggris, para pakar bahasa di Indonesia telah mengantisipasinya dengan wacana penguatan bahasa Indonesia sebagai identitas dan fungsi bahasa Indonesia sebagaimana tergambar dari kutipan berikut. Jauh sebelum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 terbit, para pakar bahasa di Indonesia sudah sepakat ya, sudah mengadakan suatu kesepakatan dalam seminar bahasa nasional bahwa di Indonesia ini ada tiga bahasa, Bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi antarsuku bangsa. Bahasa daerah adalah alat komunikasi intrasuku. Dan bahasa asing adalah alat komunikasi
238
antarbangsa atau alat untuk menimba ilmu, atau menggali ilmu.Jadi menimba ilmu (Abdul Chaer, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 19-20). Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 secara jelas termaktub pada pasal 41: Bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia. Dalam pasal 42, bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan dan sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. Pasal 2: Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan ditentukan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pendidikan nasional. Undang-undang ini memberikan jaminan bahwa bahasa pengantar pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia. Di pihak lain, bahasa asing dapat digunakan untuk mendukung kemampuan berbahasa asing bagi peserta didik. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi Bahasa Indonesia. Pada kenyataannya, penggunaan bahasa Inggris (lihat Gambar. 8), warga sekolah lebih bangga menggunakan bahasa Inggris sebagaimana tampak dari kutipan berikut. …Tapi jangan salah kalau kita ke sekolah, kepala sekolah senang sekali karena di sekolahnya sudah banyak pengumuman pakai bahasa Inggris. Nah, ini yang menurut saya perlu menjadi keprihatinan secara nasional (Itje K, Risalah Sidang Rabu 2 Mei 2012, hlm. 27).
239
Hegemoni bahasa Inggris di sekolah tampak dalam berbagai bentuk dan program seperti kurikulum Cambridge, penggunaan bahasa Inggris dalam papan pengumuman, pelatihan-pelatihan, dan English Club. Dalam proses pembelajaran pada kelas internasional SMA Negeri 78 Jakarta, dua orang siswanya yang diwawancarai untuk penelitian ini mengklaim bahwa mereka tidak lagi mengalami permasalahan dengan bahasa pengantar bahasa Inggris di kelas. Mereka menyatakan bahwa sebelum masuk SMA Negeri 78, mereka telah mengikuti kursus bahasa Inggris dan bahkan ketika di SMP pun mereka sudah terbiasa mendengarkan guru berbahasa Inggris di kelas walaupun, menurut pengakuan salah seorang siswa, Pandu, tidak sama intensifnya dengan di SMA tempat dia sekolah saat ini. Di kelas-kelas lainnya yang bukan kategori kelas internasional, proses pembelajaran menggunakan bilingual dan sarana dan prasarana seperti laboratorium MIPA, lab bahasa, dan fasilitas TIK. Karena bahasa Inggris menjadi icon di sekolah-sekolah SBI/RSBI, maka kemampuan guru dalam menggunakan bahasa Inggris untuk mengajar terutama Matematika dan IPA menjadi penting…Namun kenyataannya sampai saat ini kompetensi guru Bahasa Inggris sebagai tolok ukur kemampuan menggunakan bahasa Inggris bagi guru mata pelajaran lain masih pada kategori yang secara umum rendah (Itje K, Risalah Sidang, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 24). Kebijakan menggunakan bahasa Inggris dalam pendidikan dapat menguatkan proses sosial yang menciptakan kesenjangan bahasa di masyarakat dan dapat mereproduksi dan menguatkan “social class and power distinctions”. Dalam hal ini bahasa Inggris diasosiasikan dengan bahasa “elit” sedangkan bahasa lainnya sebagai bahasa “subordinat”. Posisi bahasa asing sebagai alat komunikasi antarbangsa dan sarana pengembangan ilmu pengetahuan ditopang
240
oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, Pasal 29 ayat (2) Bahasa asing, termasuk Inggris boleh digunakan sebagai bahasa pengantar pada mata pelajaran tertentu untuk mendapatkan kompetensi berbahasa asing itu”. Misalnya, guru bahasa Inggris boleh mengajarkan bahasa Inggris dalam bahasa Inggris, supaya siswanya mempunyai kompetensi berbahasa Inggris”. Hegemoni bahasa Inggris dalam dunia pendidikan nasional semakin terbuka dengan kebijakan PBI yang berkiblat pada OECD. Sebagai bahasa internasional dan bahasa ilmu pengetahuan, bahasa Inggris tidak hanya membuka peluang lebih besar bagi masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi pada arena global, tetapi juga, dalam konsep Bourdieu, berperan sebagai alat reproduksi ketidakadilan secara sosial–ekonomi, sumber daya pembelajaran, dan peluang kerja yang lebih besar setelah menyelesaikan studi. Hal ini terjadi karena desain dan implementasi PBI menimbulkan diskriminasi karena hanya dapat diakses oleh kelompok masyarakat tertentu. Ketika seorang guru bahasa Inggris (wawancara dengan Suranto Mei 2013) ditanya pendapatnya tentang permasalahan utama RSBI, dia menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada masalah dengan RSBI sebagai program unggulan pemerintah. Menurut Suranto program RSBI ini justru sangat baik untuk melayani tuntutan masyarakat dan anak didik yang memiliki potensi (akademik dan ekonomi) yang berbeda. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa yang menjadi permasalahan adalah kadang-kadang sekolah mendapat protes dari masyarakat hanya karena kebijakan tersebut menimbulkan diskriminasi dan kecemburuan sosial.
241
Di
satu
pihak,
Undang-Undang
Nomor
24/2009
pasal
43
mengamanatkan untuk meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Di pihak lain, penggunaan bahasa bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah bertentangan dengan semangat Sumpah Pemuda tahun 1928. Dalam hal ini keputusan tentang bahasa pengantar sebenarnya tidak terlepas dari masalah politis dan merupakan bagian wewenang Negara dalam masyarakat. Bahasa Indonesia yang kita tahu berasal dari bahasa Melayu dan yang sudah sejak berabad-abad yang lalu menjadi lingua franca di nusantara. Jadi menjadi bahasa perhubungan, itu di dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) memiliki tiga status sekaligus, yaitu sebagai bahasa nasional, sebagai bahasa persatuan, dan sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa nasional disandang sejak pemunculnya kebangkitan nasional pada awal abad ke-20. Dan sebagai bahasa persatuan, disandang sejak adanya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 ... Dan sebagai bahasa negara, disandang sejak ditetapkannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Abdul Chaer, Risalah Sidang, Selasa 24 April, 2012, hlm. 18). Winarno Surakhmad, pakar pendidikan dan profesor emeritus pada Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyatakan bahwa pendidikan Indonesia saat ini seharusnya lebih diorientasikan untuk menjawab permasalahan dan tantangan
nasionalisme,
bukan
pada
internasionalisasi
pendidikan,
sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut. Sumpah Pemuda yang diucapkan oleh semua pemuda Indonesia yang mengatakan, “Satu bahasa dan satu tanah air, satu … dan satu bahasa,” itu justru mulai retak sesudah Sumpah Pemuda diucapkan…kita sudah melihat bendera-bendera yang memisahkan diri dari induknya. Dan kalau ini berlangsung terus, maka akan ada 500 lebih bendera kemerdekaan yang berarti Indonesia tidak akan tahan lagi menjadi satu bangsa (Winarno S, Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm. 11). Dalam sebuah diskusi tentang konstitusi dan negara kesejahteraan bertema “Pendidikan yang Memerdekakan” yang diselenggarankan oleh harian
242
Kompas bersama Lingkar Muda Indonesia di Jakarta mengemuka isu tentang sejumlah konflik horisontal yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Berbagai konflik tersebut ditengarai terkait dengan nilai-nilai toleransi yang mulai memudar. Sejumlah konflik sekolah mengarah pada eksklusivisme berdasarkan kelompok, mulai dari identitas agama hingga SBI untuk kelompok tertentu. Pemerintah juga berkontribusi terhadap situasi tersebut melalui pendidikan dengan menerapkan ujian nasional yang menganggap siswa memiliki potensi yang sama, padahal potensi siswa sangat beragam (Kompas, Kamis 6 September 2012, hlm. 12). Bahasa Inggris dalam konteks RSBI/SBI mendapat perhatian khusus dalam bentuk kegiatan pembelajaran dan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk mata pelajaran MIPA. Hal ini didukung oleh politik kekuasaan (pendidikan) yang menghegemoni masyarakat dalam melihat bahasa Inggris sebagai akses yang lebih luas terhadap ilmu pengetahuan dan bermanfaat secara sosio-ekonomis. Currently people who have English as their first language, second language or those who have a good common grounding of English are assumed to have power and access to develop their career in the international arena (Pennycook, 1997; Bruthiaux, 2002 dalam Marhum, t.th:7-8). Kutipan di atas menegaskan bahwa kemampuan bahasa Inggris dapat mengembangkan karir seseorang pada arena internasional. Dalam konteks pemikiran Foucault, bahasa menjadi “power” dalam relasi sosial. Para ilmuan yang tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris tidak berpeluang untuk mempublikasikan karya-karyanya dalam jurnal internasional, termasuk para
243
pelaku bisnis pun sulit mengembangkan usahanya pada arena internasional jika mereka tidak mampu berbahasa Inggris. Berbagai wacana globalisasi yang dikembangkan oleh para intelektual Indonesia menguatkan
“kebenaran”
bahwa bahasa Inggris sangat vital dalam pendidikan modern. Wacana ini telah mendominasi kesadaran masyarakat dan banyak intelektual, sehingga bahasa Inggris dipandang rasional bagi upaya peningkatan mutu pendidikan, daya saing dan produktifitas SDM Indonesia di kancah internasional. …Berpartisipasi dalam dunia global, mustahil kita bisa melakukan tanpa ada penguasaan teknologi, bahkan bahasa sekalipun. Saya kemarin ke Malaysia mengurusi warga TKI yang harus dididik di sana. Kita membuat perjanjian, perjanjian itu dibuat dalam Bahasa Indonesia, bahasa Melayu, dan bahasa Inggris. Dalam satu klausulnya dikatakan bahwa perjanjian ini dibuat dalam tiga bahasa: Bahasa Indonesia, bahasa Melayu, bahasa Inggris. Kalau terjadi penafsiran yang berbeda, kembali kepada bahasa Inggris…(Suyanto, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 43-44). Perdebatan tentang relevansi bahasa Inggris dalam sistem pendidikan nasional khususnya dalam konteks PBI lima tahun terakhir tidak terlepas dari wacana tarik-menarik antara semangat melawan globalisasi dan semangat menguatkan jati diri bangsa. Pelajaran Malaysia sebagai negara tetangga mungkin menarik sebagai refleksi dalam konteks Indonesia. Angel M.Y. Lin, Peter W. Martin dalam bukunya Decolonisation, Globalisation Language-inEducation Policy and Practice (2005:92-93) mengutip pandangan Mahathir Mohamad dari sebuah media massa terkemuka di negara jiran tersebut sebagai berikut. Learning the English language will reinforce the spirit of nationalism when it is used to bring about development and progress for the country…True nationalism means doing everything possible for the country, even if it means learning the English language (Mempelajari bahasa Inggris akan memperkuat semangat nsionalisme ketika ia
244
digunakan untuk menghasilkan pembangunan dan kemajuan bagi negara…nasionalisme yang sesungguhnyanya adalah melakukan segala kemungkinan bagi negara, bahkan belajar bahasa Inggris) (Mahathir Mohamad, The Sun, September 11, 1999). Bourdieu dan Eagleton (1997) menjelaskan hubungan antara bahasa dan pendidikan yang saling menguatkan. Mereka berpendapat bahwa sistem akademik dan pendidikan merupakan semacam mekanisme ideologis yang dapat memproduksi distribusi kapital personal secara tidak adil. Dalam hal ini, hubungan bahasa dan pendidikan dapat memberikan pemahaman tidak saja tentang implikasi hubungan yang tidak adil antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia tetapi juga menjelaskan fungsi dan makna bahasa Inggris dalam pendidikan nasional. Wacana bahasa Inggris sebagai bahasa IPTEK dapat menjelaskan tentang hegemoni bahasa Inggris dalam pendidikan dan budaya Indonesia modern. Sistem pendidikan turut mereproduksi relasi kekekuasaan secara tidak adil. Dengan memosisikan bahasa Inggris sebagai bahasa “elit”, hal ini tidak saja menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi tetapi juga dapat menimbulkan pencitraan bahwa bahasa Inggris menjadi kunci menuju sukses dalam pendidikan. Logikanya, jika bahasa Inggris dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan maka bahasa Inggris menjadi “mekanisme kontrol” yang tidak adil untuk mendapatkan “pendidikan bermutu”. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36 bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan di sekolah. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa SDM sekolah baik di sekolah SMA Negeri 78 Jakarta maupun di SMA Negeri 2 Bandarlampung masih jauh
245
dari kapasitas dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran dalam bahasa Inggris. Khusus “Kelas Internasional” pada SMA Negeri 78 Jakarta, hingga saat penelitian ini dilakukan, memang menggunakan bahasa Inggris dalam proses belajar di kelas namun melalui pengamatan langsung di kelas, interaksi kelas tidak sepenuhnya dalam bahasa Inggris dan lebih bersifat satu-arah. Dalam hal ini, semangat untuk memajukan pendidikan melalui penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar tidak didukung oleh realitas SDM yang berkompeten dan ekosistem pendidikan yang kondusif. Pada level wacana permukaan, pemerintah terkesan memikirkan dan memajukan secara serius tentang kualitas pendidikan nasional, namun realitas di lapangan masih jauh dari yang diharapkan. Permasalahan penggunaan bahasa Inggris tidak hanya menyangkut bahasa tetapi juga tentang ekonomi dan budaya. English is supported by a powerful and strong socio-cultural and economic system. It is the vernacular of the modern global EuroAmerican free market economy. It is possible that in acquiring it one has to reckon also with the socio-cultural superstructure on which it thrives (Stephen M Neke, 2002). Dari aspek politik ekonomi, pengadaan buku impor berbahasa Inggris tidak terlepas dari siapa mendapat apa, dan dari segi budaya siapa yang menentukan “isi” buku ketika buku harus diimpor dari, misalnya, negara tertentu dalam OECD. Secara ekonomis, buku yang harus dimpor dari negara (-negara) maju sebagai akibat dari kebijakan “benchmarking” telah membebani
246
masyarakat atau orangtua siswa. Hal ini terungkap dari penjelasan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA Negeri 78 Jakarta sebagai berikut. Buku teks MIPA dan Bahasa Inggris ditulis dalam bahasa Inggris, misal, Advance level Mathematics Statistics 1 (oleh) Steve Dobbs and Jane Miller, dan sebagian menggunakan dwi bahasa (bilingual). Dan pengadaannya langsung dipesan dari Inggris (Cambridge) dan biaya buku sudah termasuk dari SPP anak-anak (Wawancara Rabu 21 Maret 2012). Secara ekonomis, dampak selanjutnya dari bentuk kerjasama seperti ini adalah bahwa perusahaan atau penerbit buku-buku di luar negeri yang dibutuhkan oleh sekolah RSBI turut “mengontrol” buku ajar yang baik” bagi pendidikan Indonesia melalui bentuk kerjasama dengan lembaga Cambridge Inggris, yang selanjutnya mendorong munculnya kurikulum berbasis bisnis atau/dan industri intelektual. Menurut Darmaningtyas, seorang pengamat pendidikan, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk meningkatkan daya saing dan kualitas pendidikan nasional tidak memiliki dasar pemikiran yang kuat. Ia berargumentasi bahwa ada banyak negara di dunia yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam sistem pendidikannya tetapi negara-negara tersebut mencapai kualitas pendidikan yang baik. Yang dibutuhkan justru, menurut Darmaningtyas, adalah bagaimana memfungsikan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Kemampuan Bahasa Indonesia sebagai bahasa modern telah diakui oleh UNESCO karena menurut UNESCO Bahasa Indonesia telah mampu untuk membahas hal-hal yang sifatnya abstrak. Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 juga secara tegas menyatakan, “Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 24).
247
Pandangan di atas sangat relevan dipersoalkan dalam konteks pendidikan dan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar yang menjadi bagian penting dari kebijakan PBI untuk satuan pendidikan mulai dari tingkat SD hingga
sekolah
menengah.
Para
pengamat
dan
praktisi
pendidikan
berpandangan bahwa kualitas pendidikan justru bisa merosot bila proses pembelajaran di kelas menggunakan bahasa yang tidak mengakar dalam diri anak didik secara sosio-kultural. Dalam proses pembelajaran, guru-guru dihadapkan pada beban ganda yaitu menguasai bahan ajar sekaligus bahasa asing untuk mengajar. Penggunaan bahasa asing dalam proses pembelajaran tidak efektif. Dalam sebuah diskusi pada konfrensi internasional tentang Language, Education, and Millenium Deveopment Goals (MDGs) di Bangkok Thailand, Abhisit Vejjajiva menyatakan bahwa ilmu pengetahuan apa pun akan lebih cepat dipahami oleh siswa jika disampaikan dalam bahasa mereka sendiri. Menurut Direktur International Lead Asia Catherine Young bahwa jika siswa tidak mengerti bahasa pengantar yang digunakan di sekolahnya, lambat laun minat dan semangat anak bisa menurun (Sukamerta, 2011:217 mengutip Kompas, Senin 1 November 2010). Abdul Chaer, seorang pakar bahasa dan dosen kependidikan menyatakan bahwa guru akan lebih mudah menyampaikan bahan pembelajaran dalam bahasa yang dikuasainya dan daya serap anak didik terhadap pengetahuan juga akan lebih efektif jika disampaikan dalam bahasa yang tidak asing baginya. Ia menggambarkan gagasannya dengan menyatakan:
248
Saya coba-coba ingin bermimpi dalam bahasa Inggris, tapi tidak pernah jadi, tidak pernah bisa kayaknya. Kedua, jika orang mengigau pasti dalam bahasa ibu atau jika dikagetkan … itu pun akan marah dalam bahasa ibu, bukan dalam bahasa lain… Jadi, saya kira lebih mudah memberikan ilmu dalam Bahasa Indonesia daripada dalam bahasa Inggris (Abdul Chaer, Risalah Sidang, Selasa 24 April 2012, hlm. 20). Kutipan di atas sekaligus menggambarkan bahwa proses pembelajaran tidak akan efektif dengan menggunakan bahasa asing dari segi psikologi dan pendidikan. Interaksi dalam pembelajaran menyangkut habitus yang dimiliki oleh guru dan siswa. Sesuai dengan realitas empiris di sekolah, dua sekolah yang berstatus RSBI baik di SMA Negeri 78 Jakarta maupun SMA Negeri 2 Bandarlampung adalah bahwa permasalahan kemampuan guru dalam bahasa Inggris menjadi kendala bagi proses pembelajaran. Dalam perkembangannya, manajemen sekolah dan guru-guru di SMA Negeri 2 Bandarlampung bahkan tidak lagi menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar setelah berjalan satu tahun karena disadari bahwa kompetensi guru-guru yang ada belum memadai untuk itu. Yah..memang jika dilihat dari kesiapan guru-guru, tentu sulitlah mereka mengajar dalam bahasa Inggris. Sekolah sudah berusaha untuk meningkatkan kemampuan guru-guru tetapi mungkin tidak bisa dalam waktu singkat seperti yang diharapkan untuk RSBI. Terus terang ya..bahasa Inggris lebih banyak membebani sekolah…karena guru-guru juga ketika kuliah dulunya tidak dipersiapkan untuk mengajar dalam bahasa Inggris (Wawancara dengan Suranto, Mei 2013). Sebagaimana tujuan penyelenggaraan PBI, salah satu tujuan pengajaran bahasa Inggris adalah untuk memenuhi tuntutan era globalisasi yang memosisikan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi internasional dalam berbagai aktivitas internasional. Penguasaan bahasa Inggris dipandang sebagai salah satu kunci sukses untuk menguasai ilmu dan teknologi termasuk
249
kemudahan untuk mendapatkan peluang kerja di dunia modern sebagaimana tampak dari berbagai iklan di media massa yang mensyaratkan bahasa Inggris sebagai salah satu kualifikasi penting. Pentingnya kemampuan bahasa Inggris dalam konteks hubungan internasional juga dapat dipahami melalui Undangundang yang mengamanatkan tentang partisispasi negara Indonesia dalam melaksanakan ketertiban dunia, sebagaimana dapat dipahami melalui kutipan berikut. …dalam pembukaan Undang-Undang Dasar itu dikatakan kita harus ikut melaksanakan ketertiban dunia. Bagaimana kita bisa ikut melaksanakan ketertiban dunia kalau kita tidak bisa berkomunikasi dengan bangsabangsa yang lain?… (Prof. Slamet, Risalah Sidang MK, Selasa 2 Mei 2012, hlm. 44). Bahasa pengantar bahasa Inggris diatur melalui Permendiknas No 79/2009 pasal 5 ayat (3), (4) dan (5): Pasal 3: SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional bagi mata pelajaran tertentu; Pasal 4. Pembelajaran mata pelajaran
Bahasa
Indonesia,
Pendidikan
Agama,
dan
Pendidikan
Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia; dan Pasal 5. Penggunaan bahasa pengantar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimulai dari kelas IV untuk SD (Permendiknas No. 78 Tanggal 16 Oktober 2009). Nah, kalau ditanya apa sebabnya sih kita gandrung kepada bahasa Inggris? Saya kira banyak sebabnya. Kalau masyarakat kecil itu melihat bahasa Inggris mempunyai nilai lebih …Tetangga saya dulu menulis perusahaannya Penjahit Iing, terus setelah dia ganti Iing Tailor, wah itu katanya pelanggannya tambah…(Abdul Chair, Risalah Sidang Selasa 24 April 2012, hlm. 21).
250
Kutipan di atas bermakna bahwa bahasa Inggris sebagai bahasa internasional tidak hanya bernilai ekonomis dan sosial bagi penggunannya, tetapi juga bernilai simbolik dan kultural. Memiliki kemampuan bahasa Inggris dapat memberikan rasa bangga dan status sosial terpelajar bagi penggunanya. Pengaruh hegemonik bahasa Inggris meluas tidak hanya dalam ranah pendidikan tetapi juga ruang-ruang publik yang terkait dengan kehidupan modernitas. Fenomena menguatnya pengaruh bahasa Inggris dalam kehidupan masyarakat Indonesia sudah mengkhawatirkan. Dalam situasi menguatnya pengaruh bahasa Inggris tersebut, keberadaan RSBI yang secara formal mengklaim menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan justru semakin menguatkan status sosial dan politik bahasa Inggris. Sebagian intelektual berpandangan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dapat mendegradasi nasionalisme dan mutu pendidikan. RSBI berbahaya karena menghancurkan geo-nasionalisme…mendorong ke arah tekno-nasionalisme,…, RSBI secara perlahan akan memerosotkan mutu pendidikan nasional, bagaimana logikanya? Sederhana saja. Diajar dengan Bahasa Indonesia kadang-kadang diselingi bahasa daerah supaya lebih mudah ditangkap, daya serap murid tidak pernah mencapai 80%, apalagi diajar dengan bahasa Inggris, yang mengajar bingung, yang diajar juga tambah bingung…(Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 27-28). Kutipan di atas sekaligus merepresentasikan realitas di lapangan khususnya di SMA Negeri 2 Bandarlampung. Implementasi bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah tersebut jauh dari idealisasi pemerintah. Dari hampir selama lima tahun berstatus RSBI, sekolah ini tidak memiliki guru bahasa Inggris yang memadai kompetensinya untuk mengajar mata pelajaran
251
MIPA. Pada tahun-tahun awal berstatus RSBI, 2007-2008, sekolah ini bahkan menyiasatinya dengan menggunakan tenaga dosen MIPA dari universitas setempat untuk mengajar di kelas-kelas berbahasa Inggris. Dalam perkembangan berikutnya dengan alasan pembiayaan, SMA Negeri 2 Bandarlampung tidak lagi mempekerjakan tenaga pengajar berbahasa Inggris dari luar sekolah. Selanjutnya, tugas tersebut dilakukan oleh guru-guru sekolah tersebut dengan kemampuan yang, menurut guru dan wakil kepala sekolahnya, belum seperti diharapkan (Wawancara dengan Payudi, Selasa 29 Mei 2012). Secara umum, hal yang sama juga dialami oleh sekolah-sekolah lainnya yang berstatus RSBI. Bahkan, izin untuk membuka RSBI di berbagai daerah lain di Indonesia pernah diwacanakan untuk dihentikan karena realitas kemampuan guru-guru yang tidak memadai untuk melaksanakan pembelajaran dalam bahasa Inggris (Kompas, Kamis 10 Maret 2011, hlm. 12). Kenyataan lain menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam bahasa Inggris tidak menjamin bahwa dia mampu mengajar dalam bahasa Inggris. Kemampuan berbahasa Inggris harus didukung oleh kemampuan pedagogis untuk efektifitas proses pembelajaran. RSBI melihat kemajuan berdasarkan pandangan yang keliru, yaitu pembelajaran sesuatu dalam bahasa Inggris dianggap sebagai yang paling hebat. Padahal Inggris dan Amerika Serikat maju bukan karena bahasa Inggris, tapi karena menghayati kemajuan dan bernalar secara ilmu pengetahuan (Darmaningtyas, Risalah Sidang MK, Selasa 24 April 2012, hlm. 27). Dari uraian di atas tentang bahasa Inggris dan wacana PBI dapat disimpulkan: pertama, secara sosial budaya, bahasa Inggris dipandang sebagai bentuk kemajuan dan prestise yang dapat meningkatkan status sosial seseorang.
252
Secara ekonomi bahasa Inggris berperan sebagai modal untuk mengakses informasi dan dunia kerja. Namun, penggunaan bahasa Inggris di RSBI juga bermasalah, antara lain, karena kurangnya kompetensi tenaga kependidikan, kurangnya efektifitas (pedagogi) penggunaan bahasa Inggris dalam mencapai tujuan pembelajaran; kedua, secara budaya, penggunaan bahasa Inggris berpotensi memarginalisasi bahasa nasional dan bahasa-bahasa local sebagai identitas bangsa, dan secara politik dapat menghambat peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa internasional.
253
BAB VII MAKNA HEGEMONI PENDIDIKAN BERTARAF INTERNASIONAL DALAM PENDIDIKAN MENENGAH UMUM
Bab ini membahas makna hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum. Pemaknaan dalam bab ini didasarkan pada pembahasan bentuk-bentuk hegemoni dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum. Makna hegemoni di sini juga menyangkut pergulatan makna yang terkait dengan kesenjangan dan/atau keterhubungan antara kebijakan PBI sebagai sebuah strategi yang bersifat hegemonik untuk meningkatan kualitas pendidikan nasional dalam konteks sosio-ekonomi, budaya dan wacana globalisasi dengan orientasi ideologisnya, kapitalisme dan neoliberalisme beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Bab ini terdiri atas dua sub bab; sub bab pertama menyangkut makna hegemoni PBI dalam konteks globalisme dan sub bab kedua tentang makna politik pendidikan nasional. Makna hegemoni PBI dalam konteks globalisme adalah terjadinya disorientasi pendidikan nasional yang menimbulkan bentukbentuk hegemoni seperti stratifikasi dan komersialisasi pendidikan sedangkan pada sub bab kedua terkait dengan politik pendidikan nasional dalam hal munculnya kontra-hegemoni dan resistensi masyarakat terhadap wacana PBI melalui mekanisme demokratis lembaga MK dan melalui berbagai wacana yang bersifat kritis terhadap hegemoni negara atas pendidikan nasional khususnya pendidikan menengah umum.
254
7.1 Makna Ideologis/Globalisme Wacana PBI dalam hubungannya dengan globalisasi dan pendidikan nasional berkembang melalui proses kepemimpinan intelektual dan moral, melalui kepemimpinan politik dan ideologis yang didukung oleh kaum intelektual. Wacana pengetahuan oleh intelektual merasionalisasi PBI sebagai solusi terhadap permasalahan pendidikan nasional menghadapi tantangan globalisasi. Hal ini kemudian menghasilkan permasalahan politik, sosial, ekonomi, dan budaya dalam bentuk-bentuk
standarisasi pendidikan,
kapitalisasi dan komodifikasi pendidikan, stratifikasi pendidikan, pencitraan kualitas internasional, dan marginalisasi identitas budaya sebagai akibat dari berbagai faktor kuasa: politik pendidikan, otonomi manajemen pendidikan, globalisasi dengan berbagai ideologi turunannya dan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan IPTEK. Secara ideologis, negara merekayasa kesadaran masyarakat dan pelaku pendidikan untuk mendukung kekuasaan negara melalui
birokrasi dan
lembaga pendidikan sebagai sarana hegemoni yang beroperasi membentuk dan mengarahkan perkembangan pendidikan nasional (Takwin, 2009: 74). Hal ini sesuai dengan pemikiran Foucault tentang genealogi sebuah wacana dan aplikasinya dalam kondisi historis yang spesifik (Barker, 2005: 512). ―…that the notion of hegemony is not free floating. It is in fact tied to the state in the first place. That is, hegemony isn‘t an already accomplished sosial fact, but a process in which dominant groups and classes – manage to win the active concensus over whom they rule.‖ (Michael W.Apple, 1982: 26)
255
Secara teoretis, dalam konteks kajian budaya, “power” dan ideologi mengonstruksi makna melalui produksi dan sirkulasi wacana, ideologi merasionalisasi dan melegitimasi makna melalui instrumen ideologi yang merepresentasikan “power”. Dominasi pasar, negara, elit, dan kelas menengah yang dalam operasionalnya mendistorsi kesadaran masyarakat dalam melihat sesuatu menyebar dalam bentuk praktik wacana. Dalam hal ini pemerintah merancang satuan PBI dalam bentuk RSBI untuk mengembangkan sekolah bermutu dalam konteks wacana standarisasi pendidikan untuk menghadapi berbagai tantangan pada skala nasional, regional dan global. Pengetahuan secara inheren bersifat ideologis, sosial dan politis dalam arti tidak bebas nilai, merefleksikan
nilai-nilai, gagasan, dan kepentingan
kelompok sosial tertentu (Foucault, 1977: 27-28; Mantra. D, 2011:17-18). Dalam konteks pemikiran Foucault tentang kuasa/pengetahuan, kondisi sosialekonomi, rendahnya kualitas pendidikan dan daya saing nasional merupakan “pengetahuan objektif” bagi munculnya wacana UU Sisdiknas pada tahun 2000-an tentang pentingnya pendidikan nasional merespons situasi global. Hal ini merupakan sebuah formasi diskursif antara pemerintah dan “kekuatan” global. Dalam hal ini, posisi pemerintah dan elit politik pendidikan “memanfaatkan” kesadaran kelompok masyarakat kedalam perspektifnya tentang globalisasi. Globalisasi yang mengandung semangat persaingan dan standar mutu dalam meningkatkan perekonomian nasional dipandang relevan sebagai tantangan pendidikan nasional.
256
Wacana PBI dalam sistem pendidikan nasional tidak terlepas dari dinamika sosial, ekonomi dan politik yang dihasilkan oleh kapitalisme dan liberalisme dalam lingkup global yang kemudian melahirkan hegemoni globalisme. Negara dengan berbagai institusi yang menopangnya berperan menghegemoni masyarakat melalui berbagai wacana UU, kebijakan, dan berbagai peraturan untuk mendukung reformasi pendidikan nasional dalam sistem kapitalisme global. Hegemoni PBI didukung oleh intelektual yang merasionalisasi relevansi PBI dalam sistem pendidikan nasional yang kemudian merefleksikan nilai-nilai, gagasan, dan kepentingan kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, hegemoni negara tentang PBI ditopang oleh pengetahuan melalui kepemimpinan intelektual. Secara sosio-kultural, kuasa pengetahuan dan hegemoni negara tersebut ditopang oleh budaya paternalistik yang masih hidup di tengah masyarakat. Konsep dan implementasi PBI telah berdampak politik, sosial, ekonomi dan budaya
bagi pendidikan nasional sehingga menimbulkan proses
pendidikan yang kontraproduktif dengan cita-cita pendidikan nasional. Dengan konsep dan praktik pendidikan yang didasarkan pada UU Sisdiknas 2003, secara politik terjadi hegemoni globalisme, secara sosial menimbulkan diskriminasi dan stratifikasi pendidikan, secara ekonomi menimbulkan komodifikasi pendidikan, secara budaya menghasilkan pencitraan dan marginalisasi identitas bangsa khususnya melalui penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di RSBI.
257
Dalam konsep dan implementasinya, RSBI/SBI mengandung ideologi kekuasaan yang saat ini sedang menghegemoni dunia yang pada dasarnya terjadi dalam tiga dimensi; yaitu intelektual, moral, dan politik. Dimensi intelektual dan moral mengacu pada proses hegemoni yang melibatkan kepemimpinan (penguasaan wacana pengetahuan) dan konsensus (pihak subordinat menerimanya) sedangkan dimensi politik terkait dengan dominasi wacana dan wewenang yang dimiliki negara untuk memaksakan PBI melalui UU
dan
berbagai
peraturan
terkait
yang
bersifat
represif
untuk
diimplementasikan dalam bentuk program RSBI/SBI. Hegemoni wacana globalisme melalui introduksi PBI dalam sistem pendidikan nasional sarat dengan terminologi-terminologi dan jargon-jargon yang terkonstruksi secara sistemik melalui isu-isu „pendidikan dan globalisasi‟, “standard pendidikan internasional”, „pendidikan dan daya saing bangsa‟, „bahasa Inggris dan pendidikan internasional‟, „pendidikan berbasis TIK‟, dan sebagainya. Penggunaan bahasa Inggris dalam kegiatan pembelajaran sains dan matematika secara jelas menunjukkan sebuah bentuk wacana imperialisme berbasis rasionalisme pengetahuan dan pragmatisme ekonomi
dalam
pendidikan. Hegemoni standarisasi pendidikan dari perspektif guru sebagai kunci proses pembelajaran menujukkan bahwa terjadi kesenjangan antara realitas standar nasional pendidikan dan “taraf internasional” yang ingin dicapai melalui kebijakan PBI dalam pendidikan menengah umum. Wacana PBI menyembunyikan realitas objektif pendidikan nasional baik secara filosofis
258
maupun sosial, ekonomi dan budaya dan mengunggulkan serta merasionalisasi pentingnya standarisasi menghadapi era globalisasi yang sarat dengan kontestasi ideologis. Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat (3) tentang satuan PBI secara jelas mengandung semangat globalisme. Wacana globalisasi menjadi salah satu “unsur pembentuk” visi pendidikan nasional yang berorientasi pada kualitas pendidikan di negara-negara OECD yang merupakan agen agenda globalisasi. Globalisasi menurut Appadurai (2007) beroperasi melalui ideologi, teknologi dan media dalam dunia pendidikan. Susan L. Robertson (University of Bristol, 2006: 303-318) dalam karyanya „Absences and Imaginings: The Production of Knowledge on Globalisation and Education‟ menjelaskan bahwa globalisasi menciptakan sebuah “apartheid” bagi masyarakat akademik. Wacana globalisasi menciptakan peluang komersialisasi pendidikan dalam bentuk distribusi pengetahuan melalui TIK. Menurut Susan, WTO sebagai lembaga perdagangan internasional berperan penting dalam negosiasi perdagangan yang melibatkan negara-negara barat untuk mempromosikan liberalisasi sektor jasa pada skala global (http://www.bris.ac.uk/education/research/centres/ges/publications/02slr.pdf: akses 13 Agustus 2013). Dalam konteks pendidikan nasional, menurut tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro pendidikan adalah bagian dari kebudayaan yang diarahkan untuk mengolah dan mengubah kondisi sosio-kultural masyarakat. Namun, dalam perkembangan pendidikan nasional, melalui “instrumen” pendidikan,
259
pemerintah justru menghegemoni masyarakat melalui kebenaran-kebenaran yang dibangun berdasarkan rasionalitas ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Dalam bukunya yang berjudul „Prison Notebooks‟ (1971) Antonio Gramsci menyatakan bahwa hegemoni kekuasaan dapat dioperasikan menjadi hegemoni makna melalui instrumen pendidikan untuk kepentingan kelas sosial tertentu. Pemikiran Gramsci tentang dominasi suatu kelompok atas kelompok lainnya tidak terelakan dalam suatu negara karena dalam operasinya ide-ide yang “disosialisasikan” oleh pihak dominan diterima begitu saja sebagai hal yang wajar dan rasional oleh pihak subordinat. Gagasan-gagasan tentang pendidikan seperti PBI secara sadar diarahkan oleh negara dan diterima begitu saja oleh masyarakat. Dalam konteks hegemoni internasional, kewajiban bersekolah, misalnya, menentukan peringkat kemajuan bangsa-bangsa di dunia menurut “rezim internasional”. Keberhasilan suatu negara di bidang pendidikan ditentukan berdasarkan, misalnya, jumlah tahun rata-rata warganya bersekolah. Inilah sebuah bentuk dominasi pemikiran dalam pendidikan yang berorientasi globalisasi. Sebagaimana ditekankan dalam uraian terdahulu
bahwa
ilmu
pengetahuan dan pendidikan tidak pernah bersifat netral (Sirozi, 2007 dan Tillar, 2009), selalu menjadi alat politis untuk mempertahankan status quo. Kekuasaan (negara) beroperasi melalui sistem pendidikan sebagai sarana pendisiplinan masyarakat dan warganya. Dalam sejarah Indonesia, pendidikan sebagai apparatus ideologis telah digunakan oleh pemerintah untuk menghegemoni masyarakat tentang nilai-nilai sosial, ekonomi dan kultural.
260
Pada era prakolonial pendidikan bersifat elitis, pendidikan dianggap sebagai hak istimewa kelompok elit. Selanjutnya, pada masa kolonial, pemerintah Belanda secara diskriminatif memberi akses pendidikan kepada pemuda pribumi untuk mengisi birokrasi pemerintahan kolonial sekaligus sebagai alat untuk melestarikan kekuasaannya.
Pada masa Orde Lama, pendidikan
diarahkan untuk membangun nasionalisme di kalangan generasi muda. Selanjutnya, pemerintahan Orde Baru mendukung liberalisme dengan, misalnya, meratifikasi pendidikan sebagaimana dikehendaki WTO dengan titik kulminasinya pada lahirnya UU Sisiknas No.20/2003 pada era reformasi. Dinamika orientasi politik pendidikan sebagai perjuangan politik dapat digambarkan dengan bagan berikut. KOLONIAL Kolonialisasi Hindia Belanda
ORDE LAMA Nasionalisme dan Sosialisme Indonesia
ORDE BARU Pembangunan Ekonomi
REFORMASI Demokratisasi dan Daya Saing
bangsa Bagan 4. Dinamika Arah Politik Pendidikan Kolonial-Reformasi Cambridge dan Thompson (2004), menyatakan bahwa sekarang istilah “internasional” merujuk pada ideologi pendidikan yang disebut sebagai “internasionalisme” (internationalism), yakni pemikiran yang cenderung go
261
international dalam pendidikan melalui sekolah-sekolah berlabel internasional. Dari perspektif posmodernisme, praktik pendidikan “internasionalisme” tersebut membuat gambaran dunia internasional serba baik dan natural bagi sekolah dan sistem pendidikan secara umum. Pandangan internasionalisme pendidikan adalah bahwa sistem dan praktik pendidikan harus diarahkan pada dunia internasional. Padahal, label “rintisan sekolah bertaraf internasional” tidak perlu dicantumkan agar kualitas pendidikan nasional diperhitungkan negara-negara lain. Pendidikan yang berakar pada budaya bangsa, asal ditangani serius, bisa bersaing dengan negara lain (Kompas, Rabu 21 Maret 2012).
7.2 Makna Sosial-Ekonomi Piliang (2004: 361) dalam bukunya Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui
Batas-batas
Kebudayaan
menyatakan
bahwa
pendidikan
merupakan sebuah wacana, yang di dalamnya sikap ilmiah, objektivitas, sikap kritis, kebebasan, dan pikiran bebas dibentuk secara sadar yang menjadi fondasi dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Namun, ketika pendidikan menjadi sebuah alat kekuasaan, seperti kekuasaan kapitalisme, maka pendidikan
menjadi wacana bagi penciptaan kepatuhan total (total
discipline) terhadap kekuasaan yang memperalatnya. Pendidikan menjadi sebuah alat kontrol pikiran (mind) yang sistematis untuk memenjarakan pikiran setiap orang ke dalam satu dimensi yaitu dimensi komersial.
262
Pengetahuan di era kebudayaan posmodern dikemas dalam bentuk komoditas informasi dalam memperebutkan kekuasaan pada skala global. Pengetahuan dan informasi
dijadikan komoditas
untuk
mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme menjadikan pendidikan serta pengetahuan sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan. Ketika negara lepas tangan dari praktik kapitalisme dalam pendidikan maka merkantilisme pengetahuan, yaitu komodifikasi pengetahuan dalam berbagai bentuk wacana komersial dan komodifikasi muncul di dalam sistem pendidikan, sehingga fungsi sosial dan peran produktif dan nilai humanisme pendidikan menjadi terabaikan (Piliang, 2004: 361-362). Hal ini dapat dipahami melalui kenyataan empiris dan implementasi satuan PBI melalui kutipan berikut. Ya biaya pendidikan di RSBI memang relatif mahal, tetapi itu juga karena adanya pungutan-pungutan oleh sekolah yang tidak terkontrol...Saya tahu ada sekolah yang melakukan pungutan biaya besar dari orangtua siswa tetapi pengalokasiannya sebenarnya bukan untuk program dan kegiatan penguatan kualitas pendidikan..Jadi ke depan ini yang perlu diikontrol oleh pemerintah (Wawancara dengan Slamet, 25 Agustus, 2012). Internasionalisasi pendidikan tidak muncul dalam kevakuman budaya. Dalam proses globalisasi, ada motif sosial-budaya untuk mempersiapkan siswa menjadi warga global. Secara politis dan ekonomi, internasionalisasi pendidikan penting untuk diplomasi budaya dan peningkatan kesejahteraan warga negara. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia telah lama menjadikan pendidikan sebagai salah satu sumber devisanya. Inggris dan Amerika Serikat juga termasuk dua negara pengekspor jasa pendidikan terbesar di dunia. Dengan demikian, tidak mengherankan bila sektor pendidikan termasuk salah satu “komoditas”
dalam General Agreement on Trade in
263
Services (GATS) yang dimotori dan dipromotori oleh
negara-negara maju
seperti Amerika Serikat dan Australia. WTO dengan ideologi neoliberalismenya tidak hanya mengatur produk-produk industri tetapi juga produk jasa pendidikan untuk tunduk pada mekanisme pasar. Akibatnya, hukum-hukum ekonomi berpengaruh terhadap berbagai keputusan tentang pendidikan. Di kalangan masyarakat kemudian muncul semacam propaganda bahwa “pendidikan bermutu itu mahal”. Ungkapan seperti ini merupakan rasionalisasi dan justifikasi mahalnya pendidikan (bertaraf internasional). Dengan tingginya biaya pendidikan, akses masyarakat ekonomi lemah terhadap pendidikan menjadi terbatasi. Dalam hal inilah, keadilan sosial dan nilai-nilai ”gotong royong” dalam konteks keindonesiaan terasa dipertukarkan dengan konsep-konsep penting dalam wacana ekonomi liberal seperti produktifitas, daya saing, efisiensi, dan keuntungan sebesar-besarnya (Zajda, 2005; xiii-xiv; Barker, 2005: 133). Praktek komersialisasi pada sekolah-sekolah RSBI tidak terlepas dari kebijakan pendidikan yang berorientasi globalisme seperti standarisasi pendidikan dalam bentuk Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang merupakan turunan dari tuntutan sertifikasi manajemen ISO.
Munculnya
wacana MBS sejak tahun 1980-an dimaksudkan untuk pemberdayaan pendidikan di daerah yang di dalamnya terkandung semangat pengalihan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab pengelolaan pendidikan dari birokrasi pusat ke sekolah dan komunitasnya. Selain itu, dasar pemikiran penerapan MBS ini juga terkait dengan rendahnya mutu pendidikan menengah
264
yang disebabkan oleh faktor penyelenggaraan sekolah yang birokratis-sentris (Suparno, 2002: 58-59). Kewenangan sekolah secara otonom dalam mengambil suatu keputusan sangat penting untuk memajukan sekolah. Partisipasi masyarakat dalam memajukan sekolah merupakan salah satu semangat dari pentingnya MBS diterapkan. Implementasi otonomi sekolah yang diberdayakan melalui MBS telah membuat kekuasaan Kepala Sekolah bertambah besar dibanding sebelumnya yang hanya berperan sebagai “operator” Dinas Pendidikan. Namun, MBS sebagai wujud otonomi sekolah justru memberi “ruang bebas” bagi pihak sekolah untuk menghimpun dana pendidikan dari masyarakat. Kepala Sekolah secara leluasa dapat membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang terkait dengan anggaran sekolah (Paat, 2011: 257-258). Dalam pratiknya, MBS lebih berperan sebagai “stimulus” bagi sekolah untuk menggalang partisipasi masyarakat dalam pembiayaan berbagai program pendidikan yang ternyata sulit dikontrol oleh pemerintah. Komite Sekolah menjadi alat legitimasi bagi kebijakan sekolah, dan justifikasi untuk lepasnya tanggungjawab negara dari permasalahan fundamental pendidikan. Pendidikan (sekolah) menjadi urusan “individu atau privat” yang dapat dikelola secara efisien dan efektif sesuai kebutuhan “klien” pendidikan (Suparno, 2002: 58-59; Robertson, 2000:174 dalam Darmin: 108-109). Karena di kelas internasional…itu satu tahun anak membayar Rp. 31.000.000,00, tapi itu sudah yang termurah karena kalau yang termahal di Jakarta itu ada Rp. 45.000.000,00, untuk kelas internasional...pokoknya betul-betul memang ada barang, ada harga, ya. (Retno L, Risalah Sidang MK, Selasa, 20 Maret 2012, hlm.24).
265
Dalam Kepmendiknas No. 044 Tahun 2002, Komite Sekolah diizinkan untuk mengembangkan sekolah melalui partisipasi pendanaan dari masyarakat. Sekolah bisa menghimpun dana dari orangtua siswa atas persetujuan komite sekolah. Dengan legitimasi komite sekolah dan rasionalisasi penguatan proses peningkatan kualitas pendidikan, sekolah menjadi tempat “transaksi produk” pendidikan seperti kegiatan berkedok study tour, pertukaran pelajar, dan studi banding. Sekolah
menjadi
institusi yang konsumtif dan membebani
masyarakat. Layanan pendidikan cenderung berorientasi pada pemenuhan selera konsumen. Hal ini mengakibatkan terjadinya proses reifikasi pendidikan dalam arti membendakan segala sesuatu yang dapat dijadikan objek (anak didik) yang dapat diukur untuk memenuhi tuntutan pasar dengan kompetensi yang terukur yang kemudian melahirkan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan untuk memeroleh kompetensi dan sertifikasi sebagaimana tergambar dari kutipan berikut. Reifikasi proses pendidikan secara logis melahirkan berbagai ukuran standarisasi serta kompetensi-kompetensi untuk memenuhi standar tersebut. Dalam dunia ekonomi hal ini memang suatu yang diharuskan untuk memperoleh produk-produk yang semakin lama semakin berkualitas dalam arti sesuai dengan selera konsumen (Tilaar, 2006: 20-21). Menurut Tilaar (2006: 20) reifikasi proses pendidikan merupakan bagian dari proses produksi yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip manajemen seperti prinsip-prinsip efisiensi dan produktifitas. Dalam hal ini pendidikan dipandang sebagai kegiatan investasi yang dapat memberikan keuntungan sebasar-besarnya. Proses pendidikan yang dilaksanakan dengan
266
prinsip-prinsip efisiensi dan orientasi kualitas tinggi sesuai selera konsumen dapat mematikan kreatifitas dalam proses pembelajaran. Hadirnya sekolah-sekolah publik “bergengsi” internasional menuntut pembiayaan yang lebih mahal dibanding sekolah-sekolah pada umumnya. Hal yang sama terjadi pada RSBI dengan, misalnya, memungut “uang pembangunan” dari masyarakat dan orangtua siswa untuk memenuhi pembiayaan berbagai standar pendidikan yang seharusnya bagian dari tanggungjawab pemerintah. Dengan orientasi “standar internasional”, sekolahsekolah semakin menuntut standarisasi berbagai komponen pendidikan seperti proses pembelajaran dan sarana prasarana yang berkontribusi terhadap tingginya biaya pendidikan dan kemudian menyingkirkan (calon) siswa-siswa yang berlatar belakang ekonomi lemah. Dari segi biaya pendidikan di sekolah RSBI dengan segala implikasi sosialnya, terdapat “plesetan” di masyarakat seperti “Rintihan Sekolah Bertarif Internasional” (RSBI) dan Rintisan Sekolah Bencana bagi Indonesia” (RSBI). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan RSBI tidak hanya bermasalah dari segi akademik tetapi juga dari segi sosial, ekonomi dan budaya. Dalam konsep Bourdieu, keberadaan sekolah RSBI ini menimbulkan “kekerasan simbolik” secara ekonomis dan psikologis. Heru, salah seorang orangtua murid yang mengeluhkan keberadaaan RSBI pernah menyaksikan pernyataan pihak manajemen sekolah di tempat anaknya bersekolah seperti kutipan berikut. Sekolah ini bagus, pakai AC, terkenal, RSBI, jadi boleh dong kalau dimintai bayaran. Kalau mau gratis, ya sekolah di tempat lain saja, di sekolah yang biasa-biasa saja, jangan di sini!” …di Jakarta kencing saja bayar, apalagi sekolah RSBI.… kalian sekolah diantar pakai mobil, punya
267
rumah, dan pakai HP… (Heru, Risalah Sidang, Selasa 15 Mei 2012, hlm. 22). Kutipan di atas menunjukkan bahwa ada semacam modus yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolik dalam bentuknya yang sangat halus dengan rasionalisasi bahwa RSBI itu berkualitas, memiliki sarana prasarana multimedia yang canggih dan karenanya biaya pendidikannya wajar mahal. Bahasa dan makna simbolik dari pihak “penguasa” dilontarkan lewat sebuah mekanisme tersembunyi dari kesadaran dan diterima begitu saja sebagai doxa oleh pihak ”korban” (Takwin, 2009: 116-117). Dari segi konsep dan implementasi, RSBI merupakan wujud liberalisasi pendidikan nasional yang menempatkan pendidikan sebagai komoditas sehingga pendidikan menjadi kehilangan “ruh” dan fungsinya sebagai sarana transformasi sosial. Menurut Chorney (2010:13-14) komersialisasi pendidikan dalam konteks globalisasi ditandai dengan terjadinya praktek komersial yang mendukung perekonomian. Sektor pendidikan memasuki sistem pasar bebas sebagaimana tergambar dari kutipan berikut. …the free-trade educational services context would facilitate academic mobility in terms of cross-border supply,which would include ITfacilitated education and the franchising of courses and degrees, and commercial presence, whereby the service provider establishes facilities in another country, including branch campuses and joint ventures (Chorney, 2010:13-14). Dalam konteks kehidupan modern, sebagai implikasi dari tuntutan masyarakat kapitalis dan liberal, standarisasi dan kompetensi merupakan tuntutan mutlak. Masyarakat konsumen menuntut produksi dan kualitas layanan dalam semangat persaingan bebas. Perusahaan yang tidak dapat
268
bersaing melalui kualitas produk dan layanannya akan ditinggalkan oleh konsumen. Dalam hal inilah prinsip efisiensi dalam berbagai jaringan produksi dituntut untuk menjamin kualitas standar produksi. Hal inilah yang melahirkan kesepakatan-kesapakatan internasional yang diatur dalam ISO dan peran WTO yang memasukkan layanan pendidikan di dalam komoditas perdagangan bebas (Tilaar, 2006: 34-35) Komersialisasi pendidikan yang mendukung perkembangan ekonomi dimaknai sebagai peluang untuk sukses dalam arena persaingan global. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai sarana untuk menghasilkan warga negara yang humanis. Dalam hal ini, komodifikasi pendidikan tidak terlepas dari ideologi globalisme dan neoliberalisme dengan berbagai realitas “kebijakan” lainnya seperti, orientasi standar pendidikan OECD dan manajemen ISO, penerapan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, adaptasi kurikulum Cambridge, penerapan pembelajaran berbasis TIK, yang masingmasing dan semuanya berkontribusi terhadap mahalnya biaya pendidikan, yang kemudian dapat menyingkirkan peluang kelompok sosial tertentu mengakses pendidikan bermutu. Secara ekonomis, bentuk kerjasama sekolah RSBI dengan lembaga atau sekolah di luar negeri seperti Cambridge berimplikasi pada adaptasi kurikulum dan penggunaan buku-buku impor. Dari segi bisnis, penggunaan buku teks impor tidak hanya menyangkut aspek ekonomi tetapi juga nilai-nilai budaya dan pengetahuan. Penggunaan buku-buku impor dapat menguatkan hubungan hegemonik antara negara-negara maju dan Indonesia.
269
“Ya terus terang ya pengelolaan RSBI memang cukup mahal ya…biaya operasional listrik sangat tinggi karena penggunaan fasilitas sarana prasarana, AC..termasuk buku-buku impor yang memang cukup mahal harganya.. (Wawancara dengan Supanto, Senin 11 Juni 2012) Menurut teori reproduksi sosial, sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat mereproduksi ketidakadilan sosial melalui analisis reproduksi dari tiga perspektif: ekonomi, budaya, dan linguistik” (http://wiki.answers.com). Dalam hal ini, terdapat hubungan antara sekolah dan ekonomi, budaya, dan linguistik. Produksi dan distribusi buku teks, misalnya, merupakan proses yang melibatkan berbagai pihak. ”The creation, production and distribution of textbooks is a complex process involving many parts of a society's infrastructure. The publishing industry is involved, as are the educational establishment, writers and, inevitably, government departments…” (Limage, 2005). Dengan adanya kerjasama dengan sekolah-sekolah di luar negeri yang kemudian berimplikasi pada penggunaan bukup-buku impor, maka biaya pendidikan semakin tinggi dan bahkan sebagian biaya pendidikan tersebut ”mengalir” ke luar negeri. Padahal, salah satu argumentasi pemerintah dan pendukung keberadaan RSBI adalah bahwa sekolah ini dapat mencegah ”capital flight” dengan menampung hasrat warga negara Indonesia yang berkemampuan ekonomi tinggi untuk menyekolahkan anaknya di sekolahsekolah berkualitas di luar negeri. Secara ekonomis, pengadaan dengan importasi buku teks yang disebutkan di atas juga menyangkut kekuatan kapital yang dapat mengakibatkan ”capital flight”, sebagaimana tergambar dari kutipan berikut.
270
… mereka harus beli buku-buku sendiri. Buku-bukunya itu ya buku Cambridge, keluaran … dan berbahasa Inggris. Buku-buku itu kalau untuk dua puluh paket saja, misalnya semester lalu yang saya tahu, itu pembeliannya Rp123.000.000,00 itu ditransfer karena memang itu pembeliannya melalui Cambridge ya… (Retno, Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm. 27). Menurut Supanto, penanggungjawab RSBI di SMA Negeri 2 Bandarlampung, biaya pengeluaran untuk kerjasama dengan lembaga di luar negeri seperti Cambridge untuk satu mata pelajaran saja dengan buku teks impor dibutuhkan kira-kira Rp. 400.000-500,000,- per siswa untuk satu semester. Secara umum, komponen biaya untuk kerjasama dengan salah satu negara OECD cukup tinggi dan biaya ini dibebankan kepada orangtua siswa ...(Wawancara 6 April 2013). Dalam konteks globalisasi yang sarat dengan politik ekonomi dan persaingan, kebijakan ”benchmarking” seperti pengadaan buku impor dan kerjasama internasional berkontribusi terhadap tingginya biaya pendidikan. Bagaimanapun, hal ini melibatkan pelaku-pelaku bisnis dengan prinsip-prinsip ekonomi-kapitalisme. Dalam konteks ini, menurut Darmin, seorang praktisi pendidikan, menyatakan: RSB/SBI menciptakan ketidakadilan sosial, menghalangi setiap warga negara untuk menikmati pendidikan yang berkualitas... Dampak dari komodifikasi pendidikan internasional dan global adalah meningkatnya ketidakadilan internasional. RSBI…SBI lebih mementingkan persaingan, “Siapa yang kuat, dia yang menang.” (Darmin, Risalah Sidang MK, Selasa 20 Maret 2012, hlm. 18). Kutipan di atas menegaskan bahwa pendidikan dengan desain RSBI lebih berfokus pada aspek ekonomi. Globalisasi dengan ideologi kapitalismenya telah melahirkan permasalahan sosial budaya seperti komodifikasi pendidikan
271
yang menimbulkan ”korban” sebagian masyarakat yang tidak mampu bersaing untuk keadilan.
7.3 Makna Pemberdayaan/Profesionalisme Makna pemberdayaan dalam pembahasan ini menyangkut realitas lemahnya posisi guru dalam pendidikan nasional dan dalam hubungannya dengan wacana PBI. Dari delapan standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan pendidikan nasional, tenaga kependidikan khususnya guru merupakan kunci dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Pada kenyataannya, kondisi komponen (kualifikasi) tenaga kependidikan khususnya guru masih mendekati SNP (S1, DIV, tersertifikasi). Hal ini tidak sesuai dengan misi pendidikan nasional yang berorientasi pada standar internasional di tengah permasalahan kondisi kebanyakan SMA masih di bawah SNP. Menurut UU seluruh SMA atau sekolah sejenis memiliki hak yang sama untuk misalnya pengembangan guru profesional dan izin menggalang dana dari masyarakat dalam upaya memajukan pendidikan.
Sesuai UU
Sisdiknas No 20 Tahun 2003 pasal 41 ayat (3): “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.“ Pada kenyataannya, sekolah yang berlabel RSBI mendapat fasilitas lebih banyak dan perlakuan khusus dalam pengembangan guru dan berbagai kompenen pendidikan lainnya sehingga menimbulkan kesenjangan
272
mutu antarsekolah. Hal ini adalah akibat perlakuan atau kebijakan politik pendidikan yang tidak sensitif secara sosial, ekonomi, budaya dan politik. Menurut Tilaar (2006: 66), kualitas pendidikan dapat diukur dari segi ekonomi, sosial politis, sosial budaya, dari perspektif pendidikan itu sendiri, dan dari perspektif globalisasi. Dalam konteks ini, profesionalisme guru merupakan kunci bagi keberhasilan implementasi sebuah kurikulum dan berbagai komponen standar pendidikan lainnya. Penegasan guru sebagai pekerjaan khusus telah termaktub dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 pasal 5 ayat (1) bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Undang-Undang tersebut juga mengamanatkan peningkatan mutu guru untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional. Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri 78 Jakarta, Ridnan (wawancara Rabu 21 Maret 2012) juga menyatakan bahwa tidak semua guru tetap MIPA dan Bahasa Inggris yang ada di sekolah tersebut mengajar di kelas internasional. Guru-guru diseleksi sesuai standar kelas internasional. Permasalahannya kemudian adalah selain tentang kriteria ”internasional” yang dapat diperdebatkan juga tentang terjadinya kecemburuan bagi guru-guru lainnya, khususnya guru yang tidak terlibat dalam kelas internasional. Dalam bentuk yang berbeda, kehadiran RSBI pada SMA Negeri 2 Bandarlampung bahkan menimbulkan resistensi dari sebagian guru karena mereka memandang bahwa standar tinggi (komponen pendidik atau guru) yang ditetapkan tidak realistik. Resistensi muncul dalam berbagai bentuk, misalnya, keengganan
273
sebagian guru untuk mengikuti pelatihan bahasa Inggris untuk peningkatan profesionalisme mereka. Ya ada memang… ada beberapa guru juga yang apatis itu dengan RSBI ini, mengapa repot-repot dengan RSBI ini… kita hendak kemana…gitu. (Wawancara dengan Sp 6 April 2013). Globalisasi dalam dirinya memang menuntut penyesuaian-penyesuaian budaya khususnya di negara-negara yang tidak memiliki kultur persaingan seperti dalam budaya Indonesia pada umumnya. Dalam hal kenyataan yang diungkapkan di atas, permasalahan guru sebagai pekerjaan profesional perlu dikaji dalam kaitannya dengan realitas di sekolah dan lembaga penghasil guru. …lembaga yang terkait dengan pengembangan profesi guru perlu lebih berani dan lebih banyak memberikan kemungkinan di mana para guru dapat mengembangkan dirinya… Dengan cara ini, pembentukan guru yang otonom dan profesional dapat terjadi sepanjang pekerjaannya menjadi guru (Suparno, dkk, 2002: 106). Guru tidak cukup hanya memiliki kompetensi akademik, tetapi juga sikap kritis terhadap aspek sosial budaya untuk dapat menjadi guru intelektual atau guru organik. Guru harus mencapai tingkat kesadaran kritis untuk mampu menyeleksi berbagai informasi dan melakukan distribusi ilmu pengetahuan. Dalam konteks inilah guru harus diberdayakan sebagai bagian profesionalisme sehingga dapat menjadi guru intelektual dan otonomi. Franz Magnis-Suseno dalam kata pengatarnya pada Peran Intelektual oleh Edward Said, menyatakan: Seorang intelektual mengatakan yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan kuasa-kuasa yang ada! Maka ia lebih cenderung ke oposisi daripada ke akomodasi. Dosa paling besar orang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan, tetapi ia menghindar. Ia tidak pernah boleh mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa (Magnis, 1998: xi).
274
Dalam konteks manajemen pendidikan, pemerintah dan para birokrat pendidikan juga harus bersikap kritis terhadap dinamika global dari segi sosial, ekonomi, budaya, dan politik sehingga misi dan substansi pendidikan benarbenar
melayani
kepentingan
masyarakat
dan
pemangku
kepentingan
pendidikan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Chetty, Friedman, dan Rockof (2011): The Long-term Impacts of Teachers: Teacher Value Added and Student Outcomes in Adulthood, beberapa kesimpulan tentang peran profesionalisme guru dalam hubungannya dengan kurikulum dan keberhasilan siswa setelah lulus dari sekolah: (1) sukses masuk ke perguruan tinggi; (2) memasuki perguruan tinggi kelas papan atas; (3) mendapatkan gaji yang lebih tinggi setelah bekerja; (4) hidup di lingkungan sosial ekonomi yang lebih tinggi; dan (5) menabung lebih banyak untuk masa pensiun (Suyanto, Kompas, Senin 1 April 2013, hlm. 7).
7.4 Makna Emansipatoris Dari perspektif
teori-teori kritis, eksistensi RSBI dalam sistem
pendidikan nasional merupakan arena pertarungan wacana antara kelompok dominan dan kelompok subordinat. Kelompok dominan dalam hal ini adalah negara dan kelas menengah masyarakat yang mendukung eksistensi RSBI/SBI dan kelompok yang menentangnya yang diwakili oleh kelompok aktivis pendidikan dan intelektual, masyarakat sipil, dan media massa yang bersikap kritis
terhadap
keberadaan
RSBI/SBI.
Kelompok-kelompok
tersebut
275
memproduksi berbagai wacana dengan kekuasaan hegemonik dan simbolik yang dimilikinya untuk melegitimasi posisi masing-masing. Mereka yang pada posisi dominan memproduksi orthodoxa, yakni wacana yang dianggap absah (doxa) dan memperkuat posisi dominan sedangkan
agen pada posisi
subordinat berupaya memproduksi heterodoxa yaitu wacana yang menentang doxa. Dalam hal ini wacana sebagai praksis merupakan dialektika antara habitus dan ranah (Bourdieu 1991: 239; Bourdieu 1977: 168-169). Penolakan masyarakat terhadap RSBI/SBI hingga akhirnya dibatalkan oleh lembaga MK merupakan praksis sosial yang resisten terhadap eksistensi PBI dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dapat dijelaskan melalui pemikiran Gramsci tentang counter-hegemony dan pemikiran Foucault tentang prinsip wacana kuasa/pengetahuan seperti pada sidang-sidang MK yang menggugat dasar hukum eksistensi RSBI yang dinilai tidak sesuai dengan konstitusi. Dengan kata lain, eksistensi PBI tidak hanya merupakan bentuk hegemoni negara tetapi juga pengaruh wacana kuasa/pengetahuan (Foucault) tentang pendidikan yang “benar” yang berhubungan dengan globalisasi dan pendidikan nasional. Pertarungan simbolik dalam arena pendidikan tampak dari pemikiran penguasa (negara) tentang relevansi PBI dalam konteks globalisasi berhadapan dengan pemikiran (kontra-wacana) yang dilandasi semangat konstitusi dan cita-cita pendidikan nasional. Di satu pihak, Negara dalam hal ini pemerintah memandang bahwa PBI merupakan jawaban terhadap permasalahan kualitas dan dayang saing Indonesia yang rendah baik pada arena internasional maupun
276
nasional. Di pihak lain, semangat konstitusi menekankan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara dan setiap warga negara berhak atas akses pendidikan bermutu secara adil. Hak masyarakat seharusnya tidak boleh dibatasi sebagaimana tergambar dari kutipan berikut. untuk masuk RSBI, berdasarkan keluhan masyarakat, pintar saja tidak cukup karena membutuhkan biaya masuk sekolah yang sangat mahal. Di sisi lain, pemerintah sudah mengucurkan dana cukup besar bagi setiap sekolah berstatus RSBI. Kalaupun ada alokasi kursi 20 persen untuk siswa miskin, tetap saja bukan solusi karena terjadi diskriminasi yang sangat mencolok dalam fasilitas sekolah, terutama di sekolah negeri (Kompas, Jumat 2 Desember 2011, hlm. 12). Pendidikan sebagai institusi merupakan aparatus ideologis yang strategis bagi kekuasaan dominan untuk menghegemoni masyarakat tentang nilai-nilai sosial, ekonomi dan kultural melalui PBI. Hal ini kemudian mendapat perlawanan politik dari kelompok intelektual dan masyarakat sipil baik melalui lembaga MK maupun lembaga media massa. Perlawanan ini muncul dalam bentuk wacana yang menyadarkan masyarakat tentang hakikat dan fungsi pendidikan nasional. Tokoh intelektual dan Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, pada Sidang MK di Jakarta, sebagaimana dikutip oleh sebuah media cetak nasional menyatakan: Saya sangat menentang pembelajaran di RSBI/SBI dengan alasan bernalar. Saya menuntut pemerintah secepatnya membubarkan RSBI/SBI dari Bumi Indonesia yang merdeka dan berdaulat (Kompas Rabu 16 Mei 2012, hlm. 12). Menurut Daoed Joesoef program RSBI/SBI merupakan bentuk pengingkaran terhadap tujuan dan fungsi pendidikan nasional. Hakekat dan fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk peradaban bangsa yang bermartabat yang tidak dapat dicapai
277
melalui RSBI/SBI yang berorientasi pada negara-negara OECD kendati dikaitkan dengan tantangan globalisasi. Globalisasi sendiri merupakan arena kontestasi yang melibatkan berbagai kepentingan. Hal ini diperkuat oleh penjelasan seorang narasumber dengan menyatakan: …Ya menurut saya model sekolah RSBI/SBI ini memang lebih mementingkan persaingan dan prinsip “Siapa yang kuat, dia yang menang.”, yang jelas tidak cocok dengan nilai-nilai budaya kita. Kualitas pendidikan OECD yang menjadi acuan penyelengaraan RSBI/SBI merupakan terusan dari paham neoliberalisme-kapitalis (Wawancara dengan Darmin, 2 Mei 2012). Dalam hal ini, wacana globalisasi dan ideologi kekuasaan berpengaruh terhadap proses hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum. Sekolah sebagai aparatus ideologis difungsikan oleh negara untuk menghegemoni dan mendisplinkan masyarakat tentang pendidikan dan orientasi nilai yang baik sesuai tantangan nasional dan global (Foucault, 2002: 9; Gramsci, 1971: 57). Dalam hubungannya dengan penyelenggaraan satuan PBI, Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang “satuan pendidikan yang bertaraf internasional” dinilai bertentangan dengan esensi Pasal 31 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam wacana publik, khususnya melalui Uji materi UU Sisdiknas oleh MK terungkap bahwa Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Sisdiknas tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 281 ayat (2), Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Dengan mengacu pada pasal-pasal yang disebutkan di atas pihak pemohon uji materi UU Sisdiknas 2003 mengajukan beberapa argumentasi yang pada initinya sebagai berikut.
278
1. dana untuk penyelenggaraan RSBI dan SBI berasal dari APBN tidak sebanding dengan manfaat yang didapatkan. Terdapat sekolah yang tidak menggunakan dana ini untuk meningkatkan mutu sekolah melainkan digunakan untuk membangun sarana dan prasarana sekolah. Selain itu, orang tua murid seharusnya tidak dibebani lagi dengan biaya sekolah seperti biaya pendaftaran, biaya gedung dan biaya pendidikan; 2. bahwa satuan PBI tidak mencerdaskan kehidupan bangsa, karena standar kompetensi lulusan di negara maju belum tentu sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia; 3. satuan PBI menimbulkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia karena dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 terdapat frasa “satu sistem pendidikan nasional” yang dapat diartikan sebagai satu sistem yang digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan nasional maka dengan adanya satuan PBI menurut Pasal 50 undang-undang a quo menimbulkan dualisme pendidikan; 4. satuan PBI adalah bentuk liberalisasi pendidikan karena negara mengabaikan kewajibannya membiayai sepenuhnya pendidikan dasar dan membiarkan sekolah yang menyelenggarakan program RSBI dan SBI untuk memungut biaya pendidikan kepada masyarakat; 5. satuan PBI menimbulkan diskriminasi dalam bidang pendidikan. Hal ini melanggar hak bagi warga negara terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi, Kuota bagi siswa miskin yang berprestasi mengabaikan hak seluruh warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak; 6. satuan PBI berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia karena proses pendidikan RSBI dan SBI menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Hal ini dinilai tidak melahirkan manusia berkepribadian Indonesia (Sumber: Ringkasan Permohonan Perkara Tentang “Pelaksanaan Program RSBI dan SBI). Dari perspektif pemerintah, PBI dipahami sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional dengan mengacu pada pasal-pasal lain dalam UU Sisdiknas
dan
berbagai
peraturan
pelaksanaan
RSBI/SBI,
seperti
PBI=SNP+Pengayaan Kurikulum dari suatu negara maju di OECD. Dari perspektif yang resisten, PBI dinilai di luar sistem pendidikan nasional karena bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Penilaian MK ini sesuai dengan argumen mereka yang mengajukan Uji Materi Undang-undang MK yang tidak setuju dengan satuan PBI.
279
Sebagai implikasi dari Putusan MK tentang pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas tahun 2003 yang menjadi dasar hukum penyelengaraan satuan PBI, semua sekolah eks RSBI akan berubah menjadi sekolah reguler dan selanjutnya dibina oleh pemerintah daerah. Keputusan pemerintah itu secara jelas tertuang dalam Surat Edaran tentang Kebijakan Transisi RSBI yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, Rabu (30/1, 2013). Surat Edaran tersebut ditujukan kepada gubernur, bupati/walikota, dan Kepala Dinas Pendidikan di seluruh Indonesia dengan pesan bahwa semua papan nama, kop surat dan stempel sekolah yang menggunakan nama RSBI tidak boleh digunakan lagi, termasuk seluruh proses administrasi dan manajemen sekolah tidak lagi diperbolehkan menggunakan label RSBI. Hal ini sesuai dengan putusan MK Nomor 5/PUU-X/2012 yang membatalkan dasar hukum penyelengaraan RSBI, pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas 20/2003. Mengutip pernyataan M Nuh dalam salah satu media terkemuka nasional tentang eksistensi RSBI/SBI pasca keputusan MK adalah sebagai berikut. sekolah reguler itu artinya sekolah biasa. Menjelang tahun ajaran baru akan ditetapkan bagaimana mengelola eks RSBI itu. Untuk sementara biarkan berjalan dulu. Hal ini akan berlangsung sampai tahun ajaran baru 2012/2013. Untuk pembiayaan, pemda berkewajiban menyediakan anggaran agar pendidikan yang bermutu di sekolah eks RSBI tetap terjaga, selain itu menurut Nuh sekolah tidak diperbolehkan menarik pungutan dari masyarakat tetapi dapat berpartisipasi atau boleh ikut menyumbang ke sekolah (Kompas, Jumat 1 Februari 2012, hlm. 12). Terkait dengan putusan MK dan implikasinya terhadap sekolah, peneliti menanyakan tentang visi-misi sekolah yang selama ini berorientasi internasional atau kualitas pendidikan negara-negara OECD dan kemungkinan
280
perubahan-perubahan target sekolah pasca putusan MK tersebut, seorang narasumber menjelaskan: Secara objektif kita akui bahwa standar nasional pendidikan memang cukup tinggi…kita akan berubah visi. Mungkin dalam beberapa bulan ke depan akan kita ubah. Kita tetap berusaha berbuat yang terbaik untuk mempertahankan mutu sekolah walaupun harus ada penyesuaianpenyesuaian…karena perubahan kebijakan pemerintah (Wawancara April 2013). Selanjutnya dari segi pembiayaan pendidikan, Supanto, selaku penanggungjawab
pengelolaan
program
RSBI
di
SMA
Negeri
2
Bandarlampung, menyatakan: Kalau sekarang belum terasa pak…semuanya akan mulai terasa pada tahun ajaran baru… jadi kita sekarang sifatnya masih menunggu..jadi gedung kita ini agak macet jadinya.. yang jelas mungkin kita tidak bisa melakukan pungutan awal tahun ajaran baru..yang selama ini kita gunakan untuk sarana prasarana. Yang langsung terasa adalah tentang pembiayaan, sejauh mana kita diizinkan untuk melakukan pungutan dari orangtua siswa (Wawancara 6 April 2013). Kutipan di atas menunjukkan bagaimana sekolah telah terikat dengan kultur pembiayaan atau pungutan dari orangtua siswa yang langsung berpengaruh terhadap proses pembelajaran di sekolah. Selain itu, terjadi hegemoni pemikiran dan “habitus” di sekolah bahwa sekolah berkualitas di mata guru (dan pengelola) identik dengan biaya tinggi dan berbagai fasilitas canggih. Hal ini kemudian membebani sekolah untuk tetap berusaha menggali dana dari orangtua siswa untuk mempertahankan kualitas pendidikan melalui berbagai sarana prasarana yang telah dimilikinya. Padahal, sesuai ketentuan SNP, sarana prasarana seperti TIK dan fasilitas pembelajaran lainnya yang berbiaya tinggi sifatnya hanya penunjang bagi standar proses pembelajaran.
281
Ketika narasumber ditanyakan tentang dampak keputusan MK terkait RSBI dan kemungkinan permasalahan selanjutnya bagi SMA Negeri 2 Bandarlampung, Supanto, menyatakan bahwa sekolah-sekolah negeri akan kalah bersaing dengan swasta. Sekolah tidak hanya dihadapkan pada masalah membangun sarana dan prasarana sekolah tetapi juga pemeliharaannya yang membutuhkan dana besar. Menurut Supanto, sekolah-sekolah swasta dalam prakteknya relatif bebas melakukan pungutan biaya pendidikan dari orangtua dan masyarakat untuk memajukan sekolah mereka. Secara lebih rinci ia menjelaskan: hanya persoalan waktu ...sekolah-sekolah negeri yang ada di kita ini akan tergusur oleh sekolah-sekolah swasta yang ada...kalau sekarang okelah kalau kami masih diberi izin untuk memungut dana orangtua...artinya kami masih bisa menjaga mutu dari hal sarana prasaranalah..semua operasional sekolah begitu. tapi kalau ke depan ini..kita belum tahu kebijakan pak menteri di tahun ajaran ini, kalau kami mungkin tidak boleh memungut dana sama sekali atas desakan masyarakat, tentu nanti semua fasilitas itu akan rusak dengan sendirinya...sekolah negeri ini akan tidak diminati oleh orang-orang (Wawancara Maret 2013). Selanjutnya Supanto mengkhawatirkan bahwa jika sekolah-sekolah negeri tidak diperbolehkan lagi melakukan pungutan tambahan biaya pendidikan dari orangtua siswa maka sekolah tersebut akan tertinggal dari sekolah-sekolah swasta yang relatif bebas memungut biaya pendidikan dari masyarakat dengan alasan biaya pendidikan saat ini mahal dan karenanya perlu partisipasi masyarakat (orangtua). Berbeda dari pandangan di atas, Febri Hendri, seorang aktivis Indonesian Coruption Watch (ICW), memiliki interpretasi yang menarik
282
tentang konsekuensi dari putusan MK terhadap sekolah-sekolah RSBI dengan menyatakan: Penghentian seluruh program RSBI tidak akan mengganggu mutu sekolah. Mengapa? RSBI hanyalah program tambahan di sekolah. Seperti yang disampaikan sebelumnya, RSBI dirumuskan sebagai RSBI/SBI = SSN + Kurikulum internasional. Dengan demikian, jika kurikulum internasional dihapuskan, maka RSBI/SBI= SSN (Kompas, Selasa 5 Februari 2012, hlm. 7). Pandangan di atas tidak merepresentasikan permasalahan eksistensi RSBI secara utuh, baik konsep maupun implementasinya di lapangan. Implementasi RSBI selama paling tidak empat tahun terakhir tidak hanya menyangkut pencitraan sekolah bermutu dan pendidikan mahal tetapi juga membentuk persepsi dan pengalaman baru bagi sekolah dan masyarakat. Model pendidikan RSBI telah mengubah persepsi masyarakat tentang PBI dan upaya peningkatan mutu pendikan. Selain itu, pandangan di atas juga mengabaikan konteks globalisasi yang merupakan salah satu faktor penting yang melatarbelakangi eksistensi RSBI dan menghegemoni sebagian elit pendidikan dan para guru, siswa, dan orangtua. Mereka memandang bahwa RSBI merupakan solusi terhadap tantangan globalisasi, sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut. …RSBI memang namanya sekolah bertaraf internasional, harus tidak boleh steril dengan perkembangan global. Oleh karena itu, semua SBI itu harus memahami, menghayati, dan juga melaksanakan perkembanganperkembangan global yang diinternalisasikan ke SBI. Nah,…kalau kita tidak melakukan langkah-langkah proaksi, kita akan tertinggal dengan sendirinya (Slamet, Risalah Sidang MK, Rabu 11 April 2012, hlm. 9). Dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di RSBI dan orientasi kurikulum negara-negara maju, menurut Mbula Darmin, keberadaan lembaga OCED dengan visi-misinya (globalisasi) semakin mudah masuk
283
dalam sistem pendidikan nasional jika didukung oleh penggunaan bahasa Inggris sebagai ”pemersatu” untuk sosialisasi agendanya. Bahasa selain menjadi sarana pemersatu budaya komunikasi juga sebagai sarana penetrasi nilai-nilai ekonomi, sosial dan politik. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah dapat memperlancar agenda globalisasi melalui pendidikan (Mbula, 2011: 42). Dengan uraian di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama, kebijakan PBI mengandung asumsi-asumsi yang tidak saja bermasalah secara ideologis kultural tetapi juga dari segi struktural-formal. Secara ideologis konsep dan implementasi satuan PBI tidak sesuai dengan semangat dan falsafah tentang pendidikan sebagai upaya mencerdaskan bangsa. Hal ini dikuatkan oleh keputusan MK tentang pembatalan pasal 50 ayat (3) tentang satuan PBI dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Selain itu, kebijakan ini dibangun di atas asumsi-asumsi yang lemah dalam beberapa hal: (1) kualifikasi SDM di sekolah yang belum siap, misalnya, kompetensi bahasa Inggris; (2) secara filosofis terjadi liberalisasi dan stratifikasi pendidikan, menimbulkan resistensi dari sebagian masyarakat; (3) profesionalisme guru tidak mendukung, misalnya kualifikasi S2 untuk guru bidang ilmu MIPA dan; (4) ekosistem pendidikan, berupa dukungan sosial dan ketersediaan infrastruktur pendidikan (Surakhmad, 2009: 67-68). Kedua, dari segi sosial ekonomi, satuan PBI dengan konsep dan implementasinya dalam bentuk RSBI telah menimbulkan kecemburuan sosial dan perlakukan diskriminatif bagi siswa. Di sekolah terbentuk stratikasi dalam
284
proses pembelajaran, seperti rombongan belajar (kelas RSBI dan Kelas Internasional) dan fasilitas pembelajaran yang berbeda dari satu sekolah dengan sekolah lainnya. Dalam hal ini, sekolah turut berperan sebagai alat reproduksi ketidakadilan sosial ekonomi dan budaya. Esensi pendidikan yang seharusnya memerdekakan masyarakat dari keterpinggiran pembangunan manusia justru dihadang oleh kebijakan pendidikan model RSBI. Ketiga,
dari
segi
budaya,
kebijakan
dan
implementasi
PBI
menimbulkan dampak kultural. Label ”internasional” dan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pada RSBI telah menghasilkan makna simbolik
(prestise)
bagi
sekolah
dan
masyarakat.
Label
tersebut
menyembunyikan esensi pendidikan sebagai upaya ”memanusiakan” dan membangun identitas nasional. Pendidikan berlabel ”internasional” menutupi kompleksitas permasalahan RSBI di lapangan. Hal ini ”mengelabui” masyarakat tentang esensi pendidikan berkualitas. Sebagaimana dikatakan Soedijarto,
Ketua Dewan Pembina Sarjana Pendidikan Indonesia, bahwa
pendidikan di Indonesia memang harus berkualitas internasional, namun tidak perlu dilabeli dengan”internasional”. Pemerintah seharusnya justru harus meningkatkan mutu pendidikan dengan standar pendidikan yang terbaik untuk semua orang (Kompas, Jumat 2 Desember 2011, hlm. 12). Secara politik, kebijakan PBI merupakan bentuk hegemoni kekuasaan pemerintah dan pengaruh wacana globalisasi dalam pendidikan nasional. Hegemoni dalam prosesnya ditopang oleh berbagai institusi dan wacana kuasa/pengetahuan oleh para intelektual dan aparatur pemerintah yang melihat
285
ilmu pengetahuan sebagai ”netral” dalam konteks paradigma positivistik. Hegemoni kekuasaan dalam ranah pendidikan khususnya selama sekitar enam tahun terakhir terjadi karena para agen pendidikan (sekolah) dan masyarakat (orangtua siswa) serta para intelektual (dan birokrat) meyakini bahwa satuan PBI merupakan pendidikan berkualitas yang dapat mengangkat daya saing bangsa pada tingkat global. Dalam implementasinya, ”proyek” tersebut justru menghasilkan ketidakadilan sosial, kapitalisasi pendidikan dan pencitraan publik sebagai sekolah bermutu karena menggunakan, misalnya, bahasa Inggris dan kurikulum Cambridge. Padahal, realitas berbagai komponen standar pendidikan nasional belum/tidak sepenihnya mendukung untuk itu. Eksistensi satuan PBI dalam pendidikan nasional merupakan hegemoni wacana globalisasi yang ditandai dengan kegiatan pasar global yang lebih “popular” dengan ideologi neoliberalisme. Ideologi ini direproduksi melalui Undang-undang Sisdiknas 2003 beserta berbagai peraturan derivatnya dan sekolah. Pendidikan beroperasi dengan prinsip-prinsip liberal, seperti dalam Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 yang memberikan kebebasan kepada RSBI untuk memungut biaya pendidikan “secara bebas” dari masyarakat. Hal ini kemudian menjadikan pendidikan berbiaya tinggi dan kapitalistik, dan menimbulkan ketidakadilan bagi kelompok masyarakat tertentu. Kehadiran RSBI sebagai realisasi UU Sisdiknas tentang satuan PBI tidak dapat dilepaskan dari sikap dan pandangan para elit bangsa dan elit pendidikan yang “gamang” menghadapi perkembangan global. Kebijakan mengadopsi kurikulum dari negara OECD tidak didasarkan pada kajian
286
mendalam tentang kelayakan dan persiapan sumber daya pendidikan dalam implementasi PBI. Berbagai wacana dan konsep, misalnya, SNP Plus, Kategori Mutu, muatan lokal, OECD, Perlombaan Olimpiade, metode pembelajaran berbasis TIK, sekolah mandiri, reguler secara konseptual dan konstitusional bermasalah dan kurang dipahami oleh banyak pelaku pendidikan. Hal ini menunjukkan selain terjadinya disorientasi ideologi pendidikan juga lemahnya SDM dan birokrasi Kemdikbud yang mengurusi sektor pendidikan. SBI masih banyak disalah-artikan dan kemungkinan karena kurangnya..apa...komunikasi kebijakan secara merata kepada semua stakeholders dalam pendidikan, dan bisa juga karena kurang akurat dalam melakukan komunikasi kebijakan, bisa juga karena kurang konsisten dalam melakukan komunikasi kebijakan (Risalah Sidang MK, Rabu 11 April 2012, hlm.7). Sosialisasi konsep-konsep PBI dalam hal komunikasi kebijakan belum efektif sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda pada level implementasi. Dengan mempelajari berbagai jargon dan implementasinya di lapangan, PBI merupakan satu bentuk konstruksi pencitraan bahwa pendidikan nasional diurus dengan “serius” menghadapi persaingan global. Dengan kata lain, secara ideologis, situasi pendidikan nasional menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya “menggelisahkan” masyarakat, pengambil kebijakan dan pelaku pendidikan (sekolah) yang cenderung membangun “kebohongan publik”. Kebohongan publik karena RSBI tidak sepenuhnya merepresentasikan substansi kualitas SNP plus “internasional”. Kualitas sekolah RSBI dari suatu daerah dengan daerah lainnya, seperti SMA Negeri 78 Jakarta dan SMA Negeri 2 Bandarlampung yang berada di dua provinsi yang berbeda, kenyataannya tidak sama tetapi diklaim sebagai sekolah-sekolah yang telah mendekati SNP
287
untuk menuju SBI. Hal ini menyesatkan masyarakat, sebagaimana diakui oleh seorang narasumber penelitian sebagai berikut: …Karena persiapannya yang kurang cermat, maka evaluasi dan perbaikannya …perbaikan penyelenggaraan SBI, RSBI, sporadis, tidak holistik, dan cenderung membuat sekolah menerjemahkan kata internasional dengan bahasa Inggris dan keterampilan-keterampilan ekstrakurikuler lainnya…Jika dilihat dari praktek pelaksanaan proses penyelenggaraan program RSBI, maka muncul persepsi bahwa program ini merupakan kebohongan publik… (Prof Slamet, Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 28). Wacana bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah RSBI sejak awal sudah kontroversial terkait dengan kesiapan SDM khususnya guru, relevansi, dan perbedaan persepsi ditengah masyarakat dari perspektif ideologis, kompetensi dan pedagogis. Para guru, orangtua siswa, dan anak didik merasa bangga dengan label “internasional” dan penggunaan bahasa Inggris sebagai “icon” kemajuan sekolahnya. Padahal, kompetensi guru dalam bahasa Inggris dan pedagogi lemah sebagaimana dapat dipahami dari penjelasan berikut. ….Para guru dengan kemampuan novice untuk menjadi mampu menggunakan Bahasa Inggris sebagai alat pengajaran bidang lain yang disebut cognitive academic language proficiency memerlukan waktu sekitar 5 hingga 10 tahun untuk dapat mampu mengajar dalam bahasa asing secara baik… (Itje K, Risalah Sidang MK, Rabu 2 Mei 2012, hlm. 25). Sumber daya manusia sekolah, terutama guru-guru belum memiliki kompetensi bahasa Inggris yang memadai untuk melaksanakan proses pembelajaran dalam bahasa Inggris sebagaimana disyaratkan oleh Kemdikbud. Dengan kompetensi guru-guru yang ada, berdasarkan pengakuan guru, siswa
288
dan observasi realitas interaksi di kelas, penggunaan bahasa Inggris justru dapat menghambat proses pembelajaran. Penggunaan label “internasional” dan “bahasa Inggris” lebih bermakna simbolik dan prestise. Hal ini didukung oleh salah satu orientasi RSBI/SBI yaitu pencapaian non akademik seperti penghargaan olimpiade, yang pada dasarnya bukan substansi penyelengaraan pendidikan bermutu. Habitus dan ideologi masyarakat pendidikan lebih menonjolkan pencitraan dan gengsi sosial terkait dengan label-label “internasional”. Hal ini juga tampak dari sebuah tajuk berita koran lokal “Siswa Smansa Gaet 505 Prestasi Selama Februari”, Kadisdikpora Kota Denpasar IGN Eddy Mulya dihadapan para siswa sekolah negeri yang pernah berlabel RSBI menyatakan: walau kini sudah tak berstatus RSBI prestasi tak boleh mundur…jangan takut dicabut status RSBI, tapi tunjukkan Smansa adalah sekolah unggulan sepanjang masa (Bali Post, Sabtu Pon 23 Februari 2013, hlm. 4). Kutipan di atas sekaligus menunjukkan bahwa birokrat atau pejabat yang mengurusi pendidikan telah terhegemoni dengan label-label “internasional”. Dalam konsep Barthes,
kata “internasional” bahkan sudah menjadi mitos
sosial tidak hanya dalam ranah pendidikan tetapi juga dalam berbagai sektor kehidupam lainnya yang menggunakan label “internasional”; Pada sisi lain ditemukan di lapangan adanya paradoks dalam realitas pendidikan di sekolah-sekolah yang diteliti seperti, lebarnya kesenjangan antara idealisasi cita-cita pendidikan nasional dan realitas objektif sekolah. Dari segi guru, misalnya, secara kuantitatif belum memenuhi standar kualifikasi pendidikan (S2) dan kultur birokrasi yang belum mendukung. Dari
289
segi kurikulum, idealisasi KTSP yang seharusnya merefleksikan “kurikulum plus” (adaptasi kurikulum OECD) juga belum sepenuhnya dapat diterapkan karena terkendala oleh kompetensi guru dalam bahasa Inggris baik dalam proses pembelajaran maupun dalam komunikasi dengan pihak sekolah mitra di luar negeri. Selain itu, dari segi proses pembelajaran berbasis TIK, belum tersedia pendidik dan tenaga kependidikan serta staf teknis terkait yang memadai kompetensinya. Politik global didukung oleh diskursus atau wacana ilmu pengetahuan dan TIK untuk mendisplinkan masyarakat. Pemerintah berperan dalam membangun sebuah “rezim kebenaran” tentang pendidikan “bertaraf internasional”. Secara ekonomi negara berperan sebagai mediator masuknya sektor pendidikan kedalam sistem pasar bebas. Rezim kebenaran ini “terbungkus” dalam hubungan pendidikan dengan globalisme seperti efisiensi, daya saing global, produktifitas, standar manajemen ISO, bahasa Inggris, dan “pendidikan untuk semua”, pendidikan sepanjang hayat, diversifikasi layanan pendidikan dan semuanya menjadi rasionalisasi pentingnya PBI dalam menghadapi era globalisasi. Para elit intelektual pendidikan dan aparatus birokrasi menjadi agen yang mengorganisasi (mendisiplinkan) masyarakat untuk menerima “rezim kebenaran” tentang PBI melalui berbagai instrumen seperti ilmu pengetahuan, Undang-undang, institusi pendidikan, dan wacana seperti diungkapkan oleh Prof Yohanes, tentang relevansi pendidikan “bertaraf internasional” dalam konteks pendidikan nasional dan era globalisasi.
290
Adalah masuk akal apabila satuan pendidikan yang ditingkatkan taraf … ditingkatkan pada taraf internasional, maka digunakan standar pendidikan dari taraf internasional demi kepentingan kompetisi antarbangsa. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa satuan pendidikan bertaraf nasional yang hendak menghasilkan pelaut…Maka satuan pendidikan tersebut diwajibkan memenuhi standar yang ditetapkan atau oleh International Maritime Organization atau IMO. Jika tidak dipenuhi standar IMO tersebut, maka para pelaut tersebut akan ditolak bekerja sebagai pelaut baik di perusahaan nasional maupun di perusahaan, apalagi di perusahaan yang sifatnya internasional (Prof Yohanes, Risalah Sidang MK, Selasa, 24 April 2012, hlm. 13). Kutipan di atas menegaskan betapa ”standar internasional” telah menghegemoni pendidikan nasional. Untuk bekerja di perusahaan nasional pun satuan pendidikan nasional diwajibkan memenuhi standar yang ditetapkan oleh IMO. Dalam hal ini tampak bagaimana ”rezim kebenaran” modernitas melibatkan relasi kuasa/pengetahuan oleh Foucault yang berkonsentrasi pada tiga diskursus disipliner; pertama, ‟ilmu pengetahuan‟ yang menjadikan subjek sebagai objek penyelidikan; kedua, ‟praktik pemisahan‟, yang memisahkan orang gila dari orang waras, penjahat dari warga taat hukum dan kawan dari musuh; dan ketiga, teknologi diri, di mana individu mengubah dirinya menjadi subjek (Barker, 2006: 82). Teknologi disipliner muncul di berbagai bidang, termasuk sekolah yang memproduksi ‟tubuh patuh‟ (subjek) yang dapat ‟diikat‟, digunakan, dan ditransformasikan sesuai tuntutan jaman. Dalam hal pendidikan (nasional), tuntutan zaman adalah globalisasi dengan semangat persaingan SDM, produktifitas,
efisiensi,
dan
standar
mutu.
Disiplin
menyangkut
pengorganisasian subjek pada ruang tertentu melalui praktek pemisahan, pelatihan dan standarisasi untuk menghasilkan subjek dengan kategori dan
291
urutan hierarkis melalui rasionalitas efisiensi, produktivitas, dan ‟normalisasi‟ (Barker, 2006: 82). Dengan kata lain, kuasa/pengetahuan beroperasi melalui kontestasi diskursus tentang hubungan pendidikan dan globalisasi. Hegemoni terjadi melalui UU dan kebijakan standardisasi melalui suatu mekanisme seperti ISO, Untuk menghasilkan subjek yang patuh (aparatus sekolah) hegemoni ditopang dengan rasionalisasi objek pengetahuan (PBI) tentang standarisasi, daya saing, efisiensi, dan produktifitas di era global.
7.5 Temuan Penelitan Temuan peneltian ini adalah, pertama, secara politik, hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum beroperasi melalui UU Sisdiknas khususnya pasal 50 ayat (3) tentang PBI dan implementasinya serta berbagai pasal lainnya yang bersifat “internasional”. Kandungan dan implikasi dari UU tersebut kemudian memproduksi wacana PBI dalam pendidikan nasional. Hal ini secara sistemik menghasilkan hegemoni dalam bentuk standarisasi, kapitalisasi, stratifikasi, pencitraan, dan tergerusnya jati diri bangsa melalui konsep-konsep dan praksis pendidikan. Hegemoni beroperasi secara spesifik melalui
program
pendidikan”,
dan
“daya
jargon-jargon
saing
seperti
internasional”,
“standardisasi
“produktifitas”,
komponen “partisipasi
Olimpiade”, “bahasa Inggris sebagai bahasa internasional” . Kedua, secara normatif ideologi pendidikan nasional berlandaskan Pancasila, namun dalam implementasinya terhegemoni oleh wacana globalisme dengan orientasi ideologinya. Standarisasi pendidikan telah melahirkan
292
berbagai permasalahan pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya. Pemerintah yang seharusnya menjadi faktor dan aktor utama dalam penyelenggaraan pendidikan yang adil bagi seluruh warga negara, dalam praktiknya, justru berperan selaku fasilitator ketidakadilan, khususnya melalui program RSBI/SBI dalam konteks pendidikan menengah umum. Dalam hal ini, negara kemudian kurang berperan dalam menjamin terselenggaranya “pendidikan bagi semua”, yaitu seluruh warga negara tanpa terkecuali berhak atas akses terhadap pendidikan (bermutu). Ketiga, akibat dari hegemoni globalisme dan rasionalisasi pendidikan sebagai investasi yang berorientasi daya saing, efisiensi, dan standard kompetensi (homogenisasi standar), pendidikan menjadi bersifat komersial (komodifikasi) dan hegemonik-kultural yang tidak selaras dengan tujuan pendidikan nasional. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pada jenjang pendidikan menengah umum, misalnya, tidak hanya berdampak negatif terhadap upaya pemerintah untuk membina bahasa Indonesia, tetapi juga semakin menguatkan hegemoni “globalisme” dalam kebudayaan (jati diri bangsa) dan sistem pendidikan nasional. Terakhir, penelitian ini menegaskan bahwa perlawanan terhadap hegemoni PBI oleh intelektual organik dan masyarakat sipil menegaskan pemikiran Gramsci dan Bourdieu bahwa untuk melawan hegemoni diperlukan perjuangan politik
dan intelektual
serta
kesadaran masyarakat
sipil
sebagaimana ditunjukkan oleh para intelektual dan koalisi aktivis sosial dan pendidikan dalam permohonan Uji Materi pasal 50 ayat (3) Undang-undang
293
Sisdiknas 20 Tahun 2003 tentang satuan PBI kepada lembaga MK. Dasar hukum pelaksanaan PBI akhirnya berhasil dianulir oleh lembaga MK 8 Januari 2013. Hal ini menjelaskan bahwa hegemoni negara dapat dilawan dengan kontra-hegemoni dan wacana tandingan yang melibatkan sinergi masyarakat sipil, intelektual, organisasi guru, LSM, dan berbagai kekuatan sipil lainnya yang bersikap kritis terhadap kebijakan pendidikan yang seolah memerdekakan tetapi substansinya dapat menyesatkan.
Refleksi Implikasi teoritis dan praktis dari temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan PBI dan implementasinya ternyata kontraproduktif dengan visi pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional menempatkan manusia Indonesia sebagai warga negara yang berhak mendapatkan pendidikan bermutu untuk dapat menjadi warga negara yang cerdas dan humanis integratif. Pengaruh ideologi globalisasi dalam konsep dan implementasi PBI telah memosisikan warga negara sebagai ”objek” yang dapat distandarisasi agar sesuai dengan tuntutan dunia kerja dan pendidikan yang berorientasi ekonomi. Secara filosofis, pendidikan sejatinya diarahkan untuk pencerdasan bangsa yang bebas dari komodifikasi dan marketisasi pendidikan. Secara konseptual PBI yang berorientasi OECD tidak sesuai dengan realitas Indonesia karena lembaga OECD lebih berorientasi pada ekonomi pasar (liberal) sesuai dengan misi WTO. Berbeda dari orientasi ekonomi pasar, penyelenggaraan perekonomian Indonesia seharusnya didasarkan pada pasal 33 UUD 1945 ayat
294
(1) yang menyatakan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan”. Hal inilah seharusnya menjiwai penyelenggaraan pendidikan nasional termasuk pendidikan menengah umum. Dalam konteks pemikiran Gramsci, ideologi kapitalisme dan neoliberalisme yang menjiwai konsep dan implementasi PBI telah menghegemoni para intelektual dan pemerintah, serta masyarakat tentang pentingnya standarisasi pendidikan dan daya saing bangsa untuk menjawab tantangan globalisasi yang sarat dengan nilai-nilai persaingan ekonomi. Semangat untuk memajukan pendidikan nasional berinteraksi dengan ideologi pasar dan berbagai kelompok kepentingan mengakibatkan pendidikan menjadi mahal dan diskriminatif, akses masyarakat terhadap pendidikan menjadi tidak adil, proses pembelajaran menonjolkan bentuk daripada substansi (pencitraan), nilai-nilai kebangsaan terancam tergerus karena kebijakan yang tidak realistik. “Standard internasional” bersifat kapitalistik dan borjuis karena mengacu pada berbagai komponen standar pendidikan kapitalis seperti sertifikasi ISO, TIK dan multimedia, buku ajar impor, dan berbagai program dan kegiatan yang kurang menekankan pada potensi kreativitas budaya dan keunggulan lokal. Dengan orientasi standar “internasional”, sekolah distratifikasi menjadi kategori standar minimal (SBM), kategori mandiri (SKM atau SSN), dan RSBI, dan bahkan ada kategori “kelas internasional” yang dikelola secara khusus oleh satuan sekolah RSBI seperti SMA Negeri 78 Jakarta. Hal ini kemudian menimbulkan ketidakadilan sosial karena RSBI atau “kelas
295
internasional” yang dipandang sebagai sekolah/pendidikan bermutu hanya dapat diakses oleh kelompok masyarakat tertentu dan anak-anak yang secara ekonomi tidak mampu menjadi tersingkir.
Dengan demikian, kewajiban
negara dalam menjamin pendidikan bermutu secara adil bagi warganya sesuai dengan amanat UU menjadi terabaikan. Beberapa tahun terakhir keberadaan RSBI mendapat sorotan dan kritik tajam dari berbagai lapisan masyarakat. Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan, misalnya,
mengajukan
gugatan
ke
lembaga MK
untuk
membatalkan Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas 2003 tentang satuan PBI, yang menjadi dasar hukum kebijakan dan implementasinya dalam bentuk RSBI. Proyek RSBI tersebut telah beroperasi sejak tahun 2006 dan dalam perjalanannya mendapat resistensi dari masyarakat sipil, koalisi LSM, intelektual dan aktivis pendidikan karena program ini dipandang menciderai cita-cita pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam konstitusi. Pada Januari 2013 dasar hukum keberadaan RSBI/SBI, yaitu pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas telah dibatalkan oleh MK sebagai klimaks dari perlawanan masyarakat sipil dalam bentuk Uji Materi Undang-undang yang mendasari kebijakan tersebut. Hal ini membuktikan tesis Gramsci (1971) tentang “counter-hegemony” dan pemikiran Foucault tentang “will-to-power” dengan wacana kuasa/pengetahuan efektif untuk melawan dominasi negara yang tidak adil dalam pendidikan. Putusan MK tersebut dapat dimaknai sebagai “fenomena awal” dari keberhasilan masyarakat sipil dan intelektual dalam melawan hegemoni negara dengan senjata ideologis Pancasila,
296
khususnya wacana nilai-nilai keadilan sosial dan nilai-nilai pengetahuan ilmiah. Pendidikan nasional dalam menghadapi era globalisasi seharusnya dibangun di atas realitas sosio-kultural, psikososial, ekonomi, dan politik kebangsaan. Konsep dan implementasi RSBI dapat merusak sendi-sendi kebudayaan dan ketahanan bangsa Indonesia karena program ini tidak didasarkan pada prinsip keadilan sosial. Pendidikan seharusnya tidak dilepaskan atau diserahkan kepada mekanisme pasar (liberalisme) untuk menjamin hak seluruh lapisan masyarakat mendapatkan pendidikan bermutu. Negara justru harus berperan jika menyangkut esensi kehidupan berbangsa seperti hak untuk mendapatkan pendidikan (bermutu) secara adil. Terkait dengan pembatalan dasar hukum pelaksanaan RSBI/SBI oleh MK 8 Januari 2013 dan implikasinya terhadap program pembelajaran di sekolah, seorang narasumber yang diwawancarai Sabtu 2 Februari 2013, Supanto menyatakan: sekolah kami sifatnya menunggu saja surat edaran dari Jakarta tentang kelanjutan RSBI…kami tetap berharap diberi izin oleh pemerintah untuk melanjutkan penguatan kualitas sekolah dengan mengutip biaya operasional sekolah dari orangtua murid. Jika tidak, kami akan kesulitan misalnya aggaran sekolah karena misalnya dari pembiayaan listrik di sekolah kami selama ini yang mencapai Rp. 25 juta per bulan akan sulit diatasi. …ikut dalam program kompetisi hibah unggulan yang akan diadakan oleh Diknas, untuk mendapat bantuan pusat…sebagai siasat untuk mengatasi permasalahan sekolah eks RSBI dalam programprogramnya (Wawancara Sabtu 2 Februari 2013). Kutipan di atas sekaligus menjelaskan bahwa agen pendidikan terhegemoni dengan hal-hal yang bersifat materialistik berupa anggaran, baik berupa “block grant” dari pemerintah maupun “kebebasan” untuk melakukan pungutan dari
297
orangtua untuk memajukan kualitas pendidikan. Dalam hal ini, guru atau manajemen sekolah lebih berfungsi sebagai “operator” birokrasi pendidikan dan
kurang
berperan
sebagai
“transformative
intellectuals”
dalam
mengembangkan program sekolah secara kreatif (Giroux, 1988: 122-123). Dengan perkembangan RSBI, khususnya pasca Putusan MK Januari 2013, sekolah harus bersiap dengan “habitus” baru. Di satu pihak, pada saat penelitian ini dilakukan, belum ada keputusan apakah sekolah dapat memungut pembiayaan “ekstra” dari orangtua sebagaimana dilakukan sebelum ada putusan MK tentang pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas 20/2003. Pada pihak lain, sekolah tetap dituntut untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran dengan situasi baru pasca-putusan MK dan implikasinya terhadap anggaran sekolah. Sekolah dihadapkan pada permasalahan baru tentang manajemen, pembiayaan dan kultur yang telah terbangun paling tidak selama berstatus “internasional” menuju status “sekolah reguler” dengan kultur baru. Terdapat keraguan apakah fenomena pasca-putusan MK terhadap Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dengan sendirinya permasalahan ideologis PBI telah selesai dari permasalahan pendidikan nasional. Keraguan ini didukung oleh berbagai wacana yang mengemuka pasca-putusan MK seperti yang tergambar dari kutipan berikut. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang ada di sejumlah daerah akan berubah menjadi sekolah unggulan. Sekolah ini akan menjadi contoh bagi sekolah-sekolah lain dari sisi kualitas dan penyediaan sarana, tetapi bisa diakses siapa pun dan tidak dipungut biaya (Kompas, Jumat 11 Januari 2013, hlm. 1 dan 15).
298
Kutipan di atas mengindikasikan bahwa RSBI bisa sekedar ”ganti kulit”. Dengan demikian, wacana PBI tetap relevan dipersoalkan kendati secara formal dasar hukum penyelenggaraan PBI telah dianulir oleh MK. Dari perspektif pedagogi kritis, pendidikan harus dijamin bebas dari kekuasan hegemonik sehingga pendidikan itu tidak sekedar bersifat instrumental tetapi juga sebagai proses penanaman nilai-nilai dan penguatan karakter anak didik yang bersifat fundamental dalam konteks keindonesiaan (Widja, 2009; Tilaar, 2011: 38-39; Nuryatno, 2008:2; Nunan, 1993: 12). Permasalahan pendidikan dan globalisasi tidak harus dihadapi dengan sikap antiglobalisasi atau sepenuhnya proglobalisasi. Globalisasi sebagai agenda “homogenisasi budaya” tidak sesuai dengan cita-cita dan realitas budaya Indonesia.
Globalisasi bukanlah sekedar soal ekonomi tetapi juga
gejala budaya, yakni terbentuknya dan tersebarnya “kebudayaan dunia” di berbagai negara (Hoed, 2008: 102). Permasalahannya, pemerintah seringkali terpukau oleh perkembangan global dan kurang peka terhadap realitas sosialbudaya dan ekonomi masyarakat. Bahkan, dalam mengambil keputusan tentang suatu kebijakan, pemerintah tidak jarang tergesa-gesa sehingga tidak sedikit kebijakannya
menimbulkan
kontroversi
dan
ketidakpastian,
termasuk
kebijakan tentang PBI. Berikut beberapa catatan tentang permasalahan PBI dalam kaitannya dengan pendidikan nasional. Pertama, wacana PBI secara konsepsional tidak memiliki legitimasi konstitusional, kultural dan konteks sosial ekonomi politik sehingga hal ini mengorbankan prinsip-prinsip dasar dan fungsi pendidikan: membangun warga
299
dan masyarakat yang demokratis, adil dan tidak diskriminatif. Pada tataran Undang-undang, penggunaan label “internasional” menjadi bermasalah ketika diimplementasikan dalam “relasi kuasa” ekonomi, budaya, dan politik. Makna “internasional” menjadi lebih menonjol sebagai marketisasi dan komodifikasi pendidikan, menonjolkan nilai simbolik dan pencitraan tentang kualitas pendidikan yang baik. Mitos yang ada di masyarakat tentang “internasional” itu memiliki nilai yang “tinggi”. Dengan menggunakan pemikiran Roland Barthes tentang dua sistem pemaknaan denotatif dan konotatif, ‟internasional‟ dalam PBI dapat bermakna ”mutu” pendidikannya diakui di berbagai negara dan secara konotatif kata ‟internasional‟ dapat bermakna hebat, luar biasa, berbahasa Inggris, kompetitif, dan kehidupan yang lebih baik. (Barker, 2006: 72; Hoed, 2008: 12-13) Legitimasi eksistensi PBI dalam pendidikan menengah umum tidak sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional. Tanpa menolak realitas globalisasi, Indonesia tetap dapat menjadi bagian dan pendorong proses globalisasi dengan bersikap kritis dan realistik sebagai sebuah bangsa yang memiliki sejarah, budaya, dan cita-cita pendidikan nasional. Keputusan MK tentang dasar eksistensi PBI dalam UU Sisdiknas dapat menjadi titik awal yang strategis untuk selanjutnya selalu mengkritisi sistem pendidikan nasional dari perspektif ideologis dan kultural untuk mencegah terjadinya disorientasi nilainilai pendidikan nasional. Kedua, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan menengah umum secara konseptual dan empiris menunjukkan
300
ambivalensi. Di satu pihak, bahasa Inggris diterima sebagai salah satu faktor dalam memajukan pendidikan nasional, dalam hal ini bahasa Inggris bagian dari kurikulum nasional. Di pihak lain, bahasa Inggris sebagai ”bahasa pengantar” untuk memajukan pendidikan dapat mengancam jati diri bangsa. Dalam hal ini, permasalahannya kembali pada cita-cita awal tentang statusnya dalam sistem pendidikan nasional, bahasa Inggris harus diletakkan dalam konteks ”instrumen” bukan dalam konteks ”menjadi” Inggris. Hal ini sesuai dengan perkembangan global bahwa bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi bukan lagi milik suatu bangsa, tetapi dalam konteks ”lingua franca” yang bersifat dinamis. Dari perspektif kajian budaya, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dapat menyingkirkan siswa yang secara akademik bernilai baik tetapi menjadi terganjal oleh ”kuasa” bahasa Inggris, seperti kualifikasi kemampuan bahasa Inggris untuk masuk ”kelas internasional” di SMA Negeri 78 Jakarta dan syarat pendukung untuk diterima bersekolah di SMA Negeri 2 Bandarlampung. Dalam hal ini,
satuan PBI dalam pendidikan menengah
umum tidak adil dalam konteks sosial-budaya Indonesia karena bersifat hegemonik. Terakhir, teori wacana kuasa/pengetahuan Foucault, khususnya teknologi disiplin, yang digunakan dalam penelitian ini tidak sepenuhnya dapat menjelaskan efektifitas kebijakan PBI karena banyak faktor yang terkait dengan subjek atau agen yang menyangkut modal sosial dan sumber daya pendidikan. Guru-guru terhegemoni dengan pentingnya “standarisasi“ dan
301
“daya saing” dalam menghadapi tantangan globalisasi, namun, secara spesifik modal (kompetensi) dan habitus guru dan sumber daya lainnya dalam ranah pendidikan tidak mendukung proses pembelajaran dengan, misalnya, menggunakan bahasa Inggris (Bourdieu 1983: 249).
302
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari lapangan yaitu SMA Negeri 78 Jakarta, SMA Negeri 2 Bandarlampung, Sidang-sidang MK, dan berbagai dokumen terkait, teori-teori yang digunakan, serta pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, wacana dan praksis PBI telah menimbulkan berbagai permasalahan politik, sosial, ekonomi dan budaya dalam berbagai bentuk. Realitas pendidikan nasional yang rendah mutu dan daya saingnya dihadapkan pada hegemoni wacana globalisme. Dengan demikian, beberapa kesimpulan yang terkait dengan bentuk-bentuk, faktor-faktor yang memengaruhi dan makna hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, wacana PBI tidak dapat dilepaskan dari dinamika globalisasi dengan berbagai orientasi ideologinya dan realitas politik pendidikan nasional dengan aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Globalisme dan politik pendidikan nasional telah menggiring pengembangan sistem pendidikan nasional melalui wacana PBI untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan berdaya saing global. Penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk hegemoni PBI dalam pendidikan menengah umum adalah standarisasi pendidikan, kapitalisasi pendidikan, stratifikasi pendidikan, pencitraan kualitas internasional, dan jati diri atau identitas bangsa.
303
Kedua, hegemoni PBI dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal, yaitu politik pendidikan nasional dan globalisme. Politik pendidikan nasional dan globalisme ditopang oleh wacana kuasa/pengetahuan oleh para intelektual. Wacana globalisasi dan politk pendidikan nasional beroperasi melalui UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 khususnya pasal 50 ayat (3) tentang satuan PBI dan berbagai peraturan pemerintah yang terkait dengan pendidikan dan standar internasional. Wacana globalisasi ditopang oleh institusi internasional seperti Bank Dunia, WTO, OECD yang tidak steril dari kepentingan. Secara keseluruhan wacana tersebut memengaruhi praktik hegemoni PBI melalui konsep dan implementasinya dalam pendidikan menengah umum. Politik pendidikan yang berhaluan neoliberal dan kapitalistik beroperasi melalui UU dan kebijakan serta implementasinya.. Ketiga, tentang makna hegemoni PBI, dari perpektif politik budaya terjadi disorientasi ideologis dalam PMU melalui berbagai program standarisasi yang tidak bebas dari dominasi, nilai-nilai dan hegemoni budaya. Peserta didik seharusnya diarahkan untuk berkembang menjadi manusia kritis, kreatif, mandiri, dan demokratis sesuai dengan tuntutan kehidupan sosialkulturalnya sebagai manusia Indonesia sekaligus warga global. Kebijakan PBI bermasalah secara filosofis dan praktik. Satuan PBI dalam pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 merupakan hegemoni globalisme. Pendidikan berkualitas lebih dimaknai sebagai standarisasi mutu yang berorientasi kapitalis, efisiensi, produktifitas. Dari segi konsep, SNP plus standar pendidikan negara maju tidak realistik karena, misalnya, standar tenaga
304
kependidikan dan proses pembelajaran, tidak mendukung dan belum memenuhi delapan SNP sebagaimana diamanatkan PP. NO. 19 tahun 2005 untuk menjadi RSBI.
Hal ini menghasilkan pergulatan makna ideologis
tentang globalisme, sosial-ekonomi, pemberdayaan/profesionalisme, dan emansipasitoris pendidikan. Keempat, kebijakan pemerintah telah menghegemoni para agen pendidikan dan masyarakat tentang pentingnya PBI sebagai jawaban terhadap permasalahan kualitas pendidikan nasional dan tuntutan era globalisasi. Hegemoni pemerintah beroperasi melalui berbagai Undang-undang dan peraturan yang didukung oleh wacana kuasa/pengetahuan yang berperan merasionalisasi
pendidikan
melalui
jargon-jargon
globalisasi
seperti
produktifitas, daya saing, efisiensi, standard mutu, dan sertifikasi manajemen ISO.
Dari perpektif politik budaya, terjadi disorientasi ideologis dalam
pendidikan nasional. Dalam hal ini, RSBI dengan berbagai programnya tidak membangun karakter dan nilai-nilai yang bebas dari dominasi, diskriminasi dan hegemoni budaya.
8.2 Saran-saran Berdasarkan kesimpulan dan tujuan penelitian, berikut disajikan beberapa saran dan masukan bagi pemangku kepentingan dalam pendidikan, yaitu pemerintah, peneliti, dan masyarakat. Pertama, pemerintah disarankan untuk lebih bersikap demokratis dalam menjamin kesempatan dan perlakuan yang sama bagi setiap warga negara
305
untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Hal ini dapat dilakukan hanya jika para pengambil keputusan bersikap kritis terhadap wacana global dan politik pendidikan nasional yang bersifat ideologis-kultural. Pendidikan tidak boleh terjebak dalam kepentingan kuasa kapital dan wacana hegemonik yang dapat menyingkirkan kelompok yang lemah dalam masyarakat. Kedua, ideologi globalisme telah merambat ke dalam sistem pendidikan nasional melalui pasal-pasal dalam UU Sisdiknas dan berbagai kebijakan yang terkait wacana PBI. Pendidikan nasional dibebani dengan kuasa kapital yang membuat pendidikan menjadi mahal, diskriminatif, pencitraan, eksklusif dan menghasilkan ketidakadilan. Dengan demikian, selanjutnya disarankan untuk meneliti secara komprehensif tentang UU Sisdiknas 2003 dengan berbagai kebijakan pendidikan yang dihasilkannya. Terakhir, resistensi masyarakat terhadap eksistensi pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas tentang satuan PBI baik melalui wacana publik maupun Uji Materi yang akhirnya dianulir oleh MK merupakan “klimaks” dari perlawanan masyarakat sipil. Putusan MK tersebut sepatutnya dimaknai sebagai “fenomena awal” dari keberhasilan masyarakat sipil dan intelektual organik dalam melawan hegemoni negara. Selanjutnya, kontra-wacana atau kontra-hegemoni melalui para intelektual organik dan masyarakat sipil perlu didorong terus untuk mengkritisi berbagai kebijakan pendidikan sebagai arena perjuangan demokratis dan emansipatoris.