1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Salah satu dasar pertimbangan penting dari lahirnya Undang-Undang Jabatan
Notaris (UUJN) No. 30 Tahun 2004 diantaranya adalah bahwa untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu. Salah satu jabatan tertentu yang berwenang membuat alat bukti tertulis yang bersifat otentik tersebut adalah Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesinya dalam pelayanan hukum kepada masyarakat. Karena itu Notaris dalam menjalankan profesinya sebagai pejabat umum perlu mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum demi tercapainya kepastian hukum.1 Perwujudan dari perlindungan hukum terhadap Notaris dalam UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) yang menyebutkan, “Untuk kepentingan proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) berwenang: a.
Mengambil
fotokopi
Minuta
Akta
dan/atau
Protokol
Notaris
dalam
penyimpanan Notaris dan
1
Dasar Pertimbangan Lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004 huruf b
dan c.
1
Universitas Sumatera Utara
2
b.
Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris”. Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004
tersebut di atas dapat dikatakan bahwa setiap kali Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim yang akan mengambil fotokopi minuta akta dan/atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris untuk kepentingan proses peradilan, harus terlebih dahulu memperoleh ijin secara tertulis dari Majelis Pengawas Daerah (MPD). Disamping itu dalam hal pemanggilan Notaris sebagai saksi maupun tersangka dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim berkaitan dengan akta yang dibuatnya, atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris, maka pihak Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim harus terlebih dahulu memperoleh ijin/persetujuan dari MPD.2 Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan tugas, kewajiban dan kewenangannya memperoleh perlindungan hukum penuh dari Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004, dimana pengambilan dokumen - dokumen yang berada dalam penyimpanan Notaris tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang oleh Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim dalam suatu proses pemeriksaan untuk kepentingan hukum. Disamping itu pemanggilan Notaris untuk diperiksa maupun dihadirkan sebagai saksi juga tidak dapat dilakukan secara langsung oleh Penyidik
2
Sutan Rachmat, Perlindungan Hukum terhadap Notaris Berdasarkan UUJN No. 30 Tahun 2004, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2009, hal 53.
Universitas Sumatera Utara
3
Polri, Penuntut Umum maupun Hakim dalam suatu proses pemeriksaan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan oleh kepolisian, maupun di tingkat penuntutan dan pemeriksaan perkara di pengadilan. Pemanggilan Notaris untuk kepentingan pemeriksaan demi hukum harus terlebih dahulu memperoleh ijin/persetujuan dari MPD. Pasal 66 ayat (2) UUJN No. 30 Tahun 2004
lebih jauh memberikan
perlindungan hukum terhadap Notaris dengan menyebutkan bahwa, “Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan”. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Notaris sebagai pejabat umum memiliki eksistensi, dan kedudukan hukum yang diakui dan terhormat di mata hukum serta memiliki kewenangan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum melalui Pasal 66 ayat (1) dan (2) UUJN No. 30 Tahun 2004. Disamping itu jabatan Notaris sebagai jabatan kepercayaan yang diberikan oleh Pemerintah yang mengangkatnya melalui Menteri Hukum dan HAM dan jabatan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat luas yang menggunakan jasanya, adalah juga jabatan yang menjalankan tugas negara dalam membuat dan menyimpan akta-akta otentik yang juga menjadi dokumen negara. Meskipun Notaris bukan pejabat negara, namun Notaris memiliki tugas dan kewenangan untuk melayani masyarakat luas (publik) dalam hal-hal tertentu, sebagaimana juga tugas pejabat negara. Karena itu Notaris sebagai pejabat publik ikut pula melaksanakan kewibawaan Pemerintah.3
3
R.Soesanto, Tugas, Kewajiban, dan Hak-Hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hal.75.
Universitas Sumatera Utara
4
Jabatan Notaris adalah jabatan umum atau publik karena Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah, meskipun tidak memperoleh gaji dari Pemerintah. Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaan umum (Pemerintah) untuk ikut membantu melaksanakan dan menegakkan kewibawaan Pemerintah. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) memberikan penegasan kepada Notaris sebagai pejabat umum. Pasal 1868 KUH Perdata tersebut menyebutkan bahwa, “Suatu akta otentik, ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh/dihadapan pejabat umum yang berwenang ditempat dimana akta itu dibuat”. Meskipun yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata tersebut bukan hanya jabatan Notaris, melainkan juga ada jabatan-jabatan lainnya yang ditugaskan oleh Undang-Undang dalam membuat akta otentik seperti pejabat Kantor Dinas Kependudukan dalam membuat akta kelahiran, perkawinan dan kematian, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam membuat akta otentik di bidang pertanahan, Pejabat Kantor Lelang dalam membuat akta otentik dalam hal lelang, Pejabat Kantor Urusan Agama (KUA) dalam membuat akta otentik dalam pernikahan, talak dan rujuk bagi kaum muslim, namun secara umum dapat dikatakan bahwa satu-satunya pejabat umum yang diberi kewenangan yang cukup luas oleh Undang-Undang dalam membuat akta otentik adalah jabatan Notaris.4 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No.49/PUU-X/2012 tanggal 23 Maret 2013, telah mengejutkan para Notaris di Indonesia karena dengan putusan 4
A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni Bandung, 1983, hal.64
Universitas Sumatera Utara
5
tersebut di atas telah mencabut Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 tahun 2004, yang merupakan pasal yang selama ini menjadi benteng perlindungan hukum bagi para Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.49/PUU-X/2012 tanggal 23 Maret 2013, maka sejak tanggal tersebut Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 dinyatakan sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi atau sudah tidak berlaku lagi. Ketentuan yang selama ini berlaku dalam hal pengambilan dokumen yang disimpan oleh Notaris dalam protokolnya, dan pemanggilan Notaris untuk dihadirkan dalam suatu proses pemeriksaan berkaitan dengan akta yang dibuatnya, yang berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UUJN tersebut di atas harus memperoleh persetujuan dari MPD, sejak tanggal 23 Maret 2013 sudah tidak lagi membutuhkan persetujuan MPD. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam mengambil dokumen-dokumen yang berada dalam penyimpanan protokol Notaris dan juga dalam hal pemanggilan Notaris untuk diperiksa baik sebagai saksi, maupun tersangka oleh pihak Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim dapat melaksanakannya secara langsung tanpa harus memperoleh persetujuan MPD. Dengan demikian dapat dikatakan sejak keluarnya Putusan MK No.49-PUU/X/2012 tersebut, maka fungsi dan kewenangan MPD dalam hal memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris dalam hal pengambilan dokumen maupun pemanggilan dalam suatu proses pemeriksaan sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sudah bersifat final dan mengikat, artinya terhadap semua Putusan Mahkamah Konstitusi termasuk Putusan No.49-
Universitas Sumatera Utara
6
PUU/X/2012 tersebut tidak dapat dimintakan upaya hukum banding, kasasi, peninjauan kembali maupun pengajuan uji materil ulang. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat binding dan final.5 Permohonan gugatan terhadap Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi diajukan untuk pertama kalinya oleh Kant Kamal melalui kuasa hukumnya Tomson Situmeang, Jupryanto Purba dan Charles Hutagalung dari Kantor Advokat RB Situmeang dan Patners. Dasar pengajuan gugatan Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 tahun 2004 tersebut adalah bahwa Kant Kamal, sebagai perorangan, Warga Negara Indonesia merasa telah dirugikan dengan keluarnya akta Notaris yang berkedudukan di Cianjur Jawa Barat yang menurutnya telah memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik. Oleh karena itu Pemohon telah membuat laporan ke Polisi terhadap Notaris tersebut dengan tuduhan telah memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik sebagaimana termuat dalam rumusan Pasal 266 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa : “Barang siapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hak di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk menyuruh orang lain mempergunakannya, seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian”. Dengan berlakunya Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 sepanjang frasa dengan persetujuan MPD, menjadikan Penyidik kepolisian terkendala dalam melakukan proses penyidikan, dikarenakan permintaan izin untuk memanggil Notaris 5
Mardianto Hasbi, Mahkamah Konstitusi, Sebagai Peradilan Perundang-undangan, Media Ilmu, Bandung, 2012, hal.14.
Universitas Sumatera Utara
7
yang bersangkutan untuk menjadi saksi, tidak diberikan oleh MPD Notaris Cianjur. Karena proses pemeriksaan terhadap Notaris tersebut terkendala, maka Kant Kamal sebagai pihak yang merasa dirugikan terhadap akta Notaris Cianjur tersebut, mengajukan permohonan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN tersebut. Dalam dasar gugatannya Kant Kamal memandang bahwa Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut dapat dijadikan sebagai sarana untuk berlindung bagi pelaku kejahatan dengan modus menggunakan akta otentik yang dibuat oleh Notaris. Disamping itu ketentuan yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut dipandang mempersulit proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri, sehingga sebagai pihak yang merasa dirugikan, Kant Kamal merasa ketentuan hukum yang berlaku terhadap Notaris dalam hal penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian menjadi tidak dapat terlaksana dengan baik, bahkan cenderung tidak dapat dilaksanakan.6 Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 yang mengatur mengenai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yang menjelaskan mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dipertegas lagi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal
6
Ellise T. Sulastini dan Aditya Wahyu, Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta yang Berindikasi Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2010, hal 19.
Universitas Sumatera Utara
8
31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tertangal 20 September 2007 yang menguraikan 5 (lima) syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dari setiap warga Negara termasuk kelompok yang mempunyai kepentingan sama yaitu : a.
Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945
b.
Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian
c.
Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d.
Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji.
e.
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Pasal
51
ayat
(1)
Undang-Undang
Mahkamah
Konstitusi
beserta
penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan / atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang yaitu : 1.
Perorangan warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama)
Universitas Sumatera Utara
9
2.
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang
3.
Badan hukum publik atau privat, atau
4.
Lembaga Negara
Dengan demikian, para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu : a.
Kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi
b.
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitutional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Adanya kemungkinan sebagaimana diuraikan di atas tersebut, membuat
permohonan Judicial review atau uji materil dari Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini berarti kedudukan hukum (legal standing) pemohon yaitu Kant Kamal dinyatakan berhak untuk mengajukan permohonan uji materil terhadap Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut. Pada akhirnya permohonan judicial review dari Kant kamal tidak hanya diterima, tapi juga dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.49-PUU/X/2012 tanggal 23 Maret 2013, dengan mencabut ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 yang merupakan perlindungan hukum terhadap Notaris dalam melaksanakan tugas dan
Universitas Sumatera Utara
10
kewenangannya sebagai pejabat publik, khususnya yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya dalam hal adanya dugaan perbuatan pidana terhadap akta tersebut. Dengan pencabutan Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut, maka menimbulkan akibat hukum bagi prosedur pengambilan dokumen yang berada dalam penyimpanan Notaris dalam protokolnya, termasuk dalam proses pemanggilan Notaris untuk dihadirkan sebagai saksi baik sebagai saksi maupun tersangka dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Penyidik Polri, Penuntut Umum maupun Hakim dalam proses persidangan di pengadilan. Disamping itu Putusan MK No.49PUU/X/2012 tersebut juga menimbulkan akibat hukum terhadap tugas dan kewenangan Majelis Pengawas Daerah Notaris. Tiga bulan setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.49PUU/X/2012 yang mencabut Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. UndangUndang No. 2 tahun 2014 tersebut disyahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014, dan kembali memuat perlindungan hukum terhadap Notaris pada pasal 66 Undang-Undang tersebut dengan mengadakan perubahan dan penambahan beberapa Pasal. Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004, mengatur tentang kewenangan MPD dalam memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai pejabat publik dalam membuat akta otentik. Setiap pengambilan dokumen yang berada dalam penyimpanan protokol Notaris oleh Hakim, Jaksa atau pihak kepolisian untuk kepentingan penyidikan harus
Universitas Sumatera Utara
11
memperoleh izin tertulis terlebih dahulu dari MPD. Penyidik, Jaksa dan Hakim dalam mengambil dokumen Notaris tersebut harus membuat permohonan tertulis kepada pihak MPD, dan harus memperoleh izin tertulis terlebih dahulu dari MPD sebelum mengambil dokumen tersebut. Apabila tidak ada izin tertulis dari MPD maka pihak Hakim, Jaksa, kepolisian tidak dapat mengambil dokumen yang berada dalam penyimpanan protokol Notaris tersebut.7 Dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 2 tahun 2014 tentang Perubahan UUJN No. 30 tahun 2004 disebutkan bahwa, “Untuk kepentingan proses penyidikan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) berwenang: a.
mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris
b.
memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas
UUJN No. 30 Tahun 2004 menyebutkan bahwa, “Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan”. Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 menyebutkan bahwa, “Majelis Kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana
7
Himawan Subagio, Analisis Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Notaris dalam UUJN No. 30 Tahun 2004 dalam Perkara Pidana, Rajawali, Jakarta, 2007, hal 36.
Universitas Sumatera Utara
12
dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan”. Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tersebut di atas dapat dikatakan bahwa peranan MPD yang memiliki kewenangan dalam melindungi Notaris dalam hal pengambilan dokumen maupun pemanggilan Notaris untuk kepentingan penyidikan pada UUJN No. 30 Tahun 2004 digantikan perannya oleh Majelis Kehormatan Notaris (MKN) dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang perubahan UUJN No. 30 Tahun 2004. Majelis Kehormatan Notaris (MKN) pada intinya berjumlah 7 (tujuh) orang yang terdiri dari unsur Notaris (sebanyak 3 orang), Pemerintah (sebanyak 2 orang), dan Ahli atau Akademisi (sebanyak 2 orang). Majelis Kehormatan Notaris pada prinsipnya secara organisasi hampir sama struktur keanggotaannya dengan Majelis Pengawas sebagaimana termuat dalam pasal 67 ayat (3) UUJN No. 30 Tahun 2004. Majelis Pengawas beranggotakan 9 (sembilan) orang, dimana masing masing organisasi yakni organisasi Notaris, Pemerintah dan Ahli/Akademisi masing-masing diwakili oleh tiga orang. Perbedaannya adalah Majelis Pengawas terdiri dari Majelis Pengawas Pusat (MPP), Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dan Majelis Pengawas Daerah (MPD). Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 Pasal 67 tentang perubahan UUJN No. 30 Tahun 2004 juga ada menyebutkan tentang Majelis Pengawas yang terdiri dari MPP, MPW dan MPD. Sedangkan kewenangan dalam memberikan persetujuan atas pengambilan dokumen Notaris maupun pemanggilan
Universitas Sumatera Utara
13
Notaris untuk kepentingan penyidikan diberikan kepada Majelis Kehormatan Notaris (MKN) sebagaimana telah diuraikan di atas. Penelitian ini bertujuan untuk untuk membahas dan menganalisa secara lebih mendalam mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dan akibat hukumnya terhadap kepastian hukum dalam pelaksanaan tugas, kewajiban serta kewenangan Notaris dalam pembuatan akta otentik. Serta terhadap tugas dan kewenangan Majelis Kehormatan Notaris, sebagai suatu organisasi internal Notaris yang bertugas dan berwenang melakukan pengawasan dan perlindungan hukum terhadap Notaris dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai pejabat publik sesuai UndangUndang No. 2 Tahun 2014 tentang perubahan UUJN No. 30 Tahun 2004.
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka yang menjadi pokok
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Apa yang menjadi pertimbangan hukum munculnya Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 tentang perlindungan terhadap Notaris?
2.
Apakah pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mencabut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 telah sesuai dengan asas hukum Indonesia?
3.
Bagaimana keberlakuan Pasal 66 ayat (1) sampai dengan (4) pada UUJN No. 2 Tahun 2014?
Universitas Sumatera Utara
14
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hukum munculnya Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 tentang perlindungan terhadap Notaris.
2.
Untuk mengetahui apakah pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mencabut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 telah sesuai dengan asas hukum Indonesia.
3.
Untuk mengetahui bagaimana keberlakuan Pasal 66 ayat (1) sampai dengan (4) pada UUJN No. 2 Tahun 2014.
D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, yaitu : 1.
Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah ilmu pengetahuan di bidang hukum kenotariatan pada umumnya dan di bidang kepastian hukum terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan Notaris dalam pembuatan akta otentik serta kaitannya dengan prosedur pengambilan dokumen dan pemanggilan Notaris dalam kapasitasnya sebagai saksi maupun tersangka dalam suatu pemeriksaan perkara pidana pada khususnya, yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai kajian ilmu pengetahuan hukum yang berkaitan dengan hukum kenotariatan pada umumnya dan
Universitas Sumatera Utara
15
perlindungan hukum terhadap Notaris berkaitan dengan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya pada khususnya. 2.
Secara praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pengguna jasa Notaris pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, Aparat pemerintah terkait yang berwenang dalam hal pemanggilan terhadap Notaris, yang berkaitan dengan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya.
E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, penelitian mengenai, “Kajian Yuridis Pencabutan Pasal 66 Ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan MK/PUU-X/2012) dan keluarnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang perubahan UndangUndang No. 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris”, belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya, dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah Notaris, namun secara substansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan Notaris yang pernah dilakukan adalah :
Universitas Sumatera Utara
16
1.
Yusnani, NIM : 057011100/ MKn, Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus di Kota Medan) Subtansi permasalahan yang dibahas sebagai berikut : a. Bagaimanakah pengertian akta otentik yang mengandung keterangan palsu? b. Bagaimanakah akibat hukum apabila akta otentik notaris mengandung keterangan palsu? c. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap notaris atas akta otentik yang mengandung keterangan palsu?
2.
Gloria Gita Putri Ginting, NIM : 037011029/MKn, Pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang mengandung sengketa (Studi di Kota Medan). Subtansi permasalahan yang dibahas sebagai berikut : a. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya sengketa dalam suatu akta otentik? b. Bagaimana akibat hukum atas terjadinya sengketa dalam suatu akta otentik notaris? c. Bagaimana pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung sengket?
3.
K Nuzuarlita Permata Sari Harahap, NIM : 087011146/MKn, Kajian Hukum terhadap Pemanggilan Notaris oleh Penyidik Polri berkaitan dengan Dugaan Pelanggaran Hukum atas Akta.
Universitas Sumatera Utara
17
Subtansi permasalahan yang dibahas sebagai berikut : a. Bagaimanakah prosedur pemanggilan Notaris oleh Penyidik Polri berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004? b. Bagaimanakah kedudukan Notaris sebagai pejabat umum terhadap pemanggilannya oleh Penyidik Polri sebagai saksi/tersangka? c. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Notaris sebagai pejabat umum atas pemanggilannya sebagai saksi/tersangka oleh Penyidik Polri?
F.
Kerangka Teori dan Konsepsi
1.
Kerangka Teori Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau
proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada faktafakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.8 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/penunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.9 Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif), dan oleh karena itu kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami kedudukan Notaris sebagai pejabat umum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam pembuatan akta otentik, dan kaitannya dengan kepastian hukum terhadap peraturan-peraturan yang menjadi
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press Jakarta, 1986, hal. 6 JJJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting M. Hisyam UI Press, Jakarta, 1996, hal. 203 9
Universitas Sumatera Utara
18
pedoman dalam melaksanakan tugas dan kewenangan Notaris dalam pembuatan akta otentik, sehingga Notaris tidak melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya khususnya dibidang pembuatan akta otentik. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum. Kepastian hukum dibutuhkan demi tegaknya ketertiban dan keadilan. Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat semena-mena dan bertindak main hakim sendiri yang dapat menimbulkan kekacauan sosial.10 Notaris sebagai pejabat publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam pembuatan akta otentik rentan dengan terdapatnya kesalahan atau pelanggaran di dalam isi akta otentik tersebut. Oleh karena itu apabila terdapat kesalahan/pelanggaran hukum dalam isi akta dari Notaris tersebut maka perlu adanya aturan yang jelas dalam bentuk peraturan Perundang-undangan dalam hal prosedur hukum pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan secara seksama untuk dapat membuktikan apakah pelanggaran terhadap isi akta tersebut adalah karena kesalahan mutlak dari Notaris tersebut, atau karena adanya unsur kesalahan yang disengaja oleh para pihak dalam memberi keterangan kepada Notaris.11 Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam Perundang-undangan yang dibuat oleh pihak berwenang, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum
10
Muhammad Mahfud MD, Membangun Politik dan Kepastian Hukum, LP3S, Jakarta, 2006,
hal. 63 11
Nurhasan Ismail, Kepastian Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan, Mandar Maju, bandung, 2010, hal 32.
Universitas Sumatera Utara
19
berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati dan dilaksanakan.12 Menurut Gustav Radbruch ada 3 (tiga) substansi hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Tujuan dari ketiga substansi hukum tersebut adalah untuk menciptakan harmonisasi dan ketegasan dalam pelaksanaan hukum. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keraguraguan (multi tafsir) dan logis dalam arti ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak menjadi berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.13 Dengan demikian dapat dikatakan kepastian hukum dapat mengandung beberapa arti yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas dan tidak memihak, mengandung keterbukaan sehingga dapat dipahami ketentuan hukumnya oleh siapapun juga.14 Notaris sebagai pejabat publik yang bertugas membuat akta otentik dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus benar-benar sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang kenotariatan. Pembuatan akta otentik oleh Notaris merupakan suatu perbuatan hukum yang menghendaki adanya suatu kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan terhadap akta otentik tersebut. 12
Mahmud Hasan Djamil, Teori Kepastian Hukum dalam Praktek Di Indonesia, Armiko, Bandung, 2011, hal 47. 13 Soejono KS, Mendefinisikan Keadilan dan Kepastian Hukum Dalam Teori dan Praktek, Bumi Aksara, Bandung, 2010, hal. 26 14 Pikri Burhanudin, Pelaksanaan Kepastian Hukum dan Keadilan dalam Praktek di Indonesia, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2010, hal 33.
Universitas Sumatera Utara
20
Oleh karena itu setiap tugas dan kewajiban Notaris dalam pembuatan akta otentik menghendaki adanya peraturan-peraturan tertulis yang jelas dan tegas dalam pelaksanaan maupun pengawasan tugas Notaris sebagai pejabat publik.15 Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris dalam hal pengambilan dokumen yang berada dalam penyimpanan protokol Notaris untuk kepentingan pemeriksaan oleh Penyidik Polri, Penuntut Umum maupun Hakim untuk kepentingan persidangan. Prosedur pengambilan dokumen yang berada dalam penyimpanan protokol Notaris oleh Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 harus memenuhi ketentuan dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD). Dengan demikian sebelum dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 49-PUU/X/2012, maka setiap pengambilan dokumen yang berada dalam penyimpangan protokol Notaris maupun pemanggilan Notaris dalam rangka proses pemeriksaan dalam suatu perkara pidana baik di tingkat Penyidik, Penuntut Umum, maupun untuk hadir di persidangan sebagai saksi maupun tersangka harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari MPD. Tanpa persetujuan MPD maka pengambilan dokumen maupun pemanggilan Notaris tidak dapat dilakukan oleh Penyidik, Penuntut Umum, maupun oleh Hakim.16
15
Fernando Manullang, Menggapai Kepastian Hukum Suatu Analisis Perbandingan, Citra Medya, Surabaya, 2009, hal 21. 16 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006, hal. 17
Universitas Sumatera Utara
21
Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum kenotariatan, hukum perjanjian dan hukum pidana, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan
masukan
eksternal bagi penelitian ini.17Teori yang digunakan adalah teori kepastian hukum. Kepastian hukum dalam akta otentik yang juga merupakan dokumen negara yang harus memperoleh perlindungan hukum dari negara terhadap Notaris sebagai pejabat publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Jabatan Notaris lahir karena masyarakat membutuhkannya, bukan jabatan yang sengaja diciptakan dan kemudian disosialisasikan kepada masyarakat. Sejarah lahirnya Notaris diawali dengan lahirnya profesi scribae pada jaman Romawi Kuno (abad kedua dan ketiga Sesudah Masehi).18Pada masa itu pula muncul profesi tabellius atau notarius. Pada masa itu, mereka adalah golongan orang yang bertugas mencatat pidato. Istilah Notaris diambil dari nama pengabdiannya, Notaris, yang kemudian menjadi istilah/title bagi golongan orang penulis cepat atau stenographer. Notaris adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia.19 Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan 17 JJJ.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting M. Hisyam UI Press, Jakarta, 1996, hlm. 203. 18 Anke Dwi Saputro, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa Datang, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, hal. 40 19 Notaris, http://id.wikipedia.org/wiki/Notaris, diunduh 10 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
22
hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya dapat memberikan honorarium kepada Notaris dan atas akta yang dikeluarkan masing-masing merasa terlindungi sehingga terjadilah upaya preventif dalam mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan.20 2.
Konsepsi Konsepi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep diartikan pula
sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.21 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian. 22 Pentingnya definisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus dibuat beberapa definisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu :
20
Syamsul Sidharta, Tugas dan Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Akta Otentik, Prenada Media, Jakarta, 2010, hal 13. 21 Sumadi Surya Barata, Metodologi Penelitia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 28 22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984, hal. 133
Universitas Sumatera Utara
23
1.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN No. 30 Tahun 2004 juncto UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
2.
Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN No. 30 Tahun 2004.
3.
Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris.
4.
Majelis Pengawas Daerah Notaris adalah majelis yang melakukan tugas dan kewenangan untuk mengawasi dan memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris dalam kaitannya dengan tugas dan kewenangnanya dalam pembuatan akta otentik.
5.
Kajian Yuridis adalah suatu proses penelitian, penelaahan, pengujian secara lebih mendalam secara hukum mengenai pencabutan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hukum terhadap Notaris atas pengambilan dokumen yang berada dalam penyimpanan protokol Notaris dan pemanggilan Notaris untuk kepentingan pemeriksaan oleh Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim berkaitan dengan adanya
dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya, termasuk
keluarnya UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Universitas Sumatera Utara
24
6.
Mahkamah Konstitusi adalah pengadilan satu-satunya yang berwenang untuk melakukan hak uji materiil atas pemberlakuan Undang-Undang di negara Republik Indonesia. Keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat dan tak dapat dilakukan upaya hukum apa pun.
7.
Prosedur hukum adalah prosedur pengambilan dokumen yang berada dalam penyimpanan protokol Notaris maupun pemanggilan Notaris sebagai saksi maupun tersangka oleh Penyidik, Penuntut Umum, maupun oleh Hakim dalam suatu proses pemeriksaan maupun proses persidangan.
8.
Penyidik adalah pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.
9.
Dugaan pelanggaran hukum adalah suatu dugaan yang disangkakan kepada Notaris berupa pelanggaran hukum di bidang hukum pidana berkaitan akta yang dibuat oleh/atau di hadapan Notaris tersebut.
10.
Pemanggilan Notaris adalah pemberitahuan secara tertulis oleh Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim kepada Notaris dalam rangka melakukan penyelidikan atau penyidikan/pemeriksaan terhadap Notaris tersebut dalam kaitannya dengan dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Notaris tersebut berkaitan dengan tugas jabatannya.
Universitas Sumatera Utara
25
G.
Metode Penelitian
1.
Sifat dan Jenis Penelitian Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah,
sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.23 Jenis penelitian ini adalah penelitian ilmu hukum normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan Perundang-undangan yang berlaku mengenai perjanjian dan bahan hukum lainnya dibidang perikatan. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.24 2.
Sumber Data Data penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum
primer, sekunder maupun tertier yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan kepustakaan yang terdiri dari :
23 24
Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, ANDI, Yogyakarta, 2000, hal. 4 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal 27.
Universitas Sumatera Utara
26
a.
Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum kenotariatan pada umummya dan hukum perlindungan terhadap Notaris pada khususnya. Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah UUJN No. 30 Tahun 2004, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49-PUU/X/2012.
b.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah hukum tentang hukum kenotariatan pada umumnya dan hukum perlindungan terhadap Notaris pada khususnya.
c.
Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, dan lain sebagainya.25
3.
Teknik dan Alat Pengumpulan Data Teknik dan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
penelitian kepustakaan (Library Research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisa data primer, sekunder maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian ini.26
25
Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum dalam Teori dan Praktek, Bumi Intitama Sejahtera, 2010, hal 16. 26 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2011, hal 8.
Universitas Sumatera Utara
27
4.
Analisis Data Analisis data merupakan langkah terakhir dalam suatu kegiatan penulisan.
Analisis data dilakukan secara kualitatif artinya menggunakan data secara bermutu dalam kalimat yang teratur, runtun logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis. Data yang diperoleh melalui pengumpulan data sekunder akan dikumpulkan dan kemudian dianalisis dengan cara kualitatif untuk mendapatkan kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Semua data yang terkumpul diedit, diolah dan disusun secara sistematis untuk selanjutnya disimpulkan dengan menggunakan metode deduktif.27
27
Zainudin Ali, Metode Penelitian Induktif dan Deduktif dalam Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 18.
Universitas Sumatera Utara