BAB I PENDAHULUAN
A . Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata. Muhammad Kusnardi dan Bintan Saragih berpendapat bahwa: “ negara hukum menentukan alat-alat perlengkapan yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan-peraturan itu, adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah: 1. pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia; 2. peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak; 3. legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.” 4 Sebagai bentuk dari perwujudan Indonesia merupakan negara hukum maka di buatlah peraturan perundang-undangan yang salah satu dari perundangundangan tersebut adalah kitab undang-undang hukum acara pidana yang mengatur bagaimana cara beracara dalam hukum pidana. Yang mana menurut buku pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “tujuan hukum acara pidana adalah untuk 4
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal 13.
mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”. 5 Hal tersebut berdasarkan pemikiran bahwa dalam praktek hukum /praktek penegakan hukum ternyata bahwa pejabat penyidik pada saat mulai mengayunkan langkah pertamanya dalam melakukan penyidikan maka secara otomatis dan secara langsung sudah terikat dengan ketentuan-ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Bahkan yang menjadi target penting dalam kegiatan penyidikan adalah upaya mengumpulkan alat-alat pembuktian untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. Demikian pula dalam hal penyidik menentukan seseorang berstatus tersangka, setidak-tidaknya penyidik harus sudah menguasai alat pembuktian yang disebut sebagai bukti permulaan, selanjutnya apabila penyidik sudah melakukan upaya paksa, misalnya penahanan terhadap orang yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana maka tindakan penyidik tersebut paling kurang harus didasarkan pada bukti yang cukup. Jadi meskipun kegiatan upaya pembuktian yang paling penting dan menentukan itu adalah pada tingkat pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, namun upaya pengumpulan sarana pembuktian itu sudah berperan dan 5
hal 15.
Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 1999),
berfungsi pada saat penyidik mulai melakukan tindakan penyidikan. Sehingga apabila pejabat penyidik dalam melakukan penyidikan kurang memahami atau tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan sarana pembuktian maka tindakan penyidik yang dilakukan akan mengalami kegagalan. 6 Jika dilihat dari tujuan hukum acara pidana tersebut diatas, maka yang dicari adalah kebenaran yang materiil. yakni kebenaran yang hakiki atau yang sebenar-benarnya dan terbukti bersalah yang didapat berdasarkan bukti-bukti yang ada dan selengkap-lengkapnya dan bukan dari sekedar kebenaran formil apalagi hanya dengan pengakuan dari tersangka/terdakwa yang tidak didasarkan buktibukti yang lain karena bisa saja yang mengaku tersebut bukan merupakan pelaku yang sebenarnya dan jika dikaitkan dengan skripsi yang disusun oleh penulis tentang peranan polisi sebagai penyidik dalam mencari bukti pada proses penanganan tempat kejadian perkara untuk mencari kebenaran materiil itu harus didapat dari bukti-bukti yang ada pada tempat kejadian perkara yang merupakan tempat terjadinya suatu tindak pidana yang mana dalam hal ini polisi sebagai penyidiklah yang berkewajiban untuk mencari dan menemukan bukti-bukti sehingga menjadi terang tentang suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana. Namun dengan perkembangan kemajuan jaman yang semakin terus berkembang begitu juga dengan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, guna menghilangkan perbuatannya. Tentulah semakin canggih pula tindakan pelaku kejahatan untuk mengaburkan atau menghilangkan benda-benda 6
hal 13-14.
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Pres, 2008),
atau bukti yang digunakan oleh pelaku kejahatan dalam melakukan suatu tindak pidana sehingga pelaku kejahatan dapat terbebas dari jeratan hukum, dari hal demikian maka bagi penyidik untuk mencari dan menemukan apakah telah terjadi suatu tindak pidana pada suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana tersebut diperlukan ketelitian dan kecermatan. Adapun hal yang menarik penulis untuk menulis skripsi tentang peranan penyidik dalam mencari bukti pada proses penanganan tempat kejadian perkara adalah banyaknya selama ini tindakan kejahatan yang sulit untuk diungkapkan sehingga dibutuhkan suatu upaya untuk mengungkapkan tindakan kejahatan tersebut, sehingga bagaimana upaya penyidik untuk mengetahui serta menemukan bukti tersebut dan salah satu upaya dari penyidik adalah dengan cara pengolahan tempat kejadian perkara yang merupakan bagian dari suatu proses penanganan tempat kejadian perkara. Sebagai contoh: telah terjadi suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu pembunuhan, yang mana pada saat kejadian pembunuhan tersebut tidak ada saksi yang melihat, ataupun mendengar kejadian tersebut, dan kejadian tersebut baru diketahui setelah beberapa saat oleh masyarakat dan kemudian masyarakat melaporkan kejadian tersebut kepolisi, sesampainya ditempat kejadian perkara penyidik hanya menemukan korban yang telah menjadi mayat dengan tubuh penuh dengan luka tikaman dan lembam-lembam dengan jejak-jejak kaki yang diduga merupakan jejak kaki dari pelaku. Dengan ketiadaan saksi yang melihat kejadian tersebut tentulah menyulitkan bagi pihak kepolisian untuk segera mencari dan menangkap
pelakunya, sehingga untuk memecahkan peristiwa tersebut, dibutuhkan suatu proses pengolahan tempat kejadian perkara guna mencari dan menemukan buktibukti yang ada kaitannya dengan kejadian tersebut dan merupakan langkah awal dari penyidikan, sehingga dengan adanya bukti tersebut dapat mengarahkan penyidik untuk menyidik kejadian pembunuhan agar menjadi terang sehingga dapat menemukan pelakunya beserta cara dan maksud dari pelaku melakukan pembunuhan tersebut. guna kepentingan penyidikan, yang mana dari hasil buktibukti yang didapat lihat dilapangan, dapat diketahui apakah pembunuhan tersebut merupakan pembunuhan biasa ataupun merupakan pembunuhan yang telah direncanakan sehingga akan menentukan pasal apakah yang nantinya akan dipergunakan oleh penuntut umum dalam menuntut terdakwa. Sehingga dengan dilakukannya penanganan tempat kejadian perkara oleh penyidik diharapkan dapat menentukan suatu peristiwa yang diduga suatu tindak pidana menjadi terang yakni apakah memang benar peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana atau pun bukan merupakan suatu tindak pidana yang mana dapat dibuktikan dari hasil penyidikan yang ditemukan pada waktu proses penanganan tempat kejadian perkara . Dimana sewaktu perkara tersebut telah dilimpahkan kepada pihak kejaksaan, perkara tersebut telah memenuhi bukti yang cukup dan menjadikan bukti yang didapat dari hasil pengolahan tempat kejadian perkara tersebut yang akan menguatkan keyakinan hakim dipersidangan untuk menjatuhkan vonis bersalah kepada terdakwa.sebagai mana yang terdapat didalam pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dan apabila dari hasil penyidikan tersebut tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan kedepan pengadilan. Atas dasar kesimpulan ketidak cukupan bukti inilah penyidik berwenang untuk menghentikan
penyidikan.
Ataupun
apabila
dari
hasil penyidikan dan
pemeriksaan, penyidik berpendapat apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan melanggar dan kejahatan, dalam hal ini berwenang untuk menghentikan penyidikan 7. sebagaimana berdasarkan pasal 109 ayat (2) KUHAP tentang alasan penghentian penyidikan yakni: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,tersangka atau keluarganya”. Dengan melihat begitu pentingnya suatu alat bukti yang nantinya akan menentukan apakah seseorang bersalah atau tidak dihadapan persidangan maka penanganan tempat kejadian perkara sangat dibutuhkan pada suatu tindak pidana agar tidak terjadi kekeliruan atau pun kesalahan dari mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai putusan. 7
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 151.
B. Permasalahan Dari uraian yang telah diuraikan diatas maka timbullah permasalahan yakni sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peranan penyidik dalam melakukan penanganan tempat kejadian perkara? 2. Bagaimanakah proses pencarian bukti yang dilakukan penyidik pada saat penanganan tempat kejadian perkara? 3. Bagaimanakah kendala-kendala yang dihadapi oleh penyidik dalam melakukan penanganan tempat kejadian perkara ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
C.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan yang hendak dicapai didalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui peranan kepolisian di wilayah Percut Sei Tuan dalam melakukan penanganan tempat kejadian perkara terhadap suatu tindak pidana. 2. Untuk mengetahui peraturan-peraturan apa saja yang terkait dengan. dalam menangani tempat kejadian perkara. 3. Untuk mengetahui proses dan kendala-kendala yang dihadapi polisi selaku penyidik dalam mencari bukti didalam mengungkap suatu kejahatan.
C.2 Manfaat penulisan Dengan adanya penulisan skripsi ini, maka diharapkan memberikan manfaat yakni: 1. Secara teoritis untuk
memperkaya
ilmu
pengetahuan,
menambah
dan
melengkapi
perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta menambah kontribusi pemikiran tentang peranan polisi sebagai penyidik dalam mencari bukti dalam penanganan tempat kejadian perkara sehingga menjadi kajian ilmiah bagi para mahasiswa maupun praktisi hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia.
2. Secara praktis a. Sebagai pedoman dan masukan bagi aparat penegak hukum dalam menentukan langkah-langkah dan kebijakan dalam mengungkap suatu peristiwa kejahatan agar dapat menentukan pidana apa, serta berapa ancaman pidana yang akan dijatuhkan bagi pelaku kejahatan. b. Sebagai informasi bagi masyarakat terhadap jalannya proses pencarian bukti dalam menangani suatu tempat kejadian perkara.
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan hasil penelusuran dan studi literature yang dilakukan penulis terhadap data-data dan dokumen di perpustakaan yang berada di Departemen
Hukum Pidana Fakultas Hukum USU dengan judul “ Peranan Polisi Sebagai Penyidik dalam Mencari Bukti Pada Proses Penanganan Tempat Kejadian Perkara” (studi di wilayah hukum Polsek Percut Sei Tuan) belum pernah ditulis oleh orang lain, sehingga skripsi dengan judul “Peranan Polisi dalam Mencari Bukti Pada Proses Penanganan Tempat Kejadian Perkara” (studi di wilayah hukum Polsek Percut Sei Tuan) adalah asli hasil karya penulis. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Polisi kata polisi berasal dari suatu judul buku yang ditulis oleh Plato yakni seorang filsuf yunani kuno. Buku itu berisi tentang teori dasar polis atau negara kota. Yang mana pada jaman itu kelompok-kelompok manusia membentuk himpunan yang merupakan satu kota ( mungkin semacam dusun kecil) kelompok itu membentuk benteng-benteng yang merupakan pagar, pertahanan dari ancaman yang datang dari luar. Dalam kondisi seperti itu, diperlukan kekuatan untuk menegakkan aturan yang disepakati itu agar dipatuhi oleh setiap warga kelompok. Disamping itu juga diperlukan kekuatan untuk mempertahankan diri dari ancaman pihak luar polis.kekuatan ini lah yang kemudian disebut kepolisian dan eksistensinya melahirkan fungsi polisi. 8 Sedangkan kata polisi sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu politeia yang artinya warga kota Athena, lalu pengertiannya berkembang menjadi warga negara dan kemudian berkembang lagi
8
Kunarto, Etika Kepolisian, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1996), hal. 51.
menjadi kota-kota yang merupakan negara yang berdiri sendiri yang disebut juga dengan polis, maka politeia atau polis yakni adalah semua usaha dan kegiatan negara , termasuk juga kegiatan keagamaan 9. Kemudian dari kata politeia itu muncul kata-kata baru seperti “politik” yang dimaksudkan sebagai tata cara mengatur pemerintahan; kata “polisi” yang mengatur penegakan peraturan; kata policy atau kebijakan dan sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata “polisi” 10adalah: a. badan pemerintahan yang bertugas memilihara keamanan dan ketertiban umum( menangkap orang yang melanggar hukum dan sebagainya) b. anggota badan pemerintahan (pegawai negara) yang bertugas menjaga keamanan. Dalam arti modern, polisi adalah suatu pranata umum sipil yang mengatur tata tertib dan hukum. Namun kadang kala pranata ini bersifat militeristik, seperti di Indonesia sebelum polisi lepas dari ABRI sejak tanggal 1 Januari 2001. 11 Pada pasal 5 ayat (1) UU No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian mengatur bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memilihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, 9
Warsito Hadi Utomo , Hukum Kepolisian di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005), hal. 5. 10 Kamus Besar Bahas Indonesia, Penerbit Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 886. 11 Warsito Hadi Utomo, Op.Cit,hal.6.
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpiliharanya keamanan dalam negara. 2. Pengertian Penyidik Istilah penyidik terkadang digabungkan dengan kata-kata lain seperti penyidik umum, penyidik pegawai negeri sipil tertentu, penyidik khusus dan penyidik pembantu. Sehingga kedudukan dan kepangkatan penyidik perlu diselaraskan dan diseimbangkan. Istilah penyidik umum adalah pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia dengan syarat kepangkatan yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah, istilah penyidik pegawai negeri sipil tertentu adalah pegawai negeri sipil sesuai dengan persyaratan tertentu yang telah dididik dengan kualifikasi penyidik yang diberi wewenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang tugas dan fungsinya yang diberikan oleh undang-undang. Istilah penyidik pembantu adalah pejabat pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia berpangkat tertentu dibawah pangkat penyidik umum dan pejabat pegawai negeri sipil di lingkungan polri karena keahlian di bidang tertentu yang diangkat oleh Kapolri. 12 Berdasarkan pasal 1 ayat (1) dan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan Penyidik adalah: a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; 12
H.R. Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat, (Jakarta: Restu Agung , 2006), hal. 717-718.
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pada penulisan skripsi ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia yang mana selain penyidik dalam melakukan penyidikan juga ada penyidik pembantu sebagaimana terdapat pada pasal 1 ayat (3) KUHAP, penyidik pembantu adalah pejabat polisi negara yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undangundang ini dan pasal 10 KUHAP yakni : “penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh kepala kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.” Sedangkan berdasarkan pasal 1 ayat (10) UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik adalah “pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.” Serta penyidik pembantu menurut pasal 1 ayat (12) UU No.2 Tahun 2002 adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat kepala kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang. Adapun syarat kepangkatan dan yang diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan diatur didalam Peraturan
Pemerintah nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yakni: Pasal 2A (1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, calon harus memenuhi persyaratan: a. berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara; b. bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun; c. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal; d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 2B
Dalam hal pada suatu satuan kerja tidak ada Inspektur Dua Polisi yang berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditunjuk dapat menunjuk Inspektur Dua Polisi lain sebagai penyidik. Pasal 2C Dalam hal pada suatu sektor kepolisian tidak ada penyidik yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1), Kepala Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Inspektur Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik. Pasal 3 (1) Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi; b. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal; c. bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun; d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi. (2) Penyidik pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. (3) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari pengertian berdasarkan KUHAP dan Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah jelas apa maksud dengan “penyidik” dan dapat disimpulkan pula bahwa dalam melakukan penyidikan, penyidik dapat dibantu oleh penyidik pembantu, yang dibedakan berdasarkan kepangkatannya sebagai mana yang telah diatur didalam Peraturan Pemerintah nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP adapun tugas dan kewenangannya tetap sama kecuali tentang penahanan sebagai mana disebutkan pada pasal 11 KUHAP yakni penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam pasal 7 ayat (1) kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. 3. Pengertian Bukti Kata “bukti” berarti adalah suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). 13 Secara terminologi dalam hukum pidana bukti adalah hal
13
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2008), hal 92.
yang menunjukkan kebenaran, yang diajukan oleh penuntut umum, atau terdakwa, untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan 14. Kata bukti sering digabungkan dengan istilah/kata lain seperti : alat bukti dan barang bukti. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan
sebagai
bahan
pembuktian
guna
menimbulkan
keyakinan hakim atas adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. 15 Sedangkan barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan, dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian
dalam
penyidikan,
penuntutan
dan
peradilan. 16 Sehingga keduanya dipergunakan pada waktu pembuktian di persidangan, pembuktian adalah suatu proses, cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya siterdakwa dalam sidang pengadilan. 17 Walaupun demikian halnya namun alat bukti lah yang merupakan bukti yang sah yang digunakan didalam persidangan sebagaimana yang telah diatur pada pasal 184 ayat (1) KUHAP yakni: 14
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 27. Hari sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana,(Bandung: Mandar Maju, 2003), hal 11. 16 Ibid., hal 99. 17 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit.,hal 172. 15
a. Keterangan saksi. b. Keterangan ahli. c. Surat. d. Petunjuk. e. Keterangan terdakwa. a. Keterangan saksi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuan itu. Didalam penggolongannya keterangan saksi ini dikelompokkan dalam dua kelompok, yatu kelompok yang secara absolut tidak boleh menjadi saksi dan kelompok yang secara relatif tidak boleh menjadi saksi artinya dengan syaratsyarat tertentu atau konsekwensi tertentu kelompok relatif dapat didengar kesaksiannya. •
Yang tidak dapat menjadi saksi secara absolut diantaranya anak yang belum berumur 15 tahun dan belum pernah kawin, orang yang sakit jiwa atau kurang ingatan meskipun kadangkadang ingatannya baik.
•
Yang tidak dapat menjadi saksi secara relatif diatur dalam pasal 168 KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampi derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, ibu atau bapak dan juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga. c. suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercarai (pasal 169 KUHAP). •
Disampin tidak cakap secara absolut maupun relatif juga terdapat pihak-pihak yang karena jabatan, pekerjaan, harkat dapat meminta dibebaskan sebagai saksi terhadap hal-hal yang dipercayakan kepada mereka dan hakim lah yang memutus sah atau tidaknya alasan tersebut (pasal 170 ayat (1) dan (2) KUHAP. 18
Dalam memberikan kesaksian,pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak. Dan bagaiman cara mengucapkan sumpah yang diucapkan dari seorang saksi dapat dilihat dalam ketentuan pasal 160 ayat (3) KUHAP yakni “sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya”. 19 b. Keterangan ahli 18
Waluyadi.,Op. Cit.,hal 101. Hendrastanto Yudowidagdo dkk, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal 245. 19
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (pasal 1 ke 28 KUHAP), tidak semua keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti, melainkan yang dapat memenuhi syarat-syarat kesaksian adalah yang diberikan dimuka persidangan (pasal 186 KUHAP). c. Surat Pasal 187 KUHAP menyebutkan surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c dibuat atas sumpah jabatan atau dikutipkan dengan sumpah, adalah : a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan; c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dari isi alat pembuktian yang lain.
d. Petunjuk Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik anatara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana siapa pelakunya (pasal 188 ayat (2) KUHAP ) petunjuk sebagaimana tersebut dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh : a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Penulisan atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nurani (pasal 188 ayat (3) KUHAP) e. Keterangan terdakwa Pasal 189 KUHAP menegaskan : 1. keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. 2. keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. 3. keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 4. keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. 20 Adapun barang bukti dapat juga diajukan kedalam persidangan namun
hanya berfungsi sebagai menguatkan keyakinan hakim
terhadap benarnya telah terjadi suatu tindak pidana dan dalam memutuskan perkara yang sedang ditanganinya. Barang bukti bisa berupa alat atau pun senjata yang dipergunakan pelaku kejahatan, jejak yang ditinggalkan pelaku dan sebagainya. 4. Pengertian Penanganan Tempat Kejadian Perkara Pengertian tempat kejadian perkara didalam petunjuk lapangan No. Pol: Skep/1205/IX/2000 tentang Penanganan Tempat Kejadian Perkara terbagi menjadi 2 (dua) yakni: a. tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/ terjadi atau akibat yang ditimbulkannya.
20
Ibid., hal 110.
b. Tempat-tempat lain yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dimana barang-barang bukti,tersangka atau korban dapat ditemukan. 21 Adapun pengertian dari penanganan tempat kejadian perkara adalah tindakan penyelidik atau penyidik atau penyidik pembantu berupa tindakan kepolisian yang dilakukan di TKP terdiri dari: 1. tindakan pertama di tempat kejadian perkara, yaitu tindakan penyidik/penyidik pembantu TKP untuk: a. mengamankan tempat kejadian perkara serta dapat melarang setiap orang meninggalkan tempat
selama
pemeriksaan
di tempat
kejadian perkara selesai; b. mempertahankan status quo dan berusaha untuk tetap mempertahankan situasi/keadaan tempat kejadian perkara sebagaimana pada saat pertama TKP ditemukan dan ditangani; c. melakukan
pertolongan/perlindungan
terhadap korban atau anggota masyarakat yang memerlukan pertolongan. 2. pengolahan tindakan
tempat
kejadian
penyidik/penyidik
perkara
adalah
pembantu
untuk
memasuki tempat kejadian perkara dalam rangka 21
Surat Keputusan Kapolri No Pol: Skep/1205/IX/2000 Tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana, Jakarta, 2000,hal.80.
melakukan pemeriksaan TKP mencari informasi tentang
terjadinya
tindak
pidana
mengumpulkan/mengambil/membawa
barang-
barang bukti yang diduga ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi untuk diambil alih penguasaannya atau menyimpan barang bukti tersebut guna kepentingan pembuktian. 22
F. Metode Penelitian Penelitian adalah terjemahan dari kata Inggris, research. Ada ahli yang mengindonesiakan research menjadi riset. Kata research berasal dari kata re, yang berarti “kembali” dan to search yang berarti “mencari” . dengan demikian, arti sebenarnya dari reserach adalah “mencari kembali” Sehingga menurut kamus webster’s New International, research (penelitian) adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsipprinsip; suatu penyelidikan yang amat cermat untuk menetapkan sesuatu.23 Sehingga metode penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian empiris. Metode penelitian 22
Ibid,.hal.81. Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal 7. 23
hukum normatif dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas oleh penulis, penelitian hukum empiris dilakukan dengan cara meninjau secara langsung kelapangan terhadap objek yang diteliti.
2. Jenis Data Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari: a. Bahan Hukum Primer yaitu semua dokumen yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang , yakni berupa undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya. b. Bahan Hukum Sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang peranan polisi dalam mencari bukti pada proses pemeriksaan tempat kejadian perkara seperti
buku-buku yang terkait dan beberapa sumber dari situs
internet yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini. c. Bahan Hukum Tersier Semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain. Sedangkan data primer diperoleh dari penelitian lapangan dengan melakukan wawancara.
3. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan Skripsi ini diperlukan metode pengumpulan data sebagai berikut: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan, yang berasal dari bukubuku, makalah-makalah, situs internet maupun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan judul skripsi ini. b. Penelitian Lapangan (Field Research) Yaitu dengan melakukan penelitian langsung kelapangan, dalam hal ini penulis langsung mengadakan penelitian ke Polsek Percut Sei Tuan dengan teknik wawancara dengan Kapolsek Percut Sei Tuan AKP M. Simanjuntak, SH, MH, Kanit Serse IPTU Anthoni Simamora, SH dan Penyidik Pembantu Brigadir Hamzar Naudi, SH. MH. 4. Analisis Data Data sekunder dan data primer yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan skripsi ini, yaitu dengan apa yang diperoleh dari penelitian dilapangan yang kemudian dipelajari secara utuh dan menyeluruh untuk memperoleh jawaban permasalahan dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan Penulisan ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu:
1. BAB I PENDAHULAN
Dalam pendahuluan ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penulisan.
2. BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA Dalam bab peranan polisi sebagai penyidik dalam melakukan penanganan tempat kejadian perkara akan dibahas mengenai dasar hukum yang berkaiatan dengan peranan polisi untuk melakukan penanganan tempat kejadian perkara,penanganan
tempat kejadian perkara sebagai
bagian dari tahap penyidikan, peranan polisi dalam penyidikan.
3. BAB III PROSES PENCARIAN BUKTI YANG DILAKUKAN PENYIDIK PADA SAAT PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA Dalam bab proses pencarian bukti yang dilakukan penyidik pada saat penanganan tempat kejadian perkara yang meliputi jenis dari tindak pidana yang memerlukan penanganan tempat kejadian perkara, tata cara penanganan tempat kejadian perkara, kewajiban-kewajiban yang dilakukan penyidik pada saat proses penanganan tempat kejadian perkara, pihakpihak yang dapat dimintakan bantuan oleh penyidik dalam pengolahan tempat kejadian perkara, serta bukti yang dapat diambil pada saat proses penanganan tempat kejadian perkara dari hasil wawancara terhadap pihak
kepolisian yang menangani proses pencarian bukti di tempat kejadian perkara.
4. BAB
IV
PENYIDIK
KENDALA-KENDALA DALAM
YANG
PENCARIAN
DIHADAPI
BUKTI
PADA
OLEH SAAT
PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA Dalam bab ini akan membahas kendala-kendala yang dihadapi penyidik dalam pencarian bukti pada saat penanganan tempat kejadian perkara yang mana dapat berupa kendala dari luar kepolisian dan kendala yang terdapat didalam kepolisian sendiri yang didapat dari hasil wawancara terhadap pihak kepolisian yang menangani proses pencarian bukti di tempat kejadian perkara.
5. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini akan diberikan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penulisan skripsi ini dan dari hasil studi lapangan di wilayah hukum Polsek Percut Sei Tuan. Kesimpulan ini diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang telah diteliti, selain itu didalam bab ini juga akan diberikan saran-saran yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan ataupun paling tidak mengurangi kekurangankekurangan yang terjadi didalam peranan polisi dalam mencari bukti pada proses penanganan tempat kejadian perkara.