BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi merupakan proses yang mendorong umat manusia untuk beranjak dari cara hidup dengan wawasan nasional semata-mata ke arah cara hidup dengan wawasan global. Dalam hal ini dunia dipandang sebagai suatu sistem yang utuh, bukan sekedar sebagai kumpulan dari keping-keping geografis yang bernama ‘negara’ atau ‘bangsa’. Dalam situasi kehidupan yang bersifat global ini gejala-gejala serta masalah tertentu hanya dapat dipahami dan diselesaikan dengan baik apabila diletakkan dalam kerangka yang bersifat global, bukan dalam kerangka lokal, nasional ataupun regional.1 Konsep ‘era golabilasi’ berarti suatu kurun waktu atau zaman yang ditandai oleh munculnya berbagai gejala serta masalah yang menuntut umat manusia dituntut untuk menggantikan pola-pola persepsi dan pola-pola berpikir tertentu, dari pola-pola yang bersifat nasional semata-mata ke pola-pola yang bercakupan global. Dalam era seperti ini hal-hal tertentu yang terjadi dalam kehidupan kita dapat memperoleh arti yang menembus batas-batas fisik dari tempat kejadian semula. Dalam zaman seperti ini suatu peristiwa lokal atau nasional dapat mencuat menjadi peristiwa global. Tanpa kita kehendaki, peristiwa tertentu dapat menarik perhatian dunia luas dan menjadi peristiwa penting yang dipandang menyangkut kepentingan masyarakat dunia.2 1
www.scribd.com dalam artikel Endang Komara, Peran Pendidikan Budi Pekerti Dalam Menghadapi Era Globalisasi di telusuri tgl 4 November 2009. 2 Ibid.
1
Konsekuensi dari kenyataan ini ialah bahwa kita harus mengenal masyarakat dunia dengan cukup baik, kalau kita tidak ingin ditinggalkan serta dirugikan oleh bangsa lain. Dalam usaha kita untuk mempertahankan eksistensi kita sebagai bangsa serta meningkatkan martabat kita dalam pergaulan antar bangsa, kita harus memiliki wawasan global yang jelas. Tanpa wawasan global, tanpa pemahaman kecenderungan global yang sedang terjadi, secara berangsur-angsur kita akan menjadi suatu bangsa yang makin lama tidak berarti. Situasi seperti ini, salah satu pertanyaan pokok yang kita hadapi dalam bidang pendidikan ialah mampu-tidaknya sekolah, khususnya peran guru dalam memberikan pengertian kepada siswa tentang pendidikan budi pekerti yang membuat mereka memahami dunia dengan baik. Dampak negatif dari globalisasi, khususnya di Indonesia antara lain maraknya perilaku menyimpang atau amoral – asusila, seperti perkelahian murid, tawuran antar pelajar, penyalahgunaan narkoba, penyebaran HIV-AIDS di kalangan remaja, dan pelanggaran tata tertib atau norma, maka diperlukan upaya pencegahan dan pembinaannya. Salah satu pihak yang bertanggung jawab dan berperan untuk menanggkal atau mencegah makin merebaknya perilaku amoral peserta didik adalah peran guru dan upaya untuk mencegahnya diperlukan pendidikan budi pekerti yang menanamkan nilai-nilai moral pada peseta didik. Selama ini pendidikan budi pekerti dilaksanakan secara terintegrasi untutk pembentukan watak kepribadian peserta didik secara utuh dapat tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, kerja dan hasil karya yang baik.
2
Pada dasarnya, dalam tataran implementasi dan realisasi pendidikan budi pekerti perlu diwujudkan dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah secara terpadu. Karena itu, pelaksanaan pendidikan budi pekerti di sekolah perlu didukung oleh keluarga dan masyarakat. Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal perlu mengambil peran dalam pengembangan sisi afektif peserta didik. Mata pelajaran Pendidikan kewarganegaraan dan budi pekerti merupakan ranah afektif, yaitu pendidikan sikap dan perilaku yang merupakan bagian integral dari lingkungan masyarakat dan negara. Dalam Taxonomy Bloom, yang dikutip oleh Nurul Zuriah dikatakan bahwa pendidkan budi pekerti menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional), dan ranah skill/psikomotorik (keterampilan, terampil, mengolah data, mengemukakan pendapat dan kerjasama).3 Dengan kata lain, dalam pelaksaan pendidikan budi pekerti, sekolah perlu lebih menekankan pada pembinaan perilaku peserta didik karena budi pekerti pada dasarnya bukan penguasaan pengetahuan atau penguasaan kognitif semata. Sampai saat ini pembelajaran budi pekerti yang bercirikan aspek afektif dirasa kurang efektif. Keberadaan guru bagi suatu bangsa amat penting, apalagi bagi suatu bangsa yang sedang membangun. Terlebih lagi, bagi keberlangsungan hidup bangsa ditengah-tengah lintasan perjalanan zaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala perubahan serta pergeseran nilai-nilai luhur cenderung terjadi pada setiap bangsa yang sedang berkembang.
3
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Persfektif Perubahan, (Jakarta: Pt Bumi Aksara, 2007), hal 18.
3
Guru adalah salah satu elemen penting yang turut menentukan tinggi rendahnya kualifikasi siswa dari suatu lembaga pendidikan. Sedangkan tercapainya kualifikasi siswa yang tinggi dipengaruhi oleh sejauh mana para guru dapat melakukan perannya. Dalam kenyataannya, peran guru dalam mendidik para siswa seperti mengajarkan berbagai pelajaran, memberi nasehat agar para siswa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama, sosial, dan moral. Guru berusaha mendidik dan mengajar siswa untuk mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, khususnya lebih ditekankan pada aspek afektif dalam pendidikan budi pekerti agar moralitas siswa tumbuh dengan baik. Melaksanakan tugas dan tanggung jawab profesi guru yang memegang peranan sangat penting. Sebagaimana yang diutarakan William Burton, ”Teaching is the guidance of learning activities, teaching is for purpose of aiding the pupil to learn”. (Mengajar adalah membimbing kegiatan belajar, mengajar bertujuan untuk menolong siswa untuk belajar).4 Interaksi antara guru dengan siswa akan terjadi di dalam proses pembelajaran, tetapi belajar mengajar itu sendiri adalah fungsi yang berbeda. Menurut Gordon, perbedaan antara keduanya adalah mengajar dilakukan oleh seorang guru sedangkan proses belajar berlangsung di dalamnya.5 Dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), pendidikan budi pekerti perlu lebih ditekankan dan diutamakan, karena melalui budi pekertilah seseorang secara individu terbentuk. Secara kependidikan, pendidikan budi pekerti tidak hanya sebagai substansi yang semata-mata diajarkan di kelas, tetapi juga diperlakukan sebagai interaksi sosial budaya dan edukatif antara siswa dengan seluruh unsur pendidikan yang
4 5
Moh Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1991), hal 16. Thomas Gordon, Guru yang Efektif, (Penyadur: Modjito), (Jakarta: CV Rajawali, 1984), hal 3.
4
ada di sekolah dan di luar sekolah/masyarakat. Dengan demikian diharapkan tumbuh satu situasi yang memungkinkan berkembang dan terwujudnya individu yang berakhlak mulia. Dengan demikian, perkembangan budi pekerti merupakan aneka ragam pengalaman peran berdasarkan situasi tertentu sehingga siswa mampu mengatasi masalah budi pekerti atas prakarsanya sendiri secara bebas (tanpa diawasi orang lain) dan memilih objek budi pekerti yang penting dan berguna bagi dirinya. Inilah yang mendasari prinsip bahwa lembaga pendidikan atau sekolah dapat memberikan sumbangan yang matang tentang budi pekerti dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melaksanakan peran budi pekertinya sehingga mampu memerankan budi pekerti itu dalam kehidupan masyarakat. Pemahaman ini diperlukan guru pendidikan kewarganegaraan untuk bersikap kritis terhadap pernyataan bahwa pendidikan budi pekerti tidak sekedar menambahnambah unsur jumlah watak atau tabiat, melainkan memberikan arahan kembali kepada siswa yang lebih benar. Watak siswa harus diselaraskan dan diarahkan kepada tujuan yang lebih layak bagi dirinya berdasarkan norma-norma yang ada dalam masyarakat untuk diterapkan dalam hidup sehingga menjadi kebiasaan sehari-hari. Mewujudkan kemajuan yang harmonis dan keharmonisan yang maju, selaras dengan tuntunan dan tuntutan globalisasi, pendidik perlu selalu continous learning to keep up to date and always expending horizon, to be good teacher with well informated and well dedicated in the new era millennium.6 6
Dikutip dari Artikel Implementasi Paradigma Baru Kurikulum PKn dan Budi Pekerti Dalam Proses Belajar Mengajar, Mohammad Iskak, Suara Guru No. 6/2001, hal 11.
5
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka permasalahan dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Apakah
muatan
pelajaran
pendidikan
kewarganegaraan
sejalan
dengan
pendidikan budi pekerti di era globalisasi? 2. Bagaimana
pemahaman
siswa
terhadap
nilai-nilai
budi
pekerti
dalam
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan? 3. Bagaimana peran guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam membina budi pekerti siswa di era globalisasi? C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi permasalahan kepada ”Peran Guru PKn dalam membina Budi Pekerti siswa di Era Globalisasi”. Dalam kaitannya ini, adalah bagaimana pendidik membina dan menanamkan pemahaman nilainilai yang berkaitan dengan budi pekerti. Sehingga dalam proses ini terdapat proses atau cara untuk melakukan, menyampaikan nilai-nilai, prinsip yang ideal sesuai dengan nilainilai hakekat budi pekerti agar tidak tergerus/hilang seiring perubahan zaman.
D. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah, ”Bagaimana peran guru Pkn dalam membina budi pekerti siswa di era globalisasi ?”
6
E. Kegunaan Penulisan 1. Bagi Penulis Penulisan ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan khususnya bagi
penulis
yang
diarahkan
menjadi
guru
bidang
studi
pendidikan
kewarganegaraan kelak. Untuk dapat membina dan menjaga nilai-nilai budi pekerti pada siswa di era globalisasi, baik dalam sudut pandang pendidikan maupun etika dan moral. 2. Bagi Siswa Agar siswa mengetahui seberapa penting nilai-nilai budi pekerti itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat mengatur sifat, pola pikir dan tingkah laku siswa dari pengaruh kemajuan zaman. 3. Bagi Masyarakat Sebagai bahan informasi dan referensi untuk menambah wawasan masyarakat agar dapat menjaga dan menerapkan nilai-nilai budi pekerti luhur dalam kehidupan sehari-hari di tengah kemajuan zaman.
BAB II PEMBAHASAN
7
A. Hakikat Peran Guru Dalam Membina Budi Pekerti Dalam kehidupan sosial nyata, membawakan peran berarti menduduki suatu posisi dalam masyarakat.7 Dalam hal ini seorang individu juga harus patuh pada skenario, yang berupa norma sosial, tuntutan sosial dan kaidah-kaidah. Peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan.8 Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku. Peran yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan masyarakat Peran guru tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang diluar bidang kependidikan. Jabatan guru memiliki banyak tugas, baik yang terkait oleh dinas maupun diluar dinas, dalam bentuk pengabdian. Penting bagi guru dalam menjalankan tugasnya, untuk mengetahui peran yang akan dilakukannya dalam kegiatan pembelajaran di kelas, untuk meningkatkan efektifitas kerjanya. Peran dan fungsi guru berpengaruh terhadap fungsi dan pendidikan di sekolah. Di antara peran dan fungsi guru tersebut adalah sebagai berikut. 9 a. Sebagai pendidik dan pengajar; bahwa setiap guru harus memiliki kestabilan emosi, ingin memajukan peserta didik, bersikap realistis, jujur dan terbuka, serta peka terhadap perkembangan, terutama inovasi pendidikan. Untuk mencapai semua itu, guru harus memiliki pengetahuan yang luas, menguasai berbagai jenis bahan pembelajaran, menguasai teori dan praktek pendidikan, serta menguasai kurikulum dan metodologi pembelajaran.
7
Edy Suhardono, Teori Peran: konsep, derivasi dan implikasinya, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), hal 7. 8 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1998), hal 268. 9 E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2007), hal 19.
8
b. Sebagai anggota masyarakat; bahwa setiap guru harus pandai bergaul dengan masyarakat. Untuk itu, harus menguasai psikologi sosial, memiliki pengetahuan tentang hubungan antar manusia, memiliki keterampilan membina kelompok, keterampilan bekerjasama dalam kelompok, dan menyelesaikan tugas bersama dalam kelompok. c. Sebagai pemimpin; bahwa setiap guru adalah pemimpin, yang harus memiliki kepribadian, menguasai ilmu kepemimpinan, prinsisp hubungan antar manusia, teknik berkomunikasi, serta menguasai berbagai aspek kegiatan organisasi sekolah. d. Sebagai administrator; bahwa setiap guru akan dihadapkan pada berbagai tugas administrasi yang harus dikerjakan di sekolah, sehingga harus memiliki pribadi yang jujur, teliti, rajin, serta memahami strategi dan manajemen pendidikan. e. Sebagai pengelola pembelajaran; bahwa setiap guru harus mampu dan menguasai berbagai metode pembelajaran dan memahami situasi pembelajaran di dalam maupun luar kelas. Gary dan Margareth mengemukakan bahwa guru yang efektif dan kompoten secara profesional memiliki karakteristik sebagai berikut:10 (1) memiliki kemampuan menciptakan iklim belajar yang kondusif, (2) kemampuan mengembangkan strategi dan manajemen pembelajaran, (3) memiliki kemampuan memberikan umpan balik (feedback) dan penguatan (reinforcement), dan (4) memiliki kemampuan untuk peningkatan diri. Kemampuan menciptakan iklim belajar yang kondusif; antara lain: kemampuan interpersonal untuk menunjukkan empati dan penghargaan kepada peserta didik, hubungan baik dengan peserta didik, menerima dan memperhatikan peserta didik dengan 10
Ibid, hal 21.
9
tulus, menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam mengajar, menciptakan iklim untuk tumbuhnya kerjasama, melibatkan peserta didik dalam mengorganisasikan dan merencanakan pembelajaran, mendengarkan dan menghargai hak peserta didik untuk berbicara dalam setiap diskusi, dan meminimalkan bahkan mengeliminasi setiap permasalahan yang sering terjadi dalam pembelajaran.11 Kemampuan mengembangkan strategi dan manajemen pembelajaran; berkaitan dengan kemampuan untuk menghadapi dan menangani peserta didik yang bermasalah, suka menyela, mengalihkan pembicaraan, dan mampu memberikan transisi substansi bahan ajar dalam pembelajaran; serta kemampuan bertanya yang memerlukan tingkat berpikir yang berbeda untuk semua peserta didik.12 Kemampuan memberikan umpan balik (feedback); dan penguatan (reinforcement) antara lain: memberikan umpan balik yang positif terhadap respon peserta didik, memberikan respon yang sifatnya membantu terhadap peserta didik yang lamban belajar, memberikan tindak lanjut terhadap jawaban peserta didik yang kurang memuaskan dan kemampuan memberikan bantuan profesional kepada peserta didik jika diperlukan.13 Kemampuan untuk peningkatan diri; antara lain: menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif, memperluas dan menambah pengetahuan tentang metode pembelajaran, memanfaatkan kelompok untuk menciptakan dan mengembangkan metode pengajaran yang relevan. 14 Pendidik sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran pendidik sebagai fasilitator, motivator, pemacu, maupun pemberi inspirasi.15 Dalam uraian ini 11
Ibid, hal 21 Ibid, hal 22 13 Ibid, hal 22 14 Ibid, hal 22 15 Ibid, hal 53. 12
10
peran guru sebagai agen pembelajaran dibahas secara terpisah-pisah, namun dalam pelaksanaan pembelajaran peran-peran tersebut saling berhubungan satu sama lain untuk membentuk kompetensi dan pribadi peserta didik. Guru sebagai fasilitator menurut Peter F. Oliver, ia menyediakan berbagai lingkungan atau situasi untuk belajar, melengkapi berbagai sumber yang dapat membantu siswa untuk belajar.16 Sebagai fasilitator, guru hendaknya mampu mengusahakan, menyediakan atau menganjurkan sumber belajar kepada siswa yang kiranya berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses pembelajaran. Sumber belajar dapat berupa narasumber, buku teks, majalah, atau surat kabar. Dengan beragamnya sumber belajar, siswa dapat berkembang lebih baik dan memiliki pengetahuan yang luas. Lebih lagi dapat meningkatkan daya kritis dan kreatifitas siswa, karena siswa memiliki banyak alternatif bila dihadapkan kepada masalah-masalah. Tugas guru tidak hanya menyampaikan informasi kepada peserta didik, tetapi harus menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar (facilitate of learning) kepada seluruh peserta didik, agar mereka dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan, gembira, penuh semangat, tidak cemas, dan berani mengemukakan pendapat secara terbuka. Hal tersebut merupakan modal dasar bagi peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang siap beradaptasi, menghadapi berbagai kemungkinan, dan memasuki era globalisasi yang penuh berbagai tantangan. Guru sebagai fasilitator setidaknya harus memiliki tujuh sikap seperti yang diidentifiksikan Rogers (dalam Knowles) berikut ini.17
16
Dikutip dari buku Piet A. Sahertian, Ida Aleida Sahertian, Supervisi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) 17 Op. Cit, hal 55.
11
1. tidak berlebihan mempertahankan pendapat dan keyakinannya, atau kurang terbuka; 2. dapat lebih mendengarkan peserta didik, terutama tentang aspirasi dan perasaannya; 3. mau dan mampu menerima ide peserta didik yang inovatif dan kreatif, bahkan yang sulit sekalipun; 4. lebih meningkatkan perhatiannya terhadap hubungan dengan peserta didik seperti halnya terhadap bahan pembelajaran; 5. dapat menerima balikan (feedback), baik yang sifatnya positif maupun negatif, dan menerimanya sebagai pandangan yang konstruktif terhadap diri dan perilakunya; 6. toleransi terhadap kesalahan yang dibuat peserta didik selama proses pembelajaran; dan 7. menghargai prestasi peserta didik, meskipun biasanya mereka sudah tahu prestasi yang dicapainya. Sebagai fasilitator proses belajar mengajar, atau pembelajaran guru memainkan perannya dengan memberikan fasilitas, bantuan dan kesempatan, yang memungkinkan siswanya untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kemampuan dasar dan keunikannya masing-masing serta agar siswanya dapat belajar lebih aktif, lebih mudah, dan lebih efektif. Singkatnya, guru itu harus siap menjadi fasilitator yang demokratis profesional, karena dalam kondisi perkembangan informasi, teknologi, dan globalisasi yang begitu cepat, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam hal tertentu peserta didik lebih pandai
12
atau lebih tahu dari guru. Mungkin mereka memiliki berbagai media, seperti internet, ketika guru belum menggunakan atau memiliki fasilitas tersebut. Kondisi ini menuntut guru untuk senantiasa belajar meningkatkan kemampuan, siap dan mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk belajar dari peserta didiknya. Motivasi merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, karena peserta didik akan belajar dengan sungguh-sungguh apabila memiliki motivasi yang tinggi. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, guru harus mampu membangkitkan motivasi belajar peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran. Callahan dan Clark mengemukakan bahwa motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tetentu.18 Sebagai motivator, guru harus mampu membangkitkan motivasi belajar pesrta didik dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut. •
Peserta didik akan bekerja keras kalau memiliki minat dan perhatian terhadap pekerjaannya;
•
Memberi tugas yang jelas dan dapat dimengerti;
•
Memberikan penghargaan terhadap hasil kerja dan prestasi peserta didik;
•
Memberikan penilaian dengan adil dan transparan. Sebagai pemacu belajar, guru harus mampu melipatgandakan potensi peserta
didik, dan mengembangkannya sesuai dengan aspirasi dan cita-cita mereka di masa yang akan datang. Hal ini penting, karena guru memiliki andil yang sangat besar terhadap
18
Ibid, hal 58.
13
pembelajaran di sekolah, guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Guru juga harus berpacu dalam pembelajaran, dengan memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik, agar mampu mengembangkan potensinya secara optimal. Dalam hal ini, guru harus kreatif, profesional, dan menyenangkan, demgan memposisikan diri sebagai berikut.19 1. Orang tua yang penuh kasih sayang pada peserta didiknya. 2. Teman, tempat mengadu, dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik. 3. Fasilitator yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat, kemampuan, dan bakatnya. 4. Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya. 5. Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab. 6. Membiasakan peserta didik untuk saling berhubungan (bersilaturahmi) dengan orang lain secara wajar. 7. Mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antar peserta didik, orang lain, dan lingkungannya.; 8. Mengembangkan kretifitas. 9. Membantu peserta didik ketika diperlukan. Untuk memenuhi tuntutan di atas, guru harus mampu memaknai pembelajaran, serta menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik. Kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai 19
Ibid, hal 64.
14
faktor, seperti motivasi, kematangan, hubungannya peserta didik dengan guru, kemampuan verbak, tingkat kebebasan, rasa aman, dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Jika faktor-faktor di atas dipenuhi, maka melalui pembelajaran peserta didik dapat belajar dengan baik. Sebagai pemberi inspirasi belajar, guru harus mampu memerankan diri dan memberikan inspirasi bagi peserta didik, sehingga kegiatan belajar dan pembelajaran dapat membangkitkan berbagai pemikiran, gagasan, dan ide-ide baru. Semua itu merupakan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran, yang harus mewarnai keterampilan berpikir (thinking skill), dan keterampilan mengajar (teaching skill) guru.20 Peran guru tidaklah terbatas di dalam lingkungan sekolah saja, bahkan guru pada hakikatnya merupakan komponen strategis yang memiliki peran yang penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa. Bahkan keberadaan guru merupakan faktor yang dominan dalam regenerasi yang tidak mungkin digantikan oleh komponen manapun dalam kehidupan berbangsa sejak dulu. Keberadaan guru bagi suatu bangsa amatlah penting,
apalagi
bagi
bangsa
yang
sedang
membangun,
terlebih-lebih
bagi
keberlangsungan hidup bangsa. Guru dalam mengajarkan keterbukaan kepada siswanya harus bersikap terbuka dan dapat menerima gagasan-gagasan dari semua siswa. Menerima disini maksudnya berusaha memahami dan terbuka. Guru juga berusaha menciptakan kondisi belajar yang efektif, sehingga dapat dicapai tujuan-tujuan pendidikannya. Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai
20
Ibid, hal 69.
15
dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama.21 Menurut Jarolimek, yang dikutip oleh Nuruh Zuriah untuk menghindari kerancuan pendidikan budi pekerti dengan jenis pendidikan afektif, pendidikan nilai, pendidikan moral, dan pendidikan karakter maka perlu dikemukakan pengertian masingmasing sebagai berikut.22 a. Pendidikan afektif Pendidikan ini berusaha mengembangkan aspek emosi atau perasaan yang umumnya terdapat dalam pendidikan humaniora dan seni, namun juga dihubungkan dengan sistem nilai-nilai hidup, sikap, dan keyakinan untuk mengembangkan moral dan watak seseorang. b. Pendidikan Nilai-Nilai Pengembangan pribadi siswa tentang pola keyakinan yang terdapat dalam sistem keyakinan suatu masyarakat tentang hal baik yang harus dilakukan dan hal buruk yang harus dihindari. Dalam nilai-nilai ini terdapat pembakuan tentang hal baik dan hal buruk serta pengaturan perilaku. Nilai-nilai hidup dalam masyarakat sangat banyak jumlahnya sehingga pendidikan berusaha membantu untuk mengenali, memilih, dan menetapkan nilai-nilai tertentu sehingga dapat digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan untuk berperilaku secara konsisten dan menjadi kebiasaan dalam hidup bermasyarakat. c. Pendidikan Moral
21
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Persfektif Perubahan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), hal 18. 22
Ibid, hal 19.
16
Berusaha untuk mengembangkan pola perilaku seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Kehendak ini berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilainilai dan kehidupan yang berada dalam masyarakat. Karena menyangkut dua aspek inilah , yaitu (a) nilai-nilai, dan (b) kehidupan nyata, maka pendidikan moral lebih banyak membahas masalah dilema yang berguna untuk mengambil keputusan moral yang terbaik bagi diri dan masyarakatnya. d. Pendidikan Karakter Sering disamakan dengan pendidikan budi pekerti. Seseorang dapat dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. e. Pendidikan Budi Pekerti Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati niai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam kehidupannya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill/psikomotorik (keterampilan, terampil, mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerja sama). Sementara itu, pengertian pendidikan budi pekerti menurut draft kurikulum berbasis kompetensi dapat ditinjau secara konsepsional dan operasional.23 a. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti secara Konsepsional Pendidikan budi pekerti secara konsepsional mencakup hal-hal sebagai berikut.
23
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Persfektif Perubahan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), hal 20.
17
1) Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang. 2) Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perilaku pesrta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugastugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang (lahir, batin, material – spiritual, dan individual sosial). 3) Upaya pendidikan untuk membantu peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran dan latihan serta keteladanan. b. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti secara Operasional Pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya untuk membekali peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesiusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan sesama makhluk. Dengan demikian, terbentuklah pribadi seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, kerja dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa. Ruang lingkup materi budi pekerti menurut Milan Rianto, secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga hal nilai akhlak yaitu sebagai berikut.24 1. Akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa 2. Akhlak terhadap sesama manusia 24
Ibid, hal 27.
18
3. Akhlak terhadap lingkungan Penekanan pendidikan budi pekerti dan pengetahuan di sekolah harus diseimbangkan. Pengertian keseimbangan di sini lebih menekankan pada kebutuhan dan aspek perkembangan manusia. Untuk membantu melihat hal tersebur kiranya perlu dilihat perkembangan kognitif, dan perkembangan moral. Dengan melihat tahapantahapan perkenbangan moral dan perkembangan kognitif, bisa dilihat keseinbangan penekanan pendidikan budi pekerti dan pengetahuan. Pendidikan dasar harus ditekankan dan diprioritaskan pada penanaman nilai dibandingkan dengan pengajaran. Nilai-nilai dasar terhadap penghargaan terhadap orang lain, religiusitas, sosialitas, gender, keadilan, demokrasi, kejujuran, kemandirian, daya juang, tanggung jawab, penghargaan terhadap lingkungan, harus diberikan sesuai tingkat pemahaman siswa. Budi
pekerti
adalah
nilai-nilai
hidup
manusia
yang
sungguh-sungguh
dilaksanakan bukan karena kebiasaan, tetapi berdasar pemahaman dan kesadaran diri untuk menjadi baik. Nilai-nilai yang disadari dan dilaksanakan sebagai budi pekerti hanya dapat diperoleh melalui proses yang berjalan sepanjang hidup manusia. Budi pekerti didapat melalui proses internalisasi dari apa yang ia ketahui, yang membutuhkan waktu sehingga terbentuklah pekerti yang baik dalam kehidupan umat manusia. Menurut Cahyoto, kegunaan pendidikan budi pekerti bagi siswa antara lain sebagai berikut:25 1. Siswa memahami susunan pendidikan budi pekerti dalam lingkup etika bagi pengembangan dirinya dalam bidang ilmu pengetahuan.
25
Cahyoto, Budi Pekerti dalam Persfektif Pendidikan, ( Malang: Depdiknas-Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah-Pusat Penataran Guru IPS dan PMP Malang, 2001) hal 13.
19
2. Siswa memiliki landasan budi pekerti luhur bagi pola perilaku sehari-hari yang didasari hak dan kewajiban sebagai warga negara. 3. Siswa dapat mencari dan memperoleh informasi tentang budi pekerti, mengolahnya dan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah nyata di masyarakat. 4. Siswa dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain untuk mengembangkan nilai moral. Berkaitan dengan tugas dan peran guru dalam pendidikan budi pekerti maka guru dalam kaitannya disini adalah guru pendidikan kewarganegaraan dituntut untuk mampu memberikan nuansa yang tidak sekedar ilmu pengetahuan saja, tetapi juga mengubah dan membina akhlak anak didik (siswa) sehingga kelak menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur. Tujuan pendidikan budi pekerti adalah membentuk sikap anak didik agar berakhlak mulia dalam pemikiran dan sikap, serta perbuatan. Tujuan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan budi pekerti di sekolah tidak akan berhasil seperti yang diinginkan jika guru tidak memiliki sikap yang pantas diteladani, tidak memiliki keterampilan untuk menyampaikan mata pelajaran tersebut secara tepat kepada siswa. Thomas Lickona dalam HAR Tilaar, menjelaskan beberapa fungsi dan peran guru yang cukup berat dan perlu dilaksankan dalam mendukung pelaksanaan pendidikan budi pekerti di sekolah, sebagai berikut:26
26
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hal 76-80.
20
1. Seorang pendidik atau guru haruslah menjadi model atau contoh, sekaligus menjadi mentor dari peserta didik dalam mewujudkan nilai-nilai moral pada kehidupan di sekolah. Tanpa guru atau pendidik sebagai model, sulit untuk diwujudkan suatu pranata sosial (sekolah) yang dapat mewujudkan nilai-nilai kebudayaan. Walaupun disini ditekankan kepada peranan guru, namun sebenarnya meliputi seluruh personil dari pranata sosial. 2. Praktikkan disiplin moral. Moral adalah sesuatu yang restrictive, artinya bukan sekedar sesuatu yang deskriptif tentang sesuatu yang baik, tetapi sesuatu yang mengarahkan kelakuan dan pikiran seseorang untuk berbuat baik. Moral mengimplikasikan adanya disiplin. Tuntutan ini berlaku untuk seluruh personil dari pranata sosial pendidikan. Hal ini berarti tuntutan disiplin moral bukan hanya berlaku untuk peserta didik, tetapi juga bagi para pendidik atau pemimpin di dalam pranata sosial sekolah. 3. Menciptakan situasi demokratis di ruang kelas. Salah satu kondisi pelaksanaan penanaman pendidikan budi pekerti oleh guru ialah menciptakan situasi dimana perilaku budi pekerti dapat terwujud. Di dalam situasi demokratis pengenalan budi pekerti tidak terjadi secara indoktrinasi, tetapi melalui proses inkuiri dan penghayatan yang intensif mengenai nilai-nilai budi pekerti tersebut. Di dalam ruangan kelas dimana terjadi proses belajar mengajar yang kongkret, di situlah dapat dilaksanakan penghayatan budi pekerti yang paling dasar, antara lain suka membantu kawan yang lain, jujur terhadap diri sendiri dan terhadap guru serta kawan-kawan yang lain, kerja keras dan bukan mencari jalan pintas, tunduk kepada disiplin untuk kepentingan bersama dan sebagainya.
21
4. Tugas pendidik adalah menumbuhkan kesadaran berkarya. Di dalam pranata sosial sekolah, tugas guru ialah menumbuhkan nilai-nilai kekaryaan pada peserta didik, yaitu kerja keras, cinta pada kualitas, disiplin kerja, kreativitas, juga termasuk kepemimpinan. Kesadaran berkarya menuntut peserta didik untuk menghargai akan arti keterampilan di dalam kebudayaan berbudi pekerti luhur. 5. Mengembangkan refleksi moral. Nilai-nilai moral bukannya tidak dianalisis dan harus diterima sebagaimana adanya. Asumsi yang demikian adalah keliru. Contohnya Kohlberg, telah mengembangkan pendidikan moral sesuai dengan perkembangan intelektual peserta didik. Refleksi moral dapat dilaksanakan melalui pendidikan budi pekerti. 6. Mengajarkan kepada siswa resolusi konflik. Dalam pelaksanaan tindakan berbudi pekerti tidak akan selamanya berjalan mulus, kondisi kehidupan serta relasi antar manusia semakin berkembang dan semakin kompleks. Dengan demikian, nilainilai budi pekerti akan terus berkembang di dalam pelaksanaannya. Bukan suatu mustahil bahwa akan terjadi konflik bagi siswa di kehidupan bermasyarakat dalam menerapkan nilai-nilai budi pekerti yang telah disepakati. Nilai-nilai budi pekerti tersebut akan mengalami konflik dan justru hal tersebut menunjukkan adanya perkembangan kebudayaan. Konflik tersebut harus dipecahkan dan dicari jalan keluarnya melalui suatu diskursus atau dialog antara guru dengan siswa. Oleh karena itu, peran guru sangat penting untuk mengajarkan dan menanamkan kepada siswa pentingnya menjaga dan menghayati nilai-nilai budi pekerti luhur dalam kehidupan bermasyarakat.
22
Adapun model acuan pengintegrasian budi pekerti luhur ke dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah yang berikut;27 1. Berdasarkan pada ketentuan kurikulum mata pelajaran yang bersangkutan (PKn). 2. Merupakan jabaran nilai moral operasional pada tatanan berdaya baku keluarga/masyarakat sekitar/yang bersangkutan serta berdaya bangsa. 3. Hendaknya meliputi lingkaran kehidupan yang utuh dan keseluruhan aspek kehidupan. 4. Kesesuaian dengan jenjang sekolah, kelas, tingkat kemampuan siswa. 5. Pilihan jabaran dengan memperhitungkan hal esensial yang layak dibina, proyeksi harapan dari sudut waktu dan kehidupan siswa serta masalah yang dihadapi di masa lampau, kini, dan kelak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peran guru dalam hal ini adalah sebagai fasilitator, motivator, pemacu,dan sumber inspirasi dalam proses pembelajaran di dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti siswa. B. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan kewarganegaraan adalah nama dari salah satu mata pelajaran yang terdapat dari kurikulum sekolah tahun 2004 berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, dan pendidikan tinggi. 27
Depdikbud, Pedoman Pembelajaran PPKn Suplement GBPP/Kurikulum 1999, ( Jakarta, 2000), hal 5.
23
Dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan disebut Kewarganegaraan (citizenship) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampill, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan berdasrkan kurikulum 2004, dijelaskan bahwa mata pelajaran ini memilki ciri khas, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan karakter kewarganegaraan. Ketiga hal tersebut merupakan bekal bagi peserta didik (siswa) untuk meningkatkan kecerdasan multi-dimensional yang memadai untuk menjadi warga negara yang baik. Pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu ilmu yang mempelajari bagaimana setiap orang menjadi warga negara yang baik dalam arti dapat mengetahui apa peran serta warga negara yang berbudi luhur dan demokratis, dan pendidikan kewarganegaraan mempunyai tujuan untuk mendidik seseorang agar dapat menyalurkan aspirasinya. Dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terdapat komponen pembelajaran yang berikut:28 a. Satu komponen keberagamaan. Dalam
komponen
keberagamaan
sasaran
yang
hendak
diraih
adalah
pengembangan potensi warga negara secara individu. Potensi yang dimaksud adalah individu sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial, sebagai warga negara Indonesia, serta sebagai warga dunia yang memiliki wawasan universal tetapi tidak terasing dari semangat kepribadian bangsanya.
28
Ace Suryadi, Implementasi Paradigma Baru Kurikulum PKN dan Budi Pekerti Dalam Proses Belajar Mengajar, Suara Guru No. 6/2001. hal 8.
24
b. Tiga komponen inti demokrasi. Adapun komponen demokrasi yang merupakan kemampuan dasar paling inti dalam Pendidikan Kewarganegaraan menyangkut pemahaman akan cita-cita, nilai, konsep demokrasi itu sendiri. Dengan pemahaman tersebut diharapkan tumbuh suatu dorongan berperilaku demokrtis pada seluruh warga negara Indonesia. c. Empat komponen penunjang. Sedangkan komponen penunjang terdiri dari kemampuan dasar yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sikap dan perilaku demokrasi dalam kehidupan masyarakat dan negara. Adapun sasaran akhir yang hendak dicapai dari penerapan ketiga komponen tadi (keberagamaan, inti demokrasi, penunjang) adalah kompetensi kewarganegaraan yang bertanggung jawab, maksudnya warga negara yang mampu berperan secara cerdas dan bertanggung jawab dalam tata cara kehidupan masyarakat yang demokratis dan berbudi pekerti luhur. d. Satu komponen sasaran akhir. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan keterpaduan atau dapat dikatakan juga sebagai bagian dari penelitian ilmu pengetahuan sosial seperti kegiatan dasar manusia yang teroganisir, ilmu kewarganegaraan dan humaniora. Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
pembelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan adalah suatu proses atau kegiatan dalam lingkungan lembaga pendidikan dimana adanya interaksi yang melibatkan guru dengan peserta didik (siswa) untuk penyampaian informasi berupa materi dalam hal mempelajari bagaimana menjadi warga negara yang baik dan dapat menerapkan perilaku berbudi pekeri luhur dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
25
C. Hakikat Globalisasi Globalisasi harus dipahami sebagai suatu gelombang yang melanda dunia dalam hal interaksi yang menghubungkan seluruh aktivitas manusia satu dengan lainnya. Meningkatnya interpendensi (saling ketergantungan) tidak lagi dibatasi oleh batas-batas wilayah negara, sebagai hasil dari hilangnya penghalang ruang dan waktu.29 Globalisasi hanyalah satu diantara sekian banyak tanda transformasi masyarakat yang telah terjadi begitu cepat yang akibatnya begitu luas sehingga hanya dapat dipahami sebagai suatu keterputusan dengan masa lalu. Semakin banyak orang setuju bahwa zaman kita sekarang sedang menyaksikan sebuah metamorfosis sejati dalam hubungan antarmanusia – atau dengan kata lain, suatu perubahan peradaban. Bukan saja ekonomi yang mengalami globalisasi; kebudayaan pun mulai digoncang oleh banjir informasi yang memasuki pikiran manusia dengan begitu deras sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang sangat cepat. Dalam kajian kebudayaan, nilai merupakan inti dari setiap kebudayaan. Dalam konteks ini, khususnya nilai-nilai moral yang merupakan sarana pengatur dari kehidupan bersama, sangat menentukan di dalam setiap kebudayaan. Lebih-lebih lagi di era globalisasi yang berada dalam dunia yang terbuka, ikatan nilai-nilai moral mulai melemah. Masyarakat mengalami multi-krisis yang dimensional, dan krisis yang dirasakan sangat parah adalah krisis moral.30 Seorang futurolog yang cukup terkenal, Alvin Tofler menggunakan istilah ’kejutan masa depan’ (future shock) untuk menggambarkan situasi sekarang yang 29
Yves Brunsvick & Andre Danzin, Lahirnya sebuah peradaban Goncangan Globalisasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal 15. 30 Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Persfektif Perubahan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), hal 10.
26
membuat kita terlempar pada suatu kondisi dimana kita mengalami ”tekanan yang mengguncangkan dan hilangnya orientasi individu disebabkan kita dihadapkan terlalu banyak perubahan dalam waktu yang singkat”.31 Tetapi sampai kapanpun pendidikan sebagai suatu upaya menghadapkan manusia (peserta didik) pada realitas yang terus saja berubah saat ini sangat diharapkan perannya untuk mampu mengikuti arus zaman. Tugas pendidikan adalah membawa generasi ini mampu merengkuh sedemikian dekat agar manusia tidak tercabut dari kemampuannya dalam menghadapi kontrdiksi alam yang selalu mengalami perubahan.32
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 31 32
Alvin Tofler, Future Shock (Kejutan Masa Depan), (Jakarta: PT. Pantja Simpati, 1989) Nurani Soyomukti, Pendidikan Berperspektif Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2008), hal 42.
27
Pendidikan di seluruh dunia kini sedang mengkaji kembali perlunya pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti dibangkitkan kembali. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh bangsa dan masyarakat Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara maju. Bahkan, di negara-negara industri di mana ikatan moral menjadi semakin longgar, masyarakatnya mulai meraskan perlunya revival dari pendidikan moral yang pada akhir-akhir ini mulai ditelantarkan. Dalam hal ini pendidikan dan kebudayaan adalah suatu hal yang padu (integrated) dan bersinergi satu sama lain, tidak bisa dilepas-pisahkan. Paradigma pendidikan nasional harus bertumpu pada akar kebudayaan nasional yang bersumber dari kearifan-kearifan lokal yang diperoleh dari nilai-nilai budaya, adat istiadat, moral dan budi pekerti yang berkembang dalam masyarakat. Realitas global yang berkembang sekarang ini adalah pendidikan itu sendiri. Dikatakan pendidikan, karena globalisasi telah membawa doktrin yang membentuk masyarakat, peserta didik, dan juga pengajar tidak luput dari doktrin global. Singkatnya, sistem dan budaya pendidikan yang berkembang juga telah terhegemoni oleh perkembangan globalisasi Perbedaan pembinaan budi pekerti siswa di era globalisasi dengan era sebelum globalisasi terletak pada pola pikir, dan pengetahuan siswa tersebut. Era globalisasi sangat berpengaruh pada pergeseran nilai-nilai moral dan budi pekerti siswa. Hal ini diiringi oleh tingkat kemajuan teknologi informatika yang bergerak maju dalam hitungan detik. Pada era ini kejadian di belahan dunia yang satu akan dapat langsung diikuti dan diketahui oleh belahan dunia lainnya. Dunia menjadi tanpa pembatas ruang dan waktu. Pada kondisi inilah anak globalisasi hidup, dia menjadi tahu segalanya dan batasan-
28
batasan moral pun menjadi demikian tipis. Anak menjadi demikian kritis akan nilai-nilai moral dan budi pekerti yang diajarkan disekolah.
B. Saran Berdasarkan kenyataan di atas, sudah sewajarnya para pendidik (guru) melakukan berbagai usaha dalam melakukan perbaikan pelaksanaan pendidikan budi pekerti untuk mengisi jiwa peserta didik dengan perbuatan yang baik di era globalisasi ini. Dari orientasi ini, maka peran dan fungsi serta tanggung jawab guru PKn pada setiap jenjang pendidikan sangat diharapkan untuk mau dan mampu menjadikan para siswa sebagai calon warga masyarakat sekaligus sebagai warga negara yang baik.
DAFTAR PUSTAKA Brunsvick, Yves & Andre Danzin. 2005. Lahirnya sebuah peradaban Goncangan Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius. Cahyoto. 2002. Budi Pekerti dalam Persfektif Pendidikan. Malang: Depdiknas – Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah – Pusat Penataran Guru IPS dan PMP Malang.. Mulyasa, E. 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 29
Soekanto, Soerjono. 1998. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Soyomukti, Nurani. 2008. Pendidikan Berperspektif Globalisasi. Yogyakarta: Ar-ruzz Media. Suhardono, Edy. 1994. Teori Peran: konsep, derivasi dan implikasinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Tilaar, H.A.R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tofler, Alvin. 1989. Future Shock (Kejutan Masa Depan). Jakarta: PT. Pantja Simpati. Usman, Moh Uzer. 1991. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Zuriah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Persfektif Perubahan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Sumber Lain Artikel: Mohammad Iskak, Implementasi Paradigma Baru Kurikulum PKn dan Budi Pekerti Dalam Proses Belajar Mengajar, Suara Guru No. 6/2001. Http ://www.scribd.com. Dalam artikel: Endang Komara, Peran Pendidikan Budi Pekerti dalam Menghadapi Era Globalisasi. Ditelusuri pada tanggal 04 November 2009.
30