BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Masalah Komunikasi layaknya nafas kehidupan manusia. Kodratnya sebagai
makhluk sosial membuatnya senantiasa berinteraksi demi pemenuhan kebutuhan dan keberlangsungan hidup. Komunikasi juga menjadi aspek yang paling penting dan sangat mendasar dalam proses belajar manusia. Manusia dibesarkan, diasuh dan berkembang di suatu lingkungan dengan pola-pola budaya setempat, sehingga akhirnya manusia itu menjadi produk dari budaya tersebut. Pada dasarnya seseorang itu adalah gambaran dari budayanya, dimana budaya dirumuskan sebagai seperangkat aturan yang terorganisasikan mengenai cara-cara bagaimana individu dalam masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan bagaimana cara mereka berpikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka. Pola-pola budaya ini pada gilirannya juga akan merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam perilaku komunikasi individual yang dilakukan mereka yang lahir dan diasuh dalam budaya tersebut. Manusia selama hidupnya mengalami proses sosialisasi dan pendidikan, dalam proses itu individu senantiasa memperoleh aturan-aturan (budaya) komunikasi, hingga akhirnya pola-pola budaya tersebut ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi kepribadian dan perilaku individu tersebut. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu disebut dengan enkulturasi.
8
Melalui proses enkulturasi, pola budaya diinternalisasikan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari individu tersebut. Hasil internalisasi ini membuat individu mudah berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola budaya yang serupa. Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya tertentu memasuki suatu budaya lain? Segala bentuk lambang-lambang verbal dan non verbal dan aturan-aturan yang telah dipelajari individu dalam lingkungan budayanya mungkin akan lenyap dan tidak berfungsi lagi dalam lingkungan budaya baru yang ia masuki. Individu/kelompok yang memasuki budaya baru akan mengalami proses enkulturasi yang kedua, yang disebut dengan proses akulturasi. Akulturasi merupakan suatu proses menyesuaikan diri dengan budaya baru, dimana sesuatu nilai masuk ke dalam diri individu tanpa meninggalkan identitas budaya yang lama (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139). Mayoritas individu tinggal dalam lingkungan yang familiar, tempat dimana individu tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang ditemui di lingkungan individu pada saat bekerja, sekolah ataupun bermain cenderung memiliki kesamaan dalam hal latar belakang etnik, kepercayaan atau agama, nilai, bahasa atau setidaknya memiliki dialek yang sama. Ketika manusia memasuki suatu dunia baru dengan segala sesuatu yang terasa asing, maka berbagai kecemasan dan ketidaknyamanan pun akan terjadi. Salah satu kecemasan yang terbesar adalah mengenai bagaimana harus berkomunikasi. Sangat wajar apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada di 9
sekelilingnya. Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain serta merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, maka keadaan ini disebut gegar budaya atau culture shock. Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-sehari (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174). Manusia dalam hidupnya pasti akan menghadapi peristiwa kebudayaan dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda yang turut dibawa serta dalam melangsungkan komunikasi. Individu yang memasuki lingkungan baru berarti melakukan kontak antarbudaya. Individu tersebut juga akan berhadapan dengan orang-orang dalam lingkungan baru yang ia kunjungi, maka komunikasi antarbudaya menjadi tidak terelakkan. Usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam praktiknya bukanlah persoalan yang sederhana. Kita harus menyandi pesan dan menyandi balik pesan dengan cara tertentu sehingga pesanpesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspon oleh individu-individu yang berinteraksi dengan kita. Mahasiswa asal Malaysia adalah contoh dari kasus memasuki suatu lingkungan budaya baru. Mereka meninggalkan negara asalnya untuk suatu tujuan, yakni menuntut pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Dengan latar belakang budaya yang sudah melekat pada diri mereka, termasuk tata cara komunikasi yang telah terekam secara baik di saraf individu dan tak terpisahkan dari pribadi individu tersebut, kemudian diharuskan memasuki suatu lingkungan 10
baru dengan variasi latar belakang budaya yang tentunya jauh berbeda membuat mereka menjadi orang asing di lingkungan itu. Dalam kondisi seperti ini, maka akan terjadi culture shock. Meskipun Indonesia dan Malaysia berada dalam satu rumpun, tetapi perlu dipahami bahwa perbedaan-perbedaan budaya itu pasti ada. Hal ini dapat dilihat dari seringnya konflik yang terjadi di antara kedua negara. Kondisi ini membuktikan bahwa kesatuan itu seutuhnya belum ada. Peneliti juga mengamati kondisi mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran USU, khususnya yang masih tampak berkelompok. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, mengapa hal ini terjadi? Apakah untuk menanggulangi keterkejutan budaya yang mereka alami? Hal itu pula yang akan peneliti cari tahu melalui penelitian ini. Peneliti memilih USU karena USU merupakan universitas di Kota Medan dengan jumlah mahasiswa asal Malaysia terbanyak. Mahasiswa Malaysia ini secara mayoritas tersebar di dua fakultas, yakni Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi. Hal ini dikarenakan Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia baru
hanya
mengakui
dua
program
studi
ini
(http://www.antarasumut.com/pendidikan/usu-terima-40-mahasiswa-baru-asalmalaysia/). Peneliti ingin melihat bagaimana culture shock yang mereka alami ketika memasuki lingkungan baru dan upaya dalam mengatasinya. Perbedaan antara budaya yang dikenal individu dengan budaya asing dapat menyebabkan individu sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, demikian halnya dengan mahasiswa asal Malaysia ini. Bagaimana fenomena yang akan mereka alami ketika keluar dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang yang berbeda dengan mereka serta bagaimana upaya yang mereka lakukan untuk mengatasi culture shock yang
11
dirasakan menuju suatu adaptasi yang baik dan komunikasi antarbudaya yang efektif. Banyak hal yang dapat mempengaruhi proses penyesuaian diri, seperti variabel-variabel
komunikasi
dalam
akulturasi,
yakni
faktor
personal
(intrapersona), seperti karakteristik personal, motivasi individu, persepsi individu, pengetahuan individu dan pengalaman sebelumnya, selain itu juga dipengaruhi oleh keterampilan (kecakapan) komunikasi individu dalam komunikasi sosial (antarpersonal) serta suasana lingkungan komunikasi budaya baru tersebut (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144). Manusia yang memasuki suatu lingkungan baru mungkin akan menghadapi banyak hal yang berbeda seperti cara berpakaian, cuaca, makanan, bahasa, orang-orang, sekolah dan nilai-nilai yang berbeda. Tetapi ternyata budaya tidak hanya meliputi cara berpakaian maupun bahasa yang digunakan, namun budaya juga meliputi etika, nilai, konsep keadilan, perilaku, hubungan pria wanita, konsep kebersihan, gaya belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, ketertiban lalulintas, kebiasaan dan sebagainya (Mulyana, 2005: 97). Namun dalam penelitian ini, peneliti membatasi culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di Medan, dalam hal ini mahasiswa asal Malaysia yang belajar di USU. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Asal Malaysia di Medan”.
12
I.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut: a.
“Bagaimana bentuk culture shock yang dialami dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di USU?”
b.
“Bagaimana upaya yang dilakukan mahasiswa asal Malaysia dalam mengatasi culture shock yang dialami?”
I.3
Pembatasan Masalah Agar ruang lingkup penelitian menjadi lebih jelas, terarah dan tidak terlalu
luas maka dilakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.
Penelitian bersifat studi kasus, yakni peneliti akan mengkaji secara mendalam culture shock yang dialami mahasiswa asal Malaysia dan upaya mengatasinya.
2.
Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU, karena mayoritas mahasiswa asal Malaysia di USU menempuh pendidikan di dua fakultas ini. Subjek penelitian juga dibatasi pada mahasiswa asal Malaysia yang telah tinggal di Medan selama kurang lebih dua tahun. Pembatasan ini dibuat agar bukan hanya gambaran culture shock saja yang dapat dilihat tetapi juga upaya dalam mengatasinya.
13
3.
Analisis culture shock yang diteliti hanya dalam sorotan interaksi komunikasi antarbudaya.
I.4
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock yang dialami mahasiswa asal Malaysia di USU. 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reaksi culture shock pada mahasiswa asal Malaysia di USU. 3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam mengatasi culture shock pada mahasiswa asal Malaysia di USU demi penyesuaian dengan lingkungan baru.
I.5
Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antarbudaya, khususnya culture shock.
2.
Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya khasanah mengenai culture shock dan penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi, mengingat sangat sedikit penelitian yang meneliti mengenai culture shock di departemen Ilmu Komunikasi USU.
14
3.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bersama dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya yang terjadi di sekitar kita dan masukan dan pembelajaran bagi mahasiswa yang mengalami culture shock sebagai reaksi memasuki budaya baru.
I.6
Kerangka Teori Menurut Nawawi (1995: 41) sebelum melakukan sebuah penelitian lebih
lanjut, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih. Kerlinger menyebutkan teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004: 6). Adapun kerangka teori yang relevan dengan penelitian ini adalah Teori Komunikasi Antarbudaya, Bahasa Verbal dan Nonverbal, Akulturasi dan Teori Interaksionisme Simbolik. I.6.1
Komunikasi Antarbudaya Menurut Samovar dan Porter (dalam Liliweri, 2003: 10), komunikasi
antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda. Sedangkan menurut Charley H. Dood, komunikasi
antarbudaya
meliputi
komunikasi 15
yang
melibatkan
peserta
komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta. Komunikasi
antarbudaya
lebih
menekankan
aspek
utama
yakni
antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda. Jika kita berbicara tentang komunikasi antarpribadi, maka yang dimaksud adalah dua atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal atau non verbal secara langsung. Apabila kita menambahkan dimensi perbedaan kebudayaan ke dalamnya, maka kita berbicara tentang komunikasi antarbudaya. Maka seringkali dikatakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi dengan perhatian khusus pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya. Dalam keadaan demikian, kita dihadapkan dengan masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan pula berbeda yang dapat menimbulkan berbagai macam kesulitan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19). Menurut Kim (dalam Rahardjo, 2005: 53), asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya di atas adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada
16
orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Perbedaan-perbedaan kultural bersama-sama dengan perbedaan lain dalam diri orang (seperti kepribadian individu, umur dan penampilan fisik) memberi kontribusi kepada sifat problematik yang melekat dalam proses komunikasi antarmanusia. Studi ini juga memberi penekanan kepada perbedaan-perbedaan kultural yang sesungguhnya maupun perbedaan-perbedaan kultural yang dipersepsikan antara pihak-pihak yang berkomunikasi, maka komunikasi antarbudaya menjadi sebuah perluasan bagi studi komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi dan kawasan-kawasan studi komunikasi antarmanusia lainnya. Berdasarkan pemikiran itu, maka komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana para partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka karakteristik-karakteristik kultural dari partisipan bukan merupakan fokus studi. Titik perhatian dari komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54). Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi dan fungsi sosial. Fungsi pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas sosial, fungsi integrasi sosial, menambah pengetahuan (kognitif) dan fungsi melepaskan
diri/jalan
keluar.
Sedangkan
fungsi
sosial
meliputi
fungsi
pengawasan, fungsi menjembatani/menghubungkan, fungsi sosialisasi dan fungsi menghibur (Liliweri, 2003: 35). 17
Dalam komunikasi antarbudaya terdapat beberapa masalah potensial, yaitu pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316). Masalah-masalah tersebut yang sering sekali membuat aktivitas komunikasi antarbudaya tidak berjalan efektif. Schramm mengemukakan komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus memperhatikan empat syarat, yaitu: 1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia 2. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki 3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak 4. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171) Sedangkan menurut De Vito, efektivitas komunikasi antarbudaya ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) merasa positif; (4) memberi dukungan, dan (5) merasa seimbang; terhadap makna pesan yang sama dalam komunikasi antarbudaya atau antaretnik (Liliweri, 2001: 172). I.6.2
Bahasa Verbal dan Nonverbal Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan
satu kata atau lebih. Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yang kita gunakan.
18
Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi tatap muka adalah nonverbal. Ini menunjukkan bahasa nonverbal sangat penting dalam suatu aktivitas komunikasi. Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh proses-proses nonverbal. Fungsi-fungsi bahasa nonverbal antara lain: Repetisi, Komplemen, Substitusi, Regulasi dan Kontradiksi (Mulyana, 2005: 316). Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam. Bahasa verbal dan nonverbal tidak dapat terpisahkan dengan konteks budaya. Penggunaan dan gaya bahasa mencerminkan kepribadian budaya seseorang, demikian juga dengan komunikasi nonverbal sering kali menunjukkan ciri-ciri budaya dasar (Samovar, Porter dan Mc. Daniel 2007: 168 dan 201). I.6.3
Akulturasi Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses
pertemuan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut, namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak. Akulturasi merupakan suatu proses dimana imigran menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139). 19
Proses
akulturasi
adalah
suatu
proses
yang
interaktif
dan
berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Komunikasi berperan penting dalam proses akulturasi. Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi, antara lain: komunikasi persona; yang meliputi karakteristik personal, motivasi individu, pengetahuan individu tentang budaya baru, persepsi individu, pengalaman
sebelumnya;
komunikasi
sosial
yang
meliputi
komunikasi
antarpersonal (verbal dan nonverbal); serta lingkungan komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 140). Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu-individu yang berinteraksi dalam pertemuan-pertemuan kultur tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan kejutan budaya (culture shock). Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335).
Pembahasan tentang masalah culture shock juga perlu memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda.
20
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru. rasa kehilangan arah rasa penolakan gangguan lambung dan sakit kepala homesick / rindu pada rumah/ lingkungan lama rindu pada teman dan keluarga merasa kehilangan status dan pengaruh menarik diri menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335) Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan
perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 336).
1. Fase Optimistik (Optimistic Phase), fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. 2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam culture shock. 3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya.
21
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, khusus, keyakinan dan pola komunikasi).
I.6.4
Teori Interaksionisme Simbolik
Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif.
Secara
konseptual,
fenomenologi
merupakan
studi
tentang
pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44). Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.
Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan
22
mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. (Mulyana, 2001: 68).
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang terdapat dalam komponenkomponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
I.7
Kerangka Konsep
Konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin, 2005: 73). Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah: -
I.8
Culture shock
Operasionalisasi Konsep
23
Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka agar konsep operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut: Konsep Operasional Culture shock
Operasionalisasi Konsep A. Faktor-faktor yang mempengaruhi culture shock sesuai dengan variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi : 1. Komunikasi Persona/faktor intrapersonal, meliputi: a. b. c. d. e.
Karakteristik personal Motivasi individu Persepsi individu Pengetahuan individu Pengalaman sebelumnya
2. Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona baik verbal maupun non verbal. 3. Lingkungan komunikasi B. Tingkatan culture shock: 1. Fase Optimistik (Optimistic Phase) 2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems) 3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase) 4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase)
1. 2. 3. 4.
Karakteristik Informan
I.9
Usia Jenis Kelamin Asal Fakultas Lama menetap
Definisi Operasional A. Faktor-faktor yang mempengaruhi culture shock:
24
1. Komunikasi Persona/Faktor intrapersonal: a.
Karakteristik personal, watak dan kepribadian mahasiswa asal Malaysia.
b.
Motivasi individu, kehendak, kemauan, kebutuhan dan dorongan mahasiswa asal Malaysia untuk belajar tentang dan berpartisipasi serta terlibat komunikasi antarbudaya dengan orang-orang Medan.
c.
Persepsi individu, persepsi mahasiswa asal Malaysia tentang lingkungan barunya, yakni Kota Medan dan orang-orang di dalamnya.
d.
Pengetahuan individu, pengetahuan (kemampuan kognitif) tentang budaya dan pola-pola dan aturan sistem komunikasi budaya baru, yaitu Medan.
e.
Pengalaman sebelumnya, ada tidaknya pengalaman terdahulu dari mahasiswa asal Malaysia tentang Medan.
2. Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona mahasiswa asal Malaysia dengan orang-orang Medan. 3. Lingkungan, suasana lingkungan komunikasi USU.
B. Tingkatan culture shock: 1.
Fase optimistik (Optimistic Phase), fase berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Dalam penelitian ini, fase optimistik adalah fase dimana mahasiswa asal Malaysia di USU merasa sangat antusias akan memasuki budaya baru.
25
2.
Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang. Mahasiswa asal Malaysia mengalami gegar budaya ketika memasuki lingkungan baru.
3.
Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Mahasiswa asal Malaysia mulai mengenal budaya baru yang dimasukinya.
4.
Fase Penyesuaian
(Adjustment
Phase),
fase terakhir dimana
mahasiswa asal Malaysia telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya.
Karakteristik Informan: 1.
Usia: umur dari informan
2.
Jenis kelamin: laki laki atau perempuan
3.
Asal fakultas: Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi
4.
Lama menetap: lama informan menetap di Medan.
26