BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembagian status yang dikenakan pada laki-laki dan perempuan menyebabkan munculnya ideologi gender dalam masyarakat. Abbot (1992:5) menyebutkan bahwa ideologi gender ini meletakkan stereotip pada laki-laki dan perempuan. stereotip ini mendefinisikan karakteristik laki-laki sebagai karakter yang kuat dan memiliki peran sosial yang lebih besar dan berkaitan dengan kekuasaan. Karakteristik perempuan dikaitkan dengan sifat yang lemah lambut dan perhatian. Peran sosial perempuan lebih diarahkan pada peran domestik dan pekerjaan yang membutuhkan perhatian yang dilabelkan pada sifat-sifat feminin, seperti perawat, sekretaris, dan lain-lain. pembedaan ini menyebabkan sulitnya bagi perempuan untuk meraih posisi penting. Stratifikasi gender ini telah berlangsung lama dan dapat dijumpai dalam berbagai kebudayaan di dunia. Menurut Fakih, pandangan bahwa laki-laki lebih kuat dibanding perempuan, membuat adanya perbedaan
gender diantara keduannya
mengungkapkan bahwa perbedaan gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial budaya, misalnya laki-laki dianggap kuat, jantan, perkasa dan rasional sedangkan
1
perempuan dianggap lembut, cantik, keibuan dan irasional (Fakih, 1997:7-9). Penyifatan gender tersebut dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan tempat dan penggeseran waktu. Dalam pekerjaan kaum laki-laki selalu menempati posisi penting, entah sebagai pembuat atau penentu keputusan yang sangat mempengaruhi orang lain. Dalam keluargapun, lakilaki menempati status yang lebih tinggi secara formal sebagai kepala keluarga. Demikian pula di dalam masyarakat, kaum laki-lakipun menempati urutan teratas, sebagai penentu aktivitas dalam masyarakat, entah itu soal keuangan, seksual, dan lain-lain (via Moejiono, 2002). Penyifatan ini menimbulkan adanya keinginan untuk saling mendominasi. Pihak yang dianggap superior (kaum laki-laki) cenderung mendominasi pihak yang inferior (perempuan). Karakteristik sifat yang ada pada peran gender maskulin berdasar atas stereotipe tradisional laki-laki yang dikemukakan oleh Sahrah meliputi tiga komponen, yaitu kemampuan memimpin, maskulin dan rasionalitas. Kemampuan memimpin dijabarkan dalam sifat aktif, berkemauan keras, konsisten, mampu memimpin, optimistik, pemberani dan sportif (Sharah, 1996). Sifat maskulin dijabarkan bersifat melindungi, mandiri, matang, atau dewasa dan percaya diri. Menurut Widyatama terdapat komponen rasionalitas terdiri dari sifat suka mencari pengalaman baru, rasional dan tenang saat menghadapi krisis, sehingga pekerjaan yang cocok adalah diwilayah publik, mencari nafkah, sebagai kepala rumah tangga, menjadi decision maker, dan sebagainya (Widyatama, 2006:6).
2
Di dalam masyarakat, seorang pemimpin yang dipercaya adalah sosok yang memiliki sikap berani, bertanggung jawab dan memiliki mental yang tangguh. Kemampuan laki-laki untuk mengontrol hukum dalam masyarakat ini dikombinasikan dengan statusnya yang superior melahirkan budaya dalam masyarakat (Abbot, 1992:10). Streotipe masyarakat menganggap sikap-sikap tersebut banyak dimiliki oleh kaum laki-laki. Laki-laki dianggap kuat, jantan, perkasa dan rasional Fakih (2010:8). Laki-laki memiliki sifat yang maskulin, maskulin atau maskulinitas dari Bahasa Prancis masculine adalah sebuah kata sifat yang berarti kepriaan atau menunjukan sifat laki-laki. Seorang laki-laki diharuskan mengambil resiko, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dan lain sebagainya layaknya Dewa Zeus yang memiliki energi hebat (Connel, 2005:68). Selanjutnya perkataan Connel yang dikutip oleh Wajcman (2001:160161) mengungkapkan bahwa maskulinitas ada dua bentuk dominan, yaitu maskulin secara budaya atau “maskulinitas hagemonik” dan bentuk maskulinitas yang “tersubordinasi”. Yang dimaskud dengan hagemonik disini adalah pengaruh sosial yang dicapai bukan karena kekuatan melainkan karena pengaturan kehidupan pribadi dan proses-proses budaya. Hal ini berlawanan dengan tersubordinasi, dimana kekerasan adalah kunci yang sangat berpengaruh untuk memaksakan sebuah cita-cita atau kekuasaan bagi maskulinitas tersebut. Lain halnya maskulinitas pada pandangan seorang Piere Bourdieu. Bourdieu menemukan skema pemikiran yang dimasukankkan kedalam sistem
3
perbedaan yang terlihat natural, kemudian diaplikasikan pada pemaksaan atas tubuh. Yaitu bagaimana gender di-seks-kan merupakan sesuatu yang sifatnya terbentuk karena konstruksi sosial telah dianggap takdir begitu saja oleh orang. Maka perbedaan tubuh antara laki-laki dan perempuan kemudian menjadi identik dengan perbedaan antara maskulin dan feminin dimana perbedaan tersebut ditambatkan pada moralitas maupun etika sehingga tidak dipersoalkan lagi (Pierre Bourdieu, 2010:23). Perumpamaan seperti ini mengakibatkan terbentuknya kebudayaan maskulin dalam kehidupan sehari-hari, sehingga maskulinitas adalah suatu hal yang terberi dan yang harus diterima oleh siapapun (taken for granted). Dalam narasinya yang dikutip dari Yacine Titouh, Bourdieu menggambarkan bagaimana dominasi maskulin terbentuk bermula dari interaksi antar dua orang. Hingga hal itu terbentuk secara sosial menjadi pemahaman umum bahwa laki-laki superior dan memiliki fungsi dalam ranah publik, serta perempuan adalah inferior dan berada dalam ranah domestic (Yacine Titouh, 18-19). Ortodok tentang ini akhirnya menelusup ke semua dimensi sosial, termasuk pembagian kerja, status sosial, disiplin tubuh dan ritual-ritual keagamaan. Konstruksi sosial atas dominasi maskulin yang dialamiahkan tersebut hadir dalam berbagai cara secara metafor dan tersembunyi. Namun dominasi tersebut tidak berjalan searah, melainkan juga diterima oleh perempuan, “ketika pihak yang mengaplikasikan produk dominasi secara tidak terhindarkan tindakan pengetahuan mereka merupakan tindakan pengakuan dan kepatuhan” (Boedieu, 2010:23).
4
Contoh yang diberikan oleh Bourdieu, antara lain pembagian antara oposisi yang merepresentasikan seks, misalnya pada pembagian tubuh bagian tinggi dan rendah yang dibatasi oleh ikat pinggang dimana perempuan menjaga ikat pinggangnya agar tidak terlepas karena merepresentasikan kemurnian seksual. Menurut Durkhem, ikat pinggang merupakan simbol dari perlindungan sakral yang melindungi vagina, vagina terus dijadikan jimat dan diperlakukan sebagai yang sakral, rahasia dan tabu. Contoh lain dapat ditemukan pada posisi hubungan seksual, dimana posisi laki-laki berada di atas karena penis diasosiasikan sebagai organ seksual yang aktif sementara vagina sebagai sesuatu yang buruk. Pembagian tersebut masuk juga kedalam pembagian antara publik dan yang privat, yang menyingkirkan perempuan, atas dasar perbedaan tubuh inilah kemudian tercipta pembagian kerja. Pada hari ini kaum perempuan telah banyak memasuki ruang publik melalui aktivitas kerja. Namun bagi Bourdieu hal tersebut tidak seperti apa yang terlihat, yang terjadi merupakan suatu bentuk pengembangan makna simbolik yang tak kunjung henti. Bourdieu menunjuk pada pembagianpembagian yang terjadi dalam ranah kerja maupun pendidikan modern. Pembagian di bidang kerja yaitu dimana laki-laki lebih sering ditunjuk sebagai ketua dalam suatu organisasi tertentu, pada bidang lain perempuan lebih baik ditempatkan pada pekerjaan yang menampilkan sisi-sisi domestik yang kerapkali identik dengan corak “kerja sukarela” menjadi perawat atau sekretaris misalnya. Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa letak kehormatan
5
pekerjaan dinilai oleh siapa atau seks jenis apa yang melakukannya. Perempuan kembali dipaksa untuk bungkam. Menurut Dagun, dominasi kaum laki-laki nampaknya didasarkan dua faktor, pertama laki-laki tidak seperti wanita yang terlibat dalam mengasuh dan melahirkan anak, dan kedua, adanya keyakinan bahwa laki-laki itu lebih agresif (Dagun, 1997). Laki-laki menggunakan otot mereka untuk menegaskan kembali dominasi mereka dan maskulinitas. Perbedaan tersebut hadir pada sejak dini, seorang anak perempuan disosialisasikan bertindak lemah lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif dan bukan pengambil keputusan. Sebaliknya laki-laki disosialisasikan agresif, aktif, mandiri, pengambil keputusan dan dominan. Sedangkan Haryatmoko mengemukakan bahwa dalam semua masyarakat selalu ada yang menguasai dan dikuasai. Dominasi sangat bergantung dengan situasi, kapital dan strategi pelaku. Dominasi yang diakukan oleh laki-laki biasa ditemukan dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki, yaitu laki-laki sebagai subjek (pusat) dan perempuan sebagai objek (pinggiran) (Haryatmoko, 2010:17). Konsep dan tatanan yang patriarkis, yang terbentuk dalam kontruksi masyarakat itu kemudian menciptakan pola hubungan atau relasi gender. Relasi gender tersebut mendasarkan dirinya pada tatanan patriarki yang telah terbentuk dalam masyarakat. Tatanan ini dianggap menjadi justifikasi bagi ketidakadilan dan ketidaksetaraan bagi perempuan (Allwood, 1998:80) Ideologi patriarki adalah salah satu variasi hegemoni, suatu ideologi yang membenarkan penguasaan satu kelompok dengan kelompok lainnya.
6
Budaya patriarki memberikan otoritas dan dominasi kepada laki-laki dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat. Dominasi laki-laki terhadap masyarakat tampaknya merupakan fenomena universal dalam sejarah peradaban manusia di masyarakat manapun di dunia. Eksploitasi pada kaum perempuan yang dilakukan oleh sistem patriarki ini menjadikan suatu hal yang wajar dan berterima bahkan prempuan yang hidup dengan latar budaya ini. Perempuan yang hidup dengan latar budaya ini, umumnya memiliki sikap hidup dengan nilai-nilai yang umumnya telah ditanamkan apa yang menurut konsep adalah sesuatu yang baik dan seharusnya dimiliki oleh perempuan. Relasi yang didasarkan pada sikap menguasai, berpotensi untuk melemahkan posisi dan peran perempuan. apa yang diharapkan dari peran perempuan dalam budaya patriarki pada intinya adalah untuk mengekalkan dominasi laki-laki (Alwood, 1998:80). Relasi yang dominan dengan ketidaksetaraan ini rentan menimbulkan kekerasan. Bourdieu (2010:46) menyatakan perempuan direpresentasikan oleh pihak yang dominan sebagai makhluk pembuat kejahatan. Oleh sebab itu, perempuan dikelilingi oleh larangan-larangan agar perempuan memiliki kesempatan untuk melakukan pelanggaran dan untuk itu berlakulah bentukbentuk kekerasan mulai dari yang hampir tidak terlihat hingga kekerasan yang bersifat fisik terhadap perempuan. Aplikasi dari konsep habitus, dominasi maskulin yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu bisa dilihat pada contoh budaya patriarki atau kedudukan perempuan dalam kehidupan keluarga tradisional struktur sosial masyarakat.
7
Kata habitus dalam KBBI edisi ketiga (Moeliono, 1988: 379), diartikan sebagai, bentuk badan; perawakan. Sedangkan pada Kamus Kata Serapan (Surawan Martinus, 2001: 217) kata habitual yang merupakan perpaduan kata dari “habit” kebiasaan dan “ual” bersifat, yang memiliki arti terbiasa; bersifat kebiasaan. Dalam adat budaya timur, salahsatunya di negara Korea Selatan, perempuan selalu menjadi pihak subordinat dari laki-laki dalam berbagai hal. Posisi subordinat dalam masyarakat ini terbentuk secara alami dan terinternalisasi dalam waktu yang lama. Sehingga sudah menjadi asumsi umum bahwa perempuan berada dibawah laki-laki. Seaktif apapun peranan perempuan di dalam baik di dalam berbagai ranah seperti politik, bisnis, hukum, maupun ekonomi, saat kembali kerumahnya tetap kedudukan seorang perempuan menjadi istri rumah tangga dan laki-laki menjadi pemimpin keluarga. Ini menjadi kebiasaan dalam kultur masyarakat Korea Selatan, dimana tabu bagi perempuan untuk melakukan tugas laki-laki, termasuk dalam terjun dalam arena politik. Harapan kolektif kemudian menekan harapan subyektif, menekan perempuan sedemikian rupa untuk menginternalisasi nilai-nilai androsentris. Yang disebut sebagai Bourdieu sebagai ketidak berdayaan yang dipelajari sehingga menerima begitu saja kebenaran yang disodorkan. Jika perempuan menempati posisi yang dilematis karena disatu sisi bila berperilaku maskulin dengan cara masuk ke dalam ruang publik, akan menjadi terancam kehilangan feminitas dan statusnya sebagai perempuan asli, namun disisi lain jika
8
menerima posisi sebagai perempuan (sebagai yang terdominasi) maka perempuan akan berada dalam situasi yang tidak berdaya. Bourdieu mencontohkan harga mahal yang harus ditebus untuk para perempuan yang sukses (depresi dan hubungan keluarga yang berantakan). Ketimpangan seperti ini dapat ditemukan pada relasi kehidupan masyarakat Korea. Dikarnakan negara Korea merupakan salah satu egara yang posisi laki-laki menempati tempat yang dominan, hal ini dibentuk oleh kebudayaan yang mengakar pada masyarakat Korea. Di dalam tatanan keluarga bangsa Korea, Ayah memiliki hak sebagai kepala keluarga dan hak sebagai seorang Ayah. Sehingga ia menggunakan otoritas mutlak dan sepihak (sistem patriarkal) untuk mengatur orang-orang di bawahnya guna kesejahteraan keluarga. Dengan demikian seorang kepala keluarga tidak selalu menggunakan otoritas sepihak. Pertalian darah dan status sosial mengandung latar belakang sikap orang Korea, yang menimbulkan suatu cara berfikir yang eksklusif dan tertutup. Hal ini scara umum juga berlaku pada masyarakat Korea untuk menjaga urutan keluarga yang mengkonsentrasikan pada kepala keluarga (Ayah) dan anggota keluarga yang tertua (laki-laki) yang membentuk suatu struktur otoritas kekuasaan yang tersentralisir. Dikarnakan pada masyarakat tradisiona Koreal, lahirnya seorang anak laki-laki akan mendapat sambutan, tetapi berbeda jika yang lahir adalah anak perempuan. Kemudian, terdapat anggapan yang memosisikan perempuan lebih rendah dari pada laki-laki, seperti anggapan bahwa laki-laki adalah langit dan
9
perempuan adalah bumi sehingga seorang istri harus patuh kepada suaminya. Tentu saja fenomena seperti ini tidak hanya terdapat pada masyarakat Korea, tetapi dalam masyarakat Korea anggapan seperti ini terasa lebih kuat karena pengaruh Konfusianisme (I Chang Hon, dkk, 2001:7). Konfusianisme adalah ilmu filsafat yang mendominasi dunia filsafat di Asia Timur selama ribuan tahun, aturan-aturan yang menjadi dasar Konfusianisme adalah samgangoryun. Aturan-aturan tersebut terdiri atas beberapa komponen, yaitu tiga singkatan dan lima prinsip moral. Tiga singkatan tersebut adalah (1) gunwisingang ‘bawahan raja harus melayani raja’: (2) buwijagang ‘anak-laki-laki harus melayani ayahnya’: dan (3) buwibungang ‘istri harus melayani suaminya’. Selanjutnya, lima prinsip moral yang terdiri atas (1) gunsinyui ‘antara raja dan bawahan harus ada kesetiaan’: (2) bujayuchin ‘antara bapak dan anak laki-laki harus ada kesetiaan’: (3) bubuyubyol ‘antara suami dan istri harus ada pembedaan’: (4) janguyusin ‘antara orang dewasa dan anak muda harus ada aturan’: dan (5) bunguyusin ‘antar teman harus ada kepercayaan’ (I Gi Young, dkk, 2009:444). Berdasarkan uraian tersebut, diketahui bahwa sejak zaman dahulu, masyarakat Korea penempatan laki-laki dan perempuan sangatlah berbeda. Dari penjelasan di atas, secara khusus masyarakat tradisional Korea merupakan masyarakat yang memegang budaya patriarki. Dalam masyarakat tradisional Korea, perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak boleh mandiri secara emosi. Praktik-praktik budaya patriarki dalam keluarga kadang tidak disadari oleh kaum perempuan sebagai pihak yang dirugikan. Maka dari
10
itu muncullah dominasi maskulin dari laki-laki yang tanpa disadari diterima oleh perempuan. Hal ini disebabkan oleh ruang lingkup keluarga adalah tempat yang incividual, tertutup, dan tidak mudah diketahui oleh orang luar. Fakta sosial dalam penjelasan di atas, wacana dominasi maskulin seperti yang telah diuraikan sebelumnya, tergambar dalam dunia subordinat perempuan dalam sebuah teks yang secara kulturalnya merupakan ciptaan pengarang untuk menggambarkan perilaku maskulin dan kedudukan perempuan
dalam
masyarakat.
Gambaran
sosial
manusia
beserta
permasalahannya direfleksikan dalam karya sastra. Dunia sastra, sebagaimana dijelaskan oleh Aristoteles, merupakan gambaran dari sebuah dunia kenyataan dan ide-ide yang berkaitan satu sama lainnya (Luxemberg, 1986:17) sehingga karya sastra khas mewakili individu, sehingga perjuangan tentang memaknai identitas adalah perjuangan dalam diri individu dan antara individu dengan kelompok. Karakter perjuangan semacam ini sesungguhnya melawan sekaligus mematuhi norma sosial dan harapan. Ketika karya film dibuat dengan keprihatinan mengenai apa artinya menjadi perempuan, karya film juga menjelajahi bagaimana tuntutan masyarakat (maskulin) membatasi kemungkinan-kemungkinan individu (feminin). Sastra dan film pada awalnya tidak memiliki hubungan apapun. Atar (1993:8) menilai sastra sebagai suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehiupannya menggunakan bahasa tulis sebagai medium utamanya. sedangkan film adalah audio visual (bahasa gambar) yang ditonton, kemudian berkembang dengan istilah sains, estetika
11
dan teknologi. Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan dunia seni akan materi-materi seni yang berhubungan dengan lembaga kehidupan, membuat terciptanya hubungan antara film dan sastra. Dalam hal ini, film tidak bertitik tolak terhadap karya sastra itu, tetapi mengembangkannya seluas dan sebebasnya. Karya sastra dijadikan radar untuk menciptakan karya baru, salah satunya membahas tentang fenomena yang terjadi di masyarakat. Salah satu karya sastra yang di dalamnya menggambarkan adanya dominasi maskulin yaitu film berjudul Pieta. Pieta sendiri mengacu pada patung marmer karya Michaelangelo, yang menggambarkan Bunda Maria sedang menopang jasad putranya Yesus, seperti juga penggambaran pada poster film ini. Sutradara Kim Ki-duk melalui judul tersebut, menampilkannya sebagai alegori sekaligus metafora dalam kisah film Pieta yang menggambarkan kejadian pada patung Pieta. Film yang bergenre drama thriller ini menceritaan tentang kehidupan seorang laki-laki penagih hutang kejam dimana ia tidak segan untuk mencelakakan para nasabahnya untuk mendapatkan gantirugi asuransi. Thriller pada bahasa Indonesia merupakan “cerita seru”, yang dimaksud genre thriller adalah sebuah genre sastra film dan acara televise yang memiliki banyak subtipe di dalamnya. Tipe alur ceritanya biasanya berupa para jagoan yang berpacu dengan waktu, penuh aksi menantang, dan mendapatkan berbagai bantuan yang kebetulan sangat dibutuhkan untuk menggagalkan rencana-rencana kejam para antagonis yang lebih kuat dan lebih lengkap persenjataanya (https://id.wikipedia.org/wiki/Cerita_seru). Pada cerita film Pieta ini, cukup
12
merepresentasikan dominasi maskulin yang dilakukan oleh tokoh utama lakilaki kepada tokoh perempuan. Kim Ki Duk (김기독) merupakan orang yang sangat berpengaruh di dalam pembuatan naskah dan film Pieta. Ialah yang menyutradarai serta berkerja sama memroduseri dengan Kim Soon Mo (김선모). Film yang berdurasi 104 menit ini rilis perdana di Korea Selatan pada tanggal 6 September 2012. Karya Kim, film Pieta (2012), dipuji oleh para kritikus sebagai bentuk kembalinya Kim pada tahun ini di Venice Film Festival, dimana ia dianugerahi Golden Lion. Ini bukan hanya penghargaan paling bergengsi yang pernah dimenangkan oleh sutradara, ini adalah pertama kalinya dalam sejarah untuk film Korea Selatan mendapatkan penghargaan tertinggi disalah satu dari tiga festival paling bergengsi di dunia, yakni Cannes, Venice, dan Berlin. Tidak hanya itu saja, film Pieta juga dipilih sebagai Film Bahasa Asing Terbaik di Academy Award 2012. Film yang dinaungi Next Entertainment World ini diperankan oleh aktris dan aktor yang namanya sudah banyak membintangi perfilman di Korea Selatan, terdapat nama-nama yang sudah tidak asing lagi seperti Lee Jung Jin, Jo Min Soo, Kang Eun Jin, Woo Gi Hong, Jo Jae Ryong, Lee Myeong Ja, Heo Jun Seok, Kwon Se In. Film karya Kim Ki Duk ini merepresentasikan kekerasan fisik dan kekerasan seksualitas yang dikemas dengan cermat hingga menarik perhatian para kritikus film. Karya film Kim Ki Duk memiliki karakteristik khusus dari film-
13
film oleh sutradara lain di Korea Selatan. Namun sebelumya karya film Kim tidak begitu terkenal di negaranya sendiri walaupun filmnya berhasil dalam festival internasional. Kritikus prancis Laganrn Cndric mengamati bahwa, “Orang tidak saling berbicara dalam film Kim Ki Duk, orang saling memukul. Hubungan antar manusia selalu frontal, langsung, dan terselubung, tidak pernah dimediasi lewat kata-kata, yang seharusnya mampu menetralkan kekerasan” (KOREANA SENI & BUDAYA KOREA. “Gairah Gaya Fashion Korea” Vol.1 No.2, 2012). Dalam penelitian ini penulis ingin mengulas salah satu karya Kim Ki Duk yang berjudul Pieta (피에타). Film ini menggambarkan kehidupan masyarakat Korea yang cukup merepresentasikan adanya dominasi maskulin yang dilakukan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Hal yang akan di angkat oleh penulis merupakan dominasi yang dialami oleh tokoh perempuan, baik yangt bersifat fisik maupun simbolik, keduanya memiliki makna yang sama, karena kekerasan simbolik itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial. Penelitian yang penulis lakukan berjudul Representasi Dominasi maskulin Pada Tokoh Perempuan dalam Film Pieta (피에타). Chris Barker (2004:8) menyebutkan, bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural studies. Representasi adalah konsep yang memiliki beberapa pengertian. Representasi adalah proses sosial dari representing yang secara
14
sederhananya berarti “menghadirkan sesuatu (kembali)” atau “menghadirkan arti suatu tanda”. Representasi sendiri dimaknai sebagai, bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu. Pada penelitian ini akan dianalisis dengan beberapa teori maskulinitas dari Pierre Bourdieu, yakni pertama, teori penokohan dengan menggunakan pendekatan teori habitus, untuk mengungkap habitus disetiap tokoh-tokoh yang bersangkutan dengan tema. Kedua, teori dominasi simbolik dalam wacana maskulin di Korea Selatan. Sejauh ini penelitian tentang topik dominasi maskulin masih jarang dilakukan, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu wawasan untuk mengetahui posisi perempuan di Korea Selatan yang kebanyakan masyarakatnya manganut sistem patriarki.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan problematika di atas penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: A. Bagaimanakah gambaran habitus tokoh-tokoh di dalam karya sasta film Pieta (피에타)? B. Bagaimanakah bentuk dominasi maskulin tokoh laki-laki terhadap tokoh perempuan di dalam karya sastra film Pieta (피에타)?
15
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan persoalan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: A. Untuk mengungkapkan gambaran habitus tokoh-tokoh di dalam karya sasta film Pieta (피에타) B. Untuk mengungkapkan bentuk dominasi maskulin tokoh laki-laki terhadap tokoh perempuan di dalam karya sastra film Pieta (피에타)
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaatnya adalah sebagi berikut: A. Manfaat Teoretis Untuk membuktikan teori-teori yang dipakai dalam analisis ini dan juga menambah jumlah penelitian tentang dominasi maskulin. B. Manfaat Praktis Menambah pengetahuan pembaca mengenai karya sastra film yang mengandung unsur-unsur dominasi maskulin di dalamnya.
1.5 Tinjauan Pustaka
16
Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti telah melakukan survey terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya untuk menunjukan keorisinilan penulisan skripsi ini. Setelah melakukan survey, studi dan penelitian mengenai kajian maskulin masih terbilang sedikit dilakukan. Oleh karenanya, dengan penelitian mengenai kajian dominasi maskulin dapat menjadi salah satu cara untuk menambah pengetahuan mengenai maskulinitas yang terjadi di dalam sistem kehidupan di masyarakat kita. Penelitian mengenai dominasi maskulinitas pernah dilakukan oleh Mareta Ika Christyani (2013) jurusan Sastra Prancis yang berjudul “Dominasi Maskulin Dalam Cerpen-Cerpen Karya Guy De Maupassant”. Penelitian ini membahas tentang citra kaum laki-laki yang digambarkan di dalam kumpulan cerpen karya Guy De Maupassant. Sejauh pengamatan penulis, penelitian yang membahas maskulinitas dalam bentuk makalah, laporan penelitian atau skripsi masih jarang dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain. Namun ada beberapa judul penelitian yang pernah diteliti dan berhubungan dengan nilai yang terkandung di dalam maskulinitas yaitu skripsi yang berjudul “Kekerasan Terhadap Tokoh Perempuan Dalam Novel Wajah Sebuah Vagina Karya Sastra Naning Pranoto: Analisis Kritik Sastra Feminis” yang ditulis oleh Dian Saraswati (2011) mahasiswi jurusan Sastra Indonesia. Skripsi ini mengulas kekerasan terhadap perempuan dan mengidentifikasikan tokoh perempuan dan tokoh laki-laki di dalam novel tersebut.
17
Selain itu skripsi yang ditulis oleh Kumara Mahmusi Pratama (2011) jurusan Sastra Indonesia yang berjudul “Ketidak Adilan Gender Dan Perlawanan Terhadapnya Dalam Novel Maharani Karya Agnes Jessica: Kajian Kritik Sastra Feminis”. Skripsi ini juga menitik beratkan perlawanan perempuan di tengah-tengah dominasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Namun berbeda dari apa yang akan penulis bahas, skripsi ini menggunakan kajian kritik sastra feminis. Kemudian pada skripsi yang di buat oleh Carolina Bayu Listyasanti yang berjudul “Perlawanan Perempuan Terhadap Dominasi Maskulin dalam Cerpen La Chambre Karya Jean Paul Sartre dan Sulasih Karya Putu Fajar Areana: Tinjauan Sastra Banding”. Dalam Carolina menganalisis tentang bentuk kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan. serta bentuk perlawanan yang dilakukan kaum perempuan sehingga ia menemukan kebebasannya. Selajutnya terdapat jurnal yang ditulis oleh Muhadjir Darwin mengenai pembahasan komperhensif dan secara singkat mengenai konsep maskulin,
yang
berjudul
“MASKULINITAS:
Posisi
laki-laki
dalam
Masyarakat Patriarkis”. Pembahasan pada jurnal ini adalah isu laki-laki dalam masyarakat patriarkis dengan melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap konsep maskulinitas. Di dalam bahasan majalah Gogirledisi bulan Februari 2014 yang berjudul “ROAR!”. Pada headline feature membahas tentang Sexually Objectified. Pada rubrik ini membahas tentang peranan wanita yang hanya
18
sebagai objek seksualitas dan tubuh perempuan dianggap cara cepat untuk menarik perhatian dalam dunia bisnis hiburan. Tulisan tersebut membahas bagaimana dominasi media dan kaum kapital (laki-laki) mengontrol kaum perempuan. Pembahasan mengenai film “Pieta” (2012)pada majalah KOREANA Seni & Budaya Korea,edisi musim dingin 2012 yang berjudul “Gairah Gaya Fashion Korea”. Pada salah satu rubrik yang berjudul Sutradara Asing, ‘Kim Ki-duk Meraih Golden Lion di Venezia’ sedikit membahas mengenai film Pieta (2012) yang didalamnya terdapat adegan kekejaman yang justru membangun hubungan emosional bagi para penonton. Namun hal yang lebih penting dalam tataran anlaisis mengenai dominasi maskulin pad film ini, belum ditemukan pada saat ini. Mengingat masih terbatasnya penelitian tentang dominasi terhadap perempuan yang menggunakan teori dan sudut pandang dari maskulinitas, utamanya dalam konteks analisis film pieta (2012), maka diharapan penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi dalam pembahasan karya sastra. Hal yang membuat penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah ada adalah perbedaan objek dan teori yang digunakan. Objek kajian dalam penelitian ini adalah film yang diadaptasi dari realita permasalahan perekonomian mengengah kebawah masyarakat Korea Selatan. Hal ini membuat film ini merepresentasikan sebuah dominasi maskulin yang ada dalam kehidupan masyarakat Korea. Selain itu kajian maskulin yang digunakan merepresantisan permasalahan dari sudut yang berbeda yakni dari
19
sisi laki-laki, berbeda dari kebanyakan penelitian yang mengangkat isu feminis. Dengan adanya beberapa pertimbangan tersebut, penelitian ini menjadi penelitian baru yang berbeda daripada penelitian yang lain.
1.6 Landasan Teori Berdasarkan permasalahan yang ditemukan, penulis akan menerapkan teori sesuai dengan permasalahan yang terdapat dalam film Pieta. Berikut adalah teori-teori yang akan digunakan untuk menganalisa film Pieta. A.
Teori Maskulin Dalam banyak kebudayaan posisi laki-laki berada lebih tinggi secara struktural dibandingkan dengan perempuan. Pierre Bourdieu dalam bukunya dominasi
maskulin
mengungkapkan
“tubuh
dan
gerakan-gerakannya
merupakan matriks-matriks yang mencakup segala yang universal yang tunduk pada suatu kerja kontruksi sosial.” Simbolisme yang didekatan kepada tubuh dan gerakannya itu bersifatkan universal sekaligus “bermotivasi” yang diterima sebagai hal yang setengah natural. Perbedaan yang terlihat pada organ seksual maskulin dan feminism adalah sebuah konstruksi sosial yang meletakkan prinsipnya dalam prinsipprinsip pembagian status sosial yang ditujukan untuk laki-laki dan perempuan.” (Bourdieu, 1998:21). Dari kutipan di atas, Bourdieu mengatakan bahwa perbedaan yang mencolok antara laki-laki dan perempuan merupakan konstruksi sosial. Masyarakat merupakan pembentuk dari perbedaan-
20
perbedaan tersebut, jika jenis kelamin seseorang didapat sejak lahir, maka segala sesuatu yang membuat citra seseorang laki-laki dan perempuan adalah kesepakatan sosial itu sendiri atau yang biasa dikenal dengan gender. Bourdieu menggambarkan pada contoh-contoh virilisasi (kejantanan) yang ada pada laki-laki yang tidak terlepas dari konstruksi budaya. Virilitas dipahami sebagi kapasitas reproduktif yang bersifat seksual dan sosial, tetapi juga dianggap sebagai kelayakkan untuk melakukan pertarungan dan penggunaan kekerasan. Laki-laki biasanya bermain panjat-panjatan, lari-larian, sedangkan perempuan bermain pasar-pasaran dan bermain boneka yang secara fisik harus mengakui kegagahan dan dominasi laki-laki. Sementara laki-laki dituntut untuk menegaskan kejantananya, struktur simbolik perempuan menyuruh mereka untuk menutup diri misalnya dari posisi duduk, cara menatap seseorang dan lain-lain. jadi dalam selubung mitos, perempuan disuruh untuk diam dan ketakutan simbolik sebagai suatu kebenaran adalah bentuk kekerasan yang diberlakukan atas tubuh secara langsung dan seperti sihir (Bourdieu, 2010:22). Perempuan dengan feminin-nya kemudian direduksi menjadi “barang” melalui perkawinan yang harganya tergantung dari status kemurnian mereka. Dalam perkawinan, dominasi simbolik dalam reproduksi biologis terdapat pada genealogi keluarga melalui keutamaan sang ayah (melalui nama keluarga misalnya) yang menyembunyikan peran ibu dalam persalinan demi melestarikan status genealogis. Laki-laki yang menguasai ruang publik menguasai pula aktifitas produksi, yang kemudian mempunyai hak untuk
21
menegaskan kejantanan dalam permainan olahraga yang memperebutkan kehormatan, sementara perempuan sebaliknya sehingga bisa dikatakan perempuan dihilangkan haknya dalam kesetaraan kehormatan. Karena karateristik laki-laki dianggap lebih kuat, maka laki-laki dilekatkan pada tindakan berkonotasi keras dan agresif. Hal itu dibuktikan oleh fakta bahwa umumnya kaum perempuan masih belum mendapatkan jabatan heirarkis yang sesuai dengan fungsi nyata mereka. Namun ada paradoks yang menarik, yaitu bahwa sebenarnya laki-laki sendiri mengalami penderitaan simbolik, karena terus menerus dituntut untuk menunjukan virilitasnya agat tidak dilecehkan sebagai “perempuan”. Dalam hal ini Bourdieu mengungkapkan (2010:42), oposisi maskulin dan feminin dalam tatanan masyarakat dengan budaya patriarki menimbulkan relasi yang bersifat sosial dominasi dan eksploitasi untuk kemudian dilembagakan di antara gender. Oleh sebab itu, perempuan dikondisikan untuk selalu menyingkir dan diam. Mereka tidak bisa menggunakan suatu kekuatan kecuali dengan mengembalikan kepada si kuat, kekuatan sikuat itu, atau dengan rela menyingkir. Jadi bagaimanapun, perempuan hanya bisa mengingkari kekuasaan yang tidak bisa digunakannya kecuali dengan mengusahakannya (dalam keunggulan yang abu-abu). Dengan demikian konsep maskulin dan feminis diartikan sebagai praktik sosial dalam hubungannya dengan relasi gender yang berkaitan satu sama lain. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa maskulinitas merupakan sebuah konstruksi yang dibuat oleh kebudayaan untuk mengarahkan
22
masyarakat dan untuk menjadi sesuatu yang dimiliki masyarakat dan dapat diperlakukan sesuai kemauan masyarakat itu sendiri. Dengan uraian di atas maka diharapkan proses internalisasi habitus ini akan terungkap lewat pengamatan tokoh-tokoh dalam film Pieta.
a) Habitus Dalam bahasa latinnya, habitus bisa berarti kebiasaan (habitual), penampilan diri (appearance) atau bisa pula menunjuk pada tata pembawaan yang terkait dengan kondisi tipikal tubuh (Fauzi Fashri, 2014:93). Konsep habitus berasal dari tradisi pemikiran filsafat, bukan diciptakan murni dari Bourdieu. Habitus menurut Bourdieu berada diantara subjektivisme dan objektivisme. Bourdieu menyatakan bahwa kehidupan sosial masyarakat bukanlah semata-mata suatu agregat perilaku individu namun juga sebuah hasil dari kondisi-kondisi objektif yang menstrukturkan kebebasan praktis kesadaran manusia. Teori habitus muncul sebagai imbas dari ketidakpusan Bourdieu terhadap paham subjektivisme dan objektivisme. Ia menilai kedua paham tersebut gagal memahami apa yang disebut Bourdieu sebagai “objektivitas subjektif” (Bourdieu, 2010:30). Subjektivisme gagal memahami landasan sosial yang membentuk kesadaran, sedangkan objektivisme melakukan yang sebaliknya, gagal mengenali realitas sosial di tataran tertentu yang dibentuk oleh konsepsi dan representasi yang dilakukan individu-individu terhadap dunia sosial (Bourdieu, 2010:30). Konsep habitus adalah sebuah alternatif bagi solusi yang ditawarkan
23
subjektivisme dan suatu reaksi terhadap filsafat tindakan ganjil ala strukturalisme yang mereduksi agen hanya seorang pengemban atau ekspresi bawah sadar struktur. Habitus merupakan sebuah proses panjang pencekokan individu (process of inculcation) yang dimulai sejak masa kanak-kanak. Sebuah sistem habitus, yang masing-masing individu menerapkan disposisinya sendiri untuk menghadapi realitas sosialnya. Pada tahap lebih lanjut, disposisi diri ini menjadi pengalaman mental yang sudah biasa dialami, sehingga tidak lagi objektif atau “dipaksakan” dan menjadi subjektif “normal”. Habitus terletak dalam fakta bahwa suatu kecendrungan membawa pola pembawaan tertentu yang secara tidak sadar menjadi sebuah kebiasaan. Keterbiasaan menerima struktur objektif sosial, lama-kelamaan menjadikan masing-masing individu “terbiasa” dalam pemikiran dan perilaku. Kebiasaan tidak berdasarkan alasan atau nalar, melainkan lebih merupakan sebuah keputusan implusif seperti yang dibuat petenis yang berlari mencegat bola di depan net (Sutrisno &Putranto, 2005:179). Interaksi manusia dengan habitus senantiasa melekat, tidak bisa dipisahkan, saling memengaruhi dan melebar. Hal inilah yang akhirnya membuat hubungan doxa muncul. Doxa adalah kepercayaan dan nilai-nilai tak sadar, berakar mendalam, mendasar yang dipelajari, yang dianggap sebagai universal-universal yang terbukti dengan sendirinya, yang menginformasikan tindakan-tindakan dan pikiran-pikiran seorang agen dalam ranah (fields) tertentu. Doxa cenderung mendukung pengaturan sosial tertentu pada ranah terebut, dan dengan demikian mengistimewakan pihak yang dominan dan mengganggap posisi
24
dominan tersebut sebagai terbukti dengan sendirinya dan lebih disukai secara universal. Ranah yang dimaksud oleh Bourdieu (1992:215) adalah sebuah sistem dan relasi-relasi. Ranah merupakan ruang sosial uang integral dan memiliki kekuatan dan strukturnya sendiri. Di satu sisi habitus mendasari terbentuknya ranah. Berbeda halnya dengan habitus, ranah berada terpisah dari kesadaran individu yang secara objektif berperan menata hubungan individu-individu. Ranah bukanlah interaksi intersubjektif antar individu, melainkan hubungan yang terstruktur dengan secara tidak sadar mengatur posisi individu yang terbentuk secara spontan. Ranah merupakan arena kekuatan yang di dalamnya terdapat upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal) dan juga demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Ranah juga merupakan arena pertarungan dimana mereka yang menempatiya dapat mempertahankan atau mengubah konfigurasi kekuasaan yang ada. Struktur ranahlah yang membimbing dan memberikan strategi bagi penghuni posisi, baik individu maupun kelompok, untuk melindungi atau menigkatkan posisi mereka dalam kaitannya dengan jenjang pencapaian sosial. Dalam suatu ranah, terdapat kekuatan-kekuatan dan terdapat orangorang yang memiliki modal besar dan orang-orang yang tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Dalam ranah intelektual terdapat sebuah modal istimewa dan spesifik: otoritas, prestise, status, dan sebagainya. Ranah
25
kekuatan merupakan ruang bagi relasi antara agen yang memiliki posisi dominan dalam ranah yang berbeda. Pola-pola kekerasan selalu berada di dalam ruang kekuasaan. keduanya tidak bisa dipisahkan, kehadiran kekerasan mengandaikan mekanisme kekuasaan tertentu. Begitupun dengan konsepsi dan pola kerja kekerasan simbolik selalu menyimpan relasi kekuasaan tertentu. Interaksi kekuasaan untuk mendapatkan dominasi membutuhkan mekanisme objektif agar dapat diterima oleh individu atau kelompok yang akan dikuasai. Mekanisme ini berjalan secara halus sehingga menyebabkan yang didominasi tidak sadar, patuh, dan menerima begitu saja. Mekanisme ini disebut sebagai kekersan simbolik (Symbolic violance). Dengan begitu, kekerasan simbolik merupakan bentuk kekerasan yang halus dan tidak tampak, yang menyembunyikan dibaliknya relasi kekuasaan. Setelah konsep habitus yang telah diuraikan sebelumnya, maka untuk memasukkan konsep habitus dalam permasalahan berikutnya, selanjutnya penelitian ini akan beranjak pada dominasi maskulin dalam konsep Bourdieu. Seperti yang telah diuraikan sistem masyarakat patriarkis menempatkan lakilaki sebagai kelas dominan, ini berarti secara tidak langsung memarjinalkan perempuan beserta peran-perannya dalam tatanan masyarakat. Hal semacam itulah yang disebut sebagai kekerasan simbolik (Bourdieu, 1990:133). Apabila konsepsi kekerasan dimaknai sebagai sebuah upaya menghadirkan pemaksaan sebagai mekanismenya, maka kekuasaan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Bisa berupa kekerasan fisik dengan tubuh sebagai objek kekerasan, bisa pula
26
kekerasan psikologis (jiwa), kekerasan struktur negara terhadap individu ataupun kelompok, dan sebagainya.
b) Dominasi Maskulin Dominasi Maskulin dibuat oleh Pierre Bourdieu berdasarkan penelitiannya terhadap masyarakat Qubail yang kemudian dibagian akhir Bourdieu menganalisa struktur simbolik gender pada masyarakat modern. Permasalahan yang diangkat oleh Bourdieu adalah bagaimana modal material (ekonomi) dan modal simbolik merepresentasi dan terus direproduksi dari golongan yang superior yakni laki-laki yang memiliki sifat maskulin, terhadap yang inferior yaitu perempuan yang memiliki sifat feminin. Dominasi tersebut menimbulkan kekerasan yang sangat halus, tidak terlihat dan tidak disadari yang oleh Bourdieu disebut sebagai kekerasan simbolik. Dalam kaitannya dengan dominasi laki-laki, adalah bagaimana konstruksi gender di-seks-kan, yaitu bagaimana suatu konstruksi-konstruksi sosial menjadi suatu yang given atau dialamiahkan. Bourdieu menganalisis dominasi maskulin sebagai wujud paradigmatik dari kekerasan simbolik (semacam kekerasan kasat mata, halus namun pervasif) yang sering kali mendapat persetujuan dari pihak yang akan dikuasai. Kekuasaan simbolis biasanya memaksakan pemaknaan secara sah dengan menyembunyikan hubungan kekuatan yang merupakan dasar kekuasaanya. Bourdieu mengatakan istilah teknis doxa, yaitu sudut pandang penguasa atau
27
dominan yang menyatakan diri dan memberlakukan diri sebagai sudut pandang yang universal (Bourdieu, 2010:129). Penguasaan atas wacana menjadikan dominasi laki-laki seakan wajar dan alamiah. Menurut Bourdieu, visi laki-laki memaksakan diri seakan netral dan tidak perlu harus terungkap dalam bentuk wacana yang ingin melegitimasi (Haryatmoko, 2010:15). Tatanan sosial di dalam masyarakat tersimbolis mengesankan dominasi maskulin terutama dalam hal pembagian kerja, pembagian kegiatankegiatan yang didasarkan pada perbedaan seks, tempatnya, saatnya dan instrumen-instrumennya. Semua bentuk dominasi itu seakan sah dan tidak perlu dipertanyakan lagi karena semua berjalan wajar dan diterima. Struktur tempatpun sudah terposisikan antara tempat pertemuan dan pasar kusus untuk laki-laki, sedangkan rumah untuk perempuan. Bourdieu melihat habitus sebagai kunci reproduksi sosial karena habitus adalah pusat pembuatan dan pembatasan hal-hal yang menjadi kehidupan sosial. Dengan demikian, dominasi tidak selalu dalam bentuk penjajahan atau kasat mata seperti penindasan fisik, ekonomi atau sosial, tetapi bisa dalam bentuk dominasi simbolik yang sering secara sadar atau tidak disetujui korbannya (Haryatmoko, 2010:5). Reproduksi atas dominasi simbolik maskulin menurut Bourdieu dilanggengkan terutama oleh tiga institusi, yakni Keluarga, Gereja dan Sekolah. Ketiga institusi tersebut dimainkan bersama secara objektif dan bekerja atas struktur-struktur tak sadar. Keluarga merupakan tempat dimana visi maskulinitas diajarkan semenjak dini. Gereja, karena menurut Bourdieu
28
sebagai tempat yang dihuni oleh anti feminisme radikal melalui jargon-jargon keimanan yang mengesahkan dan memaksa monarki hak ilahi pada otoritas ayah. Sedangkan, sekolah karena terus menerus menyampaikan representasi patriarkal ala Aristotelian. Dari ketiga institusi tersebut, maka Negara juga memiliki peran dalam meratifikasi dominasi patriarki dalam institusi-institusi maupun hukum yang dilahirkanya. Mekanisme dominasi simbolik akan memuncak pada pemikiran Bourdieu tentanng doxa. Doxa merupakan pandangan penguasa (pendominasi) yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sipak kritis pada pandangan penguasa. Pandangan penguasa itu biasanya bersifat sloganistik, sederhana, populer dan amat mudah dicerna oleh rakyat banyak, walaupun secara konseptual pandangan tersebut mengandung banyak kesesatan. Doxa
menunjukkan,
mempertahankan
dan
bagaimana
mengembangkan
penguasa
bisa
meraih,
kekuasaannya
dengan
mempermainkan simbol yang berhasil memasuki pikiran yang dikuasai, sehingga mereka kehilangan sikap kritisnya pada penguasa. Pihak yang dikuasai melihat dirinya sama dengan penguasa. Mereka ditindas, tetapi mereka tidak pernah merasa ditindas, karena mereka hidup di dalam doxa. Dalam doxa pemahaman sudah tidak lagi dipikirkan, sudah tertanam dan diterima sebagai kebiasaan yang mendasari perilaku dan pemikiran dalam social fields (arena lapangan perjuangan sosial) tertentu.
29
Doxa bertendensi untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka yang memberikan previlise pada yang dominan dan mereka yang memperlakukan posisi dominanya sebagai sebuah keuntungan. Maka, kategori-kategori pemahaman dan persepsi yang mengkonstitusikan sebuah habitus yang harmonis dengan tujuan organisasi dalam sebuah lapangan, bertendensi untuk memproduksi struktur dalam lapangan. Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategorikategori pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial yang terdominasi, yang kemudian menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang adil. Ini adalah penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang strukturstruktur tindakan dari pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang posisi pihak yang dominan ini sebagai yang ‘benar’. Bourdieu secara tegas menyatakan, efek dari dominasi simbolik itu sendiri adalah menempatkan perempuan dalam ketidak pastian jasmaniah atau membuat perempuan berada dalam situasi ketergantungan simbolik. Dominasi maskulin menjadikan perempuan sebagai barang-barang simbolik.
1.7 Metode Penelitian Dalam menganalisis film Pieta, penulis memanfaatkan beberapa cara untuk mengkajinya. Langkah pertama adalah dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan membantu memecahkan masalah yang terjadi pada masa sekarang serta berpusat pada masalah
30
yang aktual. Metode deskriptif bersifat memperjelas setiap langkah penelitian dengan terperinci. Winarno Surakhmad (1998:140) berpendapat bahwa metode deskriptif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) Memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang, pada masalah yang aktual 2) Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan dianalisis (karena itu metode ini sering disebut metode analitik). Sampel penelitian dalam karya sastra ini adalah film Pieta. Penulis memilih karya sastra tersebut dikarnakan memiliki daya tarik dalam penggambaran kehidupan realitas penduduk Korea Selatan kelas ekonomi bawah yang menghadapi berbagai macam dominasi maskulin, sehingga dapat diteliti apa saja pengaruh dan dampak dominasi serta relasinya dengan maskulinitas. Berdasarkan sampel tersebut penulis memilih teknik pengumpulan datanya dengan cara studi pustaka atau studi refrensi yang digunakan untuk mempelajari dan mengkaji beberapa sumber tertulis seperti buku, kamus, artikel, dan penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan karya sastra yang akan dibahas sebagai bahan acuan untuk landasan teoretis dalam menganalisis data hasil penelitian. Data hasil penelitian yang di kumpulkan berupa kata, kalimat, paragraf, wacana, gambar, foto, dan lain sebagainya.
31
1) Tahap pemilihan data, dalam mengerjakan penelitian ini diawali dengan pemilihan karya sastra yang akan menjadi objek penelitian, dan pilihan jatuh pada film Pieta karya Kim Ki Duk. 2) Tahap pengumpulan data, tahap ini dimulai dengan mengumpulkan datadata dan beberapa referensi lain yang bersumber dari buku-buku yang berhubungan dengan tema penelitian. Serta menggumpulkan potongan dialog dan pengilustrasian dialong tersebut dengan mencari potongan gambar pada film yang tepat. Kemudian disusun sesuai bentuk-bentuk dominasi yang muncul. 3) Tahap analisis data Menganalisis semua data yang terkait dengan menggunakan teori dari Pierre Bourdieu. Analisis data disertai bukti-bukti kalimat dari kalimat asli dan terjemahan. Objek analisis tersebut merupakan potongan gambar pada film Pieta beserta dialog para tokoh yang menyangkut tema dominasi maskulin. Kemudian objek tersebut dipisahkan menurut bentuk-bentuk dominasi maskulin yang ada, dan kemudian di analisis sesuai teori milik Pierre Bourdieu. 4) Tahap kesimpulan Pada tahap ini semua data yang telah terkumpul akan dianalisis.
1.8
Sistematika Penulisan Sistematika
penyajian
penulisan
ini
dibagi
dalam
urutan
penyusunan sebagai berikut.
32
Bab I pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Landasan teori berisi teori yang digunakan untuk melakukan penelitian. Penelitian ini menggunakan teori dominasi maskulin milik Pierre Bourdieu yang di bantu oleh teori penokohan. Bab II pembahasan, berisi pembahasan mengenai penggambaran habitus dari tokoh-tokoh film Pieta. Bab III pembahasan, berisi pembahasan mengenai bentuk-bentuk dominasi maskulin yang terdapat pada film Pieta. Bab IV kesimpulan dari pembahasan yang dihasilkan di dalam analisis bab II dan bab III. Di bagian akhir, peneliti mencantumkan Daftar Pustaka yang berisikan berisi judul-judul buku, tulisan-tulisan dan sumber internet yang menunjang penelitian. Lampiran berupa data pendukung seperti potongan-potongan gambar dari film Pieta yang menurut kategori bentuk kekerasan yang berada dibawah kontrol dominasi maskulin.
33