1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
manusia
di
dalam
masyarakat, individu yang satu senantiasa berhubungan dengan individu yang lain. Dengan perhubungan tersebut diharapkan kebutuhan yang dikehendaki individu yang satu akan dipenuhi oleh individu yang lain, demikian pula sebaliknya secara timbal balik. Perjanjian merupakan wujud dari hubungan kerjasama yang mengikat antara dua individu atau lebih. Hukum perjanjian bersifat terbuka atau mempunyai satu asas kebebasan berkontrak, artinya kebebasan yang diberikan seluas-luasnya kepada siapapun untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Para pembuat perjanjian boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal dalam hukum perjanjian. Pasal-pasal dari hukum perjanjian bersifat pelengkap, yang berarti pasal-pasal tersebut dapat dikesampingkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu hal, berarti hal tersebut akan tunduk pada undang-undang yang berlaku.1 Sistem terbuka ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-udang bagi mereka yang membuatnya”. 1
Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 13
2
Dalam beberapa perjanjian yang timbul dalam masyarakat, perjanjian jual beli semakin lama makin penting untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam masyarakat. Adapun yang dapat dijadikan perjanjian jual beli sangat banyak, baik benda bergerak maupun benda tetap. Jual beli benda bergerak dapat berupa jual beli kendaran seperti mobil, dan jual beli benda tetap contohnya adalah jual beli tanah. Dengan perkembangan penduduk yang meningkat seperti saat sekarang ini, terjadi keterbatasan tersedianya lahan atau tanah yang ada, karena tanah yang tersedia dari waktu ke waktu tidak pernah bertambah, sementara kebutuhan akan tanah atau lahan semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah sekarang ini juga bukanlah hal yang mudah ditengah tingginya kebutuhan akan tanah, terutama untuk wilayah perkotaan. Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan tanah saat ini melalui jual beli. Dalam masyarakat kita jual beli bukanlah hal yang baru, karena jual beli telah dilakukan sejak zaman dahulu. Jual beli biasanya dilakukan dengan perjanjian atau yang dikenal dengan perjanjian jual beli. Berdasarkan hukum adat jual beli merupakan perjanjian yang bersifat riil, maksudnya penyerahan barang yang diperjanjikan merupakan syarat yang mutlak dipenuhi dengan adanya sebuah perjanjian. Dengan kata lain, apabila telah diperjanjiakan suatu hal namun dalam prakteknya belum diserahkan obyek perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut dianggap tidak ada atau belum ada perjanjian.2 2
Subekti, 1988, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 29.
3
Dalam praktek banyak dikalangan masyarakat awam, dimana jual beli hak atas tanah yang merupakan salah satu perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah hanya dilakukan dengan bukti selembar kwitansi biasa saja. Sebenarnya hal ini tidak dilarang, hanya saja tentunya hal ini akan menimbulkan
kesulitan-kesulitan
bagi
si
pembeli
ketika
dia
akan
mendaftarkan hak atas tanahnya atau melakukan balik nama hak atas tanah yang telah dibelinya ke Kantor Pertanahan, karena Kantor Pertanahan pasti akan menolak untuk melakukan pendaftaran disebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat tentang pendaftaran tanah. Perjanjian jual beli sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang, dalam hal tanah adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang daerah kerjanya meliputi daerah tempat tanah yang diperjualbelikan berada. Dalam kehidupan interaksi antara masyarakat di zaman modern ini semua perbuatan hukum antara masyarakat satu dengan yang lainnya perlu dibuatkan suatu hubungan hukum agar memiliki legalitas, yang mana salah satu fungsi hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Demi tercapainya kepastian hukum tersebut dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum. Notaris dan PPAT adalah pejabat-pejabat
4
yang mempunyai kewenangan membuat akta otentik berdasarkan UndangUndang. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kewajiban hukum, dan diharapkan pula dapat dihindari pula terjadinya sengketa. Terkadang sengketa tersebut tidak dapat dihindari, namun dalam proses penyelesaian sengketa, akta otentik merupakan alat bukti tertulis dan terpenuh memberi sumbangan secara nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.3 Jual beli yang dahulu dikenal dengan asas riil terjadi jika sudah terjadi levering atau penyerahan barang. Keadaan tersebut berbeda dengan ketentuan tentang perjanjian jual beli yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena sesuai dengan Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. 3
Supriadi, 2008, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 29.
5
Atas dasar pasal tersebut, terlihat bahwa perjanjian telah ada sejak kata sepakat. Sebuah perjanjian untuk pelepasan hak atas tanah harus memenuhi kriteria terang dan tunai, sebagaimana ketentuan hukum adat yang diakomodir dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Terang itu berarti jual beli tersebut dilakukan dihadapan pejabat umum yang berwenang, dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sedangkan yang dimaksud dengan tunai adalah hak milik beralih ketika jual beli tanah tersebut dilakukan dan jual beli pada saat itu juga. Untuk kasus jual beli tanah yang belum memenuhi persyaratan terang dan tunai, maka instrument hukum yang digunakan adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dilakukan dihadapan notaris. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dihadapan notaris merupakan kesepakatan para pihak berdasarkan Pasal 1320 jo Pasal 1338 Kitab UndangUndang Hukum Perdata sehingga memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak yang membuatnya. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan ikatan awal antara penjual dan pembeli dalam bertransaksi, dan harus ditindaklanjuti dengan pembuatan AJB, karena PPJB belum mengalihkan hak secara hukum.4
4
Satrya Adhitama, “Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) versus Akta Jual Beli (AJB), diakses http://satryaadhitama.blogspot.com/2013/06/perjanjian-pengikatan-jual-beli-ppjb.html, pada tanggal 24 Februari 2014.
6
Terkadang persyaratan untuk membuat Akta Jual Beli belum dapat terpenuhi karena berbagai sebab yaitu tanah yang dibeli belum mempunyai sertifikat sehingga masih dalam proses pengurusan atau obyek jual beli belum dapat terbayar lunas oleh pembeli, untuk mengatasi hal tersebut dapat dibuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). PPJB merupakan perjanjian pendahuluan sebelum dilakukannya perjanjian jual beli melalui Akta Jual Beli (AJB). Diantara perjanjian-perjanjian lainnya, Perjanjian Pengikatan Jual Beli ( PPJB ) yang paling berpotensi konflik adalah akta PPJB yang obyeknya tentang peralihan hak atas tanah tanah, misalnya seperti para pihak tidak memberikan keterangan yang benar tentang keadaan obyek perjanjian, apakah obyek tersebut dalam keadaan sengketa atau tidak, pihak penjual menjual tanah tidak dengan persetujuan istri / suami, pihak penjual memberikan surat keterangan waris yang keliru, atau bisa juga ditimbulkan karena kekhilafan / kesalahan notaris itu sendiri, misalnya notaris memihak pada salah satu pihak yang membuat perjanjian, tidak mencantumkan batas waktu perjanjian dalam akta sehingga hal-hal tersebut menimbulkan permasalahan bagi para pihak yang membuat perjanjian.5 Notaris
sebagai
pejabat
umum
(openbaar
ambtenaar)
yang
berkewajiban membuat akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas 5
Ni Nyoman Julianrati, Syamsul Bahri, Farida Patittingi, “Pelaksanaan Kewajiban Notaris Terhadap Kualitas Produk Akta dan Akibat Hukumnya”, http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/1409c9dfd66785626872d81e8a951fc6.pdf, diakses pada tanggal 25 Februari 2014.
7
perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta tersebut. Ruang lingkup pertanggungjawaban notaris terletak pada kebenaran atas akta yang dibuatnya. Tanggung jawab notaris terdiri atas tanggung jawab notaris secara perdata, tanggung jawab notaris secara pidana, tanggung jawab notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris, tanggung jawab berdasarkan kode etik notaris.6 Dalam praktek kenotariatan PPJB telah sering dipergunakan, namun sebenarnya perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tidak pernah diatur dalam peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan hak atas tanah, sehingga sering menimbulkan konflik dalam pelaksanaan jual beli hak atas tanah. Salah satunya kasus PPJB ganda yang dibuat Notaris NKA di Kota Denpasar yang menimbulkan akibat kerugian pada salah satu pembelinya, dimana kasus seperti ini jarang terjadi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai proses hukum yang dapat dilakukan oleh pembeli yang dirugikan, serta sejauh apa tanggung jawab hukum notaris x,
yang akan dituangkan dalam Tesis yang berjudul :
“Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Ganda ( Studi Kasus Notaris di Kota Denpasar )” B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan di atas maka timbul permasalahan yang ingin dibahas dalam penelitian sebagai berikut : 6
Nico, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Centre for Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta, hlm. 83.
8
1. Akta manakah yang mempunyai kekuatan hukum yang sah jika terdapat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) ganda yang dibuat oleh seorang notaris ? 2. Bagaimana tanggung jawab hukum seorang notaris terhadap salah satu pembeli sebagai pihak yang dirugikan dengan adanya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) ganda ? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan judul penelitian ini dan berkaitan pula dengan rumusan masalah yang akan dibahas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui akta yang mempunyai kekuatan hukum yang sah bila terdapat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) ganda yang dibuat seorang notaris. b. Untuk mengetahui tanggung jawab hukum seorang notaris terhadap salah satu pembeli sebagai pihak yang dirugikan atas Perjanjian Pengikatan Jual Beli Ganda (PPJB) ganda. 2. Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data-data yang diperlukan guna penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis
9
Manfaat penelitian ini bagi ilmu pengetahuan adalah diharapkan secara teortis hasil dari penelitian ini akan dapat memberikan suatu kontribusi dan masukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum, hukum perjanjian, serta dalam dunia kenotariatan 2. Manfaat Praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan atau pertimbangan sekaligus memberikan sumbangan pemikiran mengenai tanggung jawab notaris terhadap pembeli tanah yang dirugikan terkait masalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) ganda. E. Keaslian Penelitian Untuk melihat keaslian penelitian telah dilakukan penulusuran penelitian pada berbagai referensi, kepustakaan dan hasil penelitian terdahulu. Dari hasil penulusuran penulis, ditemukan sejumlah tesis yang membahas topik kajian mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara lain : 1. “Kedudukan Asas Itikad Baik Dalam Pengertian Obyektif (Kepatutan) Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah dan Akta Kuasa Menjual Tanah”, oleh Rusmiyati.7 Penelitian ini memfokuskan pada pembahasan mengenai perwujudan asas kepatutan dalam PPJB tanah dan akta kuasa menjual tanah, dan upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang dirugikan oleh pihak lain yang melanggar asas kepatutan.
7
Rumiyati, 2012, Kedudukan Asas Itikad Baik Dalam Pengertian Obyektif (Kepatutan) Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah dan Akta Kuasa Menjual Tanah, Tesis, Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 16
10
2. “Tinjauan Terhadap Pembatalan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) Yang Dibuat Notaris Sebagai Pejabat Umum Dengan Putusan Hakim ( Studi Kasus Putusan : 86 / Pdt / 6 / 2002/ PNY Pengadilan Negeri Yogyakarta, Putusan Nomor : 75 / Pdt / 2003 / PTY Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan Putusan Nomor : 1808 K/ Pdt/ 2004/ MA Mahkamah Agung”, oleh Abu Tasar.8 Penelitian ini memfokuskan pada pembahasan mengenai dasar pertimbangan hakim dan akibat hukum dari pembatalan akta notaris tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Berdasarkan temuan dari kedua peneliti tersebut diatas yakni Rusmiyanti dan Abu Tasar dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang menjadi fokus penelitian dalam tesis ini berbeda dengan permasalahan yang pernah diteliti dengan oleh kedua peneliti tersebut. Di dalam penelitian “Tanggung Jawab Notaris Pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Ganda (Studi Kasus Notaris di Kota Denpasar) ” peneliti menganalisis mengenai tanggung jawab hukum seorang notaris terhadap salah satu pembeli sebagai pihak yang dirugikan dengan adanya Perjanjian Pegikatan Jual Beli (PPJB) Ganda. Dengan demikian, permasalahan dalam penelitian ini dapat terjamin originalitasnya.
8
Abu Tasar, 2010, “Tinjauan Terhadap Pembatalan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) Yang Dibuat Notaris Sebagai Pejabat Umum Dengan Putusan Hakim ( Studi Kasus Putusan : 86 / Pdt / 6 / 2002/ PNY Pengadilan Negeri Yogyakarta, Putusan Nomor : 75 / Pdt / 2003 / PTY Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan Putusan Nomor : 1808 K/ Pdt/ 2004/ MA Mahkamah Agung” Tesis, Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 13