BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya masalah tanah adalah sangat aktual bagi manusia dimana saja, terutama dalam masa pembangunan, karena tanah merupakan faktor penting yang berpengaruh pada jalannya pembangunan. Tanah juga mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia, ada pertalian yang sangat erat antara hubungan manusia dengan tanah yaitu sebagai tempat tinggal dan sebagai sumber kelangsungan hidup manusia. Tanah kerap melahirkan permasalahan yang tidak sederhana, baik permasalahan yang timbul dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, politik, hukum, atau bidang-bidang lainnya. Didalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, disebutkan bahwa: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan atas tanah bagi kepentingan masyarakat, dan dalam rangka memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak warga negaranya baik hak perseorangan maupun publik atas tanah dan rumah, pemerintah telah menekankan pentingnya pendaftaran hak atas tanah, serta pengurusan izin mendirikan bangunan, maka diperlukanlah suatu aturan untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah, agar dalam pemanfaatan atau penggunaan tanah terjadi suatu keteraturan. Untuk mengatur mengenai tanah tersebut telah dibentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah, maka pemerintah menyediakan suatu lembaga baru yang dahulunya tidak dikenal dalam hukum adat yaitu lembaga pendaftaran. Pendaftaran tanah dilakukan sangat berguna 1
bagi pemegang hak atas tanah terutama untuk memperoleh bukti kepemilikan hak dengan dikeluarkannya sertipikat hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dalam rangka menjamin kepastian hak dan kepastian hukum atas tanah, UUPA telah menggariskan adanya keharusan untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, sebagaimana diamanatkan Pasal 19 UUPA. Pasal tersebut mencantumkan ketentuanketentuan umum dari pendaftaran tanah di Indonesia, yaitu : 1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 Pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah. b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut. c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. 4. Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut merupakan ketentuan yang ditujukan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, yang sekaligus juga merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka memperoleh surat tanda bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Demikian halnya dengan setiap peralihan dan hapusnya pembebanan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 32 ayat (1) UUPA, Hak Guna Usaha termasuk syarat-syarat pemberiannya, bahwa setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal tersebut diatas. Untuk menindak lanjuti hal tersebut, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam kenyataannya pendaftaran tanah yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah tersebut selama lebih dari 30 2
Tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan.1 Dan pada Tanggal 8 Juli 1997 ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menggantikan peraturan pemerintah nomor 10 Tahun 1961, yang mengatur pelaksanan pendaftaran tanah sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA.2 Salah satu tujuan diadakannya revisi terhadap Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah adalah untuk lebih memacu pelaksanaan pendaftaran tanah yang selama ini dirasakan berjalan cukup lamban.3 Penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat merupakan tugas negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan status hak atas tanah di Indonesia. Pendaftaran tanah oleh pemerintah tersebut diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yaitu sebuah lembaga Pemerintahan non Departemen yang bidang tugasnya meliputi pertanahan. Kantor Pertanahan adalah unit kerja BPN di wilayah kabupaten atau kota, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah. Dalam melaksanakan tugasnya kantor pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta atas tanah. Adapun tujuan dari pendaftaran tanah menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah: a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
1 2 3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 470-480. Ibid, hlm. 469. Soedjono dan H.Abdurrahman, Prosedur Pendaftaran Tanah, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 32.
3
Selain tujuan diatas, menurut Maria S.W. Sumardjono bahwa manfaat dari pendaftaran tanah dapat dipetik oleh 3 pihak yaitu;4 1. Pemegang hak atas tanah itu sendiri, sebagai pembuktian atas haknya. 2. Pihak yang berkepentingan, misalnya calon pembeli tanah, atau kreditur untuk memperoleh keterangan atas tanah yang menjadi objek perbuatan hukumnya. 3. Bagi Pemerintah yaitu dalam rangka mendukung kebijaksanaan pertanahannya. Mengenai pentingnya pendaftaran tanah, Bachan Mustafa berpendapat bahwa pendaftaran tanah akan melahirkan sertipikat tanah, mempunyai arti untuk memberikan kepastian hukum, karena hukum jelas dapat diketahui baik identitas pemegang haknya maupun identitas tanahnya. Jadi apabila terjadi pelanggaran hak milik atas tanah dapat melakukan aksi penuntutan kepada sipelanggar berdasarkan hak miliknya itu.5 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pengertian pendaftaran tanah adalah : “rangkaian kegiatan yang dilakukan serta terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.” 6 Dan pada Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang isinya : “sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.” Berdasarkan isi Pasal tersebut di atas sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang kuat yang berarti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sebagaimana juga dapat 4
5 6
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 20. Mustafa Bachsan, Hukum Agraria Dalam Perspektif, Remaja Karya CV, Bandung, 1984, hlm. 58. Boedi Harsono, Op.Cit, hlm. 474.
4
dibuktikan dari data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukurnya. Jadi didalam penguasaan suatu bidang tanah sertipikat hak atas tanah sangat penting untuk dimiliki demi terciptanya suatu kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemegangnya. Sertifikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah berisi data fisik yaitu keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bagian bangunan atau bangunan yang ada di atasnya bila dianggap perlu dan data yuridis yaitu keterangan tentang status hak atas tanah dan hak penuh karena lain yang berada di atasnya.7 Pengertian sertifikat tersebut telah ditetapkan dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Sehingga dapat dikatakan bahwa pemilik sertifikat hak atas tanah adalah merupakan pemilik yang sah atas obyek tanah sebagaimana di sebutkan dalam sertifikat hak atas tanah tersebut dan harus dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya dari pengadilan dengan alat bukti yang lain.8 Terhadap banyaknya kasus-kasus pertanahan yang terjadi di masyarakat maka sangatlah perlu dicari cara penyelesaiannya yang sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak, yaitu penyelesaian sengketa tanah dengan musyawarah mufakat, dan apabila tidak menemukan penyelesaiannya maka dapat deselesaikan melalui lembaga peradilan baik peradilan umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara. Secara konvensional penyelesaian sengketa tanah biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelesaian sengketa di depan pengadilan. Peradilan merupakan tumpuan harapan bagi pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan yang memuaskan dalam suatu perkara. Dari pengadilan ini diharapkan suatu putusan yang tidak berat sebelah, karena itu jalan yang sebaiknya untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam suatu negara hukum adalah melalui pengadilan.9
7 8 9
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hlm. 20. Ibid. Abdurrahman, Riduan Syahrani, Hukum dan Peradilan, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 63.
5
Dalam penyelesaian sengketa tanah melalui jalur pengadilan/litigasi didasarkan kepada objek sengketa tanah, hal ini berkaitan dengan kewenangan untuk mengadili sengketa tanah apakah termasuk kepada kompetensi/kewenangan absolut Peradilan Umum atau Peradilan
Tata
Usaha
Negara.
Kewenangan
absolut
peradilan/retribusi
kompetensi/kewenangan (attributie van rechtsmacht) adalah menyangkut tentang pembagian wewenang antar badan-badan peradilan berdasarkan jenis lingkungan pengadilan, misalnya pembagian antara wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum. Sebagai mana dikutip oleh Djoko Prakoso, menurut Thorbecke dan Buys ukuran untuk menentukan apakah suatu perkara merupakan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah tergantung dari pokok sengketanya (objectum litis fundamentum petendi). Apabila hak yang bertindak itu berada dalam kerangka hukum publik, maka perkara tersebut merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dan apabila berada dalam lapangan hukum perdata maka merupakan kewenangan absolut Peradilan Umum.10 Kewenangan absolut Peradilan Tata Usaha Negara hanya sebatas mengadili sengketa yang berada dalam hukum publik, yaitu sengketa yang timbul akibat perbuatan pemerintah dalam hukum publik yang bersifat ekstern yang bersegi satu dan bersifat konkrit, individual dan final yang tertuang dalam suatu keputusan Pejabat Tata Usaha Negara. Pada
dasarnya
kewenangan
Peradilan
Tata
Usaha
Negara
memiliki
kompetensi/kewenangan absolut mengadili sengketa tata usaha Negara (Pasal 47 Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Menurut Pasal 1 butir 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu: Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik dipusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara. Untuk menilai dan menentukan apakah suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat administrasi itu bertentangan dengan hukum atau tidak. 10
Djoko Prakoso, Peradilan Tata Usaha Negara, Litbang, Yogyakarta, 1983, hlm.. 23.
6
Berdasarkan pengertian di atas maka terhadap sengketa tanah dapat diselesaikan penyelesaiannya ke Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal mengenai pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah atau keputusan yang berisikan penolakan atau permohonan untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan atau oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam hal pemeriksaan dan pemutusan tentang sengketa tanah
yang
mengandung aspek keperdataan yang berkaitan dengan perselisihan tentang hak milik atau hak-hak yang berasal dari milik, tentang tagihan atau hak-hak perdata semata-mata menjadi kompetensi/kewenangan kekuasaan Pengadilan Umum.11 Masalah tanah di lihat dari segi yuridisnya saja merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. Kesamaan terhadap konsep sangat di perlukan agar terdapat kesamaan persepsi yang akan menghasilkan keputusan yang solid dan adil bagi pihak-pihak yang meminta keadilan. Persamaan yang memerlukan persamaan persepsi tersebut misalnya berkenaan antara lain dengan sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah, berkenaan dengan kedudukan sertipikat tanah, sertipikat yang mengandung cacat hukum dan cara pembatalan dan atau penyelesainnya.12 Salah satu permasalahan yang terjadi yaitu sengketa antara Penggugat yaitu Hengky Hadi Kurniawan dan Margaretha Suryanti dengan Tergugat yaitu Kepala Kantor Pertanahan Kota Padang, yang mana gugatan didaftarkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Padang dengan nomor register perkara Nomor: 13/G/2011/PTUN-PDG. Dalam perkara tersebut yang menjadi objek gugatan adalah penolakan atau putusan yang bersifat fiktif negatif atau sikap diam yang dilakukan tergugat karena tidak menindak lanjuti Permohonan Para Penggugat. Permohonan penerbitan sertipikat pengganti yang diajukan Pemohon (Penggugat) kepada Kepala Kantor Pertanahan Nasional Kota Padang 11 12
Baharuddin Lopa, Hamzah, Mengenal Peradlan Tata Usaha Negara, Sinargrafi, Jakarta, 1993, hlm. 22. Ibid, hlm. 163.
7
(Tergugat) berdasarkan Putusan Pengadilan Kelas 1A Padang Nomor: 36/Pdt.G/2008/PN.Pdg tanggal 13 Oktober 2008 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht van Gewijsde), dan pada tanggal 29 Agustus 2009 para Penggugat melalui kuasa hukumnya telah mengajukan Permohonan Eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri Padang (perihal : Mohon Pelaksanaan Eksekusi atas Sertipikat Dalam Perkara Perdata Nomor: 36/Pdt.G/2008/PN.Pdg), yang mana objek yang dimohokan eksekusi adalah Sertipikat Hak Milik No. 882 tanggal 7 April 1977 dengan surat Ukur No. 150 tanggal 29 November 1958. Seluas ± 292 M, yang terletak di Jl. Rohana Kudus No. 68, RT. 01, RW. 08, Kelurahan Kampung jao, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang, Propinsi Sumatera Barat. Atas permohonan eksekusi tersebut, Pengadilan Negeri Padang telah mengeluarkan surat tertanggal 27 Mei 2010, perihal Pengiriman Putusan Perdata dan Diterbitkan Sertipikat Pengganti, yang ditujukan kepada Tergugat. Pada tanggal 10 November 2010, Penggugat mengajukan Permohonan Penggantian dan Balik Nama Sertipikat tersebut, namun surat tersebut tidak mendapatkan tanggapan dari tergugat, yang mana penggugat juga pernah mangajukan surat yang sama tanggal 27 April 2009 melalui kuasa hukum tergugat. Dengan
demikian
tindakan
Tergugat
yang
tidak
menanggapi
dan
tidak
menindaklanjuti permohonan Penggugat, oleh hukum sikap diam Tergugat tersebut dalam tenggang waktu 4 bulan, dianggap suatu bentuk penolakan, dan secara hukum merupakan Keputusan Penolakan/Fiktif Negatif yang merupakan Objek Gugatan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Tata Usaha Negara, yang itu sebagai berikut: Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Sikap diam yang berarti merupakan penolakan Tergugat yang tidak menindak lanjuti Permohonan Para Penggugat tertanggal 10 Nopember 2010 sangat tidak beralasan hukum dan
8
juga telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 aya t (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan: “Penolakan Kepala Kantor Pertanahan dilakukan secara tertulis, dengan menyebutkan alasan penolakan”. Perbuatan atau sikap diam tergugat tersebut juga melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa: Tujuan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan adalah: a. menciptakan tertib penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan; b. menciptakan kepastian hukum; c. mencegah terjadinya penyalahgunaan Wewenang; d. menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan; e. memberikan pelindungan hukum kepada Warga Masyarakat dan aparatur pemerintahan; f. melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan dan menerapkan AUPB; dan g. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Warga Masyarakat. Dalam diktum putusan PTUN Nomor: 13/G/2011/PTUN-PDG yang diputuskan dalam rapat musyawarah Majelis Hakim Tata Usaha Negara pada hari Kamis tanggal 18 Agustus 2011 dan putusan diucapkan pada hari Kamis tanggal 25 Agustus 2011 dalam persidangan yang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh kuasa hukum penggugat dan tergugat, yangmana amar putusannya berbunyi: 1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya ; 2. Menyatakan batal Keputusan fiktif negatif Tergugat terhadap proses penerbitan Sertifikat Pengganti atas Sertifikat Hak Milik No. 882 tanggal 7 April 1997 dengan Surat Ukur No.150 tanggal 29 November 1958 seluas + 292 M2 ke atas nama para Penggugat tanggal 10 Nopember 2010 ; 3. Mewajibkan Tergugat untuk menerbitkan surat keputusan yang isinya ; -
Memproses permohonan penerbitan Sertifikat Pengganti atas Sertifikat Hak Milik No. 882 tanggal 7 April 1997 dengan Surat Ukur No.150 tanggal 29 November 1958 seluas + 292 M2 tanggal 10 Nopember 2010 ke atas nama para Penggugat ;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.169.000.- (seratus enam puluh sembilan ribu rupiah) 9
Dengan putusan PTUN tersebut maka pihak tergugat melakukan upaya hukum banding, upaya banding tersebut diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan pada
tanggal
13
September
2011
dengan
nomor
register
perkara
Nomor:
186/B/2011/PT.TUN-MDN, dan diputus dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan, pada hari kamis tanggal 09 Februari 2012 yang mana amar putusannya berbunyi: -
Menyatakan permohonan banding Tergugat/Pembanding tidak dapat diterima
-
Menghukum Tergugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara pada dua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp.250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) Setelah dibacakannya putusan banding, para pihak tidak mengajukan permohonan
kasasi, yang mana tenggang waktu kasasi adalah 14 hari setelah putusan diberitahukan kepada pemohon, ini diatur dalam Pasal 46 ayat (1) UU Mahkamah Agung, dengan tidak diajukannya permohonan kasasi dalam tenggang waktu 14 hari maka putusan pengadilan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tatap (in kracht van gewijsde). Dalam hal gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maka putusan pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara, ini ditur dalam Pasal 97 ayat (8) UUPTUN, Putusan tersebut memerintahkan BPN untuk mencabut keputusan fiktif negatifnya dan mewajibkan BPN menerbitkan surat keputusan yang isinya memproses permohonan penerbitan sertipikat pengganti atas Sertifikat Hak Milik No. 882 tanggal 7 April 1997 dengan Surat Ukur No.150 tanggal 29 November 1958 seluas + 292 M2 tanggal 10 Nopember 2010 ke atas nama para Penggugat
10
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah proses penerbitan Sertipikat Pengganti menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah? 2. Bagaimanakah proses penerbitan Sertipikat Pengganti berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses penerbitan Sertipikat Pengganti menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis proses penerbitan Sertipikat Pengganti berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti baik secara teoritis maupun secara praktis 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi bagi peneliti lain yang akan mengadakan penelitian di bidang hukum khususnya Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Agraria dan juga penulis dapat menerapkan ilmu teoritis yang
didapat
dibangku
perkuliahan
Program
Magister
Kenotariatan
serta
menghubungkannya dalam kenyataan yang ada dalam masyarakat.
11
2. Secara Praktis a. Agar penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat bagi masyarakat serta dapat digunakan sebagai informasi ilmiah. b. Memberikan informasi kepada pemerintah dan dapat digunakan dalam pelaksanaan pemerintahan yang sedang berjalan.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran tentang keaslian penelitian yang akan dilakukan baik di kepustakaan lingkungan Universitas Andalas Padang, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Andalas Padang, maupun di luar kelembagaan pendidikan ini, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Penerbitan Sertipikat Pengganti Berdasarkan Putusan Pengadilan
Tata
Usaha
Negara
Dalam
Putusan
PTUN
Padang
Nomor:
13/G/2011/PTUN-PDG” belum ada yang membahasnya. Namun ada beberapa penelitian sebelumnya yang membahas masalah Penerbitan Sertipikat Pengganti, akan tetapi permasalahan yang dibahas tidak sama, seperti penelitian yang dilakukan oleh: 1. Dian Hardaning Tyas, Tahun 2005, mahasiswi Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, dengan Judul Perlindungan Hukum Terhadap Kepemilikan Sertipikat Pengganti Hak Atas Tanah Yang Dikeluarkan Oleh Badan Pertanahan Nasional. 2. Sriyanti Achmad, Tahun 2008, mahasiswi Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, dengan Judul Pembatalan Dan Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah Pengganti (Studi Kasus Pembatalan Sertipikat Putusan MA no. 987 k/pdt/2004). 3. M. Arif Rachmad, Tahun 2009, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, denga judul Pelaksanaan Penerbitan Sertifikat Pengganti Karena Hilang Di Kabupaten Gunungkidul
12
4. Nurdjani¸ Tahun 2010, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, dengan judul Pelaksanaan Penerbitan Sertifikat Pengganti Hak Milik Atas Tanah Karena Hilang Oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta. 5. Syahraini, Tahun 2012, mahasiswi Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul Penerbitan Sertipikat Pengganti Di Kantor Pertanahan Kota Medan.
F. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Teori diperlukan untuk menerangkan atau menjelaskan gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, kerenanya suatu teori haruslah diuji dengan mengahadapkan pada fakta–fakta untuk menunjukkan kebenarannya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.13 Teori yang digunakan sebagai analisis dalam tesis tentang Penerbitan Sertifikat Pengganti Berdasarkan Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Padang Dalam Putusan PTUN Padang nomor: 13/G/2011/PTUN-PDG ini adalah teori kepastian hukum, dan teori kewenangan. a. Teori Kepastian Hukum Teori Kepastian Hukum yaitu
teori yang menjelaskan bahwa suatu
pendaftaran tanah harus mempunyai kekuatan hukum yang pasti dengan segala akibatnya dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum. Menurut Roscue Pound bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan adanya “Predictability”.14 Tugas kaidah-kaidah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat 13 14
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV.Mandar Maju, Bandung,1994, hlm. 80. Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media group, Jakarta 2009, hlm. 158.
13
sungguh-sungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan antara sesama manusia. 15 Dengan demikian kepastian hukum mengandung dua pengertian, yang pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dan kedua berupa pengamanan bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Teori kepastian hukum ini sesuai dengan tujuan dari pendaftaran tanah yaitu untuk suatu kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. Hasil dari adanya kepastian hukum tersebut yaitu terbitnya sertipikat bagi pemegang hak atas tanah. Karena pendaftaran tanah itu diselenggarakan dengan tujuan akan memberikan jaminan kepastian hak atas tanah, maka harus diusahakan agar semua keterangan yang terdapat dalam tata usahanya selalu cocok dengan keadaan yang sebenarnya.16 Sertifikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah berisi data fisik yaitu keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bagian bangunan atau bangunan yang ada di atasnya bila dianggap perlu dan data yuridis yaitu keterangan tentang status hak atas tanah dan hak penuh karena lain yang berada di atasnya.17 Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.18 Sedangkan menurut ajaran dogmatis tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin
15 16 17 18
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm. 49-50. Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 102. Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hlm. 20. Sudikno Mertoskusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyarkta, 1988, hlm. 58.
14
kepastian hukum, yang diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang membuktikan suatu aturan hukum semata–mata untuk kepastian hukum. Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menyatakan: ”Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura, set tamen scripta” (undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya).19 Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah memberikan pengertian “ sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah waqaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”. Proses pendaftaran tanah sampai penerbitan sertipikat memakan waktu yang relatif panjang.20 Pendapat ini yang ada pada masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Bahwa untuk dapat memperoleh sertipikat hak atas tanah cukup sulit, memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup mahal terutama bagi masyarakat biasa dan berada di pedesaan, yang relatif pendidikannya masih rendah dan keadaan ekonominya masih tertinggal dan pas-pasan karena sebagian dari mereka adalah petani. Padahal sertipikat sangat penting bagi kepemilikan hak atas tanah guna menjamin kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah tersebut. Penerbitan sertipikat hak atas tanah ditujukan untuk kepentingan pemegang hak atas tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum.21 Bagi pemegang hak atas tanah, memiliki sertifikat tanah mempunyai nilai lebih, sebab dibandingkan dengan
19 20 21
Ibid, hlm. 136. Tampil Ansari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Multi Grafik , Medan, 2005, hlm. 104. Ibid, hlm. 104.
15
alat bukti tertulis lain, sertifikat merupakan tanda bukti alat yang kuat dan diakui secara hukum. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria, sertipikat merupakan surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Hal ini sesuai dengan sistem publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah, yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dengan demikian sertipikat hak atas tanah yang ditegaskan oleh peraturan perundang-undangan tersebut sebagai surat tanda bukti hak, yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai pemilikan terhadap hak atas tanah. Kekuatan hukum sertipikat hak atas tanah sebagai bukti pemilikan hak atas tanah dilihat dari sistem pendaftaran tanah yang dipakai. Dalam Sistem pendaftaran tanah dikenal adanya dua sistem pendaftaran tanah, yaitu sistem pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak (registration of titles). Sistem pendaftaran yang digunakan oleh Indonesia adalah sistem pendaftaran hak (registration of titles), sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.22 Karena pentingnya pendaftaran tanah tersebut, maka baik petugas pendaftaran maupun masyarakat diminta untuk saling membantu agar tercapai apa yang menjadi tujuan pokok pendaftaran tanah itu sendiri.23 Pengertian dan fungsi sertipikat pengganti pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sertipikat hak atas tanah, hanya saja sertipikat pengganti adalah berupa kutipan dari sertipikat yang rusak ataupun hilang. Jadi, fungsi serta isi sertipikat pengganti hak atas tanah yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut adalah sama dengan sertipikat hak atas tanah. 22 23
Boedi harsono, Op.Cit, hlm. 477. Mudjiono, Hukum Agraria, Yogyakarta, 1992, hlm. 24.
16
Pelaksanaan Penerbitan sertipikat pengganti hak atas tanah karena hilang, rusak dan sebagainya pada dasarnya sama dengan pelaksanaan penerbitan sertipikat hak atas tanah biasanya, pada kenyataannya di dalam pembuatan sertipikat hak atas tanah memang memerlukan waktu dan biaya. Jumlah waktu dan biaya yang diperlukan didalam pembuatan sertipikat hak atas tanah tersebut, tergantung daripada status tanah. Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah karena rusak, hilang dan sebagainya masih menggunakan blangko sertipikat lama. Peradilan merupakan tumpuan dan harapan bagi setiap pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan dan kepastian hukum yang memuaskan dalam suatu perkara. Dari pengadilan ini diharapkan suatu keputusan yang tidak berat sebelah, karena itu jalan yang sebaik-baiknya untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam suatu negara hukum adalah melalui pengadilan. Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi masih tetap diandalkan sebagai katup penekan (pressure value) atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat dan pelanggaran ketertiban umum, juga peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai “the last resort” yakni sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga pengadilan masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan. Khususnya bagi penegakan hukum administrasi negara dan tata usaha negara, untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat diperlukan adanya sarana hukum yaitu Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan tersebut sekaligus sebagai sarana pengawasan yuridis dan legalitas bagi administrasi negara. Peradilan Tata Usaha Negara hanya terbatas pada penyelesaian sengketa yang timbul antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat, atau
17
penyelesaian sengketa ekstern administrasi negara, tidak termasuk penyelesaian sengketa interns, yaitu sengketa yang timbul antara sesama administrasi negara. Tujuan dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah agar rasa keadilan di dalam masyarakat terpelihara dan dapat ditingkatkan sebagai bagian dari publik service pemerintahan terhadap warganya, dan agar keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan umum dapat terjamin dengan baik. Prayudi Atmosudirdjo, merumuskan bahwa tujuan daripada Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi Negara yang tepat menurut hukum (rechmatige) atau tepat menurut undang-undang (wetmatig) dan atau tepat secara fungsional/efektif
dan atau berfungsi secara
efisien.24 b. Teori Kewenangan Dalam penelitian ini juga dipakai teori kewenangan atau kompetensi Pengadilan. Istilah kompetensi berasal dari bahasa Latin abad pertengahan, yakni “comperetentia” yang berarti “het gaan aan iemend toekomt” (apa yang menjadi wewenang seseorang).25 Istilah lain sebagai padanannya adalah competence, legal power, bevoegdheid26 yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “kewenangan”, kekuasaan atau hak27 yang dikaitkan dengan badan yang menjalankan kekusaan kehakiman, sehingga badan tersebut menjadi “competere”. Di dalam Black Law Dictionary, istilah competence mengandung arti “the capacity of an official body to do something (kedudukan atau kapasitas dari suatu badan pejabat untuk melakukan sesuatu.28 Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah kompeten, artinya wewenang, cakap, berkuasa, memutus (menentukan) sesuatu, dan kompetensi diartikan (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau 24
25 26 27 28
S. Prajudi Atmosudirdjo, Masalah Organisasi Peradilan Administrasi Negara, Kertas Kerja, BPHN, Binacipta, Bandung, 1977, hlm. 67-68. Yuslim, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta: 2015, hlm. 41. Ibid. Ibid. Ibid.
18
memutus sesuatu hal.29 Demikian juga dalam The Contemporary English-Indonesia Dictionary, kompetensi diartikan wewenang.30 Kompetensi menurut Sjachran Basah31 merupakan pemberian kekuasaan, kewenangan atau hak kepada badan dan/atau pengadilan yang melakukan peradilan. Kompetensi penting artinya agar permohonan atau gugatan yang diajukan ke pengadilan dapat diperiksa atau diputus oleh pengadilan yang berwenang. Jadi, setiap permohonan atau gugatan yang utama dan mesti dilakukan adalah kompeten atau tidaknya pengadilan tersebut memeriksa perkara. Selanjutnya sebagai teori hukum pendukung adalah teori good government yang merupakan prinsip good government (clean) Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (selanjutnya disebut AAUPB). Philipus M. Hadjon mengatakan pendekatan dalam hukum administrasi ada 3 (tiga) pendekatan terhadap kekuasaan pemerintah, pendekatan hak asasi dan pendekatan fungsionaris.32 AAUPB pada hakikatnya merupakan norma pemerintahan, yaitu jenis meta norma dan norma hukum publik. Selanjutnya AAUPB merupakan hukum tidak tertulis adalah hasil rechtvinding, tidak identik dengan hukum adat, dan dalam perkembangan bisa saja beralih menjadi hukum tertulis sebagai norma pemerintahan. AAUPB juga diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa:
a. b. c. d. e. f. g. h.
29 30 31 32
AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas: kepastian hukum; kemanfaatan; ketidakberpihakan; kecermatan; tidak menyalahgunakan kewenangan; keterbukaan; kepentingan umum; dan pelayanan yang baik.
Ibid. Ibid. Ibid., hlm. 42. Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hlm, 64.
19
Perbedaan antara AAUPB dengan asas-asas umum sama perbedaan antara norma dan asas umum. Sedangkan AAUPB lahir dari praktek adalah bisa dari praktek pemerintahan dan bisa dari praktek pengadilan (yurisprudensi). Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik terdiri dari :33 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Asas Kepastian Hukum; Asas Keseimbangan; Asas Kesamaan dalam mengambil keputusan pangreh; Asas Bertindak cermat; Asas Motivasi untuk setiap keputusan; Asas Jangan mencampuradukkan kewenangan; Asas Permainan yang layak; Asas Keadilan atau kewajaran; Asas Menanggapi pengharapan yang wajar; Asas Meniadakan akibat suatu keputusan yang batal; Asas Perlindungan atas pandangan (cara) hidup; Asas Kebijaksanaan; Asas Penyelenggaraan kepentingan Umum. Keseluruhan AAUPB yang baik ini bertujuan untuk mendapatkan tujuan negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
2. Kerangka Konseptual a. Penerbitan Penerbitan adalah suatu usaha atau kegiatan yang berkaitan dengan proses editorial, produksi, dan pemasaran barang-barang, naskah tercetak yang didistribusikan kepada pembaca. Berdasarkan definisi tersebut, dapat kita lihat ada tiga bidang yang berkaitan dengan penerbitan, yaitu bidang editorial, bidang produksi, dan bidang pemasaran. b. Sertipikat Sertipikat hak atas tanah menurut PP 24 Tahun 1997 adalah : “suatu surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibuktikan dalam buku tanah yang bersangkutan.” Sehubungan dengan hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di 33
SF Marbun, Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm. 56.
20
dalamnya. Sehingga data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah. c. Sertipikat Pengganti Sertipikat Pengganti merupakan sertipikat yang diterbitkan karena sertipikat yang lama mengalami kerusakan/hilang dan kedudukannya sama dengan sertipikat lama. d. Kantor Pertanahan Kantor Pertanahan adalah Instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/Kota yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada kepala Badan Pertanahan Nasional melalui kepala kanwil Badan Pertanahan Nasional dan dipimpin oleh seorang kepala. e. Pengadilan Tata Usaha Negara Pengadilan Tata Usaha negara adalah merupakan sebuah lembaga peradilan yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tata Usaha Negara berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Pendekatan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah disebutkan di atas, maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan seperangkat data yang lain.
Bersifat deskriptif,
karena dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas, rinci, dan menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan Penerbitan Sertipikat
Pengganti, khususnya
Penerbitan Sertipikat
Pengganti
Berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. 21
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan tujuannya yaitu pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris adalah suatu pendekatan yang meneliti data sekunder terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan mangadakan penelitian data primer di lapangan.34 2. Jenis Dan Sumber Data Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan (data sekunder) yang didukung penelitian lapangan (data primer), sebagai berikut: a. Data sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research), dimana menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.35 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. 3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 4. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 5. Undang-undang
Nomor
30
Tahun
2014
tentang
Administrasi
Pemerintahan. 6. Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000 tentang Badan Pertanahan Nasional. 34
35
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1985, hlm. 7. Ibid, hlm. 38.
22
7. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 8. Peraturan Menteri Negara Agaria/ Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksana peraturan pemerintah nomor 24 Tahun 1997. 2) Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum yang berkaitan dengan Sertipikat Pengganti dan Peradilan Tata Usaha Negara. 9. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari: a. Kamus Hukum; b. Kamus Bahasa Indonesia; c. Kamus Bahasa Inggris; d. Ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan Sertipikat Pengganti dan Peradilan Tata Usaha Negara. b.
Data Primer Data primer adalah data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian (field research).36 Data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru yang memiliki sifat up to date. Dalam hal untuk mendapatkan data primer ini, peneliti harus mengumpulkan secara langsung dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, dan diskusi terfokus.
3. Lokasi Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada kantor Badan Pertanahan Kota Padang dan Pengadilan Tata Usaha Negara Padang.
36
Nasution, M.A., Azaz-Azaz Kurikulum, Penerbit Ternate, Bandung, 1964, hlm. 34.
23
4. Jenis-jenis Alat Pengumpulan Data Dalam hal melakukan pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis-jenis alat pengumpulan data sebagai berikut: a. Studi Dokumen Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dimana setiap bahan hukum itu diperiksa ulang validitasnya (keabsahan berlakunya) dan reliabilitasnya (hal atau keadaan yang dapat dipercaya), karena hal ini sangat menentukan hasil suatu penelitian. b. Wawancara Wawancara adalah situasi peran antara pribadi bertatap muka (face to face) ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relavan dengan masalah penelitian kepada seseorang.37 5. Pengolahan dan Analisa Data a. Pengolahan Data Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap dipakai untuk dianalisis.38 Dalam penelitian ini, setelah berhasil memperoleh data yang diperlukan, selanjutnya peneliti melakukan pengolahan terhadap data tersebut dengan cara editing, yaitu meneliti kembali terhadap catatan-catatan, berkas-berkas, dan informasi yang dikumpulkan, yang
37
38
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004, hlm. 84-85. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hlm. 72.
24
mana diharapkan agar dapat meningkatkan mutu reliabilitas data yang akan dianalisis.39 b. Analisa Data Analisa data sebagai tindak lanjut dari proses pengolahan data, untuk dapat memecahkan dan menguraikan masalah yang akan diteliti berdasarkan bahan hukum yang diperoleh, maka diperlukan adanya teknik analisa bahan hukum. Setelah mendapatkan data-data yang diperlukan, maka peneliti melakukan analisis kualitatif,40 yakni dengan melakukan penilaian terhadap data-data yang didapatkan di lapangan dengan bantuan literatur-literatur atau bahan-bahan terkait dengan penelitian, kemudian ditarik kesimpulan yang dijabarkan dalam bentuk penulisan deskriptif.
39 40
Amirudin dan Zainal Asikin, Op Cit., hlm. 168-169 Bambang Waluyo, Op Cit., hlm. 77
25