BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Friedman (2000) mengatakan, dalam perspektif global saat ini tidak banyak
dipertentangkan tentang fakta bahwa homogenisasi dunia barat, tetapi kebanyakan masyarakat adat, daerah memfokuskan diri dalam pembebasan budaya dari kekuatan homogenisasi yang dirasakan. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu manfaat globalisasi ialah, munculnya pola-pola baru dari suatu kebudayaan dalam beragam bentuk dan tatanannya. Gejala persebaran pelbagai informasi dengan pesat dan cepat tersebut di era saat ini menunjukkan bahwa masyarakat telah menyadari pentingnya untuk menguak hal-hal yang berkenaan dengan budaya, warisan budaya, maupun sejarah agar muncul di permukaan dan diketahui oleh masyarakat secara luas. Derasnya arus dan kayanya ragam informasi yang diterima oleh masyarakat, mampu membuka pikiran masyarakat pendukung budaya dan sekaligus menciptakan kesadaran yang utuh dalam memiliki kepedulian yang tinggi terhadap peninggalanpeninggalan budaya dan sejarah Nusantara yang dimiliki bangsa ini. Maka dari situ muncul kehendak masyarakat untuk mengapresiasinya dengan jalan mengenal, memahami, dan mempelajarinya, timbul kepekaan serta kepedulian untuk memeliharanya.
Universitas Sumatera Utara
Al Mudra (2008) mengatakan, dalam konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia, implikasi lain dari lahirnya bentuk-bentuk baru dari peradaban dan kebudayaan di atas ialah mulai diapresiasinya produk-produk kebudayaan lokal (seni, bahasa, polapola perilaku, maupun benda budaya lainnya) oleh masyarakatnya. Produk-produk budaya lokal mulai diapresiasi lantaran dianggap sebagai sumber inspirasi untuk membangun masa depan yang lebih baik. Oleh karenanya, generasi terkini dengan basis kulturalnya masing-masing, meski tidak semua, lebih memilih untuk menggali warisan budaya yang ditinggalkan nenek-moyang terdahulu. Karena ketika warisan budaya tiada lagi diindahkan, maka yang akan terjadi ialah sebuah krisis identitas (jatidiri). Al Mudra (2008) juga mengatakan, pelestarian budaya secara umum dapat didefinisikan sebagai segala perilaku atau tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan keadaan dan keberadaan suatu peninggalan generasi masa lampau melalui proses inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi. Hal ini bermanfaat: 1.
Untuk mengetahui, memahami, dan menghargai prestasi-prestasi atau pencapaian-pencapaian nenek-moyang
2.
Sebagai sumber inspirasi untuk membangun masa depan yang lebih baik
3.
Merupakan deposit yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Upaya pelestarian terhadap peninggalan budaya dapat dimaknai sebagai lahan untuk memperkuat jatidiri. Dengan beragamnya kearifan-kearifan lokal tidak hanya
Universitas Sumatera Utara
berfungsi menjadi payung peneguh identitas (pemberi jati diri) atau memori kolektif suatu bangsa, melainkan juga menjadi media untuk melestarikan lingkungan di mana budaya itu tumbuh dan berkembang. Dalam kearifan lokal itu terkandung berbagai nilai-nilai etis-filosofis (kosmologi) maupun estetis sebuah kebudayaan. Dari sini, muncullah pelbagai bentuk ekspresi kebudayaan dalam tataran yang lebih konkret. Warisan budaya dapat berfungsi sebagai identitas dari sebuah masyarakat karena menjadikannya berbeda dengan masyarakat lainnya. Tentu saja hal ini dilingkupi oleh ketiga aspek dalam kebudayaan, yakni pandangan hidup, perilaku, dan artefak. Al Mudra (2008) mengatakan, dengan menguatnya identitas kelokalan kita, maka warisan budaya dapat berdialektika dengan identitas kosmopolit yang sifatnya lebih universal di era globalisasi saat ini. Maka kita akan mempunyai fondasi yang kokoh atau posisi tawar untuk bersaing dengan identitas dan ragam kebudayaan yang ditawarkan oleh globalisasi. Daerah Kab. Simalungun dilihat dari perkembangan masyarakatnya sudah mengarah kepada masyarakat heterogen dimana penduduknya tidak hanya
suku
Simalungun melainkan suku lain seperti suku Toba, suku Jawa, suku Mandailing, Cina, suku Karo, Keling dan sebagian kecil suku-suku lain tinggal berkehidupan diwilayah kabupaten ini. Setiap suku berusaha mengembangkan dan menampilkan tatanan budaya masing-masing. Damanik (2010) mengatakan, masyarakat Simalungun sudah bersifat terbuka tidak lagi mengedepankan identitas kesukuan namun cenderung membuka diri
Universitas Sumatera Utara
terhadap suku lain. Keadaan ini telah mengilhami lahirnya masyarakat simalungun yang tidak terikat kepada ikatan primordial tetapi bagaimana membangun Simalungun yang universal. Dengan meningkatnya taraf ekonomi masyarakat Simalungun itu sendiri dan semakin berkembangnya tradisi dan kebudayan masing-masing suku pendatang maka tradisi akan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat dikawasan Kabupaten Simalungun yang lebih luas. Disalah satu sisi menimbulkan kerisauan pada masyarakat Simalungun itu sendiri akan kehilangan identitas di wilayahnya sendiri. Salah satu identitas tersebut adalah karya arsitektur masa lampau yang dominan diwilayah tersebut yaitu rumah tradisional Simalungun (Gambar 1.1).
Gambar 1.1 Warisan Arsitektur Simalungun dimasa lampau Sumber: Buku Jahutar Damanik Kerisauan masyarakat Simalungun dan para tetua pemangku adat Simalungun (Partuha Maujana Simalungun) terkait jati diri dan identitas Simalungun dapat dilihat dari visi tetua pemangku adat (Partuha Maujana Simalungun) yaitu " Meneguhkan jati diri Simalungun" yang dimuat dalam majalah kebudayaan Simalungun (Majalah
Universitas Sumatera Utara
Sauhur edisi pertama, 2007) dan juga tema yang diangkat dalam seminar IMAS-USU tanggal 22 Oktober 2011, "Pelestarian kebudayaan tanggung jawab siapa". Dari dua issu diatas menandakan adanya kerisauan masyarakat dan pengetua adat Simalungun itu sendiri tentang jati diri dan identitasnya. Maka perlu dilakukan pelestarian budaya Simalungun yang ber-wujud gagasan (ideal), wujud kelakuan dan wujud fisik. Masyarakat suku Simalungun yang terikat dengan tradisi, kebudayaan serta memiliki warisan arsitektur tradisional dimasa lalu, dalam membangkitkannya dimasa kini, maka sangat perlu dilakukan pelestarian agar jati diri simalungun kuat didaerah sendiri. Strategi pendekatan pelestarian budaya yang dilakukan adalah mengikuti pendekatan yang berpedoman pada teori-teori Anthony Gall dalam Architect, Built Heritage Specialist, Heritage Design, dimana dia sangat tertarik pada potensi untuk melestarikan Warisan Budaya melalui peremajaan yang tepat dan adaptif. Pelayanan warisan budaya di semua tingkatan dan untuk semua jenis situs warisan budaya, tempat-tempat dan daerah, juga menginterpretasi warisan dengan efektif yang bertujuan untuk memberikan kontribusi rasa makna ke suatu tempat dan untuk memprovokasi pemikiran. Melakukan analisis peluang interpretasi dan mengembangkan strategi interpretasi di mana warisan interpretasi bisa diperkenalkan ke dalam desain proyek. Sarana pendidikan adalah salah satu sarana yang diharapkan sebagai media penyampaian warisan budaya pada generasi sekarang dan generasi berikutnya. Pemilihan sarana pendidikan Politeknik sebagai objek perencanaan, karena Politeknik
Universitas Sumatera Utara
sebagai salah satu sarana pendidikan yang menciptakan tenaga-tenaga professional dalam bidang tenaga kerja karena system pendidikan politeknik membekali lulusannya dengan keterampilan yang didukung pendidikan dasar dan disiplin (gambar 1.2). Sebagai mahasiswa lebih memahami tampilan karya arsitektur tempat dia menerima pendidikan, apakah tampilan bangunannya mencerminkan budaya setempat atau tidak. Dalam proses menjalani pendidikan selama dia belajar ditempat tersebut, setiap saat dia melihat karya arsitektur warisan budaya sehingga akan terrekam didalam memorinya dan tidak akan mudah melupakannya. Maka diputuskan memilih Politeknik sebagai objek perencanaan karena dianggap lebih cocok sebagai penyampaian warisan budaya dalam bentuk karya arsitektur kepada generasi sekarang dan generasi berikutnya.
Gambar 1.2 Proses pembelajaran mahasiswa politeknik Sumber: Penulis
Universitas Sumatera Utara
1.2
Permasalahan Arsitektur sebagai salah satu elemen identitas kawasan, cenderung
menerapkan konsep/ide yang mengikuti trend global saat ini yaitu arsitektur regionalism yang memfokuskan diri dalam pembebasan budaya dari kekuatan homogenisasi yang dirasakan. Kebanyakan masyarakat adat atau daerah telah menyadari bahwa pentingnya untuk menguak hal-hal yang berkenaan dengan budaya, warisan budaya, maupun sejarah. Di masyarakat Simalungun sendiri permasalahan mendasar yang dialami adalah sebagai berikut: 1. Adanya kerisauan masyarakat Simalungun dan para tetua pemangku adat Simalungun (Partuha Maujana Simalungun) terkait kehilangan jati diri dan identitas. 2. Kurangnya ketertarikan dan kepedulian masyarakat Simalungun itu sendiri terhadap pencapaian-pencapaian nenek-moyang dalam semua produk kebudayaan yang salah satunya karya arsitektur untuk di interpresertasikan kedalam desain arsitektur masa kini. Permasalahan mendasar
tersebut di adopsi dan dituangkan dalam desain
dengan mengikuti konsep-konsep yang terinspirasi dari arsitektur tradisional Simalungun dan bagaimana pertautan dibuat dengan sarana pendidikan yang diangkat sebagai objek yang mencirikan identitas dan tidak menimbulkan masalah terhadap aktifitas pengguna (Politeknik) yang memerlukan ruang-ruang fungsional.
Universitas Sumatera Utara
1.3
Tujuan Perancangan Tujuan perancangan adalah merancang fasilitas sarana pendidikan yang
bercirikan identitas dan budaya Simalungun dengan berpedoman pada teori regional kultur. Tujuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Membangkitkan dan berusaha mengembalikan kebanggaan sejarah dan budaya Simalungun melalui karya Arsitektur, sehingga dapat menjadi bagian intrinsik dari masyarakat budaya dan identitas kawasan. 2. Menerapkan
arsitektur regional cultur dalam perancangan sebuah
Politeknik yaitu dengan mempertautkan antara budaya Simalungun yang tercermin dalam arsitektur tradisional Simalungun dengan desain, teknologi dan material modern 3. Memperlihatkan identitas tradisi secara khusus berdasarkan tempat/daerah. 4. Memutuskan prinsip mana yang masih layak/patut untuk saat ini (aktual). 5. Sebagai media penyampaian warisan budaya Simalungun pada generasi sekarang dan generasi berikutnya dengan memasukkan elemen-elemen arsitektur tradisional Simalungun pada bangunan Politeknik yang direncanakan.
1.4
Manfaat Perancangan Sarana pendidikan adalah salah satu sarana yang diharapkan sebagai media
untuk meningkatkan sumber daya manusia terutama dari kawasan Kabupaten
Universitas Sumatera Utara
Simalungun dalam berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan program pendidikan yang di tawarkan. Politeknik sebagai salah satu sarana pendidikan yang menciptakan tenaga-tenaga professional, berketerampilan, disiplin dan sekaligus sebagai media penyampaian warisan budaya dalam bentuk karya arsitektur pada generasi sekarang dan generasi berikutnya.
1.5
Kerangka Berpikir Konseptual Proses perancangan akan diawali dengan kajian literatur yang berhubungan
dengan teori regionalisme Kultur dan kajian terhadap arsitektur karya arsitek Anthony Gall yang dianggap menerapkan teori regionalism. Teori ini menjadi dasar bagi perancangan fasilitas politeknik di Pematang Raya, Kabupaten SimalungunSumatera Utara. Teori regionalism yang berkaitan dengan pelestarian budaya, sebagai metode pendekatan untuk mencari, mengamati, dan mengolah elemen-elemen yang merupakan bagian intrinsik dari masyarakat budaya untuk memperkokoh jati diri dan identitas. Proses perancangan melalui metode ini akan menghasilkan rancangan politeknik yang mencerminkan jati diri dan identitas sehingga menjadi identitas kawasan sekaligus sebagai media penyampaian warisan budaya dalam bentuk karya arsitektur pada generasi sekarang dan generasi berikutnya. Kerangka berpikir konseptual (gambar 1.3) sebagai pedoman dalam proses perancangan politeknik yang direncanakan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1.3 Kerangka berpikir konseptual
Universitas Sumatera Utara