BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kericuhan-kericuhan, hal
mana timbul sebagai akibat adanya perbedaan kebutuhan antara sesama anggota masyarakat. Sebelum adanya peradaban manusia yang tinggi, maka yang kuatlah yang selalu menang dalam segala hal. Pada masa yang demikian itu, hukum belum lagi dikenal, karena itu masing-masing anggota masyarakat dapat menjadi hakim sendiri-sendiri. Dengan adanya kemajuan peradaban manusia, dirasakan pula perlunya dibuat ketentuan-ketentuan yang sama-sama mereka sepakati, ketentuan-ketentuan mana yang bersifat mengikat dan mengandung ancaman hukum bagi barangsiapa yang melanggarnya. Tujuan daripada dibuatnya peraturan-peraturan yang bersifat mengikat itu tidak lain ialah agar didalam kehidupan bermasyarakat terdapat ketertiban, dimana hak dari masing-masing anggota dilindungi, disamping menjadi kewajiban dari pihak-pihak lain untuk mentaati setiap ketentuan yang telah disepakati bersama itu. 1 Di dalam masyarakat kita sekarang ini, peraturan yang sifatnya mengikat dan ada sanksi hukumannya bagi barang siapa yang melanggarnya, kita dapat temukan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Undang-Undang (KUHPidana) dan peraturan-peraturan lainnya. 2
1 2
R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, 1983, hlm. 13. Ibid.
1
2
Tetapi hanya dengan KUHPidana dan Undang-Undang serta peraturanperaturan pemerintah dan yang lainnya saja, belumlah cukup sebab masih timbul persoalan yaitu siapa yang melakukan tugas pemeriksaan terhadap pelanggaran Undang-Undang, siapa yang harus menuntut, bagaimana caranya melakukan penyitaan terhadap barang-barang yang dipergunakan dalam kejahatan, siapa yang berwenang menjatuhkan hukuman, bagaimana peradilan itu harus berjalan dan sebagainya. Untuk itu dibutuhkan adanya suatu ketentuan atau peraturanperaturan yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan proses peradilan tersebut dan peraturan itulah yang kita kenal dengan nama Hukum Acara Pidana. Mengingat bahwa tujuan hukum itu ialah untuk menciptakan suatu masyarakat yang tenang dan tenteram, dimana setiap warganya berhak mendapat perlindungan hukum, maka sudah barang tentu di dalam melaksanakan peraturanperaturan/undang-undang itu harus pula dapat dilaksanakan secara adil. Jadi bilamana ada orang melanggar hukum, maka terhadap orang yang bersangkutan harus dijatuhkan hukuman sesuai dengan peraturan-peraturan/undang-undang yang ada. Sedangkan berat ringannya hukuman yang dijatuhkan harus setimpal pula dengan kesalahan yang telah diperbuatnya. Kesimpulannya ialah bahwa Hukum Acara Pidana merupakan suatu peraturan yang mengatur tentang proses peradilan dan di dalam Hukum Acara Pidana telah didapati ketentuan-ketentuan yang mengatur segala hal ihwal peradilan, mulai dari siapa yang mempunyai wewenang pemeriksaan, penggeledahan, penahanan, penjatuhan hukuman, pelaksanaan putusan peradilan (executive), sampai pada Banding, Kasasi dan Grasi. Dengan perkataan lain Hukum Acara Pidana itu merupakan suatu sarana
3
untuk menegakkan Hukum Pidana. Secara singkat dapat diterangkan bahwa arti daripada Hukum Acara Pidana adalah merupakan suatu peraturan yang mengatur tentang acara peradilan. Sedang tujuannya adalah untuk menegakkan Hukum Pidana serta peraturan-peraturan pemerintah yang lain yang ada ancaman pidananya, sehingga dengan demikian setiap peraturan dan undang-undang yang ada sanksi pidananya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. 3 Dalam konsiderans UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP huruf (a), telah ditegaskan: “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dari konsiderans tersebut, jelaslah bahwa yang menjadi landasan filosofis KUHAP adalah Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dalam negara hukum Indonesia. Jika hal itu dikaitkan dengan teori-teori berlakunya hukum, maka secara tegas dikatakan bahwa KUHAP memiliki daya berlaku secara filosofis. Karena KUHAP telah dibentuk berdasarkan dan sesuai dengan nilai-nilai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. 4 Salah satu jenis kejahatan yang membutuhkan perhatian ekstra untuk pemberantasannya adalah tindak pidana korupsi. Tidak hanya di Indonesia dan 3
Ibid. Harun M. Hussein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 22. 4
4
negara-negara berkembang lainnya, akan tetapi di negara-negara yang sudah majupun korupsi menjelma menjadi virus yang mampu merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataannya, korupsi yang selalu dilakukan secara sistematis dapat menimbulkan kerugian di bidang ekonomi karena mengacaukan kegiatan investasi, menilmbulkan kerugian di bidang politik yaitu telah meremehkan lembaga-lembaga pemerintahan, dan juga menimbulkan kerugian di bidang sosial yang ditandai dengan kekuasaan dan kekayaan jatuh ke tangan pihak-pihak yang tidak berhak . 5 Di Indonesia, masalah korupsi telah sejak lama mewarnai berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat. Selama beberapa dasawarsa, fenomena itu telah menjadi suatu persoalan nasional yang amat sukar ditanggulangi. Bahkan secara sinis, ada komentar di sebuah jurnal asing yang mengulas kondisi korupsi di negeri ini dengan mengatakan, bahwa “corruption is way of live in Indonesia”, yang berarti korupsi telah menjadi pandangan dan jalan kehidupan bangsa Indonesia. 6 Mungkin penilaian seperti itu amat menyakitkan rasa kebangsaan, dan tidak dapat diterima begitu saja. Namun demikian, jauh sebelumnya Muhammad Hatta, salah seorang tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia, pernah melontarkan penilaian yang sama dengan mengatakan, bahwa korupsi cenderung sudah membudaya, atau sudah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. 7
5
Tim Penyusun dibawah pimpinan Teguh Samudera, Analisis dan Evaluasi Hukum Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2008, hlm. 1. 6 Amien Rais, Pengantar dalam edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed.), Menyikapi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 9. 7 Mubyarto, Ekonomi dan Keadilan Sosial, Aditya Media,Yogyakarta, 1995, hlm. 86.
5
Secara legal formal, pemberantasan korupsi di Indonesia telah dimulai pada tahun 1960 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No. 24 Tahun 1960. Sedangkan Undang-Undang terakhir yang diundangkan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi adalah UndangUndang No.20 Tahun 2001 yang merubah beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tetang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 8 Seiring dengan kebutuhan tersebut, maka dibentuklah lembaga yang secara khusus menangani tindak pidana korupsi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dasar hukum yang mengatur kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penuntutan tindak pidana korupsi adalah pasal 6 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan: Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. 9 Pembentukan sebuah institusi khusus untuk menanggulangi masalah korupsi di Indonesia, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Akan tetapi, pembentukan sebuah badan khusus dengan kewenangan yang demikian luas, disamping melakukan penyidikan, sekaligus melakukan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi, patut dicatat sebagai suatu aspek pembaruan dalam hukum dan sistem peradilan pidana Indonesia. 10
8
Ibid. Hlm 2. Ibid. 10 Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 219. 9
6
Kemauan politik untuk membentuk badan khusus seperti itu tidak dapat dilepaskan dari latar belakang pemikiran untuk mengatasi masalah pemberantasan tindak pidana korupsi yang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Badanbadan penegak hukum yang ada, yang selama ini diserahi tugas dan kewenangan untuk menangani perkara tindak pidana korupsi, belum berfungsi secara efektif. Sementara tindak pidana korupsi itu sendiri telah sedemikian rupa berlangsung dalam masyarakat, dan telah dilakukan secara sistematis dan meluas, sehingga pada akhirnya dirasakan telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, sebagai bagian dai hak asasi manusia. 11 Akibat korupsi yang berlangsung sedemikian rupa, termasuk korupsi di kalangan penegak hukum sendiri, terdapat keragu-raguan, atau bahkan ketidakpercayaan dan apatisme masyarakat terhadap efektivitas fungsi sistem peradilan pidana Indonesia dalam penanggulangan masalah korupsi. Di samping itu, adanya pragmentasi fungsional, sikap mandiri, dan instansi sentris yang cenderung dipertontonkan diantara sesama subsisten peradilan, semakin memperkuat argumentasi terhadap urgensi kehadiran sebuah institusi khusus untuk mengoptimalkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di masa depan. 12 Namun
demikian
dalam
pelaksanaan
tugasnya
untuk
melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dibatasi hanya pada tindak pidana korupsi yang 13:
11
Lihat Konsideran Draf ke-13 Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipersiapkan oleh Tim Departemen Kehakiman dan HAM. 12 Elwi Danil, Op. Cit., hlm. 220. 13 Pasal 11 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
7
a.
Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b.
Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c.
Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 14 Di samping itu, yang merupakan hal baru di dalam Hukum Acara Pidana di
Indonesia adalah “Pra-Peradilan”, yang maksudnya adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang: a.
Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka.
b.
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c.
Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. 15 Lembaga praperadilan ini tidak merupakan suatu badan tersendiri, tetapi
hanya suatu wewenang saja dari pengadilan negeri. Pemberian wewenang ini bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan secara sederhana, cepat dan murah dalam rangka memulihkan harkat/martabat, kemampuan/kedudukan serta mengganti kerugian terhadap korban yang merasa dirugikan. Lembaga praperadilan juga merupakan lembaga baru yang tidak dijumpai dalam hukum acara pidana HIR. Dengan adanya praperadilan dijamin bahwa seseorang tidak 14 15
Tim dibawah pimpinan Teguh Samudera, Op. Cit, hlm. 15. R. Atang Ranoemihardja, Op. Cit., hlm. 1.
8
ditangkap atau ditahan tanpa alasan yang sah. Penangkapan hanya dilakukan atas dasar dugaan yang kuat dengan landasan bukti permulaan yang cukup. Sedangkan ketentuan tentang bukti permulaan ini diserahkan penilaiannya kepada penyidik. Hal ini membuka kemungkinan sebagai alasan pengajuan pemeriksaan praperadilan. 16 Praperadilan dibentuk oleh KUHAP untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekwen. Dengan adanya lembaga praperadilan, KUHAP telah menciptakan mekanisme kontrol yang berfungsi sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan pidana. 17 Dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, KPK merupakan lembaga yang berwenang dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka guna proses penyidikan dan penyelidikan tindak pidana korupsi. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary-crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya idak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi “dituntut caracara yang luar biasa” (extra-ordinary enforcement). 18
16
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 322. 17 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986, hlm. 3. 18 Ermansyah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm. 29.
9
Selama hal tersebut merupakan niat baik demi terjaganya kondusivitas hukum di Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini. Yang baru-baru ini menjadi sorotan publik adalah kasus Calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia yaitu Budi Gunawan. Budi Gunawan merupakan calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang diindikasi terlibat kasus korupsi dan rekening gendut. Tetapi proses pengangkatannya menjadi tersendat karena yang bersangkutan ditetapkan sebagai Tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Budi Gunawan mengatakan bahwa KPK melakukan penggeledahan, penyitaan maupun penetapan sebagai Tersangka tanpa dasar hukum. Sehingga Budi Gunawan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di dalam gugatannya, Budi Gunawan memohon agar hakim menyatakan penetapan status tersangkanya tidak sah. Budi Gunawan juga merujuk pada putusan pengadilan pada kasus Chevron dengan nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jak.Sel, dimana hakim praperadilan membatalkan status Tersangka saudara Bachtiar yang merupakan Tersangka pada kasus Chevron. Sampai saat gugatannya diputus oleh Hakim Tunggal Praperadilan, kasus ini terus menuai kritik pengamat dan publik, karena dianggap mengobrak abrik hukum kita. Vonis hakim tunggal Sarpin Rizaldi dianggap sangat kontroversial, karena mengabulkan gugatan praperadilan Budi Gunawan dengan objek penetapan tersangka. Atas hal ini, penetapan status tersangka yang diajukan sebagai alasan praperadilan menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih dalam. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut menjadi sebuah skripsi yang berjudul
10
“Sah-tidaknya Penetapan Status Tersangka Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yang Diajukan Sebagai Alasan Praperadilan Ditinjau Dari Hukum
Acara
Pidana
di
Indonesia
(Studi
Putusan
Nomor:
04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel – Praperadilan Budi Gunawan)
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana
Mekanisme
Penetapan
Status
Tersangka
oleh
Komisi
Status
Tersangka
oleh
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)? 2.
Bagaimana
sah-tidaknya
Penetapan
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan sebagai alasan Pra Peradilan ditinjau dari Hukum Acara Pidana di Indonesia?
C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Berdasarkan ruang lingkup permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah : a.
Untuk mengetahui. mekanisme Penetapan Status Tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
b.
Untuk mengetahui pengaturan Hukum Acara Pidana di Indonesia tentang sah-tidaknya Penetapan Status Tersangka oleh Komisi
11
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan sebagai alasan Pra Peradilan
2. Manfaat Penulisan Manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain: a.
Secara teoritis Penulisan skripsi ini secara teoritis dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum serta dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan, serta dapat menambah tulisan ilmiah di perpustakaan, khususnya di Jurusan Hukum Pidana.
b.
Secara Praktis Penelitian ini secara praktis dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak terkait termasuk praktisi hukum dalam upaya penegakan hukum dan pengajuan Praperadilan dengan tepat, juga sebagai informasi bagi masyarakat mengenai pengaturan Praperadilan menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia, serta dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi akademisi
untuk
menambah
wawasan
ilmu
terutama
tentang
Praperadilan menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia
D.
Keaslian Penulisan Penulisan skripsi yang berjudul “Sah Tidaknya Penetapan Status Tersangka
Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yang Diajukan Sebagai Alasan Pra Peradilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Putusan Nomor:
12
04/Pid.Prap/2015/Pn.Jak.Sel – Pra Peradilan Budi Gunawan)” merupakan hasil pemikiran penulis sendiri. Setelah penulis memahami kasus Calon KaPOLRI Budi Gunawan yang permohonan pengajuan Praperadilannya dimenangkan oleh Hakim Sarpin selaku Hakim tunggal yang menangani kasus tersebut pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka penulis merasa tertarik untuk membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Penulis telah memeriksa judul–judul skripsi yang ada di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan mengajukan uji bersih yang hasilnya belum terdapat tulisan yang mengangkat pembahasan seperti yang telah penulis kemukakan diatas. Dengan demikian penulisan skripsi ini adalah asli. Sementara itu, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan
kebenaran
ilmiah.
Sehingga
penelitian
ini
dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
E.
Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian dan Tujuan Pra Peradilan Kalau
kita
teliti
istilah
yang
dipergunakan
oleh
KUHAP
“praperadilan” maka maksud dan artinya yang harfiah berbeda. Pra artinya sebelum atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan,
13
karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaaan pendahuluan atas suatu perkara. Misalnya, penuntut umum di Belanda dapat minta pendapat hakim mengenai suatu kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan dengan transaksi (misalnya perkara tidak diteruskan ke persidangan dengan mengganti kerugian) ataukah tidak. Meskipun ada kemiripan dengan hakim komisaris itu, namun wewenang praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutuskan apakah penangkapan atau penahanan sah ataukah tidak. Apakah penghentian penyidikan atau penuntutan sah ataukah tidak. 19 Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissaris (hakim yang memimpin
pemeriksaan
pendahuluan)
muncul
sebagai
perwujudan
keaktifan hakim, yaitu di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang mid-delen), penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan suratsurat. 20 Menurut
KUHAP
Indonesia,
praperadilan
tidak
mempunyai
wewenang seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa. Selain itu, Judge d’ Instruction di Prancis mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat
19 20
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 187. Oemar Seno Adji, Hukum, Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 88.
14
bukti yang lain. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu, melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu perkara cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Kalau cukup alasan, ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alasan, ia akan membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu. 21 Namun demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d’ Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa. 22 Untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan terhadap perbuatan sewenang-wenang aparat penyidik dan penuntut umum, maka Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 meletakkan dasar-dasar yang kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang dikenal dengan lembaga Praperadilan. Ketentuan yang menjadi dasar praperadilan tersebut diatur dalam pasal 9 UU No. 14 Tahun 1970 yaitu : (1) Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai 21
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 188. Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Prancis Lebis cepat dari Peradilan Kita, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 92-94. 22
15
orangnya atau hukum diterapkannya berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. (2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dapat dipidana. (3) Cara-cara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebasan ganti kerugian diatur lebih lanjut dengan Undang-undang. Penjabaran dari pasal 9 UU No. 14 Tahun 1970 ini diatur dalam pasal 77 s/d 83, dan dihubungkan dengan pasal 95 ayat (2) KUHAP. Adapun pengertian mengenai praperadilan dirumuskan dalam pasal 1 butir 10 KUHAP yaitu: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam UndangUndang ini, tentang: a.
Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka.
b.
Sah
atau
tidaknya
penghentian
penyidikan
atau
penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. c.
Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. 23
Pasal-pasal tersebut di atas merupakan ketentuan umum, sebagai pelaksanaannya diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983.
23
Moch. Faisal Salam, Op. Cit., hlm. 321-322.
16
Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa maksud ataupun tujuan diadakan lembaga praperadilan ini merupakan kontrol/pengawasan atas jalannya hukum acara pidana dalam rangka melindungi hak-hak tersangka/terdakwa. Kontrol tersebut dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: a.
Kontrol vertikal, yakni kontrol dari atas ke bawah
b.
Kontrol horizontal, yakni kontrol ke samping, antara penyidik, penuntut umum timbal balik tersangka, keluarganya atau pihak ketiga. 24 Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan
melakukan
pemeriksaan
praperadilan memimpinnya.
tidak Hakim
pendahuluan
melakukan
atau
memimpinnya.
pemeriksaan
praperadilan
tidak
Hakim
pendahuluan
melakukan
atau
pemeriksaan
pendahuluan, penggeledahan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan. Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut umum. Bahkan tidak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan atau penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia. Penggeledahan
24
Ibid.
yang
tidak
sah
merupakan
pelanggaran
terhadap
17
ketentraman rumah tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang. 25 Setelah pengadilan negeri menerima pengajuan pemeriksaan perkara praperadilan, maka dalam waktu tiga hari telah menunjuk hakim yang akan memimpin persidangan dan telah menetapkan hari sidang. Persidangan pemeriksaan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal. 26 Pasal 78 KUHAP hanya mengatakan bahwa praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Penjelasan pasal tersebut mengatakan cukup jelas. 27 Dimana dalam persidangan itu hakim mendengar keterangan tersangka atau penuntut umum, atau pemohon dan pejabat-pejabat penyidik dan penuntut umum. Pemeriksaan praperadilan harus dilakukan secara cepat, dalam waktu tujuh hari harus sudah dijatuhkan putusan. Hal ini membedakan dengan perkara biasa yan tidak ditentukan batas waktu penyelesaiannya. 28
2. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption. corruptore) gejala dimana para pejabat,badan-badan negara meyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam 25
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 189. Moch. Faisal Salam, Op. Cit., hlm. 332. 27 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 191. 28 Moch. Faisal Salam, Op. Cit., hlm. 332. 26
18
Kamus Hukum, yang dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan negara. 29 Perbuatan korupsi dapat dikatakan telah merambah hampir di seluruh sektor/bidang politik, ekonomi, hukum, dan administrasi, serta sosial, baik pada instansi-instansi pemerintah maupun kalangan swasta dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Korupsi merupakan perbuatan tercela, yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara serta masyarakat dalam skala besar, namun ironisnya perbuatan korupsi itu sering kali tidak terjangkau oleh Undang-Undang yang ada, dan para pelakunya selalu berusaha berlindung di balik Asas Legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP). Di Indonesia
bentuk-bentuk
kejahatan
korupsi
pada
masa
awal-awal
kemerdekaan masih sangat sederhana, hal tersebut dapat dilihat dari perumusan pasal-pasal KUHP. Misalnya suap atau pemaksaan terhadap seseorang untuk memberikan sesuatu oleh para pejabat atau pegawai negeri. Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, korupsi pun mulai memasuki
berbagai
kondisi
dari
segenap
kehidupan
negara
dan
masyarakat. 30 Korupsi di Indonesia sudah sedemikian mencengangkan, bahkan telah menyerang sampai kepada pemerintah-pemerintah daerah. Hampir tiap provinsi di Indonesia pernah memiliki kasus korupsi yang dijalankan oleh
29
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 8-9. Muzakkir Samidan Prang, Peranan Hakim dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2011, hlm. 31. 30
19
aparat eksekutif, legislatif dan yudikatifnya. Jawa Tengah menjadi provinsi dengan kasus korupsi terbanyak yaitu 131 kasus. 31 Di Indonesia, langkah-langkah pembentukan hukum positif guna mengahadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan perundang-undangan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik-delik yang dilakukan para pejabat (ambtenaar) yang terkait dengan korupsi. Akan tetapi pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan-ketentuan perundang-undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuanketentuan yang telah diatur dalam KUHP. Ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka diharapkan dapat mengisi serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. 32 Dalam penuntutan tindak pidana korupsi di Indonesia, terdapat 2 (dua) institusi yang berhak melakukan penuntutan yaitu Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedangkan terhadap pemeriksaan terdakwa tindak
31
Berdasarkan hasil penelitian Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN), lihat Kompas, 9 Maret 2003, Ramai-ramai Menjarah Uang Rakyat. 32 Evi Hartanti, Op. Cit., hlm. 22-23.
20
pidana korupsi juga dapat dilakukan dalam 2 (dua) lingkungan pengadilan, yaitu pengadilan umum dan pengadilan tindak pidana korupsi. 33
3. Pengertian Tersangka dan Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia Sebagaimana telah dirumuskan dalam KUHAP pasal 1 butir ke 14 bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, dan butir ke 15 menyatakan bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan; namun demikian berdasarkan suatu azas yang terpenting dalam Hukum Acara Pidana ialah: “Azas Praduga Tak Bersalah(Presumption of Innoucent)” yang telah dimuat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; LN. tahun 1970 Nomor 74, maka bersumber pada azas tersebut di atas, maka setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut di depan sidang pengadilan wajib dianggap tak bersalah sebelum ada keputusan hakim yang menyatakan kesalahannya dan emperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Oleh karena itu wajarlah apabila tersangka/terdakwa dalam tiap tingkat pemeriksaan memperoleh hak-hak tertentu baginya menjamin
adanya
perlindungan
terhadap
harkat
dan
martabat
manusia.demikianlah menurut pasal 50 KUHAP, tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjtnya diajukan kepada 33
Tim dibawah pimpinan Teguh Samudera, Op. Cit, hlm. 4.
21
penuntut umum, serta segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, hal mana mencegah terkatung-katungnya suatu perkara sehingga tersangka tidak bisa segera mengetahui bagaimana nasibnya. Untuk mempersiapkan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya, dan dalam semua tingkat pemeriksaan tersangka/terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim, selanjutnya berhak untuk mendapat bantuan juru bahasa dan berhak pula mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum yang dipilihnya sendiri (pasal-pasal 51, 52, 53, 54 dan 55 KUHAP). 34 Sementara itu, penyidikan merupakan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHAP memberi defenisi penyidikan sebagai berikut: “Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”. Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh Undang-Undang segera setelah mereka dengan jalan
34
R. Atang Ranoemihardja, Op. Cit., hlm. 54-55.
22
apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum”. 35 Penyidikan terhadap satu tindak pidana merupakan suatu proses yang terdiri dari rangkaian tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka membuat terang suatu perkara dan menemukan pelakunya. 36 Sesuai konteks Pasal 1 Angka 2 KUHAP, dengan konkrit dan faktual dimensi penyidikan dimuali ketika terjadi tindak pidana, sehingga melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek sebagai berikut: a.
Tindak pidana yang telah dilakukan
b.
Tempat dilakukannya tindak pidana (locus delicti)
c.
Waktu dilakukannya tindak pidana (tempus delicti)
d.
Cara dilakukannya tindak pidana
e.
Dengan alat apa dilakukannya tindak pidana Dalam Pasal 1 Angka 2 KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sementara itu, penyidik di dalam KUHAP adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
35 36
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 120. Harun M.Hussein, Op. Cit., hlm.104.
23
tugas dan wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. 37
4. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Sistem Peradilan Pidana a.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap
upaya
pemberantasan
tindak
pidana
korupsi.38
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dapat ditemukan dalam Pasal 6 butir c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang berbunyi Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. 39 Dalam
menjalankan
tugas
dan
wewenangnya,
Komisi
Pemberantasan Korupsi berasaskan pada: 1.
Kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
37
Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi, Visimedia, Jakarta, 2012, hlm. 103. Pasal 3-4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 39 Juni Sjafrien Jahja, Op. Cit., hlm. 103. 38
24
2.
Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
3.
Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4.
Kepentingan umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;
5.
Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi. 40
b.
Sistem Peradilan Pidana Berbicara tentang sistem hukum, yang dimaksudkan adalah sistem hukum positif Indonesia yaitu sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Sistem pada umumnya diartikan sebagai suatu kesauan yang terdiri atas unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan saling memengaruhi sehingga merupakan suatu keseluruhan yang utuh dan berarti. Pada dasarnya suatu sistem hukum adalah suatu struktir formal, namun apabila berbicara tentang sistem hukum Indonesia, maka
40
Evi Hartanti, Op. Cit., hlm. 70.
25
yang dimaksud disini adalah struktur formal kaidah-kaidah hukum yang berlaku dan asas-asas yang mendasarinya dimana pada gilirannya diddasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila. 41 Berbicara tentang persidangan kasus pidana, maka kita juga berbicara tentang sebuah sistem, yakni sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana merupakan subsistem dari sistem peradilan di Indonesia dimana peradilan di Indonesia juga merupakan subsistem dari sistem hukum di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan adanya suatu hierarki sistem, dimana subsistem-subsistem dari sebuah sistem tertentu menunjukkan ciri berupa adanya interelasi satu sama lainnya. 42 Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam sistem peradilan pidana Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum. Keberhasilan penanggulangan kejahatan pada masa itu sangat bergantung pada efektifitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian. 43 Peradilan pidana adalah suatu proses yang di dalamnya terdapat beberapa badan atau lembaga penegak hukum beserta aparaturnya yang bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. Oleh 41
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 121. 42 Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2013, hlm. 3. 43 Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen & Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hlm. 33.
26
karena itu, peradilan pidana dapat dipahami sebagai suatu proses menyangkut kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas dari badan peradilan pidana. Kegiatan di dalam proses itu sendiri merupakan kegiatan bertahap dan berkelanjutan, yang dimulai dari kegiatan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan hakim. 44 Kegiatan yang berkelanjutan itu masing-masing dilakukan oleh instansi penegak hukum yang berbeda secara administratif dan struktural. Kegiatan penyidikan dilakukan oleh kepolisian, dan kegiatan penuntutan dilakukan oleh kejaksaan. Sedangkan kegiatan pemeriksaan di persidangan dilakukan oleh pengadilan, dan kegiatan pelaksanaan putusan dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan. Meskipun demikian, secara fungsional instansi-instansi penegak hukum itu satu sama lain merupakan satu kesatuan yang harus bekerja sama dalam kerangka sistem, yaitu sistem peradilan pidana. 45 Sistem peradilan pidana memiliki tiga komponen utama, yaitu penegak hukum, pengadilan dan pemasyarakatan. Komponen utama yang dimaksud disini bukanah merupakan komponen kajian dalam sistem peradilan pidana, melainkan komponen utama dalam sistem peradilan pidana tersebut. 46 Sistem peradilan pidana yang dikenal di Indonesia ini sebenarnya merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice 44
Elwi Danil, Op. Cit., hlm. 220. Ibid. 46 Tolib Efffendi, Op.Cit., hlm. 7. 45
27
System, suatu sistem yang dikembangkan oleh praktisi penegak huum (Law enforcement officer) di Amerika Serikat. 47 Menurut Black’s Law Dictionary: “Criminal Justice System is the collective institutions through which an accussed offender passes until the accusations have been disposed of or the assessed punishment concluded. The system typically has have three components: law enforcement (police, sheriffs, marshals), the judicial process (judges, prosecutors, defense lawyers) and corrections (prison officials, probation officers and parole officers)”. Jika
diterjemahkan
secara
bebas,
menurut
Black’s
Law
Dictionary, sistem peradilan pidana adalah institusi kolektif, dimana seorang pelaku tindak pidana melalui suatu proses sampai tuntutan ditetapkan atau penjatuhan hukuman telah diputuskan. Sistem ini memiliki tiga komponen, penegak hukum (kepolisian), proses persidangan (hakim, jaksa dan advokat), dan lembaga pemasyarakatan (petugas pemasyarakatan dan petugas lembaga pembinaan). Menurut Romli Atmasasmita, sistem peradilan pidana merupakan manajemen untuk mengendalikan atau menguasai atau melakukan pengekangan atau dapat dikatakan sebagai aspek manajemen dalam upaya penanggulangan kejahatan. Sistem peradilan pidana diartikan juga sebagai suatu penegakan hukum, maka di dalamnya terkandung 47
Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara & Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seno Adji & Rekan”, Jakarta, 2005, hlm. 4.
28
aspek hukum yang menitikberatkan kepada rasionalitas peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan dan bertujuan mencapai kepastian hukum (certainty). Di lain pihak, apabila pengertian sistem peradilan pidana dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social defense yang terkait kepada tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka dalam sistem peradilan pidana terkandung aspek sosial yang menitikberatkan pada kegunaan (ekspediency). 48 Sistem peradilan memiliki dua tujuan besar, yaitu untuk melindungi masyarakat dan menegakkan hukum. Selain dua tujuan tersebut, sistem peradilan pidana memiliki beberapa fungsi penting, antara lain: 1.
Mencegah kejahatan;
2.
Menindak pelaku tindak pidana dengan memberikan pengertian terhadap pelaku tindak pidana dimana pencegahan tidak efektif;
3.
Peninjauan ulang terhadap legalitas ukuran pencegahan dan penindakan;
4.
Putusan pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidak bersalah terhadap orang yang ditahan;
5.
Disposisi yang sesuai terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah;
48
Romi Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, Putra Abardin, Bandung, 1996, hlm. 16.
29
6.
Lembaga koreksi oleh alat-alat negara yang disetujui oleh masyarakat terhadap perilaku mereka yang telah melanggar hukum pidana. Criminal justice process merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari criminal justice system, karena criminal justice system selain berisikan tentang criminal justice process juga berisi tentang keterikatan antarlembaga, antar peraturan dan masyarakat yang menunjang berlakunya hukum pidana. 49
F.
Metode Penelitian Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak
harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa
gejala hukum
tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. 50 Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini meliputi:
49
Tolib Effendi, Op. Cit., hlm. 13-14. Soerjono Soekanto, Pengatar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hlm. 43. 50
30
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen disebabkan karena penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.
2. Jenis Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari: 1.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas
Undang-Undang
No.31
Tahun
1999
tetang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Republik
31
Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. 2.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undangundang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. 51
3.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya. 52
3. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan yakni : buku-buku, pendapat sarjana, bahan kuliah, surat kabar, artikel dan juga berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk memperoleh atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan atau doktrin-doktrin yang berkenaan dengan Sah-tidaknya penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang diajukan sebagai alasan praperadilan.
4. Analisis Data Secara umum ada 2 (dua) metode analisis data yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode 51
Ibid, hlm. 52. Ibid.
52
32
analisis kualitatif, dimana data yang berupa asas, konsepsi, doktrin hukum serta isi kaedah hukum dianalisis secara kualitatif.
G.
Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar
memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, keaslian penulisan,
tujuan
penulisan,
manfaat
penulisan,
tinjauan
kepustakaan, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan. BAB II
MEKANISME PENETAPAN STATUS TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) Didalam bab ini akan dibahas pengaturan tentang mekanisme Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menetapkan status tersangka. Pembahasan bab kedua ini akan dimulai dengan pembahasan tentang latar belakang pembentukan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kemudian dilanjutkan dengan pembahasan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
33
dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi di Indonesia, dan selanjutnya pembahasan mengenai mekanisme KPK
dalam
menetapkan status tersangka tindak pidana korupsi. BAB III
SAH TIDAKNYA PENETAPAN STATUS TERSANGKA OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) SEBAGAI ALASAN PENGAJUAN PRAPERADILAN DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA (Studi Terhadap Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel) Bab ketiga akan membahas mengenai sah-tidaknya penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai alasan pengajuan praperadilan. Pembahasan bab ketiga ini akan
dimulai
dengan
pembahasan
mengenai
pengaturan
praperadilan menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia, pembahasan mengenai penetapan status tersangka sebagai alasan pengajuan praperadilan, kemudian dilanjutkan dengan analisis kasus terhadap Putusan nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel. BAB IV
PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran. Merupakan ringkasan dari bab-bab yang berisi kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas dan saran-saran dari penulis berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.