BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Dalam kegiatan ekonomi dikenal istilah antara sektor formal dengan sektor informal, istilah ini memunculkan dikotomi antara sektor pekerjaan yang padat modal dengan sektor pekerjaan yang padat karya, sektor formal lebih dikenal sebagai sektor pekerjaan yang telah terelaborasi dalam kegiatan ekonomi yang kapitalistik dan terintegrasi dengan baik dengan sistem perekonomian global, ditandai dengan kebutuhan akan sumber daya yang besar namun berkualitas dengan produksi yang termekanisasi dan bersifat masif, ini berkebalikan dengan sektor informal.
Konsep sektor informal muncul dalam konsep keterlibatan pakar-pakar internasional dalam perencanan pembangunan di Dunia Ketiga. Gejala ini muncul setelah kelahiran Negara-negara maju setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pada waktu itu muncullah gagasan-gagasan di tingkat internasional maupun nasional untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi pada negara-negara dimaksud. Melalui lembaga-lembaga internasional didirikanlah lembaga-lembaga untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang seperti The World Bank, International Monetary Found (IMF) dan juga International Labour Organization (ILO). Lembaga-lembaga tersebut melakukan berbagai studi mengusulkan kebijakan dan turut campur tangan dalam pengambilan keputusan menyangkut berbagai bidang
1
yang dianggap mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara berkembang. ILO meluncurkan program untuk World Employment Programme (WEP) yang diterbitkan pada tahun 1972, menggulirkan konsep informal pertama kali yang diperkenalkan di dunia internasional.
Kendati telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun sejak dilontarkan konsep sektor informal pada dasawarsa 1970-an hingga saat ini, perdebatan tentang sektor informal masih juga belum mencapai kesepakatan. Ada beberapa ciri-ciri umum dari sektor informal diantaranya adalah :
a. Mudah dimasuki, b. Pemakaian sumber-sumber daya lokal, c. Pemilikan oleh keluarga, d. Berskala kecil, e. Padat karya dan pemakaian teknologi yang sederhana, f. Keterampilan yang dimiliki di luar sistem pendidikan formal, g. Bergerak di pasar yang kompetitif dan tidak berada di bawah pengaturan resmi.
Disamping itu ILO menemukan adanya kegiatan-kegiatan ekonomi yang selalu lolos dari pencacahan, pengaturan dan perlindungan oleh pemerintahan tetapi mempunyai makna ekonomi karena bersifat kompetitif dan padat karya, memakai input dan teknologi lokal serta beroperasi atas dasar kepemilikan sendiri oleh
2
masyarakat lokal. Kegiatan-kegiatan inilah yang kemudian dinobatkan sebagai sektor informal. Portes dan Catells mengajukan defenisi sektor informal sebagai proses perolehan penghasilan diluar sistem regulasi. Istilah ini merupakan suatu ide akal sehat (common sense nation) yang karena batas-batas sosialnya terus bergeser, tidak dapat dipahami dengan definisi yang ketat.1 Mereka melihat bahwa sektor informal sebagai suatu proses perolehan penghasilan mempunyai ciri-ciri sentral yaitu tidak diatur oleh lembaga-lembaga sosial dalam suatu lingkungan legal dan sosial. Menurut mereka batas-batas ekonomi informal bervariasi secara substansial sesuai dengan konteks dan kondisi historisnya masing-masing. Sthurman mengemukakan istilah sektor informal biasanya digunakan untuk mengajukan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Alasan berskala kecil karena 2:
a. Umumnya mereka berasal dari kalangan miskin, b. Sebagai suatu manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di Negara berkembang, c. Bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan untuk memperoleh keuntungan, d. Umumnya mereka berpendidikan sangat rendah, e. Mempunyai keterampilan rendah, f. Umumnya dilakukan oleh para migran.
1
Kajian Penanganan Permasalahan Pedagang Informal di Kota Pontianak.diakses di google.co.id Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi, 1985, Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal,Jakarta,PT Gramedia. hal 90 2
3
Usaha-usaha sektor informal yang dimaksud diantaranya pedagang kaki lima, pedagang keliling, tukang warung, sebagian tukang cukur, tukang becak, sebagian tukang sepatu, tukang loak serta usahausaha rumah tangga seperti : pembuat tempe, pembuat kue, pembuat es mambo, barang-barang anyaman dan lain-lain. Hans Singer mengatakan bahwa usaha sektor informal itu seperti jerapah, susah dijelaskan bentuknya tetapi mudah dikenal jika tampak di hadapan mata. Dipak Mazundar memberikan definisi sektor informal sebagai pasaran tenaga kerja yang tidak dilindungi3. Dikatakannya bahwa salah satu aspek penting dari perbedaan antara sektor informal dan formal sering dipengaruhi oleh jam kerja yang tidak tetap dalam jangka waktu tertentu. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya hubungan kontrak kerja jangka panjang dalam sektor informal dan upah cenderung dihitung per hari atau perjam serta menonjolnya usaha mandiri. Jan Breman tanpa memberikan batasan istilah yang jelas tetapi membedakan sektor formal dan informal yang menunjuk pada suatu sektor ekonomi masing-masing dengan konsistensi dan dinamika strukturnya sendiri4. Sektor formal digunakan dalam pengertian pekerja bergaji atau harian dalam pekerjaan yang permanen meliputi:
a. Sejumlah pekerjaan yang saling berhubungan yang merupakan bagian dari suatu struktur pekerjaan yang terjalin dan amat terorganisir. b. Pekerjaan secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian, c. Syarat-syarat bekerja dilindungi oleh hukum 3 4
Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi,op.cit. hal 12. Ibid.hal 139
4
Berdasarkan berbagai pendapat dan beberapa penelitian terdahulu dapat disampaikan bahwa konsep sektor informal lebih difokuskan pada aspek-aspek ekonomi, aspek sosial dan budaya. Aspek ekonomi diantaranya meliputi penggunaan modal yang rendah, pendapatan rendah, skala usaha relatif kecil. Aspek sosial diantaranya meliputi tingkat pendidikan formal rendah berasal dari kalangan ekonomi lemah, umumnya berasal dari migran. Sedangkan dari aspek budaya diantaranya kecenderungan untuk beroperasi diluar sistem regulasi, penggunaan teknologi sederhana, tidak terikat oleh curahan waktu kerja. Dengan demikian cara pandang di atas tentang sektor informal lebih menitik beratkan kepada suatu proses memperoleh penghasilan yang dinamis dan bersifat kompleks. Di samping aspek-aspek di atas, kehadiran sektor informal dapat dilihat dari dua segi yaitu segi positif dan segi negatif. Segi positif diantaranya mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, kemampuan menyerap angkatan kerja yang sekaligus sebagai katub pengaman terhadap pengangguran dan kerawanan sosial, menyediakan kebutuhan bahan pokok untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan dari segi negatifnya adalah mengganggu lalulintas, mengganggu keindahan kota dan mengganggu kebersihan. Berdasarkan berbagai pendapat seperti telah diuraikan di atas, maka ciri-ciri kegiatan sektor informal dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Manajemennya sederhana, b. Tidak memerlukan izin usaha, c. Modal rendah,
5
d. Padat karya, e. Tingkat produktivitas rendah, f. Tingkat pendidikan formal biasanya rendah, g. Penggunaan teknologi sederhana, h. Sebagian besar pekerja adalah keluarga dan pemilikan usaha oleh keluarga, i. Mudahnya keluar masuk usaha, j. Kurangnya dukungan dan pengakuan pemerintah.
Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart (1971) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada diluar pasar tenaga terorganisasi. Apa yang digambarkan oleh Hart memang dirasakan belum cukup dalam memahami pengertian sektor informal yang sesungguhnya. Ketidakjelasan definisi sektor informal tersebut sering dilengkapi dengan suatu daftar kegiatan agak arbiter yang terlihat apabila seseorang menyusuri jalan-jalan suatu kota Dunia Ketiga: pedagang kaki lima, penjual koran, pengamen, pengemis, pedagang asongan, pelacur, dan lain-lain. Mereka merupakan pekerja yang tidak terikat dan tidak terampil dengan pendapatan rendah dan tidak tetap.
Menurut Keith Hart, ada dua macam sektor informal dilihat dari kesempatan memperoleh penghasilan, yaitu:5
5
Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi,op.cit. hal 79-80
6
1. Sah; terdiri atas:
a. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder: pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan, dan lain-lain. b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar: perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, dan lain-lain. c. Distribusi kecil-kecilan: pedagang kaki lima, pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang asongan, dan lain-lain. d. Transaksi pribadi; pinjam-meminjam, pengemis. e. Jasa yang lain: pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, dan lain-lain.
2. Tidak sah; terdiri atas :
a. Jasa: kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya: penadah barang-barang curian, lintah darat, perdagangan obat bius, penyelundupan, pelacuran, dan lain-lain. b. Transaksi: pencurian kecil (pencopetan), pencurian besar (perampokan bersenjata), pemalsuan uang, perjudian, dan lain-lain.
Yogyakarta
merupakan
salah
satu
provinsi
yang
menjadi
basis
berkembangnya sektor informal di Indonesia. Di Yogyakarta akan ditemui kegiatan ekonomi sektor informal mulai dari makanan (lesehan, angkringan, dan lain-lain),
7
barang kerajinan (handcraft), percetakan baju (clothing dan distributor outlet (distro)), fotocopy dan penjilidan, rental computer dan printing, penjualan pulsa, alat elektronik bekas, servis alat elektronik, penjualan suku cadang bekas dan masih banyak lagi yang lainnya.
Keadaan ini tidak terlepas dari kondisi Yogyakarta sebagai kota pusat pendidikan dan juga kota tujuan wisata. Sebagai kota pusat pendidikan, Yogyakarta terdapat puluhan bahkan ratusan kampus dan sekolah yang cukup terkenal dan menjadi tujuan para mahasiswa dan pelajar dari berbagai daerah lain di Indonesia bahkan dari luar Indonesia, yang tentu saja tidak semuanya berasal dari keluarga yang mampu secara finansial. Kondisi ini menjadi pasar yang potensial untuk konsumsi berbagai barang dan jasa (karena sifat para pelajar dan mahasiswa lebih konsumtif dalam artian ekonomi) yang tentu saja terendus oleh para pelaku kegiatan ekonomi. Seperti yang telah diterangkan pada alinea sebelumnya, para pedagang sektor informal juga terkena imbasnya dengan keadaan ini. Sektor ini secara budayanya memang memberikan harga yang lebih murah, mulai dari sektor informal yang bergerak di bidang makanan sampai dengan jasa bengkel dan suku cadang. Salah satu sektor informal yang akan diteliti lebih lanjut dalam bahasan ini adalah penjualan suku cadang sepeda motor di Pasar Jejeran, Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul.
8
Perdagangan suku cadang di Jejeran, Wonokromo merupakan salah satu pusat penjualan suku cadang bekas yang ada di Yogyakarta. Dalam kegiatan ekonominya pasar Jejeran ini mengarah pada kegiatan ekonomi sektor informal ditunjukkan dengan: manajemennya sederhana, tidak memerlukan izin usaha, modal rendah, padat karya, tingkat pendidikan formal pelakunya biasanya rendah, sebagian besar pekerja adalah keluarga dan pemilikan usaha oleh keluarga, mudahnya keluar masuk usaha, kurangnya dukungan dan pengakuan pemerintah. Hal ini juga karena letaknya yang berada dipedesaan dan para pelaku kegiatan perdagangan yang merupakan warga desa setempat.
Berkembang pesatnya bisnis suku cadang bekas juga tidak terlepas dari kondisi kebutuhan akan konsumsi kendaraan sepeda motor terutama di Indonesia sangat tinggi sekali. Ini tidak lepas dari cara memperoleh sepeda motor yang semakin mudah secara kredit lewat lembaga pembiayaan (leasing) yang sangat banyak sekali di Indonesia. Perlu diketahui Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Cina dan India dalam penjualan sepeda motor. Selain itu, kemampuan produksi komponen otomotif Indonesia saat ini telah mampu diterima pasar otomotif dunia untuk original equipment machine maupun suku cadang.6 Dengan adanya fenomena ini tentu ada sektor bisnis lain yang juga terdongkrak dengan tingginya tingkat konsumsi kendaraan bermotor diantaranya bengkel, gerai spare part sampai dengan gerai aksesoris. Peluang bisnis saling berkesinambungan karena kendaraan bermotor
6
Lihat :http://www.detiknews.com/ Selasa 25 April 2006. Diakses tanggal 21 April 2009
9
memerlukan perawatan kendaraan, dan perlu suku cadang baru untuk mengganti suku cadang bila ada yang rusak. Kebanyakan para pelaku ekonomi di sektor ini juga digeluti di dalam sektor informal.
Yogyakarta sebagai kota pelajar dan juga banyaknya para pekerja penglaju yang memanfaatkan kendaraan sepeda motor sebagai transportasi utama mereka dalam mendukung mobilitas mereka. Bisa dilihat di jalan-jalan protokol dan jalanjalan lintas propinsi seperti di jalan Magelang, jalan Solo-Yogyakarta tidak pernah sepi dari sepeda motor. Ada satu sektor informal yang mengalami perkembangan pesat dan kegiatan ekonominya yang digelutinya semakin ramai. Sektor informal tersebut adalah pasar suku cadang bekas Jejeran yang berlokasi di Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Para pecinta otomotif khususnya sepeda motor di Yogyakarta, kawasan Jejeran sudah tidak asing lagi ditelinga mereka. Banyak kioskios kecil berJejeran tertata rapi di sepanjang jalan utama dari Jejeran ke arah pleret. Di tempat ini kita bisa menjumpai banyak sekali penjual yang memajang berbagai macam jenis suku cadang bekas sepeda motor mulai dari jenis motor tua sampai dengan suku cadang dari motor keluaran baru yang belum lama di luncurkan di dealer sepeda motor baru dengan berbagai macam merk pabrikan.
Perkembangan sektor informal penjualan suku cadang di kawasan Jejeran tumbuh semakin ramai dan dari hari-kehari semakin banyak masyarakat umum yang datang ke sini untuk mencari suku cadang untuk kendaraan roda duanya. Banyak
10
masyarakat lebih memilih membeli suku cadang di sini karena harganya lebih miring daripada membeli baru di toko, dan untuk komponen motor-motor tua yang suku cadangnya sudah tidak di produksi di pabrik bagi yang beruntung bisa mendapatkan suku cadangnya walaupun bekas tapi masih banyak yang orisinil. Yang lebih menarik lagi adalah, para pedagang yang berjualan di sini adalah para pemuda atau para angkatan keluarga muda. Memang pusat perdagangan suku cadang di Jejeran bisa dikatakan masih baru dan baru berkembang pesat pada tahun 2000 keatas.
Memang menarik, di kawasan yang terhitung berada di pinggiran jauh dari pusat kota Yogyakarta sekitar 15 km kearah selatan dari pusat kota Yogyakarta, tapi mampu menciptakan suatu kantong perekonomian perdagangan yang mandiri dan mampu memberikan penghasilan bagi masyarakat sekitar. Anggapan banyak orang yang menyatakan bahwa sektor informal hanya bisa berkembang dengan pesat di pusat-pusat kota dapat ditampik oleh beberapa pelaku sektor informal suku cadang bekas di Jejeran. Masyarakat desa terutama generasi mudanya yang ingin mencari pekerjaan di luar sektor pertanian bisa menciptakan lapangan pekerjaan tanpa harus bermigrasi ke kota yang memiliki daya ekonomi yang lebih tinggi, serta fasilitas publik lebih memadai, fasilitas sosial lebih banyak, dan tentunya pusat hiburan yang banyak. Dengan menciptakan sektor informal yang mampu berkembang dan kegiatan ekonominya ramai tentunya akan mampu mendongkrak banyak kegiatan ekonomi lainnya agar terangsang bisa muncul. Kondisi desa yang yang kurang mendukung sumber daya alamnya dan perkembangan dan kesejahteraan hidup masyarakat yang
11
rendah yang selama ini menjadi alasan utama masyarakat untuk bermigrasi mulai bisa diatasi oleh masyarakat Jejeran.
Sebenarnya di Yogyakarta ada beberapa kawasan yang ditempati oleh para pedagang yang menjual berbagai macam suku cadang bekas sepeda motor. Diantaranya seperti kawasan di sebelah barat pasar Kranggan, atau di lantai dasar sebelah utara pasar Beringharjo dan ada juga di timur pelataran Pakualaman. Semenjak adanya pembangunan pasar klitikan Kuncen di resmikan pemerintah kota Yogyakarta, maka para pedagang yang berada di barat pasar Kranggan dipindahkan ke pasar klitikan Kuncen. Pasar yang ada di Jejeran ini untuk wilayah lain di luar Yogyakarta hampir sama dengan yang ada di Bandung, dimana disana terkenal dengan kawasan Jatayu atau di Jakarta selatan terkenal dengan kawasan Pasar Asem Reges. Dagangan yang diperjual belikan pun sama yaitu berbagai macam suku cadang kendaraan bekas berbagai merk.
Namun yang menjadi masalah sering kali banyak suku cadang yang dijual di sana untuk barang bekasnya tidak diketahui asal muasal resminya dari mana. Sebab berbagai macam suku cadang mulai dari rem cakram depan original dari sepeda motor bebek atau sport, tangki bensin motor sport sampai, gelondongan mesin berbagai tipe kendaraan bisa kita dapatkan di beberapa penjual di kios suku cadang di Jejeran. Dari fakta yang di lapangan inilah penulis melihat bahwa dengan barang dagangan yang tidak wajar ini bagaimana para pedagang mampu mempertahankan
12
kelangsungan berdagangnya di tengah-tengah anggapan masyarakat bahwa mereka menjalankan sektor informal tidak sah (berasal dari barang hasil curian atau kejahatan lainnya). Bagaimana mereka membangun jaringan sosial diantara pelaku-pelaku ekonomi dalam melakukan kegiatan produksi, distribusi, konsumsi di kawasan Jejeran sehingga usaha ekonomi ini sampai dengan saat ini masih ada.
B. Rumusan masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di muka maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana kegiatan perdagangan suku cadang bekas di Jejeran sehingga mendapat label sebagai kegiatan ekonomi sektor informal yang tidak sah?
2.
Bagaimana modal sosial yang terbentuk di kalangan pedagang suku cadang di Jejeran agar tetap bisa bertahan di tengah labelling negatif masyarakat ?
C. Tujuan penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan untuk: 1. Mengetahui aspek-aspek yang melatarbelakangi pasar Jejeran dilabeli sebagai bisnis barang tidak sah atau abu-abu 2. Untuk mengetahui modal sosial dan jaringan yang terbentuk sehingga pasar ini bisa tetap berjalan.
13
D. Kerangka Teoritik D.1. Sektor Informal Keterbatasan pertumbuhan sektor modern dalam menyerap tenaga kerja mengakibatkan mereka yang tidak dapat diserap oleh sektor industri modern mencari alternatif penghasilan diluar sektor tersebut. muncul yang kemudian disebut dengan sektor informal. Istilah sektor informal sendiri pertama kali disebutkan oleh Keith Hart yang dituangkan dalam penelitiannya di Ghana pada tahun 1973. ia mengungkapkan bahwa kesempatan memperoleh penghasilan di kota tidaklah selalu diidentikkan dengan proses industrialisasi yang serba canggih tetapi terdapat pula kegiatan ekonomi yang tidak terorganisir yaitu sektor informal. Meluasnya migrasi penduduk dari wilayah desa ke kota sebagai akibat dari terkonsentrasinya pembangunan ekonomi di kota besar semakin menjadikan sektor informal pada posisis strategis sebagai ruang yang menyediakan peluang ekonomi bagi masyarakat marginal. Disini sektor informal berfungsi sebagai katup menyelamat yang dapat meredam ledakan sosial sebagai akibat meningkatnya pencari kerja baik dalam kota maupun pendatang dari desa. Hernando de soto melihat sektor informal sebagai celah memasuki sektor formal dimana sektor informal justru merupakan kekuatan tersembunyi untuk memperbaiki sistem ekonomi pasar yang tidak aksesibel.7 Sektor informal merupakan usaha berskala kecil yang menghasilkan dan mendisribusikan barang dan jasa dengan tujuan menciptakan kesempatan kerja bagi banyak orang.
7
Hernando de Soto,1991, Masih ada Jalan lain:Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga, Yayasan Obor Indonesia,Jakarta hal 88
14
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sektor informal mendapat tantangan dari terbatasnya modal dan kualitas sumberdaya fisik dan manusianya. Menurut Sethuraman kebanyakan yang bergelut di sektor informal ini pada umumnya miskin, kebanyakan dalan usia kerja utama (prime age), berpendidikan rendah, upah yang diterima dibawah upah minimum, modal usaha rendah serta sektor ini memberikan kemungkinan mobilisasi vertikal.8 Sektor informal sebagai fenomena yang khas di negara yang sedang berkembang bisa berupa kegiatan produksi dan distribusi barang maupun jasa. Misalnya saja pedagang kaki lima, pedagang asongan, rentenir dan lain sebagainya. D.2. Labelling Theory (Teori Labelling) Teori Labelling menawarkan pemahaman bagaimana anggota masyarakat mengadopsi peran menyimpang, dan kemudian lembaga-lembaga yang dibentuk untuk melakukan fungsi kontrol sosial berusaha menghentikan dan merehabilitasinya. Teori labeling percaya bahwa penyimpangan adalah produk dari serangkaian tindakan yang diambil oleh lembaga-lembaga yang dibentuk untuk melakukan fungsi kontrol sosial itu sendiri. Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh teori labeling dalam usahanya memahami
tingkah
laku
menyimpang
adalah
sebagai
berikut.
Pertama,
mengidentifikasi serangkaian karakteristik atau tindakan seseorang yang dilakukan secara individual, kemudian mengkategorikan orang tersebut sebagai salah satu dari calon yang dipilih menjadi bagian dari suatu studi penyimpangan. Kedua 8
Chris Maning dan Tadjudin Noer Effendi, op.cit. ,hal 76
15
mengidentifikasi bagaimana orang-orang lain akan memperlakukan orang tadi sesuai dengan label yang diberikan kepadanya. Teori labelling kemudian memfokuskan perhatiannya pada status orang yang dijadikan objek studi. Label memberikan indikasi bahwa orang harus diperlakukan berbeda dalam segala hal karena ia secara kualitatif dianggap tidak normal atau berbeda dengan anggota masyarakat yang lain. Ketiga, mengetahui tipe tindakan (reaksi) yang dilakukan oleh orang yang melakukan penyimpangan primer tadi setelah memperoleh perlakuan tertentu dari orang-orang lain disekelilingnya, terutama mengidentikasi bagaimana ia mengadopsi perlakuan tersebut. Perlakuan orang-orang lain tersebut terwujud dalam bentuk reaksi sosial, dan selanjutnya bukan hanya semakin mengukuhkan tingkah laku yang menyimpang melainkan juga menciptakan penyimpangan-penyimpangan lainnya. Keempat, membahas masalah stabilitas pola interaksi di antara mereka yang memberi label menyimpang dan diberi label menyimpang. Bekerjanya unsur-unsur yang terdapat pada teori labelling dapat digambarkan sebagai berikut. Orang yang memperoleh label sebenarnya memiliki kelompok (a peer group). Orang tersebut dengan kelompoknya mengakui adanya wewenang kelompok, karena itu sebenarnya kelompok tersebut berstruktur yang didalamnya ada stratifikasi sosial. Wewenang yang ada dalam kelompok mengesahkan seseorang di dalam peran kelompok yang memberi label (the labeller). Pemberi label tersebut kemudian memberi label. Apabila kelompok mau menerimanya, maka orang tersebut kemudian dipaksa untuk menerima perlakuan tersebut dalam setiap berinteraksi dengan orang-orang lain sebagaimana dikehendaki oleh pemberi label (the labeller). 16
D.3. Modal Sosial Nilai-nilai kemasyarakatan atau modal sosial merupakan istilah yang sering digunakan dalam ilmu sosial untuk memnggambarkan kapasitas sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara integrasi sosial. Kemampuan itu didefinisikan dalam banyak aspek. Secara sederhana modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Modal sosial merupakan modal yang dihasilkan dari jaringan sosial atau dari keterkaitan seorang individu dengan individu-individu lainnya. Berbagai teoritis memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai modal sosial. Pengertian modal sosial yang berkembang selama ini lebih banyak didasarkan pada pandangan tiga ilmuwan sosial, yaitu Oierre Bourdie, James Colemen, dan Robert Putnam. Dalam buku The Forms of Capital dijelaskan bahwa Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai ”sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus-menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (atau dengan kata lain:keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif”. Dengan bergabung dengan dalam suatu jaringan, seseorang mempunyai kesempatan untuk meningkatkan modal ekonominya. Modal sosial merupakan instrumen untuk meningkatkan modal ekonomi seseorang. Penempatan modal sosial sekedar alat untuk meraih modal ekonomi bisa dipahami karena melihat modal ekonomi sangat penting dalam sistem ekonomi kapitatalis saat 17
ini. Modal sosial ditujukan untuk peningkatan modal ekonomi seseorang, namun proses bagaimana modal sosial terbentuk dan dipertukarkan berbeda dengan pertukaran dalam kerangka modal ekonomi. Bourdieu juga menekankan pentingnya transformasi dari hubungan sosial yang sesaat dan rapuh (contingent relations), seperti pertetanggaan, pertemanan, atau kekeluargaan, menjadi hubungan yang bersifat jangka panjang yang diwarnai oleh perasaan kewajiban terhadap orang lain. Jumlah modal sosial yang dimiliki oleh seseorang tergantung pada jaringan hubungan yang dapat dimobilisasikannya secara efektif dan tergantung pada volume modal lainnya, ekonomi, kultural, dan simbolik yang dimiliki oleh agen lainnya yan menjadi obyek dari jaringan hubungan yang mereka bangun.9 Teori yang kedua adalah James Coleman yang menjelaskan bahwa modal sosial sebagai ”sesuatu yang memiliki dua ciri, yaitu merupakan aspek dari struktur sosial serta menfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial tersebut.”
10
Dalam
pengertian ini , bentuk-bentuk modal sosial adalah berupa kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan sanksi yang efektif, hubungan otoritas, serta organisasi sosial yang bisa digunakan secara tepat. Dari sini bisa dilihat bahwa Colemen mendifinisikan modal sosial sebagai modal yang dapat digunakan oleh seseorang untuk meraih apa yang diinginkannya. Definisi tersebut hampir mirip dengan definisi yang diberikan Bourdieu. Keduanya mengangkat modal sosial sebagai sumber daya 9
Pierre Bourdieu and Luis Wacquant 2002.Invitation to Reflexive Sociology.University of Chicago Press.Chichago dalam buku AAGN Ari Dwipayana, Merajut Modal Sosial Untuk Perdamaian dan Integrasi Sosial,Fisipol UGM,Yogyakarta.hal 22-23 10 James S Colemen, the Foundation of Social Theory. Harvard University Press.1990 dalam buku AAGN Ari Dwipayana, Merajut Modal Sosial Untuk Perdamaian dan Integrasi Sosial,Fisipol UGM,Yogyakarta. Hal 23
18
yang digunakan oleh subyek untuk memenuhi kepentingannya. Tanpa adanya modal sosial maka subyek akan sulit memenuhi kepentingan atau harus mengeluarkan biaya, yang dapat berupa uang, yang lebih besar untuk meraih apa yang diinginkan. Definisi modal sosial yang lain datang dari ahli politik Robert Putnam, yaitu ciri-ciri kehidupan sosial yaitu jaringan, norma, serta rasa percaya (trust) yang bisa membuat semua warga masyarakat tersebut bertindak lebih efektif guna mencapai tujuan tertentu.11 Menurutnya, kerjasama dalam masyarakat, terutama yang melibatkan tatap muka ( face to face ),serta hubungan horisontal diantara individu akan menghasilkan kepercayaan ( trust ), norma pertukaran yang merupakan esensi penting dalam masyarakat demokratis. Fungsi modal sosial disini adalah untuk mengatasi berbagai macam hambatan kolektif untuk menciptakan kerjasama spontan dalam sebuah masyarakat. Modal sosial dapat didefinisikan sebagai simpati atau rasa kewajiban yang dimiliki seseorang atau kelompok lain yang mungkin bisa menghasilkan potensi keuntungan dan tindakan prefensial, dimana potensi dan tindakan prefensial itu tidak bisa muncul dalam hubungan sosial yang bersifat egois. D.4.Jaringan Sosial ( Networking). Jaringan adalah sekelompok agen-agen individu yang berbagi norma-norma atau nilai-nilai informal melampaui nilai-nilai atau norma yang penting untuk
11
Robert Putnam, Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy, Princetons University Press.1993. hal 167. dipetik dari Robert M Z Lawang. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik,Fisip UI,Jakarta. Hal 212
19
transaksi-transaksi pasar biasa.12 Jaringan sosial memainkan fungsi yang sangat vital dalam menciptakan modal sosial. Jaringan dipahami sebagai pola ikatan yang menghubungkan antar individu atau ikatan yang ada disekitar individu serta jaringan merupakan hubungan moral kepercayaan. Adapun jenis-jenis dari modal sosial berdasarkan dari jaringan yang membentuknya ada dua macam tipe13. Pertama, bonding social capital , yaitu modal sosial yang dibentuk lewat jaringan yang anggotanya sangat akrab satu sama lain. Putman menyebut jaringan ini dengan istilah bonding ties yang artinya ikatan yang anggotanya hampir homogen. Bonding ties juga ditandai oleh suatu solidaritas yang kuat antar sesama anggota. Keterhubungan antara anggota bisa dikarenakan persamaan usia, agama, jenis kelamin, etnis atau pun perasaan senasib seperjuangan. Jenis yang kedua yaitu bridging social capital. modal yang ini dibentuk lewat jaringan yang anggotanya berbeda dan sangat sedikit kesamaan diantara mereka. Menurut Putman, jaringan tersebut diberi nama bridging ties. Biasanya hubungan diantara anggota jaringan adalah hubungan yang tidak sejajar, contohnya adalah hubungan buruh dan majikan, guru dan murid. Satu karakteristik dari bonding ties yaitu ikatannya cukup kuat, karena ikatan itu menjadi perekat dalam satu kelompok yang sama. Sementara itu bridging ties disamakan suatu ikatan yang lemah yang menjembatani antar kelompok. Perdebatan 12
Francis Fukuyama,2002, The Great Disruption:Hakikat Manusia dan Rekonstusi Tatanan Sosia, .CV Qalam,Yogyakarta hal324 13 Lindon J. Robison et all,Sosial Capital and Poverty Reduction dalam Dewi Cahyani Puspitasari, 2007,Peran Modal Sosial dalam Penguatan Usaha Kecil Genteng di Dusun Berjo dan Kunden , Godean ,Sleman, UGM, Yogyakarta
20
diantara teoritisi muncul ketika dihadapkan pada pilihan mana diantara bonding atau bridging ties yang lebih penting untuk menjadi objek kajian. Sebagian besar sosiolog mengatakan bahwa bonding ties atau ikatan dalam kelompok lebih penting daripada bridging ties. Namun ada pula yang mengatakan bahwa bridging ties lebih bermanfaat karena dapat memecahkan isolasi yang terjadi dalam kelompok seperti yang dikatakan oleh Granovetter bahwa ikatan lemah antar dua aktor yang dari kelompok yang berbeda dapat membantu sebagai jembatan antara dua kelompok yang kuat ikatan internalnya.14 Dalam jaringan sosial baik bonding maupun bridging ties terdapat kepercayaan, kerjasama, dan timbal balik. Ketiga hal tersebut penting untuk mempertahankan jaringan dan memberikan keuntungan bagi setiap anggota yang terlibat dalam jaringan tersebut. Ini bisa diartikan modal sosial yang berupa kepercayaan, kerjasama dan timbal balik antara orang-orang yang membangun relasi memberikan masukan positif terhadap pemecahan masalah bersama. Modal sosial dapat terbentuk dan semakin menguat jika seseorang sering mengikuti kegiatan bersama atau tergabung dalam satu organisasi yang sama. Kegiatan bersama dapat memungkinkan aktor untuk saling terhubung, lalu bertukar pengalaman, berbagi nilai bersama dan tentunya membangun kepercayaan diantara sesama. Bila melihat kembali jaringan usaha dalam bidang ekonomi dalam hal ini kegiatan ekonomi perdagangan sektor informal yang meliputi kelompok pelaku di
14
George Ritzer dan Douglas J Goodman,2004, Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam, Kencana, Jakarta, hal 383
21
jalur penyedia barang dagangan; kelompok pelaku di jalur pemasaran; kelompok pelaku di jalur pemodalan/aliran uang; dan kelompok pelaku penyediaaan tenaga kerja, masing-masing kelompok pelaku memiliki peran dengan kepentingan berbeda untuk mencapai tujuan. Misalkan saja kelompok penyedia barang dagangan menghendaki ketersediaan barang yang mencukupi dengan harga sesuai untuk kemudian disetorkan ke pasar, begitu pula dengan kelompok pelaku lain dimana maksimalisasi keuntungan dapat diperoleh manakala keempat kelompok pelaku usaha ini bekerjasama atau membentuk jaringan usaha. Keberadaan jaringan usaha akan memberi kontribusi pada keberlanjutan usaha dari masing-masing kelompok usaha yang terlibat di dalamnya. D.5. Kerja Sama (Cooperation) Kerja sama merupakan salah satu komponen penting dalam modal sosial. Kerjasama lahir karena adanya kepentingan, prinsip dan nilai yang sama serta diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Aktor akan bekerja sama jika memandang aktor lain bukanlah ancaman dari kepentingannya, tetapi ia justru melihat aktor lain adalah kawan yang akan membantu meraih tujuan. Aktor juga akan berpikir bahwa kerjasama dapat menghaslkan output yang lebih besar dibandingkan jika mereka saling berkompertisi atau berkonflik. Dalam bekerja sama dibutuhkan adanya komponen pendukung lainnya. Diantaranya adalah kepercayaan, timbal balik. Kepercayaan akan memungkinkan orang lain untuk melakukan kerjasama, begitu pula sebaliknya ketidakpercayaan akan menghambat terjadinya kerjasama. 22
D.6. Trust (Kepercayaan) Kepercayaan dibangun melalui interaksi yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Namun derajat kelamaannya berbeda antara satu orang dengan orang lain. Dalam interaksi tersebut orang harus berbuat dan bertingkah laku seperti yang diinginkan atau yang diharapkan orang lain sehingga kepercayaan dapat tumbuh. Kepercayaan dapat tumbuh diantara individu dengan kelompok maupun antara kelompok dan kelompok lain. Bagi Fukuyama, kepercayaan lahir dari norma kejujuran, timbal balik dan kerja sama antar pihak yang terlibat. a) kepercayaan dan resiko Kepercayaan menunjuk pada suatu keadaan yang mengharapkan orang lain berindak dan bermaksud baik bagi kita. Dalam kepercayaan tearkandung kecenderungan parilaku tertentu yang dapat mengurangi resiko yang muncul dari perilakunya. Adapun fungsi dari kepearcayaan yaitu:pertama, suatu kepercayaan dapat suatu aset, jika kita saling percaya masing-masing merasa yakin bahwa tak seorangpun diantara mereka yang bersifat oportinistik atau mempertentangkan, kedua, kepercayaan berawal dari harapan, harapan yaitu tidak saling merugikan. Misalkan saja dalam masalah dagang atau bisnis, jika terjadi zero profit,itu bukan merupakan hakekat dagang dan harus dilihat sebagai suatu kebetulan. Dalam kepercayaan sudah tergantung saling percaya dalam bentuk kepastian kepercayaan seperti ini mempunyai nilai kapital yang sangat tinggi.15 b) Hubungan timbal balik dalam kepercayaan 15
M.Z. Lawang.op.cit. hal 48
23
Menurut Simmel, tanpa adanya saling percaya diantara satu orang dan lainnya, masyarakat akan disintegratif dan kepercayaan itu merupakan salah satu kekuatan kekuatan sintetik yang paling penting dalam masyarakat. Kepercayaan merupakan basis bagi tindakan individu.16 Bentuk kepercayaan menurut Simmel: 1) uang yang bersifat material dan yang bersifat kredit. Istilah kredit mengandung unsur yang sangat kental dengan jaminan yang sangat diperhitungkan. Kepercayaan seperti ini bisa disebut sebagai kepercayaan berbasis pengetahuan, kepercayaan bersyarat, atau kepercayaan penuh perhitungan sama-sama adil dan untung. 2) Confidance yang didahului oleh pengetahuan, dan bisa juga sebelumnya. 3) Masyarakat rahasia. E.Metode Penelitian Salah satu metode yang mampu mewadahi penelitian ini adalah metode kualitatif. Hal ini karena metode kualitatif relatif dapat menganalisa realitas sosial secara lebih mendalam. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengenal secara lebih dekat kehidupan mereka yang diamati dan mengikuti kehidupan informan secara apa adanya (wajar). Dengan demikian maka kita dapat mengetahui apa yang terjadi dibelakang setiap fenomena yang baru sedikit diketahui. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model penalaran induktif, dimulai dari pengumpulan data, analisis, dan generalisasi empiris. Penelitian kualitatif adalah meneliti informan (sebagai subjek penelitian) dalam lingkungan hidup kesehariannya.17 Oleh sebab itu peneliti kualitatif sedapat
16 17
Ibid. hal 50 Idrus, Muhammmad 2007, Metode Penelitian ilmu-ilmu sosial, UII Press, Yogyakarta Hal 34-41
24
mungkin berinteraksi dekat dengan informannya. Penelitian kualitatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Penelitian kualitatif berlangsung dalam situasi alamiah (natural setting). 2. Fenomena yang dilihat peneliti bersifat dinamis dan berkembang. 3. Sifat penelitian adalah deskriptif, yaitu penggambaran secara mendalam tentang situasi, atau proses yang diteliti. 4. Sasaran penelitian berlaku sebagai subjek penelitian dan bukan objek penelitian. 5. Fokus utama penelitian adalah proses dan interaksi subjek, serta perilaku yang ditampilkannya. 6. Sumber data dalam penelitian kualitatif adalah orang-orang yang dianggap tahu dengan fenomena yang diteliti dan dipilih berdasarkan pada kriteria yang disepakati peneliti sendiri, sehingga subjeknya terbatas. 7. Pemilihan subjek dilakukan secara purposif, dan menghindari pemilihan secara acak. 8. Pada penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri, yang diistilahkan sebagai human instrument atau key instrument. 9. Mengutamakan data langsung (first hand). 10. Hubungan antar peneliti dan subjek yang diteliti terjalin akrab dan setara.
25
11. Tujuan penelitian kualitatif salah satunya adalah diperolehnya pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena atau realitas yang diteliti (perspektif holistik). 12. Netralitas empatik. 13. Sisi kebenaran pada sisi informan, kebenaran emik. 14. Penelitian kualitatif tidak bermaksud melakukan generalisasi atas kasus yang diteliti, simpulan analisis lebih bersifat subjektif. E.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di desa Wonokromo dan desa Pleret yang tergabung dalam satu kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta. Lokasi tersebut terletak di pinggiran selatan kota Yogyakarta. Daerah ini merupakan sebuah kawasan perdagangan sektor informal suku cadang bekas kendaraan bermotor yang berderetan rapi. E.2. Teknik Pengambilan Informan Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik purposive sampling yaitu suatu teknik pengambilan sampel atau informan yang dianggap penting dan memenuhi syarat peneliti serta dapat memberikan informasi seakurat mungkin. Syarat-syarat informan untuk dijadikan responden penelitian adalah sebagai berikut: 1.Pedagang suku cadang sepeda motor bekas yang berdomisili di kawasan Jejeran Wonokromo Pleret Bantul
26
2.Pedagang yang mempunyai hubungan luas dengan banyak penyalur barang ( penyalur luar daerah, tukang tadah, Deep Colector (DC) leasing penbiayaan kendaraan bermotor) Informasi tentang pemilihan informan akan diperoleh dari pemasok suku cadang seperti Deepcollector serta pedang yang membuka kios di Jejeran dan beberapa pelanggan yang berbelanja di pasar Jejeran serta dari beberapa masyarakat umum di Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta.
E.3.Pengumpulan data dilakukan melalui:
(1) Observasi langsung Pengumpulan data melalui observasi ini dilakukan pada awal sebelum pelaksanaan wawancara dan membuka komunikasi dengan para pelaku ekonomi serta para perangkat desa sekitar obyek penelitian. Peneliti melakukan pengamatan dan penyaksian terhadap peristiwa-peristiwa dengan melihat, mendengarkan, merasakan yang kemudian dicatat seobyektif mungkin. Dan peneliti juga bertindak salah satu partisipan konsumen di Jejeran. Peran dari observasi ini bermanfaat untuk memnggambarkan setting tempat, ekspresi budaya dan keadaan social masyarakat khususnya lingkungan pedagang suku cadang di Jejeran. (2) Dokumentasi . Dokumentasi dilakukan untuk mencari literatur yang relevan dengan topik peneliti berupa majalah, tabloid, artikel maupun jurnal penelitian yang sesuai dengan
27
topik bahasan penelitian ini. Dokumentasi diperlukan dalam penelitian penelitian kualitatif karena selain sifatnya yang alamiah, sesuai dengan konteks, lahir dan berada dalam konteks juga setelah dapat hasil pengkajian isi akan membuka kesempatan untuk lebih memperluas tubuh pengetahuan terhadap sesuatu yang diselidiki. (3) Wawancara Wawancara akan dilaksanakan terhadap sejumlah informan kunci maupun informan lain dengan menggunakan pedoman wawancara. Sedapat mungkin wawancara akan dilaksanakan secara tatap-muka, dan dilangsungkan di lokasi (setting) sehari-hari para informan. Cara ini ditempuh untuk menjaga kewajaran informasi yang dikumpulkan. Proses wawancara dilakukan dengan menggunakan alat perekam suara maupun gambar. (4) Penelitian Pustaka Penelitian pustaka akan dilakukan untuk mengumpulkan dokumen-dokumen atau publikasi yang pernah dibuat tentang materi budaya yang diteliti serta gejala budaya terkait. Penelitian pustaka terutama penting untuk memperoleh informasi kesejarahan, gambaran umum masyarakat dan budaya setempat, serta data-data demografis dan ekonomis terkait. Pengumpulan pustaka akan dilaksanakan dengan cara meng-copy buku, artikel, majalah, makalah yang relevan dari perpustakaan, instansi pemerintahan, serta perguruan tinggi. Penelitian pustakan dilakukan bersamaan dengan penelitian lapangan.
28
E.4. Teknik Analisa Data Konsep analisis data kualitatif oleh Bogdan dan Biklen diartikan sebagai upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.18 Analisa data dilakukan secara deskriptif analisis dengan menggunakan analisis data kualitatif. Analisa deskriptif ini dilakukan dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman yaitu analisis interaktif. Selanjutnya langkah-langkah analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Data dan informan yang terkumpul demikian banyak dan kompleks serta masih campur aduk akan direduksi dengan memilih yang relevan dengan topik penelitian yang disajikan. Proses penelitian data ini difokuskan pada data ini difokuskan pada data yang yang mengarah pada pemecahan masalah, penemuan, pemaknaan atau menjawab pertanyaan penelitian. Berbagai data dan informasi tentang permasalahan diformulasikan secara lebih sederhana, disusun secara sistematis dengan menonjolkan hal-hal yang bersifat substantif, sehingga dapat memberikan abstraksi yang lebih tajam tentang kebermaknaan hasil temuan. Teknik
18
Lexy J. Moleong, 2002, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung hal 248
29
trianggulasi digunakan untuk mengecek kebenaran temuan data dan informasi dengan melakukan kroscek pada berbagai informan kunci dalam penelitian. Penyajian data dan informasi hasil penelitian selanjutnya disajikan dalam bentuk narasi wawancara agar lebih mudah dipahami interaksi antar bagian-bagian dalam konteks yang utuh (deskriptif analitik). Akhirnya peneliti menarik kesimpulan atau verivikasi keterkaitan antar variabel-variael dalam penelitian berdasarkan fakta empiris temuan-temuan di lapangan. Kemudian kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan kemudian melewati tahap verivikasi, yakni meninjau kembali kebenaran dan validitas dari data yang diperoleh dan pada akhirnya akan memperoleh kebenaran yang terang.
30