BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara suami dan isteri. Ada pula yang memaknai pernikahan sebagai suatu bentuk ibadah kepada Tuhan yang diwujudkan dalam ikatan kuat melalui ijab dan qabul di depan penghulu dan para saksi. Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu, pernikahan bukanlah sekedar mengakhiri masa lajang saja, tetapi juga mengandung kewajiban dan tanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga. Pernikahan disebut sebagai pernikahan dini ketika dilaksanakan oleh seseorang yang usianya masih belia atau tergolong anak-anak. Lebih lanjut dijelaskan oleh Dlori (2005) bahwa pernikahan dini merupakan sebuah perkawinan di bawah umur yang target persiapannya belum dikatakan maksimal – persiapan fisik, mental, material. Sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun. Mengenai batasan usia pertama pernikahan ini tertera juga dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sesuai dengan Undang-undang tersebut, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Selama 1
anak belum mencapai usia 18 tahun, anak masih menjadi tanggung jawab orang tua. Salah satu bentuk tanggung jawab orang tua terhadap anak adalah kewajiban untuk mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak-anak. Dengan merujuk pada UU Perlindungan Anak ini, maka yang disebut sebagai pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan di bawah usia 18 tahun. Untuk kasus pernikahan di Indonesia, memang terdapat beberapa versi tentang batas usia minimal pernikahan, misalnya saja antara ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974, UU No.23 Tahun 2002, maupun dalam ketentuan agama. Akan tetapi dari sekian ketentuan tentang batas minimal usia pernikahan, UU No.23 Tahun 2002 lah yang kiranya paling strategis. Hal ini mengingat anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sehingga pernikahan dini tidak sepatutnya dilakukan karena dapat mematikan kreativitas dan menjebak anak dalam tanggung jawab rumah tangga yang sebetulnya masih jauh dengan dunia anak-anak yang sedang dialaminya. Jastifikasi bahwa pernikahan dini bukanlah langkah yang sepenuhnya tepat dapat ditilik juga dari sisi medis dan psikologis. Secara medis, usia belasan tahun bukanlah masa yang baik untuk hamil dan melahirkan. Kehamilan pada usia belasan akan berhadapan pada resiko besar yang ditanggung oleh ibu yang bersangkutan, janin yang dikandung, maupun bayi yang dilahirkan. Oleh karena itu, secara medis perempuan dianjurkan untuk hamil dan melahirkan pada usia 25 – 35 tahun untuk menghindari resiko di atas. Selain alasan tersebut, dengan umur pernikahan pertama perempuan yang terlalu 2
muda maka akan semakin panjang masa reproduksi yang menyebabkan semakin tinggi tingkat kelahiran (BPS, 2010). Sedangkan secara psikologis, perempuan di bawah 18 tahun belum cukup matang untuk hidup berumah tangga karena kejiwaannya yang belum stabil. Papalia dan Olds (dalam Adhim, 2002: 36) mengungkapkan bahwa usia terbaik untuk menikah bagi perempuan adalah 19 – 25 tahun dan laki-laki usia 20 – 25 tahun. Ini merupakan usia terbaik untuk menikah, baik untuk memulai kehidupan rumah tangga maupun untuk mengasuh anak pertama (the first time parenting). Meski demikian, faktanya masih dijumpai banyak kasus pernikahan dini, khususnya pada anak perempuan. Sebuah penelitian mencatat bahwa pada umumnya pernikahan dini terjadi pada anak perempuan, sedikit sekali anak laki-laki yang menikah di bawah usia 18 tahun. Menurut data UNICEF (2010), sekitar 60 persen anak perempuan di dunia menikah di bawah usia 18 tahun. Sedangkan untuk kasus di Indonesia, BPS (2008) mencatat sekitar 34,5 persen anak perempuan menikah di bawah usia 19 tahun (Basillica, 2011). Pernikahan dini anak perempuan ini terjadi pula di Yogyakarta, seperti tersaji dalam tabel berikut. Tabel I.1 Persentase Wanita Umur 10 Tahun ke Atas yang Pernah Kawin menurut Kabupaten/Kota dan Umur Perkawinan Pertama di Provinsi D.I.Yogyakarta, 2011 Umur Perkawinan Pertama Kabupaten/Kota
Jumlah
≤ 15
16
17 – 18
19 – 24
25 +
Kulon Progo
3,41
4,05
16,75
55,21
20,58
100,00
Bantul
1,48
3,25
19,16
54,51
21,60
100,00 3
Gunungkidul
3,53
8,38
24,58
53,73
9,78
100,00
Sleman
3,21
3,06
15,19
52,22
26,33
100,00
Yogyakarta
3,13
2,86
14,30
45,98
33,74
100,00
DIY
2,84
4,41
18,46
52,90
21,39
100,00
Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat 2011, BPS
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa diantara kelima kebupaten di D.I.Yogyakarta, angka pernikahan dini tertinggi berada di Kabupaten Gunungkidul. Perempuan usia 10 tahun ke atas di Gunungkidul yang perkawinan pertamanya pada umur ≤ 18 tahun adalah sebesar 36,49 persen. Artinya, setiap 100 penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas di Kabupaten Gunungkidul, terdapat 36 perempuan yang perkawinan pertamanya terjadi pada umur ≤ 18 tahun. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pada tingkat provinsi yang hanya 25,71 persen. Kemudian untuk penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas di Kabupaten Gunungkidul yang perkawinan pertamanya pada umur ≥ 25 tahun merupakan yang terkecil, yaitu 9,78 persen. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingkat pendidikan perempuan di Gunungkidul yang masih relatif rendah, terbukti dengan masih banyaknya pernikahan di bawah umur. Berdasarkan data KUA Kecamatan Wonosari, angka pernikahan perempuan di kecamatan tersebut relatif tinggi, yaitu sebanyak 682 pada tahun 2011 dan 627 pada 2012. Pada tahun 2012, pernikahan umur ≤ 21 tahun lebih banyak dilakukan oleh perempuan daripada laki-laki, yakni 233 perempuan dan 81 laki-laki. Pada tahun 2012 pula, terjadi peningkatan jumlah pernikahan anak perempuan yang berusia < 16 – 21 tahun yang begitu drastis, dari 83 pada tahun 2011 menjadi 233 pada tahun 2012. 4
Peningkatan jumlah pernikahan tersebut terjadi hampir di seluruh desa di Kecamatan Wonosari. Karangtengah, merupakan desa dengan jumlah pernikahan anak perempuan tertinggi selama dua tahun terakhir, yaitu sebanyak 41 orang. Bagi masyarakat di Kecamatan Wonosari pada umumnya dan Desa Karangtengah pada khususnya, pernikahan dini seakan menjadi trend. Padahal fakta menunjukkan bahwa pernikahan dini tidak selamanya membawa anak perempuan pada kondisi yang lebih baik. Yang kadang terjadi justru pemutusan hak pendidikan anak, maupun pembatasan kesempatan lainnya, karena pernikahan akan menarik perempuan pada urusan rumah tangga. Perempuan dan urusan rumah tangga memang tidak dapat dilepaskan dalam masyarakat tradisional. Sektor domestik dan publik menjadi pembagian yang seolah tidak bisa dipertukarkan lagi. Perempuan terkungkung pada peran-peran domestik atau sumur, dapur, dan kasur saja. Sedangkan laki-laki menempati dunia yang lebih luas karena memiliki peran sebagai pencari nafkah utama. Pernikahan dalam masyarakat tradisional menjadikan perempuan memiliki ruang yang semakin terbatas, yaitu pada ranah domestik saja dan minim akses terhadap dunia luar. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi keberanian dan kebersediaan anak perempuan untuk memasuki pernikahan. Pernikahan yang notabene membutuhkan kemampuan, kemauan, persiapan dari masing-masing pihak, dan menjadi simbol kedewasaan, mereka masuki pada saat usia mereka belum memadai dan kematangan fisik, mental, dan material pun belum mencukupi. Berangkat dari persoalan tersebut, tentu kemudian akan menarik untuk mengupas lebih dalam mengenai pernikahan dini anak perempuan. Penelitian ini akan mengerucut pada mengapa anak perempuan di Desa Karangtengah, Kecamatan 5
Wonosari, Gunungkidul, cenderung banyak yang menikah dini dan bagaimana pemaknaan pengalaman anak perempuan tentang pernikahan dini.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka sebagai rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mengapa pernikahan dini di Desa Karangtengah, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul cenderung lebih banyak dilakukan oleh anak perempuan daripada laki-laki? 2. Bagaimana anak perempuan memaknai pengalaman pernikahan dini?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi penyebab anak perempuan di Desa Karangtengah, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul memiliki kecenderungan untuk melakukan pernikahan dini yang lebih tinggi daripada laki-laki. 2. Menjelaskan pemaknaan pengalaman pernikahan dini oleh anak perempuan.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis 6
-
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur kepustakaan tentang pernikahan dini pada anak perempuan.
-
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi penelitian sejenis berikutnya.
2. Manfaat Praksis -
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kajian sosiologi keluarga dalam perspektif gender.
E. Tinjauan Pustaka Banyak penelitian terdahulu yang mengangkat tema pernikahan dini. Salah satunya adalah penelitian Fitra Puspitasari yang berjudul Perkawinan Usia Muda: Faktor-faktor Pendorong dan Dampaknya Terhadap Pola Asuh Keluarga (Studi Kasus di Desa Mandalagiri, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya). Fitra memfokuskan pembahasannya pada faktor pendorong perkawinan muda, dampak perkawinan muda, dan pola asuh keluarga dari pasangan muda. Adapun sebagai respondennya adalah pasangan suami istri yang menikah muda. Dari penelitiannya diketahui bahwa perkawinan di bawah umur didorong oleh beberapa faktor. Pertama, faktor ekonomi. Pernikahan dini rata-rata terjadi pada keluarga ekonomi lemah. Dengan menikahkan anaknya, berarti beban ekonomi keluarga akan berkurang satu. Kedua, kemauan sendiri. Pasangan saling mencintai, sehingga mereka berkehendak untuk menikah muda. Ketiga, rendahnya pendidikan orang tua maupun anak, 7
putus sekolah, dan tidak bekerja. Keempat, faktor orang tua. Orang tua akan merasa lebih tenang apabila anaknya telah menikah. Apabila anak belum menemukan jodoh, maka orang tua akan mencarikan jodoh. Penelitian Fitra ini menjelaskan pula bahwa perkawinan di bawah umur memberikan beberapa dampak. Perkawinan muda akan menimbulkan berbagai persoalan rumah tangga seperti pertengkaran, percekcokan suami istri yang dapat berujung pada perceraian. Sedangkan dalam hal pola asuh anak, pasangan yang menikah dini di Desa Mandalagiri menerapkan pola asuh demokratik. Pola ini menekankan pada kebebasan yang diberikan kepada anak dan orang tua bersifat terbuka. Penelitian serupa pernah dilakukan pula oleh Utari Mansyur (2004). Dalam penelitiannya yang berjudul Perkawinan di Bawah Umur (Studi Kasus di Desa Trantang Sakti, Kecamatan Martapura, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Barat), Utari fokus pada faktor pendorong dan dampak perkawinan di bawah umur. Utari menjelaskan fenomena perkawinan di bawah umur dengan teori Behavioral Sociology, yang memusatkan perhatiannya pada hubungan antara sebab dan akibat dari tingkah laku yang terjadi dalam lingkungan aktor. Tindakan tersebut tidak terlepas dari motivasi dan faktorfaktor yang mempengaruhi baik internal maupun eksternal. Sesuai dengan hasil penelitiannya terhadap pasangan suami istri yang menikah di bawah umur, diketahui bahwa perkawinan di bawah umur didorong oleh faktor kebiasaan masyarakat, putus sekolah karena ketiadaan biaya, tidak bekerja, dan perjodohan yang dilakukan oleh orang tua. Adapun sebagai dampaknya adalah kesulitan ekonomi karena 8
belum memiliki pegangan ekonomi yang kuat, keretakan rumah tangga, kesulitan pengasuhan anak, dan gangguan kesehatan reproduksi. Penelitian lain yang memfokuskan perhatian pada anak perempuan adalah penelitian yang dilakukan oleh Mulyanto, berjudul Melacur Demi Hidup; Fenomena Perdagangan Anak Perempuan di Palembang. Sebagai sumber datanya, Mulyanto mengambil pelaku (trafficker), korban (trafficked), dan informan kunci lainnya. Penelitian yang mengambil lokasi di Kota Pelembang dan Pulau Bangka (khususnya Kota Sungai Liat dan Kota Pangkal Pinang) ini berhasil mengungkap bahwa Perdagangan Anak Perempuan (PAP) terjadi pada anak perempuan berusia di bawah 18 tahun yang masih labil emosinya. Anak perempuan yang terjebak dalam praktik PAP ini biasanya berasal dari keluarga miskin di pedesaan, sehingga memiliki kecenderungan putus sekolah dan harus membantu aktivitas ekonomi keluarga. Sesuai dengan temuan Mulyanto, dapat disimpulkan bahwa sedikitnya terdapat 4 macam pelaku dalam praktik PAP, yaitu pacar, teman, mucikari, dan bahkan orang tua. Orang tua yang seharusnya berperan melindungi anak-anaknya justru menjadi salah satu pelakunya. Biasanya karena desakan ekonomi, orang tua sengaja menjual anak perempuannya kepada tetangga ataupun kenalannya. Dengan kata lain karena jeratan kemiskinan, pendidikan rendah, skill kurang, dalam beberapa kasus orang tua ikut „memfasilitasi‟ terjadinya PAP. Meski dua penelitian pertama di atas sama-sama mengangkat tema pernikahan dini, satu hal yang membedakan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sasarannya. 9
Penelitian terdahulu melihat keputusan untuk melakukan pernikahan dini dari sisi perempuan maupun laki-laki. Sedangkan sasaran dalam penelitian ini terfokus pada anak perempuan. Hal tersebut perlu dikaji lebih dalam lagi mengingat pilihan untuk menikah dini rata-rata dilakukan oleh anak perempuan. Di sisi lain, anak perempuan selalu dikorbankan atas alasan ekonomi, termasuk oleh orang tuanya sendiri seperti yang terungkap dalam penelitian Mulyanto di atas. Sehingga penelitian yang menitikberatkan pada sudut pandang perempuan perlu dilakukan lebih lanjut. Selain itu, penelitian di atas juga membuktikan bahwa pernikahan dini memiliki beberapa dampak negatif. Ironisnya, hingga detik ini masih begitu banyak anak perempuan yang melakukan pernikahan dini. Penelitian tersebut kemudian menggugah minat peneliti untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang mengapa anak perempuan cenderung lebih banyak yang menikah dini daripada anak laki-laki dan bagaimana pemaknaan anak perempuan terhadap pengalaman pernikahan dini.
F. Kerangka Teori 1. Teori Gender Teori ini membantu menjelaskan mengapa pernikahan dini cenderung terjadi pada anak perempuan. Gender didefinisikan oleh Fakih (2008:8) sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, misalnya laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa, dan perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Berbicara mengenai 10
gender, maka tidak dapat terlepas dari konsep perbedaan gender. Perbedaan gender tersebut terjadi karena dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi. Melalui proses panjang, akhirnya perbedaan tersebut seolah dianggap sebagai kodrat. Perbedaan gender dapat ditelusur melalui tiga faktor, yaitu biologis, kebutuhan institusional sosial untuk menjalankan peran berbeda, dan kebutuhan eksistensial (Ritzer, 2009). Secara sosiologis, teori gender dapat dijembatani melalui konsep peran. Peran adalah sistem nilai dan norma yang mengatur cara bertindak bagi anggota dalam kategori sosial. Yang dimaksud kategori sosial dalam hal ini adalah laki-laki dan perempuan. Secara kultural, laki-laki dan perempuan mempelajari peran yang berbeda dari interaksi dan interpretasi terhadap tingkah lakunya maupun tingkah laku orang lain. Laki-laki dan perempuan memiliki peran untuk dapat berinteraksi satu sama lain bahkan sejak dari masa kecil. Sejak kecil mereka telah belajar peran gender yang berbeda dan terimplementasi dalam pola interaksi sehari-hari sehingga terbawa sampai mereka dewasa. Lebih lanjut dijelaskan oleh Eagly (dalam Chafetz, 2006), bahwa di dalam masyarakat, perempuan ditugaskan sebagai ibu rumah tangga dan secara tidak sebanding, laki-laki memiliki status yang lebih tinggi (bekerja di luar rumah). Selain hal ini memberikan stereotype peran gender, juga memunculkan perbedaan kemampuan berdasarkan gender dan perbedaan pengalaman antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran ini juga merujuk pada pemikiran Talcott Parsons yang melihat bahwa keluarga inti tidak dapat dielakkan dalam suatu masyarakat industri sebagai 11
adanya isolasi – sebagai diferensi sosial yang ditimbulkan oleh isolasi, mobilitas demografik, dan kebutuhan negara akan angkatan kerja (Ollenburger, 1996:14). Isolasi tersebut kemudian memunculkan dua peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan; laki-laki melakukan peran aktif instrumental dan perempuan sosioemosional. Parsons menekankan pula, bahwa keluarga sebagai sistem sosial dapat berjalan dengan baik ketika menerapkan pembagian kerja secara seksual. Maka dari itu dibutuhkan pembagian peran yang dapat melengkapi satu sama lain, dan pembagian tersebut berkaitan dengan maskulinitas dan femininitas. Pembagian peran seperti di atas juga ditemui pada masyarakat Desa Karangtengah, Kecamatan Wonosari, dimana laki-laki menjalankan peran aktif instrumental (bekerja sebagai pencari nafkah utama) dan perempuan memegang peran sosio emosional (memberikan dukungan). Rendahnya pendidikan, skill, dan partisipasi kerja anak perempuan seakan menjadi pembenaran yang melanggengkan posisi inferior perempuan. Posisi dan peran perempuan yang terkungkung pada sektor domestik menjadikan mereka tidak memiliki banyak pilihan atau tidak memiliki keinginan kuat untuk memperoleh pencapaian yang lebih, misalnya pendidikan. Anak perempuan telah tersosialisasi dan menginternalisasi peran-peran domestik yang notabene tidak memerlukan pendidikan tinggi, maka konsekuensinya adalah pendidikan menjadi dikesampingkan dan pernikahan dini menjadi praktik yang sering terjadi. Dalam masyarakat Desa Karangtengah, perbedaan peran laki-laki dan perempuan tidaklah ditentukan oleh faktor biologis semata, tetapi lebih pada 12
konstruksi sosial dan ide budaya yang sesuai dengan interaksi masyarakat. Ide budaya dalam hal ini menyangkut nilai dan norma sosial yang dipegang dan dianut oleh masyarakat. Sesuai penjelasan Dwi (2010), nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Sebuah tindakan dianggap sah atau diterima secara moral apabila harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat. Keberadaan nilai dalam masyarakat perlu dilengkap pula dengan norma sosial. Soeprapto (2004) menjelaskan norma sebagai suatu rangkaian ketentuan dan peraturan umum tentang tingkah laku atau perbuatan anggota masyarakat yang patut dilakukan apabila mereka berhadapan dengan anggota masyarakat lain. Ditambahkan pula oleh Soeprapto bahwa norma sosial memliliki tiga unsur, yaitu pedoman tingkah laku yang pantas dilakukan, pencegah keretakan anggota masyarakat, dan pegangan untuk pengendalian sosial. Demikian halnya dengan pernikahan dini. Pernikahan dini di Desa Karangtengah dapat disebut sebagai bagian dari struktur nilai dan norma masyarakat. Hal ini dikarenakan pernikahan dini telah terpola sebagai tindakan individu untuk menjadi anggota masyarakat yang sepatutnya. Berkenaan dengan hal ini, masyarakat juga memiliki patokan nilai dan norma sebagai pengendalian sosial yang dilengkapi dengan hukum adat. Tentu saja hukum tersebut mengandung hukuman bila dilanggar.
2. Teori Agensi Penelitian ini menggunakan teori agensi untuk menganalisis bagaimana anak perempuan memaknai pengalaman subjektifnya tentang pernikahan dini. Salah satu 13
tokoh yang berkontribusi dalam teori ini adalah Pierre Bourdieu, yang memusatkan perhatian pada struktur dan agensi. Menurut Bourdieu, hubungan antara struktur dan agensi akan menghasilkan praktik. Praktik tidak ditentukan secara objektif dan bukan pula merupakan produk dari kehendak bebas (Ritzer, 2009). Dengan kata lain, agensi tidak sepenuhnya bebas dalam bertindak, tetapi ada faktor eksternal yang diinternalisasi oleh agensi. Bourdieu melihat struktur objektif sebagai sesuatu yang terlepas dari kesadaran dan kehendak agen, tetapi mampu mengarahkan dan menghambat praktik. Untuk menautkan struktur dan agensi, Bourdieu mengajukan tiga konsep, yaitu ranah, habitus, dan modal. Bourdieu memandang konsep ranah sebagai arena perjuangan posisi-posisi dan tempat berlangsungnya strategi (Harker, 2009:14). Dalam menghadapi ranah, agensi harus mengetahui kode atau aturan yang ada di dalamnya. Pada fenomena pernikahan dini anak perempuan ini, yang dinyatakan sebagai ranah adalah institusi keluarga. Ranah dan habitus memiliki hubungan yang sedemikian erat. Lebih lanjut dijelaskan oleh Bourdieu, konsep habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui struktur objektif dan sejarah personal (Harker, 2009:13). Disposisi tersebut diperoleh dari berbagai posisi dalam suatu ranah. Habitus menjadi bagian yang tidak dapat terlepas dari agensi dan agensi tidak begitu saja menerima mentah-mentah struktur. Agensi yang menginternalisasi struktur tetap memiliki ruang refleksi atas pilihan rasionalnya, prinsip, dan strategi. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa habitus merupakan struktur sosial yang diinternalisasi dan diwujudkan. Dalam kasus ini, yang dinyatakan sebagai habitus adalah pernikahan dini 14
anak perempuan. Sesuai yang diungkapkan Bourdieu, habitus diperoleh melalui proses pengasuhan, pembelajaran, dan pendidikan. Anak perempuan telah tersosialisasi dengan praktik pernikahan dini baik yang dilakukan oleh keluarga maupun tetangganya. Sehingga keadaan tersebut terbawa dalam pola pikir, tertanam sebagai prinsip, dan kemudian memunculkan praktik oleh anak perempuan. Habitus secara erat dikaitkan dengan modal. Menurut Bourdieu, modal memungkinkan orang untuk mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain. Ditambahkan pula oleh Bourdieu, terdapat empat jenis modal (Ritzer, 2009:583), yaitu: a. Modal ekonomi. Anak perempuan yang melakukan pernikahan dini rata-rata berasal dari keluarga yang terbatas modal materialnya, sehingga terkadang ekonomi dijadikan sebagai argumen yang kuat dalam praktik pernikahan dini. b. Modal kultural. Modal kultural ini berupa pendidikan yang dimiliki oleh anak perempuan. Rata-rata anak perempuan hanya menamatkan pendidikan formalnya sampai jenjang pertama. Sehingga menikah dini dijadikan sebagai muara kehidupan selanjutnya. c. Modal sosial, terdiri dari hubungan sosial bernilai antarorang. Modal sosial ini berupa interaksi anak perempuan dengan teman sebaya di lingkungannya. Melihat pengalaman teman, keluarga, maupun tetangga yang menikah dini, maka selanjutnya mempengaruhi pola pikir dan tindakan anak perempuan untuk menikah dini pula. 15
d. Modal simbolis, termanifestasikan dalam status atau kedudukan sosial sebagai akibat dari suatu mobilisasi. Dengan menikah, maka anak perempuan memperoleh status baru sebagai istri atau ibu. Hal ini membawa persamaan dengan kelompok atau lingkungannya yang dapat mempermudah dan memberikan kepercayadirian dalam berinteraksi. Konsep-konsep Bourdieu di atas dapat dirumuskan sebagai (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Habitus pernikahan dini anak perempuan muncul sebagai hasil refleksi individu atas struktur sosialnya. Habitus tersebut tidak terlepas dari modal yang dimiliki anak perempuan, yaitu lemahnya kemampuan finansial, rendahnya pendidikan, dan kondisi kultural yang cenderung mengungkung anak perempuan. Modal yang demikian menjadikan anak perempuan terbatas dalam mendapatkan kesempatan lebih dalam hidupnya. Ditambah lagi dengan sosialisasi dalam keluarga yang diwarnai budaya patriarki dan konstruksi pembagian peran –publik dan domestik– tersebut dianggap seolah sebagai kodrat. Hingga akhirnya pernikahan dini menjadi muarannya. Dalam kasus ini perempuan dilihat sebagai agen yang menginternalisasi nilainilai objektif, namun di sisi lain juga memiliki ruang refleksi atas pilihan rasionalnya, prinsip, dan strategi. Hal ini terlihat dari adanya keinginan sebagian perempuan di Desa Karangtengah untuk memutus kebiasaan pernikahan dini, jangan sampai terjadi atau terulang pada anak-anaknya kelak. Rata-rata pasangan yang menikah dini masih tinggal satu rumah dan bergantung secara ekonomi dengan orang tua, sehingga belum bisa dikatakan mandiri. Pengalaman inilah yang kemudian membangun prinsip dan 16
strategi perempuan untuk sebisa mungkin mencegah terjadinya pernikahan dini pada anak-anaknya, misalnya melalui sosialisasi dalam keluarga dan pendidikan. Di sisi lain, ada pula anak perempuan yang setelah menikah langsung keluar dari ketergantungan terhadap keluarga, pisah rumah dengan orang tua, dan hidup mandiri bersama suami. Bagi sebagian anak perempuan, hal ini tentu menjadi sesuatu yang penting karena dia telah berhasil meringankan beban orang tua. Dari interaksi sehari-hari yang berbeda tersebut, menyebabkan pemaknaan perempuan terhadap pengalaman pernikahan dini yang berbeda-beda pula.
G. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2012) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode ini dipilih karena dapat menganalisa realitas sosial secara lebih mendalam dan menelaah suatu latar belakang, misalnya tentang motivasi, peranan, nilai, sikap, dan persepsi. Dalam metode kualitatif tidak dikenal adanya sampel; tetapi penelitian harus dilakukan secara teliti, mendalam dan menyeluruh untuk memperoleh gambaran mengenai prinsip-prinsip umum atau pola-pola yang berlaku sehubungan dengan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat (Suparlan dalam Patilima, 2007). Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh, maka dalam penelitian ini dilakukan partisipasi peneliti ke dalam kehidupan subjek penelitian. 17
1. Pendekatan Penelitian Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan etnografi. Sebagaimana dijelaskan Endraswara (2006), model etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya. Dengan metode ini, dapat dipelajari peristiwa kultural, pandangan hidup subjek, dan mengetahui bagaimana subjek berpikir, hidup, dan berperilaku. Menurut Moleong (2012), peneliti etnografi mengacu pada perspektif emik, yaitu cara anggota kelompok budaya memandang dunianya, dan perspektif etik yang merupakan interpretasi pengalaman-pengalaman budaya. Ditambahkan pula oleh Spradley (dalam Endraswara, 2006:52) bahwa etnografi menyangkut hakikat kebudayaan, yaitu sebagai pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku. Etnografi menangkap tingkah laku sosial budaya melalui deskripsi mendalam/tebal (thick description). Dikatakan mendalam karena data yang diperoleh haruslah lengkap, menyeluruh, dan berdasarkan perspektif subjek. Deskripsi mendalam (thick description) ini sangat tepat untuk mengurai, menggali makna, dan menafsirkan budaya pernikahan dini anak perempuan di Desa Karangtengah, Kecamatan Wonosari sesuai dengan perspektif dan pengalaman anak perempuan.
2. Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian Penelitian bertema pernikahan dini anak perempuan ini dilakukan di Desa Karangtengah, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. 18
Lokasi ini dipilih karena banyak dijumpai praktik pernikahan dini pada anak perempuan, sesuai dengan fokus penelitian.
3. Subjek/Informan Penelitian Untuk menjawab rumusan masalah, maka diambillah beberapa informan yang mampu menjawab, mengetahui latar belakang, memiliki pengetahuan, dan memiliki pengalaman pernikahan dini. Selain itu, dibutuhkan pula pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan untuk me-recheck kebenaran data. Berkenaan dengan hal tersebut, dipilihlah informan sebagai berikut: a. Anak perempuan. Anak perempuan yang dipilih sebagai informan ini adalah mereka yang memiliki pengalamaan pernikahan dini atau yang ketika menikah pertama usianya belum mencapai 18 tahun. Anak perempuan yang dipilih ini juga bervariasi, misalnya dari segi geografis, status pendidikan, dan keadaan ekonomi. b. Orang tua, dipilih sebagai informan untuk mengetahui latar belakang pernikahan dini anak perempuan terkait dengan bagaimana sosialisasi dalam keluarga. c. Tokoh masyarakat. Informan ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai latar belakang, kebiasaan pernikahan, dan peraturanperaturan desa atau adat terkait dengan pernikahan dini anak perempuan di Desa Karangtengah, Kecamatan Wonosari. 19
d. Petugas KUA. Dipilih karena memiliki pengetahuan mengenai pernikahan dini secara umum dan sebagai sumber untuk me-recheck data lapangan. Beberapa informan tersebut merupakan sumber data primer. Informan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu informan utama dan informan pendukung. Informan utama dari penelitian ini adalah anak perempuan yang memiliki pengalaman pernikahan dini. Sedangkan sebagai informan pendukungnya adalah orang tua, suami, petugas KUA, maupun tokoh masyarakat yang dapat memberikan informasi guna mendukung informasi dari informan utama. Tabel I.2 Daftar Informan Penelitian Umur
Pendidikan terakhir
Pekerjaan
1. RY
28
SMP
Ibu rumah tangga
2. NT
23
SMP
Ibu rumah tangga
3. SF
24
SMK
Guru PAUD
4. DS
24
S1
Guru TK
5. IW
25
SMP
Sales
6. RP
25
SMP
Ibu rumah tangga
7. SE
22
SD
Ibu rumah tangga
8. TS
19
SD
Ibu rumah tangga
1. ML
28
SMA
Kepala Dukuh
2. TM
35
SD
Ibu rumah tangga
3. SW
37
SD
Ibu rumah tangga
Informan pendukung
Informan utama
Nama
20
4. TK
38
SD
Ibu rumah tangga
5. NJ
39
S1
Penghulu
6. IS
29
SMA
Honorer SD
7. TY
27
SMP
Buruh
Sumber: data primer
4. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Observasi merupakan pengamatan langsung untuk mengumpulkan data dan mencatat segala informasi yang relevan dengan penelitian. Kegiatan ini akan bermanfaat untuk membuka wacana peneliti akan fenomena yang akan diteliti. Observasi dalam penelitian kualitatif menjadi sangat penting karena melalui pengamatan peneliti dapat melihat dunia sebagaimana yang dilihat subjek penelitian dan membentuk pengetahuan yang diketahui bersama. Selain itu peneliti juga dapat memperoleh gambaran secara lebih mendalam dari permasalahan yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa kali observasi, baik kepada masyarakat maupun KUA setempat. b. Wawancara Data dalam penelitian kualitatif ini berupa kata-kata, maka wawancara menjadi metode yang sangat penting. Wawancara atau interview adalah dialog yang
dilakukan
oleh
pewawancara
(interviewer)
untuk
memperoleh
keterangan, pendirian, dan pendapat dari terwawancara (interviewee). Lincoln 21
dan Guba (dalam Moleong, 2012) menegaskan bahwa wawancara dilakukan untuk mengonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas terpimpin. Wawancara bebas terpimpin merupakan kombinasi antara wawancara bebas. Wawancara bebas, dimana pewawancara bebas menanyakan apa saja, namun tetap mengingat data apa yang akan dikumpulkan. Sedangkan wawancara terpimpin, pewawancara membawa pedoman yang merupakan garis besar hal yang akan ditanyakan, yaitu pedoman wawancara atau interview guide. c. Dokumentasi Metode dokumentasi adalah upaya mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan lapangan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari perpustakaan LSM Rifka Annisa, BPS, penelitian-penelitian sebelumnya, jurnal terkait, dan KUA Kecamatan Wonosari.
5. Analisis Data Proses analisis data kualitatif berlangsung selama dan pasca pengumpulan data. Analisis data mencakup reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Ketiga komponen ini secara interaktif saling berhubungan selama dan sesudah 22
pengumpulan data. Oleh karena itu, analisis data kualitatif sering pula disebut sebagai model interaktif. Gambar I.1 Komponen Analisis Data Model Interaktif
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data
Kesimpulan dan verifikasi
Sumber: Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hlm. 22.
Proses analisis data di atas dijelaskan ke dalam langkah berikut: 1. Reduksi data (data reduction), merupakan proses pemilahan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatan lapangan. Reduksi data merupakan bagian dari analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi (Patilima, 2007).
23
2. Penyajian data (data display), merupakan deskripsi kumpulan informasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 3. Penarikan
kesimpulan
verification).
dan
verifikasi
(conclusion
drawing
and
Selama pengumpulan data, peneliti mencari makna dari
setiap gejala yang ada di lapangan, mecari pola penjelasan dan konfigurasi yang ada, alur kausalitas, dan proposisi. Selama penelitian berlangsung, setiap kesimpulan yang ditetapkan akan terus menerus diverifikasi hingga benar-benar diperoleh konklusi yang valid.
6. Pemeriksaan Keabsahan Data Pemeriksaan keabsahan
data
dilakukan
dengan
teknik triangulasi.
Triangulation refers to the attempt to get a „true‟ fix on a situation by combining different ways of looking at it or different findings (Silverman, 2005). Penelitian ini menekankan pada teknik triangulasi sumber. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain, serta membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan. Peneliti harus mendapatkan informasi sedalam mungkin, dan informasi tersebut dicek kebenarannya melalui sumber data lain.
24