BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat yang semakin berkembang ternyata menghendaki negara memiliki struktur organisasi yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka. Terwujudnya efektivitas dan efisiensi baik dalam pelaksanaan pelayanan public maupun dalam pencapaian tujuan penyelengggaraan pemerintahan juga menjadi harapan masyarakat yang ditumpukan kepada negara. Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk bentuk serta fungsi lembaga-lembaga negara. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority).1 Dalam konteks Indonesia, kecenderungan munculnya lembaga-lembaga negara baru terjadi sebagai konsekuensi dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Lembaga-lembaga baru itu biasa dikenal dengan istilah state auxiliary organs atau state auxiliary institutions yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga negara yang bersifat sebagai penunjang.2 1
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi LembagaNegara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006 )hal. vii-viii. 2
Ibid. hal. viii.
Salah satu lembaga negara yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan
tata pemerintahan
di Indonesia.
3
pembentukan komisi ini merupakan amanat dari ketentuan Pasal 43 Undang-
undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, komisi ini pun sah didirikan dan memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya. KPK dibentuk sebagai respons atas tidak efektifnya kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi yang semakin merajalela. Adanya KPK diharapkan diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).4 Namun demikian, dalam perjalanannya keberadaan dan kedudukan KPK dalam struktur negara Indonesia mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak. Tugas, wewenang, dan kewajiban yang dilegitimasi oleh Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang membuat komisi ini terkesan superbody. Sebagai organ kenegaraan yang namanya tidak tercantum dalam UUD Negara RI tahun 1945 , 5KPK dianggap oleh sebagian 3
Mahmuddin Muslim, Jalan Panjang Menuju KPTPK, (Jakarta:Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Indonesia, 2004), hal. 33. 4
Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan SengketaKewenangan Antar lembaga Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi HukumNasional (KRHN), 2005), hal. 88. 5
UUD Negara RI Tahun 1945 menetapkan delapan organ negara yang mempunyai kedudukan sama/sederajat, yang secara langsung menerimakewenangan konstitusional, yaitu MPR, Presiden dan Wakil Presiden,Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), BadanPemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi(MK), dan Komisi Yudisial (KY). Lihat Bab II, Bab III, Bab VII, BabVIIA, Bab VIIIA, dan Bab IX UUD Negara RI Tahun 1945.
pihak sebagai lembaga ekstrakonstitusional.6 Sifat yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dikhawatirkan dapat menjadikan lembaga ini berkuasa secara absolut dalam lingkup kerjanya. Selain itu, kewenangan istimewa berupa penyatuan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam organ juga semakin mengukuhkan argumen bahwa ekisistensi KPK cenderung menyeleweng dari prinsip hukum yang berlaku, dan tidak menutup kemungkinan, bertentangan dengan konstitusi.7 Begitu pula sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 dengan Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 Tentang pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan UUD 1945. Dalam prinsip kepastian hukum, dinyatakan tidak boleh ada dualisme hukum. Sementara dalam konteks sidang perkara korupsi, perkara korupsi dapat disidangkan di dua pengadilan yang berbeda yaitu pengadilan umum dan Pengadilan tipikor. Untuk meniadakan dualisme tersebut, maka seharusnya hanya ada satu pengadilan. Dan jika Pengadilan Tipikor masih dikehendaki eksistensinya, maka harus disertai dengan UU yang khusus mengaturnya.8 6
Para pemohon pengujian Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, yang terdiri dari Mulyana Wirakusumah,Nazaruddin Sjamsuddin, dkk., dan Capt. Tarcisius Walla, menilai KPKsebagai lembaga ekstrakonstitusional karena telah mengambil alih kewenangan lembaga lain yang diperoleh dari UUD Negara RI Tahun 1945 yang sebetulnya telah terbagi habis dalam kekuasaan eksekutif,legislatif, dan yudikatif. Lihat Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUUIV/2006, hal. 33. 7 Ibid. 8
Muhammad Mirza Nawawi, “analisis yuridis mengenai kewenangan mengadili tindak pidana korupsi antara pengadilan negeri dan pengadilan tindak pidana korupsi”.
pada satu sisi, dalam putusan tersebut eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 atau inkonstitusional tetapi disisi lain Pengadilan Tipikor dinyatakan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat (3) tahun terhitung sejak putusan itu diucapkan.9 Konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Pemerintah segera paling lambat 3 tahun sejak tanggal putusan MK, menyusun Undang-undang Tentang Pengadilan Tipikor, dan selama proses penyusunan Undang-undang tersebut berjalan, maka prosedur dan proses hukum yang berjalan selama ini dijalani KPK, akan tetap berlaku seperti biasa.10 Dengan demikian, kedudukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia masih menarik untuk diperbincangkan.
Penelitian ini akan membahas lebih lanjut mengenai kedudukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam struktur ketatanegaraan RI, tidak hanya ditinjau dari UUD Negara RI 1945, pasal UU Nomor 30 Tahun 2002 yang menjadi dasar pembentukannya, tetapi juga berdasarkan lahirnya UU Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi serta pendapat para ahli di bidang hukum tata negara, dengan menjadikan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai contoh lembaga peradilan yang akan dianalisis kedudukannya. B. Rumusan Masalah 9
Rina Yuli Astuti, “Mengenai Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.” 10 Kpk.go.id
1. Bagaimana kedudukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelum lahirnya UU Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi? 2. Bagaimana kedudukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia sesudah lahirnya UU Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan seperti diuraikan diatas, penelitian ini bertujuan untuk : Mengetahui kedudukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia sebelum dan sesudah lahirnya UU Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. D. Tinjauan Pustaka 1.
Korupsi Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini sudah berada dalam fase
yang sangat kronis dan menggerogoti hampir setiap sendi kehidupan. Perkembangan korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat baik dari segi kuantitas yang dapat dilihat dari banyaknya kasus yang terkuak dan dari jumlah kerugian negara yang ditaksir mencapai angka yang sangat fantastik. Begitu juga dari segi kualitas semakin sistematis, canggih, sulit
terdeteksi serta lingkupnya yang sangat luas hingga menjangkau seluruh aspek masyarakat. Angin perubahan mulai terhembus ketika pemerintah mengibarkan bendera perang melawan korupsi dan menabuh genderang perang melawan korupsi. Pemerintah mulai berkomitmen untuk menegakkan pemerintahan yang baik dan bersih. Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN, serta UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai mana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.11
2.
Komisi Pemberantasan Korupsi Langkah pemberantasan korupsi sudah sejak lama dilakukan oleh
pemerintah negara ini. Bahkan, sejarah mencatat bahwa Indonesia adalah negara pertama di asia yang mencanangkan suatu peraturan khusus mengenai pemberantasan korupsi. Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat yang saat itu dijabat Jenderal A.H Nasution menerbitkan 11
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ctk. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.280.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/c13/1958 umtuk memberantas korupsi yang gejalanya mulai tampak pada tahun tersebut.12 Selanjutnya, seiring pergantian masa pemerintahan, peraturan mengenai pemberantasan korupsi terus diperbaiki dengan pembentukan Undang-undang, mulai dari Undang-undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960,17 Undng-undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, hingga yang terakhir Undang-undang Nomor Tahun 2001. Peraturan yang terus dikembangkan tidak lantas menjadikan upaya pemberantasan korupsi semakin mudah dilaksanakan. Justru sebaliknya, bentuk kejahatan ini meluas, tidak hanya dikalangan aparat negara, tetapi juga merambah di sektor swasta. Korupsi benar-benar telah mengakar dalam kebiasaan masyarakat. Perbuatan yang dahulu dianggap delik umum pun kini digolongkan sebagai tindak pidana korupsi sehingga menjadikan definisi korupsi meluas. Perbuatan yang dahulu dikategorikan sebagai delik umum dan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti penyuapan misalnya, kini dimasukkan dalam ruang lingkup delik khusus dan diatur dalam peraturan mengenai tindak pidana korupsi. Bahkan, Pasal 2 ayat(1)13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang 12
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 78. 13
Sejak 25 Juli 2006, ayat ini telah dianggap tidak mempunyaikekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan MK RI Nomor 003/PUUIV/2006.
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa perbuatan yang secara formil tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dapat dipidana apabila dianggap tidak sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.14 Sebagai langkah preventif sekaligus represif dalam memberantas korupsi yang saat ini dianggap extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, pada tahun 2002 didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
menyebutkan:
Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.15 Kebutuhan
akan
adanya
KPK
dilatarbelakangi
rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara yang seharusnya mengurusi masalah korupsi. Lembaga peradilan yang diharapkan dapat menegakkan hukum justru dinilai ikut menyuburkan perilaku korupsi. Mafia peradilan atau judicial corruption telah menjadi momok baru bagi dunia peradilan tanah air.16
14
Nurhasyim Ilyas, “Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Tipikor: Angin Segar bagi Koruptor?,” Jurnal Keadilan (Vol. 4 No. 4 Tahun 2006): 8-9. 15
Indonesia (a), Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30, LN No. 137 tahun 2002, TLN No.4250, ps. 3. 16 Muslim, loc. cit.
KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas pengaruh kekuasaan manapun. Pembentukan organisasi ini dilatarbelakangi kebutuhan untuk melakukan pemberantasan korupsi secara sistematis, mengingat tindak pidana yang telah terjadi dapat digolongkan sebagai salah satu kejahatan luar biasa “extraordinary crimes”. Keberadaan KPK membuat penanganan kasus-kasus korupsi tidak lagi terpusat di lembaga-lembaga penegak hukum yang konvensional semacam Kejaksaan dan kepolisian tetapi juga ditangani oleh lembaga independen. Jika mengacu pada UU Nomor 30 Tahun 2002 perkara-perkara yang dapat ditangani KPK adalah perkara-perkara di atas 1 milyar. Selanjutnya perkara yang diselidiki, disidik dan dituntut oleh KPK ini akan diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Dibentuknya KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dan perangkat Pengadilan
khusus
tindak
pidana
korupsi
(Pengadilan
Tipikor)
memberikan harapan baru bagi masyarakat untuk mempercepat proses penanganan dan eksekusi kasus-kasus korupsi besar yang merugikan rakyat dan negara. KPK didesain sedemikian rupa agar tidak bersingungan satu sama lain dengan badan yang sama-sama mengurusi masalah korupsi seperti kejaksaan, kepolisian dan Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) yang saat ini telah dibubarkan.17 17
Timtastipikor dibentuk oleh Presiden Bambang Yudoyono berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei 2005.
Tugas, wewenang dan kewajiban KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002 adalah melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK, melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.18 Kiprah KPK dalam pemberantasan korupsi semakin terlihat di tahun 2008 dengan keberhasilnya menyeret beberapa penguasa dan pejabat negara yang terlibat korupsi. Dan publik dikejutkan dengan skandal BLBI yang menyeret nama-nama pejabat negara, kemudian kasus terbaru penyalahgunaan hak alih fungsi hutan yang menyeret beberapa nama, dan yang tak kalah menarik adalah mulai terkuaknya korupsi dikalangan elit DPR. Media mulai ramai menanyangkan berbagai fakta dan hasil investigasi kepada khalayak atas beberapa kasus korupsi yang menjalar dalam lini birokrasi. Keberhasilan KPK dalam menguak berbagai kasus korupsi ini membuat eksistensi KPK semakin diakui oleh masyarakat. 3. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas judicial review Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait dengan dasar hukum Pengadilan Tipikor membawa polemik hukum yang saat ini menjadi 18
Lihat Dalam Pasal 7, Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002
perhatian. Putusan MK menyatakan bahwa Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun setelah sejak putusan ini diucapkan. Dalam prinsip kepastian hukum, dinyatakan tidak boleh ada dualisme hukum. Sementara dalam konteks sidang perkara korupsi yang berlaku pada saat ini, perkara korupsi dapat disidangkan di dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Umum dan Pengadilan Tipikor. Untuk meniadakan dualisme yang selama ini terjadi dalam sidang perkara-perkara korupsi, maka seharusnya hanya ada satu pengadilan. Dan jika Pengadilan Tipikor masih dikehendaki eksistensinya, maka harus disertai dengan UU yang khusus mengaturnya. Dalam Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan umum. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Secara
sistematik
keberadaan
Pengadilan
Tipikor
sebagai
Pengadilan khusus menimbulkan problem hukum tersendiri, karena
Pengadilan Tipikor berbeda dengan pengadilan khusus lain. Kompetensi Pengadilan Tipikor ditentukan berdasarkan lembaga yang menuntut yaitu KPK. Jelas di sini artinya bahwa Kompetensi Pengadilan Tipikor tidak ditentukan berdasarkan jenis perkara tetapi ditentukan berdasarkan pada lembaga yang menuntut yaitu KPK.
E. Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian Adapun obyek penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
b.
Kedudukan Pengadilan Tipikor sebelum dan sesudah
lahirnya Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini menjadikan data sekunder sebagai tumpuan utam. Data sekunder yang dimaksud adalah berupa data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) sebagaimana diuraikan oleh Soerjono Soekanto bahwa bahan-bahan hukum itu terdiri dari :19 a.
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang
bersifat mengikat dan berkaitan dengan obyek penelitian, yaitu : 1) Undang-undang Dasar 1945 2) Undang-undang 3) Peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b.
Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang
tidak
mengikat
tetapi
menunjang
dan
mendukung
serta
memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap bahan huum primer, yaitu : 1) Buku-buku yang memberi penjelasan mengenai eksistensi dan kedudukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor); 2) Data-data dari internet; 3) Berbagai jurnal, artikel atau tulisan lain yang berkaitan dengan tema penelitian ini. 19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum UI press, 1984, hlm.11-12.
c.
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang bersifat
tidak
mengikat
tetapi
menunjang
dan
mendukung
serta
memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hokum primer maupun sekunder, seperti : 1) Kamus Bahasa Indonesia dan Inggris 2) Kamus Hukum 3) Ensklopedia dan kamus-kamus lain yang dianggap relevan. Data-data tersebut, kemudian dihimpun, dikualifikasi serta diuraikan untuk ditelaah secara selektif, logis dan sistematis. Hal ini bertujuan demi tercapainya gambaran umum dan spesifik mengenai obyek penelitian. 3. Teknik Pengumpulan Data Mengingat penelitian ini adalah penelitian normatif maka teknik pengumpulan data utamanya dan data sekunder dilakukan dengan cara: a.
Studi kepustakaan, yaitu dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan dan literature yang berhubungan dengan tema penelitian.
b.
Studi dokumentasi, yaitu mengkaji dan menelaah berbagai dokumen resmi institusional yang berhubungan dengan masalah penelitian.
4. Metode Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan memperhatikan aspek obyek, nara sumber, dan sumber data.20 Penulis 20
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, FH UI, Yogyakarta, 2005, hlm. 4-5
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu metode pendekatan dimana proses penyelidikan menitikberatkan pada aspekaspek yuridis. 5. Analisis Data Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisa secara kualitatif.21
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NEGARA HUKUM, KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI A. Negara Hukum Menurut Jimly Asshiddiqie, ada tiga-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Ketiga-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga 21
ibid