BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka terhadap budaya yang dipangkunya karena budaya merupakan landasan filosofi yang mendasari setiap prilaku manusia. Sehingga dengan demikian seringkali manusia secara tidak sadar bersikap tertutup terhadap kemungkinan perubahan dalam nilai-nilai yang selama ini dipangkunya, juga merasa bahwa nilai-nilai yang dimilikinya merupakan yang terbaik dan harus dipertahankan. Didalam kehidupan manusia yang bermasyarakat terdapat dua potensi yang saling bertolak belakang antara satu dengan yang lain, yaitu potensi konflik dan potensi damai (konsensus). Kedua potensi ini bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Potensi konflik dan potensi damai menyatu dalam kehidupan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat muncul secara bergantian. Potensi konflik akan muncul lebih kuat apabila manusia terlalu mengutamakan kepentingan individu sehingga terjadi persaingan untuk mencapai tujuan. Sebaliknya potensi damai akan lebih dominan apabila manusia lebih mengutamakan kepentingan kelompok yang dilandasi oleh nilai dan norma sosial yang pada akhirnya akan menciptakan suatu kedamaian Selain sebagai mahluk sosial, manusia juga mahkluk yang berfikir (homo sapiens). Inilah yang kemudian mendorong manusia untuk berusaha mengatasi masalah-masalahnya terutama masalah yang ditimbulkan sebagai akibat atau konsekuensi dari hidup bermasyarakat. Dan karena itu juga manusia disebut
5 Universitas Sumatera Utara
sebagai mahkluk yang berbudaya. Kata kebudayaan berasal dari kata sansekerta yaitu “Buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata “Buddhi” yang berarti akal atau budi. banyak sudah pakar Antropologi yang melahirkan defenisi kebudayaan seperti yang dikutip oleh Soekanto dari pendapat E.B. Taylor : “Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat” (Soekanto, 1986 ; 111). Kebudayaan mencakup seluruh yang didapat atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dalam lingkup cakupan ilmu sosiologi, menekankan bahwa kebudayaan sebagai alat yang digunakan manusia untuk berkeprilakuan dalam masyarakat, sebab pada dasarnya kebudayaan adalah untuk tujuan yang baik, mengatur tata kehidupan dan penghidupan dan memanipulasi alam. Meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaedah-kaedah dan nilai-nilai kemasyarakatan. Dalam konteks penelitian ini kebudayaan ditekankan pada aspek keluarga dan norma-norma kemasyarakatan dan agama yang dikhususkan pada adatistiadat perkawinan dalam ajaran agama. Dalam hal ini adat-istiadat diperkecil lingkupnya hanya pada adat-istiadat yang berlaku pada pesta perkawinan dan adat-istiadat itu sendiri akan dihubungkan pada ajaran agama. Etnis yang diteliti adalah Etnis Batak Toba, sedangkan kaitannya dengan ajaran agama adalah Kristen Protestan yang dominan dianut oleh Etnis Batak Toba ini. Batak Toba merupakan suatu sub suku yang rawan dengan konflik yang hidup pada pengawasan adat-istiadatnya, terutama pada adat perkawinan. Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu sub suku bangsa Batak dan salah satu dari ratusan suku bangsa yang ada di Indonesia. Berdiri dengan satu identitas budaya, berasal dari daerah tertentu, memiliki bahasa, dan adat-istiadat tersendiri.
6 Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Batak Toba hidup dibawah pengawasan adat-istiadatnya yang berperan mengatur keseluruhan tingkah lakunya. Demikian juga dengan perkawinan sebagai salah satu siklus kehidupan seseorang. Perkawinan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba memiliki aturan-aturan adat yang masih sangat kuat walaupun sudah mengalami berbagai perubahan pada saat ini. Perkawinan masyarakat Batak toba yang diatur oleh adat-istiadat akan lebih sah dan resmi (http://sehati.blogsome.com/2008/03/04/pernikahan-adat-batak/#more-286). Perkawinan bagi kebanyakan suku bangsa di Indonesia, khususnya Batak (Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing)Melayu, Minang, Jawa, Betawi, Sunda, Aceh, dan sebagainya pada zaman dulu dan bahkan sampai dewasa ini dianggap merupakan tingkat kedewasaan bagi masyarakatnya dan bukan ditentukan oleh usianya. Alasan idealnya karena pada saat itu seseorang sudah mandiri dan bertanggung jawab memenuhi nafkah pasangannya serta siap meneruskan generasi dan menafkahi anak-anaknya kelak. Namun pada kenyataannya tidak semuanya berada dalam kondisi seperti ini. Oleh karena itu baik dari pandangan agama dan kultur perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya sakral dan hanya dapat dilakukan setelah wanita dan pria mengikatkan diri melalui prosesi adat dan ritus keagamaan dalam suatu ikatan perkawinan. Perkawinan berdasarkan undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974, perkawinan sendiri diartikan: “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan merupakan wujud menyatunya dua sejoli kedalam satu tujuan yang sama.
7 Universitas Sumatera Utara
Tujuan perkawinan itu sendiri adalah: 1. membentuk keluarga yang bahagia dan kekal 2. memenuhi kebutuhan biologis secara sah dan sehat 3. mendapatkan keturunan 4. untuk mendapatkan kaitannya dengan rohani secara nyata (cinta, ketenangan, merasa terlindungi) (http://www.luphkimm.com/perkawinan-disudut-pandang-sosiologi.htm). Berdasarkan tujuan pernikahan yang telah tercantum di atas maka perkawinan orang batak pun mengharapkan hal yang serupa dalam mahligai rumahtangga yang dibentuk yaitu berupa: Hamoraon , Hagabean, Hasanganpon atau istilah 3H. Ketiga kata itu telah menjadi salah satu pijakan orang batak dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Namun perlu diingat bahwa 3H diatas bukanlah falsafah hidup orang Batak yang menjadi falsafahya adalah Dalihan Natolu
“Somba
marhulahula,
Elek
marboru,
Manat
mardongantubu”,(http://habinsaran.wordpress.com/2007/07/31/hamoraonhasangapon-hagabeon/). Masyarakat Batak Toba yang secara tradisional bermukim di wilayah provinsi Sumatera Utara merupakan masyarakat yang patrilineal, di mana garis keturunan ditelusuri lewat sistem klan yang disebut marga. Keseluruhan marga yang ada saling berhubungan, dan meyakini bahwa mereka berasal dari satu keturunan. Hubungan sosial marga diatur dalam dalihan natolu (harfiah: “tiga tungku”), yakni sebuah struktur kemasyarakatan yang dibangun berdasarkan tiga pilar: hula-hula (pihak pemberi istri), boru (pihak penerima istri), dan dongan sabutuha (saudara seibu). Dalam setiap upacara adat kita dapat melihat bagaimana peran serta hubungan relasional dari ketiga pihak
8 Universitas Sumatera Utara
tersebut terhadap individu atau keluarga yang mengadakan upacara (suhut) tercermin. Dalam tradisi perkawinan, masyarakat Batak Toba menganut konsep bahwa sebuah ikatan perkawinan merupakan penyatuan dua set dari unsur dalihan na tolu dari dua keluarga luas individu yang akan menikah. Perkawinan pada masyarakat Batak Toba pada hakekatnya adalah sakral, dikatakan sakral karena dalam pemahaman adat Batak bermakna pengorbanan bagi parboru (pihak pengantin perempuan) karena memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain yakni pihak paranak (pihak pengantin pria), yang menjadi besan nantinya sehingga pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga yakni dengan menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau) yang kemudian
menjadi
santapan
dalam
pesta
perkawinan
(http://sehati.blogsome.com/2008/03/04/pernikahan-adat-batak/#more-). Pelaksanaan adat dalam setiap konteks pesta-pesta dalam masyarakat Batak Toba tidak seluruhnya sesuai dengan ajaran agama Kristen Protestan sebab pada dasarnya adat-istiadat dalam kegiatan apapun itu, awalnya berdasarkan pada ajaran animisme Batak yang belum mengenal Tuhan. Sebagian orang beranggapan bahwa seluruh ajaran dalam adat Batak Toba tidak bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Sebenarnya dalam ajaran Kristen, perkawinan tidaklah serumit yang dibayangkan yang paling mendasari ajaran Kristen adalah bahwa perkawinan itu diberkati di Gereja dan jelas-jelas ajaran Kristen menolak terjadinya perkawinan sedarah atau saudara kandung (inces). Dalam ajaran Kristen, pesta perkawinan itu
9 Universitas Sumatera Utara
terbatas hanya pada yang dilaksanakan di Gereja berupa pemberkatan, selebihnya yang dilakukan dalam masyarakat Batak adalah pesta adat.
1.2. Perumusan Masalah 1. Apakah yang menjadi latar belakang
bagi Pasangan Suami-Istri
melakukan perkawinan tanpa adat dari sudut pandang agama Kristen? 2. Bagaimana pandangan dan anggapan dari pasangan – pasangan yang telah menikah tanpa adat? 3. Aspek adat yang bagaimanakah yang memunculkan potensi konflik atau pertentangan dengan keimanan kristen?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui faktor apa saja dari agama Kristen yang melatarbelakangi pasangan yang melakukan pernikahan tanpa adat 2. Untuk mengetahui gambaran kehidupan pasangan yang menikah tanpa adat dalam kehidupan sosialisasinya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat 3. Untuk mengetahui potensi konflik-konflik apa saja yang terjadi dalam kehidupan pasangan yang menikah tanpa adat dalam sosialisasi kehidupan baik dalam keluarga maupun masyarakat.
10 Universitas Sumatera Utara
1.4 Manfaat Penelitian 1. Memberikan penjelasan kepada masyarakat umumnya dan mahasiswa khususnya mengenai aspek-aspek adat yang bertentangan dengan keimanan Kristen 2. Membantu untuk lebih mengenal adat-istiadat Batak Toba kepada para pembaca, khususnya kepada kalangan Batak Toba itu sendiri 3. Sebagai salah satu tambahan refrensi studi mengenai sosiologi
1.5 Defenisi Konsep 1. Potensi Konflik merupakan kemampuan dan kemungkinan munculnya perlawanan mental sebagai akibat dari kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang berlawanan 2. Pernikahan merupakan suatu proses dimana terdapat pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa untuk bersatu membentuk sebuah rumah tangga dan diikat dengan tali pernikahan itu sendiri 3. Pernikahan dalam pandangan Kristen adalah suatu proses dimana terdapat campur tangan Tuhan dalam mempertemukan seorang lakilaki dengan seorang perempuan dewasa dalam ikatan pernikahan yang suci dan berjanji dihadapan Tuhan untuk setia sehidup semati, dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit tanpa dapat dipisahkan oleh seorangpun kecuali oleh kematian 4. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang telah diciptakan oleh manusia yang mencakup seluruh sendi-sendi hidup dalam kehidupan manusia, dimana semuanya itu diciptakan dalam jangka waktu yang sangat lama
11 Universitas Sumatera Utara
5. Adat istiadat merupakan suatu peraturan, pranata, norma, hukum, kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang telah diterima oleh masyarakat yang bersangkutan dan telah dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang, jiga tidak memiliki sanksi yang jelas.
12 Universitas Sumatera Utara