BAB I. Pendahuluan Each Thursday a few people stood in silence opposite the Presidential Palace, they were attending weekly gathering Kamisan to demand justice from the Indonesia government headed by Susilo Bambang Yudhoyono. Kamisan, taken from Kamis, the Indonesian word for Thursday, has become a symbol of a relentless struggle to uphold human rights. The participants, who dressed in black and hold black umbrellas, stood in front of the Palace from 4 p.m. until 5 p.m. Unlike the usual rowdy and noisy street demonstrations typicalof post-Soeharto Indonesia,these protesters are unerringly silent. “Black represents the gloom of this country in terms of human rights. The umbrella carries the message that our right to stage this rally is protected by the Constitution,” said Commission for Missing Persons and Victims of Violence member Yati Andriani. 1.1 Latar Belakang Masalah Kajian tentang protes mau tidak mau selalu mengkaitkan pihak yang satu dengan pihak lain. Memang, sebagaimana dikatakan Tarrow (1994:4), protes dapat dipahami sebagai tantangan kolektif yang diajukan sejumlah orang yang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama. Mereka melakukannya dengan motif tertentu dalam konteks interaksi tertentu secara berkelanjutan. Tidak jauh berbeda dengan Sidney Tarrow, menyitir Bert Klandermans, protes biasanya dialamatkan kepada kelompok elite, kepada lawan dan penguasa (2005:1), yang jelas protes biasanya diidentikkan dengan perlawanan dan bentuk tuntutan kepada rezim penguasa. Namun, bagaimanakah jika sebuah gerakan protes justru menggunakan simbolsimbol tertentu untuk menyampaikan pesan dan menyuarakan tuntutan mereka. Terlepas dari nilai-nilai normatif dari kebanyakan bentuk protes, Kamisan atau biasa juga disebut dengan Black Umbrella Protest, memiliki karakter gerakan tersendiri. Dalam aksi Kamisan yang telah berjalan secara konsisten dan teratur selama 7 tahun terakhir ini, terdapat upaya menyelaraskan operasionalisasi aksi protes dengan penggunaan 1
simbol-simbol yang sarat dengan makna perlawanan terhadap kondisi yang ada kepada rezim penguasa (Negara).Lebih lanjut lagi, kajian ini hendak melihat pergeseran gerakan aksi protes sebagai aksi spontanitas ke gerakan simbolik dan pengaruh bekerjanya simbol-simbol yang dimainkan dalam aksi Kamisan terhadap sasaran/tujuan utama gerakan. Dari sini kemudian diharapkan rasionalitas dari mengapa penggunaan simbol-simbol dapat merepresentasikan dan mencerminkan keterpurukan keadaan, yang menjadikan para pelaku aksi Kamisan lebih tertarik mengadopsi gerakan simbolik sebagai metode gerakan daripada bentuk-bentuk protes kebanyakan, dapat menjadi preferensi baru dalam arena gerakan sosial baru. Argumen tersebut tidak terlepas dari pengamatan penulis bahwa aksi Kamisan lebih memuat nilai perlawanan kolektif daripada rutinitas mingguan yang hanya sekedaruntuk mempererat solidaritas antar sesama korban/keluarga korban pelanggaran HAM berat yang pengusutannya (dalam perspektif politis) belum tuntas hingga detik ini.1 Di banyak kasus di Indonesia, gelombang demokratisasi memberikan ruang segar bagi civil society untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menulusuri eksistensi aksi Kamisan atau Black Umbrella Protest tidak jauh berbeda dengan melacak aksi-aksi protes lainnya, hanya saja terdapat perbedaan-perbedaan yang melekat pada aksi Kamisan dan sekaligus menjadikannya tampak berbeda dari aksi protes lain. Aksi Kamisan merupakan aksi protes yang digerakkan oleh para korban/keluarga korban pelanggaran HAM yang merasa keadilan dan keterbukaan proses peradilan belum memihak kepada mereka. Lebih jelasnya, mereka menuntut pengusutan secara tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM serius yang terjadi di masa lalu, dan pada saat yang bersamaan juga salah satu cara untuk membuat publik tetap terjaga ingatannya atas sikap represif aparat militer yang 1
Akses dari http://www.thejakartaglobe.com/editorschoice/for-indonesias-kamisan-the-demand-and-wait-forjustice-only-grows/518500, dirilis juga dalam http://www.ucanews.com/news/an-indonesian-mothers-longfight-for-justice/68373, akses pada Desember 2013.
2
melanggar hak-hak sipil dan politik. Ciri khas yang membedakan aksi Kamisan dengan bentuk aksi protes lainnya terletak pada durabilitas aksi yang tinggi, aktor yang sama dari waktu ke waktu, keteraturan waktu terkait keberlangsungan aksi protes, konsistensi isu/tuntutan yang diperjuangkan di dalamnya dan cara/metode penyampaian tuntutan. Aksi Kamisan dibayangkan lebih dari sekedar ritual politik belaka dan bukan retorika kosong dengan penggunaan simbol-simbol ketidakpuasan rakyat terhadap fungsi dan tugas Negara. Aksi Kamisan merupakan cerminan lemahnya perlindungan dan penegakan HAM oleh Negara dan pada titik waktu tertentu, protes ini sebagai respon atas ketidakberdayaan Negara dalam mengusut tuntas pelanggaran HAM yang menimpa warga negaranya. Berbicara tentang durabilitas aksi protes yang dikemas dalam aksi Kamisan, tak ada yang menyangka bahwa protes ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dan dengan tuntutan yang selalu sama, pun dengan aktor yang bermain di dalamnya. Maria Katarina Sumarsih, Suciwati Munir dan Bedjo Untung menjadi tokoh penggerak protes payung hitam untuk pertama kalinya, sejak hari Kamis tanggal 18 Januari 2007, mereka dan beberapa keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu lainnya seolah tidak pernah kehabisan tenaga dan putus harapan menuntut pengusutan tuntas kematian keluarga mereka atau pun anggota keluarga yang tidak diketahui keberadaannya hingga saat ini. Awal mula kemunculan aksi Kamisan bisa saja sarat akan kepentingan pribadi Maria Katarina Sumarsih, dkk, namun seiring berjalannya waktu dan semakin banyak harapanharapan dari keluarga korban pelanggaran HAM berat kepada Negara yang tidak juga menemui titik terang, menjadikan aksi Kamisan tidak lagi bijak jika diidentikkan dengan kepentingan mereka semata. Sejarah mencatat, setidaknya ada tiga keluarga korban pelanggaran HAM berat yang menjadi pelaku aksi Kamisan, mereka juga tergabung dalam presidium JSKK (Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan) : (1.) Maria Katarina Sumarsih, orang tua dari Bernardus 3
Realino Norma Irawan, salah satu mahasiswa yang tewas dalam Peristiwa Semannggi 1, (2.) Suciwati Munir, istri mendiang pegiat HAM, Munir Said Thalib, dan (3.) Bedjo Untung, perwakilan dari keluarga korban pembunuhan, pembantaian dan pengurungan tanpa prosedur hukum terhadap orang-orang yang diduga anggota PKI pada tahun 1965-1966.2 Benang merah yang dapat ditarik dari ketiga aktor tersebut adalah dari kesamaan terduga pelaku pelanggaran HAM di masa lalu, yaitu militer. Menyinggung motif kemunculan aksi Kamisan, maka terlihat jelas bahwa motif politik berupa mendesak rezim penguasa untuk mengusut tuntas pelanggaran HAM --baik yang terjadi selama rezim Orde Baru maupun di era pasca Reformasi— dan upaya menjaga ingatan kolektif tentang kejahatan HAM berat, sedang bekerja. Terlebih jika kita melihat hasil wawancara dengan Maria berikut:3 ―The Parliament has been conquered by the old politics. The New Order regime is now back in power. That means, for Trisakti, Semanggi I and II, although personally many members of the parliament were supportive to resolve them, institutionally they would vote against it… *So, the parents of the victims thought] Come on, we are tired, so how about doing a silent protest. We bring posters, banners like that, so that people would know that human rights violations in Indonesia were not addressed well.‖ (Maria Katarina Sumarsih, interview, November 2007)‖
Untuk memudahkan pemahaman tentang relasi antara pelaku aksi Kamisan dan tuntutan yang dibawanya, lihat tabel di bawah ini:
2
Sebagaimana yang terekam dalam video dokumenter, video tersebut merekam insiden bentrokan antara pelaku aksi protes payung hitam, simpatisan dan koordinator lapangan aksi protes dengan pihak keamanan (Polri dan Paspampres) pada tahun 2011. Tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada aktor-aktor lain yang tidak sempat terekam dalam video dokumenter tersebut, namun bergerak dalam gerakan yang sama. 3 Petikan hasil wawancara ini, penulis kutip dari artikel yang ditulis oleh Rita Padawangi, 2011, Reform, Resistance, and Empowerment: The Transformation of Urban Activist Groups in Jakarta, Indonesia, 1998-2010, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore.Artikel ini juga dipresentasikan dalamInternational Sociological Association – Research Committee 21, University of Amsterdam, 7-9 July 2011.
4
Pelaku
Periode Terjadinya
Tuntutan
Pelanggaran HAM Maria Katarina Sumarsih
Mei 1998 (Tragedi Semanggi 1 dan 2)
Menangkap otak kerusuhan yang mengakibatkan kematian pada putranya. Maria menilai, pelaku yang ditangkap dan telah disidangkan bukanlah otak kerusuhan yang sesungguhnya, mereka hanyalah prajurit bintara lapangan.
Suciwati Munir
7 September 2004
8 tahun bergabung dalam aksi Kamisan, tuntutannya hanya satu: tangkap aktor intelektual di balik pembunuhan suaminya, Munir. Ia menilai Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda, hanyalah pelaku lapangan. Disinyalir kematian suaminya melibatkan seorang mantan
5
petinggi militer. Bedjo Untung
1965-1966
Usut tuntas pelaku pembantaian anggota PKI, dan pengembalian hak-hak dasar sebagai warga negara kepada keluarga eks anggota PKI
Mendengar kata protes, terbayang di benak sejumlah orang yang tumpah ruah ke jalan, dikoordinir oleh pemimpin rombongan sembari membawa atribut yang berisikan kecaman-kecaman kepada pemerintah dan tak jarang merusak fasilitas umum untuk mendapatkan perhatian pemerintah. Namun aksi Kamisan justru menghadirkan atmosfir baru. Berdiam diri tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut pelaku aksi protes di depan Istana Negara. Sebagaimana istilah lain yang digunakan dalam gerakan ini, protes payung hitam, pelaku aksi Kamisan menuliskan tuntutan mereka di lingkaran payung berwarna hitam yang menjadi identitas mereka. Konsistensi isu dan tuntutan dengan durabilitas tinggi karena berlangsung secara teratur setiap hari Kamis sore, juga menjadi karakteristik lain yang melekat dalam aksi protes itu. Negara tidak merespon dan tidak bersikap netral menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, dan cenderung membuat publik lupa pada persoalan penegakan keadilan HAM dengan tidak serius melacak permasalahan kejahatan kemanusiaan, serta tidak memiliki itikad untuk membuat mekanisme hukum pengadilan HAM, hal ini dapat dilihat dari ketidakjelasan yang diungkap ke publik tentang
siapa aktor intelektual untuk
melenyapkan pihak-pihak yang berseberangan dengan rezim penguasa dan otak utama 6
pelanggaran HAM, selain itu hukuman yang ditimpakan kepada pelaku pelanggaran HAM (pada umumnya para prajurit jenjang bintara) juga tidak sebanding dengan pelanggaran yang mereka perbuat kepada para korban. Bahkan dalam kasus kematian aktivis HAM, Munir, publik dibingungkan dengan proses hukum pelaku lapangan yang hanya seorang pilot. Keadaan ini lalu membuat korban/keluarga korban kehilangan asa kepada pemerintah dengan memilih cara-cara mereka sendiri untuk memperjuangkan keadilan penegakan HAM dan mendapatkan perhatian publik, senantiasa menjaga ingatan kolektif publik. Selain bergerak dengan cara mereka sendiri, ruang ini juga diperkuat oleh kehadiran sejumlah LSM yang concern dengan isu-isu penegakan HAM. Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan 16 LSM lainnya, merupakan LSM yang selalu berpendirian teguh mengawal kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu untuk diproses secara transparan dan mengantarkan keadilan bagi keluarga korban/keluarga korban, mereka juga yang mendeklarasikan The Year of Truth (Tahun Kebenaran) dengan slogan “fight against political amnesia and have justice served”. Usaha Maria Katarina Sumarsih dan korban/keluarga korban lainnya dalam upaya mendapatkan keadilan melalui skema perjuangan simbolik Kamisan, bukanlah satu-satunya upaya yang telah mereka tempuh. Tidak lama setelah menginisiasi dan berjuang dalam aksi Kamisan, Maria bertemu dengan tim khusus dari DPR dan meminta bantuan dari Komnas HAM, bahkan pada tahun 2008 dan 2011 ia bersama beberapa korban pelanggaran HAM lainnya berkesempatan berdiskusi dengan Menkopolhukam dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Semula ia dijanjikan angin segar bahwa pemerintah akan segera membentuk pengadilan HAM ad hoc yang akan mengusut tuntas dan mengadili siapa pun otak utama penyebab kematian anggota keluarga mereka. Namun semakin jauh waktu berjalan, tak satu 7
pun janji-janji pemerintah itu terwujud, sebuah fakta yang menjadi alasan kenapa Maria dan beberapa keluarga korban membulatkan tekad untuk terus berjuang lewat aksi Kamisan hingga hari ini. Maria Katarina Sumarsih, Suciwati Munir, dan Bedjo Untung merupakan catatan kelam pengusutan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, mereka adalah titik puncak gunung es yang jika disibak lebih mendalam justru semakin memperlihatkan keabaian pemerintah dalam menjamin keadilan, perlindungan dan penegakan HAM. Penelitian ini menjadi penting mengingat selama ini literatur yang membahas aksi protes selalu bertolak dari bentuk-bentuk aksi protes kebanyakan (banalitas), di mana para pemprotes identik dengan kekerasan, aksi protes yang berlangsung dengan durabilitas yang singkat, spontan dan tidak teratur, serta perhatian terhadap motif aksi protes yang kerap multi-tafsir. 1.2 Rumusan Masalah Untuk memperlihatkan pergeseran gerakan dan pengaruh gerakan simbolik ini dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, maka pintu masuk pertanyaan penelitian yang penulis pilih adalah Mengapa gerakan protes ini berubah menjadi gerakan simbolik? Dengan pertanyaan turunan: I. II. III.
Apa target dan sasaran gerakan simbolik aksi Kamisan? Apakah gerakan simbolik ini mencapai target dan sasarannya? Apakah terjadi reformulasi tujuan, target dan sasaran gerakan seiring dengan pergeseran gerakan?
1.3 Tujuan Penelitian Kajian ini hendak melihat faktor-faktor independen terkait berubahnya sebuah gerakan kolektif yang spontan bertransformasi menjadi gerakan simbolik yang teratur, dan menguji apakah dengan berubahnya bentuk gerakan tersebut, terjadi pula reformulasi sasaran 8
dan target gerakan. Di samping itu, ada keinginan penulis untuk mengangkat analisa tentang kegagalan Negara dalam melakukan pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM kepada warga negaranya, terutama korban pelanggaran HAM di masa lalu. Tidak menutup kemungkinan bahwa kelak dari kajian ini, akan ditemukan pola dan karakteristik baru dalam wacana gerakan yang bernuansa kasus HAM. 1.4 Literature Review Pada dasarnya, studi-studi yang menganalisa hubungan antara lahirnya aksi protes dengan ketidakpuasan terhadap sebuah keadaan/kondisi oleh sekelompok orang telah banyak diklasifikasi. Namun sejauh ini penulis belum menjumpai literatur yang secara gamblang mengupas kaitan aksi protes dengan isu penuntasan HAM, apalagi gerakan protes yang dominan menonjolkan simbol-simbol tertentu. Keterbatasan literatur yang ada hanyalah berbicara tentang protes sebagai kajian psikologi-sosial, dan kalau pun terdapat gagasan gerakan kolektif seputar isu tertentu, isu lebih mengarah pada pertarungan kelas sosial (pergerakan buruh, protes petani, gerakan mahasiswa) antara masyarakat dengan Negara.Selain itu, keterbatasan lain dari literatur sekedar memaparkan timeseries pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia, dan belum menyentuh sisi bagaimana perjuangan korban/keluarga korban/kolega/aktivis dalam menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM entah itu melalui gerakan protes, maupun dengan saluran-saluran alternatif lainnya. Kajian tentang protes pernah diangkat oleh Sartono Kartodirdjo (1973). Dengan locus penelitian di Jawa, dan mengangkat isu agraria sebagai arena dominan di mana sebagian besar aksi-aksi protes pada abad 19 dan 20 berlangsung. Jawa dipilih menjadi locus penelitian karena memang derajat perbedaan status socio-cultural antar daerah dan masyarakat Pulau Jawa tidak terlalu besar, sehingga perbandingan karakteristik aksi protes yang dipengaruhi 9
status socio-cultural bukan menjadi variabel independen, di samping itu kajian Sartono ini menjadi fondasi/pendekatan kerangka berpikir untuk menjelaskan struktur ekonomi, sosial dan politik Indonesia secara keseluruhan dan memberikan kontribusi untuk mengkonstruksi titik pusat dalam memandang sejarah Indonesia. Kenyataan lain yang menjadi temuan dalam penelitian Sartono Kartodirdjo adalah lahirnya aksi protes di Pulau Jawa dalam rentang abad ke-19 sampai 20 tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai klasik, yaitu jejak-jejak peninggalan masa penjajahan dan juga ―perselingkuhan‖ kekuasaan pemimpin agama (Kyai). Gerakan protes pada masa itu selalu identik dengan perlawanan kaum petani dengan pemerintah kolonial Belanda dalam hal kepemilikan tanah dari penduduk asli, sistem bagi hasil, dsb. Pun dalam banyak kasus yang berkaitan dengan pemimpin agama (Kyai), keadaan masyarakat Jawa yang mayoritas memeluk agama Islam dan kecenderungan fanantik dengan para pemimpin agama, membuat masyarakat Jawa sangat rentan dengan bentuk kekerasan horizontal atas nama kesetiaan kepada pemimpin mereka. Secara lebih spesifik, Sartono memakai 5 aspek analisa dalam memahami gerakan protes petani pedesaan di Jawa: (a) struktur ekonomi dan politik masyarakat pedesaan pada abad 19 dan 20, (b) basis massa dari sebuah gerakan sosial, (c) kepemimpinan dalam gerakan sosial, (d) ideologi gerakan sosial, dan (e) kondisifitas budaya masyarakat di mana gerakan sosial berlangsung. Hal di atas yang menjadi motif utama lahirnya sebuah gerakan aksi protes ---baik aksi protes damai dan bentrokan berdarah---, bagi Sartono tidak bisa dilepaskan dari masalah perubahan struktur masyarakat Jawa yang sering dipantik dengan perebutan dan persaingan kekuasaan antar elit yang bersumber dari proses transformasi struktural dari struktur politik dan ekonomi tradisional mengarah pada struktur politik ekonomi kolonial dan modern. Instrumen ideologi dan peran pemimpin agama pada masa itu menjadi otentifikasi perubahan 10
sosial yang tercermin dalam aksi protes, terutama pergolakan yang terjadi dalam masyarakat petani pedesaan. Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Sartono, Vincent Boudreau (2004) mengangkat isu protes pada arena, scope yang lebih luas, namun dengan motif yang lebih sempit. Boudreau dengan sangat provokatif membandingkan pola resistensi sosial dari masyarakat 3 Negara (Burma, Indonesia dan Filiphina) terhadap rezim penguasa (Ne Win, Suharto dan Ferdinand Marcos) yang dimunculkan lewat aksi-aksi protes. Dalam perbandingan itu, Vincent mengetengahkan gagasan bahwa di Negara-negara authoritarian, aksi protes terhadap rezim penguasa merupakan konsekuensi dari sikap represif Negara kepada warganya, di mana cara-cara indirect method (aksi non-protes) untuk bernegosiasi dengan rezim penguasa tidak menemukan celahnya, menjadikan aksi protes dipandang sebagai cara/metode yang ampuh untuk memberikan perlawanan melalui gerakan kolektif masyarakat sipil. Selain itu Boudreau juga banyak membahas pola dan peluang gerakan aksi protes di bawah rezim authoritarian represif, karena aksi protes juga dipahami sebagai bentuk komunikasi antara rezim penguasa dengan aktivis pro Demokrasi. Terselip pemikiran yang menggiring objek pergerakan dipengaruhi oleh corak pemerintahan dan kekuatan sosial dari suatu Negara. Belajar dari ketiga Negara tersebut, ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan aksi protes, diantaranya adalah mobilisasi yang baik dalam sebuah gerakan, dipimpin oleh pemimpin kharismatik dan menemukan momentum yang tepat, sebagaimana yang dikatakan oleh Boudreau: ―naturally, contention in the case will respond to some common triggers. Philippine, Indonesia and Burmese democracy movement, for instance, display some similar element, which may help to explain the occurrence of anti-regime mobilization. A charismatic female leader led each, each unfolded during periods of economic crisis, and each opposed a regime under increasing international pressure‖.
11
Lain di Negara Barat, lain pula yang terjadi di Negara-negara Asia Tenggara. Di Negara-negara post-kolonial, terutama saat memasuki era transisi, aksi protes didorong oleh mobilisasi massa yang begitu luas dan juga dibarengi usaha untuk mereduksi kapasitas Negara, dengan kata lain Negara sedang menghadapi tantangan sosial yang tidak sekedar menuntut suatu nadzar politik, tetapi juga berusaha mengurangi peran sentral Negara. Terkait dengan gagasan tersebut, sejumlah literatur justru membedah wacana alternatif, bentuk protes dan taktik gerakan massa didorong oleh kemunculan institusi Negara dan perkembangan jaringan sosial. Charles Tilly contohnya, mengilustrasikan suatu keadaan di mana parlemen Inggris mendorong dan mendukung para demonstran untuk menggelar aksi di pusat kota, daripada menggelar aksi protes mereka pada ranah lokal. Secara bersamaan, jika kita berbicara tentang peluang terciptanya mobilisasi sosial untuk aksi protes, bagi Boudreau hal ini tidak bisa dilepaskan dari model-model struktur ketegangan politik. Sebuah pemahaman yang didasarkan pada hasil pengujian dari analisa perubahan pelembagaan institusi-institusi Negara yang sedang memasuki tahapan state building. Perubahan-perubahan struktur politik yang relatif cepat juga dapat mempengaruhi peningkatan atau penurunan peluang politik untuk memobilisasi massa. Sehingga dalam literatur Vincent Boudreau ini, obsesi dari gerakan-gerakan aksi protes di Negara-negara post-kolonial adalah perkara bagaimana melawan rezim penguasa diktator yang represif dan mendorong demokratisasi di ketiga Negara tersebut. Kajian David W. Plath, dkk (2001), juga menarik untuk diperhatikan. Dalam satu bab khusus ―Altenatif Ganda, Protes Negro di Amerika Perkotaan pada tahun 1968‖, Michael Lewis secara dramatis mengangkat kisah perjuangan kelompok Negro Amerika perkotaan untuk mendapatkan haknya di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik,
12
keamanan dan hak-hak politik mereka yang selama lebih dari 300 tahun diabaikan –bahkan dikucilkan-- oleh mayoritas kulit putih Amerika. Perjuangan kelompok Negro ini dilatarbelakangi dalam setting wilayah Selatan (wilayah kumuh, miskin dan terkucilkan dari suasana perkotaan) yang ditinggali oleh kelompok Negro dan wilayah Utara (metropolitan) sebagai tempat tinggal mayoritas warga kulit putih. Secara institusional, kelompok Negro di Amerika melakukan aksi protes dalam wadah pergerakan organisasi (organizational movement), NAACP dan National Urban League merupakan dua organisasi besar yang menjadi advokat paling suar mewakili minoritas Negro pada awal 1900’an, sementara itu NAACP dan National Urban League secara umum telah diakui oleh mayoritas kulit putih sebagai wadah advokasi yang solid untuk memperjuangkan kepentingan kelompok Negro. Ada cara yang berbeda dari kedua organisasi besar ini dalam memperjuangkan hakhak kelompok Negro di Amerika, mereka tidak sekedar melakukan protes turun ke jalan untuk menyuarakan kepentingan kelompok Negro, organisasi ini sebaliknya beroperasi sebagai suatu skema pelayanan sosial dengan mengkhususkan diri pada penekanan pembukaan kesempatan kerja untuk tenaga kerja Negro, kesamaan ekonomi dan pelayanan sosial. Sama halnya dengan organisasi UNIA (Universal Negro Improvement Association) yang dipimpin oleh seorang Indian Barat berkulit hitam, Marcus Garvey. Hingga kerasnya tekad Garvey memperjuangkan nas ituib dan kesetaraan hak kulit hitam dengan kulit putih di Amerika pada saat, dikenal aliran pemikiran Garveyisme yang inti ajarannya adalah mengembalikan kejayaan kulit hitam dan menempatkan kebanggaan kulit hitam sebagai identitas murni dari semua jenis ras manusia.
13
Seiring dengan berjalannya waktu hingga saat ini, di mana permasalahan semakin beragam seputar ras, justru semakin banyak memunculkan organisasi-organisasi serupa di atas yang melawan segala bentuk penindasan dan diskriminasi kelompok minoritas oleh kelompok mayoritas, termasuk desakan untuk mengubah kebijakan yang tidak berpihak kepada kalangan minoritas. Aksi protes lintas motif dan periode di atas dielaborasi dengan sangat mendetail dalam kajian Aderito de Jesus Soares, dkk, (1997) dengan meletakkan isu HAM sebagai objek kajian. Secara umum literatur ini membentangkan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat militer terhadap masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu, namun ada satu chapter yang cukup menarik untuk dikaji ulang, yaitu terkait dengan sikap represif aparat militer dalam merespon munculnya aksi-aksi kolektif berupa protes di tahun 1996 dan strategi kolektif dari kelompok tertentu untuk meredam sikap represif aparat militer. Analisa itu menyoal intervensi militer dalam dunia politik praktis dan dualisme kepemimpinan dalam tubuh PDI antara loyalis Megawati dengan pendukung mantan Ketua Umum DPP-PDI hasil Kongres Medan, Soerjadi dan Fatimah Achmad di tahun 1990’an yang sering menjadi proximate factor dari aksi-aksi protes yang berujung pada bentrokan berdarah antara sipil dan militer. Bisa dikatakan bahwa aksi protes yang selalu diakhiri dengan bentrokan berdarah ini ditunggangi oleh kepentingan politik praktis militer untuk membungkam kekuatan para loyalis Megawati di PDI dengan mendukung dan menjadi aktor di belakang meja Kongres Medan. Ada banyak rangkaian kejadian dari aksi kolektif kubu Megawati sebagai respon atas intervensi militer dan pemerintah di balik Kongres Medan, layaknya bom waktu, akan selalu ada titik klimaks di mana aksi kolektif berupa protes berubah menjadi sebuah gerakan destruktif yang bergerak liar. Salah satunya dapat dilihat dari aksi long-march yang dilakukan oleh ribuan pendukung Megawati dan sejumlah tokoh-tokoh pro-demokrasi lain seperti Sri 14
Bintang Pamungkas (PUDI) dan Sunardi (mantan ketua Gerakan Marhaen) dengan tujuan memprotes pelaksanaan Kongres Medan yang akan dilaksanakan pada tanggal 19-21 Juni 1996 karena tidak sesuai dengan AD/ART internal PDI. Namun, aksi damai long-march tersebut harus diwarnai kekerasan saat gabungan militer bersenjata mencoba menghalau aksi mereka, yang kemudian hari insiden tersebut dikenal dengan ―Insiden Gambir‖, karena memang insiden berdarah itu terjadi di pertigaan Jl. Gondangdia, Jakarta. Tekanan demi tekanan dari pihak militer kepada Megawati dan pengikut setianya semakin membesar menyusul kejadian Insiden Gambir tersebut. Seolah tak ingin tinggal diam dengan sikap represif dan ancaman militer, para loyalis Megawati yang tergabung dalam Satgas-satgas dari seluruh Indonesia justru memberikan perlawanan yang jauh berpengaruh kuat terhadap ideologi loyalis PDI dan publik, namun perlawanan ini dikemas dengan sangat rapi dan tidak pernah terbayang aksi kekerasan di dalamnya. Melalui strategi perlawanan Mimbar Bebas yang berpusat di DPP-PDI Jl. Diponegoro,4 loyalis Megawati mendirikan panggung di halaman gedung di mana setiap orang tanpa membedakan latar belakang, status sosial, ekonomi dan politik diberi kesempatan untuk berpidato di atas panggung. Mulai dari anggota DPR/MPR RI, mahasiswa, aktivis, kalangan buruh, pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, hingga pengangguran diperbolehkan berpidato terkait semua isu, seperti kepemimpinan Megawati, upah buruh yang rendah, kesenjangan sosial dan ekonomi, korupsi yang merajalela, penggusuran, hingga meluapkan kebencian atas sikap represif militer, membumi di Mimbar Bebas tersebut.
4
Tempat ini dipilih mengingat beredar kabar bahwa DPP-PDI akan diambilalih kepengurusannya oleh pendukung Konres Medan, selain itu sebagai upaya untuk menjamin aktivitas di DPP-PDI berjalan seperti biasanya di bawah kepemimpinan hasil Musyawarah Nasional, Megawati.
15
Aksi dalam Mimbar Bebas yang sedianya sebagai medium soft power untuk meredam aksi represif aparat militer, justru semakin memancing kemurkaan militer Indonesia. Pejabat tinggi TNI bahkan menuding Mimbar Bebas sebagai embrio makar dan oleh karena itu harus dihentikan. Strategi perlawanan dari kubu loyalis Megawati akhirnya berada pada titik keberhasilan, Mimbar Bebas mulai dipahami sebagai gerakan ideologis menentang rezim otoriter Orde Baru dan militer. Bahkan sejumlah pengamat sejarah dan politik mengatakan bahwa Mimbar Bebas ini merupakan fenomena yang sangat unik di zaman Orde Baru, mengingat selama lebih 20 tahun Soeharto berkuasa, pemerintah Orde Baru menciptakan mistifikasi arti tentang partisipasi rakyat. Selama rezim Orde Baru berkuasa, manifestasi kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat selalu identik dengan ritual Safari Ramadhan, Kelompencapir, Doa Politik, dsb. Mimbar Bebas secara mengejutkan membongkar mistifikasi yang dibuat oleh rezim Orde Baru tersebut, Mimbar Bebas mengembalikan watak demokrasi yang dicitacitakan oleh The Founding Fathers, yaitu menempatkan kembali rapat umum (openbare vergadering) sebagai wadah untuk menampung aspirasi dan suara dari masyarakat luas secara bebas dan lepas dari rasa takut di bawah ancaman militer rezim Soeharto. Telah penulis paparkan sejumlah literatur-literatur yang berbicara tentang aksi protes. Entah itu aksi protes yang dilihat dari motif kemunculannya, peluang lahirnya aksi protes, strategi perlawanan lewat protes dan tujuan-tujuan aksi protes itu sendiri. Namun bagi penulis, literatur-literatur di atas masih memiliki keterbatasan-keterbatasan teoritik dan membuka peluang bagi penulis untuk mengisi celah kosong teoritik tersebut. Kajian Sartono misalnya, melihat strategi perlawanan kaum petani melalui aksi protes pada masa kolonial Belanda tidak relevan lagi digunakan untuk menganalisa aksi-aksi protes pasca-kolonial Belanda hari ini, mengingat paradigma Indonesia sebagai Negara agraris telah bergeser ke
16
paradigma industrialis yang juga turut mempengaruhi peluang lahirnya aksi protes dari kaum petani. Pemikiran Scott (1994) yang menyatakan bahwa petani merupakan golongan rakyat kecil yang mengutamakan prinsip ―safety first‖, tampaknya tidak akan meniru cara-cara yang dilakukan oleh Black Umrella Protest dalam menyampaikan tuntutan, terlebih jika itu merupakan upaya-upaya untuk mengubah sebuah kondisi atau mengkritik kebijakan rezim penguasa. Tidak jauh berbeda dengan literatur Vincent Boudreau, dia melupakan bagaimana peluang politik yang mendukung lahirnya aksi protes itu tercipta, atau dengan kata lain, dinamika politik dan sosial yang mengkerangkai kemunculan aksi protes tidak tergambar secara jelas dalam kajiannya. Hemat penulis, dua literatur terakhir dari David W. Plath, dkk, serta Aderito de Jesus Soares, dkk, memiliki garis kesamaan dengan rencana penelitian Black Umbrella Protest ini, yaitu terletak pada isu dan target aksi protes. Kedua literatur tersebut sama-sama menyoal permasalahan HAM yang menimpa warga negaranya dan menyasar pada kelambanan – bahkan ketidakmampuan— Negara mengakomodir kepentingan hak-hak asasi manusia dari warga negaranya. Namun yang menjadi pembeda dengan Black Umbrella Protest ini kelak adalah penggunaan simbol-simbol di dalam protes itu sendiri. Black Umbrella Protest bukanlah bentuk aksi spontanitas dengan durabilitas yang singkat, terkesan random dan tidak memiliki keteraturan terkait berlangsungnya aksi protes. Membidik alasan mengapa mereka memilih cara-cara penyampaian gagasan dalam Black Umbrella Protest, tentu bertolak belakang dengan kedua literatur terakhir di mana protes selalu diidentikkan dengan hingar-bingar menyuarakan tuntutan dan memiliki potensi destruktif berdarah jika tidak dipelihara dengan baik. Karakteristik dan metode penyampaian gagasan dalam Black Umbrella Protest tidaklah sebanding dengan gerakan-gerakan spontan
17
lainnya, keunikan dan kekhasannya melampaui kewajaran dari sekedar tindakan kolektif terorganisir biasa, inilah sebuah gerakan simbolik. 1.5 Kerangka Teori Penelitian etnograf James C. Scott di wilayah Sedaka, Malaysia antara tahun 19781980 melahirkan kajian luar biasa berpengaruh dalam wacana perlawanan kaum terpinggirkan, gagasan dan konsep perlawanan terhadap rezim penguasa yang dirangkum dalam nomenklatur Senjatanya Orang-orang Kalah: Bentuk-bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Petani (2000) membuka unit analisa dalam kajian ini. James C.Scott dengan sangat jeli berhasil masuk ke ranah budaya komunikasi suatu komunitas dan memperlihatkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, saat aktivitas berjalan seperti biasa –tanpa gerak-gerik yang menunjukkan gelagat konflik terbuka— dan sekali pun dalam perilaku normal dari masyarakat, ternyata terselip aksi pembangkangan dan upaya-upaya perlawanan atas situasi dan kondisi yang sudah ada, terutama dalam ranah kebijakan publik di mana rezim penguasa membuat sebuah aturan menyangkut hajat hidup orang banyak. Justifikasi bahwa bentuk perlawanan dan pembangkangan yang selalu identik dengan kekerasan, jatuhnya korban jiwa dari masyarakat dan terdapat dorongan represif organ Negara yang disebut dengan pihak keamanan itu, terjewantahkan lewat penelitiannya. Dengan mengangkat masyarakat kelas sosial bawah –petani-- sebagai obyek dominan kajian, James C. Scott dengan cermat mengistilahkan pembangkangan petani dengan bentuk sehari-hari dari perlawanan petani, yang merujuk pada sikap dan perilaku yang biasa-biasa saja, namun terjadi terus-menerus antara kaum petani dan orang-orang yang berupaya mengeruk keuntungan pajak, sewa, tenaga kerja murah dari para petani (2000:40). Perlawanan para petani tidak mencapai pada level pembangkangan kolektif secara terangterangan, karena jika petani mengorganisir diri ke arah pembangkangan terbuka, maka 18
pembunuhan massal, penindasan, pemenjaraan tanpa proses hukum sudah pasti di depan mata sebagai konsekuensi dari kekalahan perimbangan kekuatan. Gagasan tersebut mengantarkan ke pertanyaan, lalu seperti apa bentuk senjata seharihari dari perlawanan petani? Penerapan strategi ―perang‖ gerilya dan penggunaan konfrontasi simbolik secara tidak langsung: mengambil makanan, menipu juragan tanah tempat mereka dipekerjakan, mengumpat orang-orang kaya pelit dari belakang, memfitnah untuk merusak nama orang kaya, melempar puntung rokok di perkebunan untuk membakar kebun, merupakan satu-satunya jalan yang paling aman dan rasional untuk melakukan pembangkangan. Untuk menginterpretasikan titik pusat antara pemikiran dan simbol perlawanan ala Scott ini, variabel simbol, norma, dan bentuk-bentuk ideologis yang tercipta merupakan latar belakang yang tidak dapat dihilangkan dari perilaku mereka (2000:51). Setiap bentuk aksi perlawanan, selalu diilhami oleh itikad, nilai dan tujuan yang mendukung kondisi mereka. Dengan sangat spesifik, Scott menjelaskan hubungan antara pemikiran dan simbol tersebut ke dalam dua poin (2000:52), Pertama intensi dan aksi bukanlah sesuatu yang berjalan dengan sendirinya (unmoved movers), tetapi hasil wacana yang terus dipelihara sehingga melahirkan aksi yang berkelanjutan. Sehingga, aksi perlawanan dan pemikiran tentang (atau makna dari) perlawanan tersebut adalah bentuk dan upaya untuk selalu berkomunikasi dalam ranah dialek (dialogis). Kedua, itikad atau kesadaran intensi tidak harus berkaitan dengan bentuk nyata dunia materi yang dibayangkan oleh perilaku individu. Perilaku dan garis aksi individu boleh saja termobilisasi mengikuti kemampuan membayangkan keadaan yang diinginkan oleh seorang individu, namun keadaan dan kondisi riil bisa berkata lain, bertolak belakang dengan apa yang diharapkan.Lebih jauh lagi, bagi Scott pembangkangan secara halus, dilakukan dalam jangka panjang lebih merepresentasikan pertarungan ideologi daripada sekedar ketidakpuasan 19
atas kondisi di sekitarnya, fenomena di Sedaka lebih spesifik meneropong wujud permasalahan antar kelas. Ada usaha untuk selalu membangkitkan kesadaran perjuangan kelas bawah. Namun demikian menurut Scott, perlawanan kaum tani dengan strategi dan bentuk serupa tidak akan dapat melakukan lebih dari hanya mempengaruhi secara marjinal berbagai bentuk eksploitasi yang dihadapi petani (2000:40). Kaum petani tidak memiliki cara yang lebih memberikan efek kejut terhadap lawannya, hal paling penting untuk merubah keadaan secara cepat dan fundamental yang sayangnya tidak mereka miliki. Pembangkangan kaum petani di Sedaka, beroperasi secara anonim dan gerakan yang sengaja mengaburkan kejelasan visi, misi aksi yang dikemas dalam perilaku simbolis dan ketidakjelasan apakah pembangkangan tersebut merupakan gerakan kolektif atau individual. Kaum petani tidak secara terang-terangan menolak konsep Revolusi Hijau yang dirancang untuk menggantikan tenaga kerja manusia (petani) dengan fungsi pemanen padi, tapi mereka mengisi sela-sela pembicaraan sehari-hari bahwa mesin pemanen padi akan mudah rusak dan mereka tidak akan memperbaikinya.Pun dengan jenis gerakan, terkadang perlawanan dilakukan secara kolektif, dengan sangat hati-hati, kalaulah dilakukan oleh perorangan atau serangan kelompok kolektif atas hak milik, dilakukannya secara anonim dan biasanya di malam hari, satu hal yang tidak boleh luput bahwa terlalu banyak kesamaan aksiaksi individu petani untuk digolongkan ke dalam aksi non-kolektif. Namun, penulis menyadari bahwa gagasan James C. Scott itu tidaklah mampu mengantarkan pemahaman yang utuh dalam study tentang aksi Kamisan, hal ini dikarenakan beberapa kelemahan teoritik: Pertama,sifat dari gerakan petani di wilayah Sedaka sekedar menunjukkan ketidaksukaan atau ketidakpuasan pada kondisi yang ada, bukan untuk merubah sebuah tatanan sosial yang besar. Derajat tujuan gerakan para petani di Sedaka tidaklah sebanding jika disandingkan dengan tujuan gerakan aksi Kamisan yang memimpikan 20
keadilan dan penuntasan kasus HAM berat dengan menuntut Presiden mengeluarkan surat sakti Kepres tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc.Jadi sekali lagi, tujuan aksi Kamisan adalah mengubah sebuah tatanan sosial, dan itu bukan pekerjaan yang mudah dicapai dengan cara-cara sederhana dan tidak terorganisir. Kedua, kelemahan gerakan dapat dilacak dari pola pengaplikasian gerakan, para petani Sedaka melakukan perlawanan dengan cara yang tidak terorganisir, cenderung dilakukan secara individu, melancarkan aksinya secara sembunyi-sembunyi, dan random (acak). Gerakan aksi Kamisan tidak sesederhana itu, mereka mematangkan strategi gerakan melalui pertemuan rutin, mengorganisir diri melalui kesamaan identitas dan kelembagaan (KontraS), dan semakin jelas siapa pihak yang mereka tuntut. Ketiga, adalah tentang status kelas yang mempengaruhi pola gerakan.Apakah tepat menyebut keluarga korban sebagai kelas bawah sebagaimana petani di Sedaka?Tentu tidak. Petani Sedaka merupakan orang-orang dari kelas bawah yang karena keterbatasan pendidikan, wawasan dan akses informasi tidak memiliki preferensi alternatif gerakan selain melawan dengan cara yang sederhana, spontan, melawan secara individu dan tidak memobilisasi massa. Sedangkan dalam aksi Kamisan, sebuah kekeliruan menggolongkan para pelaku aksi Kamisan ke dalam kelas masyarakat bawah, mereka memiliki seperangkat wawasan dan pengetahuan hukum yang kuat, berkemampuan secara ekonomi dan orangorang yang menikmati pendidikan tinggi di zamannya.Singkat kata, perbedaan pola, cara dan tujuan gerakan akan menyesuaikan siapa yang melakoni skenario gerakan kolektif itu sendiri. Dibayangkan teori James C. Scott dengan berbagai keterbatasan teoritiknya tidak mampu membingkai pemahaman tujuan gerakan aksi Kamisan yang menginginkan perubahan tatanan sosial, teori James C. Scott hanya tepat untuk menjelaskan bahwa di mana pun terdapat kehidupan sosial, pasti akan muncul ketidakpuasan dari jamak individu di dalamnya, dan mereka menunjukkan keingkaran itu dalam kehidupan sehari-haridengan cara 21
sederhana dan tidak berdampak masif terhadap sisi sosial lainnya. Hanya sebatas percikanpercikan aksi ketidakpatuhan kecil terhadap tatanan sosial. Pembahasan yang utuh dalam study aksi Kamisan ini tidak mungkin dapat tersajikan hanya dengan membacanya dengan teori James C. Scott, terlebih mempertimbangkan kelemahan-kelemahan teoritisnya. Untuk itu, dengan ―logika nilai-tambah (value-added logic)‖ dari Neil J. Smelser (Theory of Collective Behavior, 1971) dapat menutupi kecacatan teoritis dengan menguraikan 6 tahap spesifik yang dipadukan untuk menghasilkan suatu aksi kolektif. Kondisi dan tiap tahapan perkembangan gerakan dimaksudkan untuk menambah efektivitas dan apropriasi pada tiap-tiap tahap lanjutan yang pada akhirnya menjadi seperangkat pengetahuan memahami perkembangan sebuah gerakan. Kondisi yang dianggap mencukupi adalahkombinasi semua kondisi yang dibutuhkan menurut pola definitif tertentu (1971: 14). 6 tahap spesifik tersebut (1971 : 16) adalah (a.) structural conduciveness, merujuk pada karakteristik tata letak tempat di mana sebuah aksi kolektif berlangsung, yang mendukung jenis perilaku kolektif tertentu, (b.) structural strain, mengacu permasalahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat, nantinya permaslahan ini yang akan memicu perilaku kolektif, (c.) growth and spread of a generalized belief, mengidentifikasi sumbersumber ketegangan atau permasalahan, mengatribusikan sumber-sumber ketegangan tersebut, dan dengan berbagai upaya dijadikan sebagai komposisi respon terhadap ketegangan atau permasalahan itu, (d.) precipating factors, dibutuhkan pemantik atau daya dorong munculnya sebuah aksi kolektif, (e.) mobilization of participants for action, perkara bagaimana membangun isu bersama, tak peduli apakah isu ketegangan itu bersumber dari ruang pribadi atau tidak publik, jelasnya kondisi ini mencoba menularkan ke orang lain dengan harapan gelombang massa yang berpartisipasi semakin membesar, (f.) application of social control, dengan kata lain tahap ini sebagai proses kontemplasi atas pencapaian gerakan. Sebuah aksi 22
kolektif dapat diurungkan jika capaian aksi kolektif tidak sesuai harapan, dan sangat mungkin akan merumuskan kembali pola dan strategi gerakan baru. Lain cerita apabila sebuah aksi kolektif sukses mencapai targetnya, mereka akanmenyebarluaskan pola dan tindakan ke seluruh lapisan masyarakat dengan tujuan memelihara pencapaian aksi kolektif. Kurang lengkap rasanya jika melewatkan gagasan tentang contentious, mengingat apa pun jenis gerakan kolektif selalu melibatkan identitas di mana mereka dapat saling berbagi identitas contentious (Tilly, 1996; Kelley, 1996). Dalan nuansa ini mereka dapat berbagi kemarahan terhadap keadilan yang mereka hadapi.Dengan keyakinan bersama bahwa secara kolektif mereka dapat melakukan aksi dan menuntut perubahan dari orang-orang yang mereka anggap bertanggung jawab. Lebih jauh lagi, Charles Tilly tentang repertoar (perlawanan/contentions) dalam wacana gerakan sosial (Sidney Tarrow dan Charles Tilly:1988,1998 dan 1978). 5Dalam rangka penerapan strategi perlawanan, setidaknya ada dua hal yang mutlak dibutuhkan agar sasaran/target/tujuan gerakan yang telah direncanakan (planned goals) sesuai dengan jalan ceritanya, yaitu routinization dan adanya dukungan mobilisasi sumber daya. Dalam konteks gerakan, routinization mengacu pada pola interaksi yang berkelanjutan, teratur dan berlangsung secara terus-menerus antara kelompok yang menuntut atau mendukung adanya perubahan dengan pihak yang dinilai dapat mengakomodir tuntutan mereka (Negara). Charles Tilly juga menambahkan keharusan adanya interaksi dalam perjalanan waktu antara gerakan-gerakan sosial dengan Negara, dengan elit-elit non-pejabat, dengan gerakan-gerakan tandingan yang memicu lingkaran protes dan peningkatan upaya kontrol sosial oleh pihak lawan. 5
Intisari gagasan dalam literature Contentious Collective Action and the Breakdown of Authoritarian Regimes, dalam International Political Science Review, akses dari http://ips.sagepub.com/cgi/content/abstract/26/3/311 dan dikonfirmasi juga oleh study Harry H. Hiller. 1975. A Reconceptualization of the Dynamics of Social Movement Development, Vol. 18, No. 3 (July). University of California Press.
23
Di samping itu, kita juga tidak boleh mengabaikan cara berpikir Charles Tilly yang sangat dipengaruhi oleh faktor materi, terutama dorongan mobilisasi sumber daya yang merujuk pada kepentingan kelompok, tingkat pengoragnisasian dan besarnya sumber daya yang ada di bawah kendali kolektif (uang, tenaga partisan, tingkat peluang politis, dll). Baginya, seburuk apa pun kondisi yang dihadapi oleh rakyat, rakyat tetap tidak dapat membentuk gerakan perlawanan kepada Negara selama mereka tidak mampu mengorganisir diri ke dalam bentuk kelompok dan mengakses modal-modal pergerakan sebagai bentuk mobilisasi sumber daya gerakan (Haryanto, dkk, 2003: 33). Argumen di atas bukan tanpa dasar, karena menurut Charles Tilly gerakan-gerakan perlawanan (revolusi, kekerasan kolektif, perbuatan makar, dll) lebih mencerminkan hasil dari proses-proses politik sebagian kecil kelompok masyarakat, daripada bentuk nyata dari ketidakpuasan dan ketegangan masyarakat. Hal tersebut menjadikan keraguan tentang efektifitas mobilisasi sumber daya dalam wacana gerakan perlawanan tidak menarik untuk diperdebatkan. Dengan menyandarkan pada data empiris, menurut Tilly, karakteristik gerakan perlawanan tersebut muncul di Negara-negara Eropa selama masa-masa revolusi tahun 1789 yang tertuang dalam karyanya From Mobilization to Revolution (1978) dan salah satu yang terbaru Dynamics of Contention (2004). Ilustrasi singkat di bawah ini mungkin akan membantu dalam memahami cara berpikir strategi perlawanan ala Charles Tilly, sekaligus menjadi deskripsi singkat rancangan penelitian penulis:6 ―Successful tactical innovations developed by one social movement become part of a collective action repertoire upon which subsequent social movements draw. For example, the civil rights movement adapted non-violent tactics such as sit-ins, passive resistance, and mass marches; these tactics spread to the student and anti-war protests that followed. Similarly, the women's movement's tactical innovations influenced nuclear freeze campaigns. Many actions by women's peace groups drew on a feminist tradition of theatrical tactics dramatizing the feminist frame linking militarism to patriarchy. For example, in 1981 and 1982 the Women's 6
David S. Meyer and Nancy Whittier. 1994. Social Movement Spillover, Vol. 41, No. 2 (May). University of California Press.
24
Pentagon Action staged large demonstrations and civil disobedience actions outside the Pentagon, linking the nuclear arms race to broader social injustices, including violence against women, poverty, and other violations of human rights. The Pentagon actions included expressions of mourning for societal injustice, anger at the perpetrators of injustice, and ended with participants symbolically "exorcising" the evil spirits of the Pentagon by weaving a "web of life" around the building, simultaneously trying to shut the building down. These symbols reprised decades-old self-consciously dramatic tactics. Activists combined direct political action with spiritual rituals they claimed drew on the strength of goddesses and other sources of women's power. The effects of these events spread beyond the hundreds of women who participated, as the activists took the tactics and inspiration back to local communities where they organized a wide variety of campaigns. Women organized "peace camps" outside military bases near the Puget Sound and in Seneca Falls in central New York. Modeled after similar camps in Europe, the camps coordinated ongoing opposition to the transport of nuclear weapons. Activ-ists lived in tents by the military bases for days, weeks, or even years, and engaged in public education, direct action, and civil disobedience campaigns. While European peace camps in-cluded women's, mixed-sex and family camps, in the United States only women's camps developed. They built on the radical feminist practice of establishing "women-only space" in the belief that women were better able to act independently and strongly in the absence of men. The peace camps were one explicit way activists linked personal and political concerns, as women left home and family to live ongoing antinuclear protest. Activists tried to organ-ize the camps in accordance with feminist ideals of egalitarianism. Organizations sponsoring more moderate activities tried to make the same connection between personal and political. In 1985, for example, a number of groups coordinated a "peace ribbon" campaign in which local activists and organizations made quilted squares depicting scenes of things they would miss in the event of a nuclear war. They sewed these segments together, creating a single ribbon that reached more than 10 miles. In a colorful demonstration, activists wrapped the ribbon around the Washington Monument.‖
Nalar operasional dari ketiga teori di atas akan berguna dalam membangun argumen pada penelitian ini. Berangkat dari pemahaman sebelumnya bahwa aksi Kamisan bukanlah aksi protes biasa yang mencerminkan ketidakpuasan atas kondisi yang sudah ada. Ada keresahan, kegelisahan dan keprihatinan, sekaligus kebuntuan tindakan progresif yang ditonjolkan dari aksi Kamisan, baik dari sudut pandang metode penyampaian, maupun atribut sebagai sarana penyampaian pesan. Pilihan teori James C, Scott membidik ketidakpuasan di masyarakat dan muncul keinginan untuk melawan, hanya saja keterbatasan penjelasan teori yang mencakup cara memberontak yang sederhana, secara tersembunyi, tidak terorganisir dan acak tidak bisa memberikan penjelasan yang komprehensif atas aksi Kamisan. Untuk itu dibutuhkan kondisi yang mengakomodasi perkembangan suatu gerakan kolektif.
25
Melalui penelusuran data dan dokumentasi sejarah di lapangan menunjukkan bahwa pelaku aksi Kamisan telah melewati 6 tahap krusial dalam perkembangan gerakan kolektif, dari sana dengan sendirinya mengaplikasikan seperti yang digambarkan Neil J. Smelser. Kondisi di mana mereka mulai berpikir bahwa ada sesuatu yang salah dalam hak mereka sebagai warga negara, memulai mengorganisir diri ke dalam sebuah komunitas di mana mereka dapat berbagi identitas, menindaklanjuti ketegangan itu dengan serangkaian aksi-aksi kolektif banalitas (yang kemudian menemui sejumlah kegagalan sekaligus mengantarkan kepada gerakan aksi simbolik), dan melakukan kontemplasi capaian gerakan. Pilihan gerakan tersebut senada dengan konsep perlawanan ―Weapon of the Weaks‖ James C. Scott yang sangat menghindari konfrontasi terbuka yang memiliki probabilitas gesekan langsung –walaupun pernah terjadi insiden saat pertama kali muncul— dan bukan untuk unjuk kekuatan kepada pihak lawan. Operasional teori Charles Tilly atas identitas contentious dan perkara bagaimana memobilisasi peserta aksi berkontribusi untuk menguraikan aksi Kamisan, dan terutama membidik jejaring organisasi yang dibangun untuk menginisiasi aksi Kamisan di berbagai kota seperti di Yogyakarta, Surabaya dan Bandung baru-baru ini. Hingga semakin jelas bahwa mobilisasi dalam aksi Kamisan adalah tentang bagaimana orang mengembangkan identitas sosial yang sama dan muncul keyakinan bahwa situasi yang mereka hadapi tidak adil, tidak berdasar, lalu menerjemahkan ketidakpuasaan tersebut menjadi aksi kolektif, bukan keputusasaan, karena aksi Kamisan digelar oleh orang-orang yang memiliki identitas yang sama dan mengorganisir diri menjadi sebuah aksi, bukan orang-orang yang putus asa.
26
1.6 Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan dengan metode kualitatif. Penggunaan metode kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena sosial yang mendalam yang tersembunyi di bawah permukaan antara peneliti dan fenomena yang diteliti. Dengan kekhasan metode ini diharapkan dapat membongkar tabir dan menangkap sesuatu yang dimaknai dari sebuah fenomena sosial, sehingga makna dari fenomena tersebu dapat dipahami dengan lebih mudah dan sederhana.7 Selanjutnya, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studikasus atau case study. Model atau pendekatan ini memfokuskan pada satu kasus atau lebih dalam fenomena sosial. Menurut Creswell (dalam Haris, 2012), pendekatan case study menekankan pada eksplorasi dan suatu sistem yang terbatas pada satu kasus atau lebih secara mendetail, disertai dengan penggunaan data secara mendalam, beragam dan kaya akan konteks.8Secara lebih dalam, case study bersifat komprehensif, intens dan mendalam, memberi penekanan pada fenomena yang bersifat kontemporer. 1.6.2. Lokasi penelitian Studi ini akan dilakukan di wilayah DKI Jakarta. Riset lapangan yang akan dilakukan nanti tentunya akan disesuaikan dengan kebutuhan data yang diperlukan oleh peneliti. Artinya, lokasi tidak akan selalu dilakukan di Jakarta, namun peneliti akan bergerak ke daerah lain karena aksi Kamisan mulai merambah di beberapa kota seperti Kota Yogyakarta. 1.6.3. Teknik pengumpulan data Studi ini diyakini akan sangat membutuhkan banyak data dari bermacam narasumber yang ada. Selain menekankan pada kejadian-kejadian dan data yang sifatnya kontemporer,
7
Denzin dan Lincoln (1994) dalam Herdiansyah, H. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika, 2012, hal 7-9 8 Ibid, 76
27
studi ini juga bergantung pada fakta-fakta historis. Tentunya dengan penggunaan data berdasarkan dimensi periode waktu tersebut, proses penelitian membutuhkan teknik pengumpulan data dan analisis yang beragam. Hal tersebut bertujuan untuk mengelaborasi keberagaman data yang diperoleh peneliti, dan dari itu peneliti dapat melakukan pengujian silang antar data yang ada. Berikut langkah-langkah yang akan dilakukan dalam rangka pengumpulan data dari penelitian ini: a.
Dokumentasi Desk study atau studi dokumen ini sangat penting dilakukan sebagai langkah awal
dalam menentukan strategi apa yang akan diambil terkait pengumpulan data dari penelitian ini. Data-data dokumen ini sangat penting guna mendukung dan menambah bukti-bukti dari sumber-sumber data lainnya.9 Namun perlu diingat pada akhirnya keakuratan dan keabsahan dari data-data dokumen tersebut harus kembali diuji silang kebenarannya dengan data-data atau sumber lain. Beberapa jenis data dokumen yang dapat dijadikan rujukan diantara lain adalah: buku, jurnal, majalah, kliping atau artikel di media massa (cetak dan elektronik), laporan penelitian, dan lain sebagainya. b.
Field Reserch (live-in). Langkah selanjutnya dalam pencarian data adalah dengan melakukan field research.
Metode field research seperti halnya dalam penelitian kualitatif lainnya dirasakan lebih dekat dengan kenyataan di lapangan. Dalam fieldresearch lebih mengutamakan interaksi antar mukadengan komunitas masyarakat dalam lingkungannyayang natural. Field research adalah bentuk penelitian yang bertujuan mengungkapkan makna yang diberikan oleh anggota masyarakat pada perilakunya dan kenyataan sekitar. Hal tersebut tidak akan tercapai jika penelti tidak berinteraksi langsung dengan objek yang ditelitinya, berikut beberapa metode yang digunakan: 9
Ibid, 143
28
a) Observasi Partisipan. Metode ini menekankan pada bentuk observasi khusus di mana peneliti tidak hanya menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil peran dalam situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang akan diteliti. Dengan demikian akan terbangun kepercayaan dan kedekatan emosional antara peneliti dan objek yang ditelitinya.10Hal tersebut akan sangat membantu peneliti untuk mendapatkan data-data dan fakta yang tidak hanya dipermukaan saja, bahkan sampai fakta-fakta yang menjadi rahasia dibalik fenomena yang ditelitinya. Tapi dengan catatan ketika terbangunnya ikatan emosional tersebut, peneliti harus tetap bisa objektif dalam laporannya. b) Wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara yang dilakukan ditekankan pada wawancara yang bersifat dialogis baik secara formal maupun informal. Wawancara yang dilakukanpun akan disesuaikan dengan informan, apakah akan dilakukan secara open-ended ataupun terfokus.11Berikut beberapa informan ataupun responden yang menjadi target wawancara dari poenelitian ini, yaitu: 1. Maria Katarina Sumarsih, salah satu keluarga korban pelanggaran HAM, sekaligus pencetus gerakan ini. 2. LSM KontraS dan LSM Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) selaku LSM yang selalu mengawal dan memobilisasi aksi.
10
Yin, P. D. Studi Kasus "Desain dan Metode". Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, hal 114 Ibid, hal 108
11
29
1.6.4. Metode Analisis Data Analisis data merupakan tahapan dalam penelitian yang memiliki fungsi yang sangat penting, untuk mendapatkan keabsahan dari hasil sebuah penelitian. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa deskriptif, dimaksudkan untuk eksplorasi dan klasrifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial yang didapat dari data yang telah dikumpulkan, kemudian disusun dan dijelaskan dengan lebih sistematis.12 Tahapan selanjutnya adalah mereduksi (meringkas data dalam berbagai bentuk) berdasarkan pola-pola atau kriteria tertentu yang memiliki kesamaan. Setelah seluruh data (dari seluruh teknik pengumpulan data yang digunakan) telah direduksi, langkah selanjutnya adalah validasi data-data tersebut dengan metode triangulasi. Secara sederhana metode triangulasi dapat disimpulkan sebagai metode pengumpulan data dengan banyak cara dan sudut pandang. Dengan kata lain peneliti tidak hanya menggunakan satu sumber data, satu metode pengumpulan data. Dengan harapan data yang diperoleh dari banyak sudut pandang tersebut akan diperoleh beragam fenomena yang muncul, dan selanjutnya dapat ditarik kesimpulan yang lebih firm dan bisa diterima kebenarannya.Tahapan terakhir adalah tahapan penarikan kesimpulan yang diperoleh dari analisis data dan validasi data yang dilakukan sebelumnya, sehingga didapat kebenaran dari fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. 1.1.2 Sistematika Penulisan Thesis ini akan mencakup 4 bab pembahasan, BAB I memperkenalkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, literature review, kerangka teoritik, dan metode penelitian. Tujuan bab ini untuk memberi penjelasan kepada pembaca tentang masalah mendasar dari penelitian, termasuk di dalamnya mengapa masalah penelitian ini penting
12
Masri, Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1989, hal 39.
30
untuk dikaji pada masa sekarang. BAB II mengulas Geneologi Aksi Kamisan (Duplikasi Gerakan the Mothers of the Plaza de Mayo di Argentina, Sejarah dan Profil Aksi Kamisan). BAB III secara lebih rinci membedah Dinamika Aksi Kamisan (Mencari Bentuk Ideal Gerakan). BAB IV merupakan jawaban atas rumusan permasalahan dan overview hasil penelitian lapangan.
31