BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup berdampingan dalam kehidupan bermasyarakat. Pergaulan hidup bermasyarakat memerlukan adanya hukum. Manusia dengan hukum itu melakukan hubungan sosial secara teratur dan aman. Setiap anggota masyarakat merasa tenteram dan dapat menjalin ikatan sosial semakin erat. Sebaliknya, tanpa adanya hukum berbagai kepentingan dan hubungan antar anggota masyarakat akan terhambat, bahkan mengarah pada terjadinya kekacauan hubungan, konflik-konflik, dan disintegrasi sosial. Demikian penting keberadaan dan fungsi hukum di dalam masyarakat, sehingga hal ini memunculkan adanya konsep-konsep yang senantiasa beriringan antara sistem hubungan-sosial dan konsep hubungan-hukum, lembaga-sosial dan lembaga-hukum, serta sistem sosial dan sistem hukum. Adanya interelasi yang kuat antara konsep-konsep tentang sistem sosial dan hukum menunjukkan bahwa hukum merupakan hasil dari konstruksi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.1 Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan.2 Oleh karenanya dalam konteks yang demikian hukum dapat dipandang sebagai suatu institusi sosial yang secara riil berfungsi dalam masyarakat sebagai mekanisme pemeliharaan ketertiban, penyelesaian sengketa, serta pengarahan dan pembentukan pola perilaku yang baik. 1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 18. 2 Ibid, hlm 18
Hukum sebagai institusi sosial merupakan sebuah sistem dan proses yang melembaga di dalam masyarakat. Sebagai sistem yang melembaga, keberadaan hukum dalam masyarakat itu merupakan sebuah struktur atau bangunan yang bersifat sistemik yang mencakup berbagai unsur. Unsur-unsur tersebut menurut Lawrence M. Friedman meliputi substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum.3 Hukum sebagai suatu proses, bekerja dan berkembangan di dalam masyarakat secara dinamis yang tidak lepas dari berbagai lingkungan sosialnya. Hukum dalam realitas sosial tidaklah berdiri sendiri, akan tetapi saling berhubungan satu sama lain dengan berbagai unsur dalam masyarakat. Jika hukum diharapkan agar berfungsi riil sebagai mekanisme pemelihara ketertiban masyarakat serta pembentuk perilaku yang baik, maka harapan yang demikian bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan, khususnya bagi masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Pembangunan hukum4 yang sedang berlangsung di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai problem dan hambatan, yang ditunjukkan oleh banyaknya masalah inkonsistensi atau ketidak-efektifan hukum dalam pelaksanaannya. Keadaan ini dapat dilihat pada pembangunan hukum dalam bidang hukum ekonomi dan bisnis5. Hukum merupakan karya manusia yang mengkonstruksi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Proses konstruksi ini tidak lepas dari berbagai peristiwa atau kenyataan sosial
3 Lawrence M. Friedman, The Lagal Systems: A Social Science Perspektif (alih bahasa M.Khozim), Penerbit Nusa Media, Bandung, 2009, hlm. 12-22 4 Pembangunan hukum mengandung proses transformasi yang berupa modifikasi dan revitalisasi nilai-nilai lama yang masih relevan, serta mengembangkan dan melembagakan kembali nilai-nilai yang ada untuk dibuatkan lembaga-lembaga pendukung (Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2006, hlm. 13)
5 Hukum Bisnis (business law) didefinisikan sebagai the body of rules, whether by convention, agreement, or national or international legislation, governing the dealings between persons in commercial matters (Encyclopaedia Britannica, http://www.britannica.com/EBchecked/topic/86266/business-law diakses pada tanggal 29 Juni 2010).
yang saling berhubungan satu sama lain. Oleh karenanya hukum mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat setempat terutama ide mengenai keadilan.6 Seiring dengan perkembangan hukum untuk mengakomodasi kepentingan negara modern, masyarakat juga menginginkan fungsi hukum yang dapat menjamin kepastian dan kegunaan dalam hubungan mereka satu sama lain. Dengan demikian maka nilai dasar dari hukum adalah sebagaimana telah diintrodusir oleh Gustav Radbruch, yaitu keadilan, kegunaan dan kepastian hukum.7 Keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum.8 Hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni mengintegrasikan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan secara seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi haknya. 9 Selain untuk menciptakan keadilan, hukum juga akan terasa fungsinya jika kebaradaannya dirasakan bernilai-guna dalam mendukung kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Nilai dasar ketiga adalah nilai kepastian hukum. Substansi hukum yang bagaimanakah yang secara konkrit dipandang adil dan tidak adil? dan bagaimanakah cara atau prosedur untuk menegakkan nilai keadilan, agar hukum benar-benar terwujud secara nyata dan dapat dirasakan manfaatnya bagi manusia? Hal ini memerlukan bentuk rumusan
6 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 18. 7 Ibid, hal. 19. Barda Nawawi menjelaskan untuk hukum pidana, nilai keadilanlah yang didahulukan (Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 54) 8 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, hlm. 288. 9 Van Apeldoorn, “Inleiding Tot De Studie van Het Nederlandse Recht (terjemahan),” Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hlm. 23.
normatif yang konkrit agar mengandung kepastian, sehingga dapat dijadikan pedoman perilaku yang predicable bagi semua anggota masyarakat. Pencarian untuk menemukan ketiga cita hukum itu terus dilakukan baik di ruangruang peradilan maupun pada interaksi-interaksi sosial-budaya, politik dan ekonomi dalam masyarakat. Meskipun ada pula sebagian orang yang pesimis hal itu akan bisa tercapai, sebab hukum sebaik apapun, sepanjang dilakukan manusia, tetap saja hilang kesempurnaannya dan nilai kemanusiaannya ketika dijalankan dalam praktik.10 Jika secara filsafati hukum dibuat terutama untuk menciptakan dan memberikan keadilan bagi masyarakat, maka realitas hukum yang terjadi di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai problem dan hambatan. Arah pengembangan dan pembangunan hukum di Indonesia masih simpang siur yang mengakibatkan inkonsistensi dan ketidak-efektifan proses pelaksanaan dan penegakan hukum, yang pada gilirannya kurang memberikan dan menegakkan keadilan bagi rakyat dalam ruang Tata Hukum Indonesia. Keadilan secara sosial kiranya masih sulit diwujudkan secara nyata oleh hukum Indonesia, bahkan hukum justru dirasa sering berperan dalam munculnya fenomenafenomena ketidak-adilan, khususnya yang menimpa rakyat kecil dan golongan masyarakat marjinal. Oleh karenanya benar apa yang dikemukakan Ahmad Ramli bahwa salah satu persoalan mendasar dalam membangun hukum nasional yang berkeadilan adalah bagaimana membuat sistem hukum yang kondusif
bagi keberagaman subsistem, keberagaman
substansi, pengembangan bidang-bidang hukum yang dibutuhkan masyarakat, juga kondusif
10 Romli Atmasasmita, Realitas Hukum, Harian Seputar Indonesia, Selasa 23 Juni 2009, hlm. 7
bagi terciptanya kesadaran hukum masyarakat, dan kebebasan untuk melaksanakan hak-hak, dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan aturan yang berlaku.11 Pembangunan hukum harus meminimalisisasi pemberlakuan dan penerapan norma hukum yang justru menimbulkan ketidakadilan, karena penerapan hukum yang demikian akan menimbulkan ketidakadilan baru.12 Di samping itu peraturan hukum yang demikian juga akan menyebabkan ketidak-efektifan bekerjanya hukum dalam masyarakat. Salah satu persoalan hukum yang saat ini sedang berlangsung adalah persoalan di bidang hukum lembaga keuangan, khususnya lembaga keuangan mikro dan Koperasi.13 Masalah hukum ini sebenarnya telah lama berlangsung akan tetapi sampai saat ini belum dapat teratasi secara memadahi. Lembaga Keuangan Mikro (yang selanjutnya disingkat LKM) 14 merupakan lembaga yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat skala mikro berupa pemberian pinjaman atau pembiayaan, serta pengelolaan simpanan. Bentuk kelembagaan LKM sangat beragam, antara lain LKM berbentuk Koperasi15, LKM berbentuk Badan Usaha Milik Daerah/Desa (BUMD)16, serta LKM berbentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang 11 Ahmad M. Ramli, Membangun Hukum Nasional Yang Demokratis Serta Masyarakat Yang Berbudaya Dan Cerdas Hukum, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008. 12
Ibid.
13 Lembaga keuangan adalah “Semua badan yang kegiatannya di bidang keuangan, melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan” (Keputusan Menteri Keuangan RI No.792 Tahun 1990 tentang Lembaga Keuangan) 14
Lembaga Keuangan Mikro memiliki pengertian dan luas cakupan yang berbeda-beda antara versi Bank Indonesia, Departemen Keuangan, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Penelitian ini menggunakan batasan pengertian yang dirumuskan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 yang akan diuraikan lebih rinci pada pembahasan selanjutnya.
15 LKM-Koperasi dapat diartikan sebagai LKM yang berbadan hukum Koperasi, atau Koperasi yang berkegiatan usaha di sektor jasa keuangan. 16
LKM–BUMD meliputi: Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Lembaga Kredit Kecamatan (LKK), Lumbung Pitih Nagari, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Dana Kredit Pedesaan/LDKP (lihat KEP.29/MEN/II/2008 tanggal 11 Juni 200 Tentang “Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Perantara Keuangan Sub Sektor Perantara Keuangan Kecuali Asuransi Dan Dana Pensiun Bidang Jasa Perantara Moneter Lainnya Sub Bidang Lembaga
didirikan atau dimiliki oleh berbagai organisasi sosial, pesantren, yayasan, atau lainnya. 17 Berbagai bentuk kelembagaan LKM tersebut di dalam sistem keuangan Indonesia dikategorikan sebagai lembaga keuangan mikro bukan bank.18 Problem hukum yang dihadapi oleh LKM bertolak dari masalah legalitas untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana simpanan masyarakat (selanjutnya disingkat PDSM).19 Kegiatan PDSM merupakan usaha penggalian dana dari masyarakat yang sangat penting bagi LKM untuk menjalankan
usaha intermediasi keuangan (simpan-pinjam).
Namun, kegiatan PDSM yang dilakukan LKM menghadapi kendala hukum karena adanya ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992
tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Perbankan
yang menentukan bahwa lembaga
keuangan selain bank dilarang melakukan PDSM, kecuali ada Undang-Undang tersendiri
Keuangan Mikro (LKM) Bukan Bank)” 17 LKM-LSM antara lain berupa Credit Union (CU), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitu Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan jasa-jasa keuangan informal lainnya dalam masyarakat.
18 Dalam sistem keuangan Indonesia, lembaga keuangan terdiri dari lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB). Pengertian LKBB memiliki beragam versi, ada yang diartikan dalam artian yang luas dan sempit (Soedijono Reksoprajitno, Manajemen Bank Umum¸ penerbit Gunadarma, Yogyakarta, 2002). Pengertian LKBB dalam artian yang luas mencakup semua jenis lembaga keuangan yang tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai bank (Ibid). Dalam versi BI, LKBB hanya diartikan dalam artian terbatas, yaitu Unit kerja UKM Bank Umum dan lembaga-lembaga keuangan yang diberi ijin oleh Departenen Keuangan (seperti dana pensiun, perasuransian, pegadaian, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan). Lembaga jasa keuangan lain seperti Koperasi Simpan Pinjam, Credit Union, Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dan jasa-jasa keuangan informal dalam masyarakat tidak termasuk dalam pengertian LKBB versi BI ini. Lembaga Keuangan Mikro Bank mencakup BPR, BRI Unit, Unit kerja UKM Bank Umum, sedangkan Lembaga Keuangan Mikro Bukan Bank (LKMBB) meliputi: Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Lembaga Kredit Kecamatan (LKK), Lumbung Pitih Nagari, Koperasi Simpan Pinjam, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Lembaga sejenis lainnya (lihat KEP.29/MEN/II/2008 tanggal 12 Juli 2008 Tentang “Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Perantara Keuangan Sub Sektor Perantara Keuangan Kecuali Asuransi Dan Dana Pensiun Bidang Jasa Perantara Moneter Lainnya Sub Bidang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Bukan Bank)” 19
Muhammad Muhtarom, Problema Yuridis Lembaga Keuangan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam Perspektif Sistem Hukum Hukum Lembaga Keuangan di Indonesia, Thesis, Program Magister Ilmu Hukum (S2) Pascasarjana Universitas Negeri Sebelas Maret, 2004, hlm 12.
yang mengaturnya.20 Padahal LKM belum memiliki Undang-Undang khusus yang mengaturnya untuk mengecualikan larangan tersebut. Sedangkan LKM Koperasi menurut peraturan perundangan perkoperasian hanya dapat menghimpun dana simpanan terbatas dari anggotanya.21 Sehingga LKM Koperasi secara hukum juga tidak dibenarkan untuk melakukan PDSM kepada masyarakat non-anggota koperasi. Ketentuan hukum perbankan yang secara tegas melarang PDSM selain bank tersebut merupakan kendala hukum bagi LKM-Koperasi dan LKM lainnya untuk melakukan penggalian dana dari masyarakat, karena syaratnya harus ada Undang-Undang tersendiri yang mengaturnya. Pengaturan secara ketat terhadap kegiatan PDSM itu menurut penjelasan dalam Undang-Undang Perbankan adalah didasarkan pada alasan bahwa kegiatan PDSM ialah kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Sehubungan dengan itu ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai Bank Perkreditan Rakyat22. Alasan Undang-Undang perbankan melarang PDSM bagi selain bank adalah bertujuan untuk menjaga keselamatan dana simpanan
20 Selengkapnya Pasal 16 ayat (1) tersebut berbunyi: “ Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.”
21
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang menyatakan: “Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk: a. Anggota Koperasi yang bersangkutan b. Koperasi lain dan/atau anggotanya”
22
Penjelasan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Perbankan
masyarakat23, sehingga kegiatan PDSM perlu adanya pengawasan. Pembuat UndangUndang berlaku hati-hati karena jika kegiatan PDSM itu tanpa disertai pengaturan dan pengawasan dikhawatirkan simpanan masyarakat akan terancam keselamatannya. Pada kenyataannya di dalam praktik di tengah masyarakat banyak LKM melakukan kegiatan PDSM di luar aturan hukum tersebut. Realitas tentang LKM yang melakukan PDSM itu telah banyak disampaikan oleh berbagai peneliti dan berbagai media. 24 Kegiatan-kegiatan PDSM yang dilakukan baik oleh LKM-Koperasi maupun LKM nonkoperasi dikategorikan sebagai kegiatan informal atau ilegal 25, namun melalui hal itu tidak sedikit LKM yang berhasil tumbuh besar, bahkan sebagian telah mencapai omzet milyaran rupiah.26 Keberadaan LKM yang berskala besar itu menjadi setara atau mirip dengan bank mikro (BPR), tetapi secara formal bukanlah berbentuk bank. Permasalahan itu sebenarnya telah disadari oleh instansi Pemerintah terkait, yaitu Kementerian Perkoperasian dan UKM, Departemen Keuangan, dan Bank Indonesia, tetapi mereka belum memiliki kesamaan
23
Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada LKM dalam bentuk tabungan dan/atau deposito berdasarkan perjanjian penyimpanan dana (Ibid, Pasal 1 ayat (2).
24 Di antaranya: Pertama, pemberitaan dari media harian Surabaya Post tentang banyaknya koperasi yang beroperasi melenceng dari Anggaran Dasar Rumah Tangga (ADRT). Koperasi-koperasi ini melakukan penghimpunan dana simpanan masyarakat layaknya bank yang disinyalir antara lain akibat kurangnya pengawasan terhadap koperasi (Surabayapost, Jumat, 27 Februari 2009). Kedua, pernyataan HR Soepriyono salah seorang Ketua Koperasi Simpan Pinjam Kodanua Jakarta yang mengakui banyak KSP besar yang menerima dana dari masyarakat dan menyatakan keberatan jika koperasi dilarang atau diminta menghentikan penghimpunan dana simpanan masyarakat (Antara-News, http://www.kapanlagi.com/h/ 0000110918.html diakses tanggal 09 April 2006). Ketiga, laporan dari wartawan Man Suparman mengungkapkan maraknya kegiatan simpan pinjam yang berbadan hukum koperasi yang berlaku sebagai”bank gelap”, menerima dana simpanan masyarakat dan menyalurkan dalam bentuk kredit harian (Harian Umum Pelita, Selasa 20 Oktober, 2009, Bank Gelap di Cianjur) 25 Lembaga Keuangan Mikro adalah “lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan” (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro). 26
Salah satu contohnya adalah omzet yang telah dicapai oleh BMT Amanah Ummah Sukoharjo sampai tahun 2012 adalah sebesar Rp. 28,306,913,292,79 (Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) “BMT Amanah Ummah” Sukoharjo pada Rapat Anggota Tahunan (RAT) Tahun Buku 2012)
pandangan dan kesatuan langkah untuk mengatasinya. Penyelesaian tentang legalitas LKM menjadi alot dan berlarut-larut. Pada satu sisi Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia mempertahankan secara kuat ketentuan Pasal 16 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sehingga hanya bank yang berhak PDSM, namun di sisi lain Pemerintah melalui Kementerian Perkoperasian dan UKM berupaya keras untuk memperjuangkan lembaga mikro, sehingga demi pertumbuhan LKM Pemerintah bersikap lunak terhadap LKM yang melakukan PDSM. Perbedaan cara pengaturan dan pendekatan antara kedua institusi Pemerintahan adalah bersifat kontradiktif atau saling berlawanan sehingga menghambat proses legalisasi LKM. Pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan PDSM demikian penting sehingga lembaga keuangan selain bank dilarang melakukan PDSM sampai adanya Undang-Undang tersendiri. Sedangkan proses pembentukan Undang-Undang khusus yang dimaksud berjalan demikian alot dan berlarut. Barulah kemudian pada tahun 2013 Undang-Undang khusus itu berhasil diwujudkan, yaitu dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.27 Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro ini adalah sebuah langkah maju bagi keberadaan LKM dan diharapkan akan dapat mengatasi masalah ketidak-pastian hukum bagi LKM,28 terutama memberikan legalitas dalam hal menghimpun dana simpanan masyarakat (PDSM). Namun, ternyata lahirnya Undang-Undang ini belum dapat menyelesaikan sepenuhnya problem hukum yang dihadapi 27
Undang-Undang ini diajukan atas inisiatif DPR, disahkan pada tanggal 8 Januari 2013, namun baru akan berlaku efektif setelah dua tahun dari tanggal pengesahannya yaitu tahun 2015
28 Pada bagian konsideran “Menimbang” huruf (b) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 Tengan Lembaga Keuangan Mikro dinyatakan “bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan layanan keuangan terhadap masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, kegiatan layanan jasa keuangan mikro dan kelembagaannya perlu diatur secara lebih komprehensif sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
oleh LKM. Persoalannya ialah terletak pada masalah pengaturan LKM-Koperasi di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013. Apakah secara yuridis LKM-Koperasi termasuk sebagai LKM yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro? Jawaban atas persoalan ini akan menentukan bagi keberadaan dan aturan hukum LKM-Koperasi selanjutnya. Apabila LKM-Koperasi termasuk bagian dari yang diatur oleh Undang-Undang ini maka berarti LKM-koperasi diperlakukan sama dengan LKM lainnya dalam hal hak dan kewenangan untuk melakukan PDSM kepada masyarakat selain anggota koperasi. Akan tetapi apabila tidak, maka keberadaan LKMKoperasi serta pembinaan dan pengaturannya tetap berada di bawah peraturan perundangan perkoperasian yang sudah ada, yang berarti belum mendapat legalisasi kegiatan PDSM di luar anggota Koperasi. Jadi dengan demikian LKM-Koperasi juga tidak tunduk dan terikat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 definisi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah sebagai berikut:29 “Lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan” Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa LKM meliputi semua kegiatan usaha keuangan simpan-pinjam yang dilakukan oleh masyarakat. Ini berarti mencakup di dalamnya Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS), serta lembaga-lemabaga usaha simpan-pinjam lainnya. 29 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
Selain mengacu pada definisi LKM tersebut, terdapat pula ketentuan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 yang menentukan bahwa Koperasi merupakan salah satu badan hukum bagi LKM, di samping badan hukum Perseroan Terbatas (PT). 30 Badan hukum itu merupakan syarat untuk pendirian LKM dan
pengajuan ijin usaha LKM.
Berdasarkan pada definisi LKM dan ketentuan penggunaan badan hukum LKM tersebut maka dapat disimpulkan bahwa secara yuridis LKM-Koperasi termasuk LKM yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013. Apabila LKM-Koperasi termasuk yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013, maka dengan demikian LKM-Koperasi telah mendapat payung hukum atau legalitas untuk melakukan PDSM kepada non-anggota koperasi serta tidak lagi disebut melanggar Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Perbankan. Pemberian legalitas hukum bagi semua LKM oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 itu diikuti dengan pengenaan pengaturan yang ketat, yaitu dengan menggunakan model pengaturan yang menerapkan asas kehati-hatian perbankan (prudential banking principles). Undang-Undang ini menggunakan jalur pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang diberlakukan kepada semua LKM. Cara pengaturannya bersifat ketat yang diiringi ancaman sanksi, baik administratif maupun pidana.
30 Pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dinyatakan sebagai berikut: “(1) Bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a adalah: a.Koperasi; atau b.Perseroan Terbatas. (2) Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh persen) dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan.”
Cara pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 itu pada kenyataannya sangat bertolak-belakang dengan model pengaturan menurut peraturan perundangan perkoperasian yang berprinsip memberikan otonomi, kemandirian, dan kelonggaran bagi LKM-Koperasi. Hal itu telah menimbulkan persoalan hukum baru bagi LKM-Koperasi. LKM-Koperasi atau Koperasi yang khusus menjalankan usaha keuangan telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.31 Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan kegiatan Simpan Pinjam oelh Koperasi. Sedangkan Koperasi/ Unit Jasa Keuangan Syariah diatur dengan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tanggal 2 September 2004.32 Jika Koperasi termasuk LKM yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013, maka bagimanakah kedudukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang pada saat ini masih berlaku sebagai landasan hukum Koperasi? Apabila kedua Undang-Undang itu masih berlaku dan keduanya sama-sama mengatur LKMKoperasi, maka dengan demikian telah terjadi adanya pengaturan ganda atau dualisme pengaturan hukum bagi LKM-Koperasi. Ini berarti bahwa LKM Koperasi harus tunduk dan terikat pada dua macam peraturan perundang-undangan yang masih sama-sama berlaku,
31 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 ini sebenarnya sudah dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, tetapi Undang-Undang perubahan itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan Keputusan MK Nomor 28/PUU-XI/2013 tanggal 28 Mei 2014. Selanjutnya MK menetapkan bahwa sebelum dikeluarkan Undang-Undang yang baru untuk sementara yang berlaku adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
32 Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah tanggal 2 Agustus 1994.
yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Dualisme pengaturan hukum bagi LKM-Koperasi itu menjadi permasalahan hukum baru sebab pada kedua Undang-Undang itu terdapat adanya tumpang-tindih pengaturan dan perbedaan-perbedaan aturan bagi LKM-Koperasi. Indikasi adanya tumpang-tindih pengaturan dan pengawasan LKM-Koperasi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan yang terdapat pada kedua macam peraturan perundangan. Menurut Penjelasan Umum UndangUndang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, pembinaan terhadap Koperasi dilaksanakan oleh Kementerian Koperasi, bunyi Penjelasan Umum tersebut sebagai berikut: “Undang-undang ini menegaskan bahwa pemberian status badan hukum Koperasi, pengesahan perubahan Anggaran Dasar, dan pembinaan Koperasi merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada Menteri yang membidangi Koperasi. Namun demikian hal ini tidak berarti bahwa Pemerintah mencampuri urusan internal organisasi Koperasi dan tetap memperhatikan prinsip kemandirian Koperasi” Sedangkan menurut Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, kegiatan pembinaan, pengaturan dan pengawasan terhadap LKM (termasuk Koperasi) adalah di bawah wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Adapun bunyi Pasal 28 ayat (1) tersebut adalah sebagai berikut: “Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.” Berdasarkan kedua aturan tersebut timbul pertanyaan siapakah yang berwenang untuk melakukan pengaturan dan pembinaan terhadap LKM Koperasi? Apakah kementerian Koperasi ataukah Otoritas Jasa keuangan?
Dualisme peraturan perundangan yang berlaku bagi LKM Koperasi juga menimbulkan pertentangan pengaturan. Menurut peraturan perundangan perkoperasian, LKM Koperasi menjalankan usaha dengan prinsip kemandirian. 33 Pengertian kemandirian Koperasi yaitu dapat berdiri sendiri dan tidak tergantung pada pihak lain, percaya pada kemampuan sendiri, otonom, swadaya, mengelola sendiri, serta berani mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri.34 Berdasarkan prinsip koperasi itu Pemerintah bertugas memperkuat dan ikut menjaga terpeliharanya prinsip kemandirian Koperasi. Hal ini diperjelas oleh Undang-Undang sebagai berikut:35 “Dengan ketentuan ini, Pemerintah memiliki landasan yang jelas dan kuat untuk melaksanakan peranannya dalam menetapkan kebijaksanaan pembinaan yang diperlukan guna mendorong pertumbuhan, perkembangan, dan pemasyarakatan Koperasi. Sesuai dengan prinsip kemandirian, pembinaan tersebut dilaksanakan tanpa mencampuri urusan internal organisasi Koperasi.” Prinsip kemandirian Koperasi itu telah memberikan otonomi kepada Koperasi, sehingga kegiatan pengaturan dan pengawasan di dalam LKM-Koperasi merupakan urusan internal organisasi yang diatur dan diawasi sendiri melalui organ Pengurus dan Pengawas Koperasi masing-masing. Sedangkan cara pengaturan, pengawasan dan pembinaan LKM menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, semua LKM diperlakukan secara sama, tanpa membedakan skala usaha kecil dan besar. Semua LKM diatur dan diawasi oleh OJK secara prudent demi menjaga prinsip kehati-hatian 33 Koperasi berdiri di atas 5 Prinsip Koperasi, yaitu: (1) keanggotaan bersifat suka rela dan terbuka; (2) pengelolaan dilaksanakan secara demokratis; (3) pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota; (4) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; dan (5) kemandirian (Pasal 5 yaiat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian) 34 Penjelasan Pasal 5 huruf (e) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian 35 Ibid, Penjelasan Pasal 60.
Apabila LKM Koperasi diatur oleh dua macam Undang-Undang yang tumpangtindih dan saling bertentangan maka aturan hukum mana yang harus dipatuhi. Padahal persoalan itu berkaitan dengan pengaturan mengenai: syarat pendirian, ijin usaha, syarat pemodalan, ruang lingkup kegiatan usaha, kegiatan pelaporan, pengawasan, dan perihal sanksi. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang diharapkan akan dapat memberikan kepastian hukum bagi LKM ternyata masih menyisakan persoalan ketidak-pastian hokum, khususnya bagi LKM-Koperasi.36 Masalah itu sampai sekarang belum ada pengaturan lebih lanjut sebagai solusinya. Ini berarti upaya pemberian legalitas hukum bagi LKM oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 belum menuntaskan problem ketidakpastian hukum bahkan memunculkan problem ketidakharmonisan hukum bagi LKM-Koperasi. Jika Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro ini bertujuan hendak mengatur secara komprehensif, memberikan kepastian hukum, dan memenuhi kebutuhan layanan jasa keuangan mikro, maka substansi hukum yang terkandung dalam
Undang-Undang itu masih bersifat kontradiktif dengan peraturan
perundangan lainnya serta belum sesuai dengan kondisi riil LKM di masyarakat. Menurut pengalaman riil sebagaimana hasil penelitian dari Sumantoro Martowijoyo 37, penggunaan kerangka hukum yang prudential seperti pada Undang-Undang LKM tersebut dinilai bukanlah suatu cara pengaturan yang efektif dalam memberdayakan LKM dan tidak sesuai 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro lebih sesuai bagi LKM nonkoperasi seperti LKM yang berbentuk BUMD. Sebab lembaga mikro BUMD akan lebih mudah untuk menyesuaikan persyaratan menjadi berbadan hukum Perseroan Terbatas dan selanjutnya akan dapat secara legal melakukan PDSM.
37 Sumantoro Martowijoyo, Dampak Pemberlakuan Sistem Bank Perkreditan Rakyat Terhadap Kinerja Lembaga Pedesaan. Disertasi. S3 Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2001.
dengan karakteristik LKM yang mandiri dan otonom, 38 apalagi bagi LKM yang berskala kecil atau masih tahap perintisan. Keadaan LKM seperti itu pada kenyataannya lebih cocok dengan hukum yang bersifat mendidik, membina, dan melindungi seperti model pengaturan dalam perkoperasian. Di sinilah letak permasalah hukum yang mengatur tentang LKM Koperasi, sehingga diperlukan penelitian lebih mendalam untuk mencari akar persoalan ketidak-harmonisan dan solusi harmonisasinya.39 Terjadinya kesalahan dalam pengaturan akan memicu terjadinya disharmoni dan konflik-konflik hukum di tengah masyarakat, bahkan peraturan perundangan itu berpotensi untuk tidak dapat berlaku efektif karena tidak dipatuhi oleh warga masyarakat. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Perkoperasian dan Lembaga Keuangan Mikro “
B. PERUMUSAN MASALAH 38
Karakteristik dasar dari LKM (micro finance/ MFi) di berbagai negara pada umumnya dipandang sebagai lembaga keuangan informal dan kerangka hukum yang dipergunakan untuk mengaturnya berbeda-beda di tiaptiap negara (Patrick Meagher, Microfinance Regulation in Developing Countries: A Comparative Review of Current Practice , IRIS Center, University of Maryland. 2002, hlm. 16)
39 Harmonisasi (harmonize, harmony) di dalam Kamus Black’s Law Dictionary diartikan sebagai in agreement, conformity, or accordance with (Henry Campbell Black. 1990. Black’s Law Dictionary, 6th Ed., St. Paul-MinnUSA: West Publishing Co., hlm. 646). Menurut BPHN, harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis (Dalam Moh. Hasan Wargakusumah dkk. Perumusan Harmonisasi Hukum tentang metodologi harmonisasi hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 1996). Istilah harmonisasi hukum juga telah dipergunakan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Bertolak dari latar belakang permasalahan tersebut di muka, maka permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengapa pengaturan mengenai LKM Koperasi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro tidak harmonis dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian? 2. Bagaimana konsep untuk melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Lembaga Keuangan Mikro dan Perkoperasian tersebut? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan kegiatan penelitian ini ialah untuk: 1. Menganalisis akar problem ketidak-harmonisan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur LKM-Koperasi akibat adanya pengaturan ganda, tumpang-tindih, dan ketidakselarasan pengaturan hukum, agar ditemukan akar permasalahan dari problem tersebut. 2. Mengkonseptualisasi langkah-langkah harmonisasi terhadap hukum yang mengatur tentang LKM-Koperasi, agar terwujud peraturan perundang-undangan LKM-Koperasi yang harmonis yang berkeadilan dan berkepastain hukum.
D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat: secara teoritik, untuk mengembangkan konsep hukum yang responsif terhadap nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan hokum bagi masyarakat. Secara praktis, dengan memperoleh deskripsi dan penjelasan yang komprehensif tentang problem disharmoni pengaturan hukum pada LKM Koperasi dari adanya tumpang-tindih, inkonsistensi, dan kontradiksi-kontradisksi norma
hukum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis tentang upaya harmonisasi dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang LKM-Koperasi secara harmonis, berkeadilan dan berkepastian hukum.