BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Perceraian merupakan suatu perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan
berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama, karena tidak ada lagi ikatan yang resmi. Pasangan yang telah bercerai tetapi belum memiliki anak, perceraian tidaklah menimbulkan dampak traumatis psikologis bagi anak-anak. Sebaliknya perceraian pada pasangan yang telah memiliki keturunan, kemungkinan perceraian menimbulkan masalah psiko-emosional bagi anak-anak (Amato, 2000; Olson & DeFrain, 2003). Perceraian merupakan suatu cara yang ditempuh oleh pasangan suami-istri ketika ada permasalahan dalam hubungan pernikahan yang tidak dapat diselesaikan dengan baik. Perceraian tentu bukan rencana akhir dari suatu pernikahan. Setiap pasangan yang menikah menginginkan pernikahan yang bisa berlangsung langgeng tanpa memikirkan akan adanya kegagalan dalam pernikahan yang berujung pada perceraian. Menurut Rasjidi (1991), dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 khususnya ayat (2) dijelaskan bahwa penyebab perceraian terjadi karena salah satu pihak berbuat zina, menjadi pemabuk, dan penjudi; salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain diluar kemauannya, salah satu pihak melakukan kekejaman atas penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam berumahtangga. Adapun faktor lain yang
1 Universitas Kristen Maranatha
2 memengaruhi pertikaian dalam rumah tangga yaitu, persoalan ekonomi, keinginan memeroleh keturunan dan persoalan prinsip hidup yang berbeda. Berdasarkan data statistik pada bulan Mei 2014 dari Pengadilan Tinggi Agama Bandung, diperoleh data bahwa jumlah perceraian yang terjadi di kota Bandung sebanyak 434 kasus. Penyebab perceraian yang banyak terjadi adalah tidak adanya keharmonisan, tercatat 166 kasus perceraian dengan alasan tersebut. Penyebab lain yang banyak terjadi yaitu masalah ekonomi, tercatat 118 kasus perceraian yang terjadi karena hal tersebut. Penyebab lain dari perceraian yang tercatat adalah adanya gangguan pihak ketiga, tidak ada tanggungjawab, kekejaman jasmani dan ada pasangan yang dihukum. (http://www.pta-bandung.go.id/faktorpenyebab-perceraian-html, diakses Juli 2014) Terdapat artikel yang membahas mengenai tingginya angka perceraian yang terjadi di Jawa Barat. Angka perceraian di Jawa Barat sejak tahun 2013 hingga Mei 2014 terhitung tinggi dibandingkan jumlah pernikahan. Data ini diketahui berdasarkan data yang dikumpulkan dari Pengadilan Agama se-Jabar.Kepala Subbag Informasi dan Humas Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jabar, Abdurrahim mengatakan angka perceraian di Jawa Barat hampir mencapai 10% dari jumlah pernikahan yang terjadi. Dalam kasus perceraian, menurut Abdurrahim lebih banyak perempuan yang menggugat cerai suami dibandingkan permohonan talak yang dilayangkan suami. Perbandingannya adalah 60% dan 40%. (http://www.pikiranrakyat.com/node/286988, diakses Juli 2014) Tidak peduli apakah sebelumnya keduanya telah menjalin hubungan percintaan cukup lama atau tidak, romantis atau tidak, dan menikah secara megah atau tidak, perceraian dianggap menjadi jalan terbaik bagi pasangan tertentu yang tidak mampu menghadapi masalah konflik rumah tangga. Ketika suatu pernikahan berakhir dengan perceraian, banyak orang bersikap keras pada diri mereka sendiri: "Itu salahku - aku seharusnya tidak bertindak begitu"; "Saya tidak cukup baik"; "Saya tidak cukup menarik." Menyalahkan diri seperti ini
Universitas Kristen Maranatha
3 adalah persepsi pribadi, dan diketahui juga bahwa semakin banyak seseorang fokus pada pemikirannya tentang penyesalan dan kerinduan, semakin buruk dampaknya terhadap diri yang bersangkutan (Emery, 1994; Hetherington & Kelly, 2002; Sbarra & Emery, 2008). Ikatan emosional antara pria dan wanita terbentuk ketika mereka mulai jatuh cinta dan kemudian berkembang hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Ikatan emosional yang terbentuk akan memberikan rasa aman, rasa nyaman, rasa sayang, dan kebahagiaan. Selain itu dengan adanya ikatan emosional yang terbentuk diantara pasangan akan membuat masingmasing individu yang berpasangan merasa diperhatikan dan didukung. Ketika perceraian terjadi, ikatan emosional yang sebelumnya sudah terjalin akan berakhir sehingga individu yang semula berpasangan akan melakukan proses penyesuaian diri dengan keadaan tanpa kehadiran pasangan. Peneliti melakukan survey awal terhadap 10 orang responden untuk mengetahui fenomena tentang kehidupan pasca perceraian yang terjadi di kehidupan nyata. Responden terdiri atas 5 orang wanita dan 5 orang pria yang berstatus cerai. Survey awal dilakukan oleh peneliti dengan mewawancarai responden. Hasilnya empat diantara wanita bercerai mengatakan perceraian bukanlah hal yang mudah untuk diterima. Responden merasa telah gagal menjalankan perannya sebagai istri yang baik, sampai dengan saat ini masih suka berpikir mengapa perceraian itu menimpa dirinya dan apa yang salah pada dirinya sehingga harus bercerai. Menurutnya, dirinya butuh waktu untuk menerima perubahan status yang terjadi padanya. Responden merasa bersalah kepada anak, karena anak harus melihat orangtuanya terpisah. Anaknya sering bertanya mengenai keberadaan ayahnya yang kini tinggal terpisah dan tidak bertemu setiap hari. Responden mengatakan dirinya sekarang harus mencari nafkah untuk menghidupi diri dan anaknya. Kenyataan ini tidak mudah dijalani mengingat responden sebelumnya adalah ibu rumah tangga yang mengandalkan suami sebagai pencari nafkah. Adapun satu orang responden mengatakan dirinya bisa menerima
Universitas Kristen Maranatha
4 perceraian yang terjadi pada dirinya. Tidak banyak perubahan yang terjadi karena dirinya sudah bekerja sejak dahulu sehingga tidak mengalami kesulitan dalam hal finansial ketika perceraian terjadi. Menurutnya masa lalu bukanlah hal yang perlu disesali terus. Dari pihak lain, hasil survei awal terhadap lima orang pria bercerai, diperoleh keterangan bahwa kelimanya merasa telah gagal menjadi kepala keluarga yang baik karena tidak bisa memertahankan rumah tangganya. Dua dari lima orang responden menyatakan masih selalu memikirkan kesalahan yang dibuatnya. Responden menggangap semua kesalahan ada pada dirinya sehingga perceraian bisa terjadi. Sedangkan tiga dari lima orang responden menyatakan bahwa merasa tidak ada gunanya terus berlarut-larut dalam kesedihan karena tidak akan mengubah keadaan, sehingga lebih memikirkan bagaimana menjalani hidup kedepannya. Kelima responden merasa sedih karena tidak bisa bertemu dengan anaknya setiap hari, dan berupaya sebisa mungkin menjaga hubungan baik dengan mantan istri demi anak-anak. Berdasarkan hasil survey awal yang telah dilakukan, terlihat bahwa perceraian bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh pasangan yang menikah. Kegagalan dalam pernikahan ini bukan suatu hal yang mudah untuk dilewati namun harus dihadapi oleh individu yang bercerai. Terdapat empat orang (40%) wanita bercerai dan dua orang (20%) pria bercerai yang masih menyalahkan diri dan terus-menerus ingat dengan kejadian yang dialaminya. Terdapat satu orang (20%) wanita bercerai dan tiga orang (30%) pria bercerai yang bisa bangkit dari keadaan untuk melanjutkan hidupnya pasca perceraian. Kesejahteraan anak menjadi fokus utama bagi pria maupun wanita setelah bercerai. Wanita cenderung lebih sering mengkritik diri sendiri dan menyalahkan diri atas apa yang terjadi terhadap dirinya. Wanita lebih sering mengulang-ulang pemikiran mengenai kekurangan yang dimiliki, sehingga cenderung selalu berpikir negatif terhadap dirinya sendiri ketika mengalami suatu kegagalan atau masalah. Laki-laki menggunakan kemarahannya
Universitas Kristen Maranatha
5 sebagai cara untuk menghindari rasa tanggung jawab ketika mereka dihadapkan pada kesulitan atau ketidakmampuannya. Kemarahan dengan menyalahkan orang lain membuat mereka merasa tangguh dan menutupi semua perasaannya yang lemah akibat masalah yang dialaminya. Sehingga perempuan menderita depresi dan cemas dua kali lebih sering dibandingkan pria (Neff, 2011). Penelitian juga menunjukkan bahwa perempuan cenderung memiliki self-compassion lebih rendah dibandingkan pria, karena perempuan memikirkan kejadian negatif di masa lalu (Neff, 2011). Dalam menghadapi kondisi seperti di atas, seseorang yang bercerai membutuhkan sesuatu untuk bertahan dan memulihkan keadaan psikologis pasca perceraian. Sesuatu yang dibutuhkan itu adalah self-compassion, yaitu pemberian pemahaman dan kebaikan kepada diri sendiri tatkala mengalami kegagalan ataupun membuat kesalahan, tanpa menghakimi diri sendiri dengan keras dan tidak mengeritik diri sendiri dengan berlebihan atas ketidaksempurnaan, kelemahan, dan kegagalan yang dialami diri sendiri (Neff, 2003). Selfcompassion akan membuat pria dan wanita bercerai melihat perceraian yang terjadi pada dirinya secara apa adanya, menyadari bahwa kegagalan bisa dialami oleh siapa aja bukan hanya dirinya sehingga tidak akan mengeritik dan menyalahkan diri terus-menerus. Self-compassion akan membawa pengaruh positif dalam kehidupan seseorang, misalnya meningkatkan indeks kepuasan hidup, mengasah kecerdasan emosional, meningkatkan kemampuan untuk bersikap bijaksana, meningkatkan kebahagiaan, rasa optimisme, inisiatif pribadi, menurunkan tingkat depresi, menurunkan rasa cemas dan takut akan kegagalan. Di dalamnya terdapat tiga komponen yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya, yaitu self-kindness atau sikap berbaik-hati terhadap diri sendiri, common humanity atau mengembangkan pandangan bahwa hadirnya masalah dalam kehidupan merupakan kejadian yang wajar dan manusiawi, dan mindfulness atau kesadaran seseorang
Universitas Kristen Maranatha
6 tentang seberapa mampu dirinya menyeimbangkan emosi-emosi yang berkecamuk di dalam dirinya akibat suatu masalah yang menimpanya (Neff, 2003). Akan halnya dengan perceraian yang dialami oleh pria dan wanita, sekaligus menjadi topik utama dalam penelitian ini, peneliti akan menelaahnya melalui self-compassion dengan ketiga komponen yang menyatu di dalamnya. Peristiwa perceraian, sekalipun tidak diharapkan, namun dapat ditafsirkan sebagai kejadian tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan yang harus dihadapi karena masa depan yang masih membentang tetap harus dijalani secara tidak sia-sia. Melalui komponen self-kindness seorang pria dan wanita pasca perceraian ingin fokus pada diri dan anak-anak (bila ada) yang harus dibesarkannya, membangun pikiran positif bagi diri sendiri dan masa depan yang harus dibangunnya, memerlakukan diri sendiri dengan perasaan baik dan lebih baik dibandingkan sebelumnya tanpa perlu mengembangkan kritik yang berlebihan terhadap diri sendiri. Melalui komponen common humanity seorang pria dan wanita bercerai akan memersepsi perceraian sebagai kejadian yang bisa dialami oleh siapapun sehingga tidak ada alasan untuk selalu menyalahkan, menghakimi, atau menyela diri sendiri atas kejadian ini. Mengembangkan keinginan kuat untuk menatap hari depan dengan optimistis, berupaya keras untuk menata kehidupan yang lebih baik karena pada dasarnya perceraian bukanlah akhir dari segalanya. Peluang-peluang untuk menjadikan masa depan yang lebih baik tetap terbuka lebar karena banyak bukti yang dapat disaksikan dari pengalaman hidup orang lain yang mengalami peristiwa sama dengan dirinya. Melalui
komponen
mindfulness
seorang
pria
dan
wanita
bercerai
dapat
mengembangkan kesadaran bahwa pada dasarnya hidup harus berjalan terus sehingga emosiemosi negatif harus segera disisihkan dari pikiran dan perasaan karena akan menghambat langkah untuk menata kehidupan yang lebih baik di masa-masa mendatang. Mengenyahkan
Universitas Kristen Maranatha
7 emosi negatif ini harus dilakukan agar tidak memerangkap pria dan wanita bercerai dalam tekanan yang tidak ada ujungnya. Berdasarkan uraian di atas, melalui penelitian ini peneliti tertarik untuk mengetahui secara empirik gambaran perbedaan self-compassion antara pria dan wanita bercerai. Untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang perbedaan self-compassion antara pria dan wanita bercerai, peneliti akan menelitinya dengan menggunakan metode riset diferensial. Metode ini memersyaratkan sekurang-kurangnya ada dua kelompok yang diteliti dengan variabel yang sama, kemudian hasilnya akan dibandingkan melalui uji-beda.
1.2
Identifikasi Masalah Melalui penelitian ini ingin diketahui perbedaan self-compassion antara pria dan
wanita bercerai di Kota Bandung.
1.3
Maksud dan Tujuan
1.3.1 Maksud Penelitian Memeroleh perbedaan self-compassion pada pria dan wanita bercerai di Kota Bandung.
1.3.2 Tujuan Penelitian Memeroleh perbedaan self-compassion pada pria dan wanita bercerai di Kota Bandung melalui komponen-komponen yang mendukungnya yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness.
Universitas Kristen Maranatha
8 1.4
Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoretis a. Memberikan informasi atau sumbangan teoretis bagi bidang ilmu Positive Psychology, khususnya mengenai perbedaan self-compassion antara pria dan wanita bercerai. b. Memberikan masukan informasi bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai perbedaan self-compassion antara pria dan wanita bercerai.
1.4.2 Kegunaan Praktis a. Memberikan informasi mengenai perbedaan self-compassion antara pria dan wanita bercerai kepada konselor pernikahan agar dapat digunakan dalam menjalankan profesinya.
1.5
Kerangka Pemikiran Ketika perceraian terjadi, baik pria maupun wanita wanita harus menerima kegagalan
pernikahan yang terjadi terhadap dirinya. Tidak mudah untuk menerima perceraian yang terjadi, karena tidak ada yang menginginkan suatu perceraian terjadi dalam kehidupan rumah tangga seseorang. Pria dan wanita yang bercerai perlu menerima keadaan dan bersikap baik terhadap dirinya agar bisa berpikir positif dan dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Wanita cenderung memikirkan kejadian negatif di masa lalu sehingga sering menyalahkan dan mengeritik diri dibandingkan dengan pria ketika menghadapi masa sulit. Pria tidak terlalu memikirkan kejadian masa lalu. Pria menggunakan kemarahan sebagai cara
Universitas Kristen Maranatha
9 untuk menghindari rasa tanggungjawab. Kemarahan dengan menyalahkan orang lain membuatnya merasa tangguh dan dapat menutupi perasaannya (Neff, 2011). Dalam menghadapi kondisi seperti itu, pria dan wanita bercerai perlu mengembangkan self-compassion, yaitu pemberian pemahaman dan kebaikan kepada diri sendiri ketika mengalami kegagalan ataupun membuat kesalahan, namun tidak menghakimi diri sendiri dengan keras dan tidak mengeritik diri sendiri dengan berlebihan atas ketidaksempurnaan, kelemahan, dan kegagalan yang dialami diri sendiri (Neff, 2003). Self-compassion terdiri atas tiga komponen yaitu self-kindness, common humanity dan mindfulness. Self-kindness adalah kemampuan individu untuk memahami dan menerima diri apa adanya serta memberikan kelembutan, bukan menyakiti dan menghakimi diri sendiri. Dalam hal ini, wanita bercerai mampu mengakui kekurangan dan masalah yang dihadapi tanpa menilai diri secara negatif. Sehingga wanita bercerai dapat melanjutkan hidupnya dengan baik tanpa ada lagi suami disisinya. Dengan adanya self-kindness, wanita bercerai mengerti bahwa pernikahan yang diharapkan sebelumnya tidak bisa didapatkan. Wanita memiliki kecenderungan untuk mengeritik dan menyalahkan diri ketika mengalami masa sulit, hal itu akan menimbulkan self-judgement. Self-kindness akan membuat wanita bercerai berhenti menyalahkan diri terus-menerus atas perceraian yang dialaminya. Maka wanita bercerai mampu menenangkan pikiran ketika menjalani kehidupan setelah bercerai. Perceraian juga bukanlah hal yang mudah diterima pada pria. Walaupun pria tidak terlalu memikirkan masalah yang dihadapi bukan berarti tidak peduli. Pria menyadari kesalahan dan kekurangan dalam diri, namun pria terkadang menggunakan amarah untuk menutupinya. Dengan self-kindness pria menyadari kesalahan dalam diri dan tidak menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahannya. Self-kindness dalam diri pria bercerai akan membuat dirinya menerima perceraian dengan baik, menerima kekurangan dan kesalahan diri sehingga tidak muncul stress, frustasi dan self-criticism.
Universitas Kristen Maranatha
10 Common humanity adalah kesadaran bahwa individu memandang kesulitan, kegagalan, dan tantangan merupakan bagian dari hidup manusia dan merupakan sesuatu yang dialami oleh semua orang, bukan hanya dialami diri sendiri.Salah satu masalah terbesar dengan penilaian individu adalah cenderung membuat diri merasa terisolasi (self-isolation). Self-isolation adalah individu berfokus pada kekurangan sehingga tidak dapat melihat apa-apa lagi serta merasa bahwa diri lemah dan tidak berharga. Setelah bercerai, wanita dituntut untuk bisa mandiri tanpa adanya lagi suami yang biasanya membantu. Hal tersebut tentu tidak mudah untuk dilalui. Wanita yang biasanya menjadi ibu rumah tangga kini harus bekerja untuk menghidupi diri dan anaknya. Common humanity akan membuat wanita bercerai tidak berpikir bahwa hanya dirinyalah yang mengalami hal tersebut. Common humanity dalam diri wanita bercerai membuat dirinya mengerti bahwa siapa saja bisa mengalami masalah seperti dirinya. Sehingga wanita bercerai tidak menutup diri dan merasa diri paling menyedihkan karena bercerai. Perubahan yang dialami pria setelah bercerai tidak terlalu signifikan. Pria bercerai harus bisa mengurus diri sendiri tanpa adanya istri yang biasanya membantu untuk menyiapkan keperluannya. Pria bercerai juga tidak dapat bertemu dengan anaknya setiap hari jika anak berada pada asuhan mantan istri. Masa sulit yang dialami pria bercerai adalah membiasakan diri tanpa kehadiran anak dan istri lagi. Dengan common humanity, pria bercerai memahami masa-masa sulit yang dilalui ketika proses perceraian, perjuangan yang dilakukan setelah bercerai, dan kegagalan pernikahan yang dialami adalah pengalaman yang bisa dialami oleh siapapun bukan hanya dirinya sendiri. Mindfulness adalah melihat secara jelas, menerima, dan menghadapi kenyataan tanpa menghakimi terhadap apa yang terjadi di dalam suatu situasi. Dengan kata lain adalah mengahadapi kenyataan. Dengan mindfulness, wanita bercerai dapat menerima dengan baik perceraian yang terjadi pada dirinya. Wanita bercerai melihat masalah yang terjadi tidak
Universitas Kristen Maranatha
11 secara berlebihan dan tidak menyalahkan diri terus-menerus. Dengan mindfulness ini, wanita bercerai dapat bersedia menerima perasaan dan keadaan yang dihadapi tanpa penyangkalan atau menghakimi diri. Pemikiran negatif yang selalu membayangi bisa menghilang dan wanita bercerai dapat lebih baik menjalani kehidupannya. Pria cenderung lebih mudah untuk menerima kenyataan karena tidak berlarut-larut memikirkan kejadian negatif di masa lalu. Dengan mindfulness, pria bercerai akan berpikir positif atas apa yang terjadi pada dirinya, melihat masalah yang terjadi apa adanya, tidak lebih dan tidak kurang. Mindfulness berlawanan dengan "overidentification”. Overidentification yakni reaksi ekstrim atau reaksi berlebihan individu ketika menghadapi suatu permasalahan. Apabila pria dan wanita bercerai menghayati, memikirkan dan mencemaskan permasalahan perceraian secara berlebihan akan berdampak kepada kehidupan yang dijalani setelah bercerai. Melalui penelitian ini juga akan dilihat data sosiodemografik responden guna memeroleh pemahaman komprehensif yang mendukung data utama dari penelitian ini. Adapun data sosiodemografik yang akan digali pada penelitian ini adalah usia, pendidikan, status pekerjaan, lamanya pernikahan, lamanya bercerai, jumlah anak dan hak asuh anak. Data sosiodemografik diangkat dari keadaan-keadaan yang kontekstual dengan kehidupan responden, sehingga tidak diturunkan dari konsep. Oleh karena itu data sosiodemografik tidak diposisikan sebagai faktor yang memengaruhi self-compassion, melainkan melengkapi penjelasan data utama. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka kerangka pikir penelitian ini adalah sebagai berikut :
Universitas Kristen Maranatha
12
Self kindness
Common humanity Mindfulnes s Wanita bercerai
Wanita dan pria bercerai di Kota Bandung
Self-compassion
Perbedaan Pria bercerai
Data sosiodemografik: - Usia
- Lamanya bercerai
- Pendidikan
- Jumlah anak
- Status pekerjaan
- Tempat tinggal anak
- Lamanya pernikahan Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir
1.6
Asumsi
Self-compassion akan tumbuh dan berkembang mengikuti keadaan kehidupan seseorang.
Keadaan kehidupan yang diwarnai oleh keadaan-keadaan kurang menguntungkan atau kurang menyenangkan, berpeluang meningkatkan self-compassion.
Seseorang dengan self-compassion tinggi setelah atau saat berada pada keadaan kehidupan
yang kurang menguntungkan
atau
kurang menyenangkan
akan
mengekspresikan penerimaan diri apa adanya tanpa menghakimi diri, menyadari bahwa hal tersebut bisa terjadi kepada siapa saja, dan mampu menerima kenyataan dengan baik tanpa menyangkal atau menghakimi.
Universitas Kristen Maranatha
13
Perbedaan self-compassion pria dan wanita setelah atau saat berada pada keadaan yang tidak menguntungkan atau tidak menyenangkan terletak pada sikap wanita yang cenderung memikirkan kejadian negatif di masa lalu sehingga sering menyalahkan dan mengeritik diri lebih sering dibandingkan dengan pria sehingga mendasari penelitian ini.
1.7
Hipotesis Penelitian Terdapat perbedaan derajat self-compassion yang signifikan antara wanita bercerai dan
pria bercerai di Kota Bandung.
Universitas Kristen Maranatha