BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan (Dsusetyo,2011). Penanganan pendidikan yang diberikan sekolah dan orangtua bagi anakanak berkebutuhan khusus ini belum sesuai kekhususan yang dimiliki anakanak. Di sisi lain, kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah juga belum berpihak untuk memperhatikan keterbatasan anak-anak berkebutuhan khusus, dan belum memfasilitasi kebutuhan anak-anak itu untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Jika persoalan gangguan perilaku dan mental anak-anak berkebutuhan khusus dibiarkan dan tidak diperhatikan secara serius, bisa saja semakin banyak anak-anak Indonesia yang kelak berada dalam masalah serius. Data dari Dinas Luar Biasa Kementrian Pendidikan Nasional menyebutkan ABK di Indonesia mencapai sebanyak 324.000 orang, dari 324.000 ABK baru 75.000 anak yang baru bisa tersentuh, sedangkan sisanya sebanyak 249.000 belum 1
tersentuh pendidikan. Disampaikan Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa Kementrian
Nasional,
dalam
Peraturan
Mentri
Pendidikan
Nasional
(PERMENDIKNAS) No 70 tahun 2009, tidak diperbolehkan adanya diskriminasi bagi ABK terkait masalah pendidikan (Bns dalam Koran JOGLOSEMAR,2010). Masalah pendidikan dan pengajaran merupakan masalah yang cukup kompleks di mana banyak faktor yang ikut mempengaruhinya. Salah satu faktor tersebut di antaranya adalah guru. Guru merupakan komponen pengajar yang memegang peranan penting dan utama, karena keberhasilan proses belajar-mengajar sangat di tentukan oleh faktor guru. Tugas guru adalah menyampaikan materi pelajaran kepada siswa melalui interaksi komunikasi proses belajar mengajar yang dilakukannya. Keberhasilan guru dalam menyampaikan materi sangat tergantung pada kelancaran interaksi komunikasi antara guru dengan siswanya. Ketidak lancaran komunikasi membawa akibat terhadap pesan yang diberikan guru kepada muridnya. Proses komunikasi tersebut selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembanngan zaman dan majunya ilmu pengetahuan. Dalam proses kegiatan belajar mengajar antar guru dengan siswa berkebutuhan khusus, maka diperlukan sebuah strategi komunikasi yang baik agar setiap stimuli yang diberikan bisa tercerna sehingga membentuk sebuah komunikasi yang interaktif, sebab komunikasi antara siswa normal dengan siswa abnormal (berkelainan) itu berbeda.
2
Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk anak yang memiliki perkembangan intelejensi yang terlambat. Setiap klasifikasi selalu diukur dengan tingkat IQ mereka, yang terbagi menjadi tiga kelas yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat. Penerapan konsep pendidikan SLB yang mulai berkembang saat ini melalui pendidikan luar biasa, membawa perubahan konsep pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus tunagrahita. Alasan peneliti mengambil penelitian anak berkebutuhan khusus tunagrahita karena menarik untuk diteliti. Strategi komunikasi guru untuk mengajar anak tunagrahita berbeda dengan proses belajar pada umumnya. Meskipun anak-anak tunagrahita memilki keterbatasan, namun tetap mereka adalah anak-anak yang sama seperti anak normal lainnya. Mereka juga ingin belajar seperti anak normal pada umumnya, hal ini karena eksistensi diri dari anak tunagrahita juga sama dengan anak normal. Oleh karena itu strategi komunikasi dalam proses belajar mengajar perlu diperhatikan untuk kelangsungan pendidikan bagi anak tunagrahita. Mereka butuh guru yang mempunyai keahlian yang khusus untuk menyampaikan materi pelajaran sesuai yag diharapkan, agar semua pesan yang disampaikan oleh guru dapat dimengerti dan diterima oleh siswa. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problema dalam belajar, hanya saja problem tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan perhatian khusus dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan dan ada juga yang problem belajarnya cukup berat sehingga perlu
3
mendapatkan perhatian dan bantuan dari orang lain. Anak luar biasa atau disebut sebagai anak berkebutuhan khusus (children with special needs). Mengalami problem dalam belajar, anak berkebutuhan khusus mempunyai hal tertentu yang harus mendapatkan perhatian khusus dari guru dan sekolah untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal. Pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus (student with special needs) membutuhkan suatu strategi tersendiri sesuai dengan kebutuhan masing-masing . River Kids yang berada di daerah , Universitas Gajayana (UNIGA) No 41 Merjosari, Kecamatan Lowokwaru Kota Malang merupakan sekolah untuk ABK. Mereka mendidik anak-anak berkebutuhan khusus, anak
semi
autis, dan Tunagrahita. Sekolah ini menggunakan sistem belajar full day. Setiap harinya, dimulai pukul 08.00 sampai dengan 12.00. Setelah itu, mulai pukul 13.30 sampai dengan 15.30 sekolah menyelenggarakan pusat terapis. Untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak, sekolah ini juga memperhatikan sebagaimana kebutuhan mereka masing-masing, setiap anak akan mendapatkan kurikulum yang berbeda. Dengan kurikulum yang adaptif dengan system yang berjenjang mereka akan diarahkan untuk bisa bersosialisasi dengan lingkungannya dan mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya (Sumber: Brosur River Kids, 2003). Sekolah ini dipilih untuk dijadikan objek penelitian karena sekolah ini unik untuk diteliti proses belajar mengajar dan kebijakan social yang ada di sekolah. Keunikan ini tercermin dalam konsep dan metode belajar mengajar
4
yang diterapkan di sekolah tersebut menggambarkan strategi komunikasi guru murid yang melibatkan hubungan kasih sayang di antara keduanya. Kepedulian terhadap anak-anak kebutuhan khusus tidak ada batasnya, SLB River Kids sangat peduli kepada anak ABK dari golongan yang kurang beruntung dengan biaya yang terjangkau. Oleh sebab itu peneliti mengambil penelitian di SLB River Kids. Karena seorang ABK tunagrahita walaupun tidak mempunyai biaya yang terjangkau tetapi mereka masih bisa bersekolah yang memiliki guru berkualitas dalam proses belajar mengajar yang mampu memberikan yang terbaik untuk anak didiknya. Sebelumnya, peneliti telah membandingkan sekolah tersebut dengan beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) yang ada di Malang. Akan tetapi, peneliti lebih tertarik untuk meneliti di SLB River Kids karena hubungan interpersonal yang terjalin antara guru dan anak berkebutuhan khusus sangatlah dekat satu sama lain padahal guru di sekolah tersebut hanya beberapa yang mengenyam pendidikan tentang anak berkebutuhan khusus. Disamping itu, kegiatan belajar mengajar di River Kids lebih variatif untuk merangsang kemampuan sosialiasasi anak berkebutuha khusus (ABK). Kondisi mental siswa yang begitu beragam dan memerlukan banyak perhatian di River Kids, maka akan banyak terdapat kendala komunikatif dalam sistem instruksional yang dihadapi. Dengan demikian kemampuan guru dalam berkomunikasi dengan anak didiknya memegang peranan yang sangat penting. Saat penelitian berlangsung penulis juga melakukan observasi dalam
5
kegiatan belajar mengajar di River Kids sehingga data-data penelitian dapat dikumpulkan dengan mudah. Model pembelajaran terhadap siswa berkebutuhan khusus yang di persiapkan oleh guru di sekolah, di tujukan agar siswa mampu berinteraksi terhadap lingkungan sosial. Pembelajaran tersebut disusun secara khusus melalui penggalian kemampuan diri peserta didik yang didasarkan pada kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi ini meliputi kompetensi fisik, kompetensi afektif, kompetensi sehari- hari dan kompetensi akademik. Dalam Skripsi ini akan dibahas mengenai ”Strategi Komunikasi Guru dalam Proses Belajar Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus”. B. Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Strategi Komunikasi Guru dalam Proses Belajar Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita di SLB River Kids”. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana Strategi Komunikasi Guru dalam Proses Belajar Mengajar Anak Berkebutuhan Tunagrahita Khusus di SLB River Kids.
6
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1.
Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan berupa kajian ilmiah terhadap perkembangan dan pendalaman studi Ilmu Komunikasi, khususnya kajian strategi komunikasi guru dalam proses belajar mengajar anak berkebutuhan khusus tunagrahita.
2.
Manfaat Praktis Hasil Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan untuk komunikator dalam proses belajar mengajar anak berkebutuhan tunagrahita khusus bagi guru di sekolah.
E. TINJAUAN PUSTAKA E.1. KOMUNIKASI PENDIDIKAN Komunikasi dalam pendidikan merupakan unsur yang sangat penting kedudukannya.
Bahkan
sangat
besar
peranannya
dalam
menentukan
keberhasilan pendidikan yang bersangkutan. Di dalam pelaksanaan pendidikan formal (pendidikan melalui sekolah), suasana diciptakan oleh guru dan siswa, tetapi guru mempunyai tanggung jawab dan mengorganisasi pekerjaan siswa, mengatur waktu seefisien mungkin, dan mengatur jalannya interaksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa lain.
7
Dalam strategi komunikasi guru, pengaturan waktu dan persiapan materi belajar mengajar akan berpengaruh pada kondisi kelas dan akan terlihat strategi komunikasi apa yang digunakan oleh guru tersebut. Interaksi antara guru dengan murid siswa sekolah dasar erat kaitannya dengan konsep pedagogik. Menurut Knowles (1970: 37). Pedagogik adalah sebuah seni dan ilmu pengetahuan tentang bagaimana mengajar anak-anak. Pada konsep pedagogik tersebut, peserta didik masih bergantung kepada gurunya, biasanya masih menggunakan seragam sesuai tingkat usia dan kurikulum, dan pemberian pujian, hadiah, dan hukuman sebagai sumber motivasi belajar mereka. Proses pendidikan berlangsung sejak anak lahir sampai anak mencapai dewasa. Pendidik dalam hal ini bisa orang tua dan/atau guru yang fungsinya sebagai pengganti orang tua, membimbing anak yang belum dewasa untuk mengantarkannya agar dapat hidup mandiri, agar dapat menjadi dirinya sendiri. Salah satu penunjang efektifitas proses belajar mengajar adalah strategi komunikasi yang digunakan oleh guru kepada siswa. E2 . STRATEGI KOMUNIKASI Menurut (Onong Uchjana Effendi: 1981) dalam buku berjudul “Dimensi-dimensi Komunikasi” menyatakan bahwa : “Strategi komunikasi merupakan panduan dari perencanaan komunikasi (communication planning) dan manajemen (communications management) untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut strategi komunikasi harus dapat menunjukkan bagaimana operasionalnya secara taktis
8
harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu-waktu tergantung dari situasi dan kondisi” (1981 : 84). Sedangkan menurut Anwar Arifin dalam buku „Strategi Komunikasi‟ menyatakan bahwa : Sesungguhnya suatu strategi adalah keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan, guna mencapai tujuan. Jadi merumuskan strategi komunikasi, berarti memperhitungkan kondisi dan situasi (ruang dan waktu) yang dihadapi dan yang akan mungkin dihadapi di masa depan, guna mencapai efektivitas. Dengan strategi komunikasi ini, berarti dapat ditempuh beberapa cara memakai komunikasi secara sadar untuk menciptakan perubahan pada diri khalayak dengan mudah dan cepat (Arifin, 1984 :10) . E.3. Teori Dalam Strategi Komunikasi Dalam hal strategi dalam bidang apa pun tentu harus didukung dengan teori. Begitu juga pada strategi komunikasi harus didukung dengan teori, dengan teori merupakan pengetahuan mendasar pengalaman yang sudah diuji kebenarannya. Karena teori merupakan suatu statement (pernyataan) atau suatu konklusi dari beberapa statement yang menghubungkan (mengkorelasikan) suatu statement yang satu dengan statement lainnya. Dari sekian banyak teori komunikasi yang dikemukakan oleh para ahli, untuk strategi komunikasi yang memadai adalah teori dari seorang ilmuan politik dari Amerika Serikat yang bernama Harold D. Lasswell (Dalam buku Effendy, 1981 Dimensi-Dimensi Komunikasi) yang menyatakan bahwa cara yang terbaik untuk menerangkan kegiatan komunikasi atau cara untuk
9
menggambarkan dengan tepat sebuah tindak komunikasi ialah menjawab pertanyaan “Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect ? (siapa mengatakan apa dengan cara apa kepada siapa dengan efek bagaimana)”. Kalau diuraikan Formula Lasswell tersebut dapat dilihat pada skema yang digambarkan oleh Denis Mc Quail dan Sven Windahl sebagai berikut (Effendy, 1981): Gambar: 1.1 Formula Lasswell
Sumber: Effendy:1981
Telaah komunikator meliputi analisis hal-hal sebagai berikut : Sejauhmana si komunikator mempunyai percaya diri (self confident). Dikarenakan dalam Komunikasi Interpersonal ciri/karakteristiknya yang pertama dimulai dari diri sendiri maka komunikator harus percaya pada kemampuannya sendiri untuk melakukan relasi Komunikasi Interpersonal. Bagian
dari
peraya
diri
pada
komunikator
adalah
penguasaan
meteri/pengetahuan yang mendalam tentang hah-hal dari isi pesan yang akan di-reciever-kan (disampaikan).
10
Sejauh mana komunikator mengendalikan transaksional, yaitu ketika bertemu dan berkenalan dengan komunikan maka komunikator sudah mempunyai persepsi mengenai identitas dan kepribadian komunikan. Untuk selanjutnya maka komunikator harus tetap mengendalikan identitas dan kepribadian komunikan seperti semula. Memelihara relasi, yaitu memelihara hubungan dengan komunikan dengan mengatur jarak duduk atau dengan tetap memperhatikan pandangan pada wajah komunikan. Formula dari Lasswell tersebut termasuk dalam katagori model-model dasar dalam stretegi komunikasi. Formula sederhana ini telah digunakan dengan berbagai cara, terutama untuk mengatur dan mengorganisasikan dan membentuk struktur tentang proses komunikasi. Formula Laswell menunjukkan kecenderungan-kecenderungan awal model-model komunikasi, yaitu menganggap bahwa komunikator pasti mempunyai “receiver” (penerima) dan karenanya komunikasi harus sematamata dianggap sebagai proses persuasif. Juga selalu dianggap bahwa pesanpesan itu pasti ada efeknya. Formula Lasswell tersebut mengandung banyak keterkaitan dengan teori-teori lain seperti diungkapkan oleh Melvin L . De Fleur yang dikutip oleh Onong Uchjana Effendi dalam buku „Dimensi-dimensi Komunikasi‟, salah satunya Individual Differences Theory, bahwa khalayak sebagai komunikan secara selektif psikologis memperhatikan suatu pesan komunikasi jika berkaitan dengan kepentingannya, sesuai sikap, kepercayaan, dan nilainilainya.
11
Keberhasilan kegiatan komunikasi secara efektif banyak ditentukan oleh penentuan strategi komunikasi. Di lain pihak jika tidak ada strategi komunikasi yang baik efek dari proses komunikasi (terutama komunikasi media massa) bukan tidak mungkin akan menimbulkan pengaruh negatif. Sedangkan untuk menilai proses komunikasi dapat ditelaah dengan menggunakan model-model komunikasi. Dalam proses kegiatan komunikasi yang sedang berlangsung atau sudah selesai prosesnya maka untuk menilai keberhasilan proses komunikasi tersebut terutama efek dari proses komunikasi tersebut digunakan telaah model komunikasi. Dalam strategi komunikasi peranan komunikator sangatlah penting, itulah sebabnya strategi komunikasi harus luwes supaya komunikator sebagai pelaksana dapat segera mengadakan perubahan bila dalam pelaksanaan menemui hambatan. Salah satu upaya untuk melancarkan komunikasi yang lebih baik mempergunakan pendekatan A-A Procedure (from Attention to Action
Procedure)
dengan
lima
langkah
yang
disingkat
AIDDA
(Effendy:1981 Dimensi-Dimensi Komunikasi). A Attention (perhatian) I Interest (minat) D Desire (hasrat) D Decision (keputusan) A Action (kegiatan) Dimulainya komunikasi dengan membangkitkan perhatian akan menjadikan suksesnya komunikasi. Setelah perhatian muncul kemudian
12
diikuti dengan upaya menumbuhkan minat yang merupakan tingkatan lebih tinggi dari perhatian. Minat merupakan titik pangkal untuk tumbuhnya hasrat. Selanjutnya seorang komunikator harus pandai membawa hasrat tersebut untuk menjadi suatu keputusan komunikan untuk melakukan suatu kegiatan yang diharapkan komunikator (Effendy: 1981). E.4. Komunikasi Interpersonal Meskipun komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang sangat dominan dalam kehidupan sehari-hari, namun tidaklah mudah memberikan definisi yang dapat diterima semua pihak. Sebagaimana konsep-konsep dalam ilmu sosial lainya. Komunikasi interpersonal menurut Trenholm dan Jensen (1995:26) dalam (Suranto, 2011:03) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai komunikasi antara dua orang yang berlangsung secara tatap muka (komunikasi diadik). Sifat komunikasi ini adalah: (a) spontan dan informal; (c) saling menerima feedback secara maksimal; (c) partisipan berperan fleksibel. Spontan dan informal dalam menyampaikan pesan kepada komunikan supaya menerima feedback dengan cepat dan partisipan fleksibel dalam menerima pesan . Menurut DeVito (1989), komunikasi interpersonal adalah penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok orang dan efek umpan balik yang langsung. E.5. Tujuan Komunikasi Interpersonal Menurut DeVito, ada lima tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang saat melakukan komunikasi interpersonal: (DeVito,2007)
13
a.
To Learn (untuk belajar)
Komunikasi interpersonal memberikan kemampuan pada seseorang untuk memehami dunia luar dengan lebih baik dan membantu orang tersebut untuk mempelajari dirinya sendiri. Melalui pembicaraan mengenai diri sendiri dengan orang lain, seseorang memperoleh masukan berharga tentang perasaan, pemikiran dan perilakunya (DeVito,2007) . Melalui komunikasi ini, seseorang juga belajar mengenai bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya-siapa yang menyukainya dan mengapa. b. To Lerate (untuk berhubungan) Salah satu kebutuhan terbesar manusia adalah membangun dan membina hubungan. Seseorang ingin merasa dicintai dan disukai, dan sebagai gantinya seseorang ingin mencintai dan menyukai orang lain (DeVito,2007). Hubungan macam ini membantu mengurangi kesepian dan depresi, memampukan seseorang untuk berbagi dan menambah kebahagiaan, dan secara umum membuat seseorang merasa lebih positif terhadap dirinya. c.
To Influence (untuk mempengaruhi)
Seseorang mempengaruhi sikap dan perilaku orang lain melalui kegiatan interpesonal. Sebagian besar waktu seseorang bisa saja dihabiskan untuk melakukan persuasi interpesonal. Beberapa peneliti beragumentasi bahwa semua komunikasi bersifat persuasive dan semua kegiatan komunikasi dilakukan untuk mencapai tujuan persuasive seperti contoh : Untuk
mempresentasikan
diri
seseorang
berkomunikasi
untuk
membangun gambar diri sesuai yang ia inginkan, untuk membangun hubungan, seseorang berkomunikasi untuk membentuk hubungan yang ia butuhkan (DeVito,2007).
14
d.
To Play (untuk bermain)
Berbicara dengan teman mengenai aktivitas akhir minggu, berdiskusi mengenai olahraga atau kencan bercerita tentang suatu kisah atau lelucon, dan berbicara secara umum untuk menghabiskan waktu merupakan beberapa fungsi dan tujuan bermain (DeVito,2007). Tujuan ini memberikan keseimbangan dalam aktivitas seseorang dengan menjauhkan pikiran dari segala keseriusan. e.
To Help (untuk menolong)
Setiap orang berinteraksi untuk menolong dalam kegiatan sehari-hari: seseorang menasehati temannya yang sedang patah hati, menasehati murid lain mengenai pelajaran yang harus diambil, atau memberikan nasehat kepada seorang kolega berkaitan dengan pekerjaan .(DeVito,2007). Sukses dalam fungsi ini, baik secara proffesional atau tidak, tergantung pada pengetahuan dan keahlian komunikasi interpersonal seseorang. E.6. Komponen-Komponen Komunikasi Interpersonal Komunikasi
interpersonal
menurut
(Suranto,
2011:7)
terdapat
komponen-komponen komunikasi yang secara integratif saling berperan sesuai dengan karakteristik komponen itu sendiri meliputi: 1.
Sumber/Komunikator
Merupakan orang yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi, yakni keinginan untuk membagi keadaan internal sendiri, baik yang bersifat emosional maupun informasional dengan orang lain (Suranto, 2011:7). 2. Encoding Suatu aktifitas internal pada komunikator dalam menciptakan pesan melalui pemilihan simbol-simbol verbal maupun non-verbal, yang disusun berdasarkan aturan-aturan tata bahasa, serta disesuaikan dengan karakteristik komunikan. Encoding merupakan tindakan memformulasikan isi pikiran kedalam simbol-simbol, kata-kata dan sebagainya sehingga komunikator merasa yakin dengan pesan yang disusun dan cara penyampaiannya (Suranto, 2011:7).
15
3.
Pesan
Hasil dari encoding, pesan adalah seperangkat simbol-simbol baik verbal maupun non verbal, atau gabungan keduanya, yang mewakili keadaaan khusus komunikator untuk disampaikan kepada pihak lain. Komunikasi akan efektif apabila komunikan menginterpretasi makna pesan sesuai yang diinginkan oleh komunikator (Suranto, 2011:7). 4. Saluran Merupakan sarana fisik penyampaian pesan dari sumber ke penerima atau yang menghubungkan orang ke orang lain secara umum (Suranto,2011:7). Dalam konteks komunikasi interpersonal, penggunaan saluran atau media semata-mata karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan dilakukan komunikasi secara tatap muka. misalnya seseorang ingin menyampaikan informasi kepada orang lain, namun kedua orang tersebut berada pada tempat yang berjauhan, sehingga digunakanlah saluran komunikasi agar keinginan penyampaian informasi tersebut dapat terlaksana. Prinsipnya, sepanjang masih dimungkinkan untuk dilaksanakan komunikasi secara tatap muka, maka komunikasi interpersonal tatap muka akan lebih efektif. 5.
Penerima/komunikan
Seorang yang menerima, memahami, dan menginterpretasi pesan. Dalam proses komunikasi interpersonal, penerima pesan bersifat aktif, selain menerima pesan melakukan pula proses interpretasi dan memberikan umpan balik (Suranto, 2011:7). 6.
Decoding
Merupakan kegiatan internal dalam diri penerima. Melalui indera, penerima mendapatkan macam-macam data dalam bentuk “mentah”, berupa kata-kata dan simbol-simbol yang harus diubah kedalam pengalamanpengalaman yang mengandung makna (Suranto, 2011:7). Proses dimana indera menangkap rangsangan, misalnya telinga mendengar suara atau bunyi, mata melihat objek, dan sebagainya. Proses
16
sensasi dilanjutkan dengan persepsi, yaitu proses member makna atau decoding. 7.
Respon
Yakni apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk dijadikan sebagai sebuah tanggapa terhadap pesan (Suranto, 2011:7). Respon dapat bersifat positif, netral, maupun negative. Respon positif apabila sesuai dengan yang dikehendaki komunikator. Netral berarti respon itu tidak menerima ataupun menolak keinginan komunikator. Dikatakan respon negative apabila tanggapan yang diberikan bertentangan dengan yang diinginkan oleh komunikator. 8.
Gangguan (noise)
Ganguan atau noise berada atau barier beraneka ragam untuk itu harus didefinisikan dan dianalisis (Suranto, 2011:7). Noise dapat terjadi didalam komponen-komponen maupun dari system komunikasi. Noise merupakan apa saja yang mengganggu atau membuat kacau penyampaian dan penerimaan pesan, termasuk yang bersifat fisik dan phsikis. 9.
Konteks Komunikasi
Komunikasi selalu terjadi dalam suatu konteks tertentu, paling tidak ada tiga dimensi yaitu ruang, waktu, dan nilai. Konteks ruang menunjuk pada lingkungan konkrit dan nyata tempat terjadinya komunikasi, seperti ruangan, halaman dan jalanan (Suranto, 2011:7). Konteks waktu menunjuk pada waktu kapan komunikasi tersebut dilaksanakan, misalnya: pagi, siang, sore, malam. Konteks nilai sosial dan budaya yang mempengaruhi suasana komunikasi, seperti: adat istiadat, situasi rumah, norma sosial, norma pergaulan, etika, tata karma, dan sebagainya. Agar komunikasi interpersonal dapat berjalan secara efektif, maka masalah
17
komunikasi ini kiranya perlu menjadi perhatian. Pihak komunikator dan komunikan perlu mempertimbangkan konteks komunikasi ini. E.7. Ciri-Ciri Komunikasi Interpersonal Apabila diamati dan dikomparasikan dengan jenis komunikasi lainnya, maka dapat dikemukakan menurut (Suranto, 2011;14) ciri-ciri komunikasi interpersonal, antara lain: arus pesan dua arah, suasana informal, umpan balik segera, peserta komunikasi berada dalam jarak dekat, dan peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan spontan, baik secara verbal maupun nonverbal. 1. Arus pesan dua arah, komunikasi interpersonal menempatkan sumber pesan dan penerima dalam posisi yang sejajar, sehingga memicu terjadinya pola penyebaran pesan mengikuti arus dua arah (Suranto, 2011;14). Artinya komunikator dan komunikan dapat berganti peran secara cepat. 2. Suasana nonformal. Komunikasi interpersonal biasanya berlangsung dalam suasana nonformal. Dengan demikian, apabila komunikasi itu berlangsung antara para pejabat di sebuah instansi (Suranto, 2011;14). 3. Umpan balik segera. Oleh karena itu komunikasi interpersonal biasanya mempertemukan para pelaku komunikasi secara bertatap muka, maka umpan balik dapat diketahui dengan segera (Suranto, 2011;14). 4. Peserta komunikasi berada dalam jarak yang dekat, Komunikasi interpersonal merupakan metode komunikasi antarindividu yang
18
menuntut agar peserta komunikasi berada pada jarak yang dekat, baik jarak dalam arti fisik maupun psikologis (Suranto, 2011;14). 5. Peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan spontan, baik secara verbal maupun nonverbal. Untuk meningkatkan
keefektifan
komunikasi
interpersonal,
peserta
komunikasi dapat memberdayakan pemanfaatkan kekuatan pesan verbal maupun nonverbal secara simultan (Suranto, 2011;14). E.8. Komunikasi Efektif dalam Pembelajaran Komunikasi dikatakan efektif apabila terdapat aliran informasi dua arah antara komunikator dan komunikan dan informasi tersebut sama-sama direspon sesuai dengan harapan kedua pelaku komunikasi tersebut. Setidaknya terdapat lima aspek yang perlu dipahami dalam membangun komunikasi yang efektif (Endang Lestari G: 2003) yaitu : a. Kejelasan Hal ini dimaksudkan bahwa dalam komunikasi harus menggunakan bahasa dan mengemas informasi secara jelas, sehingga mudah diterima dan dipahami oleh komunikan. b. Ketepatan Ketepatan atau akurasi ini menyangkut penggunaan bahasa yang benar dan kebenaran informasi yang disampaikan.
19
c. Konteks Konteks atau sering disebut dengan situasi, maksudnya adalah bahwa bahasa dan informasi yang disampaikan harus sesuai dengan keadaan dan lingkungan dimana komunikasi itu terjadi. d. Alur Bahasa dan informasi yang akan disajikan harus disusun dengan alur atau sistematika yang jelas, sehingga pihak yang menerima informasi cepat tanggap e. Budaya Aspek ini tidak saja menyangkut bahasa dan informasi, tetapi juga berkaitan dengan tatakrama dan etika. Artinya dalam berkomunikasi harus menyesuaikan dengan budaya orang yang diajak berkomunikasi, baik dalam penggunaan bahasa verbal maupun nonverbal, agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi (Endang Lestari G : 2003).
Menurut (Endang Lestari G, 2003) dalam bukunya yang berjudul “Komunikasi yang Efektif” ada dua model proses komunikasi, yaitu :
a. Model linier
Model ini mempunyai ciri sebuah proses yang hanya terdiri dari dua garis lurus, dimana proses komunikasi berawal dari komunikator dan berakhir pada komunikan. Berkaitan dengan model ini ada yang dinamakan Formula Laswell. Formula ini merupakan cara untuk menggambarkan
20
sebuah tindakan komunikasi dengan menjawab pertanyaan: who, says what, in wich channel, to whom, dan with what effect.
a. Model sirkuler
Model ini ditandai dengan adanya unsur feedback. Pada model sirkuler ini proses komunikasi berlangsung dua arah. Melalui model ini dapat diketahui efektif tidaknya suatu komunikasi, karena komunikasi dikatakan efektif apabila terjadi umpan balik dari pihak penerima pesan.
Menurut (Riyono Pratikno : 1987) berkomunkasi efektif berarti bahwa komunikator dan komunikan sama-sama memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan, atau sering disebut dengan “the communication is in tune”. Agar komunikasi dapat berjalan secara efektif, harus dipenuhi beberapa syarat :
a. Menciptakan suasana komunikasi yang menguntungkan b. Menggunakan bahasa yang mudah ditangkap dan dimengerti c. Pesan yang disampaikan dapat menggugah perhatian atau minat bagi pihak komunikan d. Pesan dapat menggugah kepentingan komunikan yang dapat menguntungkan e. Pesan
dapat
menumbuhkan
komunikan.
21
suatu
penghargaan
bagi
pihak
Terkait dengan proses pembelajaran, komunikasi dikatakan efektif jika pesan yang dalam hal ini adalah materi pelajaran dapat diterima dan dipahami, serta menimbulkan umpan balik yang positif oleh siswa. Komunikasi efektif dalam pembelajaran harus didukung dengan keterampilan komunikasi antar pribadi yang harus dimiliki oleh seorang guru. Komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi yang berlangsung secara informal antara dua orang individu. Komunikasi ini berlangsung dari hati ke hati, karena diantara keduabelah pihak terdapat hubungan saling mempercayai. Komunikasi antar pribadi akan berlangsung efektif apabila pihak yang berkomunikasi menguasai keterampilan komunikasi antar pribadi (Riyono Pratikno : 1987). Dalam
kegiatan
belajar
mengajar,
komunikasi
antar
pribadi
merupakan suatu keharusan, agar terjadi hubungan yang harmonis antara pengajar dengan peserta belajar. Keefektifan komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar ini sangat tergantung dari kedua belah pihak. Akan tetapi karena pengajar yang memegang kendali kelas, maka tanggung jawab terjadinya komunikasi dalam kelas yang sehat dan efektif terletak pada tangan pengajar. Keberhasilan pengajar dalam mengemban tanggung jawab tersebut dipengaruhi oleh keterampilannya dalam melakukan komunikasi ini (Riyono Pratikno : 1987). E.9. Komunikasi interpersonal yang efektif Komunikasi interpersonal dapat dikatakan efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan
22
ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan secara suka rela oleh penerima pesan, dapat meningkatkan kualitas hubungan antarperibadi, dan tidak ada hambatan untuk hal itu (Hardjana,2003) dalam (Suranto, 2011:77-78). Berdasarkan
definisi
tersebut,
dapat
dikatakan
bahwa
komunikasi
interpersonal dikatakan efektif, apabila memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu: (1) pesan yang dapat diterima dan dipahami oleh komunikan sebagaimana dimaksud oleh komunikator; (2) ditindak lanjuti dengan perbuatan secara suka rela, (3) meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi (Suranto, 2011: 77-78). Pesan yag disampaikan kepada penerima pesan harus bisa dipahami, karena hal ini bisa di tindak lanjuti dengan tindakan seseorang dengan sikap suka rela. Setelah itu terjadilah hubungan antarpribadi antara komunikan dan komunikator. E.10 . Strategi Pembelajaran Strategi pembelajaran merupakan cara pengorganisasian isi pelajaran, penyampaian
pelajaran
dan
pengelolaan
kegiatan
belajar
dengan
menggunakan berbagai sumber belajar yang dapat dilakukan guru untuk mendukung terciptanya efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. Pengorganisasian, penyampaian, dan pengelolaan pembelajaran diarahkan pada berbagai komponen yang disebut system pembelajaran. Komponenkomponen pembelajaran tersebut, menurut (AECT: 1977) dalam buku Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Humor (Darmansyah: 2010) adalah pesan, orang, material, peralatan, teknik dan setting. Oleh karena itu, strategi pembelajaran merupakan bagian terpenting dari komponen teknik dan
23
metode dalam suatu system pembelajaran (Abizar: 1995) dalam buku Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Humor (Darmansyah: 2010). Pendapat yang lebih spesifik tentang strategi pembelajaran dinyatakan oleh (Romiszowski :1981) dalam buku Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Humor (Darmansyah: 2010) strategi adalah berbagai titik pandang dan arah berbuat yang diambil dalam rangka memilih metode pembelajaran yang tepat, yang selanjutnya mengarah pada yang lebih khusus, yaitu rencana, taktik, dan latihan seiring dengan pendapat diatas Reigeluth (1983) dalam (Darmansyah: 2010), juga menyatakan konsep yang tidak jauh berbeda, bahwa strategi pembelajaran merupakan cara pandang dan pola pikir guru dalam mengajar. Dengan demikian, strategi pembelajaran meliputi aspek yang lebih luas daripada metode pembelajaran. Sedangkan (Clark, Abizar:1995) dalam buku Strategi Pembelajaran Menyenangkan
Dengan
Humor
(Darmansyah:
2010)
tidak
terlalu
menekankan perbedaan antara metode dan strategi. Artinya, antara metode dan strategi dapat diartikan sama saja, karena itu dalam banyak tulisannya Clark menggunakan istilah metode untuk menyatakan strategi. Abizar (1995) dalam (Darmansyah: 2010) menyatakan bahwa strategi pembelajaran diartikan sebagai pandangan yang bersifat umum serta arah umum dari tindakan untuk menentukan metode yang akan dipakai dengan tujuan utama agar pemerolehan pengetahuan oleh siswa lebih optimal. Rumusan lebih jelas dapat dilihat dalam Depdiknas (2003) dalam (Darmansyah: 2010) yang merumuskan strategi pembelajaran sebagai cara
24
pandang dan pola pikir guru dalam mengajar agar pembelajaran menjadi efektif. Artinya, rumusan yang dibuat Depdiknas lebih spesifik dengan tujuan yang jelas, yaitu meningkatkan efektivitas pembelajaran. Berkaitan dengan pentingnya peran guru dalam merancang strategi pembelajaran diatas, Manullang (2004) dalam
(Darmansyah: 2010) menyatakan bahwa
kemampuan guru untuk merancang dan menerapkan strategi pembelajaran yang tepat sasaran merupakan bagian dari profesionalitasnya sebagai pendidik. Guru yang memiliki sikap professional sebagai pendidik akan selalu dirindukan oleh siswanya. Lebih lanjut Manulang menambahkan bahwa guru professional mampu membangun hubungan dengan menciptakan suasana pembelajaran
yang
menyenangkan
dan
bersemangat,
sehingga
pembelajarannya memberi kepuasaan (satisfaction), kebahagiaan (happiness) dan kebanggaan (dignities) (Darmansyah: 2010). (Flowers:2001) dalam buku Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Humor (Darmansyah: 2010) mengartikan strategi dengan tujuan pembelajaran agar pelajaran yang diajarkan guru menjadi menarik, dinikmati siswa, dan berhasil secara efektif. Friedman, Hersyey, Linda, and Amoo (2002) dalam (Darmansyah: 2010) lebih spesifik menjelaskan bahwa untuk membuat pembelajaran menjadi efektif, guru dapat menempuh berbagai strategi termasuk menggunakan humor dalam pembelajaran. ada beberapa strategi yang dapat digunakan guru untuk menghasilkan pembelajaran yang efektif. Reigeluth (1983) dalam (Darmansyah: 2010) membagi strategi
25
pembelajaran menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu (1) strategi pengorganisasian, (2) strategi penyampaian, dan (3) strategi pengelolaan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan strategi pembelajaran adalah cara pandang, pola ber pikir, dan arah berbuat yang diambil guru dalam memilih strategi pembelajaran yang memungkinkan efektifnya pembelajaran. Dengan demikian, strategi pembelajaran dalam buku ini strategi pengorganisasian, penyampaian dan pengelolaan berbagai sumber belajar yang dapat mendukung terciptanya pembelajaran yang menyenangkan dan berhasil secara efektif. Oleh karena itu, pentingngya untuk guru ABK mengetahui strategi komunikasi proses belajar mengajar di dalam kelas. untuk mempermudah guru dalam mengajar ABK. Selain itu dapat terciptanya komunikasi yang efektif dalam belajar mengajar dikelas. E.11. Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk anak yang memiliki perkembangan intelejensi yang terlambat. Setiap klasifikasi selalu diukur dengan tingkat IQ mereka, yang terbagi menjadi tiga kelas yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat. 1. Tunagrahita Ringan Anak yang tergolong dalam tunagrahita ringan memiliki banyak kelebihan dan kemampuan. Mereka mampu dididik dan dilatih. Misalnya, membaca, menulis, berhitung, menjahit, memasak, bahkan berjualan. Tunagrahita ringan lebih mudah diajak berkomunikasi. Selain itu kondisi fisik
26
mereka tidak begitu mencolok. Mereka mampu berlindung dari bahaya apapun. Karena itu anak tunagrahita ringan tidak memerlukan pengawasan ekstra. 2. Tunagrahita Sedang Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan. Anak tunagrahita sedang pun mampu diajak berkomunikasi. Namun, kelemahannya mereka tidak begitu mahir dalam menulis, membaca, dan berhitung. Tetapi, ketika ditanya siapa nama dan alamat rumahnya akan dengan jelas dijawab. Mereka dapat bekerja di lapangan namun dengan sedikit pengawasan. Begitu pula dengan perlindungan diri dari bahaya. Sedikit perhatian dan pengawasan dibutuhkan untuk perkembangan mental dan sosial anak tunagrahita sedang. 3. Tunagrahita Berat Anak tunagrahita berat disebut juga idiot. karena dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayanan yang maksimal. Mereka tidak dapat mengurus dirinya sendiri apalagi berlindung dari bahaya. Asumsi anak tunagrahita sama dengan anak Idiot tepat digunakan jika anak tunagrahita yang dimaksud tergolong dalam tungrahita berat(Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khususTunagr ahita). F. METODE PENELITIAN Peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif
kualitatif, yaitu
ditujukan untuk dapat memaparkan situasi atau peristiwa, tidak mencari atau menjelaskan hubungan atau membuat prediksi (Rakmat, 2009;24). Penelitian
27
deskriptif ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi komunikasi guru dalam proses belajar mengajar anak berkebutuhan khusus tunagrahita di SLB River Kids Malang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu pengamatan atau observasi, wawancara dan penelaahan dokumen sebagai prosedur penelitian yang mengahasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian. F.1. Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah “Sesuatu hal baik makhluk hidup, sebuah benda atau sebuah lembaga ( instansi ) yang sifat dan keadaannya akan diteliti, dengan kata lain subyek penelitian adalah sesuatu yang didalam dirinya melekat atau terkandung objek penelitian” ( Tatang M : 2009 ). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Dengan berbagai macam kriteria yaitu: 1. Sudah lama mengajar disekolah tersebut minimal satu tahun. 2. Pengurus sekolah SLB River Kids. 3. Pendidikan guru minimal D1. Dalam pengambilan subyek penelitian tersebut peneliti melakukan pra survey terlebih dahulu untuk mengetahui guru yang memenuhi kriteria yang akan dijadikan sebagai objek dalam penelitian kemudian dari pra survey tersebut didapat enam orang objek yang akan diteliti.
28
F.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini adalah Sekolah River Kids yang berada di Perumahan Universitas Gajayana (UNIGA) No 41, Joyo Grand Merjosari, Kecamatan Lowokwaru Malang. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret 2012-selesai. Apabila data yang diinginkan peneliti telah memenuhi maka peneliti menganggap penelitian tersebut telah selesai. F.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah sebagai berikut; a. Wawancara mendalam Teknik wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan panduan wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pada tahap ini, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan Para pengajar dan pengurus ABK River Kids untuk mendapatkan data Primer dari subyek peneliti, data primer merupakan data asli yang dikumpulkan oleh periset untuk menjawab masalah risetnya secara khusus, dengan cara wawancara mendalam yang berstruktur, dengan pertimbangan supaya dapat
berkembang sesuai
dengan kepentingan penelitian. Peneliti memilih Para Guru dan pengurus sekolah karena mereka yang mengetahui dan paling memahami, dan berinteraksi tiap hari dengan para murid. Menurut (Sugiyono, 2005 :73), tujuan dari wawancara mendalam ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam
29
proses wawancara, penulis perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan (Pawito, 2008: 74). b. Observasi Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian, Menggunakan teknik observasi partisipatif (Sugiyono, 2011 :227). Observasi partisipatif adalah keterlibatan peneliti dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut berpartisipasi apa yang dikerjakan oleh sumber data. Saat penelitian Peneliti ikut serta dalam proses belajar mengajar sampai penelitian ini selesai dilakukan. Dalam penelitian ini penulis akan melakukan pengamatan terhadap guru yang mengajar anak berkebutuhan khusus di sekolah River Kids. c. Dokumentasi Teknik dokumentasi adalah cara mengumpulkan data yang diperoleh dari catatan (data) yang telah tersedia atau yang telah dibuat oleh pihak lain. Teknik ini digunakan untuk mendokumentasikan daerah, kegiatan penelitian sehingga memperkuat data yang telah diperoleh, dan sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji keabsahan data. F.4. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, atau bahan
30
lainnya sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain (Moleong, 2003 :3). Penganalisaan data hasil penelitian ini memakai metode analisa deskriptif kualitatif yang menunjukkan berbagai fakta yang ada dan dilihat selama penelitian berlangsung. Analisis data deskriptif dilakukan dengan cara mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, memilih mana yang penting dan sesuai, dan membuat kesimpulan yang dapat diceriterakan kepada orang lain (Moleong, 2003 :4). Beberapa langkah teknis dalam menganalisis data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut, seperti dijelaskan oleh Miles dan Huberman (Sugiyono, 2011 : 247-252) berikut ini; a.
Reduksi data: berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya agar memberikan gambaran yang jelas. Dengan demikian data yang telah direduksi
akan
memberikan
gambaran
yang
lebih
jelas,
dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan. b.
Penyajian data: setelah melakukan reduksi data, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya. Peneliti akan melakukan focus penelitian yaitu bagaimana strategi komunikasi proses belajar mengajar guru pada siswa ABK berdasarkan teori-teori yang relevan.
31
c.
Penarikan kesimpulan : setelah melakukan penyajian data, kegiatan selanjutnya yaitu penarikan kesimpulan data dan verifikasi makna-makna yang muncul dari data yang harus diuji kecocokannya. Analisis dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada dilapangan dengan tinjauan teori yang berhubungan dengan focus penelitian. Kemudian setelah dilakukan analisis, maka peneliti dapat menarik kesimpulan mengenai strategi komunikasi guru dalam proses belajar mengajar.
F.5. Uji Validitas Data Validitas adalah kebenaran dan kejujuran dalam sebuah deskripsi, kesimpulan, penjelasan, tafsiran dan segala jenis laporan. Untuk mengurangi bias yang melekat pada suatu metode dan memudahkan melihat keluasan penjelasan yang peneliti berikan, maka penulis menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksa keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut (Mulyana, 2004: 178). Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi metode dan triangulasi sumber. 1. Triangulasi metode dilakukan untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan metode yang berbeda. Misalnya data diperloeh dengan wawancara, lalu di cek dengan observasi, dokumentasi (Sugiyono, 2011:274). Dalam hal ini peneliti akan membandingkan hasil wawancara dengan observasi.
32
2. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber (Pawito, 2008 : 127), dalam hal ini, peneliti akan membandingkan hasil pengamatan atau observasi lapangan dengan wawancara yang dilakukan kepada orangtua/wali murid. Obyek yang diteliti dalam penelitian ini adalah mengenai strategi komunikasi guru pada anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan data yang dianalisis, kemudian dihasilkan suatu kesimpulan untuk selanjutnya dimintakan kesepakatan dengan sumber-sumber data tersebut.
33