BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini semakin pesat dan menuntut semua pihak agar bisa dan siap bersaing di era globalisasi. Kenyataan yang terjadi di lapangan masih banyak ditemukan permasalahan yang belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Menurut Sagala (2010:1) mutu pendidikan di Indonesia hingga kini belum menunjukkan indikasi meningkat. Menurut Laporan Pengembangan Manusia (Human Developement Report 2012 – UNDP), kualitas sumber daya manusia (SDM) yang tercermin dalam HDI (Human Development Index) Indonesia pada tahun 2011 mengalami penurunan signifikan. Indonesia berada pada peringkat 124 dari 187 negara. Padahal HDI Indonesia pada tahun 2010 pada peringkat 108. Kualitas SDM kita kalah jauh dibandingkan HDI negara-negara tetangga, seperti Singapura (26), Brunei Darussalam (33) dan Malysia (61). HDI adalah index campuran yang merupakan ukuran rata-rata prestasi penting atas tiga dimensi dasar dalam pengembangan atau pembangunan manusia, yakni: (1) a long and healthy life, (2) knowledge, dan (3) a decent standard of life. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan, karena usaha pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan dan mencerdaskan anak-anak bangsa masih jauh dari maksimal dan belum tercapai. Kerja guru selama ini terkesan tidak optimal. Guru melaksanakan tugasnya hanya sebagai kegiatan rutin, kurang kreativitas. Inovasi guru relatif tertutup dan kreativitas bukan merupakan bagian 1
dari prestasi. Jika ada guru yang mengembangkan kreativitasnya, guru tersebut dinilai membuang-buang waktu dan boros (Sagala, 2011:38). Lebih dari itu, masyarakat/orang tua murid kadang-kadang mencemooh dan menuding guru tidak kompeten, tidak bermutu dan sebagainya, manakala putra/putrinya tidak bisa menyelesaikan persoalan yang ia hadapinya sendiri atau memiliki kemampuan tidak sesuai dengan keinginannya (Usman, 1996: 1). Rendahnya mutu guru tersebut antara lain tampak dari gejala-gejala sebagai berikut: 1. Lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan dan ketidaksesuaian antara bidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan lapangan yang diajarkan; Kurang efektifnya cara pengajaran; Kurangnya wibawa guru di hadapan murid. 2. Lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak yang kebetulan menjadi guru dan betul-betul tidak menjadi guru. 3. Kurangnya kematangan emosional, kemandirian berfikir, dan keteguhan sikap dalam cukup banyak guru sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik; kebanyakan guru dalam hubungan dengan murid masih hanya berfungsi sebagai pengajar dan belum sebagai pendidik. 4. Relatif rendahnya tingkat intelektual para mahasiswa calon guru yang masuk
LPTK
(Lembaga
Pengadaan
Tenaga
Kependidikan)
dibandingkan dengan yang masuk Universitas. Sudarminta dalam
2
Mujiran (2005) yang dikutip oleh Daryanto (2013:15). Gejala-gejala tersebut di atas juga ditemukan di SMA N 1 Pakem, Sleman, Yogyakarta, yaitu masih adanya guru yang kurang komitmen terhadap tugasnya. Masih ada kelemahan-kelemahan guru yang ditemui berkaitan dengan kinerja mengajar guru antara lain adalah: 1. Masih banyak guru yang kurang mampu menjabarkan kurikulum terhadap proses pembelajaran. 2. Masih banyak guru yang kurang mampu dalam merancang perencanaan pelaksanaan pembelajaran. 3. Masih banyak guru yang kurang mampu dalam mengelola proses pembelajaran dan pengelolaan kelas. 4. Masih banyak guru yang belum pernah mengikuti pelatihan profesional guru. 5. Masih banyak guru yang tidak memahami visi dan misi sekolah. 6. Masih banyak guru yang tidak mengetahui Renstra sekolah. Terkait dengan bukti empiris tersebut di atas, Suyanto (Kompas, 1 April 2013) menjelaskan bahwa guru harus disiapkan secara profesional, agar dapat membawa siswa sukses dalam mencapai kompetensi inti dan kompetensi dasar seperti yang diamanatkan dalam kurikulum 2013. Untuk itu dipandang perlu untuk meningkatkan kinerja guru. Kinerja adalah perilaku yang menunjukkan kompetensi yang relevan dengan tugas yang realistis dan gambaran perilaku difokuskan pada konteks pekerjaan yaitu perilaku diwujudkan untuk memperjelas deskripsi-deskripsi
3
kerja menentukan kinerja yang akan memenuhi kebutuhan organisasi yang diinginkan (Littletong at all, 1979) dalam Sagala (2011:180). Untuk mencapai kinerja yang diinginkan ada beberapa kreteria yang harus diperhatikan, termasuk kriteria kinerja mengajar guru. Menurut Darma (2012:324)
kriteria kinerja diekspresikan sebagai aspek-aspek kinerja yang
mencakup baik atribut maupun kompetensi. Kompetensi tersebut menurut Amstrong (1994) dalam Darma (2012:102) mengacu pada dimensi perilaku dari sebuah peran – perilaku yang diperlukan seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya secara memuaskan. Sesuai dengan Permendiknas Nomor 16 tahun 2007, ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru. Sehingga apabila kriteria-kriteria tersebut telah dipenuhi oleh guru dan dipraktikkan dalam praktik kerja sehari-hari, maka akan tercapai kinerja yang memuaskan, dengan kata lain guru tersebut telah bekerja secara profesional. Selain itu guru profesional juga dituntut memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain, guru profesional adalah orang yang terlatih dan terdidik dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya (Tambayong, 1987 dalam Usman, 1996:15). Tilaar (1998) dalam Daryanto (2013:13) memberikan empat ciri utama agar seorang guru terkelompok ke dalam guru yang profesional. Masing-masing
4
adalah: Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; Memiliki ketrampilan untuk membangkitkan minat peserta didik; Memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat; dan sikap profesionalnya berkembang secara berkesinambungan. Kinerja mengajar seorang guru dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Selain kompetensi yang dimilikinya faktor lain yang mempengaruhi terhadap peningkatan mutu kinerja guru adalah dedikasi, loyalitas, perhatian dari pemerintah, masyarakat, termasuk perguruan tinggi. Faktor-faktor tersebut berperan dalam proses pendidikan, namun dari sejumlah faktor tersebut, ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam praktik penyelenggaraan pendidikan,
yaitu
budaya organisasi. Budaya organisasi yang
mampu
mendorong guru untuk mau dan mampu bekerja dengan baik. Menurut Wibowo (2011: 482-483) budaya organisasi mempunyai peran penting dalam menentukan pertumbuhan organisasi. Organisasi dapat tumbuh dan berkembang karena budaya budaya organisasi yang terdapat di dalamnya mampu merangsang semangat kerja sumber daya manusia di dalamnya sehingga kinerja organisasi meningkat. Penelitian O. Relly yang dikutip oleh Bahri (2010) dalam Muryati (2011: 25) menemukan bahwa budaya organisasi dapat meningkatkan kinerja organisasi. Kinerja organisasi tersebut tercapai karena dukungan kinerja individu-individu yang ada dalam organisasi. Dengan demikian jelas kiranya bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh terhadap kinerja individu (Kepala sekolah dan guru).
5
Beberapa penelitian lain yang dilakukan oleh Kotter dan Hesket yang dikutip oleh Ancok (2012 : 146-147) menunjukkan bahwa budaya organisasi yang kuat berpengaruh positif pada peningkatan kinerja atau keunggulan organisasi dalam waktu yang relatif panjang. Ada beberapa hal yang menyebabkan budaya organisasi yang kuat memengaruhi kinerja organisasi. Pertama, budaya organisasi yang kuat akan menyebabkan terjadinya sinergi antar karyawan, antar unit atau kelompok kerja dalam perusahaan. Kedua, budaya organisasi yang kuat akan membuat karyawan merasa bermakna dalam pekerjaannya. Ketiga, budaya organisasi yang kuat akan menciptakan sistem pengawasan internal bagi perusahaan berdasarkan nilai-nilai yang diyakini bersama, dan norma-norma yang sudah dimiliki bersama sehingga organisasi tidak perlu lagi berpegang pada aturan birokrasi formal yang kaku. Suatu budaya organisasi yang kuat dan telah berakar akan dapat memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi anggota organisasi dalam hal pemahaman yang jelas dan lugas tentang suatu persoalan yang harus diselesaikan. Budaya memiliki pengaruh berarti pada sikap dan perilaku anggota-anggota organisasi. Banyak bukti yang menggambarkan bahwa suksesnya suatu organisasi disebabkan karena budayanya yang begitu kuat yang membuat organisasi itu lebih percaya diri dan akhirnya menjadi lebih efektif. Selain beberapa faktor pendukung kinerja guru yang telah diuraikan di atas, untuk mewujudkan kinerja secara maksimal diperlukan pendekatan lain yang tepat, yaitu dengan menerapan manajemen mutu terpadu (MMT). Menurut pendapat Tjiptono & Diana (2003:4) bahwa MMT merupakan suatu pendekatan
6
dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisai melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya. Daya saing melalui perbaikan terus-menerus atas jasa, manusia, produk, dan lingkungan. Seiring dengan pendapat Tjiptono dan Diana tersebut, Sallis (2011:73) menjelaskan bahwa MMT adalah sebuah filosofi tentang perbaikan secara terus menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya, saat ini dan untuk masa yang akan datang. Dalam hal ini ada MMT yang didesain secara khusus untuk diterapkan dalam pendidikan, yaitu manajemen mutu terpadu pendidikan (MMTP). Secara khusus Burnham dalam Usman (2009:125) menegaskan bahwa manajemen mutu terpadu pendidikan (MMTP) ialah semua fungsi dari organisasi sekolah ke dalam falsafah holistis yang dibangun berdasarkan konsep mutu, kerja tim, produktivitas, dan prestasi serta kepuasan pelanggan. Senada dengan Burnham, Sallis (2011:73) menjelaskan bahwa MMTP adalah sebuah filosofi tentang perbaikan secara terus menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya, saat ini dan untuk masa yang akan datang. Sedangkan menurut Usman (2009:329) MMTP ialah budaya peningkatan mutu pendidikan secara terus-menerus, fokus pada pelanggan sekolah demi kepuasan jangka panjangnya, dan partisipasi warga sekolah, keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
7
Menurut Arcaro (2007:10) MMT dapat memberikan fokus pada pendidikan dan masyarakat. MMT membentuk infrastruktur yang fleksibel yang dapat memberikan respons yang cepat terhadap perubahan tuntutan masyarakat. MMT dapat membantu pendidikan menyesuaikan diri dengan keterbatasan dana dan waktu. MMT memudahkan sekolah mengelola perubahan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Semuel dan Zulkarnain (2011:162) tentang pengaruh penerapan sistem manajemen mutu berbasis ISO terhadap kinerja karyawan menunjukkan,
bahwa penerapan manajemen mutu
berpengaruh positif secara signifikan terhadap kinerja karyawan. Dari studi dan sejumlah analisis tersebut di atas memperkuat ekspektasi bahwa penerapan manajemen mutu terpadu dan budaya organisasi dalam organisasi sekolah mempunyai pengaruh signifikan terhadap kinerja guru. Hal ini sangat menarik penulis untuk melakukan penelitian yang terkait dengan tema tersebut. Oleh karena itu penulis akan mengungkap pengaruh penerapan manajemen mutu terpadu dan budaya organisasi terhadap kinerja guru SMA N 1 Pakem Sleman Yogyakarta. 1.2 Rumusan Masalah Dari pengamatan peneliti dan wawancara dengan kepala sekolah, wakil manajemen mutu, dan dua orang guru SMA N 1 Pakem Sleman Yogyakarta diperoleh informasi tentang penerapan manajemen mutu sebagai berikut: Bapak A mengatakan “Menurut saya manajemen sekolah
kurang
memperhatikan kepentingan inti guru misalnya dalam upaya untuk meningkatkan
pengembangan
akademik
dan
pengembangan
diri.
8
Manajemen sekolah
jarang melakukan diklat atau workshop untuk
membantu guru dalam menyelesaikan permasalahan guru dalam menjalankan tugasnya yang meliputi proses perencanaan, pelaksanaan pembelajaran maupun dalam melakukan evaluasi, remidi dan proses pengayaan”. Ibu B mengatakan “Manajemen sekolah kurang melibatkan guru-guru dalam pengambilan keputusan. Misalnya dalam penyusunan RKS dan RAPBS hanya guru-guru tertentu (itu-itu saja) yang dilibatkan dan lainnya hanya sebagai penonton. Sehingga banyak guru yang merasa dicuekin oleh manajemen sekolah“. Berdasarkan wawancara dengan kepala sekolah SMA Negeri 1 Pakem Sleman berkaitan dengan kinerja guru, bapak kepala sekolah mengatakan “Jujur saja di sini masih ada guru yang tidak membuat perangkat pembelajaran, beberapa guru terlambat membuatnya. Ada guru yang dalam mengajar siswa masih menggunakan metode yang sudah kuno, mereka tidak mau mempelajari metode pembelajaran yang terkini”. Pendapat kepala sekolah diperkuat dengan pendapat dari wakil manajemen mutu SMA Negeri Pakem Sleman
“Terkait dengan
kemampuan guru yang masih rendah dalam bidang akademik dan pengembangan diri, manajemen belum mampu berbuat banyak untuk meningkatkan
kemampuan
mereka.
Karena
SMA
Negeri
Pakem
merupakan sekolah tipe B (kecil) maka kemampuan keuangan disini masih sangat minim. Sehingga untuk kegiatan diklat dan workshop masih banyak
9
menunggu kegiatan yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan dan pemkab atau pemerintah pusat. Kami sebenarnya sudah menyusun agenda untuk kegiatan peningkatan mutu pembelajaran guru-guru tersebut secara berkelanjutan tetapi masih belum semuanya bisa terealisasi”. Berdasarkan wawancara terhadap kepala sekolah, wakil manajemen mutu dan guru SMA Negeri 1 Pakem Sleman tersebut di atas diperoleh gambaran bahwa manajemen SMA Negeri 1 Pakem Sleman masih kurang memperdayakan guru dan kurang tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi guru. Ada beberapa guru yang belum berkinerja dengan baik. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas peneliti melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh penerapan manajemen mutu terpadu dan budaya organisasi terhadap kinerja guru di SMA Negeri 1 Pakem Sleman Yogyakarta” 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, perlu diketahui beberapa hal yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut. Adapun hal-hal yang perlu diketahui itu adalah sebagai berikut: 1. Apakah terdapat pengaruh positif antara penerapan manajemen mutu terpadu dengan kinerja guru SMA N 1 Pakem, Sleman, Yogyakarta? 2. Apakah terdapat pengaruh positif antara penerapan budaya organisasi dengan kinerja guru SMA N 1 Pakem, Sleman, Yogyakarta? 3. Apakah terdapat pengaruh positif antara penerapan manajemen mutu terpadu dan budaya organisasi secara bersama-sama dengan kinerja guru SMA N 1 Pakem, Sleman, Yogyakarta?
10
1.4 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk menguji pengaruh penerapan Manajemen Mutu Terpadu terhadap kinerja guru guru SMA N 1 Pakem, Sleman, Yogyakarta 2. Untuk menguji pengaruh penerapan budaya organisasi terhadap kinerja guru guru SMA N 1 Pakem, Sleman, Yogyakarta 3. Untuk menguji pengaruh penerapan manajemen mutu terpadu dan budaya organisasi secara bersama-sama dengan kinerja guru SMA N 1 Pakem, Sleman, Yogyakarta. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dari segi teoritis, manfaat penelitian ini diharapkan dapat: a. Menambah wawasan tentang konsep-konsep yang berkaitan dengan Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan (MMTP), budaya organisasi, dan peningkatan mutu kinerja mengajar guru sehingga dapat diimplementasikan dalam kegiatan sehari-hari. b. Mendorong para peneliti lainnya untuk melahirkan konsep-konsep baru dalam lingkup manajemen pendidikan dan budaya organisasi sekolah. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat diimplementasikan oleh semua praktisi pendidikan dalam:
11
a. Mengelola sekolah yang efektif dan efesien sehingga mampu menghasilkan output yang kompeten. b. Meningkatkan kinerja Kepala Sekolah, Guru, dan Karyawan dengan cara melakukan perbaikan secara terus-menerus. 1.6 Ruang Lingkup/Batasan Penelitian Peneletian ini dilakukan di SMA N 1 Pakem Sleman Yogyakarta. Adapun batasan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Prinsip yang menjadi variabel MMT dari penelitian ini adalah fokus pada 5 (lima) pilar yang dikembangkan oleh Jerome S. Arcaro. 2. Budaya organisasi diukur dengan tujuh dimensi yang dikembangkan oleh Robbins. 3. Indikator kinerja guru yang diukur menggunakan dimensi yang dikembangkan oleh Arikunto. 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian terdiri dari 5 (lima ) bab sebagai berikut: a. Bab I Pendahuluan Pada bab I memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup dan batasan penelitian, dan sistematika penulisan. b.
Bab II Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis Bab ini berisi tentang teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini yang terdiri dari teori kinerja, kinerja guru, budaya organisasi, budaya
12
organisasi sekolah, manajemen mutu terpadu dan
hipotesis tentang
adanya pengaruh penerapan manajemen mutu terpadu dan budaya organisasi pada kinerja guru. c. Bab III Metode Penelitian Pada bab ini berisikan jenis penelitian, definisi dan operasional variabel, metode penarikan sampel, instrumen dan pengukuran, sumber data dan teknik pengumpulan data serta metode analisis. d. Bab IV Hasil Penilitian dan Pembahasan Pada bab ini berisikan diskripsi data, pengujian hipotesis dan pembahasan. e. Bab V Simpulan dan Saran Pada bab ini berisikan simpulan dari hasil penelitian, keterbatasan penelitian, implikasi dan saran-saran.
13