BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini dinamika lingkungan perusahaan menunjukkan persaingan yang ketat. Sehingga banyak perusahaan berusaha menjadikan organisasi mereka menjadi lebih efisien. Salah satunya adalah dengan melakukan restrukturisasi organisasi. Restrukturisasi dapat menyebabkan sumber daya manusia yang dibutuhkan di dalam organisasi menjadi semakin terbatas karena adanya efisiensi beban operasional perusahaan sehingga mengakibatkan jumlah jabatan struktural yang tersedia pada struktur organisasi semakin terbatas. Penggabungan fungsi dalam struktur organisasi dapat menjadi sarana untuk menjamin bahwa tugas terbagi dengan merata. Kondisi ini menuntut kapasitas individu pemangku jabatan menjadi semakin besar tanggung jawabnya tapi tidak menjanjikan imbalan yang secara proporsional lebih besar searah dengan peningkatan beban kerja dan tanggung jawab. Hal ini menyebabkan perlunya perusahaan untuk mencari dan mempertahankan sumber daya manusia yang tepat yang dapat bekerja dengan sebaik-baiknya dan memiliki engagement terhadap pekerjaan dan perusahaannya. Bagaimana situasi employee engagement secara global? Dari survei yang diselenggarakan konsultan SDM Aon Hewitt, pada periode 2008 hingga 2010, yang mencakup 6,7 juta karyawan pada lebih dari 2.900 organisasi di berbagai negara di dunia, diperoleh hasil menurunnya indeks engagement menjadi 56% di
12
tahun 2010 dari 60% pada tahun 2009. Penurunan level of engagement tersebut adalah yang terbesar selama 15 tahun sejak riset ini diadakan oleh Aon Hewitt (2010). Hasil ini menjadi tantangan bagi perusahaan untuk merekrut dan mempertahankan karyawan yang dapat menentukan keberhasilan perusahaan. Mengapa employee engagement dianggap penting? Manajemen tidak bisa hanya mengandalkan kepuasan kerja individu sebagai dasar untuk mendorong dan memelihara kinerja individu karyawan. Stephen Young, salah seorang eksekutif konsultan Towers dan Perrin mengungkapkan bahwa employee engagement merupakan prediktor kinerja individu yang lebih kuat dibandingkan dengan kepuasan kerja individu (Human Capital Journal, 2010). Employee engagement selama ini dikenal luas sebagai konsep yang dapat memberikan informasi mengenai tingkat keterikatan karyawan terhadap faktor organisasi. Faktor ini mendorong karyawan untuk melakukan usaha yang maksimal melebihi dari yang diharapkan. Bahkan faktor engagement ini juga mempengaruhi keputusan karyawan untuk
bertahan atau
meninggalkan
perusahaan. Kedua hal tersebut pada akhirnya akan berperan pada tingkat kemajuan dan kinerja perusahaan. Argumen di atas diperkuat oleh riset yang dilakukan oleh Aon Hewitt (2010). Berdasarkan riset, Aon Hewitt menyimpulkan terdapat korelasi yang kuat antara employee engagement dan kinerja perusahaan termasuk ketika masa sulit. Dikatakan bahwa perusahaan dengan indeks employee engagement yang tinggi (65% ke atas), selalu berhasil melampaui indeks bursa saham dan menghasilkan tingkat pengembalian bagi para pemegang saham sebesar 22% lebih tinggi di 13
bandingkan
rata-rata.
Sebaliknya,
perusahaan
dengan
indeks
employee
engagement yang lebih rendah (45% ke bawah), menghasilkan pengembalian 28% lebih rendah dari rata-rata untuk para pemegang saham. Riset ini juga menemukan bagaimana organisasi membuat perbedaan dan meraih keunggulan kompetitif melalui sumber daya manusianya dengan adanya tingkat employee engagement yang tinggi seperti meningkatnya retensi dan produktifitas, menghasilkan tingkat turnover yang rendah , talent pool yang besar dan kinerja bisnis yang bagus (Aon Hewitt Global Engagement Survey, 2010). Seperti juga riset Hewitt, Watson Wyatt menegaskan bahwa perusahaan yang memiliki level of employee engagement yang tinggi memiliki risiko turnover yang lebih rendah dan lebih mampu mendapatkan pegawai top (top talent). Secara umum menurut temuan survei Watson Wyatt, karyawan yang memiliki engagement yang tinggi, hampir 80% dari mereka memiliki kinerja paling bagus. Mereka juga 20% lebih sedikit tidak masuk kerja dibandingkan karyawan biasa. Sekitar tiga per empat dari mereka berhasil melampaui harapan dalam proses evaluasi kinerja terbaru. Dan karyawan yang memiliki employee engagement lebih tinggi cenderung lebih tangguh dan mendukung setiap inisiatif perubahan dalam organisasi (Work Asia Employee Attitudes Survey, 2005). Penelitian yang membahas tentang employee engagement atau keterikatan karyawan secara khusus masih jarang dilakukan di Indonesia. Salah satu penelitian yang dilakukan di Indonesia dilakukan oleh Watson Wyatt (A Study of Employee Attitudes in Indonesia, 2005) dengan sekitar 9.000 partisipan dari 46 perusahaan didapatkan hasil bahwa karyawan di Indonesia cukup puas dan bangga
14
dengan
perusahaan
tempat
mereka
bekerja
dan
mereka
juga
akan
merekomendasikan tempat kerja mereka sebagai tempat yang baik untuk bekerja. Mereka pun mau untuk berada di dalam perusahaan untuk sekitar 1 tahun lagi, namun jika ada perusahaan lain yang menawarkan gaji, bonus, atau jabatan yang lebih menarik maka mereka akan mempertimbangkan untuk pindah.
1.2 Rumusan Masalah Saks (2006) menjelaskan ada beberapa faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui
apa
yang
menyebabkan seorang karyawan terikat
dengan
perusahaannya. Pertama adalah karakteristik pekerjaan (job characteristics). Menurut Robbins, (2002) ketika melakukan tugas yang memiliki karakteristik kerja yang tepat, karyawan akan merasa termotivasi untuk menampilkan kerja berkualitas tinggi, sangat puas pada pekerjaannya, mempunyai tingkat kemangkiran rendah dan turnover yang rendah pula. Karakteristik pekerjaan yang menantang, beragam, memperbolehkan karyawan untuk menggunakan keahlian yang bermacam-macam, dan diberikan kesempatan untuk memberikan kontribusi yang penting untuk perusahaan akan membuat kepuasan psikologis yang akan membuat karyawan lebih engaged (Saks, 2006; Kahn 1990). Kedua adalah penghargaan dan pengakuan (rewards and recognition). Saks, (2006) dan Kahn (1990) menjelaskan bahwa setiap orang berbeda tingkat keterikatannya karena berbeda pula keuntungan yang mereka peroleh dari perusahaannya. Ketika karyawan menerima penghargaan dan pengakuan dari
15
organisasinya, mereka akan merasa harus membalasnya dengan tingkat keterikatan mereka. Ketiga adalah persepsi dukungan dari organisasi dan atasan (perceived organizational and supervisor support). Esienberger (2002) berpendapat dukungan dari organisasi dan atasan merupakan sumber penting bagi kebutuhan psikologis karyawan seperti perasaan dihargai dan perasaan dipedulikan oleh organisasi dan atasan. Keempat adalah keadilan distributif dan prosedural (distributive and procedural justice). Menurut Gilliland (1993) keadilan prosedural terkait dengan bagaimana cara yang diterima atau yang dirasakan tersebut terjadi, sedangkan keadilan distributif terkait dengan apa yang diterima atau dirasakan. Situasi yang dapat diprediksi dan konsisten ini terlihat dalam hal distribusi penghargaan dan prosedur untuk mengalokasikan atau mendapatkan penghargaan tersebut yang akhirnya akan menyebabkan adanya rasa adil baik secara persepsi maupun secara cara dan prosesnya (Kahn,1990). Hasil dari penelitian hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan keterikatan karyawan didapatkan bahwa seluruh faktor tersebut secara positif mempengaruhi employee engagement. Bagaimana dengan perusahaan pemerintah di Indonesia? Menurut Yuki dalam Jurnal Bisnis dan Manajemen (2003), organisasi milik pemerintah yang umumnya bergerak di sektor pelayanan publik, faktor employee engagement juga merupakan salah satu indikator keefektifan kinerja organisasi.
16
Studi kasus yang penulis ambil adalah perusahaan PT. Wijaya Karya. Perusahaan tersebut merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang konstruksi dan termasuk dari 3 yang terbaik di antara perusahaan-perusahaan konstruksi BUMN yang lain. Perusahaan tersebut satusatunya perusahaan konstruksi BUMN saat ini yang meneliti indeks engagement karyawannya secara berkala. Survey ini merupakan bentuk feedback atas pengharkatan perusahaan kepada karyawannya. Hasil survey berupa rekomendasi, kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk program kerja. Jika dilihat pada Tabel 1.1 yaitu tabel perkembangan indeks engagement PT. Wijaya Karya, dapat diketahui bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan dalam level of engagement karyawannya. Pada tahun 2007 indeks engagementnya 4.03, lalu pada tahun 2009 naik menjadi 4, 09, dan pada tahun 2011 turun menjadi 4,06. Tabel 1.1 Tabel Perkembangan Indeks Engagement Level PT. Wijaya Karya Tahun 2007-2011 2007
2009
2011
SAY (Speak Positively about Organization)
4.06
4.07
4.00
STRIVE (Go Beyond What is Minimally Requirement)
4.07
4.22
4.21
STAY (Desire to be a Member of Organization)
3.96
3.98
3.96
4.03
4.09
4.06
(Sumber: Laporan Indeks Engagement Level PT. Wijaya Karya 2007-2011)
17
Meskipun jika dilihat dari Tabel di atas, indeks dari employee engagement di PT. Wijaya Karya terbilang tinggi, namun dari Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan PT. Wijaya Karya terhadap sejumlah karyawannya di Jakarta dan Surabaya didapat beberapa pandangan lain. Dalam FGD digali beberapa aspek antara lain aspek yang menanyakan apakah tujuan dan target kerja bagi tiap pegawai sudah jelas atau belum. Terhadap pertanyaan ini pegawai mengakui bahwa tujuan dan target kerjanya cukup jelas. Berdasarkan FGD dan wawancara yang dilakukan terungkap bahwa mengenai wewenang dan tanggung jawab ada keadaan di mana terungkap bahwa sebagian pegawai merasa pimpinan di unit tertentu sangat dominan dan tidak memberi keleluasaan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan. Bawahan, yang pada umumnya status level kepegawaiannya adalah staf dan pegawai yang tergolong baru bekerja, hanya dapat mengikuti perintah. Pada keadaan ini pegawai merasa kehilangan kegairahan kerja yang pada akhirnya terbiasa bekerja atas perintah saja. “ ... di sini ada beberapa pimpinan yang maunya kita yang staf atau bawahannya menjalankan apa yang dipikirkannya benar. Tidak ada kesempatan bagi kita untuk berkreasi..” (FGD di Jakarta). Dari FGD juga diketahui bahwa pada umumnya mereka merasa kerja keras yang dilakukan tidak akan membuahkan dampak signifikan bagi penghasilan mereka. Dan apresiasi pimpinan unit dalam bentuk pujian pada prestasi atau karya bawahannya jarang terjadi.
18
“... kalaupun kita punya prestasi melebihi tugas kita, tidak ada penghargaan ...” (FGD di Jakarta). “ ... misalnya nyari konsep dan teknologi terbaru tidak gampang.. kita harus peras otak.. boro-boro dimasukkan prestasi, dipuji aja tidak ... jadi kerjaan tidak menarik lagi ...” (FGD di Jakarta)
Dari berbagai respon peserta FGD tentang aspek personnel policies and procedures, banyak persepsi yang dibangun oleh pegawai (peserta FGD) yang tidak sesuai dengan keadaan yang ada. Pegawai merasa informasi yang benar belum tersampaikan kepada mereka.
“... jadi seringkali bagi kami-kami di proyek, kebijakan-kebijakan itu hanya kami dengar sebagai selentingan...” (FGD di Jakarta).
Dan pegawai masih mempersepsikan bahwa peningkatan karir masih banyak ditentukan oleh subyektifitas. Pegawai merasa bahwa seberapa dekat seseorang dengan atasan langsung atau atasan yang menentukan karir, menjadi faktor penentu karir seseorang tersebut. Persepsi ini timbul karena melihat rekan kerja yang seangkatan jenjang karirnya meningkat secara cepat. Karir yang dimaksud di sini termasuk peningkatan skala. Hal ini menimbulkan kecemburuan pada pegawai yang tidak terlalu dikenal oleh atasan. Sehingga membuat apatis pegawai yang merasa tidak bisa “membuat dirinya terkenal”.
“...saya tidak tahu ukuran apa yang digunakan, tapi menurut saya siapa yang dekat dengan atasan dia akan cepat naik...” (FGD di Jakarta) “..sebenarnya aturan dan prosedur karir sudah ada dari HC, seperti penyetaraan dan penjenjangannya, tapi aturan itu tidak berjalan sebagai mana mestinya. Ada unsur kedekatan dengan orang-orang tertentu, unsur subyektifitas
19
masih sangat kental. Kalau bicara aturan, terkadang orang yang diangkat sebenarnya kinerjanya belum mencapai untuk itu...” (FGD di Jakarta).
Dari FGD yang telah dilakukan diketahui bahwa terdapat adanya inkonsistensi antara tingkat indeks engagement karyawan dengan sikap karyawan pada saat diwawancara. FGD yang didapat juga menunjukkan bahwa berbagai hal berpengaruh pada employee engagement. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui variabel apa saja yang signifikan berpengaruh pada employee engagement di PT. Wijaya Karya. Berdasarkan masalah yang ada di atas maka penulis tertarik untuk meneliti faktor apakah yang berpengaruh pada keterikatan karyawan di PT. Wijaya Karya.
1.3 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dari penelitian ini adalah: 1. Apakah ada pengaruh positif job characteristics pada employee engagement? 2. Apakah ada pengaruh positif reward dan recognition pada employee engagement? 3. Apakah ada pengaruh positif perceived organizational support pada employee engagement? 4. Apakah ada pengaruh positif perceived supervisor support pada employee engagement?
20
5. Apakah ada pengaruh positif procedural justice pada employee engagement? 6. Apakah ada pengaruh positif distributive justice pada employee engagement?
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengevaluasi pengaruh job characteristics pada employee engagement. 2. Mengevaluasi pengaruh
reward
dan
recognition
pada
employee
engagement. 3. Mengevaluasi pengaruh perceived organizational support pada employee engagement. 4. Mengevaluasi pengaruh perceived supervisor support pada employee engagement. 5. Mengevaluasi pengaruh procedural justice pada employee engagement. 6. Mengevaluasi pengaruh distributive justice pada employee engagement.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis 1. Memberikan sumbangan yang berarti bagi aplikasi ilmu tentang Sumber Daya Manusia terutama yang berkaitan dengan topik employee
21
engagement yaitu memberi gambaran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap employee engagement pada konteks BUMN 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penelitianpenelitian selanjutnya, mengingat belum terlalu banyak penelitian mengenai materi-materi tersebut.
1.5.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi PT. Wijaya Karya supaya lebih memahami kondisi perusahaannya dan memberikan referensi untuk pembuatan kebijakan atau rencana kerja di perusahaan untuk meningkatkan employee engagement.
1.6 Sistematika Penelitian Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I:
Pendahuluan Menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II: Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka diuraikan teori dan rumusan yang melandasi penelitian yang berhubungan dengan tujuan penelitian, konsep-konsep pengolahan data dan hipotesis dari setiap variabel.
22
BAB III: Metodologi Penelitian Dalam metode penelitian dijelaskan langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian, meliputi: tempat dan obyek penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, alat ukur, evaluasi alat ukur, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data. BAB IV: Analisis Hasil Penelitian Menguraikan hasil penelitian baik secara deskriptif melalui tabel-tabel maupun pengujian hipotesis dengan menggunakan kerangka statistik serta pembahasan atas hasil penelitian. BAB V: Kesimpulan dan Saran Bab ini merupakan bab penutup yang menjelaskan kesimpulan yang di dapat dari penelitian dan saran yang diberikan kepada perusahaan maupun terhadap penelitian ini untuk menjadi rekomendasi penelitian selanjutnya. Lampiran-lampiran disertakan dalam tesis ini untuk memperjelas penelitian.
23