1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra terbagi menjadi dua, yaitu sastra lisan dan tulis. Sastra lisan tersebar di setiap daerah khususnya di Indonesia dan termasuk salah satu aset budaya bangsa. Keanekaragaman bentuk sastra lisan seperti dongeng, legenda, mite masih berada di tengah masyarakat sehingga cerita-cerita yang ada di dalamnya masih terjaga dengan baik, seperti halnya sastra lisan yang ada di Surabaya yang mayoritas bentuknya berupa cerita rakyat. Tradisi lisan dan foklor sebenarnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan, yaitu tradisi lisan hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa dan nyanyian rakyat, sedangkan foklor mencakup lebih dari itu, seperti tarian rakyat dan arsitektur rakyat (Danandjaja, 2002:5). Sastra lisan tersebar di seluruh daerah di Indonesia dengan memiliki ciri khas masing-masing sehingga muncul keseragaman yang memperkaya khasanah kebudayaan di Indonesia. Sastra lisan disebarkan dari mulut ke mulut sehingga mudah punah karena jika penuturnya sudah meninggal dan tidak ada pewarisnya yang mengetahui cerita tersebut maka sastra lisan tersebut akan hilang. Berbeda dengan sastra tulis, yang menggunakan media tulis, sehingga masih bisa dilestarikan dan tidak terancam dari kepunahan. Penelitian tentang sastra lisan di Indonesia mengalami perkembangan. Hal ini dikarenakan fenomena di masyarakat saat ini yang tidak mengetahui dengan jelas cerita daerahnya.
2
Surabaya termasuk salah satu kota besar di Indonesia dan mempunyai keragaman budaya antara lain kesenian ludruk, cerita rakyat, tempat-tempat bersejarah yang menjadi daya tarik wisata. Kesenian ludruk yang sudah jarang menyelenggarakan pementasan berbeda dengan cerita rakyat yang terdapat di Surabaya yang masih dijadikan sebagai objek penelitian sastra lisan antara lain Babad Surabaya, Sarip Tambak Oso, Sawunggaling juga termasuk di dalamnya cerita para wali yang tersebar di Jawa. Tidak jarang pula cerita rakyat dipentaskan melalui kesenian ludruk sehingga cerita tersebut tetap terjaga. Sunan Bungkul cukup baik dikenal oleh masyarakat di Surabaya maupun luar Surabaya, hal ini terbukti dengan banyaknya peziarah yang mengunjungi makam Sunan Bungkul dalam rangkaian ziarah ke makam sunan-sunan yang lain di Jawa (sering disebut dengan wali sanga). Sunan Bungkul dianggap juga sebagai wali atau mempunyai kedudukan yang sama dengan wali sanga. Makam Sunan Bungkul terletak di area Taman Bungkul di Raya Darmo termasuk dalam Kelurahan Darmo, Surabaya sehingga masyarakat Wonokromo mengetahui tentang cerita Sunan Bungkul. Cerita tentang Sunan Bungkul termasuk legenda karena diangap sebagai tokoh agama atau sekuler oleh masyarakat sehingga dapat dijadikan objek penelitian sastra lisan. Legenda adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap oleh empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal (Danandjaja, 2002:66). Legenda dibagi menjadi empat kelompok antara lain legenda
3
keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat sehingga cerita Sunan Bungkul dapat digolongkan legenda keagamaan dan setempat (Jan Harold Brunvand via Danandjaja, 2002:67). Pertama, cerita Sunan Bungkul termasuk legenda keagamaan dan setempat dengan alasan Sunan Bungkul karena ia dianggap seperti wali oleh masyarakat sekitarnya dan kebenaran cerita didukung dengan adanya makam dan juru kunci yang terletak di area Taman Bungkul. Kemudian cerita tersebut termasuk dalam legenda setempat karena Bungkul diambil dari nama desa Bungkul yang sekarang lebih dikenal keberadaan di wilayah Raya Darmo, Wonokromo, Surabaya sehingga namanya menjadi Sunan Bungkul. Kedua, cerita Sunan Bungkul kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya sehingga belum banyak yang mengetahui dengan jelas khususnya peneliti sastra lisan. Uraian tentang objek penelitian ini memfokuskan pada bentuk prosa yang mempunyai unsur-unsur kelisanan. Unsur-unsur kelisanan tersebut terkait dengan komposisi, transmisi, performance, formula, tema, nada dan lagu sehingga menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Albert B.Lord. Komposisi, transmisi, performance, formula, tema, nada dan lagu dalam Legenda Sunan Bungkul merupakan satu rangkaian unsur kelisanan yang membentuk cerita. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tentang legenda Sunan Bungkul Pada Masyarakat Darmo, Kecamatan Wonokromo, Surabaya yang berhubungan dengan unsur kelisanan, maka permasalahan yang akan dibahas antara lain:
4
a. Bagaimana komposisi, transmisi, dan performance dalam legenda Sunan Bungkul pada masyarakat Darmo, kecamatan Wonokromo, Surabaya? b. Bagaimana formula dan tema dalam legenda Sunan Bungkul pada masyarakat Darmo, kecamatan Wonokromo, Surabaya? c. Apa fungsi legenda Sunan Bungkul bagi masyarakat? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan praktis dan teoretis, rinciannya sebagai berikut: 1.3.1
Tujuan Teoretis Tujuan Teoretis dalam penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut: a. Mendeskripsikan komposisi, transmisi, dan performance dalam legenda Sunan Bungkul pada masyarakat Darmo, kecamatan Wonokromo, Surabaya. b. Mendeskripsikan formula dan tema legenda Sunan Bungkul pada masyarakat Darmo, kecamatan Wonokromo, Surabaya. c. Mendeskripsikan fungsi legenda Sunan Bungkul bagi masyarakat.
1.3.2
Tujuan Praktis Tujuan Praktis dalam penelitian ini, antara lain: a. Mendokumentasikan cerita legenda Sunan Bungkul sebagai salah satu aset budaya yang dimiliki oleh masyarakat Surabaya. b. Melestarikan cerita legenda Sunan Bungkul kepada masyarakat Surabaya dan luar Surabaya dari kepunahan.
5
c. Acuan penelitian selanjutnya untuk mengembangkan cerita legenda Sunan Bungkul dari aspek yang berhubungan dengan sastra maupun aspek lain . 1.4 Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian yang berhubungan dengan objek penelitian telah dilakukan dari aspek sastra maupun aspek non sastra. Berikut ini akan diuraikan beberapa penelitian sebelumnya yang menjadi kajian pustaka untuk penelitian ini: Artikel tentang Air Bertuah di Makam Sunan Bungkul diawali hubungan antara Sunan Bungkul dengan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Sunan Bungkul salah satu keturunan dari kerajaan Majapahit dan hijrah di kawasan Bungkul, Surabaya sehingga ia mendapat sebutan Sunan Bungkul.
Konon ia banyak
membantu Sunan Ampel dan namanya menjadi terkenal di kalangan para peziarah. Air sumur yang dibuatnya bersama Raden Rahmat menjadi daya tarik tersendiri dari makam Sunan Bungkul karena tidak sedikit yang membawa pulang air sumur untuk diminum. Pemkot Surabaya telah memadukan sejumlah fasilitas dengan dilengkapi
taman
kota
untuk
menjadi
daya
wisata
di
Surabaya
(http://nasional.vivanews.com/news/read/175052-air-bertuah-di-makam-sunanbungkul). Penelitian yang berhubungan dengan objek penelitian masih sedikit sehingga penelitian lain tentang sastra lisan yang membantu penelitian ini juga dikemukakan sebagai kajian pustaka, sebagai berikut: Penelitian yang berjudul Sawunggaling Pahlawan Kota Surabaya: Sebuah Analisis Intertekstual menggunakan konsep struktural dan intertekstual. Penelitian
6
ini menganalisis struktur pementasan ludruk Lakon Ludruk Sawunggaling dan struktur cerita Sawunggaling versi Lakon Ludruk dan struktur cerita versi Legenda Rakyat Jawa Timur. Hasil analisis struktur tersebut digunakan sebagai data untuk melihat hubungan intertekstual antara cerita Sawunggaling versi Lakon Ludruk dan Legenda Rakyat Jawa Timur antara lain transformasi struktur cerita Sawunggaling versi legenda pada cerita (alur, penokohan, tema) dan makna kehadiran Lakon Ludruk Sawunggaling (Syafrudin, 2007). Penelitian yang berjudul Legenda Sakera di Bangil-Pasuruan: Sebuah Kajian Struktur Naratif dan Nilai Budaya. Penelitian ini menggunakan konsep struktur Seymour Chatman membagi unsur cerita menjadi dua hal, yakni peristiwa inti yang disebut sebagai „kernel‟ dan peristiwa tambahan atau pelengkap yang disebut „satelit‟. Penelitian ini menghasilkan enam kernel yang masing-masing mempunyai sub satelit antara lain Sakera berasal dari Tampung-Rembang, Sakera menetap di Tampung-Rembang, Sakera menghasut pribumi untuk tidak patuh pada Belanda, Sakera marah kepada keponakannya, Sakera menjadi buronan dan Sakera meninggal. Nilai budaya yang terdapat pada legenda Sakera antara lain Sakera merupakan pekerja yang rajin, Sakera telah berbuat benar dalam memperjuangkan haknya sebagai seorang suami , Sakera menimba ilmu di Madura, dan menikah (Wijaya, 2008). Penelitian yang berjudul Ma’io dalam Tradisi Sasadu Masyarakat Sahu : Telaah Pendekatan Puitika Sastra Lisan. Penelitian ini membahas tentang Mai‟o merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang ada dalam masyarakat Sahu. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah puitika sastra lisan G.L. Koster. Hasil
7
penelitian menunjukkan bahwa tradisi pertunjukan Mai‟o dinyanyikan oleh para tukang Mai‟o terdiri atas tukang Mai‟o, pemain musik dan penari Salai. Sebelum menjadi tukang Mai‟o melalui proses transmisi dengan belajar kepada orang tuanya dan orang-orang yang menguasai Mai‟o. Konvensi pertunjukan Mai‟o terdiri atas pertunjukan, istirahat, dan penutup (Djumati, 2011). Penelitian yang berjudul Puitika dalam Nandai Radin Kuning: Sastra Lisan Serawai, Bengkulu. Penelitian ini membahas tentang karakteristik teks puisi lisan dalam sastra lisan Serawai, Bengkulu. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah puitika sastra lisan G.L. Koster. Penelitian ini menghasilkan bahwa Dang Nas (Tukang Nandai) sebelum menjadi tukang nandai melalui proses transmisi dengan belajar pada orang tua dan abangnya. Pertunjukan NRK dibagi dalam pembukaan, pertunjukan, istirahat, dan penutup. Komposisi teks tidak baku dan dapat berkembang sesuai dengan konteks dan keinginan tukang nandai (Lubis, 2011). Beberapa penelitian yang telah didokumentasikan sebagai kajian pustaka penelitian ini menunjukkan bahwa penelitian yang berjudul Legenda Sunan Bungkul Pada Masyarakat Darmo, Kecamatan Wonokromo, Surabaya: Kajian Sastra Lisan Albert B.Lord belum banyak diteliti sehingga diharapakan menambah penelitian sastra lisan. 1.5 Landasan Teori Teori yang relevan dengan penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Albert B.Lord yang membahas tentang komposisi, transmisi, performance, formula, tema dan nada dan lagu. Alasan pemilihan teori karena unsur-unsur
8
kelisanan tersebut juga dapat digunakan untuk menganalisis bentuk prosa rakyat. Berikut uraian tentang komposisi, transmisi, performance, formula, tema, nada dan lagu: -
Komposisi, Transmisi dan Performance Albert B. Lord adalah murid dari Milman Parry yang bersama-sama
meneliti epos rakyat Yugoslavia dan hasil penelitiannya menjadi buku yang berjudul The Singer of Tales. Lord berusaha memperbaiki ketepatan dalam menganalisis sastra lisan khususnya puisi lisan (bagaimana cara menyanyi dan menulis syair) tetapi konsep ini juga dapat diterapkan dalam bentuk prosa rakyat. Lord membuat suatu definisi yang terkenal dengan nama formula kemudian berkembang mengenai komposisi lisan. Kemudian ia merumuskan formula adalah kelompok kata yang digunakan secara teratur di bawah kondisi matra yang sama untuk mengekspresikan ide yang penting diberikan. Formula dapat menunjukkan garis atau bagian garis dari pola formula dan tema menunjukkan pengulangan dan bagian-bagian deskriptif dalam lagu (Lord, 1981:4). Formula bersifat dinamis sehingga terdapat perubahan dan sangat produktif dalam menghasilkan formula yang baru dan berbeda. Sama halnya dengan tema, jika keduanya digabung maka akan terbentuk sebuah cerita. Cerita tidak terlepas dari pencerita dan mungkin mereka belajar dan teknik penceritaan dari orang lain tetapi mereka kembali memproduksi cerita tersebut sesuai dengan apa yang ia pelajari dari pencerita sebelumnya.
9
Kata “lisan” tidak hanya merujuk pada presentasi lisan tetapi lebih ditekankan pada komposisi lisan, seperti kutipan berikut Oral, however, does not mean merely oral presentation. What is important is not the oral performance but rather the composition during oral performance.
Proses kelisanan berhadapan dengan proses tertentu dan terdapat perbedaan antara komposisi, transmisi dan pembelajaran lisan. Dalam tradisi lisan tetap ada teks yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi yang lain, jika ada perubahan maka itu penyimpangan dari ingatan/memori (Lord, 1981:5-9). Proses kelisanan juga mempunyai unsur performance. Performance pencerita merupakan hal penting untuk mendukung isi cerita. Our oral poet is composer. Singer, performer, composer, and poet are one under different aspects but at the same time. Singing, performing, composing are facets of the same act.
Pencerita adalah komposer cerita. Bercerita, performing, dan mengkomposisikan cerita adalah aspek yang berbeda dalam waktu yang sama. Bercerita dan menyusun cerita adalah aspek tindakan yang sama (Lord, 1981:13). Hal ini menunjukkan bahwa proses kelisanan yang berhubungan dengan pencerita, performance dan komposisi cerita merupakan satu rangkaian dalam cerita. Penelitian Lord terhadap penyanyi muslim dan Yugoslavia berbeda dan pertunjukan mereka cenderung dipengaruhi kultur masing-masing. Hal ini juga berlaku pada pencerita bahwa mereka berusaha bercerita dengan professional dan tetap membawa ciri khas cerita yang mereka bawakan dimanapun mereka berada dan disesuaikan dengan waktu mereka bercerita. Performance penyair puisi lisan
10
yang menjadi contoh penelitiannya di atas menunjukkan dua kesamaan, yaitu buta huruf dan mempunyai keinginan untuk mahir dalam menyanyikan setiap lagu (Lord, 1981:20). Tahap pembelajaran lisan seorang pencerita ketika ia meminta seseorang untuk mendengarkan ceritanya dan mendengarkan dari pencerita sebelumnya. Terkadang jika tidak ada seorang pun yang mendengarkan ketika ia bercerita maka ia akan mengambil dari semua cerita yang ia dengar. Tahap kedua dengan tradisi meniru dengan belajar formula kepada pencerita sebelumnya dan tema dari cerita tersebut. Tahap ketiga, pertama ia menceritakan semua cerita, setelah ia menguasai sebagian cerita, bukan berarti menghafal teks melainkan membuat atau mengubah komposisi sendiri. Pencerita muda mampu menghadapi pendengar walaupun ia mendapat kritik dari pendengar yang mengetahui cerita yang dibawakannya. Tujuannya agar ia dapat menghadapi dan menghibur pendengar ( Lord, 1981: 20-23). Pencerita berusaha belajar membawakan cerita dan memperkaya isi cerita sehingga lebih bervariasi. Seorang pencerita tidak pernah berhenti untuk mengumpulkan, mengkombinasikan dan memperbaiki formula dan tema sehingga menyempurnakan dalam bercerita dan memperkaya seni. Proses pengulangan cerita oleh pencerita dilakukan untuk membuat cerita tersebut dengan katakatanya sendiri. Gambaran dua penyanyi dari hasil penelitian Lord mendapat suatu kesimpulan bahwa satu penyanyi dengan penyanyi lain ketika membawakan lagu yang sama mengalami penambahan, pengurangan, ataupun kesalahan merupakan proses transmisi (Lord, 1981:25-29). Sama halnya antara pencerita
11
satu dengan pencerita lain bahwa cerita masing-masing akan mengalami penambahan, pengurangan sebagai proses trasnmisi. -
Formula Definisi dari formula menurut Lord sebagai kelompok kata yang
digunakan secara teratur di bawah kondisi matra yang sama untuk mengekspresikan ide yang penting diberikan. Formula tidak hanya analisis tekstual tetapi juga dapat dilihat dari sudut pandang pencerita dan tradisinya. Metode formula yang terdapat pada pencerita dapat dilihat dari mulai awal ia belajar bercerita kepada pencerita sebelumnya yang dianggap berkualitas. Misalnya penyanyi di Yugoslavia, ia dapat merasakan lagu yang ia ucapkan terdiri dari sepuluh suku kata walaupun ia tidak pernah menghitungnya. Bahkan ritme dan pikiran telah menjadi satu walaupun bentuknya tidak eksplisit. Dia menyadari ketukan berturut-turut dan berbagai panjang pikiran berulang, dan ini bisa dikatakan menjadi formula-nya sehingga ia dapat menghasilkan ritme sendiri (Lord, 1981:32). Formula tidak dapat menghasilkan formula penuh. Di dalam sebuah kelompok masyarakat atau individu ketika mereka mendengarkan cerita sumbernya tidak hanya dari satu pencerita tetapi pencerita lain juga diperbolehkan untuk membawakan cerita tersebut. Formula yang diterima juga berbeda. Setiap generasi pencerita memliki formula yang berbeda dalam membawakan sebuah cerita, karena hal itu dipengaruhi oleh kesadaran masing-masing. Pencerita membutuhkan waktu yang lama untuk dapat membuat formula sendiri, dimulai dengan ia mendengarkan cerita dari pencerita sebelumnya. Ketika
12
mereka menceritakan menurut versi mereka sendiri, secara tidak sengaja mereka mengubah formula cerita dari pencerita sebelumnya disesuaikan dengan kebutuhan mereka. The most stable formulas will be those for the most common ideas of the poetry. Formula yang paling stabil adalah ide umum dari cerita tersebut. Sehingga pencerita dapat leluasa untuk mengubah formula sesuai dengan versi mereka kepada pendengarnya tanpa mengubah ide umum dari cerita (Lord, 1981:34). Pencerita harus mempelajari formula dari kategori lain misalnya nama tempat dimana aksi itu terjadi, pencerita dapat mengekspresikan ide penting dengan kondisi matra yang berbeda. Kegunaannya dapat diilustrasikan dengan menunjukkan kata-kata yang dapat digantikan untuk kata kunci dalam formula tersebut. Pencerita tidak menghafal formula tetapi ia belajar mendengarkan cerita dan bercerita merupakan kebiasaan. Memorization is a conscious act of making one’s own. And repeating, something that one regards as fixed and not one’s own. Menghafal adalah tindakan sadar untuk membuat sendiri,dan diulang, sesuatu yang satu menganggap sebagai tetap dan bukan miliknya. Pencerita tidak harus belajar semua formula, tetapi ia belajar menggunakan pola dasar, jika ia dapat menguasai pola dasar maka ia hanya mengganti kata lain dengan satu kunci. Pola dasar yang diberikan kepada setiap pencerita dalam belajar tahap pertama akan lebih bervariasi. Hal terpenting bagi seorang pencerita adalah belajar formula dari pencerita lain. Elemen penting yang mendasar bagi
13
pencerita dapat menyesuaikan dalam membuat kalimat dan frase. Penyesuaian yang terbaik dalam hal berbagai pola ekpresi dan ritme (Lord, 1981:36). Pencerita mendapatkan sebagian besar formula dari proses mendengarkan cerita dan membuat sesuai dengan versi mereka sendiri dengan cara melihat pola sintaksis dari formula tersebut. Cara untuk menghasilkan frase yaitu dengan cara mengingat dan analogi. Frase membantu pencerita dalam membentuk pengalaman bercerita dengan serangkaian pola dan pola tersebut merangkai sebuah gaya. Frase membantu pencerita mengingat ketika ia lupa membawakan cerita. Pengulangan yang dilakukan oleh pencerita yang berbeda dengan cara yang sama ternyata tidak menghasilkan formula yang sama. Hal ini disebabkan formula yang dihasilkan dari pembelajaran kepada pencerita sebelumnya sehingga mereka membuat formula dengan versi mereka sendiri. Formula tersebut membawa ciri khas sekaligus menunjukkan ciri khas masing-masing pencerita walaupun ide umumnya setiap formula sama. -
Tema Pencerita menyerap tema-tema cerita dengan mendengarkan cerita
berulang-ulang dari pencerita lain dan sampai batas tertentu dengan menyerap tema melalui membaca cerita tersebut. The theme, even thought it be verbal, is not any fixed set of words, but a grouping of ideas. Tema tidak selalu dalam bentuk kelompok kata tetapi juga kelompok ide.
14
Pengalaman pencerita satu dengan yang lain berbeda dalam membawakan cerita yang sama dengan tema yang didalamnya terdapat ide dan dinyatakan dalam satu set kata-kata (Lord, 1981:69). A major theme, then, can take several possible forms in a singer’s repertory. Sebuah tema utama, maka, dapat mengambil beberapa kemungkinan dalam perbendaharaan seorang pencerita.
Ketika ia mendengar suatu tema dalam cerita baru, ia cenderung untuk mereproduksi ulang untuk materi yang sudah di tangannya. Dalam membangun sebuah tema besar pencerita memiliki rencana dalam pikirannya melampaui kebutuhan dasar naratif dan terdapat unsur-unsur keteraturan dan keseimbangan dalam tema (Lord, 1981:81-82). Pencerita yang berhasil dalam performance atau penampilannya tidak terlepas dari wujud tema, hal ini dikarenakan tema yang dibawakan satu pencerita berbeda dengan pencerita lain. Pencerita biasanya mempunyai satu bentuk dasar sebuah tema kecil. Meskipun tema memimpin secara alami dari satu ke yang lain untuk membentuk sebuah cerita yang ada secara keseluruhan dalam pikiran pencerita sesuai pemikiran Aristoteles di bagian awal, tengah, dan akhir, unit dalam keseluruhan ini, tema, memiliki kehidupan semi-independen mereka sendiri. Tujuan tema adalah untuk beradaptasi dan menyesuaikan dengan cerita tertentu untuk proses penciptaan kembali. Ia tidak memiliki satu bentuk "murni" baik untuk pencerita atau untuk tradisi secara keseluruhan. Bentuknya selalu berubah dan memiliki banyak bentuk sesuai tempat dimana ia bercerita dan dalam pikiran pencerita karena tema ini dalam protean realitas.
15
-
Fungsi tradisi lisan Lord menyebutkan tentang fungsi tradisi lisan secara implisit dengan
mencontohkan makna dari lagu, ia menyatakan bahwa lagu memunyai makna khusus dan tujuan, seperti pada kutipan berikut: this meaning comes to it from the special, peculiar purpose of oral epic song at its origin, which was magical and ritual before it became heroic (1981:66). Sebuah makna muncul secara khusus, tujuan khusus berasal dari lagu epik lisan, sebagai magic dan ritual sebelum menjadi heroik. Kutipan di atas menjelaskan bahwa makna dari tradisi lisan mempunyai tujuan atau fungsi secara khusus. Fungsi tersebut antara lain heroik tetapi sebelumnya hanya terdapat fungsi sebagai
magic dan ritual. Lagu yang
dicontohkan oleh Lord didalamnya mempunyai fungsi magic dan religi, kemudian berkembang mempunyai fungsi sebagai cerita sejarah. this was a change concomitant with the gradual shift toward the heroic and eventually the historic. the roots of oral traditional narrative are not artistic but religious in the broadest sense. (1981:67). Fungsi-fungsi tersebut kemudian disimpulkan oleh Lord bahwa akar dari cerita narasi sebuah tradisi lisan tidak hanya artistik tetapi lebih luas mencakup tentang agama. 1.6 Metode Penelitian Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah legenda Sunan Bungkul. Lokasi penelitian legenda Sunan Bungkul berada di area Taman Bungkul Jalan Raya Darmo, kelurahan Darmo, kecamatan Wonokromo, Surabaya tepatnya di area makam yang berada di belakang Taman Bungkul. Data-data yang sudah
16
dikumpulkan (metode pengumpulan data) dan metode pengolahan data. Data yang dikumpulkan melalui penelitian lapangan menjadi sumber data yang kemudian dipilah menjadi data utama. Studi pustaka sebagai referensi untuk menganalisis masalah penelitian ini sesuai dengan pendekatan atau teori yang digunakan. 1.7.1
Metode Pengumpulan Data Penentuan objek penelitian dan informan merupakan tahap awal penelitian
dan tahap selanjutnya metode pengumpulan data. Informan merupakan sumber data penelitian. Syarat-syarat penentuan informan antara lain: (a) usia 40-65 tahun, (b) sehat jasmani dan rohani; (c) artikulasi atau pengucapannya jelas, karena mempengaruhi setiap kata yang di ucapkan; (d) tidak pernah bermigrasi ke tempat lain dalam kurun waktu yang cukup lama atau 5-10 tahun. Informan dalam penelitian ini yaitu juru kunci atau lebih dikenal dengan pengelola makam Sunan Bungkul dan pegawai kelurahan Darmo. Selanjutnya mengadakan pertemuan awal dengan informan untuk perkenalan dan tujuan penelitian. Tahap selanjutnya metode pengumpulan data. Pengumpulan data dan informasi sastra lisan terutama dengan perekaman, pemotretan, pencatatan, dan wawancara (Sudikan, 2001:173). Metode pengumpulan data diawali tahap wawancara dengan informan. Wawancara secara lisan dan tulis dengan situasi santai dan mengurangi keramaian sehingga dilaksanakan pada waktu pagi hari. Sebelum melakukan wawancara, menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada informan terkait cerita legenda Sunan Bungkul. Wawancara tulis bertujuan untuk menambah kekurangan data saat wawancara lisan, hal ini untuk menjaga situasi yang kurang kondusif saat wawancara lisan.
17
Metode perekaman ini menggunakan alat perekam suara dan visual seperti kamera digital yang dilengkapi dengan fitur video dan handphone untuk menyimpan data ketika melakukan wawancara. Pemotretan berfungsi untuk mendokumentasikan foto makam dan tempat yang mendukung cerita Legenda Sunan Bungkul. Pengamatan dan pencatatan yang digunakan dalam penelitian sastra lisan dilakukan secara bergantian, tetapi metode pencatatan dinilai lebih bermanfaat dalam mengumpulkan data. Catatan yang disiapkan berupa pertanyaan dan identitas diri yang ditujukan kepada informan antara lain nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, bahasa yang digunakan sehari-hari, kedudukan dalam masyarakat, lama tinggal, dan pengetahuan tentang cerita Legenda Sunan Bungkul. Selain itu, metode pencatatan digunakan untuk mendukung wawancara tulis dan menyediakan beberapa alat tulis dan notebook. Tahap terakhir dari pengumpulan data yaitu transfer data ke dalam bentuk CD dan flashdisk supaya data tidak hilang dan rusak. Data yang sudah dikumpulkan melalui tahap-tahap tersebut diatas kemudian diklasifikasikan menjadi data primer dan sekunder. Data primer berupa data rekaman dari informan tentang cerita legenda Sunan Bungkul. Sebelum tahap klasifikasi, data yang sudah terkumpul ditranskripsikan dan diterjemahkan. Transkripsi dan transliterasi sering dipakai dengan pengertian yang sama pada penggantian jenis tulisan dan naskah. Transkripsi adalah pengubahan dari satu ejaan ke ejaan yang lain, dengan tujuan menyarankan lafal bunyi unsur bahasa yang bersangkutan (KIF, 1977:90). Trasnliterasi adalah penggantian jenis
18
tulisan, huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain (Baroroh-Baried dkk., 1985:65). Di dalam ilmu foklor, pemindahan dari bentuk lisan ke bentuk tulisan disebut transkripsi. Konsekuensi prinsip “pemindahan secara setia” ialah kata-kata, baik yang diucapkan dalang maupun panjak, yang berupa: salah ucap, makna tidak jelas, salah menggunakan kata, dan dialek;ucapan itu ikut dipindahkan ke bentuk tulisan (Hutomo, 1993:18). Transkripsi cerita legenda Sunan Bungkul mengikuti prinsip “pemindahan secara setia”, hal ini dimaksudkan agar pembaca mudah membaca teks cerita lisan. Penerjemahan adalah pengalihan amanat antar budaya atau antar bahasa dalam tuturan gramatikal dan leksikal dengan maksud efek atau wujud yang sedapat mungkin tetap dipertahankan (Kridalaksana, 1982:128). Terjemahan yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan terjemahan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia untuk memudahkan dalam menganalisis data dan pembaca. Data yang sudah ditranskripsi dan diterjemahkan kemudian dilanjutkan tahap klasifikasi untuk lebih memudahkan dibuat korpus data. Korpus data yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk memudahkan dalam metode analisis data. Korpus data dibuat sesuai dengan rumusan masalah sehingga terdapat tiga korpus data yaitu (a) komposisi, transmisi, dan performance; (b) formula dan tema; (c) nada dan lagu. 1.7.2
Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
analisis data deskriptif, yaitu berupa data yang berupa lisan maupun tulis. Data
19
yang telah dikumpulkan didalam korpus data digunakan untuk memudahkan bagian yang dikaji menggunakan teori kelisanan. Data-data yang terdapat pada korpus data yang menunjukkan yang dianalisis menggunakan konsep kelisanan Albert B.Lord antara lain komposisi, formula dan tema. Data komposisi lisan kemudian dianalisis untuk mendeskripsikan komposisi-komposisi yang terdapat dalam legenda Sunan Bungkul. Data transmisi berupa proses transmisi tukang cerita mendapatkan cerita tersebut kemudian mendeskripsikan secara jelas dari awal ia belajar dan mendapatkan cerita tersebut hingga ia dianggap sebagai juru kunci cerita tersebut. Data performance dianalisis ketika ia menceritakan cerita legenda Sunan Bungkul. Untuk data transmisi dan performance tidak dalam bentuk korpus data, hal ini dikarenakan data diambil melalui hasil wawancara dengan informan. Data yang berupa formula dan tema dikumpulkan dan diklasifikasikan dalam korpus data yang menunjukkan formula dan tema. Data formula yang menunjukkan pengulangan pada bagian awal, inti, dan akhir cerita sehingga dapat diketahui tema-tema yang terdapat didalamnya. Data yang berupa nada dan lagu berhubungan cara membawakan cerita ketika informan menceritakan Legenda Sunan Bungkul. Setelah analisis data dilanjutkan simpulan merupakan akumulasi hasil penelitian.
20
1.8 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian penelitian ini terdiri atas lima bab, antara lain: Bab I Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, objek penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II, Masyarakat Darmo Sebagai Pendukung Legenda Sunan Bungkul dan Tradisinya berisi demografi masyarakat Darmo, tradisi masyarakat Darmo, dan sistem sosial masyarakat Darmo. Bab III, Komposisi, Transmisi dan Performance dalam Legenda Sunan Bungkul Pada Masyarakat Darmo, Kecamatan Wonokromo, Surabaya. Bab IV, Formula dan Tema, dalam Legenda Sunan Bungkul Pada Masyarakat Masyarakat Darmo, Kecamatan Wonokromo, Surabaya. Bab V , Fungsi Legenda Sunan Bungkul Bagi Masyarakat Bab VI, Penutup berisi simpulan dan saran. Selanjutnya terdapat daftar pustaka dan lampiran yang berisi teks cerita Legenda Sunan Bungkul, data informan, korpus data dan dokumentasi.