1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Sejak manusia lahir, ia selalu berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Bahkan
sebelum
ia
lahir,
manusia
berkomunikasi
dengan
ibu
yang
mengandungnya. Ini membuktikan secara aksiomatis bahwa kita dan komunikasi selalu terjadi kapanpun dan dimanapun selama manusia hidup. Kebutuhan untuk berkomunikasi adalah hal primer baik dalam memenuhi kebutuhan fisiologis maupun
psikologis.
Dalam
lingkup
bermasyarakat,
kebutuhan
dalam
berkomunikasi menjadi lebih kompleks. Terdapat budaya, norma, pranata dan institusi yang mengikat masyarakat baik secara personal maupun kolektif. Kebudayaan dalam suatu masyarakat menjadi identitas, baik sebagai simbol intrapribadi maupun sebagai antarpribadi. .Di sinilah letak unsur nilai sebuah kebudayaan menjadi penting. Setiap kebudayaan memiliki nilai atau prinsip yang menjaga identitas masyarakat tersebut. Media transformasi dibutuhkan untuk menjaga nilai-nilai kearifan budaya dari generasi ke generasi selanjutnya. Media transformasi yang bernilai kultural-historis ini mempunyai corak yang beragam sesuai dengan tempat budaya lahir dan berkembang. Karakter ini menghasilkan cara pandang tertentu di masyarakat. Cara pandang yang bersifat kultural-historis inilah yang sebenarnya menbentuk manusia karena manusia bukan dibentuk oleh lingkungan, tetapi oleh cara menerjemahkan pesan-pesan lingkungan yang diterimanya (Rakhmat. 12, 2007). 1
2
Cara menerjemahkan pesan adalah bagian dari kegiatan komunikasi dan hal ini sangat memengaruhi tingkat keberhasilan dari proses komunikasi. Dalam mencapai tujuan komunikasi, diperlukan cara-cara komunikasi yang sistematis dan tepat sasaran yang disebut sebagai strategi komunikasi (communication strategy), karena berhasil tidaknya suatu kegiatan komunikasi secara efektif ditentukan oleh strategi komunikasi. Budaya dan komunikasi adalah satu kesatuan yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Budaya setempat mempengaruhi komunikasi di daerah setempat. Komunikasi dengan media budaya adalah salah satu strategi komunikasi yang sering digunakan oleh masyarakat. Dengan media budaya, masyarakat tersebut mempertegas identitasnya. Karya sastra mempunyai nilai sebagai media budaya sekaligus sebagai media komunikasi. Puisi adalah karya sastra yang memliki metode yang khas dalam penggunaan bahasanya. Memanfaatkan puisi sebagai media komunikasi merupakan salah satu contoh dari strategi komunikasi. Berpuisi melibatkan segenap energi budi dari seorang budayawan dalam melahirkan sebuah karya. Dimensi afektif cenderung lebih mudah menyerap informasi dari pada dimensi kognitif. Puisi
menggunakan
dimensi
afektif
dalam
menyampaikan
dan
mengorganisasikan makna yang dikandung dalam puisi. Karakter inilah yang menjadi sebab pola perubahan kesadaran personal karena pesan dikemas dalam muatan rasa dan budi. Pola perubahan kesadaran personal ini selanjutnya ikut memengaruhi kesadaran kolektif dalam masyarakat.
3
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) arti kata sastra adalah “karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya”. Karya sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri. Substansi karya sastra apa pun bentuknya tetap sama, yakni pengalaman kemanusiaan dalam segala wujud dan dimensinya. Sastra dapat berfungsi sebagai kritik sosial. Kritik sosial
merupakan salah satu bentuk komunikasi dalam
masyarakat yang berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya suatu sistem sosial. Adapun tindakan mengkritik dapat dilakukan oleh siapapun termasuk sastrawan dan kritik sosial merupakan unsur penting dalam memelihara sistem sosial yang ada. Dalam penelitian tentang karya sastra, Roland Barthes (1915 – 1980) menerapkan model teori strukturalisme Saussure dalam menganalisis tentang karya -karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan. Bagi Barthes komponen – komponen tanda, penanda – petanda dan sistem tanda bukan terdapat pada bahasa melainkan terdapat pada bentuk mitos yakni keseluruhan sistem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan identitasnya. Dalam rangka analisis sastra, Roland Barthes melakukan refleksi atas kondisi historis bahasa sastra, berdasarkan fakta bahwa semua bahasa dibelit
4
oleh makna yang telah melekat padanya, yang ada dalam suatu kebudayaan spesifik sehingga penuh dengan asumsi tentang realitas sosial. Bahasa sebagai medium karya sastra sebenarnya sudah merupakan sistem ketandaan atau semiotika, yaitu sistem ketandaan yang memiliki arti. Selain itu, karya sastra juga merupakan sistem tanda yang berdasar pada konvensi masyarakat (sastra). Inilah yang membedakan karya sastra dengan karya seni lain (Pradopo: 1995:121-122). KH. A. Mustofa Bisri, merupakan salah satu budayawan yang produktif menulis karya sastra. Pribadi yang kini sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Leteh Rembang lebih dikenal dengan sapaan Gus Mus. Gus adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kyai yang mempunyai arti mas (kakak laki-laki). Kecakapan sosok yang dilahirkan di Rembang ini, dalam mencermati segala fenomena keagamaan dan kebangsaan membuatnya terlihat santun dalam menyikapi aneka persoalan. Ia adalah ulama-budayawan yang mampu menciptakan revitalisasi, inovasi, dan kreasi untuk menghangatkan kembali dan mengemas seni tradisional ke dalam bentuk-bentuk baru, tanpa meninggalkan esensi dan substansinya. Telah menjadi sebuah gejala sosial yang absurd, ketika manusia kini banyak mengaku diri pintar dan modern, namun sesungguhnya masih primitif dalam hal kesadaran dan kedewasaan. Berkaitan carut-marut kehidupan berbangsa ini tidak dapat lepas dari ketidakpekaan kita terhadap sekitar (lingkungan dan masyarakat) dan ketidakmampuan menata diri sendiri secara proporsional (menempatkan hak dan kewajiban). Fenomena ini menjadi inspirasi Gus Mus untuk menulis puisi berjudul Tahun Baru:
5
Tahun Baru “ Selamat Tahun Baru Kawan Kawan! Sudah tahun baru lagi Belum juga tibakah saatnya kita menunduk? Memandang diri sendiri? Bercermin firman Tuhan sebelum kita dihisabnya? Kawan! Siapakah kita ini sebenarnya? Musliminkah? Mukminin? Muttaqin? Khalifah Allah? Ummat Muhamadkah kita?
Khaira ummatin kah kita? Atau kita sama saja dengan makhluk lain? Atau bahkan lebih rendah lagi? Hanya budak-budak perut dan kelamin Iman kita kepada Allah dan yang ghaib rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan, lebih pipih dari kain rok perempuan. Betapapun tersiksa, kita khusyu’ di depan massa dan tiba-tiba buas dan binal justru saat di saat sendiri bersamaNya. Syahadat kita rasanya seperti perut bedug Atau pernyataan setia pegawai rendah saja, kosong tak berdaya. Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam ibu-ibu, lebih cepat daripada menghirup kopi panas, dan lebih ramai daripada lamunan seribu anak muda.Doa kita sesudahnya justru lebih serius kita memohon hidup enak di dunia dan bahagia di surga. Puasa kita rasanya sekedar mengubah jadual makan minum dan saat istirahat Tanpa menggeser acara buat syahwat Ketika dating lapar atau haus, kitapun manggut-manggut “Ooh beginikah rasanya” dan kita sudah merasa memikirkan sodara-sodara kita yang melarat. Zakat kita jauh lebih berat terasa Dibanding tukang becak melepas penghasilannya untuk kupon undian yang sia-sia
Kalaupun terkeluarkan harapanpun tanpa ukuran, upaya-upaya Tuhan menggantinya berlipat ganda. Haji kita tak ubahnya tamasya, menghibur diri, mencari pengalaman spiritual dan matrial.
6
Membuang uang kecil dan dosa besar, lalu pulang membawa label suci asli made in Saudi … Haji… Kawan, lalu bagaimana, bilamana, dan berapa lama kita bersamaNya? Atau kita justru sibuk menjalankan tugas mengatur bumi seisinya Mensiasati dunia sebagai khalifahNya Kawan, tak terasa kita memang semakin pintar Mungkin kedudukan kita sebagai khalifah mempercepat proses kematangan kita Paling tidak kita semakin pintar berdalih Kita perkosa alam dan lingkungan, demi ilmu pengetahuan Kita berkelahi demi menegakkan kebenaran
Melacur dan menipu demi keselamatan Memamerkan kekayaan demi mensyukuri kenikmatan Memukul dan mencaci demi pendidikan Berbuat semaunya demi kemerdekaan Tidak berbuat apa-apa demi ketentraman Membiarkan kemungkaran demi kedamaian Pendek kata, demi semua yang baik halallah semua sampai yang tidak baik Lalu bagaimana para cendekiawan dan seniman? Para mubaligh dan kiai, penyambung lidah nabi? Jangan ganggu mereka
Para cendekiawan sedang memikirkan segalanya Para seniman sedang merenungkan apa saja Para muballigh sedang sibuk berteriak kemana-mana Para kiai sedang sibuk berfatwa dan berdoa Para pemimpin sedang mengatur semuanya
Biarkan mereka di atas sana Menikmati dan meratapi persoalan mereka sendiri
Kawan selamat tahun baru Belum juga tibakah saatnya kita menunduk? Memandang diri sendiri.”
7
Berangkat dari bait puisi Tahun Baru di atas, terdapat rangkaian makna yang dapat menjadi perspektif dalam mengamati fenomena masyarakat yang cenderung hipokrit. Dengan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengambil Puisi Gus Mus ini sebagai objek penelitian, karena kejernihan Gus Mus dalam melihat dan menerjemahkan realitas sosial dalam bentuk rangkaian bait puisi. Peneliti berusaha mengangkat diskursus ini dengan rumusan masalah ” BAGAIMANA ANALISIS SEMIOTIKA KARYA SASTRA DALAM PUISI GUS MUS – TAHUN BARU“
1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti mengidentifikasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut: 1.
Bagaimana makna pesan linguistik yang terdapat dalam bait puisi Tahun Baru.
2.
Bagaimana makna denotatif dan konotatif pada bait puisi Tahun Baru.
3.
Bagaimana analisis mitologi dapat menjelaskan fenomena sosial yang ada bagi pembaca puisi Tahun Baru
4.
Bagaimana kode bahasa mampu menerangkan sistem tanda pada bait puisi Tahun Baru.
8
1.3 Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan di Jurusan Ilmu Komunikasi pada konsentrasi jurnalistik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pasundan Bandung. Penelitian ini juga bertujuan untuk menyajikan bahasan pemikiran semiotika analitik dan komunikasi sebagai pisau analisis dalam mereproduksi sistem tanda pada puisi Gus Mus yang berjudul Tahun Baru. Selain itu penelitian juga bertujuan untuk; 1.
Mengetahui makna pesan linguistik yang terdapat dalam bait puisi Tahun Baru;
2.
Mengetahui makna denotatif dan konotatif pada bait puisi Tahun Baru;
3.
Mengetahui analisis mitologi dapat menjelaskan fenomena sosial yang ada bagi pembaca puisi Tahun Baru;
4.
Mengetahui kode bahasa mampu menerangkan sistem tanda pada bait puisi Tahun Baru;
\
9
1.3.2 Kegunaan Penelitian Penelitian berguna untuk pengembangan sebuah ilmu, terdapat dua kegunaan penelitian kualitatif. Kegunaan teoretis dan kegunaan praktis. Adapun kegunaan penelitian yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu: a.
Kegunaan teoretis 1.
Memberikan paradigma dalam memahami puisi sebagai karya sastra dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes karena penelitian ini menganalisis fenomena tanda yang di alami masyarakat kontemporer saat ini;
2.
Sebagai wahana pengembangan dan penggunaan pengetahuan mahasiswa dan menjadi parameter tentang dinamika sosial masyarakat dengan menganalisis aspek-aspek interaksi sosial dalam bentuk komunikasi massa;
3.
Mendapatkan gambaran tentang puisi yang dapat memberikam kesadaran baru dalam menerjemahkan fenomena sosial yang labil.
b. Kegunaan Praktis Kegunaan praktis dalam penelitian ini adalah untuk dapat menerapkan semiotika dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat, khususnya melalui media karya sastra yang berbentuk puisi dan bagi pembaca dapat menjadi lebih kritis dalam memaknai tanda bahasa yang selalu digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Selain itu menyadarkan akan kemampuan puisi dalam memahami realitas dan membangun kesadaran kognitif bagi para pembacanya.
10
1.4 Kerangka Pemikiran. 1.4.1 Kerangka Pemikiran Teoretis Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori fenomenologi Martin Husserl. Fenomenologi melihat komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog atau percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati. Husserl yang dikutip oleh Engkus Kuswarno dalam bukunya Fenomenologi menjelaskan: Dengan fenomemologi kita dapat mempelajari bentukbentuk pengalaman dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung, seolah-olah kita mengalaminya sendiri. Feomenologi tidak saja mengklasifikasikan setiap tindakan sadar yang dilakukan, namun juga meliputi prediksi terhadap tindakan dimasa yang akan datang, dilihat dari aspek-aspek terkait dengannya. Semuanya bersumber dari bagaimana seseorang memaknai objek dalam pengalamannya. Oleh karena itu, tidak salah apabila fenomenologi juga diiartikan sebagai studi tentang makna, dimana makna itu lebih luas dari sekedar bahasa yang mewakilinya (2009:10)
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat. Dalam bahasa indonesia biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa
11
yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu ilmu yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri. Berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori, seorang Fenomenolog menganalisis objek dengan melihat gejala. Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa fenomenologi ini mengacu kepada analisis kehidupan sehari-hari.
1.4.2 Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian ini menggunakan model Teori Semiotika Roland Barthes yang
dikutip
oleh Alex
Sobur dalam
bukunya Semiotika Komunikasi
menjelaskan : Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda – tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah – tengah manusia dan bersama – sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal – hal (things). Memaknai (tosinify) dalam hal ini tfidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek – objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek – objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (2001:53) Gambar dapat memberikan tanda – tanda yang dapat dimaknai, dan tidak hanya sebagai alat penyampaian pesan. Dengan tanda – tanda kita mencoba mencari keteraturan di tengah – tengah dunia yang centang –
12
perenang ini, setidaknya agar kita punya sedikit pegangan. Banyak terkadang orang – orang yang tidak mampu membaca sebuah tanda, dan hanya terpaku pada sebuah kata yang tercermin dalam kehidupan sehari – hari. Sebagai salah satu pemikir strukturalis yang handal dan
rajin
mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean Roland Barthes juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang populer dalam penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke – 2, yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang dalam mythologies - nya secara tegas ia membedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan ataran pertama. Melanjutkan studi Hjemslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja seperti yang tertera pada gambar berikut :
13
Gambar 1.0 Peta tanda Roland Barthes 1. 1. signifer 2. (penanda)
2. 2. signified (petanda)
3. denotative sign (tanda denotatif) dfdfd 4. CONNOTATIVE ( SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Sumber: Paul Colbey & Litza Jansz. 1999. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, hlm.51. Barthes dalam kutipan Alex Sobur dalam buku Semiotika Komunikasi menyatakan bahwa : Dari peta Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri dari atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material : hanya jika ada mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian, menjadi mungkin (1999:51).
Konotatif tidak sekedar memilih makna tambahan, tetapi juga mengandung kedua keberadaannya.
unsur
bagian
tanda
denotatif
yang
melandasi
Barthes memberikan sumbangan yang sangat berarti berupa
penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada tataran denotatif. Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai “mitos”, dan
14
berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada periode tertentu. Mitos
juga
memiliki
tiga demensi penanda, petanda, dan tanda.
Mitologi mempelajari bentuk – bentuk tanda bahasa tersebut karena pengulangan konsep terjadi dalam wujud yang bermacam. Kegiatan membaca berarti menggali fondasi-fondasi kultural yang terpendam dalam setiap pribadi. Pembaca membaca „melalui‟ bahasa bukan „dalam‟ bahasa. Bahasa bukan kehidupan, bahasa menceritakan kehidupan. Karya sastra tidak secara langsung mendidik pembaca, tetapi karya sastra menampilkan citra energetis yang secara langsung berpengaruh terhadap kualitas emosional, yang kemudian berpengaruh pada kualitas lain, seperti pendidikan, pengajaran, etika, budi pekerti, dan sistem norma yang lain. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa akibat-akibat yang ditimbulkan oleh karya sastra bersifat tidak langsung. Dari fungsi pesan, peneliti menjabarkan lagi menjadi pembentukan pesan – pesan dalam konteks kehidupan dalam sebuah masyarakat sebagai ekspresi. Dibawah ini keseluruhan diatas digambarkan sebagai berikut.
15
Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Semiotika Krisis Identitias Bait Puisi Gus Mus– Tahun Baru
Bagaimana Analisis Semiotika Karya Sastra pada Puisi Gus Mus dalam bait Tahun Baru
Fenomenologi (Edmund Husserl)
Model Analisis Semiotika Roland Barthes
Sistem penandaan
Mitologi
-Bait puisi Gus Mus
- Naturalisasi budaya
- Denotasi dan Konotasi sebagai lingkaran linguistik
bentuk dialog dan narasi.
- Interaksi dalam
Sumber : Olahan Peneliti dan Pembimbing Peneliti 2011
Kode bahasa estetik -Klasifikasiunsurunsur tanda pada karya sastra
16
TABEL 1.2 JADWAL KEGIATAN PENELITIAN
NO. 1.
2.
3.
KEGIATAN Tahap Prsiapan a.Pengajuan Judul c.Studi Pustaka d.Penyusunan e.Bimbingan f. Perbaikan g.Seminar outline Pelaksanaan a.Pengumpulan data b.Analisis Data Pelaporan a.Pengolahan b.Bimbingan c.Perbaikan d.Seminar Draft e.Sidang Skripsi
TAHUN BULAN MINGGU
2011 Juli Agustus September 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Oktober November 1 2 3 4 1 2 3 4