1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa tidak pernah berhenti berubah, baik ke arah perkembangan dan kemajuan maupun ke arah kepunahannya. Hal ini dapat diamati secara jelas pada kemunculan leksikon-leksikon baru atau punahnya leksikon-leksikon yang ada di dalamnya. Dinamika leksikon merepresentasikan perubahan lingkungan tempat suatu bahasa dipakai. Sebagai bukti adanya dinamika leksikon yang disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan, misalnya kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai peladang dan petani, kurang lebih empat puluh atau lima puluh tahun yang lalu, hanya mengenal seperangkat leksikon tanaman budi daya lama, peralatan pengolah tanah tradisional, dan pupuk kandang, kini leksikonleksikon, seperti pestisida, hibrida, traktor, pupuk organik/bukan organik dan sebagainya, begitu akrab dengan mereka. Di samping itu, intensifkasi dan ekstensifikasi di bidang perkebunan dan pertanian menyebabkan banyak perangkat leksikon lama yang berkaitan dengan ranah-ranah perladangan dan pertanian tradisional tergusur dan akhirnya punah (lihat Mbete dkk., 2009: 99). Dengan kata lain, perubahan bahasa dapat terjadi sebagai akibat perubahan lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam yang ditandai dengan hilangnya leksikon-leksikon tertentu yang merepresentasikan ciri dan kondisi lingkungan alam sebelumnya. Di samping punahnya beberapa leksikon, perubahan bahasa (ke arah positif atau berkembang) ditandai dengan munculnya 1
2
leksikon-leksikon baru, baik yang dibentuk melalui proses peminjaman (borrowing), inovasi penutur melalui pemajemukan (compounding), maupun melalui pencampuran bagian unsur sebuah leksikon dengan unsur/bagian dari leksikon yang lain (Halliday dalam Fill dan Muhlhausler, ed., 2001) Globalisasi budaya dan bahasa, khususnya pengaruh bahasa-bahasa internasional dan dominasi bahasa nasional Indonesia, menguji
kebertahanan
bahasa (language maintenance) yang melanda bahasa-bahasa daerah, terutama yang tergolong kecil, di seluruh Nusantara. Gejala ini perlu dicermati dan tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi membawa perubahan, khususnya terhadap sikap bahasa (language attitude) penutur bahasa lokal atau bahasa ibu warisan leluhur mereka. Sikap bahasa yang negatif berpengaruh buruk terhadap BD sebagai warisan leluhur, sebaliknya sikap positif menjamin kehidupan dan kelestarian BD. Karena pengaruh berbagai faktor, media komunikasi sehari-hari mereka tidak lagi hanya diwahanai oleh bahasa lokal melainkan oleh bahasa lain, dalam hal ini bahasa Indonesia. Apabila fenomena ini berlangsung terus menerus, perlahan tetapi pasti, bahasa-bahasa lokal tidak lagi menjadi identitas pendukungnya karena mereka telah memilih bahasa lain untuk berkomunikasi sehari-hari. Fenomena ini oleh Holmes (1992: 56) disebut dengan pergeseran bahasa (language shift) (bdk. Fasold, 1984; Gal, 1979). Fenomena di atas bukan tidak mungkin juga melanda bahasa Using (yang selanjutnya disingkat BU) sebagai salah satu bahasa daerah kecil dan terjepit di Nusantara. BU yang merupakan lambang identitas etnis, budaya, dan alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari antaranggota guyub tutur bahasa Using
3
(yang selanjutnya disingkat (GTBU) ini, tergolong bahasa daerah kecil karena jumlah penutur di bawah satu juta orang, atau oleh Ferguson (dalam Soepomo, 1976) digolongkan “low” yaitu bahasa yang reputasinya rendah, tidak mempunyai tradisi sastra, tidak memiliki kodifikasi, dan penguasaannya hanya melalui keluarga dan masyarakat dalam situasi tidak formal (Soepomo, 1976: 1--3). Kontak sosial dengan etnis lain di suatu lingkungan khusus, misalnya lingkungan hidup BU (dengan etnis Jawa, Madura, Bali, Bandar, dan sebagainya), menyebabkan munculnya penggunaan bahasa lain sebagai bahasa pengantar dalam berkomunikasi GTBU. Kontak sosial merupakan salah satu akibat dari terbukanya isolasi sebuah wilayah. Apabila unsur-unsur pembatas sudah hilang, misalnya oleh berbagai perkembangan seperti mobilitas penduduk, transportasi, dan pendidikan, maka terjadi pertautan dengan pusat-pusat inovasi (Trudgill, 1983: 71). Budaya urban, pola hidup kota, khususnya Kota Banyuwangi dan Pulau Bali sejak dahulu, memengaruhi kehidupan GTBU.
Sebagai akibatnya,
bahasa-bahasa lokal atau dialek diperkenalkan dengan bahasa-bahasa lain. Hal ini menyebabkan terjadinya kontak bahasa dalam suatu wilayah sehingga penuturnya menjadi dwibahasawan atau multibahasawan yang dapat memunculkan
dua
pengaruh yang saling berkaitan, yaitu pengaruh kontak bahasa terhadap penutur dwibahasawan dan pengaruh penutur dwibahasawan terhadap masyarakat bahasanya (Jeffers dan Lehiste, 1979: 135) sehingga dapat terdeteksi berbagai sikap bahasa masyarakat penuturnya, seperti ambisi sosial yang memungkinkan pemakai bahasa yang tergolong berpendidikan, mulai meninggalkan bahasa lokal mereka (Ayatrohaedi, 1985: 44 ; Chambers dan Trudgill, 1980: 79).
4
Sebagai warga bangsa Indonesia, para penutur BU juga menggunakan bahasa Indonesia (yang selanjutnya disingkat BI) sebagai bahasa nasional. Dalam fungsinya sebagai lingua franca, keberadaan BI di tengah-tengah guyub tutur bahasa-bahasa lokal merupakan kebijakan nasional kebahasaan dalam konteks pendidikan, pengajaran, dan pembelajaran bahasa, karena sebagai warga negara Indonesia, guyub tutur BU harus menggunakan BI secara baik dan benar, di samping juga ikut memelihara dan mengembangkannya. Di samping itu, kedudukan BI sebagai bahasa kebangsaan
dan bahasa Negara,
semakin
mendesak bahasa-bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa kecil di Indonesia apalagi
pemakai bahasa-bahasa daerah mana pun tidak mengalami kesulitan
dalam mempelajari BI, karena sama-sama berasal dari rumpun bahasa yang serumpun (Ayatrohaedi, 1985: 38). Dengan demikian, perkembangan BI yang begitu pesat melalui jalur seperti yang disebutkan di atas, sangat tidak menguntungkan perkembangan bahasa-bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa daerah kecil seperti BU. Berdasarkan hasil telaah terhadap hasil-hasil penelitian seperti “Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi” oleh Herusantosa (1987), “Fungsi dan Kedudukan Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi” oleh Subyatiningsih dkk. (1999) dan juga hasil diskusi informal dengan masyarakat penutur BU atau yang memiliki pengetahuan tentang BU, dan artikel-artikel seperti “Kebijakan dan Arah Penelitian Bahasa Using di Masa Depan” oleh Kusnadi (2002) “Pola Diglosia dalam Masyarakat Using” oleh Sariono (2002), dan sebagainya, dinyatakan bahwa wilayah pakai dan fungsi BU ternyata semakin menyusut. Fenomena ini
5
ditunjukkan oleh perbandingan hasil penelitian yang dilakukan oleh Herusantosa (1987) dan Subyatiningsih (1999) seperti berikut. Ranah Keluarga Transaksi Keagamaan Seni/tradisi/budaya
Herusantosa (1987) 75,00% 50,67% 28,00% 73,50%
Perbandingan kedua hasil penelitian di atas
Subyatiningsih (1999) 62,35% 32,40% 18,65% 37,87% mengindikasikan bahwa
fungsi kultural dan natural yang diemban BU yang tercermin pada pemakaian bahasa (language in use) dalam berbagai ranah dan ragam fungsionalnya semakin berkurang. Perlu diingat bahwa penurunan fungsi BU dalam ranah-ranah keluarga. transaksi, keagamaan, seni, tradisi, dan budaya yang secara kuantitatif itu terjadi selama 12 tahun (1987-- 1999). Diasumsikan bahwa setelah berlalu 12 tahun pula, 1999-- 2013, atau kurang lebih 14 tahun, penyusutan fungsi BU dalam ranah-ranah tersebut tetap akan terjadi pula. Penyusutan pemakaian BU diawali pula oleh ketidakterpakaian leksikonleksikon BU dalam setiap konteks pemakaian BU karena leksikon merupakan satuan bahasa yang paling mudah berubah. Seperti diuraikan di atas, perubahan leksikon mencerminkan adanya perubahan lingkungan alam, sosial, budaya (bdk. Seguy dalam Lauder, 1990: 163 dan Danie, 1991: 13). Selain itu, tidak adanya pewarisan bahasa sebagai wahana, sistem kode, dan sistem simbol verbal kepada generasi berikutnya melalui jalur pendidikan (formal, informal) berdampak pada hilangnya ragam atau register BU pada generasi tersebut karena dominasi bahasa Indonesia (lihat Mbete dkk., 2009: 3) sebagai bahasa daerah besar mengitarinya.
6
Apabila fenomena ini terjadi sampai ke wilayah pedesaan, maka proses pergeseran dan penyusutan BU dari segi leksikon akan semakin cepat terjadi dan berdampak pada posisi BU menjadi semakin terjepit. Fakta menunjukkan bahwa agar dapat bertahan hidup, dimana pun manusia bertempat tinggal di muka bumi ini, disadari atau tidak mereka telah bergantung
pada
lingkungan
alam
dan
fisik
tempat
tinggal
mereka.
Ketergantungan tersebut dapat berupa macam, kuantitas, kualitas udara, angin, kelembaban, dan sumber-sumber
alam yang digunakan sebagai makanan,
minuman, pembuatan peralatan untuk berbagai kesenangan hidup dan sebagainya. Hubungan antara manusia dan lingkungan fisik dan alamnya tidak hanya berupa hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya, tetapi juga turut menciptakan corak dan bentuk lingkungannya. Dalam lingkungan yang diciptakannya ini, baik lingkungan nyata maupun lingkungan abstrak manusia berinteraksi, sehingga dari satu sisi manusia menjadi bagian dari lingkungan alam dan fisik tempatnya hidup, sedangkan dari sisi lain lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup menjadi bagian dari diri manusia itu sendiri (Suparlan, 1980). Keadaan lingkungan tempat tinggal guyub tutur suatu bahasa dapat berpengaruh terhadap guyub tutur bahasa tersebut karena lingkungan tesebut turut membentuk karakter dan budaya yang menjadi ciri atau identitas masyarakat tesebut. Fenomena ini juga terjadi pada GTBU. Karena lingkungan mereka memiliki curah hujan yang cukup tinggi dan kaya akan sumber air, mereka terbentuk menjadi masyarakat bermatapencaharian sebagai petani yang masih menjaga kelestarian lingkungan alam di sekeliling mereka.
7
Di samping dapat membentuk dan memengaruhi karakter masyarakat di sekelilingnya, lingkungan juga menentukan jenis flora dan fauna yang hidup dan tumbuh di wilayah tersebut. Sebagai contoh, flora dan fauna yang hidup dan tumbuh di daerah empat musim akan sangat berbeda jenisnya dengan flora dan fauna yang tumbuh di daerah tropis. Demikian juga, jenis tanaman yang tumbuh di daerah kurang curah hujan akan berbeda dengan flora dan fauna yang hidup dan tumbuh di tempat yang banyak curah hujan. Fenomena yang sama juga terjadi pada GTBU yang bertempat tinggal di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi yang memiliki curah hujan yang tinggi, tanah yang subur, dan lingkungan yang masih asri karena alih fungsi lahan yang sangat sedikit. Oleh karena itu, GTBU lebih mengenal, memahami dan berinteraksi dengan berbagai jenis tanaman yang tumbuh di lahan subur, seperti pari „padi‟, kelapa „kelapa‟, jajang „bambu‟, gedang „pisang‟, dan sebagainya. Di samping itu, dengan sendirinya BU akan sangat kaya dengan leksikon-leksikon yang mengacu pada flora dan fauna yang hidup dan tumbuh di lahan yang subur seperti padi, kelapa, pisang, dan sebagainya.
Adanya perubahan keadaan lingkungan seperti
disebutkan di atas diprediksi memengaruhi karakteristik GTBU dan BU. Oleh sebab itu, dirasa perlu untuk diadakan penelitian terkait hal tersebut.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan fenomena di atas maka permasalahan penelitian tentang dinamika leksikon lingkungan alam dalam guyub tutur BU dapat dirumuskan sebagai berikut.
8
1) Bagaimanakah
bentuk-bentuk
lingual
keberagaman
leksikon
lingkungan alam BU? 2) Bagaimanakah gambaran keberagaman (diversity) leksikon lingkungan alam BU yang mewadahi pengetahuan GTBU? 3) Bagaimanakah
dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon
lingkungan alam antargenerasi GTBU? 4) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU? 1.3 Tujuan Penelitian Pada umumnya, setiap penelitian tentu memiliki tujuan yang jelas untuk dicapai yang disesuaikan dengan topik dan permasalahan penelitian. Tujuan penelitian ini dirinci menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan kembali kekayaan leksikon tentang lingkungan alam BU yang masih bertahan, terancam punah, dan yang sudah punah pada guyub tutur BU di Kabupaten Banyuwangi. Perangkat leksikon yang masih bertahan dalam arti masih diketahui dan dipahami serta kejelasan rujukan makna referensial eksternal merupakan salah satu penanda masih hidupnya BU, sedangkan perangkat leksikon yang terancam punah menggambarkan dinamika dan keterancamannya. Selain itu, penggalian leksikonleksikon yang oleh penutur tuanya dianggap sudah punah menggambarkan bahwa leksikon-leksikon kealaman tersebut pernah hidup, dikodekan, dan secara
9
referensial pernah ada namun kini telah punah atau tidak dikenal lagi karena perubahan lingkungan. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan
bentuk-bentuk
lingual
keberagaman
leksikon
(diversity)
leksikon
lingkungan alam BU; 2) mendeskripsikan
gambaran
keberagaman
lingkungan alam BU yang mewadahi pengetahuan GTBU; 3) mendeskripsikan
dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon-
leksikon lingkungan alam antargenerasiGTBU; dan 4) mendeskripsikan
faktor-faktor
yang
menyebabkan
dinamika
pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam GTBU.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Dari
perspektif
teoretis,
hasil
penelitian
ini
bermanfaat
bagi
pengembangan bidang kajian linguistik, khususnya ekolinguistik bidang leksikon. Hal ini
terkait dengan teori perubahan bahasa,
sehingga hasil kajian ini
diharapkan dapat menambah data dan informasi tentang leksikon-leksikon BU yang masih bertahan dan yang sudah punah karena dampak dari perubahan lingkungan alam, bahasa, budaya. Selanjutnya, fakta-fakta yang ditemukan dapat
10
dijadikan acuan, perbandingan, dan pengembangan
penelitian aspek-aspek
kebahasaan dan penelitian yang serupa di tempat lain sehingga pada akhirnya peneliti berikutnya dapat melakukan penguatan dan pembenaran teoretis, khususnya yang berkaitan dengan teori ekolinguistik yang diterapkan dalam kajian ini. 1.4.2
Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
bagi: (1) Pusat Bahasa dan Balai Bahasa dalam merancang pembinaan, pengembangan, dan pelestarian bahasa dan sastra daerah khususnya bahasa daerah kecil; (2) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan harapan hasil penelitian ini digunakan untuk pengembangan pengajaran dan pembelajaran bahasa yang berwawasan lingkungan; (3) Para guru (dan orangtua) dalam merancang kurikulum muatan lokal terkait dengan pengajaran BU, ataupun bahasa Indonesia dan bahasa Inggris terutama di sekolah dasar dan lanjutan; dan (4) bahan acuan dalam usaha revitalisasi bahasa daerah, khususnya bahasa Using;
11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dinamika leksikon lingkungan alam dalam guyub tutur Bahasa Using
merupakan
perpaduan
antara
kajian
bidang
sosiolinguistik
dan
ekolinguistik. Agar pembahasan lebih terarah maka ruang lingkup penelitian dibatasi pada pembahasan yang sesuai dengan rumusan permasalahan, yakni (1) bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam BU; (2) kategori leksikon yang meliputi leksikon berkategori nomina dan leksikon berkategori verba karena kedua kategori ini jumlahnya paling banyak pada semua bahasa, termasuk BU; dan
(3) cara penamaan, yakni cara penamaan flora dan dan fauna. Leksikon
yang berkategori nomina diklasifikasikan menjadi kelompok leksikon flora yang mencakup kelompok leksikon tanaman bahan pangan, tanaman buah-buahan, tanaman sayur-sayuran, tanaman obat dan bumbu, tanaman bunga, tanaman kelapa, tanaman bambu, dan tanaman lainnya. Sementara itu, leksikon fauna diklasifikasikan menjadi kelompok leksikon mamalia, burung, reptil, serangga, dan ikan air tawar. Selanjutnya, keberagaman leksikon lingkungan alam verba BU dikelompokan berdasarkan lokasi aktivitas terjadi dan objek yang dikenai oleh aktivitas tersebut yang memunculkan kelompok leksikon verba yang mengacu pada aktivitas di lahan pertanian dan kebun, aktivitas manusia terhadap fauna dan isi alam lainnya, aktivitas fauna, dan aktivitas alam. Relasi semantis antara leksikon lingkungan alam BU mencakup relasi semantis hiponimi dan relasi semantis meronimi Tentang dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU
dilihat berapa jauh masing-masing kelompok umur
12
responden memahami dan menggunakan leksikon-leksikon yang
semuanya
terjaring melalui kuesioner. Dari perbedaan hasil perhitungan secara kuantitatif dari masing-masing kelompok responden dapat dianalisis dinamika tingkat pemahaman dan penggunaan serta penjelasan secara kualitatif. Dinamika tingkat pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam oleh responden menghasilkan leksikon-leksikon yang bertahan, bergeser, dan yang (hampir) punah. Fenomena tersebut dilatarbelakangi oleh faktor kebahasaan, faktor penutur, dan faktor perubahan ekologi.
13
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka dilakukan untuk membantu peneliti mengkaji penelitianpenelitian yang dilakukan sebelumnya yang terkait dengan penelitian yang sedang dilakukan. Hal ini penting dilakukan agar peneliti dapat melihat perbedaan atau persamaan antara penelitian yang sedang dilakukan dan penelitian-penelitian sebelumnya sehingga tidak terjadi pengulangan. Kajian pustaka pada penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yakni (1) kajian pustaka terhadap penelitianpenelitian lain tentang leksikon, dan (2) kajian pustaka terhadap penelitianpenelitian yang pernah dilakukan terhadap BU. Berikut adalah uraian dari masingmasing bagian yang dimaksud. 2.1.1 Beberapa Penelitian tentang Leksikon Penelitian tentang leksikon terkait dengan pemertahanan bahasa, khususnya pemertahanan bahasa pada ―tingkat tutur‖ dilakukan oleh Sariono (2002) terhadap sekelompok masyarakat penutur bahasa Jawa di Pulau Bawean, sebuah pulau di wilayah Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Dari 30 desa yang ada di pulau tersebut, hanya satu desa yang penduduknya berbahasa Jawa, sedangkan 29 desa lainnya menggunakan bahasa Madura dialek Bawean. Dalam penelitiannya, Sariono memfokuskan kajiannya pada penguasaan leksikon tingkat tutur yang terdiri atas leksikon kromo (kromo substandar, kromo madya, kromo inggil/kromo
13
14
andhap), leksikon bahasa Indonesia, leksikon ngoko, leksikon kromo hasil inovasi. Kelompok-kelompok leksikon tersebut dijadikan sampel penelitian. Data penelitian dikumpulkan melalui metode kuesioner dan metode wawancara. Kuesioner
yang berisi 155 butir pertanyaan disusun berdasarkan
daftar leksikon tingkat tuturnya yang telah diujikan penggunaannya pada penutur bahasa Jawa Diponggo. Jumlah leksikon yang didapat melalui kuesioner itu kemudian dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kata dan masing-masing kelompok jenis kata diambil kurang lebih 25% sebagai sampel sekaligus dipakai bahan penyusunan kuesioner (Sariono, 2002:195). Responden penelitain dikelompokkan berdasarkan umur, yaitu kelompok dewasa yang berumur 46 tahun ke atas atau usia tua (+T) dan kelompok muda berumur 20-45 tahun atau usia muda (-T). Status sosial dibedakan juga menjadi dua kelompok, yaitu tokoh masyarakat (+Tm) dan bukan tokoh masyarakat (-Tm). Berdasarkan pengelompokan-pengelompokan ini didapat empat kelompok populasi dewasa, yaitu kelompok ((+T/+Tm), (+T/-Tm), (-T/+Tm), dan (-T/-Tm). Dari masing-masing kelompok diambil lima penutur sebagai sampel dan sekaligus sebagai informan. Kelompok populasai muda tidak ditentukan jumlah sampelnya karena pengumpulan data pada kelompok ini dilakukan melalui pengamatan langsung. Dari
hasil
analisis
data
disimpulkan
bahwa
ditemukan
tingkat
pemertahanan pemakaian tingkat tutur dari segi leksikon untuk tiap kelompok, dengan urutan pemahaman dari tertinggi dari kelompok informan +T/+Tm, kemudian berturut-turut disusul oleh +T/-Tm, -T/+Tm, dan –T/-Tm. Bahkan, dari
15
kelompok muda ditemukan tidak lagi memakai tingkat tutur krama kepada setiap interlokutor. Di samping temuan di atas, penelitian tersebut juga membuktikan bahwa pemertahanan tingkat tutur bahasa Jawa Diponggo karena adanya pengaruh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa faktor sikap bahasa dan faktor transmisi bahasa yang disebabkan adanya aktivitas merantau dalam jumlah besar sehingga ada perubahan sosial penutur, sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pemertahanan tingkat tutur adalah faktor lingkungan alam, lingkungan masyarakat, dan struktur sosial. Lingkungan geografis
dan
terkonsentrasi dari penduduk mayoritas seharusnya menjadikan pemertahanan bahasa yang kuat, namun karena adanya faktor dominasi, pengaruh mayoritas dari penutur bahasa Madura, dan pelapisan sosial masyarakat yang berdampak pada kurangnya proses transmisi dari satu generasi ke generasi
berikutnya,
pemertahanan bahasa Jawa Diponggo menjadi lemah. Jika dicermati, ada perbedaan dan persamaan antara penelitian Sariono (2002) dan penelitian ini. Perbedaannya terletak pada beberapa hal, yakni (1) lokasi, (2) objek penelitian, dan (3) pengelompokan umur responden. Perbedaan pertama, dari segi lokasi, yakni penelitian yang dilakukan Sariono berada di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti berada di Kabupaten Banyuwangi. Perbedaan kedua terkait dengan objek penelitian, yakni Sariono memperlakukan leksikon tingkat tutur bahasa Jawa sebagai objek kajian dalam penelitiannya, tetapi penelitian ini mengkaji leksikon lingkungan alam Bahasa Using. Perbedaan ketiga, yaitu tentang pengelompokan umur responden. Dalam penelitiannya Sariono membagi responden menjadi dua
16
kelompok umur, yakni usia muda: 20-45 dan usia tua: 46 tahun ke atas, sedangkan dalam penelitian ini peneliti membagi responden menjadi tiga kelompok umur, yakni remaja: 16-30 tahun, dewasa: 31-50 tahun, dan tua: 51 tahun ke atas. Sementara itu, persamaan antara kedua penelitian di ataranya terletak pada hasil temuan penelitian, yaitu tingkat penguasaan leksikon berbanding lurus dengan usia responden, artinya makin tua usia semakin tinggi tingkat penguasaan leksikon dan begitu juga sebaliknya. Pilgrim (2006) mengadakan penelitian dengan judul A CrosCultural Study into Local Ecological Knowledge dengan mengambil lokasi di tiga Negara, yaitu Inggris, India, dan Indonesia. Pilgrim (2006) mengkaji bagaimana pemahaman masyarakat terhadap hubungan antara ketergantungan masyarakat terhadap alam sebagai sumber penghidupan, kedekatan hubungan antara masyarakat dan lingkungannya, pemahaman masyarakat terhadap kondisi lingkungan lokal dan interaksi lingkungan yang kompleks atau yang disebutnya Local Ecological Knowledge (LEK) atau ecoliteracy, yaitu sebuah pengetahuan yang dimiliki masyarakat lokal (umumnya masyarakat tradisional) tentang alam di sekitarnya yang dilandasi oleh pengetahuan tentang sejarah, geografi, dan budaya setempat yang bersifat ―without being static, outdated, retrogressive” (Pilgrim, 2006: 17). Bagaimana LEK bisa bertahan pada masyarakat tradisional, melalui penelitiannya
Pilgrim (2006:19) menemukan adanya proses transfer LEK yang
berkelanjutan kepada generasi berikutnya secara lisan melalui garis keturunan dari orang tua dan kakek-nenek kepada anak-cucu dengan media transfer berupa dongeng-dongeng dan nyanyian-nyanyian. Proses transfer dilakukan secara terus-
17
menerus, baik secara formal pada saat pertemuan sosial maupun secara tidak formal, pada saat di rumah pada malam hari. Tulisan ini dijadikan acuan dalam konsep tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi punahnya leksikon-leksikon tentang pengetahuan lingkungan yang berkaitan dengan pengetahuan tradisional (local ecological knowledge). Pandey (2007) dalam Jurnal Language and Ecology Vol.2: 3 dengan judul ―Lnguistic Erotion on the Chesapeak: Intergenerational Diachronic Shifts in the Lexicalization of the Bay‖ meneliti pergeseran leksikalisasi sebuah ungkapan lokal ―across the bridge”. Masalah penelitian tersebut adalah apakah ungkapan lokal lisan ―across the bridge” yang merupakan ―west of the Chesapeak Bay” yang dimuat dalam The Eastern Shore Wordbook, terbit 21 tahun lalu, masih dipakai di daerah teluk Chesapeake di Negara Bagian Maryland. Pandey (2007) selanjutnya memberikan alasan mengapa hanya satu ungkapan dijadikan objek penelitian. Ini dikaitkan dengan istilah yang dikemukakan oleh Whorf bahwa leksikalisasi mencerminkan kekuatan dan tenaga fenomena lingkungan yang alamiah dan natural, yang dikontraskan dengan leksikalisasi ―across the bridge” yang berorientasi dengan
sesuatu yang dapat diukur yang ada hubungannya
dengan infrastruktur buatan manusia yang dibuat untuk menakhlukkan fenomena alam. Pengkontrasan juga dilakukan terhadap kedua istilah tersebut yang mana ―across the bay” terkait dengan ―mental culture” yang dipandang sebagai ―worldview or value orientation”, sedangkan ―across the bridge” dipandang sebagai ―the material product of beharvior”.
18
Dalam kajiannya, Pandey (2007) menyebarkan kuesioner kepada tiga kelompok umur responden: kelompok termuda (the youngest generations) berumur 15-30 tahun; kelompok menengah (the middle generations) berumur 3160 tahun; dan kelompok tertua (the oldest generations) berumur 61 tahun ke atas. Dari masing-masing kelompok umur diambil sampel 24 orang dengan total responden 72 orang dengan kualifikasi yakni mereka harus lahir di wilayah tersebut dan tidak pernah meninggalkan wilayah tersebut dalam waktu 10 tahun berturut-turut. Pertanyaan yang diajukan kepada responden mengandung empat pilihan, yakni: (1) Used the expression (menggunakan ungkapan tersebut); (2) Had heard of the expression (pernah mendengar ungkapan tersebut); (3) Never used the expression (tidak pernah menggunakan ungkapan tersebut); dan (4) Had never heard of the expression (tidak pernah mendengar ungkapan tersebut). Dari analisis data, Pandey (2007) menemukan bahwa ada pergeseran dari makna awal ―west of Chesapeake Bay‖ menjadi makna dengan pelabelan nama sebagai berikut: (1) Penamaan terkait dengan alam: a. Across the Chesapeake Bay b. Across the Chesapeake Bay c. Across the water (2) Penamaan terkait dengan infrastruktur buatan manusia: a. Over the Bridge b. Other side of the Bridge c. Across the Bridge (3) Penamaan terkait dengan letak geografis: a. Western Shore of Maryland b. Western Shore c. Over on the Western Shore
19
Di samping itu, Pandey (2007) juga menemukan bahwa generasi muda lebih menggunakan ungkapan across the bridge (2c), yakni infrastruktur buatan manusia daripada across the Chesapeake Bay (1a). Hal ini disebabkan oleh muatan kurikulum sekolah yang kurang berorientasi pada lingkungan. Lokasi dan objek penelitian serta karakteristik GTBU sangat berbeda jikalau dibandingkan dengan masyarakat di Kota Maryland, sehingga hasil dari masing-masing penelitian pasti
berbeda. Namun, pengelompokan umur
responden dijadikan acuan dalam penelitian ini. Rasna (2010) mengadakan penelitian yang berjudul ―Pengetahuan dan Sikap Remaja terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng: Sebuah Kajian Ekolinguistik‖. Penelitian yang dilakukan di 9 kecamatan ini menggunakan 125 sampel yang dibagi menjadi remaja kota dan remaja desa. Dalam penelitannya Rasna (2010) mengetes pengetahuan leksikon dan pengetahuan manfaat
responden
terhadap 11 tanaman obat. Analisis data
penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan remaja, baik yang tinggal di desa maupun di kota, tentang tanaman obat masih kurang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: (1) faktor kurang bahkan tidak adanya interaksi dengan lingkungan tempat tumbuh entitas yang diacu oleh leksikon-leksikon yang ditujukan, (2) faktor perubahan sosiokultural, tergantikannya cara pengobatan tradisonal oleh cara pengobatan modern sehingga kebutuhan akan ramuan tradisonal yang terbuat dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan semakin sedikit karena fungsinya sudah digantikan oleh obat modern, (3) faktor perubahan sosioekologi suatu wilayah seperti alih fungsi lahan dari kawasan hutan menjadi
20
area persawahan dan
pemukiman telah mempersempit ruang hidup tanaman
tersebut, (4) faktor sosial ekonomi, artinya secara ekonomi membudidayakan tanaman obat pada lahan tertentu dianggap tidak mendatangkan keuntungan secara ekonomi dibandingkan dengan menanaminya dengan tanaman yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Karena faktor-faktor di atas, tingkat populasi dan wilayah hidup entitas-entitas yang diacu oleh leksikon-leksikon tanaman obat semakin sedikit sehingga remaja semakin tidak mengenalnya yang berdampak pada penyusutan pengetahuan mereka baik tentang leksikon maupun manfaatnya. Di samping itu, hampir 40% responden tidak setuju terhadap label kampungan yang ditujukan pada mereka yang memiliki pengetahuan tentang tanaman obat. Ada beberapa hal yang membedakan penelitian yang dilakukan oleh Rasna (2010) dengan penelitian ini, seperti pengelompokan usia responden, objek yang dikaji, dan lokasi penelitian. Hal ini tentu berdampak pada hasil penelitian. Walaupun demikian, cara analisis data yang dilakukan Rasna (2010) dipakai pijakan dalam analisis data dalam penelitian ini. Peneliti lain yang juga mengkaji leksikon adalah Sukharani (2010) dengan penelitiannya yang berjudul ―Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik‖. Penelitian yang berlokasi di empat kecamatan yang mengelilingi Danau Lut Tawar ini melibatkan 72 responden dengan rentangan umur dari 15 tahun sampai 60 tahun. Data penelitian diperoleh melalui penyebaran kuesioner yang berisi 360 leksikon nomina tentang lingkungan ragawi Danau Lut Tawar. Butir-butir pertanyaan dalam kuesioner
21
menguji tingkat pemahaman responden terhadap leksikon-leksikon yang diacu oleh: (1) nama-nama ikan dan hewan yang hidup di dalam danau dan alirannya, (2) nama-nama burung, hewan, dan padi di lingkungan danau, (4) nama-nama benda-benda mati yang ditemukan di dalam dan lingkungan danau, (5) namanama alat penangkap ikan tradisional dan penggemukan ikan di lingkungan danau, dan (6) kebertahanan bahasa dan budaya Gayo yang
terkait dengan
kelestarian lingkungan Danau Lut Tawar. Dari hasil analisis data ditemukan bahwa penutur bahasa Gayo yang terdiri atas respoden pria dan wanita masih mengenal,
mengakrabi, mendengar serta
menggunakan
leksikon-leksikon
nomina kedanauan Lut Tawar dalam Bahasa Gayo. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan mereka tentang lingkungan danau dan peralatan penangkap ikan tradisional. Akan tetapi, ada sejumlah leksikon yang kurang dikenal oleh responden yang disebabkan oleh perbedaan topografi yang berdampak pada tidak ditemukannya tumbuhan, hewan, dan alat penangkap serta penggemukan ikan di wilayah tersebut. Perbedaan lokasi penelitian, objek kajian, serta rentangan usia responden dari penelitian tersebut menyebabkan hasil yang dicapai pasti berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Walaupun demikian, penelitian Sukharani (2010) menjadi inspirasi peneliti untuk melakukan penelitian yang serupa di tempat yang berbeda. Sementara itu, peneliti lain yang mengkaji pemahaman dan pengetahuan leksikon komunitas remaja sebagai bagian dari penelitiannya adalah Saputra (2010) dengan judul penelitian ―Penyusutan Fungsi Sosio-Budaya Bahasa Melayu
22
Langkat di Stabat di Kabupaten Langkat‖. Pada salah satu bagian dari penelitiannya, Saputra (2010) menguji kompetensi leksion responden melalui kuesioner
yang berisi 150 leksikon bahasa Melayu Langkat (BML) yang
disebarkan kepada 230 orang responden. Leksikon-leksikon yang diujikan di antaranya tentang bagian-bagian tubuh manusia, sapaan kekerabatan, alat tradisional, perangkat adat, perangkat rumah, dan sebagainya. Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa telah terjadi disfungsi sosial budaya di kalangan komunitas remaja, khususnya pada lingkungan yang berorientasi pada geografis sungai, disebabkan oleh beberapa faktor, seperti berubahnya lingkungan alam, menyusutnya lahan pertanian karena adanya alih fungsi, berkurangnya sumber daya alam, munculnya bahan-bahan dan peralatan modern, serta munculnya pola hidup masyarakat yang bersifat praktis dan instan. Di samping itu, ditemukan juga bahwa semakin menyusutnya konseptual remaja tentang ekologi Melayu yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya interaksi remaja dengan entitas yang bercirikan Melayu, langka atau punahnya beberapa entitas sehingga tidak terkonsep dalam pikiran penutur, dan konsepsi leksikon penutur tentang entitas-entitas tersebut bukan lagi dalam BML melainkan dalam bahasa lain. Jika kedua penelitian dibandingkan, ditemukan adanya persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kedua penelitian mengkaji leksikon dengan menerapkan teori ekolinguistik untuk mengkaji masalah penelitian. Sementara itu, perbedaannya terletak pada umur responden, jenis keksikon yang diteliti, serta lokasi penelitian sehingga hasil kajian tentunya berbeda pula.
23
Penelitian lain yang juga tentang leksikon dilakukan oleh Baru (2012) yang mengkaji leksikon Bahasa Karoon di Kampung Senopi, Distrik Senopi, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat. Dalam penelitian yang berjudul ―Khasanah Leksikon Alami Guyub Tutur Karoon: Kajian Ekoleksikal‖, Baru (2012) mengumpulkan data penelitian dengan menyebarkan kuesioner kepada 100 responden yang berisi 217 leksikon nama-nama tumbuhan dan hewan. Baru (2012) menguji pengetahuan responden tentang leksikon nama-nama tumbuhan dan hewan yang ditemukan hidup dan tumbuh di lingkungan mereka melalui enam indikator, sedangkan untuk mengetahui pengetahuan leksikon dan pemahaman manfaat responden terhadap entitas-entitas tersebut dihitung dengan menggunakan persentase. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pengetahuan leksikon dan pemahaman manfaat responden generasi muda dan generasi tua terhadap jenis tumbuhan liar pada umumnya baik dan sangat baik dengan persentase pada kisaran 70% sampai dengan 100%. Demikian halnya pengetahuan dan penegetahuan manfaat terhadap leksikon-leksikon tanaman untuk bahan makanan, sayuran dan obat-obatan persentasenya juga mencapai kisaran di atas 85% ke atas kecuali untuk tanaman liar yang bermanfaat sebagai obat-obatan pada responden muda persentasenya sangat rendah karena hampir 80% dari mereka tidak tahu manfaat tanaman dan hewan tersebut. Dari temuan penelitian ini terlihat bahwa leksikon-leksikon bahasa Karoon ada yang bertahan dan ada pula yang menyusut. Bertahannya sejumlah leksikon-leksikon tersebut disebabkan oleh entitas-entitas acuannya merupakan sumber hidup dan penghidupan GTK, di samping karena
24
tingkat populasinya masih banyak ditemukan di lingkungan tempat tinggal mereka sehingga leksikon-leksikon tersebut masih ada dalam kognisi mereka. Sementara itu, menyusutnya
leksikon-leksikon tertentu dari bahasa tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu ke generasi berikutnya, tergantikannya leksikon-leksikon tersebut oleh bahasa lain, tergantikannya entitas-entitas acuan leksikon-leksikon tersebut oleh tanaman lain, serta berbedanya lingkungan hidup dari entitas-entitas dari acuan leksikon-leksikon yang menyusut tersebut. Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Baru (2012) dan penelitian ini. Persamaannya, keduanya menjadikan leksikon tentang hewan dan tumbuhan sebagai objek kajian dan menerapkan teori ekolinguistik untuk membedah permasalahan penelitian. Sementara itu, perbedaan keduanya terletak pada lokasi penelitian dan
pengelompokan dan
jumlah
responden. Di samping itu, perbedaan lainnya adalah bahwa dalam penelitian ini leksikon-leksikon lingkungan alam didasarkan pada beberapa hal, seperti berdasarkan manfaatannya bagi GTBU, berdasarkan jenisnya yakni leksikon generik dan spesifik, serta berdasarkan kelas kata yakni kelompok leksikon nomina dan kelompok leksikon verba. Karena perbedaan-perbedaan tersebut, dapat dipastikan hasil kedua penelitian juga berbeda. 2.1.2 Beberapa Penelitian tentang Bahasa Using Bahasa Using dan masyarakat tuturnya sangat menarik untuk dikaji. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penelitian yang telah dilakukan, baik dalam bidang
25
linguistik maupun bidang sastra dan budayanya, sejak zaman penjajahan hingga saat ini. Penelitian tidak saja dilakukan oleh peneliti dari beberapa instansi di dalam negeri, tetapi juga beberapa
peneliti dari mancanegara.
Berikut
dipaparkan beberapa kajian yang pernah dilakukan terhadap BU beserta masyarakat tutur dan budayanya. Prijangga mengadakan penelitian dengan judul ―Sedikit tentang Bahasa Banyuwangi‖ (1957). Dalam penelitiannya, Prijangga antara lain mengemukakan bahwa BU adalah bahasa yang dipakai oleh rakyat Banyuwangi, termasuk perbedaan-perbedaannya dengan BJ. Tim Peneliti FKSS IKIP Malang dengan penelitiannya yang berjudul ―Struktur Dialek Bahasa Banyuwangi‘ menguraikan secara cermat dialek Banyuwangi dari segi fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dalam penelilitian yang dilakukan pada tahun 1979 itu
disebutkan bahwa
penduduk Banyuwangi menamai bahasa mereka ―Bahasa Using‖ dengan jumlah penutur hanya sekitar 30%. Herusantosa pada tahun 1987 mengadakan penelitian yang berjudul ―Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi‖. Penelitian ini memiliki dua tujuan umum, yaitu: (1) untuk memperoleh gambaran umum tentang keadaan BU; dan (2) untuk memberikan wawasan baru kepada penutur BU, khususnya dalam hubungannya dengan penelitian bahasa daerah dalam rangka mencapai tujuan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dan daerah. Tujuan khusus dari penelitian Herusantosa (1987) adalah untuk mendeskripsikan variasi–variasi kebahasaan BU dalam keadaannya sekarang berdasarkan kajian dialek geografi yang bermanfaat untuk membagi tingkat-tingkat wilayah pakai BU hingga
26
menjadi Daerah Kunoan, Daerah Peralihan, dan Daerah Baruan dengan menggunakan peta-peta bahasa sebagai alat bantu. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan, di antaranya adalah sebagai berikut: (1) jumlah penutur BU sebanyak 703.903 orang ( 51,87%) dari seluruh penduduk Kabupaten Banyuwangi; (2) wilayah pakai BU meliputi 126 desa dari 175 desa yang ada di Kabupaten Banyuwangi; (3) persentase pemakaian BU dalam enam ranah pakai bahasa masing-masing : ranah kekeluargaan =72,00%, ranah keagamaan =28,00%, ranah pendidikan =39,50%, ranah perekonomian =50,67%, ranah kesenian =73,50%, dan ranah hubungan formal =09,00%; (4) dalam BU (murni) tidak dikenal ragam ngoko dan ragam kromo karena kedua ragam tersebut dikenal setelah persentuhannya dengan BJ dan BM: (5) Kesusastraan Using hanya dalam bentuk lisan; (6) keadaan umum wilayah pakai BU (murni) yaitu wilayah kunoan terdapat di 10 desa dari 176 desa yang ada di Kabupaten Banyuwangi, sedangkan desa-desa lainnya ada dalam proses peralihan ke desa-desa baruan; dan (7) jumlah penutur BU yang menggunakan BU sebagai bahasa pengantar untuk kebudayaan yang oleh masyarakat dianggap tinggi makin berkurang. Subyatingsih dkk. (1999) mengadakan penelitian dengan judul ―Fungsi dan Kedudukan Bahasa Using di Banyuwangi‖. Dalam penelitiannya yang bersifat
deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif,
Subyatiningsish dkk.
menggunakan teknik obeservasi tidak sistematis, teknik wawancara terarah, dan teknik angket untuk mengumpulkan data penelitian. Penentuan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan purposive sampling technique dengan kriteria, yakni: tempat tinggal penutur (desa-kota);
generasi penutur (tua-muda); dan
27
mobilitas penutur (mobil-tak mobil). Dari analisis data ditemukan bahwa secara umum fungsi BU sebagai lambang kebanggaan dan identitas daerah masih cukup dominan. Temuan penelitian ini dipakai sebagai indikasi adanya penyusutan fungsi dan penggunaan BU selama rentangan waktu 12 tahun (1987-1999). Sariono pada tahun 2007 menulis desertasi dengan judul ―Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Using: Studi Kasus pada Masyarakat Using di Kelurahan Singotrunyan, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi‖. Penelitian yang bertujuan untuk: (a) mengidentifikasi bahasa dan variasi bahasa yang terdapat dalam khasanah bahasa masyarakat Using di Desa Singotrunyan (MUS)
beserta
penanda
dan
pemarkah
kodenya
masing-masing;
(b)
mendeskripsikan pola pemilihan bahasa yang mencakup di dalamnya tunggal kode, alih kode, dan campur kode; dan (c) mendeskripsikan faktor-faktor yang mendasari pemilihan bahasa dalam MUS. Penelitian yang berada dalam lingkup kajian sosiolinguistik tersebut menggunakan pendekatan etnografi komunikasi dari Hymes (1972). Data penelitian dikumpulkan dengan menerapkan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap, simak bebas libat cakap, rekam dan catat. Di samping itu, teknik observasi dan wawancara juga dipakai utamanya untuk mendapatkan data dari tuturan lisan. Terkait dengan
masalah yang diteliti, Sariono menyimpulkan beberapa hal
tentang masyarakat tutur Using di Kelurahan Singotrunyan (MTUS), yakni (1) MUS memiliki kode BJU (Bahasa Jawa dialek Using), BJN (Bahasa Jawa dialek Ngoko), BJK (Bahasa Jawa dialek Krama), BIF (Bahasa Indonesia ragam formal) dan BIIf (Bahasa Indonesia ragam informal) dalam khasanah kodenya; (2)
28
Karakter MTUS yang soft shelled, mengakibatkan terjadinya kontinum dialek antara BJU, BJN, BJN dengan BJK, dan BJU dengan BJK dan batasnya ditentukan berdasarkan penanda dan pemarkah kode masing-masing dan berdasarkan ada atau tidak adanya perubahan komponen tutur; (3) MTUS memiliki dua tingkat tutur, yakni tingkat tutur ngoko (BJNg) dan tingkat tutur kromo (BJK) dan pada keduanya terjadi kontinum tingkat tutur dengan pemarkah kata-kata kromo menurut kriteria MTUS; (4) faktor penentu pemilihan kode adalah faktor partisipan (hubungan sosial yang akrab, sesama etnis Using, orientasi pada budaya Using), dan isi pesan (bersifat pribadi; (5) Terjadi peristiwa alih kode yang dilatarbelakangi oleh faktor komponen tutur, di antaranya: pergantian mitra tutur, perubahan isi pesan, berbicara pada diri sendiri, mengutip pembicaraan, melucu, mengutip pembicaraan lawan tutur, dan menyesuaikan kode dengan lawan tutur; dan (6) terjadi peristiwa campur kode karena faktor-faktor, di antaranya: keterbatasan penguasaan kode, istilah populer, kata atau istilah lebih ringkas, pemakaian istilah penjelas, dan terpengaruh oleh konteks tuturan sebelumnya Apabila judul dan permasalahan masing-masing penelitian di atas dicermati, terdapat perbedaan yang cukup jauh dibandingkan dengan topik dan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, karena tak satu pun di antara keempatnya mengkaji BU pada tataran leksikon, khususnya leksikon-leksikon tentang lingkungan alam.
29
2.2. Konsep 2.2.1 Dinamika Istilah dinamika banyak ditemukan dalam ilmu fisika, khususnya ilmu gaya yang mempelajari hubungan antara gerakan benda-benda (Salim, 2000: 288). Crystal (1985: 103) mengatakan bahwa dinamika (dynamic) adalah sebuah istilah yang digunakan dalam sosiolinguistik untuk mendeskripsikan pandangan terhadap bahasa
yang menerapkan
dimensi
temporal
(waktu)
penelitian
variasi
bahasa/bahasa bersifat diakronik: variasi bahasa/bahasa diteliti berdasarkan perkembangan sejarahnya, misalnya karakter leksikon bahasa Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan dan setelah kemerdekaan. Terkait dengan kajian ini, yang dimaksud dinamika adalah perkembangan (development), pergeseran, pemertahanan, dan kebertahanan bahasa (secara khusus pada tataran leksikon) yang disebabkan oleh perubahan lingkungan alam dan sosial tempat guyub tutur bahasa itu bermukim. Pergeseran dan pemertahanan bahasa adalah akibat panjang dari pilihan bahasa secara kolektif yang dilakukan oleh suatu atau beberapa guyup tutur suatu bahasa. Fasold (1984:213) mendefinisikan pergeseran bahasa sebagai suatu fenomena yang ditandai oleh sebuah guyub tutur yang berhenti sama sekali memakai suatu bahasa dan memilih memakai bahasa lain atau ketika pergeseran bahasa itu telah terjadi, sebuah guyub tutur secara bersama-sama memilih bahasa baru dan meninggalkan bahasa lama sebagai media komunikasi. Fasold (1984) mengatakan bahwa ketika sebuah guyub tutur mulai memilih bahasa baru dalam sebuah domain yang dulunya memakai bahasa yang lama, itu menandakan bahwa
30
sebuah pergeseran bahasa sedang berlangsung. Di samping faktor masyarakat yang dwibahasawan, faktor migrasi, ekonomi, dan pendidikan adalah faktor-faktor lain penyebab terjadinya pergeseran bahasa. Sebaliknya, pemertahanan bahasa terjadi apabila sebuah masyarakat/guyub tutur secara kolektif menentukan untuk melanjutkan menggunakan bahasa-bahasa yang mereka pakai selama ini dalam komunikasi mereka. Konsep pemertahanan bahasa adalah konsep yang terkait erat dengan perencanaan bahasa (Kaplan, 1991:146) karena hal ini terkait dengan tujuan perencanaan bahasa, yang salah satu tujuannya adalah untuk pemertahanan bahasa, khususnya bahasa-bahasa kecil. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sebagai reaksi adanya problema kebahasaan akibat adanya kebijakan bahasa nasional terutama di negara-negara yang baru merdeka (Kaplan, 1991:143). Di samping fenomena pergeseran dan pemertahanan bahasa, dikenal juga fenomnena kebertahanan bahasa minoritas (kecil) oleh penuturnya. Fenomena ini terjadi secara tidak sengaja dan tidak terencana. Bertahannya pemakaian sebuah bahasa oleh penutur dapat dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah faktor`sosial budaya
psikologis penuturnya, faktor latar geografis, dan
faktor demografis. Yang termasuk dalam faktor sosial budaya psikologis penutur suatu bahasa, di antaranya, ialah kekuatan ikatan etnis, pola pemukiman, agama, sistem kekeluargaan, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi (Suhadi, 1990:195). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kebertahanan bahasa terjadi secara alamiah, karena anggota-anggota sebuah guyub tutur mempertahankan bahasanya secara tidak sadar melalui nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa tersebut.
31
Fasold (1984:181) mengaitkan hal ini dengan fungsi bahasa sebagai contrastive self identification , yaitu bahasa memiliki fungsi sebagai alat pemersatu atau pemisah diri dari kelompok lain. 2.2.2 Leksikon Ada beberapa ahli bahasa yang mengemukakan konsepnya tentang leksikon dengan berbagai penekanan. Salah satunya adalah Spencer (1993: 47), yang menyatakan: “The term lexicon means simply „dictionary‟ is a list of words together with their meaning and other useful bits of linguistic information… Pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa leksikon adalah daftar kata yang mengandung makna yang sedikit disertai dengan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan informasi linguistik. Elson dan Pickett (1987: 1) mendefinisikan leksikon sebagai kosakata suatu bahasa atau kosakata yang dimiliki oleh seorang penutur bahasa, atau seluruh jumlah morfem atau kata-kata sebuah bahasa. Katakata yang dimaksudkan oleh Elson dan Picket (1987) bukanlah kata-kata yang hanya mengandung makna secara terpisah, melainkan maknanya dipengaruhi oleh konteks situasi, kata-kata yang menyertainya, posisinya dalam pola gramatikal, serta cara penggunaannya secara sosial. Sementara itu, Martin Haspelmath (2002: 39) menjelaskan leksikon sebagai sebuah istilah yang mengacu pada kamus mental dan aturan-aturan gramatikal tentang bahasanya yang harus dimiliki oleh penutur suatu bahasa. Selain itu, Crystal (1985:78) mengatakan bahwa leksikon merupakan komponen yang mengandung informasi tentang ciri-ciri kata dalam suatu bahasa, seperti perilaku semantis, sintaktis, dan fonologis.
32
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:805) tercantum bahwa leksikon merupakan kosakata; komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa. Sementara itu, Kridalaksana (1982: 98) mendefinisikan leksikon sebagai berikut: (1) komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; (2) kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis, atau suatu bahasa; kosakata; perbendaharaan kata; (3) daftar kata yang disusun seperti kamus tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis. Berdasarkan konsep-konsep leksikon yang telah dipaparkan di atas, maka dalam kajian ini diterapkan konsep leksikon yang dikemukakan oleh Kridalaksana (1982) karena leksikon yang dimaksud dalam kajian ini adalah sejumlah daftar kata-kata tentang lingkungan alam yang disertai dengan penjelasannya dan juga mengacu pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang, dalam hal ini responden penelitian. 2.2.3 Lingkungan Pengertian lingkungan dalam kajian ini mengacu pada pendapat Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, ed., 2001:14), yaitu lingkungan ragawi dan sosial. Lingkungan ragawi berhubungan dengan geografi yang terdiri atas lingkungan fisik yang (dalam penelitian ini) difokuskan pada lingkungan ragawi sebagai
33
penopang masyarakat Using secara ekonomis yang menyangkut kehidupan manusia yang terdiri atas flora dan fauna.
2.3 Landasan Teori Keterkaitan antara bahasa dan lingkungannnya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, dapat menghasilkan berbagai bidang kajian dengan menerapkan berbagai pendekatan dan teori. Kajian khazanah leksikon lingkungan alam adalah salah satu kajian yang mengkaji hubungan bahasa (pada tataran leksikon) dengan lingkungannya melalui penerapan berbagai macam teori yang diterapkan secara eklektik.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini
diterapkan teori ekolinguistik sebagai teori payung dan didukung oleh tiga teori lain, yakni teori perubahan bahasa, teori morfologi, dan teori semantik.
2.3.1 Teori Ekolinguistik Perubahan bahasa, terutama pada tataran leksikon, tidak dapat dipisahkan dari perubahan lingkungan alam karena bahasa dan lingkungannya merupakan dua hal yang saling memengaruhi. Fenomena
ini merupakan bidang kajian
ekolinguistik, yaitu suatu disiplin ilmu yang mengkaji bahasa dan lingkungannya dan menyandingkan ekologi dengan linguistik (Mbete, 2008:1). Gagasan
tentang
ekologi
bahasa
dalam
kajian
sosiolinguistik
sesungguhnya telah disinggung oleh Gumperz (1962). Gumperz (1962:137) berpendapat bahwa sosiolinguistik adalah studi mengenai tingkah laku verbal yang berhubungan dengan karakteristik sosial penutur, latar belakang budaya
34
mereka, dan sifat ekologis lingkungan tempat mereka berinteraksi. Dengan demikian,
ekolinguistik
diartikan
sebagai
interaksi
antara
bahasa
dan
lingkungannya lewat penutur bahasa tersebut. Haugen (dalam Dil, 1972: 325-329), mendefinisikan lingkungan bahasa sebagai berikut. “The true environment of a language is the society that uses it as one of its codes. Language exists only in the minds of its speaker, and it only functions in relating the users to one another to nature, i.e. their social natural environment… The ecology of a language is determined primely by those who learn it, use it, and transmit it to others‖. Pernyataan Haugen di atas menyiratkan bahwa lingkungan suatu bahasa adalah panutur bahasa yang berbentuk latar sosial dan latar kultural, bukan latar fisik semata karena tidak mungkin memahami suatu bahasa tanpa penuturnya. Perubahan atau pergeseran dan kebertahanan sebuah bahasa (khususnya dalam tataran leksikon)
dipengaruhi oleh perubahan lingkungan alam, sosial, dan
budaya yang melanda lingkungan bahasa tersebut. Demikian halnya dengan BU yang hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya, tidak luput dari perubahan, di antaranya karena modernisasi dan globalisasi. Perubahan yang melanda aspek-aspek sosial dan budaya pendukungnya juga berpengaruh terhadap BU, khususnya dalam tataran leksikon. Haugen (dalam Garner, 2005) lebih jauh menegaskan bahwa lingkungan bahasa terdiri atas dua komponen, yaitu komponen psikologis dan komponen sosiologis. Komponen psikologis yang terkait dengan kompetensi, performasi, dan komunikasi penutur mencakup: (1) keberadaan suatu bahasa ada dalam pikiran penuturnya ; (2) bagaimana penuturnya menggunakan suatu bahasa untuk memaknai diri dan dunia sekelilingnya (performasi); (3) bagaimana suatu bahasa
35
berinteraksi dengan bahasa lain dalam pikiran penuturnya; dan (4) bagaimana sikap penutur terhadap bahasa tersebut. Komponen sosiologis mencakup: (1) keadaan bahasa sebagaimana dia ada di tengah-tengah pendukungnya; (2) bagaimana bahasa tersebut digunakan di tengah-tengah penuturnya; (3) kapan, di mana, mengapa bahasa tersebut digunakan/tidak digunakan lagi oleh penuturnya; dan (4) bagaimana komponen keadaan bahasa di tengah-tengah penuturnya, komponen penggunaan bahasa, serta komponen kapan, di mana, dan kenapa bahasa tersebut digunakan oleh penuturnnya terkait dengan pola-pola tingkah laku penuturnya. Berdasarkan pengertian tentang lingkungan bahasa di atas, ada tiga hal yang dijelaskan oleh Haugen (1972) tentang ekolinguistik, yakni
(1) bahasa
hanya ada dalam pikiran penuturnya, dan akan berfungsi pada saat penuturnya berhubungan secara alami antara penutur satu dengan lainnya; (2) bagian dari lingkungan bahasa selanjutnya adalah lingkungan psikologis, yaitu interaksi bahasa
tersebut
dengan
bahasa
lain
dalam
pikiran
penutur
dwi/multibahasawan; dan (3) lingkungan sosiologis, yakni interaksi
yang bahasa
dengan masyarakat dalam fungsinya sebagai alat komunikasi. Bahasa
yang
hidup
(digunakan
merepresentasikan fakta-fakta tentang alam,
secara
lisan
atupun
tertulis)
sosial, dan budaya yang ada di
lingkungannya (Fill dan Muhlhausler, 2001) sehingga selain menjadi fakta sosial, bahasa juga merupakan rekaman tentang fakta-fakta alamiah sebagai tanda adanya hubungan manusia dengan lingkungan alamnya yang terekam dalam leksikon
36
suatu bahasa, seperti tersirat dalam pernyataan Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, ed., 2001:14) berikut. “It is the vocabulary of a language that most clearly reflects the physical and social environment of its speakers.The complete vocabulary of a language may indeed be looked upon as acomplex inventory of all ideas, interests, and occupations that take up the attention of the community, and were such a comlete thesaurus of the language of a given tribe at our disposal , we might to a large extent infer the character of the physical environment and the characteristic of the peole making use of it. It is not difficult to find the examples of languages whose vocabulary thus bears the stamp of the physical enviroment in which the speakers are placed” Dari pernyataan di atas jelaslah tampak bahwa kekayaan leksikon suatu bahasa mencerminkan kekayaan gagasan termasuk ide dan ideologi, kepentingan, dan aktivitas-aktivitas penting terkait dengan profesi dan pekerjaan untuk mencari penghidupan yang dilakukan oleh sebuah guyub tutur sebuah bahasa, di samping mencerminkan lingkungan ragawi (seperti lingkungan kesungaian, kedanauan, pegunungan, persawahan, dan sebagainya) bahasa tersebut dan karakter para penuturnya.
Guyub tutur suatu bahasa di lingkungan alam tertentu, karena
berinteraksi dan bergantung pada lingkungan tersebut, akhirnya mereka memiliki pengalaman tentang lingkungannya, dan hal ini terekam bahasa, terurai/terjabar dalam wujud leksikon-leksikon bahasanya (Fill dan Muhlhausler, 2001:1). Pada bagian lain, Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, ed., 2001: 2) menegaskan ―… this interrelationship exists merely on the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or morphology”, artinya bahwa dalam lingkup kajian ekolinguistik hubungan antara bahasa dan lingkungannya hanya ada dalam tataran leksikon bukan, misalnya, dalam tataran fonologi atau morfologi.
37
Lingkungan alam berubah, bahasa yang dipakai dalam guyub tutur itu pun berubah seiring dengan berjalannya waktu. Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa perubahan bahasa pada tataran leksikonlah yang paling cepat terjadi dan paling mudah dicermati. Bang & Door (dalam Lindo dan Bundesgaard, ed., 2000:10—11) mengatakan bahwa bahasa merupakan bagian dari sebuah aktivitas sosial yang terkandung dan mengandung praksis sosial (social praxis), yakni sebuah konsep yang mengacu pada semua tindakan, aktivitas, perilaku masyarakat, baik sesama anggota masyarakat (lingkungan sosial) maupun terhadap lingkungan alamnya. Bahasa dan praksis sosial merupakan dua hal yang saling berhubungan. Dalam hal ini praksis sosial merupakan aspek yang mendominasi, sedangkan bahasa merupakan aspek yang didominasi. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan praksis sosial (perubahan tindakan, aktivitas dan perilaku manusia terhadap sesama dan juga terhadap lingkungan alamnya) menimbulkan perubahan pada bahasa. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa perubahan praksis sosial merupakan penyebab perubahan bahasa dan yang paling mudah diamati adalah perubahan pada tataran leksikon. Praksis sosial melingkupi tiga dimensi (triple dimensions), yakni (1) dimensi ideologis, yaitu ideologi yang berhubungan dengan tatanan mental individu atau masyarakat, kognitif, dan psikis yang melekat pada guyub tutur; (2) dimensi sosiologis adalah dimensi yang berkaitan dengan bagaimana guyub tutur menata, mengorganisasikan, dan mengomunikasikan interaksi mereka dengan sesama
sehingga
muncul
rasa
kebersamaan,
saling
mengasihi,
saling
38
membutuhkan dan pada akhirnya memunculkan rasa penghargaan terhadap sesama; dan (3)
dimensi biologis adalah
dimensi yang berkenaan
dengan
keberadaan kita secara biologis bersanding dengan spesies lain, yang identik dengan adanya keberagaman (diversity) baik hewan maupun tumbuhan, secara berimbang dalam sebuah ekosistem yang secara verbal terekam dalam leksikon bahasa (dalam hal ini bahasa Using) sehingga entitas-entitas itu tertandakan, dikenal, dan kemudian dipahami. Di samping, itu ketiga dimensi di atas dibentuk dan sekaligus membentuk bahasa dan ketiganya saling berinteraksi (dialektikal). Hubungan dari ketiga dimensi tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut. Bagan 2.1 Hubungan Antara Dimensi Ideologis, Sosiologis, dan Biologis Terkait dengan Perubahan Bahasa
ideologis sosiologis
S1
S2
MM LINGKUNGAN S3
O
biologis S1 : pembuat teks S2 : penikmat teks
S3 : konteks O : objek yang diacu dalam komunikasi
39
(Diadopsi dari Bagan Dialogue Model oleh Bang & Door (dalam Lindo dan Bundesgaard, ed.,2000:10) Jikalau dikaitkan dengan sebuah komunikasi, praksis sosial merupakan faktor penentu dalam peristiwa tersebut karena praksis sosial dapat terjadi tanpa adanya bahasa, sedangkan bahasa tidak mungkin ada tanpa adanya fraksis sosial. Sementara itu komunikasi alamiah manusia melibatkan tanda-tanda linguistik di dalamnya. Tanda-tanda itu dihasilkan dan dinterpretasikan oleh pelibat dalam sebuah situasi dan dialog yang terjadi secara dialektis dan paling sedikit melibatkan empat unsur, yaitu (1) orang yang mengucapkan tanda (S1= pembuat teks), (2) orang kepada siapa tanda itu ditujukan (S2= penikmat teks), (3) sesuatu yang menjadi bagian dari situasi dan komunikasi (S3= konteks), dan (4) objek yang dibicarakan (O). Keempat unsur ini menentukan secara dialektis, yakni (1) apa yang akan dipertimbangkan menjadi tanda linguistik, (2) apa yang akan dipertimbangkan sebagai hubungan antartanda linguistik, (3) apa yang dipertimbangkan sebagai tanda yang bermakna, dan (4) apa yang dipertimbangkan dari makna tanda itu (Bang and Door dalam Lindo dan Bundesgaard, ed.,2000:57). Tanda-tanda linguistik akan dimaknai sama jikalau ada kesamaan konsep antarpenutur dalam sebuah komunikasi. Sebaliknya, jikalau tanda-tanda linguistik tidak terkonsep dalam alam pikiran penutur, maka tanda-tanda tersebut menjadi sesuatu yang tidak bermakna. Untuk membedah sebuah teks atau sebuah leksikon baru juga harus melibatkan keempat unsur di atas. Misalnya, munculnya leksikon baru benur ‗benih udang windu‘ ketika tambak udang booming
di wilayah Kabupaten
40
Banyuwangi dan Kabupaten Situbondo pada tahun 1990an. Adanya perubahan lingkungan sosial masyarakat pesisir dari masyarakat nelayan tradisional menjadi masyarakat petani tambak yang lebih terbuka telah menimbulkan persoalan dalam pemberian nama benih udang yang pada masa itu disebut nener. Sementara itu, di tempat yang sama leksikon nener juga memiliki makna wanita tuna susila. Karena adanya perkembangan pada konteks (S3) dan objeks (O), maka pembuat teks (S1) harus menyesuaikan diri. Untuk mewadahi perubahan itu diciptakanlah sebuah leksikon baru untuk menamai benih udang baru tersebut menjadi benur yang berasal dari pemotongan dan penggambungan (blending process) dua leksikon BJ benih dan urang sehingga pada alam pikiran penikmat teks (S2) terkonsep leksikon benur mengacu pada entitas benih udang, sedangkan leksikon nener mengacu pada pada entitas wanita tuna susila.
2.3.2 Teori Perubahan Bahasa Ada sejumlah fenomena kebahasaan yang dapat muncul karena tingkah laku pemakai bahasa yang berubah-ubah. Fenomena seperti ini sering diawali oleh penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma baku pemakaian bahasa. Sebuah perubahan biasanya terjadi secara perlahan-lahan (evolutive) dan diawali oleh sesuatu yang kecil yang terjadi saat ini. Labov (1994) mengistilahkannya dengan language change in progress. Ada beberapa ahli bahasa mengemukakan pendapatnya tentang perubahan bahasa itu, di antaranya adalah Labov (1994) dan Aitchison (1991). Menurut Labov (1994), ada tiga cara yang dapat diterapkan untuk mengkaji perubahan
41
bahasa. Pertama, menelusuri unsur-unsur bahasa yang berubah secara evolutif, yaitu dengan membandingkan bentuk-bentuk yang sekarang dengan yang sebelumnya. Kedua, menganalisis hubungan antara kategori sosial dan tingkah laku berbahasa penutur yang terindikasi mengalami perubahan sehingga pada akhirnya dapat ditemukan hubungan antara perubahan unsur-unsur bahasa secara internal dan perubahan unsur-unsur bahasa karena faktor sosial. Ketiga, menemukan sikap penutur terhadap perubahan bahasa yang sedang terjadi. Dari paparan Labov (1994) di atas, tergambar bagaimana mekanisme penyebaran perubahan bahasa. Penyebaran ini dapat ditinjau dari dua segi, yakni penyebaran yang berkaitan dengan internal kebahasaan dan penyebaran yang berhubungan dengan penuturnya. Penyebaran perubahan kebahasaan secara internal menyangkut perubahan unsur-unsur kebahasaan, seperti unsur bunyi, morfologi, leksikon, dan sintaksis. Contoh yang dapat diamati berdasarkan fakta adalah terjadinya difusi bunyi dan difusi leksikon pada bahasa tertentu yang biasanya diawali oleh perubahan yang kecil dan perlahan. Begitu perubahan ini menyusup ke dalam beberapa kata, akan terjadi fluktuasi pemakaian antara bentuk baru dan bentuk lama oleh masyarakat tutur dan secara perlahan bentuk lama akan ditinggalkan. Jika penyebaran perubahan bahasa ini terjadi pada kata dengan jumlah yang cukup banyak, maka perubahan akan terjadi secara cepat dalam waktu yang singkat (Suastra, 2004:8—15). Penyebaran
perubahan
bahasa
terkait
dengan
penuturnya
dapat
dikelompokkan menjadi penyebaran secara alamiah dan penyebaran secara sadar. Penyebaran perubahan bahasa secara alamiah terjadi secara sistematis dan
42
biasanya dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat tutur yang secara tidak sadar memakai unsur-unsur kebahasaan tertentu yang berbeda dari kaidah-kaidah yang berlaku selama ini yang pada akhirnya memunculkan variasi baru. Jika variasi baru ini terpakai oleh masyarakat tutur dan digeneralisasi serta pemakaiannya sudah mencapai batas tertentu dalam penyebarannya, maka variasi ini akan menjadi kaidah yang berterima, dan akhirnya semua anggota masyarakat tutur akan memakainya sehingga menjadi marker guyup tutur tersebut. Perubahan seperti ini oleh Labov (1994) disebut change from below. Adakalanya pemakaian variasi baru itu mengalami adaptasi dengan unsur-unsur kebahasaan lainnya. Penyebaran perubahan bahasa secara sadar dilakukan secara sadar, artinya anggota masyarakat tutur secara sengaja atau nyata menyerap unsur-unsur bahasa yang menyimpang dari kaidah yang berlaku. Penyebaran tipe ini biasanya dilakukan oleh anggota
masyarakat tutur yang dianggap memiliki prestise ,
kekuasaan, dan status sosial tinggi yang kemudian ditiru oleh kelompok ―subordinate‖ sebagai model. Selain Labov (1994), ahli bahasa lain yang juga membahas tentang perubahan bahasa adalah Aitchison (1991). Aitchison (1991:105-160) menyoroti penyebab perubahan bahasa
dikarenakan oleh dua faktor: faktor internal
psikolinguistik dan faktor sosial. Faktor pertama terkait dengan sistem bahasa itu sendiri dan keadaan psikologis penutur, sedangkan faktor kedua terkait dengan faktor luar sistem kebahasaan.
43
a. Faktor internal kebahasaan Seperti telah diuraikan di bagian terdahulu bahwa setiap bahasa akan mengalami perubahan apabila bahasa tersebut memiliki perangkat untuk perubahan
tersebut
yang
dapat
mengakibatkan
adanya
penyimpangan-
penyimpangan dalam pemakaian bahasa sehingga muncul variasi-variasi baru. Misalnya, adanya asimilasi dalam bidang bunyi antara dua bahasa yang berbeda. Pada kasus seperti ini berlaku ‖push and drag chain theory” yang menjelaskan adanya pergeseran bahasa dalam dikotomi push dan drag karena adanya penyusupan unsur satu bahasa ke bahasa lainnya sehingga menggeser unsur bahasa yang asli. Unsur bahasa asli yang tergeser akan meninggalkan celah dan celah ini akan diisi oleh unsur bahasa yang lain pula. Di samping karena asimilasi, perubahan bahasa dapat terjadi karena adanya kontak bahasa yang dapat mengakibatkan adanya proses peminjaman (borrowing proses) unsur –unsur satu bahasa oleh bahasa lainnya. Dalam hal ini biasanya unsur-unsur bahasa pendonor akan disesuaikan dengan norma-norma yang telah ada pada bahasa peminjam. Fenomena ini merupakan awal dari perubahan sebuah bahasa. Berkaitan
dengan
fenomena
peminjaman
ini,
Aitchison
(1991)
mengemukakan bahwa ada empat ciri utama dalam fenomena peminjaman bahasa ini, yakni (1) unsur-unsur bahasa pijaman berbeda dengan unsur-unsur bahasa peminjam dan tidak memengaruhi struktur bahasa peminjam. Unsur-unsur pinjaman ini biasanya berupa unsur-unsur yang ditemukan padanannya dalan bahasa peminjam; (2) bentuk unsur-unsur bahasa pinjaman biasanya disesuaikan
44
dengan bentuk bahasa peminjam. Hal ini dapat dilihat pada kasus peminjaman oleh bahasa Indonesia dari salah satu bahasa asing, bahasa Inggris, seperti bentuk organization dan function masing-masing
berubah menjadi ―organisasi‖ dan
―fungsi‖, dan sebagainya; (3) bahasa peminjam cenderung memilih bentuk yang memiliki kedekatan bentuk dengan bahasa pendonor, seperti kasus pinjaman oleh bahasa Prancis dari bahasa Jerman; dan (4) bahasa peminjam mengadakan penyesesuaian dengan bahasa pendonor, seperti bentuk-bentuk pinjaman dalam bahasa Indonesia radio (bahasa Inggris) dibaca [radio], photo (bahasa Inggris) dibaca [poto]. b. Faktor eksternal kebahasaan Di samping faktor internal, faktor eksternal kebahasaan turut memengaruhi arah perubahan bahasa. Untuk melihat arah perubahan bahasa karena faktor eksternal, peneropongan harus dilakukan melalui perubahan kehidupan sosial penuturnya karena perubahan bahasa saat ini (change in prosess) akan terkait dengan faktor-faktor sosial yang memengaruhinya. Mengenai hal ini, Labov (1994) menyebutkan beberapa faktor sosial yang dapat memepengaruhi variasi bahasa, yakni status sosial penutur yang mencakup stratifikasi sosial, pekerjaan, jenis kelamin, umur, dan ras penutur. Kelompok-kelompok sosial yang terbentuk karena status sosial penutur ditengarai
sebagai kelompok yang
mengawali
proses perubahan bahasa. Dengan kata lain, orang-orang dengan etnis, pekerjaan, jenis kelamin, dan umur yang berbeda akan menggunakan variasi bahasa yang berbeda. Misalnya, dari segi umur bagi penutur bahasa Indonesia, penutur yang lebih muda cenderung menggunakan variasi yang menyimpang dari kaidah baku
45
bahasa dibandingkan dengan penutur yang berusia lebih tua. apabila dikaitkan dengan jenis kelamin sebagai salah satu variabel sosial, menurut Lakof (1973), secara morfologis, sintaksis, dan leksikon variasi bahasa yang digunakan oleh perempuan dan laki-laki menunjukkan perbedaan (bdk. Holmes, 1992:164—181). 2.3.3 Teori Morfologi Berbicara tentang bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam BU merupakan bagian dari kajian morfologi, yakni ilmu bahasa yang menelaah struktur atau bentuk kata, utamanya melalui penggunaan morfem serta isyarat perubahan yang menyertainya, yakni perubahan kelas kata dan perubahan makna. Dengan kata lain dapat pula dikatakan bahwa morfologi adalah ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk struktur kata serta pengaruh perubahan-perubahan struktur kata terhadap golongan dan makna kata (lihat Ramlan, l979:2 dan Crystal, 1980:232—233). Sementara itu, menurut Bauer (1083:33), morfologi merupakan bidang linguistik yang membahas struktur internal bentu kata dan Verhaar (2012: 97)
mengemukakan
bahwa
morfologi
adalah
cabang
linguistik
yang
mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan grmatikal. Dari semua pendapat di atas dapat disebutkan bahwa kata atau morfem adalah objek dasar kajian morfologi. Berdasarkan jenisnya, morfem dibendakan menjadi dua, yakni morfem bebas dan morfem terikat. Terkait dengan hal ini, ada sejumlah ahli yang mengemukakan pendapatnya. Menurut Verhaar (2012:97), morfem bebas adalah satuan atau bentuk bebas dalam tuturan. Yang dimaksud bentuk bebas dalam hal
46
ini adalah sebuah bentuk yang dapat berdiri sendiri, artinya bentuk yang tidak membutuhkan bentuk lain yang digabung dengannya, dan dapat dipisahkann dari bentuk-bentuk bebas lainnya (bdk. Crystal, 1980: 383—385). Sebaliknya, morfem terikat menurut Verhaar (2012: 97—98) adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dan yang hanya dapat meleburkan diri pada morfem lain. Semua afiks adalah morfem terikat (lihat Akmajian, 1984: 68). Di samping itu, morfem terikat juga ada berbentuk kata yang disebut bentuk pradasar (prakategorial), yaitu sebuah bentuk yang membutuhkan pengimbuhan atau pemajemukan untuk menjadi bentuk bebas (lihat Verhaar, 2012:99). Sementara itu, terkait dengan pembentukan kata (word formation), Bauer (1983: 201) mengatakan bahwa pembentukan kata dapat dilakukan melalui proses morfologis (morphological process) yang dapat terjadi melalui sembilan proses, yaitu (1) compounding (2) affixation, (3) conversion, (4) back formation, (5) clipping, (6) blending, (7) acronyms, (8) words manufacture, dan (9) mixed formation. Sementara itu, menurut Kridalaksana (1996:12), proses morfologis mencakup tujuh proses, yakni (1) derivasi zero (kosong), (2) afiksasi, (3) reduplikasi, (4) abreviasi (pemendekan), (5) komposisi (perpaduan), (6) derivasi balik, dan (7) metatesis. Melalui proses-proses morfologis di atas terbentuk tiga kelompok kata, yakni (1) proses afiksasi menghasilkan kata berafiks; (2) proses reduplikasi menghasilkan kata ulang; dan proses kompositum menghasilkan kata majemuk.
47
2.3.4 Teori Semantik Secara teoritis, hal yang paling mendasar pada anggota masyarakat dalam penguasaan nomenkaltur ialah mengenali dan/atau memahami nama-nama flora dan fauna dalam guyub tuturnya sendiri. Pengenalan/pemahaman tersebut tersebut paling tepat dibedah dengan menggunakan teori ―Segitiga makna‖ dari Ogden dan Richardas (periksa Ullmann, 1985: 55). Sebab, gagasan teori makna itu bertolak dari penunjukan nama-nama (nomenklatur) flora dan fauna itu dengan hal di luar nama (lambang), yakni benda-benda (things) itu sendiri. Dengan kata lain, penunjukkan nama-nama itu bersifat ostensif, menunjuk dengan telunjuk jari. Oleh karen itu, teori makna yang demikian dinamakan Teori Referensial (Saeed, 2000:67). Penegenalan/ pemahaman terhadap nomenklatur itu berjalan
berjalan
sampai usia (penutur) tertentu. Jadi, setiap anak yang memulai mengenali bendabenda di sekelilingnya, ia melihat benda itu, atau ada orang lain yang menunjuk dengan telunjuk jarinya (ostention) benda tertentu dengan nama tertentu pula (lihat teori Penamaan berikut). Hal itu terjadi berulang, yang pada akhirnya, penutur menjadi terbiasa dalam mengenali dan memahami nomenklatur flora ataupun fauna tadi. Kebiasaan yang dimaksud itu didasarkan pada asumsi bahwa penutur sudah menempatkan nomenklatur itu dalam benaknya. Jadi baik citra bunyi (acoustic image) maupun makna (meaning) sudah tersimpan dalam otak penutur ataupun sudah ―membatin‖ (in mind). Oleh karena itu, seseorang yang sudah mengetahui nama benda tertentu ia tidak perlu lagi melihat atau ada orang lain
48
yang menunjukkan benda tertentu itu padanya. Dengan kata lain, nama-nama benda itu sudah menjadi pengetahuan (cognition) baginya. de Saussure menyebut hubungan nama (lambang) dengan konsep (makna) itu bersifat resiprokal: lambang langsung berhubungan dengan konsep tanpa perantara objek (referent). Jadi, apabila penutur ingat akan benda tertentu, misalnya ―bambu‖ sebagai konsep, ia akan mengucapkan bambu. Secara teknis, berbeda dari Ogden dan Richards di atas, teori makna dari de Saussure dinamakan Teori Representasinal (Saeed, 2000:89). Apabila dihubungkan dengan dinamika pemahaman dan penggunaan antargenerasi GTBU terhadap kelompok leksikon flora dan fauna BU maka secara teoritis yang berperan adalah nama-nama benda yang sudah menjadi pengetahuan itu. Jadi, kajian teoritis dari sudut pemahaman makna atas leksikon flora dan fauna BU tidak membutuhkan waktu lama saat seorang anak mulai dalam pemerolehan nomenklatur yang menjadi objek penelitian ini. Persoalannya ialah nama-nama benda itu sudah menjadi pengetahuan mereka meskipun entitas acuannya sudah tidak ditemukan lagi di sekliling mereka. Nama dari sudut pandang linguistik
dapat dideskripsikan secara
gramatikal yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori nomina (noun). Dari segi bentuknya, nomina dibedakan menjadi nomina generik (common nouns) dan nomina spesifik (proper nouns). Nomina generik mengacu pada semua nomina yang terkait dengan nama-nama benda pada umumnya, baik nomina yang dapat dihitung dan bersifat konkrit (countable nouns), seperti pohon, bunga, daun, binatang, dan sebagainya, maupun yang tak dapat dihitung dan bersifat abstrak
49
(uncountable nouns), seperti air,
awan, mendung, petir dan sebagainya.
Sementara itu, nomina spesifik digunakan untuk mengacu pada nama-nama, di antaranya: (1) untuk nama-nama manusia, seperti Widia, Sentanu, Hapsari, dan sebagainya; (2) nama-nama pulau, seperti Bali, Lombok, Halmahera, dan sebagainya; dan nama-nama negara, seperti Indonesia, Singapura, Spanyol, dan sebagainya. Dari sudut pandang filsafat, menurut Mill (dalam Martinich, 1996: 245247), nama dapat dikaji berdasarkan fungsi dan maknanya. Terkait dengan hal ini Mill mengatakan bahwa ada dua macam nama, yakni nama yang berkonotasi (connotative names) dan nama yang tidak berkonotasi (non-connotative names). Nama berkonotasi terkait dengan kata-kata seperti manusia, kucing, jambu, padi, tawon, dan sebagainya. Sementara itu, nama yang tidak berkonotasi adalah semua nomina yang tergolong nama diri (proper names), seperti nama orang: George, Mona, Susan, Tyson, dan sebagainya; nama kota: Denpasar, Jakarta, Surabaya, dan sebagainya; dan nama pulau: Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan sebagainya. Saeed (2000:27) mengatakan bahwa nama pada dasarnya
merupakan
label-label untuk manusia, tempat, dan sebagainya dan kelihatannya memiliki sedikit arti yang berbeda dan konteks yang perlu diperhitungkan di dalam penggunaan nama tersebut. Nama
bersifat takrif (definite) karena nama-nama
yang diberikan terhadap entitas-entitas acuannya mengandung asumsi si pemberi nama sehingga pembaca/pendengar dapat mengidentifikasi/mengenali acuannya. Sebagai contoh, pemberian nama gedhang agung untuk satu jenis pisang mengindikasikan bahwa di dalam entitas tersebut ada sesuatu yang mengandung
50
hal-hal yang ada kaitannya dengan agung „besar‘. Berdasarkan ciri-ciri/deskripsi yang dimiliki entitas acuan, pendengar dapat
mengidentifikasi entitas yang
dimaksud yaitu satu jenis pisang yang memiliki ukuran yang besarnya melebihi ukuran pisang pada umumnya. Ada dua teori yang dapat diterapkan dalam mengkaji nama menurut Saeed (2000), yakni teori deskripsi (description theory) dan teori kausal (causal theory). Menurut teori deskripsi, nama merupakan sebuah label untuk pengetahuan (deskripsi
khusus)
tentang
pengidentifikasian entitas acuan,
entitas
acuan
karena
pemahaman
dan
dua-duanya tergantung pada pengasosiasian
nama dengan deskripsi yang benar. Sementara itu, teori kausal (causal theory) didasarkan pada ide bahwa nama-nama yang mengacu pada entitas-entitas acuannya secara sosial bersifat warisan dan pinjaman, artinya nama tidak terkait makna yang dikandung oleh entitas acuannya karena nama hanya merupakan persetujuan (agreement) secara turun-temurun di dalam sebuah masyarakat. Sementara itu, Evans (dalam Martinich, 1996:247 dan 271-283) mengemukakan dua teori tentang nama. Teori pertama adalah Teori Deskriptif Nama (The Descriptive Theory of Name). Teori ini dibedakan lagi menjadi dua, yakni Teori Denotasi Penutur (The Description Theory of Speaker‟s Denotation) dan Teori Denotasi Nama (The Description Theory of Name Denotation) yang keduanya mengabaikan fungsi-fungsi sosial pemaknaan sebuah nama. Menurut Teori Denotasi Penutur bahwa sebuah nama dianggap mendenotasikan sesuatu hanya jika nama tersebut dapat memunculkan sebuah deskripsi tentang entitas yang diacunya pada saat digunakan, sedangkan Teori Denotasi Nama menjelaskan
51
bahwa sebuah nama dapat dianggap mendenotasikan suatu entitas hanya jika nama tersebut dimaknai secara bersama oleh sekelompok orang sesuai dengan apa yang diacu oleh nama tersebut. Teori kedua, yaitu Teori Kausal Nama (The Causal Theory of Name) yang mengemukakan bahwa sebuah nama dianggap mendenotasikan suatu entitas hanya jika terdapat hubungan sebab-akibat yang dapat ditelusuri dari pemakaian nama tersebut hingga entitas yang dinamainya. Jika pendapat kedua ahli di atas dicermati, terlihat ada perbedaan di antara keduanya. Dari pendapat Saeed (2000) dapat disimpulkan, di satu pihak, bahwa nama bukanlah sebuah kata tanpa makna yang muncul begitu saja, tetapi sebuah kata yang mengandung makna, yaitu berupa deskripsi khusus tentang acuannya. Sementara itu, di pihak lain, dalam teorinya yang kedua (causal theory), Saeed (2000) mengemukakan bahwa nama tidak memiliki kaitan makna dengan entitas acuannya, melainkan hanyalah sebuah persetujuan antara anggota masyarakat tempat nama-nama itu muncul. Teori Saeed (2000) yang kedua ini berarti hampir sama dengan teori yang dikemukakan oleh Evans (seperti yang dikutip oleh Martinich, 1996) yang juga menganggap bahwa nama merupakan sebuah kesepakatan dalam masyarakat. Terkait dengan penelitian ini, teori yang diterapkan untuk mengkaji keberagaman penamaan flora dan fauna dalam BU adalah teori yang dikemukan oleh Saeed (2000) dengan alasan bahwa penamaan terhadap beberapa entitas ada yang bisa ditelusuri maknanya, namun ada yang tidak bisa ditelusuri. Untuk jenis yang kedua ini, nama-nama beberapa entitas dianggap merupakan kesepakatan
52
yang muncul antara anggota masyarakat untuk memberi nama tertentu terhadap entitas tertentu pula. 1) Klasifikasi makna nama Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa nama merupakan leksikon yang secara gramatikal berkategori nomina yang bentuknya dibedakan menjadi nomina yang dapat dihitung (countable nouns) dan nomina yang tak dapat dihitung (uncountable nouns). Pada bagian ini nama yang dianalisis adalah nama yang tergolong nomina yang dapat dihitung, yakni nama-nama flora dan fauna yang ditemukan di lingkungan tempat tinggal GTBU. Terkait dengan makna yang terkandung di balik nama-nama flora dan fauna pada tulisan ini, ada dua pendapat ahli yang dikutip. Pendapat pertama dikemukakan oleh Jacobs (dalam Laird dan Gorrel, 1971:92-93) yang mengklasifikasikan makna yang ada di balik nama-nama binatang. Menurut Jacobs, sejumlah binatang dinamai berdasarkan hal-hal berikut. (1) Asal (place of origin), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan asal dari entitas tersebut, seperti Pekingese, jenis anjing yang berasal dari Kota Peking
(Cina), Scotty berasal dari Skotlandia, dan
Spaniel berasal dari Spanyol (Spanish). (2) Ukuran (size), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan ukuran dari entitas tersebut, seperti
horsefly (lalat kuda, ukurannya
sangat besar) dan bumblebee (tawon besar). (3) Jenis makanan (means of sustenance), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan jenis makanan yang dimakan oleh entitas
53
tersebut, seperti linnet yaitu sejenis burung pemakan biji flax (dalam bahasa Latin linum) (4) Jenis suara
(characteristic of sounds emitted), yaitu pemberian nama
sebuah entitas yang dikaitkan dengan suara yang dikeluarkan, seperti binatang kucing di beberapa daerah disebut meong, binatang anjing disebut gukguk, dan binatang sapi disebut embek. (5) Bentuk (shape), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan bentuk dari entitas tersebut, seperti ringworm ‗cacing gelang‘ yaitu sejenis cacing yang bentuknya seperti gelang, fiddler crab (kepiting bola), yaitu sejenis kepiting berjepit besar dan ketika jepitnya diangkat menyerupai seorang pemain yang memegang bola. (6) Cara bergerak (method of locomotion), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan cara bergerak dari entitas tersebut, seperti grasshopper yaitu sejenis belalang yang bergerak dengan cara melompatlompat, dove ‗burung‘ yang bergeraknya seperti orang diving ‗menyelam‘, dan sebagainya. (7) Warna (colour), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan warna dari entitas tersebut, seperti redbreast yaitu sejenis burung yang dadanya berwarna merah, jalak putih yaitu salah satu jenis burung jalak yang seluruh bulunya berwarna putih, dan sebagainya. (8) Ekspresi wajah (facial expression), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan ekspresi wajah dari entitas tersebut, seperti dodo (bahasa Portugis doudo ‗bodoh‘) sejenis burung yang tidak bisa terbang.
54
(9) Cara menggaruk (mode of scratching), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan cara menggaruk pada saat entitas merasa gatal pada bagian-bagian badan tertentu dari entitas tersebut, seperti raccoon (bahasa Algon, Arathcone ‗menggaruk dengan tangan‘, yaitu binatang yang menyerupai kucing. (10) Cara membuang kotoran (mode of excretion), yaitu pemberian nama sebuah entitas yang dikaitkan dengan cara suatu entitas membuang kotoran, seperti butterfly ‗kupu-kupu‘ yaitu serangga yang kotorannya berbentuk seperti mentega yang keluar dari kemasannya yang di-pencet. Sementara itu, Verheijen (1984) yang mengkaji nama beberapa tumbuhan di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, mengelompokan
penamaan
tumbuhan berdasarkan hal-hal berikut. (1) Penamaan yang ada kaitannya dengan sejarah (historical name.) (2) Nama pinjaman (borrowed names) dari bahasa lain. (3) Nama aetiologis (aetiological names). (4) Nama-nama deskriptif (descriptive names): gedhang agung (pisang berukuran besar), ketan cemeng (ketan yang berwarna hitam), dan sebagainya. Terkait dengan cara-cara penamaan yang dipaparkan pada bagian terdahulu, pada penelitian ini diterapkan model penamaan kombinasi antara keduanya. Namun untuk mendapatkan kajian yang komprehensif perlu diadakan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan. 2) Motivasi dalam penamaan
55
Fenomena tentang makna yang terkandung di balik sebuah kata/leksikon sudah menjadi perdebatan sejak zaman Yunani Kuno. Perdebatan itu akhirnya bermuara pada dua aliran, yakni aliran
konvensionalis dan aliran naturalis.
Aliran konvensionalis berpendapat bahwa makna kata/leksikon adalah bersifat tradisi dan konvensi (perjanjian), sedangkan aliran naturalis percaya bahwa kata mempunyai makna secara alami dalam arti bahwa ada suatu hubungan atau korespondensi intrinsik antara bunyi dan makna (Ullmann, 1985: 80). Lebih lanjut Ullmann mengemukakan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa ada leksikon yang hubungan maknanya jelas tetapi ada pula yang kabur atau bahkan arbitrer (sewenang-wenang). Untuk leksikon-leksikon yang hubungan maknanya jelas, Ullmann (1985:81) mengatakan bahwa ada tiga motivasi yang melandasi hubungan antara bentuk dan makna leksikon-leksikon tersebut. Motivasi-motivasi yang dimaksud meliputi motivasi fonologis, motivasi morfologis, dan motivasi semantis. Berikut adalah uraian dari masing-masing motivasi yang dimaksud. (1) Motivasi fonetis/bunyi (onomatope), yaitu makna yang dikandung oleh sebuah leksikon berhubungan dengan bunyi fonetis yang dimiliki oleh leksikon tersebut. Ullmann (1985) membedakan motivasi fonetis ini menjadi dua, yakni onomatope pertama ialah tiruan bunyi atas bunyi, yaitu bunyi yang betul-betul merupakan gema atas makna yang mana referennya sendiri adalah suatu pengalaman akustik yang sedikit banyak sangat mirip dengan struktur fonetik kata seperti contoh dalam BI di antaranya adalah dengung, ketik, bum, pang, desis, decak. Onomatope kedua,
yakni
bunyi-bunyi
yang
membangkitkan
suatu
gerakan
56
(movement), seperti contoh
dalam BI, di antaranya adalah leksikon
gemetar, geletar, geletuk, geretak atau membangkitkan kualitas fisik atau moral (biasanya yang bersifat tidak mengenakkan) seperti yang ditemukan pada leksikon-leksikon gloomy (suram), mawkish (muak), sloopy (becek). Di samping itu, Ullmann (1985) mengatakan bahwa leksikon-leksikon onomatope memiliki unsur-unsur tertentu yang ada pada semua kata. Bloomfield, seperti dikutip oleh Ullmann (1985) mengistilahkannya bahwa ada ―sistem morfem pembentuk akar pada bagian awal atau akhir, ada sistem signifikasi (makna) yang samar-samar‖, dengan sistem itu, ―konotasi yang intens dan simbolik‖ yang ada pada kata-kata itu dihubungkan. Bloomfield (1933) memberi contoh dalam bahasa Inggris bahwa leksikon-leksikon yang diawali dengan bunyi awal /sn-/ dapat mengekspresikan tiga jenis pengalaman, yakni berisik-nafas (sniff ‗mengendus‘, snuff ‗menghirup‘, snore ‗mendengkur‘, snort ‗mendengus‘; pemisahan atau gerak cepat (snap ‗mencakup untuk cangkang kerang‘, snatch ‗merenggut‘, snip ‗memotong dengan cepat‘ ; dan melata (snake ‗ular‘, snail ‗siput‘, sneak ‗bergerak dengan cara mengendap-endap). Hal ini dapat dibandingkan dengan fenomena yang terjadi dalam BI dengan bersuku kata akhir pada kata-kata yang mengandung makna suasana hati yang tidak tenang, seperti susah, gelisah, resah, keluh kesah, desah atau kata-kata yang mengandung makna tidak lebar, pit, seperti apit, sepit, sempit, jepit, kempit (Sumarsono,1985:111). (2) Motivasi morfologis
57
Banyak leksikon yang cara terbentuknya dimotivasi oleh struktur morfologis. Dalam bahasa Inggris khususnya, leksikon-leksikon seperti driver, teacher, dan writer termasuk leksikon-leksikon yang dengan mudah dapat dianalisis menjadi dua morfem komponen pembentuknya yang masing-masing memiliki makna sendiri-sendiri, yakni dari verba drive, teach, write, dan sufiks –er yang membentuk nomina yang merupakan pelaku dari verba drive, teach, dan write. Penutur non-Inggris yang mendengar leksikon-leksikon tersebut untuk pertama kalinya akan mengetahui maknanya jika mereka mengetahui verba dan sufiks komponen pembentuknya. Contoh dalam BI dapat dilihat pada leksikon-leksikon, seperti pembaca, penabur, dan penipu. Begitu melihat nomina-nomina tersebut, penutur BI akan
segera mengetahui
bahwa leksikon-leksikon tersebut dibentuk oleh verba baca, tabur, dan tipu serta prifiks peNg- Fenomena yang sama juga terjadi pada leksikon majemuk. Beberapa leksikon BI, seperti tata kalimat, tata hukum, tata boga, dan tata busana yang mengandung unsur tata
yang bermakna
aturan yang bergabung dengan unsur-unsur kalimat, hukum, boga, busana, sehingga pendengar atau pembaca dengan mudah akan mengetahui bahwa leksikon-leksikon tersebut mengacu pada aturan tentang unsur-unsur yang menerangkannya (modifier). (3) Motivasi semantis Jika seseorang mendengar ungkapan puncak acara, puncak prestasi, atau puncak kenikmatan maka ekspresi ini dimotivasi oleh kesamaan antara
58
puncak gunung dan leksikon puncak pada
leksikon majemuk di atas.
Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa si gajah untuk yang gemuk, si dalang untuk yang pintar dan pandai memainkan kata-kata, atau si keledai untuk yang bodoh maka dalam bentuk-bentuk tersebut ada motivasi semantik, yang apabila dihubungkan dengan kenyataan bahwa bentuk-bentuk nomina (gajah, dalang, keledai) mempunyai hubungan yang erat dengan sifat-sifat orang yang diacu tersebut (besar, banyak bicara, bodoh) karena gajah bertubuh besar, dalang biasanya banyak bicara, dan keledai itu identik dengan kebodohan. Walaupun ketiga bentuk tersebut bersifat figuratif (kias), ada perbedaan antara ketiganya. Jenis pertama bersifat metonimis karena didasarkan pada suatu hubungan eksternal, sedangkan jenis kedua dan ketiga bersifat metaforis karena didasarkan atas persamaan karakter antara unsur-unsurnya Penamaan yang dimotivasi karena adanya
keterkaitan makna tersebut
kadang-kadang tumpang tindih dengan penamaan yang dimotivasi secara morfologis. Pada beberapa kasus sebuah kata di samping dimotivasi secara morfologis, juga dimotivasi secara semantik (makna). Pada leksikon kumis kucing, misalnya, terdapat motivasi campuran. Leksikon ini merupakan bentuk majemuk yang juga ada unsur metaforanya, karena bentuk bunga tumbuhan ini memang menyerupai kumis kucing. Selanjutnya, redbreast ‗si dada merah‘ (nama salah satu jenis burung dalam bahasa Inggris) yang namanya dimotivasi oleh struktur morfologis dan juga oleh metonimi yang mendasarinya, yakni burung itu dinamai demikian karena dadanya merah.
59
Sementara itu, teori yang diterapkan untuk membedah permasalahan penelitian tentang bentuk-bentuk lingual keberagaman leksikon lingkungan alam BU, adalah teori pembentukan katayang dikemukakan oleh Kridalaksana (1996). Hal ini dilaarbelakangi oleh adanya kemiripan cara pembentukan kata antara pembentukan kata dalam BI dan dalam BU, yakni di antaranya melalaui proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi (Kridalaksana, 1996: 32—99). Untuk melihat hubungan antara permasalahan penelitian dan teori yang diterapkan untuk mengkajinya dapat dilihat pada bagan berikut No. 1.
2.
Masalah Penelitian Bagaimanakah bentuk-bentuk lingual keberagaman leksikon lingkungan alam BU?
Bagaimanakah gambaran keberagaman (diversity) leksikon lingkungan alam BU yang mewadahi pengetahuan GTBU?
Teori Pendukung 1. 2.
1. 2.
Teori Morfo-logi Teori Ekolinguistik
Teori Ekolinguistik Teori Semantik
Keterangan Teori proses pembentukan kata adalah teori yang menjabarkan bagaimana bentuk sebuah kata (bentuk dasar, bentuk turunan, bentuk ulang, atau bentuk majemuk) dan bagaimana sebuah kata dibentuk apakah melalui proses afiksasi, proses pengulangan, atau proses pemajemukan. Sementara itu, penerapan teori ekolinguistik untuk mengkaji keberagaman bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam BU dikaitkan dengan keberagaman entitas bambu dan kelapa beserta bagian-bagian yang terkait dengan kedua entitas tersebut yang diwadahi oleh leksikon-leksikon, baik yang berwujud bentuk dasar, bentuk turunan, bentuk ulang, maupun bentuk majemuk. Penerapan teori ekolinguistik untuk membedah keberagaman leksikon lingkungan alam yang mewadahi pengetahuan GTBU karena konsep dasar teori ini, yakni tentang interelasi, interaksi, interdependensi, di samping tentang keberagaman. Pengetahuan tentang sumber daya lingkungan yang dimiliki GTBU, seperti memahami karakter masing-masing entitas, menciptakan entitas baru dari entitas lama, dan memanfaatkan entitas-entitas di lingkungan tersebut untuk kehidupan mereka. Semua hasil kreasi dan semua aktivitas yang terjadi diwadahi oleh leksikon sehingga tercipta yang beragam eksikon nomina dan leksikon verba BU. Sementara itu, penerapan teori semantik, khususnya teori tentang penamaan entitas acuan, karena nama pada dasarnya merupakan label-label untuk sesuatu, termasuk flora dan
60
fauna. Nama bersifat takrif (definite) karena nama-nama yang diberikan terhadap entitasentitas acuannya mengandung makna tertentu sehingga pembaca/pendengar dapat mengidentifikasi atau mengenali acuannya. 3.
4.
Bagaimanakah dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU?
1.
Faktor-faktor apakah yang menyebabkan dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU?
1.
2.
Teori Ekolinguistik Teori Peruba-han Bahasa
Teori Ekolinguistik
Adanya perbedaan interaksi, interelasi, dan intedependensi GTBU pada sumber daya lingkungan yang di dalamnya terdapat beragama entitas acuan leksikon menimbulkan perbedaan pengetahuan mereka, baik terhadap entitas acuan maupun leksikonnya sehingga terjadi dinamika tingkat pemahaman dan penggunaan GTBU terhadap leksikon lingkungan alam BU. Hal ini berakibat pada adanya leksikon yang bertahan, bergeser, hampir punah/punah, atau kemunculan leksikon-leksikon baru. Fenomena di atas menimbulkan terjadinya perubahan pada BU pada tataran leksikon yang merupakan bidang kajian teori perubahan bahasa. Teori ekolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa dan lingkungannya. Berdasarkan analisis dan temuan di lapangan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya dinamika tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan adalah karena adanya perubahan lingkungan fisik dan lingkungan sosial tempat BU dipakai.
Bagan 2.2 Hubungan Antara Masalah Penelitian dan Teori yang Diterapkan
61
2.4 Model Penelitian Penelitian ini merupkan sebuah kajian ekolinguistik yang secara umum mengkaji khazanah leksikon lingkungan alam dalam dinamika GTBU dengan empat
masalah penelitian, yakni (1) Bagaimanakah bentuk-bentuk lingual
keberagaman leksikon lingkungan alam BU; (2) Bagaimanakah gambaran keberagaman (diversity) leksikon lingkungan alam pengetahuan GTBU?; Bagaimanakah
BU yang mewadahi
dinamika pemahaman dan penggunaan
leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU?; dan Faktor-faktor apakah yang menyebabkan dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU?. Sementara itu, tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan bentuk-bentuk lingual keberagaman leksikon lingkungan alam BU; (2) mendeskripsikan gambaran keberagaman (diversity) leksikon lingkungan alam BU yang mewadahi pengetahuan GTBU; (3) mendeskripsikan dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon-leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU; dan (4) mendeskripsikan faktor-faktor
yang menyebabkan dinamika
pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam GTBU. Selanjutnya, untuk merealisasikan tujuan penelitian ini diterapkan satu teori payung, yakni teori ekolinguistik, sedangkan teori perubahan bahasa, teori morfogi, dan teori semantik merupakan teori pendukung. Data dan fakta yang diperoleh dengan menerapkan keempat gambaran bagaimana profil
teori
secara integratif memberikan
khazanah leksikon lingkungan alam BU dalam
dinamika komunitas tuturnya yang merupakan temuan dalam penelitian ini. Untuk lebih jelasnya, perhatikan bagan berikut.
62
Bahasa Using
Leksikon Lingkungan Alam Bahasa Using
Bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam BU
Keberagaman leksikon lingkungan alam BU
Dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU
Faktor-faktor penyebab dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi GTBU
Teori Ekolinguistik
Teori Perubahan Bahasa
Teori Morfologi
Teori Semantik
TEMUAN
Bagan 2.3 Model Penelitian Leksikon Lingkungan Alam BU
63
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Landasan Filosofis Penelitianini didasarkan pada perspektif fenomenologis. Fenomenologi merupakan landasan filsafat yang penerapannya melalui berbagai tahapan berpikir kritis dan ilmiah yang dimulai dari berpikir secara induktif, yaitu peneliti menangkap sejumlah fenomena sosial di lapangan, dilanjutkan dengan menganalisis fenomena-fenomena tersebut, kemudian mencoba melakukan teorisasi berdasarkan fenomena-fenomena yang diamati (lih.Bungin, 2008: 2—3). Filsafat fenomenologis memandang bahwa kesadaran manusia tidak terisolasi satu sama lain, melainkan saling terkait satu sama lain secara dialektis. Bungin (2008:8) menegaskan bahwa menurut persepektif fenomenologis sesuatu yang nampak itu pasti memiliki makna bagi subjek yang menampakkan fenomena itu karena setiap fenomena dalam pandangan fenomenologis dianggap merupakan kesadaran manusia. Data penelitian ini semuanya merupakan data verbal dalam bentuk leksikon lingkungan alam BU dan juga dalam bentuk persentase, serta dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan analisis quantitatif. Penerapan
teknik
qualitatif
berlandaskan
pada
konsepsi
epistimologis
fenomenologis yang dikemukakan oleh Husserl (dalam Muhadjir, 1996:12) yang menegasan bahwa objek ilmu objek ilmu tidak hanya terbatas pada data-data
63
64
empirik, melainkan juga mencakup fenomena yang berupa persepsi, kemauan, dan keyakinan subjek tentang hal-hal di luar subjek. Sejalan dengan paparan di atas dan juga berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di depan, maka pendekatan yang paling tepat diterapkan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan kuantitati dengan format deskriptif dengan tiga pertimbangan, yakni (1) penelitian ini mengkaji sejumlah leksikon lingkungan alam yang dipahami dan digunakan olen GTBU yang merupakan perilaku sosial; (2) pemahaman dan penggunaan leksikon-leksikon tersebut di atas yang merupakan perilaku sosial itu terkandung tindakan dan aktivitas penutur sebagai pengguna bahasa yang merupakan subjek utama, dan (3) leksikon-leksikon yang dikaji pemahaman dan penggunaannya oleh GTBU mengandung beberapa fenomena kebahasaan, seperti bentuk, fungsi, dan makna karena seperti disebutkan sebelumnya bahwa sesuatu yang tampak itu pastu memiliki makna, khususnya bagi yang menampakan fenomena tersebut.
3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Banyuwangi. Pemilihan Kabupaten Banyuwangi sebagai lokasi penelitian, selain terkait dengan masalah penelitian, juga didasarkan pada berapa pertimbangan, yaitu kesejarahan BU,
karakter lingkungan alam, dan
terkait dengan
karakter GTBU. Seperti
diketahui dari berbagai hasil penelitian terdahulu dan berdasarkan pengamatan terhadap bentuk-bentuk leksikonnya bahwa BU banyak menyerap leksikonleksikon BJ Kuna, BJ, dan BB. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang historis
65
Kabupaten Banyuwangi yang dahulunya bernama Blambangan. Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa wilayah Blambangan pernah menjadi jajahan kerajaan-kerajaan Bali dan Mataram Islam sehingga diperkirakan pada zaman kekuasaan kerajaan-kerajaan inilah Blambangan bersentuhan dengan bahasa Bali dan bahasa Jawa Kuna. Sementara itu, dari segi karakter, GTBU adalah masyarakat egaliter dan terbuka sehingga mereka sangat mudah menerima pengaruh luar dan kemudian mempelajari dan mengolaborasikannya dengan budaya mereka sehingga terciptalah budaya Using yang baru (hasil wawancara dengan Singodimayan, budayawan Using, pada bulan Oktober 2009). Di samping itu, BU juga merupakan salah satu bahasa kecil nusantara dengan jumlah penutur di bawah satu juta orang (Soepomo, 1976:1--2), sehingga dipandang perlu adanya usaha-usaha revitalisasi yang diperoleh dari temuan-temuan penelitian yang dilakukan terhadapnya. Dengan demikian BU dapat dijaga eksistensinya sebagai salah satu kebudayaan nasional yang harus dilindungi oleh negara sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 36, BAB XV, UUD 1945. Dari 24 kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, ada 13 kecamatan tempat ditemukan kantong-kantong GTBU. Akan tetapi, dalam kajian ini hanya dipilih tiga kecamatan sebagai tempat penelitian karena di kecamatan-kecamatan ini penduduk beretnik Using jauh lebih banyak dibandingkan dengan di 11 kecamatan lainnya. Di antara 13 kecamatan yang terdapat kantong-kantong entnik Using, tiga kecamatan diantaranya dengan desa yang penduduknya paling homogen beretnik Using.
Adapun nama-nama desa yang dijadikan lokasi
pengambilan data penelitian adalah sebagai berikut.
66
1) Desa Kalipuro adalah salah satu desa di Kecamatan Kalipuro dengan ecoregion yang memiliki banyak kebun kelapa dan sedikit lahan persawahan, serta pemukiman etnik Using berbaur dengan etnik Madura. 2) Desa Glagah, Kecamatan Glagah, adalah desa yang merupakan lokasi ibu kota kecamatan dengan ecoregion yang terdiri dari lahan persawahan, kebun kelapa, dan ladang dengan penduduk mayoritas bermatapencaharian petani. 3) Desa Kemiren, Kecamatan Glgah, adalah sebuah desa yang hampir seluruh penduduknya beretnik Using. Secara geografis, desa ini merupakan perbatasan antara dataran tinggi dan dataran rendah sehingga cuaca sejuk, di samping sangat kaya dengan mata air. Desa ini juga merupakan pusat budaya, seperti kesenian dan adat-istiadat Using sehingga dipakai sebagai icon budaya Using. Wilayah desa yang menuju objek wisata Kawah Ijen banyak ditumbuhi berbagai jenis bambu dan kelapa. 4) Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, adalah desa dengan ecoregion persawahan dan kebun kelapa yang luas, juga merupakan pusat Kesenian Tradisional dan Sakral Using, yakni Seblang yang dipentaskan hari ke dua Idul Fitri. Desa ini dihuni oleh 80% etnik Using yang sebagian besar bermatapencaharian petani. 5) Desa Bakungan dan Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah, adalah dua desa yang berbatasan dengan Kecamatan Banyuwangi (Banyuwangi Kota) dengan penduduk 50% bermatapencaharian petani dan 50% non-petani, seperti pedagang, buruh bangunan, pekerja pabrik, dan pegawai
67
negeri/swasta. Lingkungan ragawi desa itu berbeda dengan dua desa yang disebutkan belakangan dengan hampir tidak ada lahan sawah namun masih terdapat kebun kelapa. 6) Desa Taman Suruh, Kecamatan Glagah, adalah desa dengan luas wilayah pertanian, kebun, dan ladang 80% dari luas desa ini yang penduduknya 75% bermatapencaharian petani. Lingkungan ragawi desa ini masih asri karena letaknya 5 km dari Pegunungan Ijen dengan kemiringan 300 dan sumber air yang melimpah. Wilayah desa ini juga banyak ditumbuhi berbagai jenis bambu, pisang, dan mangga. 7) Desa Kampung Anyar, Kecamatan Glagah, adalah desa yang terletak di kaki Gunung Ijen dengan kemiringan 450 dengan ecoregion sebagian besar berupa hutan, semak-semak, dan kebun, seperti kebun papaya, jati belanda, jati mas, sengon, dan sebagainya.
Di desa ini juga banyak
ditemukan berbagai jenis bambu yang tumbuh di daerah perbukitan. 8) Desa Mangir, Kecamatan Rogojampi, adalah desa yang terletak di pinggir jalan raya Banyuwangi-Jember
dengan penduduk mayoritas bermata-
pencaharian petani, buruh tani, buruh bangunan, dan pedagang. Ecoregion desa ini seluruhnya berupa dataran rendah yang sebagian besar berupa lahan sawah. 9) Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, adalah desa yang lingkungan geografis dan topografisnya hampir sama dengan Desa Mangir denga jarak kurang lebih 5 km dari jalan raya Banyuwangi-Jember. Penduduknya mayoritas bertani. Kecintaan dan penghormatan mereka terhadap
68
lingkungan dan anugrah Tuhan direpresentasikan lewat kesenian kebokeboan yang digelar berdasarkan kepercayaan mereka bahwa apabila sawah tempat upacara kebo-keboan diadakan akan menghasilkan hasil panen yang berlimpah. Sawah, petani, kerbau, dan benih padi harus “mendapat” tempat dan penghormatan sesuai dengan peran dan fungsinya agar terjadi harmonisasi antara semuanya yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka (Sutarto, 2010:111).
3.3 Responden (Subjek) Penelitian Dalam penelitian kualitatif istilah populasi dan sampel tidak digunakan. Sugiyono (2007:49) dengan mengutip pendapat Spradley (1980) mengatakan populasi dalam penelitian kualitatif dinamakan situasi sosial (social situation) yang terdiri dari tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activities) yang ketiganya berinteraksi secara sinergis. Pada situasi sosial ini peneliti dapat mengamati secara mendalam aktivitas (activities) orang-orang (actors) yang ada pada tempat (place) tertentu. Di samping itu, tidak digunakannya populasi dalam penelitian kualitatif karena penelitian jenis ini berangkat dari kasus tertentu yang ditemukan pada situasi sosial tertentu (dalam hal ini, khazanah leksikon lingkungan alam dalam dinamika GTBU di Kabupaten Banyuwangi). Untuk mendapatkan data penelitian yang reliable maka dilakukan pemilihan responden untuk menjawab kuesioner dan juga informan sebagai narasumber dalam wawancara. Respoden penelitian yang dipilih berdasarkan usia atau generasi responden dan juga jumlahnya. erdasarkann usianya, responden
69
penelitian dikelompokkan menjadi tiga, yakni usia remaja (15-30 tahun), dewasa (31-50 tahun), dan tua (51 tahun ke atas). Agar keadaan responden representatif untuk semua lokasi penelitian, persentasenya didasarkan pada masing-masing desa. Semakin besar jumlah populasi beretnik Using pada satu desa, semakin banyak responden yang diambil. Rincian jumlah responden untuk tiap kecamatan dan di masing-masing desa tempat pengambilan sampel penelitian adalah sebagai berikut. Tabel 3.1 Rincian Responden Penelitian No 1 2
Nama Kecamatan Kalipuro Glagah
3
Rogojampi
Nama Desa Kalipuro Glagah Kemiren Olehsari Bakungan Banjarsari Taman Suruh Kampung Anyar Mangir Aliyan
Jumlah
Jumlah Resonden/Desa 2 6 10 11 3 3 6 4 8 8 63
Informan kunci penelitian berjumlah 5 orang diambil dari responden penelitian yang berjumlah 63 orang. Pemilihan informan penelitian merujuk pada kriteria yang dikemukakan oleh Mahsun (2005:141-142) dan Keraf (1984: 157) yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Adapun syarat-syarat informan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut. 1) lahir, dibesarkan, dan berdomisili di desa lokasi penelitian; 2) sehat jasmani dan rohani; 3) jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya dalam waktu yang lama;
70
4) memiliki kebanggaan terhadap bahasanya; 5) berpendidikan sekurang-kurangnya SD; 6) berumur sekurang-kurangnya 45 tahun; 7) menguasai dan mengenal bahasa dan budaya Using dengan baik; 8) dapat berbahasa Indonesia; dan 9) bersedia menjadi informan dan sanggup memberikan data yang valid. Berdasarkan persyaratan di atas maka ditemukan lima orang nara sumber yang terdiri atas dua orang sesepuh desa yang sekaligus berprofesi tetua adat dan ahli dalam tanaman obat, 1 orang kepala desa, 1 orang budayawan, dan 1 orang pemerhati lingkungan yang juga seorang fotografer.
3.4 Jenis dan Sumber Data Penelitian Ada dua jenis data dalam penelitian ini, yakni data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif adalah data utama atau yang disebut juga dengan data primer, sedangkan data kualitatif adalah data pendukung atau data sekunder. Data primer diperoleh dari kompetensi leksikon responden yang terkait dengan lingkungan alam BU yang berjumlah 728 buah yang terdiri dari leksikon berkategori nomina sebanyak 633 buah dan leksikon berktegori verba sebanyak 95 buah. Data ini dikumpulkan melalui kuesioner. Sebagai data sekunder, data kualitatif berfungsi untuk menjelaskan data kuantitatif yang dikumpulkan melalui kuesioner. Di samping itu, data kualitatif juga digunakan untuk menjelaskan dinamika tingkat pemahaman dan tingkat penggunaan lelsikon lingkungan alam antargenerasi GTBU yang tercermin
71
melalui leksikon lingkungan alam yang bertahan, leksikon yang mengalami penurunan, leksikon yang hampir punah, serta lkesikon yang mengalami pergeseran. Data ini diperoleh melalui pengamatan dan wawancara terhadap informan kunci dan juga beberapa responden.
3.5 Instrumen Penelitian Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (human insitrument). Sebagai instrument utama, penelitilah yang menentukan fokus penelitian, memilih informan yang tepat, melalukan pengumpulan data, menilai kualitas data, menafsirkan data, dan membuat simpulan atas temuan penelitiannya (Sugiyono, 2010:59). Di samping diri peneliti sendiri (human instrument), penelitian ini juga menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data kuantitatif. Kuesioner ini berisi sebaran leksikon lingkungan alam BU yang terdiri dari leksikon yang berkategori nomina dan berkategori verba. Jawaban responden dalam kuesioner yang merupakan data kuantitatif penelitian ini merepresentasikan tingkat interelasi dan interaksi responden dengan lingkungan alam tempat tinggal mereka yang berorientasi pertanian. Adapun sebaran leksikon lingkungan alam BU dalam kuesioner dikelompokkan sebagai berikut. Leksikon lingkungan alam BU secara garis besar dikelompokan berdasarkan kategori kata, yakni leksikon lingkungan alam berkategori nomina dan leksikon lingkungan alam berkategori verba. Selanjutnya leksikon yang berkategori nomina dipilah menjadi leksikon flora dan leksikon fauna. Leksikon flora BU dipilah-
72
pilah lagi berdasarkan kebermanfaatannya pada kehidupan manusia sehingga terbentuk kelompok leksikon tentang hal-hal sebagi berikut. (1) leksikon tanaman bahan pangan. (2) leksikon tanaman buah-buahan. (3) leksikon tanaman sayur-sayuran. (4) leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat. (5) leksikon tanaman bunga. (6) leksikon tanaman kelapa. (7) leksikon tanaman bambu. (8) leksikon tanaman lain. Selanjutnya, leksikon fauna BU dikelompokan berdasarkan klasifikasi dalam bidang ilmu Biologi sehingga terbentuk kelompok sebagai berikut. (1) leksikon mamalia. (2) leksikon unggas. (3) leksikon burung. (4) leksikon reptil. (5) leksikon serangga. (6) leksikon ikan air tawar. Sementara itu, pengelompokan leksikon verba BU didasarkan pada subjek aktivitas, tempat aktivitas dilakukan dan objek suatu aktivitas sehingga terbentuk kelompok leksikon verba sebagai berikut. (1) aktivitas di lahan pertanian dan kebun (2) aktivitas sosial
73
(3) aktivitas fauna (4) aktivitas alam Jikalau sebaran leksikon di atas diringkas, maka terlihat seperti pada tabel berikut. Tabel 3.2 Sebaran Leksikon Lingkungan Alam BU Tanaman bahan pangan Laksikon berkategori nomina
Flora
Leksikon lingkungan alam bahasa Using
Fauna
Leksikon berkategori verba
Tanaman buah-buahan Tanaman sayur-sayuran Tanaman bumbu dan tanaman obat Tanaman bunga Tanaman kelapa Tanaman bambu Tanaman lain Mamalia Unggas Burung Reptil Serangga Ikan air tawar Aktivitas manusia Aktivitas sosial Aktivitas fauna Aktivitas alam
Pada kuesioner terdapat 728 leksikon lingkungan alam BU yang terdiri dari 633 butir leksikon berkategori nomina dan 95 butir leksikon yang berkategori verba.
Responden harus menjawab/memilih
jwaban yang terkait dengan
pengetahuan mereka tentang leksikon lingkungan alam BU dengan pilihan tahu/ tidak tahu dan penggunaan leksikon lingkungan alam BU tersebut dengan memilih pernah/tidak pernah. Keseluruhan leksikon yang tercantum dalam kuesioner merupakan
hasil studi pustaka, wawancara dengan informan dan
pengamatan lapangan yang dilakukan oleh peneliti yang dibantu oleh informan.
74
Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara sebagai alat untuk mengumpulkan data kualitatif. Wawancara dilakukan terhadap lima orang informan kunci untuk mendapatkan informasi keadaan lingkungan alam, kehidupan petani, dan entitas-entitas yang menjadi acuan leksikon yang ada dalam kuesioner.
3.6 Metode Pengumpulan Data Ada empat metode yang ditempuh untuk mengumpulkan data penelitian agar data penelitian bersifat valid. Metode-metode yang dimaksud meliputi: (1) metode dokumentasi, (2)
metode wawancara, (3) metode pengamatan
berpartisipasi, dan (4) metode kuesioner (angket). Metode dokumentasi diterapkan untuk mendapatkan data dari berbagai sumber tertulis. Sumber tersebut berasal dari kamus, dokumen-dokumen adat, buku bacaan, surat kabar, jurnal, catatan-catatan, dan berbagai sumber tertulis lainnya. Melalui penerapan metode dokumentasi dengan teknik catat ini untuk mengetahui
karakteristik lokasi penelitian dan karakteristik GTBU. Pencatan
dilakukan untuk mengumpulkan data yang muncul di luar data yang dikumpulkan melalaui kuesioner, namun masih ada kaitannya dengan topik atau permasalahan penelitian. Hasil catatan ini dipakai sebagai pedoman dan keterangan tambahan ketika analisis data berlangsung. Metode lain yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian adalah metode wawancara, khususnya wawancara tak terstruktur. Data yang diperoleh melalui penerapan metode ini digunakan untuk mendukung data yang diperoleh
75
melalui kuesioner, metode survei dan pengamatan berpartisipasi. Wawancara dilakukan terhadap lima orang narasumber atau informan kunci yang sudah ditentukan, di samping juga terhadap beberapa responden. Wawancara terhadap wakil responden bertujuan untuk mengkonfirmasikan jawaban mereka dengan jawaban yang diberikan pada kuesioner, di samping untuk memberikan pendapat mereka tentang lingkungan alam tempat tinggal mereka. Proses wawancara dilakukan secara bersemuka dengan teknik tanyajawab untuk mendapatkan data kualitatif tentang kebahasaan, khususnya terkait dengan leksikon lingkungan alam BU setelah adanya perubahan lingkungan alam (lingkungan ragawi) dan sosial tempat tinggal GTBU bermukim. Agar wawancara terjadi secara natural dan data yang diperoleh sesuai dengan yang dibutuhkan, peneliti telah menciptakan hubungan baik dengan para narasumber. Wawancara, khususnya terhadap informan kunci, dilakukakan beberapa kali untuk mendapat data yang betul-betul valid. Sementara itu, metode observasi yang diterapkan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah metode observasi berpartisipasi (participant observation), yang artinya bahwa peneliti melibatkan diri dalam kegiatan sehari-hari orang yang diteliti sambil melakukan pengamatan., peneliti ikut melakukan kegiatan yang dilakukan oleh responden. Penerapan metode observasi teraga (overt observation) dan tak teraga (covert observation) dilakukan oleh peneliti dengan mengatakan secara berterus terang kepada nara sumber bahwa peneliti sedang melakukan penelitian. Akan tetapi dalam suatu kesempatan, peneliti tidak berterus terang atau tersamar tentang jati diri dan tujuannya. Metode ini diterapkan untuk
76
mendapatkan data faktual dan otentik tentang leksikon yang muncul dalam percakapan golongan remaja, golongan dewasa, dan golongan tua yang berupa topik yang terkait dengan eksistensi leksikon yang terdapat dalam kuesioner. Selanjutnya, metode kuesioner adalah metode yang diterapkan untuk medapatkan data utama (data primer), data kuantitatif, penelitian ini. Metode ini diterapkan untuk mendapatkan data tentang kompetensi leksikon responden, dinamika tingkat pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam mereka. Dalam menerapkan metode ini, peneliti dibantu oleh tujuh orang pembantu peneliti untuk memudahkan dan memepercepat proses penyebaran kuesioner
3.7 Metode Analisis Data Setelah data penelitian terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan tabulasi data, yakni dengan cara memeriksa dan mengklasifikasikan data secara rinci berdasarkan klasifikasi dan aspek yang diteliti. Data yang diperoleh melalaui kuesioner yang telah ditabulasi kemudian dihitung frekuwensi dari masing-masing kelompok responden, baik yang menunjukkan tingkat pemahaman maupun yang menunjukkan tingkat penggunaan. Masing-masing frekuensi pemahaman dan penggunaan setiap leksikon kemudian dibagi dengan jumlah responden setiap kelompok responden maka ditemukan persentase tingkat pemahaman dan penggunaan setiap butir leksikon. Perbedaan persentase pemahaman dan penggunaan tiap butir leksikon pada setiap kelompok responden mencerminkan dinamika tingkat pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam
77
antargenerasi GTBU. Hasil analis ini kemudian dicocokkan dengan data hasil pengamatan dan wawancara terhadap responden.
3.8 Penyajian Hasil Analisis Data Kajian khazanah leksikon lingkungan alam dalam dinamika GTBU adalah sebuah penelitian tentang bahasa. Sebagaiamana lazimnya penelitian bahasa yang datanya
berupa data kuantitatif dan data kualitatif, maka penerapan metode
formal dan metode informal sering dilakukan dalam menyajikan hasil analisis data (bdk.Fatimah, 1993:68; Sudaryanto, 1993:145). Penerapan metode formal digunakan untuk menyajikan analisis data dengan menggunakan rumus, bagan, diagram, tabel, atau lambing-lambang tertentu sesuai dengan kebutuhan. Sementara itu, penyajian hasil analisis
data dengan menggunakan metode
informal dilakukan dengan menggunakan kata-kata atau kalimat secara verbal. Penelitian ini adalah penelitian yang menerapkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif secara terpadu, sehingga deskripsi data hasil penelitian juga ditampilkan secara terpadu. Setiap data yang disajikan saling mendukung, artinya penyajian data kuantitatif didukung oleh penyajian data kualitatif, demikian juga sebaliknya. Penyajian data secara formal dalam penelitian ini berbentuk tabel yang sebagian besar pada bagian analisis sehingga sangat mudah mencocokkan antar penyajian data pada tabel dananalisis yang mendukung data dalam tabel-tabel sebelum atau sesudahnya.