BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat yang paling penting dan sangat berperan pada
manusia. Manusia yang nalurinya selalu hidup bersama perlu berkomunikasi dengan sesamanya. Dengan mempergunakan bahasa seseorang dapat berbicara dengan orang lain untuk dapat dipahami dan dimengerti. Bentuk dan keinginan apapun yang dipunyai manusia memerlukan bahasa. Bahasa merupakan alat yang sistematik yang mengkomunikasikan ide atau rasa melalui seperangkat tanda, bunyi, gerak atau isyarat yang konvensional dan mengandung makna (Ridwan dalam Bahasa dan Linguistik 1986:2). Pada dasarnya terdapat tiga jenis bahasa yaitu: bahasa lisan atau ujaran/spoken language, bahasa tulisan/written language, bahasa isyarat/silent language, gestures (Ridwan 1986:2). Untuk ketiga jenis bahasa yang merupakan objek kajian linguistik selalu harus diperhitungkan pula pikiran, kemampuan dan sikap bahasa. Pikiran mengandung maksud, tujuan, dan dasar hakiki dari penggunaan bahasa. Kemampuan dalam mempergunakan ketepatan dan kebenaran bahasa bukan hanya diperlukan untuk perolehan aturanaturan dan kaidah-kaidah bahasa yang benar, tetapi untuk menjadikan penggunaan bahasa menjadi komunikatif. Sikap bahasa dapat mencerminkan latar belakang, nilai dan dasar dari individu, kumpulan maupun kelompok penutur bahasa. Kecenderungan setiap individu berbeda-beda dalam menggunakan bahasa serta
1
Universitas Sumatera Utara
memilih kata sedemikian rupa untuk dapat menyampaikan sesuatu yang berarti. Dalam kenyataannya cara berbahasa seorang individu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaannya. Seluruh permasalahan tentang bahasa, perilaku dan budaya termasuk dalam bidang Antropolinguistik. Ada kalanya secara sengaja maupun tidak dalam berbahasa kita mendapati adanya penstereotipan pada suatu golongan tertentu di masyarakat. Walaupun kita tahu Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan dalam derajat, harkat dan martabat yang sama. Kalaupun memiliki bentuk dan fungsinya yang berbeda, semata-mata agar keduanya saling melengkapi. Namun dalam perjalanan kehidupan manusia, banyak terjadi perubahan peran dan status atas keduanya, terutama dalam
masyarakat. Hal ini berdampak pada terciptanya perlakuan
diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin. Kondisi ini menjadikan orang untuk berfikir kembali tentang pembagian peran yang dianggap telah melekat, baik pada perempuan maupun pada laki-laki yang melahirkan istilah gender. Istilah Gender perlu dibedakan dengan seks. Seks adalah jenis kelamin biologis. Istilah Gender
mengacu pada perbedaan antara karakter laki-laki dan
perempuan pada dimensi sosial budaya. Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan yang merupakan
hasil
kontruksi sosial dan budaya dan dapat berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan jaman (Edward Wilson 1975). Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis.
Universitas Sumatera Utara
Terjadinya penstereotipan gender pada masyarakat Batak Toba terjadi bagi kalangan perempuan Batak. Dalam beberapa aspek kehidupan baik itu dari sosial, budaya bahkan dalam pembagian harta warisan. Masyarakat yang menganut sistem Patrineal yakni mengikuti garis keturunan ayahnya, menggangap perempuan apabila sudah cukup dewasa maka ia akan menikah dan bersatu dengan suaminya. Hal ini dianggap bahwa istri dilindungi oleh suami karena ‘memiliki status’ yang lebih rendah. Oleh karena sistem yang demikian maka dalam hal pembagian harta warisan, anak laki-laki mendapat bagian yang lebih besar dibandingkan anak perempuan. Bisa dikatakan bahwa anak perempuan hanya mendapat sebatas ‘pemberian’ bukan ‘pembagian’ harta warisan yang dinamakan “Pauseang (pemberian kasih sayang)”. Ada sebutan dalam masyarakat Batak : “ai nga muli do i tu anak ni halak” (sudah menikah dengan anak orang). Padahal tanggung jawab yang dibebankan kepada anak laki-laki dan perempuan terhadap meninggalnya orang tua mereka sama bahkan kadang lebih besar dalam istilah “manumppaki” (memberi sumbangan bantuan finansial) dituntut lebih besar oleh boru (anak perempuan). Maka timbullah sebutan : “Anak hangoluan, boru pangondian” . Anak dimaksudkan pada anak laki-laki sedangkan boru dimaksudkan pada anak perempuan. Anak laki-laki lebih diutamakan mengenyam pendidikan dibandingkan dengan anak perempuan
jika orangtua
mereka
kurang
mampu dalam
perekonomian untuk menyekolahkan anak-anaknya. Maka anak perempuan “dikorbankan” demi anak laki-laki tersebut sekalipun si anak perempuan tersebut lebih cerdas dari si anak laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil pengamatan, terjadinya penstereotipan gender pada masyarakat Batak Toba terjadi bagi kalangan perempuan Batak, seperti kutipan berikut: Masihurha manukna, unang teal buriranna Masiajar boruna, unang suda napuranna
Masing-masing panggil ayamnya Jangan menonjol temboloknya Masing-masing ajar puterinya Jangan habis sirihnya
Perumpamaan yang digambarkan pada kalimat diatas menunjukkan perempuan dilarang bahkan pantang untuk berbicara “vokal (berani, terangterangan)” ditengah keluarga maupun di forum adat/upacara adat Batak. Hal ini jelas membatasi kreatifitas dan kebebasan perempuan dalam berekspresi. Tampak jelas bahwa terjadi penstereotipan bagi kalangan perempuan, perempuan cenderung terdiskriminasi pada perumpamaan diatas. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah antropolinguistik yang memandang bahasa sebagai prisma konsep antropologi maupun budaya yang tujuan utamanya menemukan makna penggunaan bahasa dengan menggunakan prinsip-prinsip sistem patrineal dalam ajaran Dalihan Na Tolu. Antropolinguistik berdampingan dengan sosiolinguistik yang menekankan pada pola perilaku linguistik. Kajian ini difokuskan pada perumpamaan Batak Toba yang mengandung stereotip gender melalui pendekatan antropolinguistik yang berdampingan dengan sosiolinguistik dengan menggunakan prinsip-prinsip sistem patrineal dalam ajaran Dalihan Na tolu. Penulis juga mencari nilai dari tradisi lisan yang ada atau tradisi budaya, menguraikan nilai budaya yang terkandung didalamnya. Perumpamaan Batak merupakan salah satu sastra rakyat yang bercorak lisan disampaikan dalam bentuk ucapan, dituturkan dari mulut ke mulut, bersifat
Universitas Sumatera Utara
tradisional. Dalam perumpamaan Batak ditemukan citra (image) yang cenderung kepada gambaran secara literal atau konkret tentang suatu peristiwa yang dialami seseorang, baik nilai rasa maupun nilai pengamatan (objeknya) (A.A. Sitompul 1998 hl.XIX). Perumpamaan Batak Toba digunakan dalam semua aspek kehidupan masyarakat dan disepanjang zaman, khasnya yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan seni dan tarian, dalam ucapan-ucapan untuk upacara dan
istiadat perkawinan, dalam
istiadat, dalam jampi dan mantera dan
sebagainya. Dengan kata lain, perumpamaan Batak merupakan gaya bahasa yang muncul dari pengamatan dan ditradisikan di sepanjang sejarah baik secara kolektif maupun personal, ia dikomunikasikan secara artistik dengan memakai analogi baik berupa ungkapan, ikon, cerita, tanda simbolik, atau bentuk lain pada tempat kedudukan yang jelas (A.A. Sitompul 1998). Dalam kaitan itu perumpamaan Batak menjadi suatu model paradigma yang dipakai dalam komunikasi yang aplikatif, sebab gagasan ungkapan itu mencerminkan corak pemikiran yang dibungkus dalam bahasa estetik dan puitis menyangkut sikap terhadap budaya dalam sejarah, kenangan dan tradisi. Perumpamaan Batak dapat berupa umpama, umpasa, bidalan, bilangan, kiasan, perumpamaan dalam ende-ende, torsa-torsa, andung/ andung-andung, huling-hulingan, tontonan/ sitontonan, tonggo-tonggo, dan sebagainya. Hymes (1967:689) menemukan konsep konteks situasi dalam bidang etnografi komunikasi dalam penggunaan bahasa yang berkaitan dengan budaya. Konteks situasi tersebut mencakup bentuk dan isi pesan, perangkat dan lingkungan khas seperti waktu dan tempat, pelibat, maksud dan dampak
Universitas Sumatera Utara
komunikasi, kunci atau petunjuk, perantara, genre dan norma interaksi. Melalui etnolinguistik kita dapat menelusuri bagaimana bentuk linguistik dipengaruhi oleh aspek budaya, sosial, mental, dan psikologis serta bagaimana hubungan keduanya. Dari pengaruh pemikiran Boas (Hymes, 1962:3) gagasannya sangat berpengaruh pada Sapir dan Whorf sehingga melahirkan konsep relativitas bahasa. Menurut tokoh ini bahasa tidak dapat dipisahkan dari fakta sosial budaya masyarakat penggunanya. Berbahasa tanpa memanfaatkan konotasi adalah berbahasa tanpa garam, kecuali berbahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahasa yang hidup dan berkembang adalah bahasa yang memiliki makna denotasi, tetapi harus berurusan pula dengan makna konotasi. Konotasi juga dapat merangsang dan menggugah stereotip yang hidup dan beredar di otak seseorang. Stereotip yang berhubungan dengan bangsa, suku, agama, tokoh politik, tokoh mafia, jendral dan profesional, atau induk semang, petani, seorang gadis desa, kehidupan di desa, dsb. Konotasi dapat muncul secara kemasyarakatan atau massal baik yang bersifat positif maupun negatif. Seseorang yang berfikir nalar akan bertanya-tanya mengapa muncul konotasi seperti ini mendengar kata kaum hippies, kaum gay, atau birokrasi, birokrat, orang mempunyai konotasi negatif. Bagi kelompok tertentu nama Israel memberi konotasi yang bersifat stereotip tidak baik dan harus ditentang. Konotasi yang bersifat stereotip kesukuan dan keagamaan harus dipergunakan dengan hati-hati sebab hal-hal yang bersifat stereotip pada umumnya menyinggung perasaan walaupun dipakai untuk kelakar atau melawak. Dalam perjalanan kehidupan manusia, banyak terjadi perubahan peran dan status
Universitas Sumatera Utara
atas keduanya, terutama dalam masyarakat. Hal ini berdampak pada terciptanya perlakuan diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin. Penelitian ini dilakukan karena penulis melihat terjadinya penstereotipan gender di masyarakat Batak.
1.2
Rumusan Masalah Masalah utama penelitian ini adalah bagaimana stereotip gender dalam
bentuk perumpamaan Bahasa Batak Toba. Masalah utama itu dipecah menjadi submasalah sebagai berikut: 1. Bagaimana
bentuk-bentuk
perumpamaan
Batak
Toba
yang
mengindikasikan adanya stereotip gender yang dikaitkan pada sosial budaya
masyarakat
Batak
dengan
menggunakan
pendekatan
antropolinguistik? 2. Bagaimana makna yang terkandung dalam perumpamaan Batak berdasarkan stereotip gender ditinjau dari pendekatan antropolinguistik dengan menggunakan prinsip-prinsip Patrineal dalam ajaran Dalihan Na Tolu? 3. Bagaimana nilai dan kearifan lokal dalam perumpamaan Batak yang mengandung stereotip gender?
1.3
Tujuan Penelitian
Universitas Sumatera Utara
1. Menemukan
bentuk – bentuk
mengindikasikan
perumpamaan Batak Toba yang
adanya stereotip gender dengan menggunakan
pendekatan antropolinguistik. 2. Menemukan makna yang terkandung pada perumpamaan Batak Toba yang mengandung stereotip gender dalam pendekatan antropolinguistik dengan menggunakan prinsip-prinsip Patrineal dalam ajaran Dalihan Na Tolu. 3. Menemukan nilai dan kearifan lokal dalam perumpamaan Batak Toba yang mengandung stereotip gender.
1.4. Landasan Teori Dalam penelitian ini dibutuhkan teori-teori yang dapat dijadikan acuan atau pedoman untuk mendukung penelitian stereotip gender pada perumpamaan Masyarakat Batak Toba. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori gender dalam pendekatan Antropolinguistik dengan tiga bagian penting dalam antropolinguistik modern yakni dengan nosi analisa (1) performance, (2) indexcality, dan (3) participation (Duranti 2001: 14) yang mana memasukkan bahasa dalam budaya dengan menggunakan prinsip-prinsip Patrineal dalam ajaran Dalihan Na tolu. Peneliti juga menggunakan teori oleh Wilson yang berasal dari Harvard University (1975) yakni Teori Nurture dalam pendekatan antropolinguistik. Menurut teori Nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran
Universitas Sumatera Utara
dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh orang-orang yang konsen memperjuangkan kesetaraan perempuan dan lakilaki (kaum feminis) yang cenderung mengejar ‘kesamaan/kesempurnaan’ yang kemudian dikenal dengan istilah kesempurnaan kuantitas (perfect equality). Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan, baik dari nilai agama maupun budaya. Oleh karena itu, aliran Nurture melahirkan paham sosial konflik yang memperjuangkan kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut,
dibuat sebuah program khusus (affirmatif
action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan yang kadangkala berakibat timbulnya reaksi negatif dari kaum laki-laki karena apriori terhadap perjuangan tersebut. Menurut Foley “ Antropological linguistics is that sub-field of linguistics which is concern with the place of language in its wider social and cultural context, its role in forging and sustaining cultural practices and social structures. As such, it may be seen to overlap with another sub-field with a similar domain, sociolinguistics, and in practice this may indeed be so. (Foley, 2003:3)” Dalam kehidupan sehari-hari dapat dicatat berbagai prinsip sistem patrineal suku Batak, antara lain: 1. Asas perkawinan monogami dan eksogami. 2. Asas kekeluargaan patrineal (family atmosphere) Dalihan Na Tolu, artinya garis keturunan ditarik dari garis kebapakan. 3. Sistem pewarisan bersifat patriarkhat sehingga yang berhak waris hanya anak lelaki.
Universitas Sumatera Utara
4. Kekuasaan orang tua berlaku bagi anak laki-laki dan anak perempuan sebelum
anak-anaknya
menikah.
Kedewasaan
seorang
anak
ditentukan status kawin tidaknya anak tersebut. 5. Sikap hidup menurut ajaran adat Dalihan Na Tolu adalah komunalistik (family atmosphere), marsiamin-aminan songon lampak ni gaol, marsitungkol-tungkolan songon suhat di robean. (Sinaga, Panggabean, 2004:64)
Dalam Siahaan, Harahap (1987) terdapat sembilan nilai-nilai budaya orang Batak, nilai-nilai tersebut diuraikan sebagai berikut: 1) Kekerabatan mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan, unsur-unsur Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Sabutuha, Boru) dan segala yang berdekatan dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan, solidaritas, dan marga. 2) Religi mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya. 3) Hagabeon, banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniai putra 17 dan putri 16. Sumber Daya Manusia bagi
Universitas Sumatera Utara
orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dengan jumlah manusia yang sangat banyak. Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut saur matua bulung (seperti daun yang gugur setelah tua) pada orang Batak Toba dan sayur matua bulung lapus marsege-sege abuan (seperti daun yang gugur setelah tua, sampai kembali berperilaku seperti anak-anak, menampi-nampi abu). Dapat dibayangkan betapa pesat pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, yang semuanya diharapkan berusia sangat lanjut. 4) Hasangapon, kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat, lebih-lebih pada orang Toba, pada zaman modern ini untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan. 5) Hamoraon, kaya raya, salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak, khususnya orang Batak Toba, untuk mencari harta benda yang banyak. 6) Hamajuon, kemajuan yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya hamajuon ini sangat mendorong orang Batak untuk bermigrasi ke seluruh pelosok tanah air. Pada abad yang lalu pulau Sumatera Timur dipandang sebagai daerah rantau. Tetapi sejalan dengan dinamika orang Batak, tujuan migrasinya telah semakin luas ke
Universitas Sumatera Utara
seluruh pelosok tanah air untuk memelihara atau bahkan meningkatkan daya saingnya. 7) Hukum, patik dohot uhum, aturan dan hokum. Nilai patik dohot uhum merupakan nilai yang kuat disosialisasikan oleh orang Batak. Budaya menegakkan
kebenaran,
berkecimpung
dalam
dunia
hukum,
merupakan dunia orang Batak. Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi pelanggaran hak asasi dalam perjalanan hidup orang Batak sejak zaman purba. Sehingga mereka mahir dalam berbicara dan berjuang mempertahankan hak- hak asasi. Hal ini tampil dalam permukaan kehidupan hukum di Indonesia yang mencatat nama orang Batak dalam daftar pendekar-pendekar hukum, baik sebagai jaksa, pembela maupun hakim. 8) Pengayoman dalam kehidupan sosio-kultural orang Batak kurang kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang disebutkan terdahulu. Hal ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran pengayom, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak. 9) Konflik dalam kehidupan orang Toba tinggi kadarnya karena menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, antara lain hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi orang Toba. Tiga dari Sembilan nilai utama itu dipandang sebagai misi budaya orang Batak, yaitu: Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon yang juga disebut misi
Universitas Sumatera Utara
budaya 3H dengan memahami misi budaya 3H ini, pendekatan pada perilaku orang Batak akan lebih mudah, sehingga prasangka-prasangka negatif terhadap orang Batak dapat dihindari. Mungkin orang luar suku bangsa Batak memandang perilaku orang Batak dalam hal-hal tertentu sebagai melanggar tatakrama, tetapi apabila orang luar itu memahami misi budaya 3H itu ukuran pelanggaran itu mungkin menjadi lain. Istilah yang digunakan para ahli untuk membicarakan hubungan bahasa dengan kebudayaan adalah anthropological linguistics “linguistik antropologi” (McManis, et al., 1988:29) atau linguistic anthropology “antropologi linguistik”. Sesuai namanya, istilah pertama lebih difokuskan pada kajian linguistik, sedangkan istilah kedua lebih ditekankan pada kajian antropologi. Istilah antropolinguistik lebih padu dan lebih ringkas karena sudah menjadi satu kata. (Sibarani 2004:50). Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi dan penggunaan
bahasa dalam
hubungannya dengan perkembangan
waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku bangsa. Antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan di dalam suatu masyarakat seperti peranan bahasa di dalam mempelajari bagaimana hubungan keluarga diekspresikan dalam terminologi budaya, bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya tertentu, dan bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara tepat sesuai dengan konteks budayanya,
Universitas Sumatera Utara
dan bagaimana bahasa masyarakat dahulu sesuai dengan perkembangan budayanya. (Sibarani 2004: 50). Foley’s (1997:3) mendefenisikan linguistik antropologi sebagai sub disiplin linguistik yang berkaitan dengan tempat bahasa dalam konteks budaya maupun sosial yang memiliki peran menyokong dan menempa praktek-praktek kultural dan struktur sosial. Antropolinguistik memandang bahasa sebagai prisma atau inti dari konsep antropologi budaya untuk mencari makna dibalik penggunaan, ketimpangan penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam bentuk register dan gaya yang berbeda. Dengan kata lain, Antropolinguistik memuat interpretasi bahasa untuk menemukan pemahaman kultural. “Antropological linguistics views language through the prism of the core anthropological concept, culture, and such, seeks to uncover the meaning behind the use, misuse, or non-use of language, its different forms, registers and style. It is an interpretive discipline peeling away at language to find cultural understandings”. (Foley 1997:3) Sejalan dengan itu teori yang diperkenalkan oleh Jakobson yakni mengambil fungsi bahasa secara puitik (poetic function) yang berorientasi pada pesan atau amanat yang disampaikan dalam komunikasi yakni yang terdapat dalam perumpamaan.
1.5. Manfaat Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu: 1.
Memperkaya khasanah kajian bahasa dan gender yang terdapat dalam perumpamaan Batak Toba baik makna, bentuk dan kearifan lokalnya.
2.
Hasil kajian ini bermanfaat sebagai masukan dalam kajian stereotip gender dalam bahasa, khususnya dalam bahasa Batak Toba, sehingga penelitian ini sekaligus juga sebagai
masukan untuk memprediksi
sejauh mana kedudukan perempuan di tengah keluarga pada masyarakat Batak Toba. 3.
Menjadi sumber acuan bagi para linguis dan para peneliti terhadap penelitian-penelitian bahasa dan gender selanjutnya dalam kajian Antropolinguistik guna pemanfaatan bahasa dan pengembangan budaya daerah sebagai salah satu sumber kajian baik untuk kepentingan keilmuan maupun pelestariannya.
Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu: 1. Dari segi bahasa dan budaya Batak Toba sebagai salah satu kekayaan linguistik Indonesia khususnya dan kebudayaan Indonesia umumnya, penelitian ini merupakan salah satu dokumentasi bahasa dan budaya Batak Toba yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut bagi pembangunan kekayaan kebudayaan. 1.6. Defenisi Istilah
Universitas Sumatera Utara
1. Stereotip adalah konsepsi mengenai sikap suatu golongan berdasar prasangka yang subjektif dan tidak tepat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1988) 2. Gender adalah adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil kontruksi sosial dan dapat berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan jaman. (Edward Wilson: 1975) 3. Bahasa menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008) adalah Bentuk Linguistik (1) sistem lambang bunyi yang berartikulasi yang bersifat sewenang-wenang
dan
konvensional
yang
dipakai
sebagai
alat
komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; (2) perkataanperkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa), negara, daerah, dsb); (3) percakapan (perkataan) yang baik; sopan santun dan tingkah laku yang baik. (Kamus Bahasa Indonesia 2008). 4. Makna Linguistik (1) arti (2) maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. (Kamus Bahasa Indonesia: 2008) 5. Perumpamaan Batak adalah sebagai sastra lisan. Perumpamaan Batak merupakan salah satu sastra rakyat yang bercorak lisan disampaikan dalam bentuk ucapan, dituturkan dari mulut ke mulut, bersifat tradisional. Dalam perumpamaan ditemukan citra (image) yang cenderung kepada gambaran secara literal atau konkret tentang suatu peristiwa yang dialami seseorang, baik nilai rasa maupun
nilai pengamatan (objeknya).
Universitas Sumatera Utara
Perumpamaan Batak terdiri dari susunan kata yang indah, ringkas serta mempunyai maksud yang tersirat. Perumpamaan Batak merupakan gaya bahasa yang muncul dari pengamatan dan ditradisikan di sepanjang sejarah baik secara kolektif maupun personal. Ia dikomunikasikan secara artistik dengan memakai analogi baik berupa ungkapan, ikon, cerita, tanda simbolik, atau bentuk lain pada tempat kedudukan yang jelas. perumpamaan
Batak merupakan gaya bahasa yang muncul dari
pengamatan dan ditradisikan di sepanjang sejarah baik secara kolektif maupun personal, dikomunikasikan secara artistik dengan
memakai
analogi baik berupa ungkapan, ikon, cerita, tanda simbolik, atau bentuk lain pada tempat kedudukan yang jelas (A.A. Sitompul 1998). 6. Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku bangsa. Antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan di dalam suatu masyarakat seperti peranan bahasa di dalam mempelajari bagaimana hubungan keluarga diekspresikan dalam terminologi
budaya, bagaimana cara
seseorang berkomunikasi dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya tertentu, dan bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara tepat sesuai dengan konteks budayanya, dan bagaimana
Universitas Sumatera Utara
bahasa masyarakat dahulu sesuai dengan perkembangan budayanya. (Sibarani 2004: 50). Sementara menurut Foley menyatakan bahwa, “ Antropological linguistics is that sub-field of linguistics which is concern with the place of language in its wider social and cultural context, its role in forging and sustaining cultural practices and social structures. As such, it may be seen to overlap with another sub-field with a similar domain, sociolinguistics, and in practice this may indeed be so. (Foley, 1997:3)”
Foley’s (1997:3) mendefenisikan linguistik antropologi sebagai sub disiplin linguistik yang berkaitan dengan tempat bahasa dalam konteks budaya maupun sosial yang memiliki peran menyokong dan menempa praktek-praktek kultural dan struktur sosial.
Antropolinguistik memandang bahasa sebagai prisma atau inti dari konsep antropologi budaya untuk mencari makna dibalik penggunaan, ketimpangan penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam bentuk register dan gaya yang berbeda. Dengan kata lain, Antropolinguistik memuat interpretasi bahasa untuk menemukan pemahaman kultural.
“Antropological linguistics views language through the prism of the core anthropological concept, culture, and such, seeks to uncover the meaning behind the use, misuse, or non-use of language, its different forms, registers and style. It is an interpretive discipline peeling away at language to find cultural understandings”.( Foley 1997: 3)
Universitas Sumatera Utara