BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bagaimanakah umat Kristen berperan dalam politik di era reformasi? Pertanyaan ini masih merupakan perdebatan hingga saat ini di kalangan umat Kristen di Indonesia. Hal itu terlihat dari banyaknya pendapat dan persepsi yang berbeda-beda untuk menjawab pertanyaan ini. Selain itu, opsi politik yang dipilih oleh umat Kristen di Indonesia dalam mengisi reformasi juga cukup beragam. Sebagian umat Kristen di Indonesia memilih untuk berpartisipasi dalam politik melalui politik praktis dengan hadirnya ‘Partai-partai Politik Berbasis Kristen’. Apakah yang melatar belakangi berdirinya partai ini, bagaimana mereka menghubungkan
iman
dan
politik
dan
persoalan-persoalan
apakah
mungkin
ditimbulkannya? Hal inilah yang menjadi perhatian penulis dalam memilih topik ini untuk melakukan tinjauan kritis terhadap opsi peran politik umat Kristen melalui politik praktis.
A. Wacana Pemikiran Tentang Peran Umat Kristen Dalam Politik Di Era Reformasi
Setelah bergulirnya reformasi di Indonesia ada suatu pertanyaan mendasar bagi umat Kristen di Indonesia, yaitu: bagaimana orang Kristen mengambil sikap dan apa yang dapat dilakukan dalam mengisi reformasi. Atau dengan pertanyaan praktis opsi apakah yang dapat dilakukan oleh umat Kristen di era reformasi? Pertanyaan ini muncul berkaitan dengan adanya perubahan mendasar di Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru. Di era reformasi masyarakat menuntut adanya perubahan dalam berbagai bidang kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Khusus di bidang politik, era reformasi memberikan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam politik sebagai upaya untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia. Berbagai kelompok sosial masyarakat beramai-ramai mendirikan partai politik. Pada tahun 1999 misalnya 181 partai politik menyatakan diri siap menjadi peserta pemilu dan mendaftarkan diri ke KPU. 1
Di kalangan Kristen Protestan dan Katolik telah muncul berbagai wacana tentang bentuk dan format peran umat Kristen di bidang politik. Pencarian format itu dilakukan dengan berbagai diskusi, sarasehan dan seminar yang diprakarsai oleh gereja, lembaga oikumene maupun orang-orang Kristen itu sendiri tanpa terikat dengan gereja atau lembaga-lembaga gerejani. Salah satu peran yang mendapat diskusi yang paling hangat adalah keterlibatan orang-orang Kristen dalam partai politik. Di kalangan Katolik misalnya perbincangan tentang peran politik di era reformasi diprakarsai oleh Forum Katolik Indonesia (FKI).
1
Litbang Kompas, Partai-Parta Politik Indonesia; Idiologi dan Program 2004-2009, (Jakarta: Kompas, 2004), hl. vii.
2
Menurut FKI setidaknya ada lima kemungkinan opsi yang dapat dilakukan oleh orang Katolik dalam menentukan pilihan politik, yaitu: 1) mendirikan Partai Katolik, 2) mendirikan partai minoritas, 3) mendirikan partai berdasarkan program tertentu, 4) masuk dalam salah satu partai politik yang ada, 5) variasi dari keempat alternatif di atas. Namun mereka menekankan bahwa pilihan-pilihan peran politik tidak boleh dilatar belakangi oleh rasa takut, melainkan pilihan terbaik dari sekian banyak kemungkinan yang produktif. 2 Untuk melihat berbagai kemungkinan dan mengkritisi peran politiknya umat Katolik membentuk suatu Forum yakni FMKI (Forum Musyawarah Katolik Indonesia) pada tanggal 15 Agustus 1998. Forum ini sekaligus bertujuan untuk memberikan pembinaan warga Katolik yang memiliki komitmen dalam perjuangan politik nasional. Forum ini bukan sebagai institusi politik praktis umat Katolik, tetapi sebagai wadah pembinaan warga Katolik yang terlibat dalam politik praktis sesuai pilihan politis masing-masing warga.
Di kalangan Protestan, kita sangat sulit merangkumkannya karena ciri Protestan adalah pluralitas, jadi amat sulit kita untuk mengemukakan pandangan Protestan untuk mewakili pendapat umum kalangan Protestan itu sendiri. 3 Dalam seminar yang diprakarsai oleh Yakoma PGI awal tahun 1999 yang menghadirkan pembicara Eka Darmaputera, A. A. Yewangoe dan pembicara lainnya dari kalangan Protestan tidak mengangkat opsi-opsi kongkrit yang dapat dilakukan oleh umat Kristen (Protestan) di era reformasi. Pertemuan itu, pada umumnya berbicara tentang isu-isu politik di era reformasi dan berbagai kritik
2
Sularto (ed), Visi Sosial Politik: Tantangan dan Kemungkinan, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hl. 32. Band. Eka Darmaputera, “Bukan Keterpisahan, Tapi Kemitraan: Beberapa catatan sekitar hubungan Agama dan Negara: Refleksi seorang Kristen Protestan”, dalam Eddy Kristiyanto (ed), Etika Politik Dalam Konteks Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hl. 117
3
3
terhadap peran politik umat Kristen di masa pemerintahan Orde Baru. Sebenarnya umat Kristen di Indonesia telah memiliki rumusan teologis yang cukup bagus dalam melihat peran politik di Indonesia, namun pada masa pemerintahan Orde Baru nampaknya mengalami pergeseran yang akhirnya tidak kritis terhadap pemerintah dan cenderung memihak pada status quo. Hal ini dikemukakan oleh Eka Darmaputera, untuk itu pentingnya umat Kristen mempertahankan peran politik di era reformasi dalam rumusan: positif, kritis, kreatif dan realistis. 4 Hal ini amat penting karena menurut Eka Darmaputera ada pergeseran peran politik umat Kristen di era pemerintahan Orde Baru, menggeser sikap kritis di belakang sikap kreatif, pada akhirnya umat Kristen cenderung menghitung orangorang Kristen yang duduk di jabatan politis dan terhisap dalam struktur kekuasaan. Akibatnya adalah lemahnya sikap kritis gereja terhadap pemerintah yang berkuasa. Menurut Eka Darmaputera prinsip partisipasi umat Kristen dalam mengisi reformasi harus tetap dalam kerangka pembaharuan, kebangsaan dan kerakyatan atau demokrasi, persatuan
4
Rumusan peran politik ini dikembangkan oleh T. B. Simatupang sewaktu menjabat ketua PGI, peran ini menjadi warna peran politik Kristen di Indonesia. T.B. Simatupang merumuskannya sebagai berikut:
“hubungan antara iman Kristen dan partisipasi Kristen dalam usaha-usaha untuk meningkatkan kondisi manusia harus dirumuskan secara jelas. Bagaimana kita merumuskan hubungan antara iman kita sebagai orang Kristen di satu pihak dan pemikiran serta tindakan kita sebagai orangorang yang revolusioner dengan pengharapannya akan kebebasan dari berbagai macam penindasan dan penghisapan, dari kelaparan, penyakit dan pengharapannya akan pembaharuan diberbagai bidang kehidupan masyarakat dan bahkan pembaharuan manusia itu sendiri. Dia merumuskan peran orang Kristen dalam revolusi: revolusi yang harus melahirkan masyarakat baru, suatu dunia baru, sebagai hasil kreativitas manusia, hasil kreativitas manusia diakui tidak sama dengan Injil Kerajaan Allah. Ini tidak berarti bahwa revolusi itu berada di luar rencana Allah, atau bahwa tujuan-tujuan revolusi harus dilihat tidak berbarti dalam terang Injil. Allah bekerja dan manusia bekerja, dan ideal-ideal serta hasil-hasil pekerjaan manusia itu harus dalam terang rencana Allah. Di dalam terang Injil Kerajaan Allah, orang orang Kristen harus terlibat dalam revolusi bersamasama dengan orang-orang beragama lain dari agama-agama dan kepercayaan lain. Terlibat secara positip dan kreatif disatu pihak, yaitu menunjang dan dimana mungkin memelopori perjuangan untuk keadilan dan kehidupan manusia yang lebih sempurna, sedangkan dipihak lain bersifat secara kritis dan realistis menentang semua kecenderungan yang bersifat demonis dan utopis dalam revolusi itu.” Lih. T. B. Simatupang, Iman Kristen Dan Pancasila, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989) hl. 44-45, (garis miring dari penulis)
4
dan keadilan. 5 Demikian halnya A. A. Yewangoe tidak mengangkat bentuk kongkrit peran yang dapat dilakukan oleh umat Kristen di era reformasi. Dia hanya menekankan pentingnya gereja memperbaharui diri dari pengalaman peran politik pada masa Orde Baru. Peran politik di era reformasi hendaknya berorientasi pada solidaritas terhadap orang-orang yang menderita dan turut aktif dalam upaya reformasi. Bagi Yewangoe peran politik umat Kristen bukanlah dipahami sebagai upaya untuk memperjuangkan kepentingan kelompok sendiri tetapi demi kepentingan seluruh bangsa. 6
Untuk merujuk peran politik umat Kristen (Protestan) di era reformasi Th. Sumartana mengemukakan bahwa peran politik umat Kristen harus terbuka dan menghargai pluralitas masyarakat Indonesia. Peran politik umat Kristen tidak boleh merupakan hidden agenda bagi kelompok lain yang dapat menimbulkan kecurigaan dan saling tidak mempercayai. Menurut Th. Sumartana setidaknya ada empat model yang dapat dilakukan oleh umat Kristen di Indonesia dalam politik. Keempat model ini harus tetap dikritisi dan didialogkan secara terbuka, yaitu: 1) keterlibatan praktis melalui partai politik Kristen, bagi Sumartana model ini bersifat eksklusif, 2) menawarkan wacana yang bercorak “sekuler”, 3) jalan ketiga didasarkan pada Pancasila dan 4) wacana yang benar-benar terbuka bagi semua hal yang hidup dalam masyarakat majemuk. 7
Masih dalam upaya mencari peran umat Kristen dalam politik di era reformasi Emmanuel Gerrit Singgih turut pula memberikan kontribusi penting. Dia mengemukakan bahwa 5
Eka Darmaputera, “Mengevaluasi Kehadiran Gereja di Indonesia di Tengah-tengah Tuntutan Reformasi”, dalam Viktor Silaen (ed), Gereja dan Reformasi, (Jakarta:Yakoma PGI, 1999), hl. 15 6 Ibid, hl. 169 7 Th. Sumartana, “Panggilan Gereja Dalam Reformasi Politik Di Indonesia” dalam Ferdind Suleeman, dkk (ed), Bergumul Dalam Pengharapan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hl. 205-207
5
setidaknya tiga hal yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh Gereja-gereja dalam mengisi reformasi yang sedang berjalan adalah 1) menghayati dan menghidupkan kembali suara nabiah sebagai bagian dari kehidupan orang beriman di dalam masyarakat. Artinya sebagai orang Kristen kita harus belajar membangun kepekaan terhadap penderitaan rakyat, dan bukan hanya sensitif terhadap penderitaan warga gereja saja. 2) Menjaga jarak terhadap pemerintah dan negara. Orang Kristen di Indonesia harus menyadari bahwa kita hidup di dalam pemerintahan dan negara tertentu. Ia ikut di dalam struktur masyarakat dalam arti dia harus memperhatikan aturan main di tempat. Meskipun demikian ia tidak dapat terlalu mengandalkan pemerintah atau negara. Pemberhalaan terhadap pemerintah dan negara harus diakhiri. Secara iman kita harus berani mengakui bahwa hidup kita tidak ditentukan oleh negara atau pemerintah tetapi oleh Tuhan, Raja Gereja. 3) berkaitan dengan maraknya sentimen agama suku dan ras di Indonesia pada masa reformasi, maka perlu membangun kembali sebuah gambaran teologis mengenai “other” yang dapat dipertanggungjawabkan secara biblis atau dengan istilah lain bagaimana kita membangun ‘teologi pertetanggaan’ dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Pemahaman kembali makna pertetanggaan ini bertujuan untuk menjalin hubungan yang harmonis di Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk, tanpa harus saling curiga dan merasa takut antara kelompok agama yang satu terhadap kelopok agama lain. 8
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas ditekankan bahwa umat Kristen harus turut berpartisipasi secara aktif mengisi dan memberikan arah pada reformasi yang sedang berjalan. Dalam mengisi reformasi tersebut peran politik umat Kristen mendorong adanya
8
Emmanuel Gerrit Singgih, Iman dan Politik Dalam Era Reformasi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hl. 20-25.
6
kesadaran baru agar tetap kritis terhadap pemerintah. Perjuangan politik hendaknya dilakukan bukan untuk perjuangan kepentingan orang Kristen semata tetapi lebih merupakan sumbangsi umat Kristen dalam membangun bangsa yang mengalami berbagai krisis dan menyadari konteks masyarakat Indonesia yang plural.
Pemikiran-pemikiran sebagaimana dikemukakan di atas tentu tidak terfokus pada satu opsi saja tetapi merupakan pemikiran yang terbuka untuk ditafsirkan tergantung bagaimana umat Kristen melakukannya. Pada dasarnya wacana pemikiran peran politik umat Kristen di Indoensia bertujuan agar kehadiran umat Kristen di Indonesia menjadi suatu kesaksian bagi bangsa Indonesia.
B. Munculnya Sejumlah Partai Politik Berbasis Kristen
Salah satu opsi yang telah dilakukan oleh sebagian umat Kristen di era reformasi adalah terlibat dalam politik praktis dengan mendirikan partai politik berbasis Kristen. Hal ini merupakan suatu fenomena baru dalam melihat peran Kristen dalam politik di Indonesia pasca Orde Baru. Sebagaimana kita tahu sejak tahun 1973 kita tidak lagi mengenal partai politik berbasis Kristen. 9 Partai-partai politik ini sengaja didirikan oleh orang-orang Kristen untuk berperan aktif di bidang politik dengan membawa ‘bendera’ kekristenan. Partai-partai ini menjadikan kekristenan sebagai basis keterlibatannya dalam politik, bahkan diklaim didorong oleh iman. Tidaklah begitu sulit untuk mengidentifikasi partai politik berbasis Kristen karena selain nama Kristen, mereka memakai istilah-istilah yang 9
Pemerintah Orde Baru melakukan restrukturisasi sistim kepartaian di Indonesia, partai-partai yang ada dipaksakan bergabung pada tiga partai politik yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu : PPP, Golkar dan PDI. Pada waktu itu Partai Politik Berbasis Kristen, yakni: Parkindo dan Partai Katolik fusi ke PDI.
7
akrab dalam wacana orang Kristen seperti: Damai, Kasih, Sejahtera yang dihubungkan dengan politik dan kebangsaan serta memakai simbol-simbol yang dapat ditangkap secara mudah oleh umat Kristen dalam logo partai.
Pada pemilu tahun 1999 tercatat dua partai politik berbasis Kristen peserta pemilu, yaitu: Partai Kristen Nasional Indonesia (Krisna), Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) dan satu partai Katolik yakni Partai Katolik Demokrat (PKD). Partai Krisna (369.719 suara) dan Katolik Demokrat (216.675 suara) tidak berhasil memperoleh suara yang cukup untuk menempatkan perwakilan mereka di legislatif, sementara PDKB memperoleh 550.851 suara dan berhasil menempatkan wakilnya lima kursi di legislatif dan membentuk fraksi tersendiri di DPR periode 1999-2004. Ketiga partai politik berbasis Kristen peserta pemilu 1999 tidak berhasil memenuhi electoral tresshold (3%) dari total hasil pemungutan suara, sehingga kepesertaan mereka untuk pemilu berikutnya secara otomatis gugur sebagaimana ketentuan Undang-undang Pemilu. Namun, tetap ada upaya dari partai-partai ini untuk tetap berperan dalam politik praktis dengan mengubah nama partainya Kristen Nasional Demokrat Indonesia (sebelumnya Krisna Indonesia), Pewarta Damai Kasih Bangsa (sebelumnya PDKB), Katolik Demokrat Indonesia (sebelumnya PKD). Penggantian nama itu dilakukan agar ikut menjadi peserta pemilu pada tahun 2004. Selain partai sebagaimana disebut di atas masih banyak lagi partai politik berbasis Kristen lainnnya yang terdaftar di Departemen Kehakiman namun ada yang dibatalkan karena tidak memenuhi UU No.32/2002. Sebagian ada yang telah berbadan hukum namun tidak lolos verifikasi KPU
8
diantaranya adalah Kristen Indonesia 1945, Demokrat Kasih Bangsa Indonesia, Partai Demokrat Katholik, Partai Reformasi Cinta Kasih Kristus Kebangsaan. 10
Pada pemilu tahun 2004 hanya satu partai politik berbasis Kristen yang lolos menjadi peserta pemilu yaitu Partai Damai Sejahtera (PDS) pimpinan Royandi Hutasoit. 11 Hasil pemilu 2004 PDS berhasil menempatkan perwakilan mereka di legislatif dengan 13 kursi. Hasil ini jauh melebihi partai politik berbasis Kristen sebelumnya.
Apa yang kita lihat dalam dua kali pemilu di era reformasi menunjukkan adanya upaya yang cukup intens dari kalangan umat Kristen untuk berpartisipasi dalam politik praktis melalui partai politik yang didasarkan pada agama Kristen.
Jika kita memperhatikan jumlah suara pemilih partai politik berbasis Kristen nampaknya disambut dingin oleh umat Kristen sendiri. Kalau kita coba membuat istimasi bahwa jumlah umat Kristen di Indonesia sekitar 18% kalau lebih optimis 20%, persentasi ini kita pakai untuk jumlah suara pemilih yang partai politik berbasis Kristen tahun 1999 hanya 1.137.245 dari 1.057.786.661 sekitar: 1.071%. Namun pada pemilu tahun 2004, perolehan suara PDS menunjukkan adanya peningkatan dua kali lebih jumlah pemilih partai politik berbasis Kristen dengan perolehan suara 2.414.245 juta dari 113.462.414 atau 2.13% dari total suara pemilih. 12 Istimasi ini menunjukkan umat Kristen lebih banyak memilih partaipartai nasional atau yang berwawasan kebangsaaan, seperti Golkar dan PDIP serta partai-
10
Catatan Litbang Kompas, Partai-partai Politik Indonesia; Idiologi dan program 2004-2009, hl. 483-497. Lih. Ibid, hl. 375-386 dan Gantyo Koespardono, Partai-Partai Kristen Rontok, (Tangerang: Sirao Credentia Center, 2003), hl. 112 12 Hasil resmi pengumuman Komisi pemilihan Umum, lih. www.kpu.go.id, diakses tgl 5 Oktober 2004 11
9
partai baru berbasis nasional dan tidak tertutup kemungkinan orang Kristen juga pemilih PAN atau PKB yang pada dasarnya berbasis Islam karena dari daftar caleg kedua partai ini ada pula sejumlah orang Kristen. 13 Selain itu ada pula partai berdasarkan program tertentu yang didirikan oleh orang Kristen sendiri seperti: Partai Buruh Sejahtera pimpinan Mokhtar Pakpahan yang dua kali pemilu turut menjadi peserta pemilu dengan dukungan suara yang relatif minim.
1.2. Pokok-Pokok Permasalahan
Dengan demikian secara politik kehadiran partai-partai politik berbasis Kristen dapat kita katakan sebagai upaya orang-orang Kristen untuk mengisi reformasi dalam bidang politik lewat politik praktis. Secara positip kehadiran partai-partai ini merupakan suatu keberanian dan langkah baru peran umat Kristen dalam politik yang tidak nampak selama pemerintahan Orde Baru yang dihantui oleh minority complex. Keberanian mereka adalah tidak menutupi identitas kekristenanannya dalam berperan di bidang politik.
Berkaitan dengan kehadiran partai-partai ini telah melahirkan beberapa persoalan pula. Beberapa persoalan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut;
13
Dalam catatn penulis ada sejumlah daftar Caleg dari partai politik berbasis islam, sebagai contoh: Dumoli Siahaan salah satu anggota jemaat HKBP Sutoyo Jakarta merupakan caleg PKB dari Wilayah Sumatera Utara dan dr. T. M. Simanjuntak anggota jemaat HKBP Yogyakarta merupakan caleg PAN dari wilayah D.I. Yogyakarta.
10
1. Partai politik berbasis Kristen ini sering disebut dengan ‘Partai Kristen’. Menurut penulis, istilah ‘partai Kristen’ kurang tepat dan bisa menimbulkan kesalahan pengertian. Seolah-olah orang Kristen memiliki partainya sendiri dan dengan sendirinya memiliki kewajiban politik terhadapnya. Kehadiran partai-partai politik berbasis Kristen haruslah kita pahami sebagai upaya orang-orang Kristen secara pribadi atau kelompok yang menggunakan hak politiknya berpartisispasi dalam politik praktis. Jadi tidak ada kewajiban umat Kristiani terhadap partai politik berbasis Kristen. 14
2. Dengan munculnya parta-partai politik berbasis Kristen tersimpan semangat dan kerinduan untuk menghimpun kekuatan politik umat Kristen dalam suatu wadah politik. Kekuatan politik semacam itu diharapkan akan mampu memperjuangkan kepentingan orang-orang Kristen di Indonesia yang selama ini dipinggirkan. Hal itu nampak dalam pandangan Gantyo Koespardono yang mengemukakan bahwa lemahnya peran politik Kristen di Indonesia disebabkan gereja-gereja (umat Kristen) di Indonesia tidak pernah bersatu untuk menentukan peran politik di dalam suatu wadah politik. 15 Pada masa-masa kampanye PDS mengangkat hal ini untuk meraih sebanyak mungkin dukungan dari kalangan Kristen karena partai merekalah satu-satunya partai Kristen peserta pemilu tahun 2004.
3. Dengan kehadiran partai-partai politik berbasis Kristen sentimen keagamaan muncul ke permukaan dari pihak Kristen, karena tidak dapat dipungkiri bahwa partai ini mencoba berjuang untuk memenuhi kepentingan politik dengan basis dan demi kekristenan. Hal ini
14 15
Lih. Eka Darmaputera, “Sebaiknya Pilih Apa” (artikel lepas), 2004 Gantyo Koespradono, Partai-partai Kristen Rontok, hl. 140. Dalam kurung dari penulis.
11
dapat menimbulkan ketajaman sentimen agama yang sarat terjadi pada beberapa tahun terakhir ini di Indonesia. Apalagi jika partai politik Kristen didasarkan pada ketakutan terhadap partai-partai Islam di Indonesia. Sehingga perjuangan politik Kristen merupakan suatu jawaban atau untuk mengimbangi kekuatan partai Islam yang cenderung semakin menguat. Perjuangan demikian tentu akan semakin menambahkan kecurigaan dan ketakutan kita terhadap agama Islam (Islam Politik) di Indonesia yang gencar memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia di era reformasi. Memang harus kita akui bahwa perjuangan pemberlakuan syariat Islam dari kalangan Islam Politik di Indonesia merupakan tantangan tersendiri bagi umat Kristen. Sekalipun ada jawaban yang spekulatif dari teolog Kristen akan hal ini seperti Th. Sumartana yang mengemukakan jika dengan pemberlakuan syariat Islam membawa bangsa kita keluar dari krisis dan menjamin hak-hak dan kebebesan non muslim siapa tahu syariat Islam dapat diterima dengan lapang hati sebagai dasar bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang baru. 16 Gerrit Singgih menjawab hal ini, secara ideal jika syariat Islam diberlakukan dengan menjamin bahwa keadilan, kebenaran, kesetaraan dalam masyarakat adalah baik, tetapi manusia yang menjalankan politik cenderung berpikir praktis, bukan idealis. 17 Jadi tidak ada jaminan hal ideal itu dapat berjalan dengan baik di dalam masyarakat. Tentu umat Kristen mencari alternatif guna mengantisipasi pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia, tetapi alternatif yang dilakukan hendaknya jangan menjadi bumerang bagi umat Kristen sendiri. Seperti pengalaman PIKI yang dirikan oleh sejumlah cendikian Kristen tahun 1963, setelah tenggelam selama 20 tahun organisasi ini kembali dihidupkan pada tahun 1987/88. Kehadiran PIKI ini telah mendorong cendikian agama lain untuk mendirikan organisasi 16
Th. Sumartana, “Pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia”, dalam Eddy Kristiyanto (ed), Etika politik Dalam Konteks Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hl. 139 17 Emmanuel Gerit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hl. 173
12
yang sama. Dalam Islam kita kenal dengan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) yang didirikan pada tahun 1990 sebagai wadah mempersatukan cendikiawan Muslim. ICMI dalam sepak terjangnya langsung menembus kekuasaan dan berpengaruh menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa-masa paroh kedua Orde Baru bahkan kebijakan-kebijakannya nyata diskriminatif terhadap non muslim dalam menentukan orang-orang yang duduk dalam pemerintahan. 18
4. Kehadiran partai-partai politik berbasis Kristen diklaim didasarkan pada panggilan. Dengan demikian partai-partai ini mencoba menafsirkan dasar teologis keterlibatan mereka dalam politik bahkan bertujuan untuk merealisasikan nilai-nilai kekristenan dalam realitas politik. PDKB misalnya didasarkan pada Kasih. Kasih Demi Bangsa demikian semboyan partai ini. Sedangkan PDS didasarkan pada transformasi salib. Menurut mereka umat Kristen harus ikut melakukan transformasi masyarakat yang didasarkan pada salib. Disini ada keyakinan yang kuat bahwa peran Kristen dalam politik dapat merealisasikan nilainilai kekristenan dalam politik. Apakah keputusan-kuputusan politik yang diperjuangkan yang oleh partai-partai ini dapat kita samakan dengan nilai-nilai kekristenan. Bukankah keputusan-keputusan politik merupakan hasil kompromi dari berbagai kepentingan kelompok masyarakat? Jadi kalau partai-partai ini mengkalim untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kekristenan dalam real politik masih harus dipertanyakan secara mendalam melalui suatu kajian teologis. Demikian halnya dengan PDS yang berkeinginan untuk melakukan transformasi masyarakat yang didasarkan pada salib. Apakah transformasi yang
18
Band. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hl. 456-462
13
didasarkan pada salib dapat diterapkan dalam masyarakat Indonesia majemuk? Bukankah hal semacam ini akan mengundang sentimen agama?
1.3. Hipotesis
Dari persoalan-persoalan sebagaimana dikemukakan di atas penulis mencoba menyusun hipotesis-hipotesis yang sebagai berikut : 1. Partisipasi umat Kristen melalui partai politik berbasis Kristen merupakan wujud nyata penolakan umat Kristen terhadap peminggiran dan keputusan-keputusan politik (realm politik) yang dianggap tidak adil dalam mengatur tatanan hidup bersama dalam masyarakat. 2. Amat sulit membuktikan bahwa nilai-nilai kekristenan dapat direalisasikan dalam real politik sebagaimana diperjuangkan oleh parta-partai politik berbasis Kristen. Karena politik amat terkait dengan berbagai kepentingan individu dan kelompok serta tidak dapat mengelak dari kenyataan bahwa keputusan-keputusan politik merupakan buah dari kompromi untuk menampung kepentingan berbagai pihak. Selain itu, keputusan politik yang adil sekalipun tidak dapat disamakan dengan keadilan dalam pengertian teologis. 3. Partai politik berbasis Kristen memiliki landasan teologis yang bersifat eksklusif dalam melihat peran politik di Indonesia. Peran eksklusif ini berpotensi mempertajam sentimen agama yang sarat terjadi akhir-akhir ini di Indonesia karena menonjolkan simbol-simbol agama dan sarat dengan sentimen agama.
14
Hal-hal inilah yang mau dibuktikan oleh penulis dalam tesis ini dengan penelitian utama pada partai-partai politik berbasis Kristen di era reformasi.
1.4. Tujuan Penulisan Tesis
Tesis ini bertujuan untuk memberikan suatu penilaian atau lebih tepatnya sebagi suatu tinjauan terhadap peran politik praktis umat Kristen melalui partai politik berbasis Kristen. Penilaian ini didasarkan pada analisis teologis tanpa mengesampingkan aspek politik dan sosial. Pertanyaan pokok adalah bagaimana partai-partai politik berbasis Kristen memainkan peran politiknya di era reformasi yang diklaim didasarkan pada iman atau didasarkan pada nilai-nilai kekristenan. Setelah memberikan tinjauan teologis, penulis bermaksud pula memberikan sumbangan pemikiran terhadap orang-orang Kristen yang terlibat dalam politik praktis dengan memperhatikan masyarakat Indonesia yang plural. Konteks masyarkat Indonesia yang plural ini merupakan hal mendasar bagi penulis bagaimana umat Kristen di Indonesia berperan dalam politik. Selain itu umat Kristen harus mempertimbangkan suasana politik di era reformasi yang mengalami berbagai ketegangan dan sentimen agama.
1.5. Batasan Penelitian
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa di era reformasi amat banyak partai-partai politik berbasis Kristen baik peserta pemilu tahun 1999 dan tahun 2004 dan juga partai yang bukan peserta pemilu. Bagi penulis tidaklah mungkin untuk melakukan penelitian
15
terhadap semua pertai-partai tersebut. Dalam tesis ini, penulis membatasi penelitian pada dua partai politik saja, yaitu PDKB peserta pemilu tahun 1999 dan PDS peserta pemilu tahun 2004. Pembatasan ini bukanlah dimaksudkan sebagai upaya menggeneralisasikan peran politik umat Kristen di era reformasi dengan mengambil sampel kedua partai ini, tetapi lebih merupakan kajian khusus terhadap keduanya.
A. PDKB; Kasih Sebagai Landasan Etika Sosial
Partai Demokrasi Kasih Bangsa disingkat dengan PDKB didirikan pada tanggal 3 Agustus 1998 oleh sejumlah tokoh-tokoh cendikiawan Kristen. Dalam waktu yang relatif singkat hasil kerja keras mereka berbuah manis dengan lolos ferivikasi KPU pada pemilu tahun 1999. Pada pemilu tahun 1999 PDKB mengantongi 550.851 suara dan memperoleh 5 kursi di DPR. 19 Partai ini dipimpin oleh Prof. Dr. Mamasse Malo yang terpilih sebagai ketua umum partai pada Munas pertama tahun 1998. Apabila kita melihat tokoh-tokoh yang terlibat dalam partai ini kita akan menemukan sejumlah kaum cendikiawan Kristen dari berbagai bidang displin ilmu dalam susunan kepengurusan partai ditambah anggota dan simpatisannya. Sampai-sampai tim litbang Kompas menyebut partai ini sebagai ‘partai kaum professor, guru besar dan rektor.’ 20 Dalam partai ini tidak terdapat tokoh-tokoh gereja (pimpinan Gereja) ditingkat pusat, hal ini berbeda dengan Parkindo masih terdapat tokoh-tokoh PGI dalam pengurusan partai tentu hal ini memiliki afiliasi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan gereja-gereja anggota PGI. 21 Dengan demikian
19
Lihat, www.kpu.go.id/dokumen, (diakses tgl. 11 April 2004) Kompas (ed), Partai-partai Politik Indonesia; Idiologi, hl. 432 21 Hal ini berbeda pada masa Parkindo dimana masih ada tokoh PGI yang terlibat seperti Ds. Probowinoto. Lih. Zakarias J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hl. 179 20
16
dapat kita katakan PDKB tidak berafiliasi secara langsung dengan gereja atau lembaga oikumene gereja-gereja di Indonesia. Tetapi mereka yakin akan mendapat dukungan dari wilayah-wilayah yang penduduknya banyak orang Kristen seperti Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia Timur.
Dalam peran politiknya PDKB mengangkat kasih sebagai landasan etika sosial, bagaimana agar tatanan kehidupan sehari-hari dan berbangsa didasarkan pada kasih. Keinginan menerapkan kasih sebagai landasan dalam mengatur hubungan sosial masyarakat ditafsirkan melalui program politik agar tercapai persamaan di bidang hukum (equality before the law) dan persamaan di bidang pemerintahan (equality before the goverment). Menurut partai ini kasih terdapat di dalam Pancasila, yaitu pada sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab. 22 Hal inilah yang mendorong partai ini melibatkan diri dalam politik agar kasih dapat dihadirkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia dengan terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab.
Fenomena teologis yang muncul dari kehadiran PDKB adalah mencoba menafsirkan kasih sebagai landasan etika sosial, ada indikasi pemahaman bahwa kasih dapat diterapkan sebagai landasan untuk mengatur tatanan hidup bersama. Seboyan yang dipakai PDKB dalam peran politiknya adalah “Kasih Demi Bangsa”.
22
Litbang Kompas (ed), Partai-partai Politik Indonesia; Idiologi, hl. 44
17
B. PDS : Salib Dalam Transformasi Politik
Partai Damai Sejahtera disingkat dengan PDS, lahir pada tanggal 1 Oktober 2001 dan dideklarasikan pada tanggal 28 Oktober 2001. Partai ini dipimpin oleh Ruyandi Hutasoit yang dikenal sebagai seorang Kristen fundamental atau Injili. Pada tahun 1998 dia menjabat sebagai wakil ketua Persekutuan Injili Indonesia (PII), aktif dalam berbagai agenda gereja-gereja Injili seperti JDS (Jaringan Doa Sedunia), JDN (Jaringan Doa Nasional) dan pengurus di berbagai lembaga-lembaga aliran Injili di Asia (SEACOE: South East Asia Conference On Evangelisim). Royandi Hutasoit adalah pendiri Yayasan Doulos yang dibakar oleh massa pada masa-masa kerusuhan tahun 1999. 23 Partai ini berbeda dengan PDKB karena ketua umum PDS merupakan salah satu pengurus Persekutuan Injili Indonesia, tentu sedikit banyaknya berafiliasi langsung dengan gerejagereja Evangglikal atau gereja-gereja yang bersifat Injili dan sebagian aliran Karismatik. 24 Dan tidak tertutup kemungkinan bagi umat Kristen anggota gereja-gereja Ekumenikal yang bergabung dalam PGI dan juga Katolik yang berkeinginan kuat memasuki partai politik berbasis Kristen memilih partai ini karena satu-satunya partai berbasis Kristen peserta pemilu pada tahun 2004.
Menurut partai ini adalah merupakan kekeliruan besar selama ini dirasakan oleh umat Kristiani menyalurkan asiprasinya melalui peran tokoh politik Kristen yang bernaung dalam berbagai partai bercorak kebangsaan (nasionalis). Partai ini memandang partai 23
Lih. Litbang Kompas (ed), Partai-partai Politik Indonesia; Idiologi dan Program 2004-2009, hl. 375-386. dan Gantyo Koespardono, Partai-Partai Kristen Rontok, hl. 112 24 Namun informasi terbaru PDS mendapat Kritik dari kalangan Kharismatik seperti Jakub Nahuway dan tokoh Evanggelikal Sthepen Tong. Ini menunjukkan tidak seluruhnya gereja Evanggelikal mendukung PDS. Lih. Majalah Bulanan Warning Edisi 26, April 2004
18
politik tersebut selama ini memosisikan elite Kristen tidak lebih sebagai ‘penumpang’. Para politisi elite Kristen pada kenyataannya terikat dalam etika politik yang berlaku pada partai yang dimasukinya. Parahnya, aspirasi dan kepentingan golongan minoritas, khususnya Kristen tidak tampak dan tersalurkan. 25 Partai ini bertekad untuk memperjuangkan kepentingan Kristen dan golongan minoritas; sejumlah keputusankeputusan politik yang dirasakan meminggirkan kepentingan umat Kristen diangkat secara gamblang dan transparan, kebebasan beribadah dan sulitnya pemberian ijin mendirikan rumah ibadah (baca=gereja), sulitnya minoritas masuk PNS (Pegawai Negeri Sipil). Menurut partai ini kelompok monoritas tidak dapat menumpangkan harapannya pada partai-partai besar yang bersifat kebangsaan tetapi harus berjuang dengan satu partai politik yang bercorak Kristiani.
Di dalam PDS identitas Kristen melekat dalam perjuangan politik. Hal itu misalnya dapat kita lihat pada masa kampanye. Kita tidak bisa membedakan mana kotbah atau mana orasi politik, antara KKR atau kampanye politik sangat kabur. Salah satu thema kampanye PDS adalah ‘Datanglah kepadaKu, semua yang letih dan lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.’ yang dikutip dari ayat Alkitab, Matius 11:28. 26 Dalam perjuangan politiknya PDS amat sering membuat bahasa-bahasa simbolik atau ungkapanungkapan yang diambil dari Alkitab. Misalnya, “Awas ada Yudas!”, “Inilah waktunya
25
Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia 1999-2004, hl. 376 Tema kampanye PDS ini telah dirangkumkan dalam bentuk buku kecil dengan judul: “Marilah KepadaKu semua yang letih dan lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.” Dalam beberapa kampanye PDS di berbagai daerah buku kecil ini dibagi-bagikan kepada massa pendukung. 26
19
Tuhan menempatkan menempatkan Yusuf di Cendana”, “Menaruh Daniel, Sadrakh, Mesakh di Senayan dll. 27
PDS dalam program politiknya ingin memeperjuangkan agar urusan agama menjadi urusan agama masing-masing terpisah dari lembaga negara, menolak segala usaha-usaha yang mau menggantikan idiologi Pancasila sebagai landasan idiologi negara, menggalang solidaritas umat Kristen dan usaha-usaha lainnya yang memperjuangkan kepentingan Kristen dan kelompok minoritas lainnya. Salib menjadi dasar teologis PDS dalam melakukan transformasi; transformasi hubungan manusia dengan Allah, transformasi hubungan manusia dengan sesamanya, tranformasi diri sendiri dan transformasi manusia dengan alam lingkungan hidup. Partai ini menyadari bahwa jumlah umat Kristen di Indonesia tidak lebih dari 30%, namun itu bukan menjadi penghambat dalam mewujudkan semua perjuangan politiknya karena berangkat dari keyakinan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah. 28
Dalam perjuangan politiknya, partai ini mencoba memperjuangkan kepentingan minoritas yang selama ini dipinggirkan melalui kebijakan-kebijakan politik masa lalu. Dalam memperjuangkan kelompok minoritas PDS berperan dengan berusaha memasuki struktur kekuasaan. Peran politik didasarkan teologi salib sebagai titik berangkat melakukan transformasi sosial masyarakat.
27
Majalah Damai Sejahtera, Edisi Perdana: Maret 2004. Data-data dan informasi tentang PDS ini dirangkumkan dari brosur dan buku-buku kecil yang diterbitkan oleh PDS: 1) Damai Negeriku Sejahtera Bangsaku, 2) Mengapa Harus Memilih PDS dan 3) Marilah Kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. 28
20
Partai ini merekomendasikan Royandi Hutasoit sebagai Capres RI, namun partai ini gagal ikut dalam bursa pemilihan capres karena perolehan suara mereka tidak sampai 3% sebagai salah satu syarat pengajuan calon presiden yang diaturkan dalam undang-undang Pemilu. Pada pemilihan presiden langsung 2004 partai ini bergabung dengan koalisi kebangsaan bersama Golkar, PDIP dan PPP untuk mendukung Megawati Sukarno Putri.
1.6. Judul Tesis
Berangkat dari masalah sebagaimana dikemukakan di atas penulis memberikan judul tesis dengan :
Kristen Politik di Era Reformasi Suatu Tinjauan Teologis Terhadap Peran Politik PDKB dan PDS
Istilah ‘kristen politik’ dalam judul ini sengaja digunakan untuk membedakan opsi peran politik umat Kristen lainnya. Hal ini cukup beralasan, karena orang-orang Kristen yang terlibat dalam partai politik berbasis Kristen menekankan kekristenan sebagai dasar keterlibatannya di bidang politik praktis.
1.7. Metode Penelitian
Penelitian tesis ini berangkat dari fenomena-fenomena yang ada dalam hubungan antara iman Kristen pada partai-partai politik berbasis Kristen di era reformasi. Untuk
21
mengungkapkan dan membuktikan hipotesis sebagaimana dikemukakan di atas penulis memakai tiga tahapan metode penelitian :
Pertama : Pengumpulan data-data tentang partai politik berbasis Kristen guna mencari sumber yang otentik dan akurat menyangkut partai politik berbasis Kristen. Hal ini dilakukan untuk mencari tahu latar belakang pendirian, idiologi, visi dan misi serta sasaran dan program yang hendak dicapai. Kedua
: Penelitian literatur; terhadap berbagai sumber yang tersedia menyangkut etika politik atau teologi politik secara umum dan buku-buku, artikel-artikel serta makalah yang menyangkut teologi politik yang ditulis oleh teolog-teolog Kristen Indonesia termasuk juga arsip atau dokumen partai politik berbasis Kristen peserta pemilu tahun 1999 dan 2004.
Ketiga
: Wawancara terhadap tokoh-tokoh partai politik berbasis Kristen. Hal ini sangat diharapkan untuk bertemu secara langsung dengan orang-orang yang telibat dalam partai politik berbasis Kristen sebagai sumber utama. Wawancara ini bertujuan untuk mengenal tokoh, memahami dan mendalami lebih jauh tentang pemikiran dan gagasan mereka tentang peran politik Kristen dan hubungan iman dan politik.
1. 8. Sistematika Penulisan
Untuk membantu penulis dalam merangkai penilitian ini, penulis mencoba membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
22
Bab I
Pendahuluan: pada bagian ini penulis mengungkapkan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, hipotesis, judul, dan metode penelitian.
Bab II
Pandangan Umum Peran Kristen Dalam Politik : Mendeskripsikan pandangan umum tentang hubungan teologi dan politik serta mengemukakan beberapa pandangan teolog tentang peran umat Kristen dalam politik.
Bab III Peran Partai-Partai Politik Berbasis Kristen Di Era Reformasi 3.1. PDKB (Partai Demokrasi Kasih bangsa) Hal yang mau dilihat adalah bagaimana orang-orang Kristen dalam bendera PDKB menghubungkan antara iman Kristen dengan politik. Dalam bagian ini penulis akan menjelaskan latar belakang pendirian, landasan idiologi, visi dan misi serta sasaran dan program yang hendak dicapai dan diakhiri dengan suatu analisis. 3.2. PDS ( Parta Damai Sejahtera) Hal yang mau dilihat adalah bagaimana orang-orang Kristen dalam bendera PDS menghubungkan antara iman Kristen dengan politik. Dalam bagian ini penulis akan menjelaskan latar belakang pendirian, landasan idiologi, visi dan misi serta sasaran dan program yang hendak dicapai dan diakhiri dengan suatu analisis. 3.3. Kehadiran PDKB dan PDS Bagi Masyarakat Indonesia; mendeskripsikan persamaan dan perbedaan peran politik kedua partai ini. Bab IV Tinjauan Teologis Terhadap Peran Politik PDKB dan PDS serta Upaya Pencarian Peran Politik Yang Kontekstual. Melakukan tinjaun teologi terhadap peran yang ditampilkan oleh PDKB dan PDS. Setelah itu penulis turut
23
memberikan pemikiran sekitar peran politik umat Kristen yang kontekstual di Indonesia dengan penekanan pada peran politik nabiah.
Suatu pendekatan
terhadap peran politik Kristen dalam konteks Indonesia yang majemuk. Bab V
Penutup: menyimpulkan rangkaian penelitian
Apapun yang menjadi opsi politik umat Kristen bahkan apolitik sekalipun harus kita hargai karena kebebasan berpolitik merupakan hak personal sebagai usaha mereka dalam memaknai dan mengisi kebebasan berpolitik dan hal ini harus tetap kita pelihara di era kebebasan berpolitik. Namun peran politik Kristen harus tetap dikritisi dan ditinjau dari pandangan teologis yang mendalam agar peran politik Kristen dalam pluralitas opsinya dibangun berdasarkan landasan etika politik Kristen sehingga kehadiran umat Kristen benar-benar memberikan sumbangan yang berharga dalam membangun bangsa Indonesia yang plural baik melalui pengaturan tatanan hidup bersama (politik), ekonomi, sosial dan budaya.
24