BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A.
Latar belakang
Rumah Sakit / Rumah Sakit Khusus merupakan tempat-tempat umum dimana didalamnya berinteraksi antara pengelola, klien / orang sakit
dan
masyarakat / pengunjung dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai sebuah sarana layanan kesehatan, rumah sakit juga menghasilkan limbah sebagai dampak dari kegiatan operasionalisasinya. Jenis limbah rumah sakit bermacam-macam , yaitu limbah padat non medis, limbah padat medis, limbah cair dan limbah gas . Limbah-limbah tersebut terdiri dari limbah non infeksius, limbah infeksius, bahan kimia beracun dan berbahaya, dan sebagian bersifat radioaktif sehingga membutuhkan pengolahan sebelum dibuang ke lingkungan. Temuan hasil penelitian Bapedalda Jawa Barat yang bekerjasama dengan Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) selama tahun 1998 - 1999, dari keseluruhan limbah rumah sakit maka sekitar 10-15% diantaranya merupakan limbah infeksius yang mengandung logam berat. Sebanyak 40% merupakan limbah organik yang berasal dari makanan pasien, keluarga pasien dan instalasi gizi, sedang sisanya sekitar 45 – 50% merupakan limbah anorganik dalam bentuk botol infus dan plastik. (Pristiyanto, 2000) Limbah medis anorganik
juga bisa berasal dari fasilitas layanan
kesehatan lainnya. Data dari Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2MPL) Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa limbah alat suntik di Indonesia khusus untuk imunisasi diperkirakan sebesar 66 juta per tahun yang terdiri dari 36,8 juta untuk imunisasi bayi, sekitar 10 juta untuk imunisasi ibu hamil/wanita usia subur, dan kurang lebih 20 juta berasal dari imunisasi anak sekolah. Sedangkan timbulan limbah alat suntik untuk kuratif diperkirakan sebesar 300 juta per tahun (Depkes, 2006).
1
Limbah rumah sakit harus dikelola mulai dari pengumpulan sampai pemusnahan, sesuai dengan tatalaksana pengelolaan limbah rumah sakit yang diatur oleh Kementerian Kesehatan. Limbah non infeksius dan infeksius harus dikelola sesuai baku mutu Kementerian Kesehatan, sedangkan limbah radioaktif pengelolaannya menjadi kewenangan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), namun pedoman penyimpanan sementara mengacu pada pedoman Kementerian Kesehatan (Depkes, 2006). Pengelolaan limbah medis bukanlah hal yang mudah dilakukan. Secara umum, di Indonesia sendiri pengolahan limbah medis belum tertangani dengan baik. Pengelolaan limbah yang sembarangan dapat menyebabkan masalah kesehatan dan pencemaran lingkungan. Penelitian di Yogyakarta menunjukkan bahwa tata laksana pengelolaan limbah yang tidak baik akan menimbulkan resiko pekerja akibat paparan bahan beracun limbah di rumah sakit sebesar 2,3 x 10-5 atau 23 kemungkinan dalam satu juta (Sutomo, 1997). Limbah padat terutama limbah padat medis, metode pemusnahan yang masih banyak digunakan adalah dibakar dengan insinerator karena metode ini bisa mengurangi volume limbah sampai 85% ( Rodan, 2002). Insenerasi limbah medis bukanlah tanpa dampak. Gas yang dihasilkan pembakaran insinerator dengan suhu rendah bisa berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Penelitian di Taiwan pada tahun 2005 menyimpulkan bahwa kandungan arsen pada urin dan darah pekerja rumah sakit yang menjalankan insinerator lebih tinggi dibanding pekerja di kantin, pegawai administrasi maupun sopir (Chao, 2005). Sedangkan menurut penelitian Kyoung Ho Lee di Korea pada tahun 2003 menyimpulkan bahwa pekerja insinerator rumah sakit terbukti terpapar polyciclic aromatic hydrocarbones (PAH) yang terdeteksi pada urin pekerja insinerator melalui pengukuran urinary 1-hydroxypyrene glucuronide (1OHPG). Keterpaparan ini menyebabkan perubahan genotip GSTM-1 yang memicu tingginya metabolisme polyciclic aromatic hydrocarbones (Lee, 2006). Namun dari semua gas beracun yang dihasilkan pembakaran limbah rumah sakit dengan insinerator, yang paling berbahaya adalah timbulnya gas
dioksin/furan. Gas ini terbentuk dari pembakaran sampah rumah sakit yang mengandung chlorine, plastik/polivynil chlorida
(PVC) maupun pemutih.
Guna menjaga sterilitas, peralatan rumah sakit banyak yang disposable (sekali pakai) sehingga timbulan limbah padat medis yang mengandung plastik juga tinggi (Perdani, 2011). Dioksin/furan merupakan 2 senyawa yang berbeda, tapi mempunyai sifat fisik ataupun kimia yang hampir sama. Pencemaran akibat senyawa tersebut memberikan dampak untuk jangka panjang maupun jangka pendek terhadap kesehatan mahluk hidup ataupun lingkungan. Sifat persisten, akumulasi dan beracun dari dioksin/furan menyebabkan pencemaran dioksin/furan berdampak besar terhadap lingkungan, kesehatan (sosial) dan ekonomi. Terhadap kesehatan, untuk jangka panjang dioksin/furan akan menyebabkan kanker, gangguan pada sistem reproduksi dan cacat lahir; sedangkan jangka pendek akan menyebabkan kerusakan hati, kehilangan berat badan ataupun penurunan sistem kekebalan tubuh (Matsusshita, 2003; NIEHS, 2001). Pemerintah Indonesia hingga kini belum memberi perhatian khusus terhadap bahaya pencemaran dioksin/furan. Hal ini terlihat dari tidak adanya perangkat kebijakan ataupun peraturan tentang tingkat pencemaran tersebut. Negara-negara seperti Amerika, Jepang dan Eropa sudah lama menyadari akan bahaya dioksin/furan yang termasuk golongan Persistent Organic Pollutants (POPs) terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Kepedulian ini ditandai dengan penyelenggaraan kesepakatan pada Konvensi POPs di Stockholm pada Mei 2001, yang Indonesia juga turut ambil bagian pada konvensi tersebut. Konvensi ini bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari pencemaran organik persisten. Salah satu butir kesepakatan yang dihasilkan adalah ketentuan untuk menurunkan emisi dioksin/furan (Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants, 2001). Sehubungan dengan POPs, sebenarnya Indonesia telah mempunyai PP No. 74 tahun 2001 tentang pengelolaan B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya)
serta PP No. 18 tahun 1999 sebagaimana diubah melalui PP No. 85 tahun 1999 tentang pengelolaan limbah B3 dan PP No. 74 tahun 2001 yang memuat daftar B3 yang dipergunakan dan daftar B3 yang dilarang dipergunakan. Berdasarkan daftar ini, bahan kimia POPs yang dilarang adalah aldrin, chlordane, DDT, dieldrin, endrin, heptachlor, mirex, toxaphene, hexachlorobenzene serta PCBs tetapi dioksin/furan belum termasuk yang dilarang penggunaanya. Sedangkan dalam PP No. 18 tahun 1999, pada pasal 34 mengenai pengolahan limbah B3, disebutkan bahwa pada pengolahan secara thermal dengan insinerator, maka efisiensi penghilangan dioksin/furan harus mencapai 99,9999%. Akan tetapi, pada kebijakan-kebijakan tersebut juga belum tercantum parameter untuk dioksin/furan (Warlina, 2008). Emisi dioksin/furan di Indonesia dari penelitian
terdahulu yang
mengambil sumber dari industri logam besi dan non-besi, maka paparan per orang/hari/kg.bb telah mencapai 205,13-325,96 pgTEQ. Angka ini jauh di atas batas ambang maksimal yang telah ditentukan WHO ataupun EPA yaitu 10 pgTEQ (Warlina, 2008). Hasil penelitian Universitas Kiel dan Environmental Protection Agency (EPA) menunjukkan bahwa secara normal tubuh manusia dewasa dapat menerima dioksin sebanyak 1-10 pg/kg berat badan/hari tanpa membahayakan kesehatan (EPA, 2003). Sehingga paparan pada tiap manusia pada daerah penelitian tersebut telah sangat membahayakan kesehatan. Di lain pihak, Indonesia masih belum mempunyai perangkat kebijakan untuk pengendalian emisi dioksin/furan. Pada tahun 2009 di DIY telah dilakukan inventarisasi limbah layanan kesehatan, berdasarkan hasil kegiatan tersebut diketahui bahwa dari 30 RS/RSK di DIY baru sebanyak 13 RS/RSK (43.3 %) yang telah mengelola limbah padat dan cair dengan aman (Dinkes Provinsi DIY, 2009). Sesuai Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit yang mengacu pada Kepmenkes No. 1204 Tahun 2004 maka salah satu permasalahan pengolahan limbah yang belum masuk kategori aman adalah pembakaran limbah dengan insinerator yang suhunya kurang dari 1.000 oC.
Data sarana fasilitas layanan kesehatan dari Dinas Kesehatan DIY tahun 2011 menunjukkan jumlah rumah sakit di DIY sebanyak 65 Rumah Sakit milik pemerintah dan swasta dengan total jumlah bed 4.997 buah. Jika diasumsikan rata-rata Bed Occupancy Rate (BOR) adalah 70% dan menurut Ditjen PP & PL timbulan limbah medis padat 140 gr/tempat tidur/hari maka timbulan limbah medis padat yang harus dimusnahkan tiap tahun sebesar 1.762.941,6 kg. Jumlah ini akan terus bertambah seiring meningkatnya jumlah rumah sakit yang ada di Yogyakarta dan meningkatnya Bed Occupancy Rate karena dipengaruhi tren penyakit yang berkembang baik penyakit menular maupun tidak menular. Berdasarkan survei pendahuluan dari 65 rumah sakit di DIY, ada 18 rumah sakit yang mempunyai insinerator untuk membakar limbah medis padat yang dihasilkan oleh rumah sakit tersebut, maupun limbah rumah sakit lain atau fasilitas layanan kesehatan yang terikat kerjasama dalam pemusnahan limbah medis padatnya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan kriteria insinerator yang memenuhi syarat diantaranya
yaitu suhu pembakaran limbah padat
harus mencapai 1.000 oC. Namun agar dioksin/furan terurai menjadi karbon dioksida (CO2), air (H2O) dan asam klorida (HCl) maka suhu pembakaran harus lebih besar dari 1.200 oC. Pada tahun 2009, Laboratorium Hiperkes dan Keselamatan Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY telah melakukan sampling pengukuran suhu pada insinerator di Rumah Sakit Umum Daerah Wirosaban Yogyakarta, dimana pada saat pengukuran, suhu pembakaran yang terukur sebesar 800 oC. Tentu saja jika dibandingkan kriteria insinerator dari WHO dan syarat suhu untuk memecah dioksin/furan, maka insinerator tersebut sangat berpotensi mengeluarkan emisi dioksin/furan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu adanya sikap kehati-hatian (precaution principle) agar pencemaran gas dioskin/furan ini dikendalikan sedini mungkin. Namun salah satu kendala pengukuran dioksin/furan adalah mahalnya pemeriksaan kimia udara untuk mendeteksi dioksin/furan karena membutuhkan alat yang sangat sensitif dan analisa
laboratorium belum bisa dilakukan di Indonesia. Keberadaan dioksin/furan dapat dilakukan estimasi emisi sumber dengan menggunakan faktor emisi yang dikeluarkan United Nation Environmental Protection (UNEP) dan estimasi konsentrasi ambien dengan memakai model persamaan Gaussian (UNEP Chemicals, 2003; EPA, 2003). Untuk itu agar pengendalian dioksin/furan yang bersumber dari insinerator rumah sakit bisa berjalan, perlu adanya estimasi emisi yang berpotensi mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat beserta rekomendasi kebijakan manajemen pengendaliannya. Penelitian ini mengambil lokasi
Kota Yogyakarta
dengan
pertimbangan jumlah rumah sakit di Kota Yogyakarta saat ini ada 18 rumah sakit dengan total jumlah bed total sebanyak 1.705 buah. Sedangkan data dari profil Kota Yogyakarta
diketahui luas wilayah Kota Yogyakarta
adalah
2
32,5 km dengan jumlah penduduk pada tahun 2012 sebesar 430.735 jiwa sehingga tingkat kepadatannya 13.253/km2 (Profil Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, 2011). Berdasarkan data di atas maka potensi faktor resiko keterpaparan emisi dioksi/furan bagi masyakarat sekitar rumah sakit yang tertinggi ada di wilayah Kota Yogyakarta . B.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang akan diteliti adalah : 1. Berapa besar emisi dioksin/furan yang bersumber dari insinerator rumah sakit di Kota Yogyakarta ? 2. Bagaimanakah kebijakan manajemen
pengendalian dioksin/furan yang
bersumber dari insinerator rumah sakit di Kota Yogyakarta ?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk 1. Mengetahui besaran emisi dioksin/furan yang bersumber dari insinerator rumah sakit di Kota Yogyakarta .
2. Mengetahui kebijakan manajemen pengendalian dioksin/furan yang bersumber dari insinerator rumah sakit di Kota Yogyakarta .
D.
Manfaat penelitian
Hasil akhir penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 1. Pemerintah Provinsi DIY Sebagai masukan dalam penentuan kebijakan tentang peraturan kualitas udara di wilayah Provinsi DIY. 2. Dinas Kesehatan Provinsi DIY Sebagai evaluasi dalam melaksanakan fungsinya sebagai
pembina
kesehatan lingkungan rumah sakit khususnya dalam pengelolaan limbah medis yang berpotensi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan
masyarakat,
dan
juga
sebagai
masukan
dalam
merekomendasikan ijin rumah sakit. 3. Rumah Sakit di Provinsi DIY Sebagai masukan dalam melakukan pengendalian limbah rumah sakit agar dapat meminimalkan dampak limbah rumah sakit terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar. 4. Badan Lingkungan Hidup Sebagai masukan
dalam melaksanakan fungsinya sebagai regulator
pengelolaan lingkungan hidup dan sebagai evaluasi dalam melakukan pembinaan terhadap pengelolaan limbah rumah sakit. Sebagai informasi dan tambahan wawasan ilmu kesehatan masyarakat khususnya tentang kesehatan lingkungan rumah sakit.
E.
Keaslian penelitian
Beberapa penelitian tentang dioksin/furan sudah dilakukan baik di luar negeri maupun di Indonesia. Beberapa penelitian sebelumnya adalah : 1. Fauzi A, 2008 dengan judul Estimasi Emisi Dioksin/Fursn Dan FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Emisi Ke Udara Yang Berasal Dari Industri Logam.
Penelitian ini sama-sama melakukan estimasi emisi dioksin/furan, namun emisi bersumber dari industri logam. Metode penelitian didesain sebagai penelitian kuantitatif untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi emisi dioksin/furan. 2. Martumus, Zuchra Halwani,2007. Ekstraksi Dioksin Dalam Limbah Air Buangan Industri Pulp, Kertas Dengan Pelarut Toluen. Penelitian ini persamaannya adalah melakukan pengukuran dioksin yang dilepaskan ke lingkungan namun obyek penelitiannya adalah limbah air buangan industri pulp dan kertas kemudian dilakukan ekstraksi agar kandungan dioksin yang dibuang ke lingkungan sudah menurun. Metode yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan eksperimental untuk mencari formula toluen yang paling efektif untuk ekstraksi dioksin. 3. Erliza, dkk, 2008. Kebijakan Manajemen Lingkungan Untuk Emisi Dioksin/Furan Yang Bersumber Dari Industri Logam. Penelitian ini meski sama-sama mencari kebijakan untuk pengendalian emisi dioksin/furan, namun penelitian ini mempunyai banyak perbedaan. Selain obyek yang diteliti berbeda, penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif karena hanya menghitung emisi dioksin/furan pada industri logam. Kebijakan yang diusulkan hanya diusulkan oleh peneliti, tanpa melalui penelitian kualitatif untuk memperdalam isu yang ada dan mencari alternatif pemecahannya. 4. Bavarias Environmental Agency, 2011. Pengukuran dioksin dan furan pada krematorium di Jerman. Penelitian ini mempunyai persamaan yaitu mengukur dioksin/furan dan mencari kebijakan pengendaliannya, namun obyek pengukurannya di krematorium dan kebijakan yang diambil untuk membatasi batas maksimal berat mayat yang boleh dilakukan kremasi guna mendukung gerakan pengurangan obesitas penduduk Jerman. 5. Kardono, 2003. Penelitian Tentang Kinerja Kiln Semen Dalam Menurunkan Potensi Emisi Dioksin.
Persamaan penelitian ini adalah tujuannya sama untuk menurunkan potensi dioksin, namun obyek penelitian pada industri semen namun metode penelitiannya didesain sebagai penelitian kuantitatif eksperimental. Namun penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya baik dari konten, metode, maupun instrumen penelitian. Keunggulan penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini mengangkat topik emisi dioksin/furan dari insinerator limbah medis, dimana pemerintah masih sedikit memberi perhatian akan potensi emisi dioksin/furan. Hal ini terbukti bahwa di DIY instansi yang berwenang melakukan pengawasan emisi udara insinerator masih menitikberatkan pada emisi NO2, CO, SO2, NH3, Cl2, H2S, dan partikel yang mengacu pada Keputusan Gubernur DIY No. 169 Tahun 2003 tentang baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak. 2. Metode penelitian ini dirancang penelitian kualitatif sehingga potensi emisi dioksin/furan
yang
belum
mempunyai
perangkat
kebijakan
dapat
dieksplorasi kebijakan manajemen pengelolaan limbah yang telah dilaksanakan rumah sakit pengawasan yang telah dilakukan oleh instansi yang berwenang, sekaligus kebijakan yang diusulkan. 3. Penelitian sebelumnya, sepengetahuan penulis, belum ada penelitian di DIY yang melakukan eksplorasi kebijakan pengendalian emisi dioksin/furan bersumber dari insinerator rumah sakit di DIY.