BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Asuransi menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat untuk meminimalisir risiko yang berkemungkinan dapat menimbulkan kerugian atas harta kekayaannya atau jiwa seseorang dengan cara mengalihkan kerugian tersebut kepada perusahaan asuransi. Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka pihak penanggung (perusahaan asuransi) berkesempatan mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung. 1 Perusahaan asuransi menjalalankan kegiatan usaha diatur dalam UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (selanjutnya disingkat UU Usaha Perasuransian). Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang. 2 Asuransi akan berhenti atau dibatalkan berdasarkan Pasal 293 dan Pasal 638 KUHD dalam hal pemberatan risiko setelah asuransi berjalan dihentikan atau dibatalkan sesuai kesepakatan penanggung dan tertanggung. 3 Asuransi juga dapat berakhir karena suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau risiko yang telah
1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan IV, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 12-13. 2 Pasal 1 huruf a UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Usaha Perasuransian). 3 Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 134-135.
Universitas Sumatera Utara
diperjanjikan terjadi (evenement), atau karena jangka waktu telah berakhir, atau karena asuransi gugur karena kematian, atau karena tertanggung tidak melanjutkan pembayaran premi sesuai perjanjian. 4 Usaha asuransi juga dapat berakhir jika kegiatan usaha perusahaan asuransi dicabut izinnya oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang selanjutnya diikuti dengan likuidasi, maka segala yang menyangkut hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi yang dilikuidasi merupakan hak utama untuk dibereskan oleh likuidator. Satu di antara prinsip-prinsip kepailitan adalah membereskan hutang-hutang debitor kepada para kreditor (prinsip paritas creditorium) terlebih dahulu. 5 Para kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor pailit, jika debitor pailit tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor.6 Prinsip ini dianut dalam Pasal 20 ayat (2) UU Usaha Perasuransian. Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi yang dilikuidasi merupakan hak utama. Apabila perseroan bubar, maka perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi. 7 PT. Asuransi Prisma Indonesia dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010 mengajukan kasasi atas permohonan pailit yang diajukan oleh dirinya ke Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditolak. Penolakan oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 4
Tuti Restuti, Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), hal.
87-90. 5
M. Hadhi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 27. 6 Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, (Bandung: Alumni, 2003), hal. 135. 7 I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2000), hal. 380.
Universitas Sumatera Utara
didasarkan alasan bahwa yang berhak mempailitkan PT. Asuransi Prisma Indonesia adalah Menteri Keuangan. 8 Menurut Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat walaupun PT. Asuransi Prisma Indonesia (dalam likuidasi) telah dicabut izin usahanya oleh Menteri Keuangan dan telah dibubarkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tetapi secara hukum badan hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia masih eksis oleh karenanya tetap tunduk pada ketentuan Pasal 2 ayat (5) UUK dan PKPU dan yang berhak mengajukan atau mempailitkan PT. Asuransi Prisma Indonesia adalah Menteri Keuangan. 9 Menteri Keuangan berhak mengajukan permohonan pailit dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lain-lain yang bergerak di bidang kepentingan publik. 10 Pihak yang mengajukan permohonan pailit berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010 adalah debitor sendiri yaitu PT. Asuransi Prisma Indonesia sedangkan menurut Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengajukan permohonan pailit PT. Asuransi Prima Indonesia adalah Menteri Keuangan dan Putusan
8
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010, hal. 9. Ibid. 10 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 34. Ada 6 (enam) pihakpihak yang dapat mengajukan permohonan pailit antara lain: a. Debitor sendiri. b. Seorang atau beberapa orang kreditor. c. Kejaksaan demi kepentingan umum. d. Bank Indonesia dalam hal debitornya adalah bank. e. Badan Pengawasn Pasar Modal (Bapepam-LK) menyangkut debitornya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpan dan Penyelesaian. f. Menteri Keuangan dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lain-lain yang bergerak di bidang kepentingan publik. 9
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010 menguatkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Debitor (PT. Asuransi Prima Indonesia) memohonkan pailit untuk dirinya sendiri dengan alasan bahwa dirinya maupun kegiatan usaha yang dijalankannya tidak mampu lagi untuk melaksanakan seluruh kewajibannya terutama melakukan pembyaran utang-utangnya kepada para kreditor. 11 Demikian pula asalan-alasan yang dikemukakan oleh pihak PT. Asuransi Prisma Indonesia dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010 didasarkan pada ketidakmampuannya untuk membayar utang-utangnya kepada para kreditor yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 12 Kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit untuk PT. Asuransi Prima Indonesia sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian. 13 Sementara di sisi lain Menteri Keuangan sama sekali belum pernah mengajukan permohonan pailit PT. Asuransi Prisma Indonesia kepada pengadilan niaga. Kondisi ini tampak semakin mempersulit pihak PT. Asuransi Prisma Indonesia untuk menentukan status hukumnya. Jika perusahaan asuransi PT. Asuransi Prisma Indonesia dinyatakan tetap eksis oleh pengadilan akan semakin
11
Ibid., hal. 34-35. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010, hal. 6-7. 13 Ibid., hal. 51. 12
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan beban dalam membayar hutang atau kewajibannya kepada kreditor. Tetapi akibat hukum yang ditimbulkan jika perusahaan asuransi ini dinyatakan pailit adalah pemberesan harta pailit oleh likuidator. Itu berarti hutang-hutang perusahaan kepada kreditor diselesaikan terlebih dahulu sesuai dengan kemampuan harta kekayaan perusahaan dan debitor.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan tiga permasalahan berikut ini: 1. Bagaimanakah perusahaan asuransi menjalankan kegiatan usaha berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian? 2. Bagaimanakah kepailitan perusahaan asuransi menurut UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? 3. Bagaimanakah legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dilakukan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami perusahaan asuransi dalam menjalankan kegiatan usaha berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui dan memahami kepailitan perusahaan asuransi menurut UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 3. Untuk mengetahui legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010. Secara teoritis dan praktis, penulisan skripsi ini memberikan manfaat yang berguna, yaitu: 1. Secara teoritis bermanfaat bagi akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan bermanfaat bagi masyarakat khususnya kreditor dan debitor. 2. Secara praktis bermanfaat bagi: debitor sendiri dan seorang atau beberapa orang kreditor. Bermanfaat bagi lembaga-lembaga yang berhubungan seperti: Kejaksaan demi kepentingan umum; Bank Indonesia dalam hal debitornya adalah bank; Badan Pengawasn Pasar Modal (Bapepam-LK) menyangkut debitornya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpan dan Penyelesaian; dan Menteri Keuangan dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lain-lain yang bergerak di bidang kepentingan publik. D. Keaslian Penulisan Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap judul dan masalah yang sama, maka peneliti melakukan pemeriksaan judul skripsi yang sama dengan, ”Legal Standing Perusahaan Asuransi yang Telah Dicabut Izin Usahanya Dalam
Universitas Sumatera Utara
Menjalankan
Permohonan
Pailit
(Studi
Kasus
Putusan
MA
Nomor
338K/PDT.SUS/2010)”. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, ternyata tidak ditemukan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini artinya belum pernah dilakukan peneliti lain dalam topik dan permasalahan yang sama. Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian dan jauh dari unsur plagiat serta sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yakni kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta sesuai dengan prosedur menemukan kebenaran ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Asuransi Asuransi
atau
pertanggungan
timbul
karena
kebutuhan
manusia. 14
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa perjanjian untuk asuransi jiwa unit link merupakan salah satu contoh perikatan yang lahir karena undang-undang. Asuransi berasal dari bahasa Inggris “insurance” yang dalam bahasa Indonesia
telah
diadopsi
dalam
Kamus
Besar
dengan
padanan
kata
“pertanggungan”. 15 UU Usaha Perasuransian juga menentukan padanan kata asuransi adalah pertanggungan sebagaimana didefenisikan dalam Pasal 1 angka UU Usaha Perasuransian: Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, 14 15
Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 1. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Banyak pihak yang mengartikan asuransi secara berbeda-beda. Adam Smith, mengatakan asuransi itu merupakan suatu cara menyebarkan beban kerugian kepada orang banyak sehingga kerugian itu menjadi ringan dan mudah. Pengertian menurut Adam Smith ini sama dengan asuransi menurut Muhammad Muslehuddin yang diadopsinya dari Encyclopedia Britanica. Abbas Salim, mengatakan asuransi sebagai suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian yang belum pasti. 16 Namun menurut Wirjono Prodjodikoro, asuransi diartikannya lebih sempurna mendekati defenisi asuransi dalam Pasal 1 angka 1 UU Usaha Perasuransian. Wirjono menyebutkan asuransi dalam bukunya “Hukum Asuransi di Indonesia” bahwa asuransi adalah suatu persetujuan di mana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai penggantian kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas. 17 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Usaha Perasuransian tersebut di atas, diketahui bahwa asuransi itu adalah perjanjian, makna asuransi itu sama dengan pertanggungan, sehingga ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam perjanjian asuransi yang dikelompokkan dalam dua pihak yakni pihak penanggung dan tertanggung. Perjanjian asuransi menurut Pasal 1 angka 1 UU Usaha Perasuransian
16 17
Tuti Restuti, Op. Cit., hal. 1-2. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1987), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
juga menentukan pihak penanggung yang seharusnya memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian yang tidak pasti. Walaupun pengertian asuransi tersebut di atas tampak berbeda-beda satu sama lainnya, namun makna yang sama dalam pengertian ini bahwa penggantian dalam asuransi diberikan oleh pihak penanggung kepada tertanggung melalui premi yang diterima oleh pihak penanggung. Jadi terdapat dalam pengertian penanggugan diartikan secara searah yakni dari pihak penanggung kepada pihak tertanggung. Penanggungan diartikan dalam Kamus Hukum adalah kewajiban menaggung dan memikul tanggung jawab atas sesuatu perbuatan atau kejadian. 18 Molengraaff juga mendefenisikan asuransi sebagai persetujuan dengan mana satu pihak penanggung mengikatkan terhadap yang lain, penanggung mengganti kerugian yang diderita oleh tertanggung karena terjadinya suatu peristiwa yang belum tentu atau kebetulan, dimana tertanggung berjanji untuk membayar premi kepada penanggung. 19 Pihak-pihak yang mengikatkan diri secara timbal balik itu disebut penanggung dan tertanggung. Penanggung dengan menerima premi memberikan
pembayaran,
ada
juga
yang
mendefenisikan
asuransi
tanpa
menyebutkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penikmatnya. 20 Sebagai lex generalis dari UU Usaha Perasuransian adalah KUHD yang mendasarkan pengertian penanggungan sama dengan asuransi, Pasal 246 KUHD, menentukan: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk menggantikan kepadanya karena suatu kerugian,
18
M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 510. Molengraaf dalam Tuti Restuti, Op. Cit., hal. 3. 20 Djoko Prakoso, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 4. 19
Universitas Sumatera Utara
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu. Inti dari diadakannya asuransi sesungguhnya dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari apa yang disebut dengan risiko yang selalu melekat dalam diri manusia itu sendiri. Risiko tersebut yang dimaksud adalah risiko yang tidak diketahui kapan muncul, maka salah satu cara mengantisipasi risiko untuk meringankan beban kerugian tersebut, dalam aspek ekonomi dilakukan melalui asuransi. Namun tidak berarti asuransi tersebut jika tidak diatur melalui seperangkat peraturan perundangundangan. 21 Sehingga jika diartikan sebaliknya, asuransi atau pertanggung dimaknai sebagai salah satu cara untuk mengalihkan risiko (transfer of risk) atau membagi risiko (distribution of risk) dari pihak yang memiliki kemungkinan menderita karena adanya risiko kepada pihak lain (perusahaan asuransi) yang bersedia melindungi risiko tersebut melalui prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jadi pertanggungan diberikan oleh pihak penanggung kepada tertanggung sementara risiko dialihkan dari pihak tertanggung kepada pihak penanggung. 2. Pengertian Perusahaan Perasuransian Muatan dalam UU Usaha Perasuransian menggunakan istilah perusahaan perasuransian bukan perusahaan asuransi. Ini berarti pemaknaannya mencakup seluruh kegiatan dalam sistim yang tidak dapat dispisahkan antar satu sama lain dalam undang-undang. Semua kegiatan perasuransian dicakup dalam undang-undang sebagai suatu sistim yang terpadu.
21
Junaedy Ganie, Op. cit., hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 angka 4 UU Usaha Perasuransian, menentukan, bahwa, “Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan
Reasuransi,
Perusahaan
Pialang
Asuransi,
Perusahaan
Pialang
Reasuransi, Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan Perusahaan Konsultan Akturia”. Sedangkan Pasal 1 angka 1 PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, menentukan, bahwa, “Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Asuransi jiwa”. Abdulkadir Muhammad menegegaskan istilah perasuransian melingkupi kegiatan yang bergerak di bidang usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. 22 Beliau berlandaskan pengertiannya pada Pasal 2 huruf a UU Usaha Perasuransian, menentukan: Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang. Sesuai dengan pengertian asuransi dan perasuransian sebagaimana di atas, perusahaan asuransi dipastikan menyangkut segala hal: perusahaan perasuransian, perusahaan asuransi kerugian, perusahaan pialang reasuransi, perusahaan reasuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan asuransi jiwa. Pasal 1 angka 4 UU Usaha Perasuransian, menentukan pengertian perusahaan perasuransian adalah perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi,
22
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan V, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
agen asuransi, perusahaan penilai kerugian asuransi dan perusahaan konsultan akturia. Lebih lanjut disebutkan oleh Badulkadir Muhammad bahwa perusahaan asuransi adalah setiap perusahaan yang kegiatan usahanya menjalankan kegiatan di bidang perasuransian. 23 Setiap perusahaan perasuransian hanya dapat menjalankan jenis usaha yang telah ditetapkan dan tidak dimungkinkan adanya suatu perusahaan perasuransian yang sekaligus menjalankan usaha asuransi kerugian bersamaan dengan asuransi jiwa. 24 Perusahaan asuransi kerugian adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti. 25 Perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. 26 Perusahaan reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa. 27 Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi Asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung. 28
23
Ibid., hal. 29. Ibid., hal. 30. 25 Pasal 1 angka 5 UU Usaha Perasuransian. 26 Ibid., Pasal 1 angka 6. 27 Ibid., Pasal 1 angka 7. 28 Ibid., Pasal 1 angka 8. 24
Universitas Sumatera Utara
Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi. 29 Agen Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung. 30 Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang dipertanggungkan. 31 Perusahaan Konsultan Akturia adalah perusahaan yang memberikan jasa akturia kepada perusahaan asuransi dan dana pensiun dalam rangka pembentukan dan pengelolaan suatu program asuransi dan atau program pensiun. 32 Persyaratan umum perusahaan perasuransian menurut Pasal 3 PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, menentukan syaratsyarat sebagai berikut: 1) Perusahaan Perasuransian dalam rangka melaksanakan kegiatan usahanya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Dalam anggaran dasar dinyatakan bahwa: (1) Maksud dan tujuan pendirian perusahaan hanya untuk menjalankan salah satu jenis usaha perasuransian; (2) Perusahaan tidak memberikan pinjaman kepada pemegang saham. b. Susunan organisasi perusahaan sekurang-kurangnya meliputi fungsifungsi sebagai berikut: (1) Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan; (2) Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan; (3) Bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria, yaitu fungsi teknis sesuai dengan bidang jasa yang diselenggarakannya.
29
Ibid., Pasal 1 angka 9. Ibid., Pasal 1 angka 10. 31 Ibid., Pasal 1 angka 11. 32 Ibid., Pasal 1 angka 12. 30
Universitas Sumatera Utara
c. Memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahanya dalam jumlah yang memadai untuk mengelola kegiatan usahanya. e. Melaksanakan pengelolaan perusahaan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini, yang sekurang-kurangnya didukung dengan: (1) Sistem pengembangan sumber daya manusia; (2) Sistem administrasi; (3) Sistem pengelolaan data. 2) Ketentuan lebih lanjut mengenai huruf d dan huruf e ditetapkan oleh Menteri. Dikatakan sebagai Perusahaan Perasuransian seluruh atau mayoritas pemiliknya adalah Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, serta seluruh anggota Dewan Komisaris dan pengurus harus Warga Negara Indonesia. 33 Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Perusahaan Perasuransian yang didalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing harus Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing, atau seluruhnya Warga Negara Indonesia. 34 3. Pengertian Kepailitan Kata kepailitan merupakan gabungan awalan-akhiran (konfiks) “ke” dan “an” yang mengapit kata dasar “pailit”. Istilah pailit diartikan dalam Kamus Hukum adalah “Suatu keadaan di mana seseorang berhenti tidak mampu lagi membayar hutangnya dengan putusan Hakim atau Pengadilan Negeri. 35 Istilah pailit juga dapat dijumpai dalam perbendaharaan Bahasa Belanda (failliet), Perancis (faillite), dan Latin (failire), dan Inggris (bankrupt). 36 Dalam istilah Bahasa Perancis adalah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan le failli. Dalam Bahasa Belanda
33
Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 32. Ibid. 35 M. Marwan dan Jimmy P., Op. cit., hal. 475. 36 Ibid. 34
Universitas Sumatera Utara
menggunakan istilah failliet memiliki arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. 37 Namun, walaupun sesungguhnya istilah-istilah pailit berbeda-beda namun tetap memiliki pengertian yang sama yaitu sama-sama mengandung makna tidak mampu membayar hutang. Istilah bangkrut yang umum dipergunakan di Indonesia berasal dari Bahasa Inggris yaitu bangkrupt yang sudah dikenal sejak Zaman Romawi. Pada waktu itu Romawai juga telah menggunakan istilah ini dengan sebutan banca rupta. Sementara pada abad pertengahan di Eropa terjadi praktik kebangkrutan dengan melakukan aksi penghancuran bangku-bangku dari para bangkir atau pedagang-pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditor. Istilah banco inilah yang berasal dari kata “bangku” pada waktu itu. 38 Umumnya di negara-negara yang menggunakan Bahasa Inggris, dipakai istilah bangkrupt yang dipergunakan untuk menyebut perusahaan-perusahaan debitor yang berada dalam keadaan tidak membayar hutang-hutangnya yang disebut juga dengan insolvensi. Pengertian kepailitan diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa pailit. 39 Pengertian kepailitan menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU, menentukan, bahwa yang dimaksud dengan “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.
37
Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 20. Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 3. 39 Sunarmi, Loc. cit. 38
Universitas Sumatera Utara
Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undangundang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Sedangkan Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau UndangUndang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan UUK dan PKPU. Ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat dipersamakan dengan ketidakmampuan membayar utang. Ketidakmampuan untuk membayar utang tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut harus ditagih dengan proses pengajuan ke Pengadilan, baik atas permintaan Debitor itu sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. 40
F. Metode Penelitian 1. Jenis dan sifat penelitian
40
Ibid., hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam perundang-undangan di bidang usaha perasuransian dan kepailitan serta Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu dengan cara menggambarkan dasardasar pertimbangan hakim secara analisis mengenai perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit.
2. Sumber data Data pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari: a. Bahan hukum primer, yaitu UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Usaha Perasuransian), UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU), UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah-makalah seminar, artikel, jurnal, surat kabar, makalah lepas di internet maupun karya-karya tulisan yang berkaitan dengan perusahaan perasuransian dan kepailitan. c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder misalnya Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris.
Universitas Sumatera Utara
3. Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library research) untuk memperoleh referensi dan studi dokumen untuk memperoleh putusan pengadilan mengenai perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit. Melakukan identifikasi terhadap data sehingga data yang diperoleh melalui studi pustaka dan studi dokumen putusan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi asas-asas dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti kemudian disistematisasikan
sehingga
menghasilkan
klasifikasi
yang
selaras
dengan
permasalahan. 4. Analisis data Data-data yang diperoleh, akan dianalisis secara kualitatif yakni memilih pasal-pasal terpenting yang terdapat di dalam UU Usaha Perasuransian dan UUK dan PKPU
kemudian
menjelaskannya,
menguraikannya,
memaparkannya,
dan
menganalisisnya berdasarkan asas-asas, norma-norma hukum dan kaidah-kaidah. Dari hasil analisis data akan menghasilkan jawaban atas permasalahan, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan jawaban dan saran-saran.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan sebagai kerangka dalam skripsi ini, dibagi dalam 5 (lima) bab yaitu: BAB I
: PENDAHULUAN.
Universitas Sumatera Utara
Dalam bab ini yang dibahas adalah mengenai hal-hal berkaitan dengan latar belakang yang mengantarkan judul kepada perumusan masalah yang diteliti, tujuan penelitian, manfaat penelitian secara teoritis dan praktis, tinjauan kepustakaan memuat pengertian-pengertian tentang asuransi, perusahaan perasuransian, dan pengertian kepailitan. Digunakan metode dan sistematika penulisan.
BAB II : PERUSAHAAN ASURANSI MENJALANKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UU USAHA PERASURANSIAN. Dalam bab ini dibahas tentang asas-asas dan prinsip-prinsip dasar asuransi meliputi: asas-asas perjanjian asuransi, prinsip itikad baik (good fait), prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest), dan prinsip pengalihan risiko. Selanjutnya dibahas tentang asuransi sebagai suatu perjanjian, berakhirnya perjanjian asuransi, dan pengaturan kegiatan usaha perusahaan asuransi dalam menjalankan kegiatan perasuransian. BAB III : KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI MENURUT UU NO.37 TAHUN
2004
TENTANG
KEPAILITAN
DAN
PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. Dalam bab ini dibahas tentang asas-asas dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam hukum kepailitan, syarat-syarat dan prosedur permohonan pailit, serta pengurusan dan pemberesan harta debitor pailit oleh kurator. BAB IV : LEGAL STANDING PERUSAHAAN ASURANSI YANG DICABUT IZIN USAHANYA DALAM MENJALANKAN PERMOHONAN PAILIT
BERDASARKAN
PUTUSAN
MARI
NOMOR
338K/PDT.SUS/2010.
Universitas Sumatera Utara
Dalam bab ini dibahas tentang syarat-syarat mengajukan permohonan pailit, akibat hukum terhadap perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya, dan legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam mengajukan permohonan pailit, dengan terlebih dahulu
menggambarkan posisi kasus,
pertimbangan hakim pengadilan niaga jakarta pusat, kemudian menganalisis pertimbangan hakim MA berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 dan UU No.37 Tahun 2004. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Universitas Sumatera Utara