BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Di Indonesia obat herbal1 diklasifikasikan ke dalam 3 kategori, yaitu
jamu2, obat herbal terstandar3, dan fitofarmaka4. Akan tetapi para dokter dan apoteker Indonesia, masih belum dapat menerima jamu dan obat herbal terstandar sebagai obat yang dapat direkomendasikan (Hemani, 2011). Ini disebabkan bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia masih kurang (Pramono, 2002). Oleh karenanya masyarakat menggunakan obat herbal masih dalam usaha pengobatan sendiri (self-medication). Berbeda seperti Cina, Korea
dan
India
yang
sudah
menggunakan
sistem
integratif
yaitu
mengintegrasikan cara dan pengobatan tradisional dalam sistem pelayanan kesehatan formalnya. Indonesia masih menggunakan sistem inclusive yaitu mengakui obat tradisional tetapi belum mengintegrasikan pada sistem pelayanan kesehatan (Pramono, 2002). Beberapa pelayanan kesehatan menerima tetapi banyak pelayanan kesehatan yang masih menolak adopsi jamu dan obat herbal terstandar untuk 1
2
3
4
Obat atau pengobatan yang menggunakan bahan yang berasal dari tanaman bisa berupa daun, akar, tangkai, buah, biji-bijian yang mengandung bahan kimia yang berkhasiat untuk pengobatan penyakit pada manusia. Sediaan bahan alam yang khasiatnya belum dibuktikan secara ilmiah, dalam kata lain, belum mengalami uji klinik maupun uji praklinik, namun khasiat tersebut dipercaya berdasarkan pengalaman empirik. Sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik pada hewan dan bahan bakunya telah distandarisasi. Sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik pada manusia, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi.
diresepkan kepada pasien. Penelitian Widowati, dkk (2014) menyatakan 12 Provinsi di Indonesia telah meresepkan jamu kepada pasien. 12 Provinsi tersebut yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogjakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Lampung. Menurut penelitian tersebut terdapat beberapa alasan dokter meresepkan jamu kepada pasien. Alasan yang paling banyak yaitu karena kepercayaan masyarakat akan manfaat jamu sebesar 85,1%, harga yang lebih murah sebesar 63,2%, penyakit yang belum parah sebesar 50,8%, putus asa terhadap obat-obatan kimia sebesar 46,5% dan merasa lebih manjur 36,0% (Widowati, dkk, 2014). Obat tradisional Indonesia yang dikenal sebagai jamu tersebut telah digunakan secara luas oleh masyarakat Indonesia untuk menjaga kesehatan dan mengatasi berbagai penyakit sejak berabad-abad yang lalu jauh sebelum era Majapahit (WHO, 2002). Penelitian Widowati, dkk (2014) juga menyatakan bahwa dokter memisahkan rekam medik untuk jamu dengan rekam medik konvensional. Penelitian lainnya yaitu penelitian Dewoto (2007) menyatakan sulitnya adopsi obat herbal dikarenakan standar yang dibutuhkan agar obat herbal dapat digunakan secara formal sangat tinggi dan memerlukan banyak biaya. Salah satu penyebabnya yaitu koordinasi penelitian yang kurang terorganisir antar departemen, perguruan tinggi, lembaga/pusat penelitian sehingga sering terjadi duplikasi dan pemborosan dana penelitian; Pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi non-pemerintah belum menyediakan dana khusus untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas penelitian, termasuk penelitian dan pengembangan obat 1
tradisional menjadi fitofarmaka, sehingga dapat dimanfaatkan pada pelayanan kesehatan. Selain itu runtutan proses yang panjang dari uji bahan baku hingga uji klinis juga menjadi penghambat tercapainya standar yang ditetapkan kemenkes. Hambatan lain yang dihadapi dalam adopsi obat herbal atau jamu dan OHT dalam peresepan obat antara lain karena masih ada dokter yang menolak keberadaan jamu mengingat belum semua jamu memiliki bukti ilmiah (Virna, 2015). Data ilmiah yang kurang mengenai standar untuk simplisia5 sebagai bahan baku obat herbal juga menyebabkan obat herbal belum bisa diintegrasikan dalam peresepan
obat
(Moeloek,
2005).
Tidak
adanya
standar
internasional
menyebabkan pengembangan obat tradisional sangat dipengaruhi oleh budaya, tradisi dan bukti empiris yang dikenali masyarakat penggunanya (Hernani, 2011). Sementara untuk menjadikannya bagian dari sistem pengobatan moderen diperlukan eksperimen dan studi klinis, selain itu para tenaga medis dalam hal penggunaan obat diwajibkan mengikuti metoda evidence-based medicine (EBM) (Hernani, 2011). Tidak semua tanaman obat aman digunakan, beberapa menyimpulkan toksik, atau justru menimbulkan toksik jika dikombinasikan dengan obat konvensional yang sudah bisa digunakan oleh pasien (Herman, dkk, 2013). OHT belum mengalami uji klinis, namun bahan bakunya telah distandarisasi untuk menjaga konsistensi kualitas produknya (Ritiasa, 2004). Kepercayaan masyarakat terhadap khasiat jamu dan OHT di Indonesia sebesar 85,1% (Widowati, dkk, 2014), akan tetapi keengganan dokter di Indonesia masih menjadi faktor utama penghambat adopsi jamu dan OHT dalam peresepan
5
Bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan.
2
obat. Negara Cina dan India telah menggunakan sistem integratif untuk mengadopsi obat herbal untuk pelayanan kesehatan. Oleh karena itu obat herbal di negara tersebut dapat diterima secara formal.
1.2.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian yang dikemukakan, maka pertanyaan penelitian yang
dapat dirumuskan adalah: 1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi obat herbal dalam peresepan obat? 2. Bagaimana klasifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi obat herbal dalam peresepan obat? 3. Bagaimana perbedaan tingkat adopsi obat herbal dalam peresepan obat berdasarkan karekteristik inovasi dan adopter?
1.3.
Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta, yaitu pada para dokter yang
memiliki wewenang untuk meresepkan obat bagi pasien. Penelitian tidak dilakukan dalam lingkup rumah sakit untuk mengantisipasi keterbatasan sumber data. Analisis dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi obat herbal dengan berdasarkan pada teori adopsi inovasi oleh Rogers (1983).
3
1.4.
Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi obat herbal dalam peresepan obat.
2. Mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi obat herbal dalam peresepan obat. 3. Menguji beda tingkat adopsi obat herbal dalam peresepan berdasarkan karekteristik inovasi dan adopter.
1.5.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat
sebagai berikut: 1. Bagi Akademisi Penelitian ini mampu menjadi referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kualitas khususnya dalam hal perbaikan kualitas suatu produk. 2. Bagi Tenaga Medis Hasil penelitian ini diharapkan untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi tenaga medis untuk lebih bersedia meningkatkan penggunaan obat herbal di masa yang akan datang.
4
3. Bagi Peneliti Peneliti dapat menerapkan teori dan ilmu mengenai kualitas, khususnya mengenai perbaikan kualitas suatu produk.
1.6.
Sistematika Penulisan
BAB I:
Pendahuluan Bab ini menguraikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, batasan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II:
Kajian Literatur Bab ini dikhususkan untuk memaparkan berbagai review literatur yang relevan untuk digunakan dalam penelitian ini, serta mendukung proses analisis data, di antaranya adalah teori mengenai adopsi inovasi, faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi, serta tinjauan tentang obat herbal.
BAB III:
Metode Penelitian Bab ini berisi penjelasan mengenai jenis penelitian, populasi dan sampel penelitian, definisi konsep dan operasional variabel, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.
5
BAB IV:
Analisis Data dan Pembahasan Bab ini berisi uraian tentang hasil analisis data dan pembahasan sesuai teori yang digunakan terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi obat herbal ke dalam peresepan obat.
BAB V:
Penutup Bab ini memaparkan kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran
yang
dapat
direkomendasikan
terkait
dengan
kesimpulan penelitian.
6