BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dalam perekonomian global saat ini menempati urutan ke 17 terbesar di dunia. Keterlibatan Indonesia dalam berbagai forum global dan regional ASEAN (Association of South East Asia Nations), APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation), dan G 20 terlihat begitu besar peranan. Tantangan ke depan pembangunan ekonomi tidaklah mudah. Indonesia ditantang untuk mempersiapkan diri untuk bisa bersaing dalam ekonomi global. Berdasarkan sumber BPS (Badan Pusat Statistik) ekonomi Indonesia secara makro tumbuh 6,17 persen pada triwulan III 2012. Keberhasilan pertumbuhan ekonomi Indonesia ketika negara-negara Eropa yang sedang terpuruk dan negara-negara maju mengalami stagnasi pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi menjadi anomali ketika melihat fenomena kemiskinan di Indonesia yang dicatat oleh BPS pada September 2013 sebesar 28,59 juta penduduk miskin yang tersebar di desa dan kota di Indonesia. Jika dibagi penduduk miskin kota ada 10,63 juta jiwa sedangkan penduduk miskin di desa berjumlah 17,92 juta. Tidak dipungkiri kemiskinan merupakan pintu awal masalah-masalah sosial baik di kota maupun di desa. Penduduk miskin kota yang terus melonjak juga tidak luput dari banyaknya masalah-masalah sosial perkotaan seperti adanya anak balita
1
terlantar, anak terlantar, anak nakal, anak jalanan, wanita rawan sosial ekonomi, korban tindak kekerasan, lanjut usia terlantar, penyandang cacat, keluarga berumah tidak layak huni, pekerja migran bermasalah sosial dan keluarga fakir miskin. Dari sekian permasalahan perkotaan anak yang hidup di jalanan adalah salah satu fenomena masalah perkotaan di kotakota besar di Indonesia yang memerlukan perhatian khusus karena jumlahnya yang terus bertambah. Data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Indonesia pada tahun 2010 menunjukan jumlah anak terlantar Indonesia mencapai 5,4 juta orang, sebanyak 232 ribu orang merupakan anak jalanan. Jumlah anak jalanan ini meningkat 400 persen jika dibandingkan dengan data pada tahun 1999 yang hanya ada sekitar 50.000 anak jalanan yang tersebar di 12 kota besar. Mirisnya lagi dari data KPAI menyebutkan terdapat jutaan anak yang putus sekolah seperti yang dijelaskan pada tabel 1.1 tentang pelanggaran hak anak dalam masalah pendidikan. Tabel 1.1 Pelanggaran Hak Anak Dalam Masalah Pendidikan Di Indonesia 2007 – 2010 No 1 2 3
Deskripsi Putus SD Putus SMP Putus SMU/K Total
2007 2008 4.127.492 5.255.110 18.296.332 18.566.611 325.393 330.993 22.749.217 24.152.714
2009 2.041.000 278.826 2.319.826
2010 526.987 4.917 1.894 533.798
Sumber: diolah dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak
Dijelaskan dalam tabel diatas rentang waktu 2007-2010 ada jutaan anak tingkat SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan
2
SMU/SMK (Sekolah Menegah Umum/Sekolah Menengah Kejuruan) yang tidak melanjutkan sekolah. Anak-anak yang putus sekolah ini selanjutnya rentan menjadi pekerja anak di usia mereka yang seharusnya sedang menikmati bangku sekolah. Tidak sedikit mereka yang bermigrasi dari desa ke kota. Gelombang migrasi masyarakat dari desa ke kota ikut berkontribusi terhadap pertumbuhan anak jalanan, kota dianggap sebagai tempat yang menjanjikan keberuntungan, desakkan ekonomi karena kemiskinan dan rendahnya kualitas pendidikan orang tua menyebabkan anak turun ke jalan. Sebagian besar anak yang hidup di jalan mencari uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari dengan mengamen, mengemis, penjadi pedagang asongan, menjual koran dan tak jarang ada yang memalak dan memeras. Anak yang hidup dijalan merupakan kelompok yang berisiko tinggi terhadap berbagai bahaya di jalanan seperti kekerasan, eksploitasi, pelecehan seksual, dan terjerumus pada narkoba. Berikut data KPAI pada tabel 1.2 tentang pelanggaran hak anak dalam masalah eksploitasi terdapat pekerja anak di Indonesia. Dijelaskan pada tabel bahwa ini masih banyak anak yang di eksploitasi di Indonesia. Tercatat pada tahun 2007 sebanyak 2.790.000 anak menjadi korban eksploitasi anak. Walaupun menurun pada tahun 2009 menjadi 1.400.032 anak, dan pada tahun 2010 menjadi 238.022 anak saja.
3
Tabel 1.2 Pelanggaran Hak Anak Dalam Masalah Eksploitasi Di Indonesia 2007 – 2010 No Deskripsi 1 Buruh/Pekerja Anak Eksploitasi Seksual 2 Komersial Anak Pembantu Rumah Tangga 3 Anak Total
2007 2.100.000
2008 1.399.573
690.000
459
436
1.400.032
273 742
2.790.000
2009 2010 33 238.022
238.022
Sumber: diolah dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak
Data ini juga diperkuat dalam buku anak jalanan di Indonesia (Trisnadi, Foura Yusito dan Subansyah, 2005: 24) menjelaskan anak jalanan rentan akan resiko Pertama, Korban operasi tertib sosial; Kedua, Korban kekerasan orang dewasa; Ketiga, Ancaman terhadap kesehatan seperti Penyakit Menular Seksual (PMS), HIV/AIDS, dan kehamilan yang tidak dikehendaki; Keempat, Penyalagunaan obat dan zat berbahaya; Kelima, Korban eksploitasi seksual komersial. Dari grafik 1.1 dijelaskan anak yang mengidap penyakit HIV/AIDS pada 2007 terdapat 14.593 anak, pada 2008 terdapat 1.999 anak, lalu mengecil pada 2009 yang hanya terdapat 199 anak saja, namun pada 2010 meningkat kembali menjadi 3.122 anak. Tidak hanya penyakit seksual menular anak
juga rentan akan penyalagunaan obat dan zat
berbahaya. Dari laporan KPAI terdapat 1 juta anak pada tahun 2010 yang terjerumus pada obat dan zat berbaya (narkotika).
4
Grafik 1.1. Anak Pengidap HIV/AIDS Di Indonesia 2007 – 2010 HIV/AIDS 14593
3122
1999 199 2007
2008
2009
2010
Sumber: diolah dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak
Tidak hanya terjerumus dalam narkoba dan seks bebas anak di Indonesia juga mengalami banyak pelanggaran hak-hak anak ketika mereka berada di jalanan seperti menjadi korban penculikan, ditelantarkan, diperdagangkan, dan anak terlibat pornografi. Tabel 1.3 Pelanggaran Hak Anak Dalam Masalah Lingkungan Di Indonesia 2007 – 2010 No Deskripsi 1 Penculikan 2 Penelantaran Anak Korban 3 Perceraian Anak Korban 4 Pornografi Total
2007 71 83
2008 38 580
2009 55 226
2010 111 208
108
67
34
92
27 289
8 693
22 337
39 450
Sumber: diolah dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak
5
Digambarkan pada tabel 1.3 diatas terdapat banyaknya kasus yang dilaporkan kepada KPAI dalam rentang tahun 2007 sampai tahun 2010. Peningkatan pada tabel 1.3 diatas adalah banyak anak yang mengalami penculikan yang awalnya 71 (2007), meningkat menjadi 111 (2010). Penelantaran anak juga meningkat dari 83 (2007), menjadi 208 (2010). Anak korban perceraian terjadi penuruan yang tidak signifikan yakni dari 108 (2007) menjadi 92 (2010), dan peningkatan juga terjadi pada anak korban pornografi yang awalnya hanya 27 (2007), menjadi 39 (2010). Di jalanan anak juga rentan akan masalah kekerasan dari data KPAI pada tabel 1.4 dibawah ini tentang pelanggaran hak anak mencatat banyaknya kekerasan fisik, seksual, dan psikis yang di terima oleh anak dalam periode 2007-2010 yang menunjukkan tren meningkat. Tabel 1.4 Pelanggaran Hak Anak Dalam Masalah Kekerasan Di Indonesia 2007 – 2010 No 1 2 3
Deskripsi Fisik Seksual Psikis Total
2007 341 527 642 1510
2008 436 629 764 1829
2009 605 705 688 1998
2010 646 926 841 2413
Sumber: diolah dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak
Terlihat pada tahun 2007 kekerasan fisik terhadap anak hanya 341, pada tahun 2010 meningkat tajam menjadi 646. Kekerasan seksual terhadap anak juga meningkat tajam dari awalnya berjumlah 527 (2007)
6
menjadi 924 (2010). Kekerasan psikis juga meningkat dari 642 (2007) menjadi 842 (2010). Kasus kekerasan yang dialami anak jalanan secara gamlang dijelaskan (Prasadja, Heru dan Agustian, Murniati, 2000: 37) yaitu diancam, dimarahi, dimaki, dikencingi, dipukuli, dipalak, dikeroyok, kepala dibenturkan ketembok, dioperasi polisi, disetrum, dieksploitasi secara ekonomi, dilecehkan secara seksual, disodomi, diperkosa. Perlindungan anak sudah semestinya dilakukan secara sistematis dari hulu sampai hilir dengan basis utama pada penguatan ketahanan keluarga. Masalah pokok perlindungan anak bidang keluarga dan pengasuhan alternatif di dominasi oleh kasus-kasus yang berakar dari kerentanan keluarga baik rentan secara ekonomi, sosial, kemasyarakatan dan religiusitas keagamaan. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Hening Budyawati dkk (dalam Solahudin, 2000: 11), anak jalanan dalam KHA (Konvensi Hak Anak) mengatakan bahwa anak jalanan merupakan satu kelompok anak yang berada dalam kesulitan khusus (children in especially difficult circumtance) yang menjadi prioritas yang harus segera ditangani. Jumlah anak jalanan yang tergolong tinggi akan terus bertambah jika terus dibiarkan dan permasalahan ini merupakan masalah di sejumlah kota-kota besar di Indonesia seperti yang bisa kita lihat pada tahun 2004 menurut Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial (PDIKS DepSos) jumlah anak jalanan sebesar 98.113 orang yang
7
tersebar di 30 provinsi. Khusus di wilayah Bandung kurang lebih berjumlah 5.500 anak jalanan (Data Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, 2006); di wilayah Bogor 3.023 orang (Data Dinas Sosial Pemda Bogor, 2006); dan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta kurang lebih berjumlah 8.000 orang (Data Dinas Sosial DKI Jakarta, 2006). Keadaan nyata di lapangan jumlah anak jalanan jauh lebih besar dari jumlah di atas. Realitanya anak jalanan yang semakin meningkat ini sungguh berbanding terbalik dengan pernyataan Menteri Sosial Salif Segaf Al Jufri mencanangkan bebas anak jalanan pada tahun 2014. Indonesia harus dituntut harus segera memperhatikan masalah perlindungan anak ini dengan serius karena melihat pengalaman di Brazil anak jalanan menjadi bagian dalam rantai jaringan narkotika. Di Philipina dan Thailand anak jalanan terancam pembunuhan dan sodomi oleh kaum paedophilia. Bukan berita baru lagi sodomi, pembunuhan dan pelacuran anak dibawah umur merupakan ancaman terhadap anak jalanan di seluruh dunia. Kasus-kasus
yang terjadi di Indonesia
juga tidak kalah
memprihatinkan jika dicermati lebih dalam kasus-kasus di Kota-Kota di Indonesia. Pada tahun 2012 di Magelang sekitar 49 anak jalanan yang tergabung dalam sebuah kelompok yang bernama “senja” atau seniman jalanan di terminal Tidar yang bekerja sebagai pengamen dan pengemis. Selain itu di terdapat 2 orang ibu-ibu yang membawa anaknya yang masih kecil untuk mencari uang dari mengemis, padahal anaknya masih berusia 2
8
bulan dan 3 tahun. Anak balita tersebut di eksploitasi untuk mencari uang dengan mengharap belas kasihan yang lebih (Ninik, 2012: 210). Sedangkan
di
Bintan
Tanjung
Pinang
(Mulyadi,
2013)
permasalahan anak jalanan yang terjerumus dalam perilaku ngelem (menghirup lem). Perilaku ngelem adalah perilaku anak yang menghirup lem plastik atau lem alat rumah tangga yang memberi efek berupa euphoria ringan, mabuk, pusing kepala dan pada jangka panjang akan berakibat buruk bagi kesehatan anak. Kasus lain adalah kekerasan seksual pada anak di Denpasar yang dilakukan oleh seorang pria yang biasa dipanggil Codet (30). Kasus ini menjadi ramai di masyarakat karena tidak hanya terjadi pada satu anak saja. Untuk saat ini pelaku sudah ditangkap dan diketahui pernah melakukan hal serupa pada tahun 2002 di wilayah Batam. Pada saat itu yang menjadi korbannya adalah anak-anak usia 5-11 tahun. Tersangka melakukan modusnya dengan cara membujuk, merayu hingga memaksa korbannya (Pulih, 2010). Di Samarinda tahun 2015 sejak Maret-Oktober telah menangani 15 kasus sodomi dan kasus kekerasan terhadap anak jalanan. Berdasarkan data KPAI, pada tahun 2015 kasus anak berhadapan dengan hukum sudah mencapai 6.000 laporan sampai April 2015 diikuti kasus kekerasan terhadap anak mencapai 6.006 kasus kekerasan, pengasuhan 3.160 kasus, pornografi 1.032 kasus dan NAPZA 1.366 kasus.
9
Ini merupakan angka yang menghawatirkan karena meningkat kurang lebih 300 persen dari tahun 2009 yang hanya teradapat 1998 kasus kekerasan. Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa permasalahan anak jalanan merupakan fenomena gunung es, yang dari tahun ke tahun terjadi peningkatan baik dalam jumlah maupun wilayah penyebarannya. Selain itu masalah anak jalanan, merupakan patologi sosial yang mempengaruhi perilaku (behavior) anak yang harus segera ditangani karena anak yang hidup di jalan adalah jiwa yang rentan menerima masalah-masalah sosial khususnya untuk Kota Yogyakarta yang menjadi daerah fokus penelitian penulis. Adapun program-program yang menyangkut anak jalanan di Kota Yogyakarta yaitu Pertama, Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) untuk anak jalanan dari Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berupa pemberian bantuan untuk anak jalanan sebesar 1 juta rupiah di bawah
Lembaga
Kesejahteraan
Sosial
Anak
(LKSA)
yang
pengambilannya dengan sepengetahuan lembaga pendamping, namun menurut penulis program ini dirasa tidak efektif karena membuat efek ketergantungan anak jalanan untuk selalu meminta, sedangkan anak masih saja turun kejalan; Kedua, Program penanggulangan gelandangan dan pengemis yang dimana anak jalanan dikategorikan sebagai gelandangan di dalam Keputusan Walikota 1040/KD/1993 tentang Pola Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, Serta Pola Penangulangan Tuna Susila namun ternyata program ini dirasa tidak tepat lagi jika digunakan untuk anak
10
jalanan yang berusia kurang dari 18 tahun yang merupakan anak-anak yang memiliki kebutuhan berbeda; Ketiga, Program Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang memiliki 26 jenis PMKS salah satunya adalah anak jalanan.; Keempat, Program peran serta masyarakat dalam penanganan anak jalanan yang dilakukan oleh Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat (IPSM) program ini dilakukan 4 kali dalam sebulan. Namun pola sapaan IPSM hanya diperempatan jalan saja, padahal anak jalanan sudah beroperasi di pasar, dikampung, dan di lesehan yang mana tidak terjangkau oleh IPSM. Tidak jauh berbeda dengan kota besar lainnya. Anak yang hidup dijalan di Kota Yogyakarta biasanya menjalani aktifitas menjadi pengamen, pedagang asongan, mengemis, dan mengelap motor-motor dan mobil yang lewat. Di Kota Yogyakarta ada beberapa tempat yang menjadi favorit anak jalanan yaitu perempatan Gondomanan, perempatan Wirobrajan,
perempatan
Jetis,
perempatan
Gramedia,
stasiun
Lempuyangan, daerah menjadi perbatasan dengan kabupaten Sleman seperti pertigaan UIN Yogyakarta (Universitas Islam Negeri Yogyakarta), perempatan pom bensin Sagan, dan perempatan Mirota Kampus. Setelah ada Peraturan Daerah (Perda) yang sering menjangkau anak jalanan mereka terlihat jarang ada di tempat-tempat tersebut. Anak jalanan sedikit sekali yang mengamen di perempatan apalagi di siang hari karena sudah mengetahui banyaknya operasi/penjangkauan dari Dinas Sosial. Menurut data yang diperoleh jumlah anak jalanan yang berkeliaran di Kota
11
Yogyakarta terus menurun dari tahun 2009 berjumlah 1.363 anak jalanan hingga tahun 2012 berjumlah 214 anak jalanan dan 2014 hanya 54 anak jalanan. Anak jalanan yang ada di Yogyakarta itu sebagian bukan merupakan penduduk asli Yogyakarta, namun menurut Kasmad selaku Ketua IPSM Kota Yogyakarta anak jalanan dibedakan menjadi dua, yakni anak jalanan dalam kota dan anak jalanan luar kota. Pada tahun 2012 terdapat 30 anak jalanan dari luar kota. Berikut beberapa cerita anak jalanan di Kota Yogyakarta yang penulis himpun. Pertama, Cerita Andriani (12 Tahun) asal Bantul yang ikut turun ke jalan sebagai pengemis sudah enam bulan karena ingin membantu orang tua dan membiayai sekolahnya sendiri. Ayahnya seorang buruh di Jakarta yang tidak tentu mengirim uang tiap bulannya. Awal turun ke jalan bersama saudara laki-lakinya, namun saat ini saudara lakilakinya telah bekerja ikut temannya; Kedua, Tidak berbeda dengan Angga (15 Tahun) yang sudah sudah 1 tahun mengamen. Ia bercerita Ayahnya seorang pengangguran dan Ibunya juga tidak bekerja. Ia turun kejalan tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya untuk mendapatkan uang jajan dan membiayai sekolahnya. Berikut keterangan wawancara dari Angga (15 Tahun): “Buat bayar sekolah, Bapak saya nganggur, Ibu saya juga nganggur”. (Wawancara, 1 Desember 2015) Ketiga, Wulansari (16 Tahun) bercerita nekat mengamen di Malioboro untuk membiayai adik-adiknya. Ia merupakan korban dari
12
keluarga broken home dimana kedua orang tuanya telah bercerai dan tidak membiayai dia dan adik-adiknya lagi. Berikut keterangan dari Wulansari (16 Tahun): “Saya dari keluarga broken home mas, Bapak-Ibu udah pisah Mas pergi, nggak ngurusin aku dan adk. Ya udah gimana lagi. Cari uang buat adik dan kehidupan sehari-hari”. (Wawancara, 2 Desember 2015) Menurut data Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang menaungi kabupaten/kota di DIY tahun 2012-2014 tentang persebaran anak jalanan. Berikut disampaikan pada tabel 1.5 yaitu: Tabel 1.5 Persebaran Anak Jalanan di Kabupaten/Kota 2012-2014 2012
%
2014
%
Kulon Progo
24
(4.83)
21
(9,55)
Bantul
107
(21.53)
58
(26,36)
Gunung Kidul
61
(12.27)
52
(23,64)
Sleman
91
(18.31)
35
(15,91)
Yogyakarta
214
(43.06)
54
(24,55)
Jumlah
497
(100)
220
(100)
Sumber: Dinas Sosial DIY
Pada tabel 1.5 bisa dilihat jumlah anak jalanan di Kota Yogyakarta pada tahu 2012 terdapat sebanyak 214 anak jalanan yang merupakan jumlah terbesar dari kabupaten/kota yang lainnya dan menurun tajam menjadi hanya 54 pada tahun 2014. Penurunan tersebut yang menjadi pertimbangan penulis untuk memilih Kota Yogyakarta sebagai daerah
13
kajian untuk di evaluasi. Apakah penurunan tersebut memang karena berjalan baiknya Peraturan Daerah No 6 tahun 2011 tentang Perlindungan Anak Yang Hidup di Jalan atau ada faktor lain yang menyebabkan turunnya jumlah anak jalanan di kota Yogyakarta. Menurut UUD 1945 Pasal 34 anak jalanan harusnya mendapat perlindungan oleh negara karena sejatinya perlindungan terhadap warga negara harus dilakukan tanpa terkecuali, termasuk perlindungan untuk anak jalanan. Apalagi Indonesia telah menjadi salah satu negara yang meratifikasi KHA yaitu “The World Convention On The Rights Of The Child 1989” yang merupakan perjanjian internasional yang juga diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Hak-Hak Anak dan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada tingkatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta Nomor 6 tahun 2011 tentang Perlindungan Anak Yang Hidup di Jalan. Pada tataran Pemerintah Daerah yaitu dengan menerbitkan Keputusan
Walikota
1040/KD/1993
tentang
Pola
Penanggulan
Gelandangan dan Pengemis, Serta Pola Penangulangan Tuna Susila. Karena
dalam
perkembangannya
anak
seharusnya
mendapatkan
kesempatan yang luas untuk tumbuh secara optimal baik fisik, mental maupun sosial dengan cara memberikan pendidikan yang layak dan perlindungan anak dengan memberikan jaminan pemenuhan hak-hak anak.
14
B. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah penulis uraikan di atas tentang banyaknya anak jalanan yang terlantar di Indonesia yang tersebar di kota-kota besar. Dimana anak-anak tersebut rentan sekali menerima kekerasan dan tugas pemerintah adalah untuk melindungi warganya dari segala ancaman. Di Kota Yogyakarta sebaran anak yang hidup dijalan dirasa cukup menghawatirkan karena berjumlah tidak sedikit yaitu 214 atau 43 persen anak jalanan di DIY pada tahun 2012. Namun pada tahun 2014 angka tersebut menurun tajam menjadi hanya 54 anak jalanan. Penurunan tersebut yang menjadi pertimbangan penulis untuk memilih Kota Yogyakarta sebagai daerah kajian untuk di evaluasi. Apakah penurunan tersebut memang karena berjalan baiknya Perda No 6 tahun 2011 tentang Perlindungan Anak Yang Hidup di Jalan atau ada faktor lain yang menyebabkan turunnya jumlah anak jalanan di Kota Yogyakarta. Dalam hal ini di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat Perda No 6 tahun 2011 tentang Perlindungan Anak Yang Hidup di Jalan. Evaluasi dari perda tersebut untuk mengetahui keluaran kebijakan (output) dan hasil (outcome) di perlukan untuk mengetahui keberhasilan program. Apalagi Perda tersebut telah berjalan 4 tahun yang telah memenuhi syarat waktu untuk dilakukan studi evaluasi. Berangkat dari hal tersebut penulis ingin melakukan evaluasi Perda ini dikarenakan penurunan jumlah anak jalanan di Kota Yogyakarta. Pada tingkatan Provinsi DIY ada Dinas Sosial
15
Provinsi DIY yang menjadi agen pelaksana dan pada tingkatan Kota Yogyakarta telah memiliki unit pelayanan yang melayani anak jalanan yakni Dinsosnakertrans Kota Yogyakarta Bidang Rehabilitasi Pelayanan Sosial. Adapun karakteristik anak jalanan yang diteliti berusia kurang dari 18 tahun yang yang kesehariannya melakukan aktifitas di jalanan. Maka dalam penelitian ini penulis mencoba untuk merumuskan penelitian ini kedalam rumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana Evaluasi Program Perlindungan Anak Yang Hidup di Jalan di Kota Yogyakarta ? C. Tujuan Penelitian Sebagaimana telah disebutkan, penelitian ini akan mengkaji lebih dalam tentang evaluasi program kebijakan perlindungan anak yang hidup di jalan di Kota Yogyakarta, maka penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui evaluasi program perlindungan anak yang hidup di jalan di Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Diharapkan informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat bermanfaat baik secara akademis maupun praktis. 1. Bagi instansi pemerintah Kota Yogyakarta, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan mengenai evaluasi perlindungan anak yang telah di jalankan.
16
2. Memberikan masukan kepada Stakeholders dan pemangku kebijakan tentang evaluasi perlindungan anak yang hidup di jalan sebagai masukan bagi daerah lain dalam menangani anak jalanan. 3. Bagi akademisi diharapkan dapat menambah wawasan, referensi dan pengetahuan terutama yang berkaitan dengan efisiensi terkait evaluasi kebijakan perlindungan anak. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat maupun peneliti lain terkait kebijakan perlindungan anak.
17