BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang hak anak seperti layaknya berbicara tentang masa depan. Anak seringkali disebut dengan kata atau ungkapan yang mengekpresikan sesuatu untuk masa yang akan datang, misalnya “anak adalah harapan”, “anak adalah investasi”, “anak adalah generasi penentu masa depan bangsa” dst. Sehingga berbicara dan mengkaji tentang ihwal anak seharusnya menjadi topik yang selalu menarik dan mendapatkan perhatian lebih. Semakin menjadi perhatian lebih dan mendalam ketika anak seringkali masih menerima perlakuan-perlakuan yang tidak seharusnya, yaitu ketika hak-haknya sebagai anak belum atau tidak terpenuhi. Lalu ketika hak-hak mereka tidak terpenuhi bahkan acap kali dilanggar, mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena sebagai bagian dari masyarakat anak-anak dipandang belum mempunyai kemampuan berdaya ataupun berpartisipasi, dianggap belum boleh mengemukakan hak suara dan tergantung pada yang lebih dewasa. Anggapan seperti ini menjadikan posisi mereka terlihat cenderung lebih inferior, tersubordinasi dan termarginalkan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang siknifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus. KPAI mencatat hingga September 2014, terdapat 1.499 kasus kekerasan anak yang terlapor. Masih tingginya angka ini pun membuat KPAI belum mencabut status darurat kekerasan anak. Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti memaparkan, 5 kasus tertinggi dengan jumlah kasus per bidang dari 2011 hingga april 2015. Pertama, anak berhadapan dengan hukum hingga april 2015 tercatat 6006 kasus. Selanjutnya, kasus pengasuhan 3160 kasus, pendidikan
1
1764 kasus, kesehatan dan napza 1366 kasus serta pornografi dan cybercrime 1032 kasus. (KPAI, 2015) Kalau kita secara serius mencoba menyusun sebuah daftar terjadinya kasus tindak pelanggaran terhadap hak anak, maka dapat dipastikan setiap hari jumlahnya akan terus bertambah. Kisah tentang anak balita yang diperkosa kakeknya sendiri, bocah yang dipukul orang tuanya, murid yang dijahili gurunya, anak yang dieksploitasi, anak yang menjadi korban penculikan dan penganiayaan, bocah bau kencur yang dijual paksa ke lelaki hidung belang, dan sebagainya adalah kisah yang sepertinya tidak pernah absen diekspos insan pers setiap harinya (Suyanto, 2013; 22). Potret dari fakta yang terjadi menunjukkan masyarakat kita belum sepenuhnya memahami pentingnya pemenuhan hak-hak anak. Terlihat betapa ternyata hak-hak anak telah terabaikan bahkan pada tempat-tempat di tengah-tengah masyarakat kita yang seharusnya mereka dilindungi dan mendapatkan pendidikan yang layak. Berbagai permasalahan tersebut, telah menyebabkan lingkungan menjadi tidak berpihak dan tidak responsif terhadap anak. Sedangkan sebaliknya, dengan lingkungan masyarakat yang responsif dan berpihak pada anak, diharapkan anak-anak bangsa dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Dari hal tersebut diharapkan generasi unggul bangsa akan lahir untuk mewujudkan negara yang adil sejahtera di kemudian hari. Perwujudannya adalah tanggung-jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah, tak terkecuali dunia akademisi dengan terus menggali, mencari, dan menemukan cara-cara efektif khususnya dalam pemecahan masalah sosial anak. Supaya anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan yang seharusnya maka diperlukan terwujudnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Setidaknya ada empat hak-hak dasar anak yang meliputi hak kelangsungan hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dari pengaruh merugikan anak, dan hak berpartisipasi (Hanum, tanpa tahun; 1). Dari hak-hak dasar tersebut, kemudian banyak
2
kalangan yang menjabarkan hak-hak anak lainnya, diantaranya hak mendapatkan asupan makanan dan gizi yang baik, hak mendapatkan pola asuh dan pendidikan yang layak, hak mendapatkan kesehatan, hak mendapatkan pengakuan secara hukum dan lain sebagainya. Pemenuhan hak anak biasanya dilakukan pertamakali dalam lingkungan keluarga, terutama keluarga inti. Keluarga inti dapat kita definisikan dengan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum dewasa atau belum kawin (Khairuddin, 2002; 19). Selajutnya berhubungan dengan keluarga inti, menurut Salim (2008; 162) “Lingkungan keluarga dikenal adanya pendidikan primer yang fundamental, yaitu kesatuan hidup tritunggal antara bapak, ibu, dan anak, yang dikenal sebagai konsep ‘nuclear family’ 1 , yang merujuk kepada kesatuan kelompok terkecil dalam masyarakat yang memiliki semua bentuk penghargaan dalam hubungan keluarga”. Keluarga disebut-sebut sebagai tempat penyadaran hubungan peran yang dilakukan melalui proses sosialisasi yang berlangsung sejak masa kanak-kanak anggotaanggotanya. Penyadaran hubungan peran tersebut merupakan keterikatan orang hidup dalam jaringan kewajiban dan hak keluarga. Ketika kesadaran hubungan peran dapat terwujud maka pada akhirnya menimbulkan kesadaran tentang kebenaran yang dikehendaki (Goode, 1985; 1). Berkaitan dengan kebenaran yang dikehendaki tentang anak, keluarga sudah seharusnya menjadi tempat anak-anak merasa terlindungi, penuh kasih sayang, dan menjadi pranata untuk mendapatkan hak-hak mereka. Sehingga anak dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik dan tumbuh berkembang dengan layak. Dalam hal ini proses sosialisasi berbagai nilai positif dalam keluarga menjadi fungsi
1
Istilah nuclear family berasal dari George Peter Murdok (social structur, 1949), yang menyatakan bahwa nuclear family will be family to the reader as the type of family recognized to the exclusion of all other by our own society.
3
keluarga yang penting untuk diperhatikan. Oleh karena itu keluarga menjadi penting dalam sosiologi yang merupakan studi tentang masyarakat. Dalam masyarakat, terdapat berbagai tingkatan golongan keluarga. Biasanya berbagai masalah menjadi lebih banyak terjadi pada golongan keluarga miskin. Diasumsikan karena keluarga miskin mempunyai keterbatasan akses pada berbagai fasilitas infrastruktur yang berpengaruh akhirnya pada aspek suprastrukturnya pula maka banyak dugaan keluarga miskin mengalami masalah dalam proses sosialisasi nilai-nilai yang seharusnya mereka laksanakan, tak terkecuali yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak anak. Sehingga seringkali muncul banyak masalah-masalah pada anak dalam keluarga miskin karena tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam pemenuhan hak-hak anak. Masalah-masalah pada anak tak terkecuali terjadi pada salah satu daerah di Kota Yogyakarta, di salah satu kawasan yang cukup menjadi sorotan yaitu Kampung Badran. Kampung Badran sering menjadi bahan perbincangan karena merupakan kampung yang mempunyai sejarah kelam sebagai “kampung preman” di Kota Yogyakarta. Meskipun saat ini predikatnya sebagai kampung preman mulai terkikis, namun dampak predikat tersebut masih dirasakan warganya, termasuk anak-anak Kampung Badran. Anak-anak Badran perlu mendapat perhatian khusus karena dugaandugaan dari dampak negatif tersebut. Keluarga pendahulu anak-anak Kampung Badran yang bisa jadi adalah kakek, nenek, orang tua atau anggota keluarga lainnya merupakan para pelaku tindakan menyimpang saat dahulu Badran berjaya sebagai kampung preman. Tindakan menyimpang tersebut berkaitan terutama masalah premanisme dan prostitusi (Effendi, 1983). Sehingga patut diduga mereka dapat melahirkan, menurunkan atau setidaknya memberi pengaruh negatif kepada para anak keturunannya. Beberapa masalah yang
4
masih ada di Kampung Badran diantaranya adalah putus sekolah, hamil di luar nikah, pengidap HIV Aids, narkoba dan miras. Masalah-masalah tersebut terjadi pada warga Badran termasuk pada anak-anaknya. Meskipun tidak semua masalah terjadi pada anak namun jika lingkungan keluarga atau masyarakat dari anak tersebut masih terjadi dan rawan masalah-masalah tersebut maka potensial menjadi pengaruh negatif pada pertumbuhan dan perkembangan anak-anak di Badran. Dalam menelaah pemenuhan hak-hak anak, secara sosiologis Kampung Badran memiliki kondisi yang menarik untuk menjadi kajian. Wilayah Kampung Badran yang berada di dekat bantaran Sungai Winongo mempunyai kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Kepadatan penduduk yang tinggi berimpliksi pada beberapa aspek, seperti kesehatan, tata bangunan, dan relasi sosial masyarakatnya. Kemudian secara ekonomi, kategori penghasilan masyarakatnya tergolong menengah ke bawah dengan rata-rata tingkat pendidikan yang masih rendah. Aspek-aspek tersebut menjadikan Kampung Badran masih tergolong sebagai daerah miskin sehingga masyarakatnya rentan dengan masalah kemiskinan. Seperti masyarakat miskin pada umumnya masyarakat Kampung Badran terindikasi lemah dalam kemampuan berusaha dan mempunyai akses terbatas terhadap kegiatan sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Kondisi kampung Badran yang merupakan kampung yang dahulu identik dengan kekerasan dan masyarakatnya yang rentan masalah kemiskinan menjadikan keluarga-keluarga dalam kampung tersebut memiliki kemungkinan besar kurang mampu untuk dapat memenuhi hak-hak anak. B. Rumusan Masalah Latar belakang masalah yang telah tertulis dalam penelitian ini mengungkapkan permasalahan kaitan hak anak yang mengerucut pada kondisi hak-hak anak keluarga miskin di Kampung Badran. Untuk mendapatkan gambaran mendalam,
5
maka penelitian ini memilih lima keluarga miskin (yang dimaksud adalah keluarga inti) pada salah satu daerah kantong kemiskinan kota di Kota Yogyakarta tesebut. Sedangkan posisi penelitian ini berupaya untuk memaparkan dan memahami realitas hak-hak anak dalam lima keluarga tersebut serta proses keluarga tersebut dalam memenuhi hak-hak anak. Oleh sebab itu dirumuskan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pemenuhan hak-hak anak dalam lima keluarga miskin pada masyarakat Kampung Badran dan proses yang dilakukan dalam memenuhi hak-hak anak tersebut? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pemenuhan hak-hak anak dalam lima keluarga miskin pada Kampung Badran dan proses yang dilakukan dalam memenuhi hak anak tersebut. Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai usaha untuk melihat peran lima keluarga miskin dalam pemenuhan hak-hak anak, memberikan saran dan sumbangan pemikiran kepada pihak terkait dalam mewujudkan masyarakat yang sadar akan pemenuhan hak-hak anak, serta menjadi bahan masukan untuk penelitian sejenis. D. Penelitian Terdahulu Masalah sosial anak telah menjadi tema penelitian yang diharapkan bermanfaat untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan responsif terhadap pemecahan masalah anak. Dalam hal ini termasuk penelitian mengenai peran serta keluarga yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Keluarga yang umumnya merupakan institusi paling dekat dengan anak menjadi sangat penting dalam kajian pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Beberapa penelitian terdahulu yang berkenaan dengan hal tersebut tersaji di bawah ini.
6
Pertama, penelitian tentang pelanggaran hak anak berkaitan dengan child abuse (kekerasan pada anak) dalam keluarga. Penelitian Mustain (1997) di Surabaya tentang tindak kekerasan dalam keluarga, membuktikan masih banyak praktik kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dikemukakan Mustain bahwa yang paling sering menjadi sasaran kemarahan dan kejengkelan orang tua (baca: ayah) ialah anakanak. Jika sang ayah sedang marah tidak jarang anak ditendang dan ditempeleng. Selain temuan Mustain, studi yang dilakukan Heddy Shri Ahimsa-Putra dkk (1999) mensinyalir pengaruh aspek budaya terhadap kecendrungan terjadinya tindak kekerasan yang dialami anak-anak. Orang dewasa secara sadar atau tidak menciptakan ketidakseimbangan kultural dalam hubungan mereka dengan anak yang sifatnya menguntungkan orang dewasa. Dengan demikian anak menjadi dalam posisi yang lebih lemah dan rawan mendapatkan tindak kekerasan dari orang dewasa (Suyatno, 2013; 3132). Jika pada penelitan Mustain (1997) dan penelitian Heddy Shri Ahimsa-Putra dkk(1999) tentang permasalahan anak tersebut bertema khusus membahas tentang kekerasan pada anak dalam keluarga, maka berbeda dengan penelitian ini yang tidak sekedar membahas permasalahan kekerasan pada anak semata. Penelitian ini akan membahas masalah-masalah anak lainnya yang berkaitan dengan hak-hak mereka dalam keluarga, sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang tidak sepotong-potong tentang apa saja yang sebenarnya dialami oleh anak-anak tersebut dalam keluarga. Studi lainnya dari White dan Tjandraningsih (1998) mengenai pekerja anak di Indonesia, menyimpulkan sejumlah hal kontradiktif yang menjadi dilema anak-anak di Indonesia, khususnya anak-anak yang dilahirkan dalam tekanan kemiskinan. Dalam kaitan pemenuhan hak anak oleh keluarga, hal kontrakdiktif yang dimaksud bahwa khususnya pada anak perempuan, tekanan dari orang tua agar tetap tinggal di rumah untuk melakukan pekerjaan domestik dan tidak perlu sekolah atau memasuki pasar tenaga kerja, menimbulkan persoalan khusus yang seringkali justru mendorong lahirnya
7
keputusan yang diambil oleh anak perempuan itu sendiri untuk masuk ke pasar tenaga kerja (Suyatno, 2013; 128). Dalam temuan ini terkuak bahwa keluarga belum dapat memenuhi hak-hak anak dalam kebutuhan ekonomi dan pendidikannya termasuk juga dengan pola asuh yang tidak memihak pada pemenuhan kedua hal tersebut sehingga anak yang seharusnya belum cukup matang untuk bekerja memilih memasuki dunia kerja. Pada penelitian White dan Tjandraningsih(1998) tersebut sama dengan penelitian ini yang membahas tentang permasalahan hak anak pada keluarga miskin, namun perbedaannya pada penelitian ini tidak sekedar membahas masalah anak kaitan ekonomi dan pendidikannya saja, penelitian ini membahas hal-hal lain yang terjadi pada anakanak keluarga miskin dengan maksud agar dapat menangkap permasalahan anak keluarga miskin tersebut dengan lebih menyeluruh. Penelitian lain oleh Seira Valentina (2009) mengenai Peranan Orang Tua dalam Mengembangkan Religiusitas Anak (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Peranan Orang Tua dalam Mengembangkan Perilaku Religi Anak di Lingkungan Masyarakat oleh Masyarakat Desa Bangunsari, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur). Dalam penelitian ini menelaah tentang peran orang tua dalam hal pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pengasuhan yang baik dalam hal pendidikan agama. Hasil penelitiannya menunjukkan peran orang tua belum sepenuhnya terlaksana dengan baik, sebab masih banyak orang tua yang memberikan perannya pada lembaga lain, sebab hal ini dilakukan karena beberapa pertimbangan sebab banyak orang tua yang waktunya tidak sepenuhnya bisa mengawasi anak mereka karena sibuk mencari nafkah. Tetapi ada orang tua yang mengajarkan sendiri pendidikan agama terhadap anak mereka, karena ada orang tua yang ingin berperan langsung dalam membentuk peran beragama pada anak. Tetapi berdasarkan hasil penelitian ini entah secara langsung atau tidak orang tua mempunyai peran yang sangat besar, dalam membentuk karakter serta nilai-nilai kepribadian pada anak. Sebab baik tidaknya anak dalam masyarakat tergantung pada pola didik yang diberikan orang tua. Sehingga masyarakat
8
menilai orang tua merupakan cerminan dari anak, jika orang tua mendidiknya dengan baik anak akan menjadi baik begitu pula sebaliknya. Penelitian Seira Valentina (2009) meneliti khusus pada masalah pendidikan religi anak dalam keluarga, jadi berbeda dengan penelitian mengenai hak anak pada keluarga miskin ini bahwa yang menjadi kajian penelitian tidak saja hanya masalah pendidikan religi atau pendidikan agama dalam keluarga, namun terdapat hal-hal lain yang lebih lengkap yang berkaitan dengan kondisi hak-hak anak dalam keluarga. Penelitian selanjutnya dari Lingga Sudiro (2012) tentang Pemulung AnakAnak Yang Masih Sekolah ( Studi: Fungsi Keluarga Pada Keluarga Pemulung Anakanak Di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Ganet Tanjungpinang ). Berdasarkan penelitian
yang
dilakukan,
dapat
diketahui
bahwa
selain
karena masalah
kemiskinan, yang menjadi alasan anak-anak bekerja sebagai pemulung adalah karena untuk mendapatkan uang tambahan, memanfaatkan waktu, serta pengaruh dari orang tua yang juga bekerja sebagai pemulung. Selain itu, keterlibatan anakanak bekerja sebagai pemulung juga disebabkan oleh fungsi keluarga yang tidak terlaksana secara maksimal. Fungsi keluarga yang dimaksud adalah fungsi penyaluran dorongan seksual, fungsi perlindungan, fungsi pengembangan keturunan, fungsi sosialisasi, fungsi memberikan status kepada anak, fungsi afeksi, dan fungsi ekonomi. Harus ada tindakan yang nyata yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk meminimalisir banyakanya anak-anak yang bekerja, misal dengan memberikan bantuan pendidikan dan kebutuhan hidup yang mencukupi. Selain itu, perlu juga adanya bimbingan psikologis kepada anak agar tidak tertekan atas kehidupan yang mereka jalani. Orang tua juga memiliki peran penting yaitu memberikan perlindungan dan memenuhi hak-hak anak sehingga anak-anak dapat tumbuh sesuai kebutuhan mereka. Penelitian Lingga Sudiro (2012) di atas berfokus pada masalah pekerja anak yang berarti ada pelanggaran hak anak dalam hal eksploitasi bidang ekonomi, sedangkan dalam penelitian hak anak dalam keluarga miskin kota ini masalah
9
eksploitasi ekonomi pada anak yang merupakan bagian dari pelanggaran hak anak untuk mendapat perlindungan dari perlakuan yang salah hanya akan menjadi salah satu bahasan disamping permasalahan berkaitan anak lainnya. Dengan meneliti tidak hanya pada bagian tertentu dari hak anak yang ada tetapi pada seluruh hak anak yang utamanya seharusnya menjadi kewajiban keluarga untuk mewujudkannya, diharapkan akan mendapatkan jawaban yang lebih komprehensif dalam melihat dan menganalisa persoalan tentang anak, terutama dalam lingkup lingkungan keluarga tempat mereka pertamakali mendapatkan kasih sayang, bimbingan, dan perlindungan. Beberapa penelitian terdahulu di atas menunjukkan masih adanya pelanggaran-pelangaran terhadap hak-hak anak dalam keluarga. Dalam penelitian ini disamping berusaha memperdalam permasalahan dengan tema yang sama, namun juga mengkaji dengan lebih menyeluruh dari hak-hak anak yang ada. Dengan demikian diharapkan pemahaman serta temuan hasil penelitian dapat bersifat lebih holistik dalam rangka ikut andil dalam penyelesaian masalah hak-hak anak terutama pada keluarga miskin kota. E. Kerangka Teori a. Pemilihan Perspektif dalam Sosiologi Dalam literatur sosiologi terdapat berbagai macam pendekatan atau perspektif untuk mengurai berbagai peristiwa sosial dalam masyarakat. Tidaklah mudah mencari pendekatan yang paling bermanfaat untuk kontribusi ilmu ini dalam pemecahan masalah-masalah sosial yang termaktub dalam peristiwa atau fenomena sosial yang ada termasuk dalam memandang persoalan anak khususnya pemenuhan hak-hak anak. Dalam faktanya sudah seringkali dalam penelitian sejenis ditemukan pendekatan yang bersifat makro sebagai usaha mencari dan mendapatkan pemecahan terbaik dalam masalah sosial anak. Namun alhasil sampai saat ini permasalahan seputar anak masih kerap terjadi dan makin memprihatinkan. Oleh sebab itu peneliti memilih sudut
10
pandang berbeda dengan menggunakan pendekatan sebaliknya, yaitu pendekatan bersifat mikro. Dari pertanyaan penelitian maka penelitian ini menggunakan perspektif interaksi simbolik sebagai sudut pandang dalam kerangka teori. Perspektif interaksi simbolik memiliki karakteristik tersendiri dalam melihat fenomena sosial yang ada. Pendekatan ini menekankan pada sikap dan tindakan orang, baik dalam kedudukannya sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok atau organisasi, komunitas atau masyarakat. Asumsi dasar pendekatan ini adalah setiap orang adalah aktor sosial yang dapat berbuat atau melakukan tindakan pada dirinya sendiri (self) sekaligus dapat berbuat atau melakukan tindakan terhadap orang lain. (Usman, tanpa tahun; 5) Peneliti menelaah terdapat beberapa hal lain yang perlu diperhatikan sebagai landasan dalam melihat perspektif interaksi simbolik. Pertama, akar sejarah perspektif ini tidak dapat dilepaskan dari dua tokoh teori klasik Max Weber dan George Simmel. Max Weber dikatakan memiliki pengaruh cukup kuat pada perspektif ini melalui metode verstehen-nya (Ritzer & Goodman, 2004; 126-128) yang merupakan awal terbentuknya sosiologi interpretatif. Selain itu, teori Weber tentang tindakan, yang menekankan interpretasi individu tentang situasi dan pentingnya makna subyektif, sangat berpengaruh dalam awal mula perkembangan perspektif ini. Sementara itu, kontribusi Simmel bagi perspektif ini nampak dari ide dasarnya tentang masyarakat yang ia pandang sebagai suatu sistem interaksi, yang menempatkan individu sebagai bagian terpenting dari sistem sosial, dimana pada level individu inilah proses interaksi terjadi dan kemudian menggema hingga membentuk masyarakat (Arifin, 2007; 249). Kemudian hal lainnya adalah pentingnya ide-ide dasar dari filsafat pragmatisme yang menjadi buah fikir George Herbert Mead yang merupakan salah satu tokoh penting dan sering diasosiasikan dengan perspektif ini. Dari filsafat pragmatisme
11
ini, perspektif interaksi simbolik bermuara pada penempatan interpretasi sebagai poin penting dalam memahami perilaku manusia (Arifin, 2007; 248). Akhirnya disimpulkan bahwa interaksionisme simbolik sebagai sebuah perspektif melalui empat ide dasar. Pertama, lebih memfokuskan diri pada interaksi sosial, dimana aktivitas-aktivitas sosial secara dinamik terjadi antar individu. Dengan memfokuskan diri pada interaksi sebagai unit studi, perspektif ini telah menciptakan gambaran yang lebih aktif tentang manusia dan menolak gambaran manusia yang pasif sebagai organisme yang terdeterminasi. Hal ini mengisyaratkan bahwa perspektif ini menempatkan dirinya pada posisi pendukung utama dominasi agensi dalam problem agensi-struktur. Kedua, tindakan manusia tidak hanya disebabkan oleh interaksi sosial, akan tetapi juga dipengaruhi oleh interaksi yang terjadi dalam diri individu. Ketiga, fokus dari penelitian ini adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan pada waktu sekarang, bukan pada masa yang telah lampau. Keempat, manusia dipandang lebih sulit diprediksi dan bersikap lebih aktif, maksudnya, manusia cenderung untuk mengarahkan dirinya sendiri sesuai dengan pilihan yang mereka perbuat (Arifin, 2007; 253). b. Aspek-Aspek Dasar Perspektif Interaksi Simbolik Terdapat beberapa aspek atau dapat disebut sebagai istilah kunci dalam perspektif interaksi simbolik yang dapat dipakai untuk menggambarkan lebih jauh bagaimana perpektif ini bekerja. Beberapa aspek tersebut berkenaan tentang makna simbol, diri (self), interaksi sosial, sosialisasi, dan masyarakat. Berikut akan dijelaskan satu per satu dari aspek tersebut : a) Makna Simbol Urgensi simbol mempengaruhi seluruh konsep dasar dan cara kerja perspektif ini. Para tokohnya termasuk Blumer mendefinisikan simbol sebagai obyek sosial yang digunakan untuk merepresentasikan apapun yang disepakati untuk direpresentasikan (Charon, 1995; 40). Menurut Blumer, definisi tentang simbol membawa tiga premis dasar dalam
12
perspektif interaksi simbolik, yaitu (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimiliki oleh sesuatu tersebut bagi mereka; (2) makna dari sesuatu tersebut muncul dari interaksi sosial seseorang dengan yang lainnya; dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui sebuah proses interpretasi pada saat seseorang berhubungan dengan sesuatu tersebut. Dari ketiga premis tersebut, bisa disimpulkan bahwa kedudukan makna simbol sangatlah urgen, sebab ia menjadi dasar bagi manusia untuk melakukan suatu tindakan. (Arifin, 2007; 251). b) Diri (self) Dalam perspektif ini “self” didefinisikan sebagai suatu objek sosial dimana aktor bertindak terhadap lingkungan yang berada di luar dirinya, namun terkadang ia juga melakukan tindakan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Dengan menjadikan “diri” sebagai obyek sosial, seseorang mulai melihat dirinya sendiri sebagai obyek yang terpisah yang terpisah dari obyek sosial lain, ia ditunjuk dan didefinisikan secara berbeda oleh orang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa “diri” akan selalu didefinisikan dan didefinisikan kembali dalam interaksi sosial sesuai dengan situasi yang dihadapi (Berger, 1963; 106). Dengan demikian, persoalan tentang penilaian dan identitas diri juga sangat terkait dengan situasi bagaimana seseorang harus mendefinisikan dan mengkategorikan dirinya. (Arifin, 2007; 251). Sekali lagi, objek muncul dalam proses sosial. Mekanisme umum diri adalah kemampuan orang menempatkan dirinya pada posisi orang lain, bertindak sebagaimana yang dilakukan orang lain dan melihat dirinya sendiri sebagaimana orang lain melihatnya. Mead melacak asal usul diri melalui tahap bermain dan pengalaman bermain masa kanak-kanak. Yang khususnya penting pada tahap permainan adalah munculnya orang lain pada umumnya. Kemampuan melihat diri seseorang dari sudut pandang komunitas adalah sesuatu yang essensial bagi munculnya diri dan aktivitas kelompok yang terorganisasi. Diri juga mengalami dua fase – “I”, yang merupakan aspek tak terkirakan dan aspek kreatif diri, dan “me”, yang merupakan serangkaian
13
sikap terorganisasi dari orang lain yang diasumsikan oleh aktor. Kontrol sosial terwujud lewat “me”, sementara itu “I” merupakan sumber inovasi dalam masyarakat. (Ritzer, 2004; 415-416). Berkaitan dengan kedirian (self) atau pembentukan kepribadian, disebutkan bahwa mempersamakan diri sendiri dengan orang lain merupakan salah satu mekanisme penting di dalam perkembangan yang terus-menerus dari tingkah laku manusia. Cooley mengemukakan bahwa kedirian (self) yang obyektif banyak diperoleh dari orang lain. Freud mengingatkan pada suatu kenyataan bahwa kedirian itu boleh dikatakan sebagai hasil konflik yang terus menerus dialami seseorang dengan lingkungan sosialnya. Dan Mead mengemukakan bahwa kedirian itu memiliki suatu aspek yang kreatif dan spontan. Kepribadian menunjukkan pada apa yang menonjol pada diri seseorang. Suatu ciri kepribadian merupakan salah satu aspek atau fase dari suatu kepribadian yang menyeluruh. Kepribadian itu terbentuk, dipertahankan dan mengalami perubahan sewaktu proses sosialisasi berlangsung. (Bertrand, 1980; 93-94). c) Interaksi Sosial Menurut Blumer, perspektif interaksi simbolik dalam mendefinisikan interaksi sosial berkenaan dengan tiga hal, yaitu tindakan sosial bersama, bersifat simbolik, dan melibatkan pengambilan peran (Charon, 1995; 146-150). Dalam interaksi sosial individu belajar tentang orang lain dan berharap sesuatu dari orang tersebut melalui pengambilan peran atau memahami situasi perspektif orang lain untuk selanjutnya memahami diri, apa yang ia lakukan, dan harapkan. Oleh karena itu, interpretasi menjadi aspek dominan dalam menentukan tindakan manusia. Setelah manusia menerima respon maka ia akan melakukan proses interpretasi terlebih dahulu sebelum menentukan tindakan apa yang harus diambil. (Arifin, 2007; 252). d) Sosialisasi Bagi
perspektif interaksi
memungkinkan
orang
simbolik,
sosialisasi adalah
mengembangkan
kemampuan
proses
berpikir,
dinamis yang tumbuh
secara
14
manusiawi. Lebih jauh lagi, sosialisasi tidak sekedar proses satu arah dimana aktor hanya menerima informasi, namun satu proses dinamis dimana aktor membangun dan memanfaatkan informasi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (Manis dan Meltzer, 1978: 6). (Ritzer, 2004; 393-394) Lebih jauh dijabarkan dalam ensiklopedia Sosiologi, perspektif interaksi simbolik memandang sosialisasi sebagai pembentukan konsep diri.Dalam tulisan Mead, diri adalah refleksi, melalui fenomena sosial yang berkembang melalui bahasa atau interaksi simbolik. Bahasa memampukan perkembangan alih-peran, dimana individu dapat melihat dirinya sendiri dari perspektif orang lain. Hal ini menjadi dasar selfhood (lingkungan sendiri) dan interpenetrasi atas diri dan masyarakat. Mead dan pelaku interaksi simbolik lainnya mengemukakan bahwa diri dan masyarakat adalah dua sisi dalam satu koin. Dasar untuk penegasan mereka adalah isi dari konsep diri (contohnya, identitas) yang merefleksikan aspek proses sosial yang individu terlibat di dalamnya melalui pendalaman identitas, nilai, dan makna peran. Pada gilirannya, pendalaman ini menghasilkan masyarakat. Dari perspektif pelaku interaksi, baik diri maupun masyarakat bergantung pada proses yang sama dari interaksi sosial dimana “realita” diciptakan dan dinegosiasikan secara konstan (Gecas 1982). Sosialisasi bukan hanya proses mempelajari peran atau norma atau pola tingkah laku namun sosialisasi merupakan perihal tentang mempelajari hal-hal tersebut hanya pada tingkat hal tersebut menjadi bagian dari cara orang berpikir tentang diri mereka sendiri. Tanda dari sosialisasi yang sukses adalah perubahan kontrol sosial menjadi kontrol-diri. Hal ini kebanyakan dicapai melalui perkembangan identitas, beragam label dan karakteristik yang ditambahkan pada diri. Komitmen pada identitas merupakan sumber motivasi bagi individu untuk bertindak sesuai dengan nilai dan norma yang tersirat pada identitas-identitas tersebut (Foote 1951; Stryker 1980; Gecas 1986). Fokus pada
15
identitas juga menekankan pada komponen keanggotaan sosialisasi: tersosialisasi berarti termasuk dalam kelompok sosial. Sosialisasi sebagai pembentukan identitas terjadi melalui sejumlah proses yang lebih spesifik terkait dengan perkembangan konsep-diri: penilaian terefleksi, perbandingan sosial, atribusi-diri, dan indentifikasi (Gecas dan Burke (1995) dan Rosenberg (1979) mendiskusikan proses ini). Penilaian terefleksi, berdasarkan metaphor “looking-glass self” (“diri-berkaca”) milik Cooley (1902), merujuk pada persepsi orang tentang bagaimana orang lain melihat dan mengevaluasi orang tersebut. Untuk tingkat tertentu, orang melihat diri mereka sendiri sebagaimana mereka fikir orang lain (khususnya orang yang penting) melihat diri mereka. Orang juga mengembangkan konsepsi diri mereka dengan memperhatikan atribut tertentu dengan membandingkan diri mereka dengan orang lain (perbandingan sosial) dan menarik kesimpulan diri dari mengamati tindakan serta konsekuensi mereka sendiri (atribusi-diri). Yang secara khusus penting bagi sosialiasi sebagai pembentukan identitas adalah proses identifikasi. Sebagaimana mulanya digunakan oleh Sigmund Freud, konsep ini merujuk pada kasih sayang emosional anak pada orang tua dan keinginan untuk menjadi seperti orang tua; sebagai konsekuensinya, si anak mendalami dan mengadopsi nilai-nilai, kepercayaan, dan karakteristik lain dari sang orang tua. Selain itu, melalui identifikasi dengan orang tua, anak menjadi lebih mudah menerima pengaruh orang tua.Identifikasi juga digunakan untuk mengacu pada penuduhan identitas. Disini fokusnya adalah pembangunan identitas dalam interaksi sosial, yang merupakan aspek penting dalam mendefinisikan situasi dan membangun realita. (Encyclopedia of Sosiology; 2856) e) Masyarakat Menurut Blumer masyarakat terbentuk dari aktor-aktor sosial yang saling berinteraksi dan dari tindakan mereka dalam hubungannya dengan yang lain (Blumer, 1969; 540). Jadi jelas, bahwa masyarakat merupakan individu-individu yang saling berinteraksi,
16
saling menyesuaikan tindakan satu dengan lainnya selama berinteraksi, serta secara simbolik saling mengkomunikasikan dan menginterpretasikan tindakan masing-masing, oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa masyarakat merupakan produk dari individu yang dipandang sebagai aktor yang bersifat aktif dan selalu berproses. (Arifin, 2007; 252253). c. Teori Keluarga: Interaksi Simbolik Teori interaksi simbolik merupakan salah satu teori keluarga yang terkait dengan ilmu psikologi dan komunikasi. Menurut kerangka psikologi sosial, terdapat dua hal yang sangat penting
dalam keluarga, yaitu sosialisasi dan personalitas.
Sosialisasi menitik beratkan pada bagaimana cara manusia menerima sesuatu, kemudian menerapkan perilaku menurut pola dan cara berfikir serta perasaan masyarakat. Sedangkan personalitas menitikberatkan pada sikap, nilai, dan perilaku yang telah dioranganisir. Teori ini terfokus pada hubungan antara simbol (pemberian makna) dan interaksi (aksi verbal, non verbal, dan komunikasi). Interaksi simbolik mengindikasikan suatu pendekatan yang mempelajari kehidupan grup dan perilaku individu sebagai makhluk hidup. Interaksi simbolik memberikan sumbangan khusus kepada family studies dalam dua hal. Pertama, menekankan proposisi bahwa keluarga adalah social groups. Kedua, menegaskan bahwa individu mengembangkan konsep jati diri (self) dan identitas mereka melalui interaksi sosial, serta memungkinkan mereka untuk secara independen menilai dan memberikan value kepada keluarganya (Puspitasari 2013: Burgess 1926; Handel 1985 dalam LaRossa dan Reitzes 1993). Menurut R. Diniarti F. Soe’oed dalam T.O. Ihromi (1999:30), interaksi sosial merupakan syarat penting untuk berlangsungnya proses sosialisasi, karena tanpa interaksi sosial sosialisasi tidak mungkin berlangsung. Menurut Vander Zanden, sosialisasi adalah proses interaksi sosial melalui mana kita mengenal cara-cara berpikir, berperasaan dan berperilaku, sehingga dapat
17
berperan serta secara efektif dalam masyarakat (J. W Zanden, 1975;75). Sebangun dengan Zanden, Alvin Bertrand (1980; 69) berpendapat, proses sosialisasilah yang membuat seseorang menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya. Proses sosialisasi itu membawa seseorang dari keadaan tak atau belum tersosialisir menjadi manusia masyarakat dan beradab. Melalui sosialisai itu, seseorang secara berangsur-angsur mengenal persyaratan-persyaratan dan tuntutan-tuntutan hidup di lingkungan budayanya. Dari proses tersebut, seseorang akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Sosialisasi dapat dibedakan antara sosialisasi primer dan sekunder. Sosialisasi dalam keluarga merupakan sosialisasi primer, dimana keluargalah yang berperan sebagai agen sosialisasi. Sosialisasi primer dikaitkan dengan pembentukkan dasar atau awal kepribadian, dan dalam diri anak, proses ini dimulai dengan mengakumulasikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi anggota masyarakat tertentu. Proses ini melibatkan berbagai aktifitas—seperti: bermain, meniru, mengamati—dan dalam interaksi dengan aktor penting sosialisasi; orang yang berpengaruh adalah orang tua, teman sebaya dan saudara kandung (John Scott, 2011; 259). Dalam keluarga orang tua, dalam hal ini bapak dan ibu, dalam kesatuan keluarga dengan anak-anaknya merupakan ‘sumber nilai’. Karena orang tua merupakan ‘patron’ kehidupan bagi anak-anaknya, orang tua menjadi manusia sumber dari semua harapan yang akan ditumpahkan bagi anak-anaknya (Agus Salim, 2008; 163). Selanjutnya adalah bahasan tentang “nilai”. Nilai (values) dapat diartikan sebagai kualitas atau belief yang diinginkan atau dianggap penting (Berns, 2004). Menurut Oyserman (2001), nilai dapat dikonseptualkan dalam level individu dan level kelompok. Dalam level individu, nilai merupakan representasi sosial atau keyakinan moral yang diinternalisasi dan digunakan orang sebagai dasar rasional terakhir dari tindakan-tindakannya.
Walaupun
setiap
individu
berbeda
dan
relatif
dalam
menempatkan nilai tertentu sebagai hal yang terpenting, nilai tetap bermakna bagi
18
pengaturan diri terhadap dorongan-dorongan yang mungkin bertentangan dengan kebutuhan kelompok tempat individu berada. Dengan demikian nilai sangat berkaitan dengan kehidupan sosial. Dalam level kelompok, nilai adalah script atau ideal budaya yang berpegang secara umum oleh anggota kelompok, atau dapat dikatakan sebagai pikiran sosial kelompok. Rokeach (1973) menganggap nilai sebagai daya yang dapat menggerakkan perilaku, sehingga nilai menjadi instrumen untuk menjelaskan perilaku individu. Nilai didefinisikan sebagai konsepsi yang diinginkan yang memandu cara individu dalam menyeleksi tindakan, mengevaluasi orang dan peristiwa, dan menjelaskan tindakan maupun melakukan evaluasi (Schwartz, 1999, Lestari, 2012; 7173). Rokeach (disitasi Berling, Krebsbach, & Kurka, 1997) menyatakan bahwa nilai dipelajari melalui proses sosialisasi, dan setiap orang dalam memegang nilai individualnya dipengaruhi oleh perkembangan kepribadian, pengalaman hidup, serta konteks sosial budaya. Dijelaskan bahwa sosialisasi merupakan proses pengajaran nilai dan norma secara sengaja. Selaras dengan penjelasan tersebut, pada dasarnya sosialisasi mencakup transmisi nilai, sikap, peran, dan produk-produk budaya lain dari generasi tua ke generasi yang lebih muda dan orang tua menjadi pemeran utama dalam proses tersebut (Kuczynski, Marshall dan Schell (1997). Melalui sosialisasi tersebut, kaum muda diharapkan dapat memegang teguh nilai-nilai yang secara kultural dianggap penting (Lestari, 2012; 80-81). Terkait dengan keluarga, sosialisasi dapat didefinisikan sebagai proses yang diinisiasi oleh orang dewasa untuk mengembangkan anak melalui insight, pelatihan, dan imitasi, guna mempelajari kebiasaan dan nilai-nilai yang kongruen dalam beradaptasi dengan budaya (Baumrind, 1980). Melalui sosialisasi, anak diharapkan memiliki kebiasaan yang adaptif dan nilai-nilai yang relevan dengan budaya setempat.
19
d. Teori Pola Pengasuhan Anak Berkaitan dengan sosialisasi, dalam penelitian ini peneliti menggunakan kategori bentuk atau pola sosialisasi dalam keluarga yang dikembangkan oleh Elizabeth B. Hurlock karena dapat turut serta menjelaskan kondisi hak-hak dalam keluarga obyek penelitian. Elizabeth B. Hurlock (1972: 344-440) memperkenalkan tiga sosialisasi, yang merupakan pola asuh yang digunakan orang tua sebagai berikut: 1. Otoriter Dalam pola asuhan otoriter ini orang tua memiliki kaidah-kaidah dan peraturanperaturan yang kaku dalam mengasuh anaknya. Setiap pelanggaran dikenakan hukuman. Sedikit sekali atau tidak pernah ada pujian atau tanda-tanda yang membenarkan tingkah laku anak apabila mereka melaksanakan aturan tersebut. Tingkah laku anak dikekang secara kaku dan tidak ada kebebasan berbuat kecuali perbuatan yang sudah ditetapkan oleh peraturan. Orang tua tidak mendorong anak untuk mengambil keputusan sendiri atas perbuatannya, tetapi menentukan bagaimana harus berbuat. Dengan demikian anak tidak memperoleh kesempatan untuk mengendalikan perbuatan-perbuatannya. 2. Demokratis Orang tua menggunakan diskusi, penjelasan dan alasan-alasan yang membantu anak agar mengerti mengapa ia diminta untuk mematuhi suatu aturan. Orang tua menekankan aspek pendidikan ketimbang aspek hukuman. Hukuman tidak pernah kasar dan hanya diberikan apabila anak dengan sengaja menolak perbuatan yang harus ia lakukan. Apabila perbuatan anak sesuai dengan apa yang patut ia lakukan, orang tua memberikan pujian. Orang tua yang demokratis adalah orang tua yang berusaha menumbuhkan kontrol dari dalam diri anak sendiri. 3. Permisif Orang tua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak, dan tidak pernah memberikan hukuman kepada anak. pola ini ditandai oleh sikap orang tua yang
20
membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberikan batasanbatasan dari tingkah lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orang tua bertindak. Pada pola ini pengawasan menjadi sangat longgar. (Soe’oed, 1999; 51-52) e. Teori Peran Keluarga Tokoh interaksi simbolik George Herbert Mead menyatakan individu merupakan hasil dari masyarakat. Masyarakat menghasilkan individu (self) melalui proses sosialisasi. Sosialiasi erat kaitannya dengan teori tentang peran. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Dalam tradisi interaksionis simbolis, jenis teori peran ini menyatakan bagaimana dampak tindakan individu yang saling terkait terhadap masyarakat, serta bagaimana suatu sudut pandang teori peran dapat diuji secara empiris. Teori peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa yang di tetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini masyarakat yang dibarengi dengan yang namanya pemahaman tentang peran-peran secara otomatis akan lebih paham dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, karena segala sesuatu yang diajarkan dengan peran adalah salah satu aspek utama dalam mencapai kepuasan tersendiri bagi individu untuk menjalankan sebuah fungsi. Hal ini dikaitkan dengan bagaimana seorang individu atau masyarakat memahami apa yang dilakukan oleh agen sosialisasi. Oleh karena itu diperlukan peran yang aktif dalam proses pensosialisasian atas individu atau masyarakat agar tercapai keinginan yang disepakati. f.
Konteks Budaya Obyek Penelitian Menurut Geertz (1961: 153) “Dalam masyarakat manapun keluarga adalah
jembatan antara individu dan budayanya. Kelompok keluarga terdekat dan jaring-jaring
21
kekeluargaan yang lebih luas bagi masing-masing pribadi tersebut memberikan corak dasar bagi hubungan sosial dengan seisi dunia. Terutama pengalaman masa kanakkanaknya diberi bentuk fundamental oleh bangunan kelembagaan di dalam keluarga, dan dengan melalui pengalaman itulah dia memperoleh pengertian, perlengkapan emosional dan, di atas segala-galanya, ikatan-ikatan moral yang memungkinkan baginya—sebagai seorang dewasa—bertindak selaku seorang anggota dewasa sebenarbenarnya didalam masyarakatnya. Nilai-nilai kemasyarakatan umum tertentu yang tersebar memberikan pembenaran serta makna bagi lembaga kekeluargaan dan berlaku pula sebagai petunjuk normatif untuk tenggang-menenggang diantara para anggota keluarga setiap hari.” Dari pernyataan ini, budaya menjadi sangat penting dalam kajian masyarakat manapun termasuk kajian keluarga yang merupakan salah satu pranata pembentuk masyarakat tersebut. Dengan mengetahui latar budaya yang ada maka akan ada pemahaman mengapa suatu masyarakat atau unsur di dalamnya melakukan atau mengalami sesuatu. Jadi dari kesemua aspek, konsep, dan teori yang digunakan dalam penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya setempat. Harus dicermati bahwa banyak dari aspek, konsep, dan teori yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari penggagasnya yang lebih cenderung melihat dalam konteks budaya barat atau masyarakat industrialis, maka sangat perlu untuk dapat menempatkannya lebih pada budaya dari obyek penelitian ini yang notabene berada pada lingkup budaya timur atau masyarakat negara sedang berkembang. Sehingga hasil penelitian dapat dengan lebih cermat menangkap pemahaman yang komprehensif untuk menjawab permasalahan penelitian. Oleh karena itu, peneliti menuliskan lebih dahulu dalam bab ini tentang budaya barat atau negara industrial untuk disandingkan dengan konteks budaya setempat dari obyek penelitian. Konteks budaya termaksud yaitu yang berkaitan dengan pola-pola kehidupan keluarga. Allan dan Head dalam Ritzer (2013) mengemukakan
22
secara komprehensif tentang kecairan, kemitraan, dan struktur keluarga yang berubah di masyarakat industrialis. Berdasar tulisan mereka, pola-pola kehidupan keluarga telah berubah cukup dramatis sepanjang 30 tahun terakhir pada masyarakat ini. Perubahan tersebut meliputi komposisi rumah tangga, usia dan angka pernikahan, pola-pola pengasuhan anak, tren-tren tinggal serumah tanpa nikah (kohabitasi), jumlah kemitraan gay dan lesbian, tingkat pisah ranjang, perceraian, dan pernikahan ulang, jumlah rumah tangga tunggal, dan keluarga tiri. Inti dari persoalan-persoalan tersebut adalah pergeseran praktik pembentukan dan perpecahan keluarga, yang berkaitan dengan aneka perubahan cara-cara untuk membangun dan mengakhiri kemitraan setia rumah tangga atau seksual yang bisa diterima secara sosial (Kiernan, 2004; Le Bourdais & Lapierre-Adamcyk, 2004; Smock, 2004). Di sebagian besar abad XX, masa persuntingan diikuti dengan pernikahan sepanjang hayat, yang lazimnya melahirkan anak-anak, dan pernikahan berakhir dengan kematian salah satu pasangan. Namun menginjak pergantian abad XXI, muncul keragaman yang jauh lebih besar dalam jalur-jalur keluarga. Kini jalur-jalur kehidupan keluarga yang dijalani oleh individu semakin kehilangan strukturnya yang tegas dan bisa diprediksi yang tampak nyata dalam pengalaman-pengalaman generasi-generasi sebelumnya (Allan & Head dalam Ritzer, 2013). Kondisi sosial dan ekonomi kontemporer masyarakat industrialis dipandang berkaitan dengan individualisme yang lebih besar dan dengan hak-hak kewarganegaraan yang lebih utuh. Penyebab kunci dari hal tersebut meliputi dampak meningkatnya kesempatan pendidikan dan pekerjaan bagi kaum perempuan, pertumbuhan dan kebebasan ekspresi seksual, dan penerimaan lebih besar akan kebahagiaan individual sebagai tujuan yang sah bagi semua orang. Sehingga menimbulkan konsekuensi signifikan bagi teorisasi hubungan keluarga. Sedangkan dalam hal keluarga, di masa lalu fokus perhatian cenderung diarahkan kepada karakteristik bentuk-bentuk keluarga
23
yang relatif statis, terutama keberlangsungan struktur keluarga klasik di dalam masyarakat barat yaitu keluarga inti (Allan & Head, 2013). Pada masyarakat industrialis, fleksibilitas dan kebebasan pilihan dalam kehidupan keluarga tampak pada merebaknya pasangan serumah tanpa nikah (kohabitasi) atau kumpul kebo yang telah berlangsung sepanjang 30 tahun terakhir dan dianggap semakin lazim di Barat atau negara-negara yang maju secara industrial tersebut. Sedangkan dahulu, sepanjang sebagian besar awal dan pertengahan abad XX kohabitasi masih dianggap menyimpang secara sosial dan bejat secara moral. Fleksibilitas lainnyadalam kehidupan keluarga pada masyarakat industrialis juga terjadi dalam pengasuhan anak. Hal ini masih ada kaitan dengan kohabitasi yang dapat menyebabkan pengasuhan anak tanpa nikah dan pengasuhan anak dengan orang tua tunggal tanpa nikah. Fakta yang terjadi mencerminkan agensi atau kemandirian yang lebih besar yang diberikan kepada individu dalam urusan-urusan pribadi dan keluarga dan, pada gilirannya, peningkatan fleksibilitas yang kini nyata dalam kontruksi perjalanan hidup (Allan & Head, 2013). Sedangkan pada budaya timur atau masyarakat negara sedang berkembang seperti Indonesia, budaya yang berkembang cukup berbeda, fleksibilitas ataupun unsur individualisme tidak sebebas dalam masyarakat industrialis. Dalam kategori individualis-kolektivis, menurut survei Hofstede pada tahun 1980 Indonesia digolongkan sebagai negara dengan budaya kolektivis, karena menempati urutan 47 dari 53 masyarakat dalam urutan mayarakat individualis. Kemudian terkait keberadaan obyek penelitian yang selain merupakan bagian masyarakat Indonesia dengan ciri kolektivis, juga berada di tengah-tengah masyarakat dengan budaya Jawa. Dengan latar budaya Jawa yang meskipun sudah ada pengaruh modernisasi dan globalisasi tak terelakan juga masuk pada masyarakat ini, masih terdapat ciri-ciri budaya masyarakat Jawa yang tampak. Dalam budaya Jawa, keharmonisan sosial menjadi nilai utama dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini
24
mengejawantah dalam pola pergaulan dalam masyarakat Jawa yang dilandasi oleh kerukunan dan menghormati orang lain (Magnis-Suseno, 2003). Oleh karena itu, setiap individu seyogianya berperilaku dan berbicara yang mendukung terwujudnya interaksi sosial yang harmonis dan menghindarkan konflik sosial. (Lestari, 2012: 91) Dalam kajian antropologi diungkapkan bahwa pengasuhan anak dalam keluarga Jawa lebih menekankan pada kontrol emosi diri dan harmoni dalam hubungan sosial. Sebagai implikasinya masyarakat Jawa tidak mendorong kemunculan perilaku agresi terhadap teman sebaya apalagi terhadap orang tua. Selaras dengan prinsip harmoni sosial dan hormat, orang tua mulai mengajarkan konsep isin, wedi, dan sungkan sejak dini (Geertz, 1961). Menurut Magnis-Suseno (2003), orang Jawa berusaha mengontrol impuls-impuls naturalnya dalam rangka mempertahankan harmoni sosial. Hanya di dalam keluarga tempat bagi orang Jawa yang relatif bebas tekanan, dan interaksi orang Jawa dalam keluarga harus didasari tresna, cinta tanpa syarat. (Lestari, 2012: 53 & 93) Namun perasaan isin dan sungkan tidak dirasakan di antara sesama anggota keluarga, sehingga anggota keluarga dapat mengekspresikan emosinya secara bebas, tanpa takut kehilangan dukungan keluarga, utamanya orang tua. Relasi kakak-adik di dalam keluarga menjadi sarana pembelajaran bagi anak dalam menekan keinginananya sendiri dan menghindari konflik dengan saudara, sebagai upaya mengadopsi perilaku sosial yang dapat di terima di masyarakat. Karena penanaman nilai dilakukan secara kontinu melalui relasi kakak-adik, maka anak tunggal atau anak bungsu sering kali dimanja dan kurang memiliki kontrol diri (Geertz, 1961) Menurut Magnis Suseno dalam Lestari (2012: 92), dalam budaya Jawa, bentuk perilaku sebagai wujud kebajikan yang dinilai ideal mencakup patuh (Jawa: manut) terhadap orang yang lebih superior, kedermawanan, menghindari konflik, memahami orang lain, dan berempati. Tradisi Jawa memandang semua orang tidak sama (unequal), yang ditunjukkan dalam banyak aspek perilaku sosial. dalam budaya Jawa, orang Jawa
25
diarahkan agar dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapi, bertindak secara wajar, dan tidak berlebih-lebihan (Lestari, 2012: 92). Terkait konsep kehidupan tersebut, Koentjaraningrat (1994) mengungkapkan bahwa orang tua mengajarkan pada anak pandangan pesimistis dan menggambarkan hidup sebagai rangkaian penderitaan dan ketidakberuntungan. Oleh
karena itu, anak diajarkan untuk selalu eling dan
prihatin, serta mau menerima nasib (nrima). Namun demikian, anak juga diajarkan untuk senantiasa berikhtiar untuk mengatasi penderitaan yang dialami. Dewasa ini nilai-nilai filosofis budaya yang terkandung pada masyarakat mulai luntur, termasuk pada masyarakat Jawa. Bahkan, Mulder (Endraswara, 2006) menyatakan bahwa masyarakat Jawa terkosongkan dari kandungan moral (emptied of moral content). Hal ini menurut Endraswara (2006) dapat terjadi karena budaya-budaya lain, seperti konsumerisme, materialisme, individualisme, dan isme-isme lainnya menerjang kehidupan orang Jawa. (Lestari, 2012: 93-94) g. Alur dalam Kerangka Teori Penelitian Penelitian ini menggunakan beberapa konsep dan teori umum (grand theory) dari perspektif interaksi simbolik yang memiliki beberapa aspek dasar. Dari beberapa aspek dasar tersebut yang digunakan pada penelitian ini adalah aspek makna simbol, diri (self), interaksi sosial, sosialisasi, dan masyarakat. Penggunaan aspek tersebut lebih diimplementasikan dalam membedah masalah penelitian dengan menggunakan beberapa konsep dan teori, yaitu pertama pada aspek makna simbol dengan tiga premis dasar perspektif interaksi simbolik dari Blumer yang menjelaskan makna-makna dari simbol kemiskinan obyek penelitian yang mempengaruhi kondisi pemenuhan beberapa hak-hak anak. Kedua, aspek diri (self) dengan konsep dan teori pembentukan kepribadian dari Cooley dan Freud yang dapat menjelaskan salah satu kondisi pemenuhan hak anak. Ketiga, aspek interaksi simbolik dengan teori keluarga interaksi simbolik dimana untuk menjelaskan kondisi beberapa hak-hak anak dengan melihat interaksi-interaksi yang terjadi antara anggota keluarga. Keempat, aspek sosialisasi
26
dimana masih berkenaan juga dengan teori keluarga interaksi simbolik yang di dalamnya terkandung teori-teori sosialisasi dalam keluarga, yang dalam penelitian ini terutama digunakan atau menekankan pada sosialisasi nilai dari orang tua pada anak untuk dapat menjelaskan beberapa kondisi pemenuhan hak-hak anak. Kemudian untuk memperkuat ditambah teori pola pengasuhan anak dari Hurlock yang dapat lebih menjelaskan beberapa kondisi pemenuhan hak-hak anak tersebut. Kelima, aspek masyarakat, dengan konsep tentang masyarakat dari Blumer untuk sekedar menghantarkan penjelasan tentang salah satu aspek penghambat dan pendukung keluarga dalam pemenuhan beberapa hak anak. Selanjutnya dari kesemua penjelasan tersebut tidak dapat dilepaskan dari teori peran keluarga dimana tergambar bagaimana interaksi sosial antara terminologi aktoraktor yang terkait pemenuhan hak-hak anak dalam lima keluarga obyek penelitian dengan apa yang ditetapkan oleh budaya. Pada akhirnya kesemuanya dibungkus oleh konteks budaya dalam lima keluarga yang tidak dapat dilepaskan dari eksistensi kebudayaan setempat yang adalah budaya timur atau budaya masyarakat sedang berkembang—yang hakikinya didikotomikan dengan budaya barat atau budaya masyarakat industrial—dengan lebih spesifik pada budaya Jawa. F. Konseptualisasi Penelitian a. Hak-Hak Anak Untuk mengutarakan tentang hak-hak anak, terlebih dahulu dijabarkan tentang konsep anak. Dalam sosiologi objek yang diamati atau dipelajari adalah masyarakat. Masyarakat merupakan kumpulan individu yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya karena mempunyai sifat, karakteristik, dan pandangan yang sama yakni saling membutuhkan dan melengkapi. Sosiologi memandang bahwa anak merupakan bagian dari masyarakat. Dimana keberadaan anak sebagai bagian yang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, baik dengan keluarga, komunitas, atau
27
masyarakat pada umumnya. Child (anak) adalah seorang menurut hukum punya usia tertentu sehingga hak dan kewajibannya dianggap terbatas pula. (Kartasapoetra, 1992) Hak anak adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Semua anak memiliki hak yang sama dalam suatu negara. Hak anak wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga besar, masyarakat, negara, dan pemerintah. Jaminan akan pemenuhan hak anak dalam sebuah negara biasanya dijamin dengan Undang-Undang, tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia pemenuhan hak anak juga dijamin dalam UUD tahun 1945 pasal 28B ayat 2 yang dengan jelas menyebutkan “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup. Tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Peraturan hukum lain yang juga memperkuat Undang-Undang Dasar tersebut adalah Undang-Undang No. 23/2002 tentang perlindungan anak, yang tidak hanya memberikan batasan tentang “anak” tetapi juga memberikan jenis-jenis hak anak yang harus dipenuhi. Dalam Undang-Undang tersebut yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum mencapai 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan hak anak adalah sesuatu kehendak yang diberikan oleh sistem hukum atau tertib hukum kepada anak yang bersangkutan (Maulana Hasan Wadong, 2000: 29). Mengenai hak anak terperinci ada dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak (lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Bab III, Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 109). Untuk selanjutnya di tahun 2014 Undang-Undang No. 23/2002 tersebut mendapatkan perubahan, perubahannya diatur pada Undang-Undang No. 35 tahun 2014. Bagian pasal-pasal tentang hak anak yangberubah atau lebih tepatnya bertambah, yaitu pada pasal 6, pasal 9, pasal 12, pasal 14, dan pasal 15. Berikut beberapa hak-hak anak dalam UU no 35 tahun 2014, secara garis besar:
28
1.
Setiap Anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
2.
Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
3.
Selain mendapatkan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan Anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus.
4.
Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Dalam hal terjadi pemisahan Anak tetap berhak: bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya; mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan memperoleh Hak Anak lainnya.
5.
Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan; pelibatan dalam peperangan; dan kejahatan seksual.
6.
Negara,
Pemerintah,
dan
Pemerintah
Daerah
menjamin
perlindungan,
pemeliharaan, dan kesejahteraan Anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban Orang Tua, Wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap Anak.
29
7.
Negara,
Pemerintah,
dan
Pemerintah
Daerah
menjamin
Anak
untuk
mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesua dengan usia dan tingkat kecerdasan Anak. 8.
Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawa untuk: mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.
9.
Identitas diri setiap Anak harus diberikan sejak kelahirannya.
10. Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah Masyarakat, Keluarga, Orang Tua, Wali, dan lembaga sosial menjamin Perlindungan Anak dalam memeluk agamanya. 11. Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
wajib
menyediakan
fasilitas
dan
menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi Anak agar setiap Anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan dan didukung oleh peran masyarakat. 12. Setiap Orang dilarang melakukan aborsi terhadap Anak yang masih dalam kandungan, kecuali dengan alasan dan tata cara yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 13. Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga, dan Orang Tua wajib mengusahakan agar Anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan. 14. Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari perbuatan: pengambilan organ tubuh Anak dan/atau jaringan tubuh Anak tanpa memperhatikan kesehatan Anak; jual beli orangan dan/atau jaringan tubuh Anak; dan penelitian kesehatan yang menggunakan Anak sebagai objek penelitian tanpa seizin Orang Tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi Anak.
30
15. Anak Penyandang Disabilitas diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan inklusif dan/atau pendidikan khusus. 16. Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi Anak dari Keluarga kurang mampu, Anak Terlantar, dan Anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil, dengan peran aktif masyarakat. 17. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pemeliharaan, perawatan, dan rehabilitasi sosial Anak terlantar, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga. 18. Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu Anak, agar Anak dapat: berpartisipasi; bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya; bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan Anak; bebas berserikat dan berkumpul; bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan. 19. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak: Anak dalam situasi darurat; Anak yang berhadapan dengan hukum; Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
Anak yang menjadi korban pornografi; Anak dengan
HIV/AIDS; Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis; Anak korban kejahatan seksual; Anak korban jaringan terorisme; Anak Penyandang Disabilitas; Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.
31
(Sumber : www.kpai.go.id) Dalam penelitian ini,melihat isi dari Undang-Undang No, 23/2002 beserta perubahannya pada Undang-Undang No. 35/2014 tentang perlindungan anak terdapat penjabaran yang pasal-pasalnya tumpang tindih 2 , selanjutnya untuk menghindari tumpang tindihnya pasal-pasal yang dimaksud, maka hak-hak anak dengan mengacu pada Undang-Undang 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia3 juga dengan melihat pada naskah Undang-Undang No. 23/2002 tentang perlindungan anak dan perubahannya pada Undang-Undang No. 35/2014 yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara tertulis pada tabel berikut padakolom Hak-Hak Anak Berdasar UU. No. 23/2002 dan UU. No. 35/2014 dengan Menghindari Pasal-Pasal yang Tumpang Tindih, ditambah untuk perbandingan disajikan juga Hak-Hak Anak bersifat universal yang berdasar dari Konvensi Hak-Hak Anak
dari
PBB
tahun
1989
berikut
ini:
2
Tumpang tindihnya pasal-pasal tersebut tampak diantaranya pada pasal 4 dengan kalimat “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan partisipasisecara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal tersebut tumpang tindih dengan pasal 13 ayat (1) yang tertulis “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, ataupun pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan: a. Diskriminasi; b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. Penelantaran; d. Kekejaman, Kekerasan, dan Penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan f. Perlakuan Salah Lainnya”. Terdapat pengulangan kata-kata “Perlindungan dari Kekerasan dan Diskriminasi”. Pasal lainnya, adalah pasal 7 yang senada dengan pasal 14, yaitu hak anak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali dengan suatu sebab yang sah dapat diasuh dan diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3
Pada naskah awal dari Undang-Undang No, 23/2002 tentang perlindungan anak, pada unsur “mengingat” tertulis poin No.7 yaitu Undang-Undang 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
32
Tabel 1. Hak-Hak Anak dalam Undang-Undang dan Hak-Hak Anak dalam Kajian Penelitian Hak-hak anak berdasar
Hak-hak anak berdasar UU. No. 23/2002 dan UU.
Konvensi Hak-Hak Anak – PBB
No. 35/2014 dengan menghindari pasal-pasal
Tahun 1989
yang tumpang tindih.
1. Setiap anak memiliki hak yang 1. Hidup, melekat atas kehidupan 2. Mempunyai
nama
kewarganegaraan
dan dan
identitas
kajian penelitian
dan Dalam Undang-Undang tentang perlindungan Dari
penjelasan pada penjelasan di
dengan terperinci perihal hak-hak anak samping, maka berdasar
harkat dan martabat manusia.
sejauh 2. Memperoleh nama sebagai identitas diri dan mulai dari pasal 4 sampai dengan pasal 18, UU. No. 23/2002 dan
diasuh oleh orang tuanya. diadopsi
berkembang
Hak-hak anak dalam
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan anak No. 23/2002 dan No. 35/2014 tertulis kolom
mungkin, hak untuk mengetahui dan
3. Dapat
tumbuh,
Penjelasan
sehingga setidaknya ada lima belas pasal hak UU. No. 35/2014 dengan
status kewarganegaraan.
3. Beribadah menurut agamanya, berfikir dan anak dengan
yang
berkreasi sesuai dengan tingkat kecerdasan Pengamatan
termaktup yang
di
dilakukan
dalamnya. menghindari pasal-pasal peneliti yang
mempertimbangkan dan menjamin
dan usianya dalam bimbingan Orang Tua atau menunjukkan tidak semua hak-hak anak yang
kepentingan-kepentingan terbaik dari
Wali
anak. 4. Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang diarahkan untuk
tumpang
merupakan
dalam pasal-pasal tersebut dapat menjadi kewajiban
dan
4. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang kajian penelitian karena terdapat hak-hak keluarga
dengan keluarga dan atau tidak ditemui anak
tugas dan
tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang anak yang pemenuhannya tidak berkaitan merupakan tuanya sendiri.
tindih
Hak-hak
dalam
kajian
pengembangan kepribadian, bakat, 5. Mendapatkan bimbingan dari Orang Tuanya, keadaan atau kasusnya dalam penelitian, penelitian ini adalah: dan kemampuan mental dan fisik
atau diasuh dan diangkat sebagai anak asuh yaitu hak anak dalam pasal 7 ayat (2) yang 1. Hidup,
anak.
atau anak angkat orang lain bila orang-tuanya senada dengan pasal 14 ayat (1) dan ayat (2),
5. Hak atas taraf hidup yang layak bagi
dalam
keadaan
terlantar
sesuai
dengan pasal 12, pasal 15, pasal 16 ayat (2) dan ayat
tumbuh,
berkembang
dan
berpartisipasi secara
33
pengembangan
fisik,
mental,
spiritual, moral, dan sosial anak. 6. Hak
untuk
menikmati
status
ketentuan yang berlaku, yaitu jika ada alasan (3), pasal 17, dan pasal 18. Jadi dalam
wajar sesuai dengan
sah penelitian ini akhirnya hak-hak anak yang
harkat dan martabat
dan/atau
aturan
hukum
yang
menunjukkan bahwa pemisahan itu demi menjadi kajian adalah seperti yang tertulis
manusia.
kesehatan tertinggi lewat perawatan
kepentingan
dan
merupakan pertimbangan terakhir. Dalam hal No. 23/2002 dan UU. No. 35/2014 dengan
sebagai identitas diri
mendapatkan makanan dan minuman
terjadi
dan
yang sehat.
bertemu langsung dan berhubungan pribadi tindih, dengan pengecualian hak anak pada
pelayanan
kesehatan,
7. Hak memperoleh manfaat jaminan sosial.
terbaik
pemisahan,
bagi
Anak
Anak
tetap
dan pada kolom Hak-hak anak berdasar UU. 2. Memperoleh
berhak; menghindari pasal-pasal yang tumpang
secara tetap dengan kedua Orang Tuanya; enam poin di bawah ini:
nama
status
kewarganegaraan. 3. Beribadah
menurut berfikir
pemeliharaan,
1. Anak berhak diasuh dan diangkat
agamanya,
8. Setiap anak memiliki hak untuk
pendidikan dan perlindungan untuk proses
sebagai anak asuh atau anak angkat
dan berkreasi sesuai
beristirahat, bermain, dan rekreasi
tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya
orang lain bila orang-tuanya tidak dapat
dengan
yang layak untuk usia anak.
sesuai
dan
menjamin tumbuh kembang anak, atau
kecerdasan
minatnya; memperoleh pembiayaan hidup dari
anak dalam keadaan terlantar, atau orang
usianya
dalam
kedua Orang Tuanya; dan memperoleh Hak
tua dalam keadaan terlantar sesuai
bimbingan
Orang
Anak lainnya.
dengan ketentuan yang berlaku, yaitu
Tua atau Wali.
mendapatkan
9. Hak untuk berpikir, berhati nurani, dan beragama. 10. Hak
didengar
dan
menyatakan
pendapatnya dan berkarya. 11. Hak
atas
kebebasan
dengan
6. Memperoleh untuk
pengasuhan,
kemampuan,
pelayanan
bakat,
kesehatan
dan
tingkat dan
jika ada alasan dan/atau aturan hukum 4. Setiap anak berhak
jaminan sosial dengan kebutuhan fisik, mental,
yang
bahwa
untuk
mengetahui
spiritual, dan sosial.
pemisahan itu demi kepentingan terbaik
orang
tuanya,
pengajaran
bagi Anak dan merupakan pertimbangan
dibesarkan,
dalam rangka pengembangan pribadinya dan
terakhir. Dalam hal terjadi pemisahan,
diasuh
terhadap gannguan atau serangan
tingkat
Anak tetap berhak; bertemu langsung
tuanya sendiri.
semacam itu.
bakatnya. Sedangkan bagi Anak yang memiliki
berhimpun dan kebebasan untuk berkumpul secara damai. 12. Hak
akan
perlindungan
7. Memperoleh hukum
pendidikan
kecerdasannya
dan
sesuai
minat
dan
sah
menunjukkan
oleh
dan berhubungan pribadi secara tetap 5. Memperoleh 34
dan orang
13. Hak akan memperoleh informasi dan
bahan-bahan
ragam
sumber
dari
beraneka
nasional
dan
keunggulan
juga
berhak
pendidikan
khusus.
Setiap
mendapatkan
mendapatkan Anak
perlindungan
di
dengan
kedua
berhak
mendapatkan
satuan
pemeliharaan,
Tuanya;
pelayanan kesehatan
pengasuhan,
dan jaminan sosial
pendidikan
dan
Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik,
kembang dari kedua Orang Tuanya
mental, spiritual, dan
moralnya serta kesehatan fisik dan
tenaga kependidikan, sesama peserta didik,
sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
sosial. 4
mentalnya.
dan/atau pihak lain.
minatnya;
sosial,
jiwa,
14. Mendapat perlindungan dari semua 8. Menyatakan
dan
didengar
dan
pendapatnya,
memperoleh
tumbuh
dengan
kesejahteraan
seksual
proses
sesuai
pendidikan
kejahatan
untuk
dan
internasional untuk meningkatkan
dari
perlindungan
Orang
kebutuhan
fisik,
pembiayaan 6. Memperoleh
hidup dari kedua Orang Tuanya; dan
pendidikan
dan
memperoleh Hak Anak lainnya.
pengajaran
dalam
bentuk kekerasan fisik dan mental,
menerima,
cidera
penyalahgunaan,
informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan
2. Setiap Anak Penyandang Disabilitas
rangka
penelantaran atau perlakuan salah
dan usianya demi pengembangan dirinya
berhak memperoleh pendidikan luar
pengembangan
atau
sesuai
biasa, rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pribadinya
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
tingkat
luang,
Sedangkan bagi anak yang memiliki
kecerdasannya sesuai
sedang
bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,
keunggulan juga berhak mendapatkan
minat dan bakatnya.
mengusahakan status pengungsi atau
berkreasi sesuai minat, bakat, dan tingkat
pendidikan khusus. Setiap Anak berhak 7. Menyatakan
yang dianggap pengungsi sesuai
kecerdasannya demi pengembangan diri.
mendapatkan perlindungan di satuan
didengar
Undang-Undang internasional dan 10. Setiap Anak Penyandang Disabilitas berhak
pendidikan dari kejahatan seksual dan
pendapatnya,
nasional akan didampingi oleh orang
memperoleh
Kekerasan
menerima, mencari,
tua atau orang lain , memperoleh
rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan
atau
eksploitasi,
penyalahgunaan
termasuk
seksual
dan
penggunaan obat narkotika. 15. Bagi
anak
yang
mencari,
dengan
dan
nilai-nilai
memberikan
kesusilaan
dan
kepatutan. 9. Beristirahat,
memanfaatkanwaktu
pendidikan
luar
biasa,
yang
dilakukan
oleh
pendidik, tenaga kependidikan, sesama
dan
dan
dan
memberikan
4
Dalam penelitian ini untuk hak anak dalam hal kesehatan, jaminan kesehatan tidak menjadi bahasan sebagai tanggung jawab keluarga karena cenderung merupakan tanggung jawab pemerintah.
35
perlindungan bantuan
yang
layak
kemanusiaan,
dan
taraf kesejahteraan sosial. Sedangkan bagi
peserta didik, dan/atau pihak lain.
dan
anak yang memiliki keunggulan juga berhak
3. Setiap
mendapatkan pendidikan khusus.
memperoleh
diusahakan untuk bersatu kembali dengan keluarganya.
anak
informasi
berhak
untuk
perlindungan
dari:
sesuai
dengan
tingkat
kecerdasan
dan
perlakuan
penyalahgunaan dalam kegiatan politik,
usianya
diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun
pelibatan dalam sengketa bersenjata,
pengembangan
menikmati
seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan,
pelibatan
kehidupan yang penuh dan layak,
dan penganiayaan serta ketidakadilan dan
pelibatan
dalam
perlakuan salah lainnya.
mengandung unsur kekerasan, pelibatan
11. Mendapat
16. Anak yang memiliki cacat mental dan
fisik
hendaknya
keadaan-keadaan
menjamin
martabat,
kepercayaan
diri,
peran
aktif
serta
yang
peningkatan 12. Setiap mempermudah anak
dalam
masyarakat. 17. Seorang
anak
kelompok
yang
minoritas
termasuk
atau
orang
pribumi tidak akan dirampas haknya
sendiri,
anak
berhak
dari
untuk
memperoleh
dalam
dalam
kerusuhan
sosial,
dirinya sesuai dengan
peristiwa
yang
nilai-nilai kesusilaan
dalam
peperangan,
dan
kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa
4. Setiap
bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial,
memperoleh kebebasan sesuai dengan
dengan
pelibatan dalam peristiwa yang mengandung
hukum. Penangkapan, penahanan, atau
sebaya,
unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan,
tindak pidana
penjara anak hanya
berekreasi, berkreasi
dan kejahatan seksual.
dilakukan apabila sesuai dengan hukum
sesuai minat, bakat,
yang berlaku dan hanya dapat dilakukan
dan
sebagai upaya terakhir.
kecerdasannya demi
anak
kebebasan
berhak sesuai
untuk dengan
memperoleh hukum.
anak
berhak
5. Setiap
untuk
penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai
kebebasannya
berhak
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
mendapatkan
perlakuan
dilakukan sebagai upaya terakhir.
manusiawi
sendiri. 18. Setiap anak yang diduga, dituduh,
kejahatan 8. Beristirahat, memanfaatkanwaktu
Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana
bahasanya
dan kepatutan.
seksual.
melaksanakan ajaran agamanya, atau menggunakan
demi
perlindungan dari: penyalahgunaan dalam
dalam bermasyarakat , menikmati 13. Setiap kebudayaannya
perlindungan
atau diakui telah melanggar Undang- 14. Setiap anak yang dirampas kebebasannya
dipisahkan
anak
yang
dan dari
untuk
dirampas
bergaul anak
yang
bermain,
tingkat
pengembangan diri.
untuk 9. Mendapat secara
penempatannya orang
luang,
dewasa,
perlindungan perlakuan diskriminasi, 36
dari
Undang
hukum
pidana
akan
berhak untuk mendapatkan perlakuan secara
memperoleh
diperlakukan dengan cara konsisten
manusiawi dan penempatannya dipisahkan
bantuan lainnya secara efektif dalam
ekonomi
termasuk
bantuan
dari orang dewasa, memperoleh bantuan
setiap
seksual,
hukum dan bantuan yang layak
hukum atau bantuan lainnya secara efektif
berlaku,
lainnya,
peningkatan
dalam setiap tahapan upaya hukum yang
memperoleh
pengertian anak tentang martabat
berlaku, dan membela diri dan memperoleh
pengadilan anak yang objektif dan tidak
kekerasan,
dan nilai, yang memperkuat sikap
keadilan di depan pengadilan anak yang
memihak dalam sidang tertutup umum.
penganiayaan
hormat anak pada hak-hak asasi
objektif dan tidak memihak dalam sidang
Dirahasiakan identitasnya bagi anak
ketidak adilan dan
manusia dan kebebasan hakiki orang
tertutup umum. Dirahasiakan identitasnya
yang menjadi korban kekerasan seksual
perlakuan
lain dan yang memperhatikan usia
bagi anak yang menjadi korban kekerasan
maupun berhadapan dengan hukum.
lainnya.
anak
seksual maupun berhadapan dengan hukum.
6. Setiap anak yang menjadi korban
mendapatkan
dengan
dan
keinginan
untuk
bantuan
hukum
tahapan
upaya
dan
membela
pelaku
keadilan
meningkatkan reintegrasi anak dan 15. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
atau
tindak
pelaksanan peranan yang konstruktif
tindak pidana berhak mendapatkan bantuan
mendapatkan
anak dalam masyarkat.
hukum dan bantuan lainnya.
bantuan lainnya.
bantuan
atau
hukumyang diri
dan
di
pidana
depan
eksploitasi
baik maupun
penelantaran, kekejaman, dan
salah
berhak
hukum
serta
dan
Sumber: diolah oleh penulis dari Kovensi Hak-Hak Anak-PBB tahun 1989, UU. No. 23/2014 tentang perlindungan anak, dan UU. No. 35/2014 tentang perubahan UU. No. 23/2002
37
b. Peran Keluarga dalam Pemenuhan Hak-Hak Anak Salah satu definisi dari masyarakat pada awalnya adalah
“a union of
families”, atau masyarakat merupakan gabungan atau kumpulan dari keluarga-keluarga. Awal dari masyarakat pun dapat kita katakan berasal dari hubungan antar individu, kemudian kelompok yang lebih membesar lagi menjadi satu kelompok besar orangorang yang disebut masyarakat. Jadi keluarga dapat dikatakan inti dari masyarakat, di mana setiap keluarga dapat menganggap dirinya adalah sentral dari seluruh masyarakat. Karena keluarga ini pada hakekatnya mempunyai hubungan yang menjurus ke segala arah dalam masyarakat yang disebut tetangga untuk yang terdekat, kampung, daerah, negara, dan seterusnya. Sebagai sentral dan sekaligus anggota masyarakat, keluarga mempunyai inter-relasi dengan masyarakat luarnya. Sehingga setiap individu dalam suatu keluarga berusaha untuk membawa citra keluarga di dalam masyarakat. Hubungan antar keluarga yang baik berarti merupakan hubungan masyarakat yang baik pula. Dan keluarga sebagai suatu unit, setiap anggotanya, dapat merupakan wakil dari keluarga tersebut dalam kehidupan sosial. (Khairuddin, 2002; 25). Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Hubungan sosial diantara anggota keluarga relatif tetap dan didasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan/atau adopsi. Hubungan antar anggota keluarga dijiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa tanggung jawab. Keluarga berfungsi merawat, memelihara, dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial. Jadi keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak. (Khairuddin, 2002; 3-7).
38
Sedangkan peran diberi arti dan definisi cukup beragam oleh beberapa ahli. Menurut Soekanto peran adalah aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran. Peranan
lebih
banyak menunjukan
pada
fungsi,
penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Jadi tepatnya adalah bahwa seseorang (lembaga) menduduki
suatu
posisi
atau
tempat
dalam
masyarakat
serta
menjalankan suatu peranan. Suatu peranan mencakup tiga hal yaitu: 1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti meliputi rangkaian peraturanperaturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan. 2. Peranan dalam konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. 3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur masyarakat (Soerjono Soekanto, 2000; 268-269). Menurut R. Linton, peran adalah the dynamic aspect of status. Dengan kata lain, seseorang
menjalankan
perannya
sesuai
hak
dan
kewajibannya.
Bagi Biddle dan Thomas, peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Misalnya dalam keluarga, perilaku ibu dalam keluarga diharapkan bisa memberi anjuran, memberi penilaian, memberi sangsi, dan lain-lain. Dalam pengertian-pengertian di atas keluarga mempunyai peranan penting dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak anak. Hal ini tercermin dalam fungsifungsi keluarga yang berkenaan dengan kepentingan tumbuh kembang anak. Selain dari itu dalam Undang-Undang tentang perlindungan hak-hak anak No. 23 tahun 2002 dan UU No 35 tahun 2014 tentang perubahan UU. 23 tahun 2002, secara normatif keluarga
39
merupakan salah satu peranan utama yang wajib untuk menjamin, melindungi, dan memenuhi hak-hak anak. Mengkaji tentang peranan keluarga, Goode (1985) menyebutkan bahwa di semua masyarakat yang pernah dikenal, hampir semua orang hidup terikat dalam jaringan kewajiban dan hak keluarga yang disebut hubungan peran (role relations). Seseorang disadarkan akan adanya hubungan peran tersebut karena proses sosialisasi yang sudah berangsung sejak masa kanak-kanak, yaitu suatu proses dimana ia belajar mengetahui apa yang dikehendaki oleh anggota keluarga lain daripadanya, yang akhirnya menimbulkan kesadaran tentang kebenaran yang dikehendaki (Goode, 1985; 1).Dari pernyataan Goode tercermin bahwa keluarga merupakan lembaga yang pengaruhnya paling penting dalam masyarakat terhadap proses sosialisasi tiap-tiap individu dalam keluarga tersebut untuk dapat berperan dalam penyadaran tentang kebenaran yang dikehendaki. Kebenaran yang dikehendaki tersebut tentu bermacammacam hal, salah satunya adalah hal pemenuhan hak-hak anak. Dalam keluarga Anak yang baru lahir (bayi) mengalami proses sosialisasi untuk pertama kali. Sosialisasi pertama kali tersebut merupakan bentuk sosialisasi primer. Keluarga menjadi awalnya tempat mengenal lingkungan sosial dan budaya, juga mengenal seluruh anggota keluarga anak sampai akhirnya anak pun mengenal dirinya sendiri. Dalam pembentukan sikap dan kepribadian anak sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara dan corak orang tua dalam memberikan pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya baik melalui kebiasaan, teguran, nasihat, perintah, atau larangan. Keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap proses sosialisasi manusia. Hal ini dimungkinkan karena berbagai kondisi yang dimiliki oleh keluarga. Pertama, keluarga merupakan kelompok primer yang selalu terjadi tatap muka dan mengikuti perkembangan anggota-anggotanya. Kedua, orang tua mempunyai kondisi yang kuat untuk mendidik anak-anaknya sehingga menimbulkan hubungan emosional dimana hubungan ini sangat diperlukan dalam proses sosialisasi. Ketiga,
40
adanya hubungan sosial yang tetap, maka dengan sendirinya orang tua mempunyai peranan yang penting terhadap proses sosialisasi anak. (Soe’oed, 1999; 33-35) Syarat penting untuk berlangsungnya proses sosialisasi adalah interaksi sosial, karena tanpa interaksi sosial sosialisasi tidak mungkin berlangsung. Menurut Vander Zande, Sosialisasi adalah proses interaksi sosial melalui mana kita mengenal cara-cara pikir, berperasaan, berperilaku, sehingga dapat berperan secara efektif dalam masyarakat (J. W. Zanden, 1979: 75). Menurut David A. Goslin, sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, dan norma-norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam kelompok masyarakatnya (Goslin, 1969:2, Soe’oed, 1999; 30). Dari konsep-konsep di atas berarti dapat dikatakan dalam proses sosialisasi yang dipelajari adalah peran, nilai, dan norma sosial. Bagaimana seseorang berperan sesuai dengan nilai, kebiasaan, dan norma yang berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Sehingga dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak anak setiap anggota keluarga baik orang tua, anak, maupun anggota keluarga lainnya diharapkan mampu melakukan proses sosialisasi dengan optimal sehingga hak-hak anak terpenuhi. Tak terelakkan bahwa keluarga, dalam hal ini seluruh unsurnya adalah agen penting dalam pemenuhan hak-hak anak.
G. Metode Penelitian Penelitian mengenai hak-hak anak ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor, metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati. Cassel dan Simon mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif ditandai dengan melukiskan secara akurat, membaca serta menginterpretasikan makna-makna secara tepat dari berbagai fenomena yang terjadi
41
dalam konteks sosial (Moleong, 1993). Dengan pendekatan ini temuan-temuan empiris telah dapat dideskripsikan secara lebih rinci, lebih jelas, dan lebih akurat, terutama berbagai hal yang berkaitan kehidupan keluarga dan anggota-anggotanya khususnya dalam hal pemenuhan hak-hak anak. a. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian adalah suatu strategi yang dipilih oleh peneliti dalam mengamati, mengumpulkan informasi dan menyajikan analisis hasil penelitian. Untuk mendeskripsikan fenomena sosial dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan
kualitatif,
dengan
telah
mengumpulkan
data
melalui
perspektif
fenomenologi. Artinya, suatu perspektif yang melihat tindakan dan tingkah laku manusia dari apa yang dikatakannya dan apa yang dilakukannya sebagai suatu hasil dari cara manusia tersebut mendefinisikan dunianya (Prameswari; Bungin, 2007; 72). Dengan pendekatan fenomenologi telah membantu peneliti dalam: (1) pengamatan, (2) imajinasi, (3) berpikir secara abstrak, serta (4) dapat merasakan atau mengahayati fenomena di lapangan penelitian. Pendekatan fenomenologi erat kaitannya sebagai pendekatan penelitian praktik interpretatif yang memiliki sederet asumsi subjektivis tentang hakekat pengalaman nyata dan tatanan sosial. Menurut Schutz, dalam pandangan fenomenologi, “Subjektivitas adalah satu-satunya prinsip yang tidak boleh dilupakan ketika peneliti sosial memaknai objek-objek sosial. Karena perspektif
subjektif merupakan satu-
satunya jaminan yang perlu dipertahankan agar dunia realitas sosial tidak pernah digantikan dengan dunia fiktif yang bersifat semu yang diciptakan oleh para peneliti ilmiah.” (Denzin dan Lincon, 2009; 335-336) Masih menurut Schutz pendekatan ini merupakan upaya untuk mengkaji caracara anggota masyarakat menyusun dan membentuk ulang dalam kehidupan sehari-hari. Anggota masyarakat tentulah terdiri dari individu-individu yang saling berinteraksi.
42
Schutz menyatakan bahwa setiap inidividu berinteraksi dengan dunia dengan ‘bekal pengetahuan’ yang terdiri atas konstruk-konstruk bersifat sosial. Citra, teori, gagasan, nilai, dan sikap tersebut diterapkan pada berbagai aspek pengalaman sehingga menjadikannya bermakna. (Denzin dan Lincon, 2009; 336) Fenomenologi sosial Schutz dimaksudkan untuk merumuskan ilmu sosial yang mampu ‘menafsirkan dan menjelaskan tindakan pemikiran manusia’ dengan cara menggambarkan struktur-struktur dasar” ... realita yang tampak ‘nyata’ di mata setiap orang yang berpegang teguh pada ‘sikap alamiah’: (Schutz dan Luckman, 1974, hlm: 3). Inilah isu utama interpretif yang memuatkan perhatian pada makna dan pengalaman subjektif sehari-hari, yang bertujuan untuk menjelaskan bagaimana objek dan pengalaman terciptakan secara penuh makna dan dikomunikasikan dalam kehidupan sehari-hari. (Denzin dan Lincon, 2009; 337) b. Lokasi Penelitian Peneliti menentukan lokasi penelitian di daerah Badran, Bumijo, Yogyakarta. Pada lokasi tersebut peneliti telah menemukan setting penelitian dengan kondisi logis berkaitan dengan tema penelitian yaitu hak-hak anak pada keluarga miskin kota. Pertama, lokasi dapat dimasuki dan dikaji lebih dalam. Kedua, lokasi termasuk kantong daerah yang warganya banyak mengalami kemiskinan. Ketiga, lokasi tersebut telah memberi peluang menguntungkan untuk dikaji, seperti terdapat berbagai komunitas, kegiatan, interaksi sosial yang ada, serta struktur sosial berkenaan dengan hak-hak anak yang memungkinkan untuk didekati. Keluarga, utamanya keluarga inti sebagai unit terkecil atau organisasi terkecil dari masyarakat menjadi objek penelitian utama dalam penelitian ini. Secara geografis, posisi Kampung Badran berada tidak jauh dengan pusat perkotaan (Maliboro) dan Kraton Yogyakarta. sebelah timur dibatasi oleh Jl Tentara Rakyat Mataram, sebelah barat dibatasi oleh sungai Winongo yang merupakan salah
43
satu sungai besar di Yogyakarta. Sebelah selatan dibatasi oleh rel kereta api. Dalam batasan wilayah tersebut, kampung Badran merupakan wilayah pemukiman padat penduduk dan akses jalan yang kurang memadai, sehingga membatasi ruang gerak dan kegiatan warga (Sularno, 2014). Keberadaannya yang dekat bantaran Sungai Winongo dengan kepadatan penduduk cukup tinggi tersebut berimplikasi pada beberapa aspek, seperti rentannya masalah kesehatan, tata bangunan, dan relasi sosial masyarakatnya. Implikasi lain yang terjadi adalah Badran menjadi wilayah kumuh yang erat dengan potret kemiskinan, didukung pula dengan tingkat penghasilan dan pendidikan warganya yang rendah. Di samping itu secara historis, Badran sebagai “Kampung Preman” di masa tahun 1970-an mempunyai image buruk yang hingga saat ini stigma negatif tersebut belum sepenuhnya pudar dan acap kali masih dirasakan dampaknya oleh sebagian masyarakat yang bermukim di Badran. Berbagai implikasi dari potret suram daerah Badran seringkali melahirkan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat maupun pemerhati daerah tersebut. Jika dikaitkan dengan masalah tema penelitian, maka masyarakat Badran terindikasi rentan dengan masalah sosial yang menimpa anak. Masalah sosial anak seringkali terjadi karena belum atau tak terpenuhinya hak-hak anak. Dan yang menjadi kajian utama dari masyarakat Badran dalam penelitian ini adalah tentang kondisi hak-hak anak dalam lima keluarga yang ada di Kampung Badran yang notabene adalah keluarga relatif miskin. c. Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Data utama atau data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik pengamatan dan wawancara. Sebelum memulai penelitian, peneliti telah melakukan observasi pra penelitian untuk mengetahui gambaran kasar
44
tentang lokasi penelitian. Sehingga peneliti mendapatkan gambaran sepintas tentang kondisi Kampung Badran. Hal ini berguna sebagai bahan pertimbangan keluarga mana saja yang dipilih untuk obyek penelitin. Dalam hal pemilihan obyek penelitian, pada saat merencanakan penelitian, keluarga yang menjadi bahan kajian dipilih dari berbagai varian kondisi keluarga, yaitu dengan mempertimbangakan berbagai tingkat pendidikan orang tua maupun anak dalam keluarga tersebut serta kondisi ekonomi keluarga. Keluarga pertama, keluarga dengan kondisi ekonomi rendah dan pendidikan orang-tua juga rendah. Kedua, keluarga dengan kondisi ekonomi cukup dan pendidikan orang-tua rendah. Ketiga, keluarga dengan kondisi ekonomi rendah dan pendidikan orang-tua relatif tinggi. Keempat, keluarga dengan kondisi ekonomi cukup dan pendidikan orang-tua relatif tinggi. Dari semua varian keluarga yang ada, haruslah dalam keluarga tersebut memiliki minimal satu anak yang usianya masih dalam kategori anak, yaitu seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Di lapangan, setelah peneliti mendapatkan rekomendasi data KMS (Kartu Menuju Sejahtera) dari pemangku wilayah (Ketua RW. 11), maka dengan tetap mempertimbangkan varian latar belakang keluarga dari kondisi ekonomi dan pendidikan orang tua, penelitian ini cenderung menggunakan data KMS untuk penentuan obyek penelitian. Selain data KMS, peneliti juga mempertimbangkan rekomendasi dari para pemangku wilayah (para Ketua RT di RW.11) yang banyak bercerita tentang kondisi beberapa warganya dalam kaitan masalah anak. Akhirnya terpilihlah lima keluarga sebagai obyek penelitian ini, yang lebih jelas dipaparkan kondisinya di bab II tentang Lokus Penelitian. Dari berbagai variasi keluarga dipilih menjadi obyek penelitian tersebut, maka telah didapatkan data yang mencukupi dengan berbagai variasi realitas untuk menggambarkan bagaimana kondisi dan proses lima keluarga miskin obyek kajian penelitian dalam pemenuhan hak-hak anak.
45
Pada awal penelitian, karena menggunakan pendekatan kualitatif berperspektif fenomenologi dalam pengumpulan data, peneliti telah melakukan observasi mendalam secara langsung untuk memahami berbagai realitas sehari-hari (daily life) berkaitan dengan objek penelitian di lapangan. Observasi atau pengamatan ini selama penelitian dilakukan dengan mengarahkan perhatian pengamatan pada jenis kegiatan dan peristiwa tertentu yang memberikan informasi dan pandangan yang berguna dan sesuai fokus penelitian yaitu peneliti memperhatikan bagaimana interaksi atau pola hubungan dalam keluarga-keluarga yang menjadi obyek kajian penelitian ini. Hubungan tersebut variasinya meliputi, bagaimana hubungan orang tua yaitu ayah dengan ibu, hubungan orang tua dengan anak yaitu ayah dengan anak dan ibu dengan anak, serta hubungan antara anak dengan anak jika anak dalam keluarga tersebut lebih dari satu. Data primer dari pengamatan ternyata tidak semua dapat diperoleh oleh peneliti di lapangan. Terdapat data tertentu yang tidak dapat diamati dari kegiatan rutin atau keseharian yang dilakuan, untuk itu peneliti
menggunakan teknik lain, yaitu
wawancara. Menurut Ackroyd dan Huges, wawancara adalah pertemuan antara seorang peneliti dengan responden atau informan yang didalamnya terdapat serangkaian tanya jawab yang sesuai dengan rancangan peneliti. (May, Tin, 1993:91) Dalam wawancara peneliti dituntun dengan preposisi-preposisi dalam penelitian ini yang membantu dalam pengadaan interview guide. Dalam penelitian ini interaksi atau pola hubungan keluarga sehari-hari yang diamati berkaitan dengan hakhak anak. Sebuah keluarga dalam memenuhi hak-hak anaknya tersebut secara logika pasti membutuhkan biaya. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana jika keluarga dalam kondisi ekonomi rendah atau miskin dalam memenuhi hak-hak anak tersebut? Preposisi yang dapat muncul adalah kemungkinan besar keluarga miskin kurang dapat memenuhi hak-hak anak, terutama hak-hak anak yang sifatnya di luar kebutuhan pokok anak. Kebutuhan pokok dimaksud adalah yang sifatnya hanya untuk tumbuh yaitu mendapatkan makanan, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan dasar. Di luar hak
46
anak bersifat untuk tumbuh anak tersebut, keluarga miskin seperti di Kampung Badran seringkali mengalami kesulitan dalam pemenuhannya karena keluarga miskin tersita daya dan waktunya untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok. Ditambah keluarga miskin seringkali selain tak memiliki penghasilan atau income keluarga yang cukup juga tingkat pendidikannya rendah sehingga berpengaruh pada kesadaran anggota keluarga tersebut dalam upaya pemenuhan hak-hak anak secara menyeluruh (tidak hanya yang sifatnya pokok), termasuk kesadaran dalam mengadakan interaksi dan sosialisasi dalam rangka terpenuhinya hak-hak anak. Jadi terdapat hubungan langsung atau keterkaitan antara kondisi ekonomi dengan interaksi dan sosialisasi yang dilakukan keluarga dalam rangka pemenuhan hak-hak anak. Dengan preposisi yang ada di atas maka wawancara dalam penelitian ini dilakukan. Peneliti melakukan wawancara bebas setelah berhasil menjalin hubungan dengan anggota-anggota keluarga obyek penelitian dalam masyarakat setempat, kemudian secara bertahap peneliti mulai memasuki penggalian fenomena penelitian. Wawancara bebas dilakukan pertama kali dengan perbincangan secara informal mengenai hal berkaitan dengan tema penelitian yaitu seputar pemenuhan hak-hak anak dalam keluarga. Dalam wawancara peneliti menghindari wawancara yang bersifat formal. Peneliti menciptakan suasana informal, alamiah, dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada informan untuk mengungkapkan secara bebas pengalamanpengalamannya sesuai dengan kaidah-kaidah wawancara yang ada dalam Bungin (2007; 149). Dengan wawancara demikian maka peneliti telah mendapatkan makna suatu fenomena
yang
merupakan
sifat
pertanyaan
penelitian
dengan
pendekatan
fenomenologi. Metode pengumpulan data lainnya peneliti lakukan dengan mencatat dan merekam perbincangan serta perilaku nyata. Kemudian juga dengan mencatat isu dan kejadian dari pengalaman pribadi. Dari metode pengumpulan data tersebut di atas didapat data primer untuk penelitian ini. Pengumpulan data primer tersebut peneliti
47
lakukan dalam jangka waktu 6 bulan, dengan rata-rata 10 hingga 15 kali kunjungan pada tiap-tiap keluarga yang peneliti lakukan pada waktu-waktu yang bervariasi mulai dari pagi hari jam 6 pagi hingga jam 11 malam. Sedangkan sumber data lain disebut sebagai sumber data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari data yang tertulis dan dokumentasi berupa foto yang memiliki keterkaitan dengan fokus masalah penelitian. Data tertulis berupa buku, tesis, data statistik, arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dalam penulisan hasil penelitian, penyebutan nama para informan dan anggota keluarga yang berkaitan sebagai obyek penelitian disamarkan nama asli dengan menggunakannama inisial. Hal ini karena data-data yang ada dipandang dapat membuat para obyek penelitian merasa tidak nyaman jika diketahui nama asli mereka. d. Analisis Data Setelah data terkumpul maka tahap selanjutnya adalah analisis data. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analitik deskriptif bersifat komprehensif terhadap lima keluarga obyek penelitian untuk analisa datanya. Analisis data adalah proses pengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif dilakukan sejak awal di lapangan dan sepanjang pengumpulan data. Dalam analisis peneliti menemukan fenomena atau realitas sosial dalam proses kehidupan masyarakat yang diteliti. Analisis penelitian ini dituntun oleh pertanyaan dan preposisi penelitian. Pertanyaan dan preposisi dalam penelitian ini meliputi dugaan-dugaan tentang bagaimana pemenuhan hak-hak anak dalam lima keluarga miskin kota yaitu di Kampung Badran Yogyakarta dan proses yang dilakukan lima keluarga dalam memenuhi hak-hak anak tersebut. Pertanyaan-pertanyaan pokok yang muncul antara lain mana sajakah kelompok-kelompok data atau informasi dari keluarga-keluarga obyek penelitian yang penting atau harus diperbandingkan. Kemudian apakah
48
persamaan dan perbedaan antara kelompok-kelompok data tersebut? Ini melahirkan kategori. Pertanyaan selanjutnya apakah ciri-ciri penting tiap kategori? Ini melahirkan sifat-sifat kategori. Lalu bagaimana kategori-kategori utama berhubungan satu sama lain? Ini melahirkan hal-hal yang perlu dikembangkan sepanjang penelitian. Dan bagaimana penjelasan satu dengan yang lain? Dari pertanyaan terakhir tersebut menjadi inti dari teori dan akhirnya juga terdapat kritisasi teori. Analisis diawali dengan proses klarifikasi agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi-abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan
mempertimbangkan
menghasilkan
pernyataan-pernyataan
yang
sangat
memungkinkan dianggap mendasar dan universal. Gambaran atau informasi tentang keluarga-keluarga obyek penelitian yang dikaji tetap mempertimbangkan derajad koherensi internal, masuk akal, dan berhubungan dengan kondisi faktual dan realistik. Dengan cara melakukan komparasi hasil temuan observasi dan pendalaman makna maka peneliti telah memperoleh suatu analisis data yang terus menerus simultan sepanjang proses penelitian. hal ini sesuai dengan kaidah-kaidah analisa data dalam Bungin (2007; 155-156). Peneliti melakukan analisa data kualitatif sebagaimana menurut Miles dan huberman yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhaan, pengabtraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis lapangan. Dalam tahap ini yang terlebih dahulu dilakukan peneliti adalah menelaah seluruh data yang diperoleh baik primer maupun data sekunder di lapangan. Kemudian melakukan penyederhaan pada data tersebut dan merangkum serta memilih data pokok yang difokuskan pada hal yang penting kemudian dicari temanya. Reduksi data berlangsung terus
selama proses
penelitian dilakukan.
49
Kemudian langkah selanjutnya adalah penyajian data, yaitu penyusunan serangkaian informasi yang memungkinkan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam tahap ini peneliti mendisplay data yaitu dengan membuat semacam tulisan atau draft dengan menyusunnya dalam suatu kesatuan yang selanjutnya dikategorisasikan bersamaan dengan melakukan koding dan pemeriksaan keabsahan data. Langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Dalam tahap akhir ini peneliti melakukan penjabaran makna dari data yang disajikan. Seperti yang dikemukakan Denzin dan Lincoln (2009: 307) untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan interpretasi, digunakan prosedur-prosedur beragam termasuk pengumpulan data hingga mencapai titik jenuh (redundancy of data gathering) dan memperdebatkan prosedur-prosedur penjelasan (Denzin, 1989; Goertz & LeCompte, 1984). Secara umum prosedur ini disebut dengan teknik triangulasi. Teknik triangulasi biasanya merujuk pada suatu proses pemanfaatan persepsi yang beragam untuk mengklarifikasi makna, memverifikasi kemungkinan pengulangan dari suatu observasi ataupun interpretasi, namun harus dengan prinsip bahwa tidak ada observasi ataupun interpretasi yang 100% dapat diulang. Teknik triangulasi juga digunakan dalam penelitian ini untuk mengklarifikasi makna dengan cara mengidentifikasi cara pandang yang berbeda terhadap berbagai fenomena (Flick, 1992, Denzin dan Lincon, 2009; 307308). Ketiga kegiatan tersebut (reduksi data, penyajian data, dan penarikkan kesimpulan atau verifikasi) saling berkaitan dan berlangsung terus-menerus mulai saat sebelum dan sesudah pengumpulan data.
50