1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Orangtua sangat berperan dalam kehidupan anak karena orangtua merupakan
orang pertama yang bersosialisasi dengan anak. Perilaku dan sikap orangtua terhadap anak merupakan salah satu kunci yang menentukan masa depan anak karena orangtua akan menjadi panutan bagi anak dan orangtua jugalah yang mengajarkan moral yang ada dimasyarakat. Perilaku dan sikap orangtua yang dilakukan atau yang diterapkan pada anak merupakan suatu bentuk pola asuh, yang dimana Pola asuh dapat diartikan sebagai proses interaksi antara orangtua dan anak (Martin & Colbert, 1997). Orangtua memiliki gaya pengasuhan yang berbeda pada anak-anaknya, dan Baumrind (1971, dalam Hurlock . B. E. 2000) membagi empat gaya pola asuh yang diterapkan orangtua pada anaknya yakni; pengasuhan otoriter, pengasuhan otoritatif, pengasuhan lalai, dan pengasuhan permisif. Sikap authoritarian adalah orang tua yang memiliki kontrol sangat tinggi dan banyak peraturan yang diterapkan namun sedikit sekali memberi kehangatan pada anak. Sikap permissive adalah orang tua yang bersikap sangat hangat terhadap anak namun kontrolnya rendah. Sikap autoritative merupakan kombinasi terbaik dari keempatnya, kontrol yang dipakai dalam batasan masuk akal dan memberikan kehangatan yang cukup. Sikap neglect adalah sikap tidak terlibat sama sekali dimana orangtua tidak memberikan kehangatan dan tidak mengontrol kehidupan anaknya. Lingkungan keluarga sangat berperan dalam perkembangan hidup seorang anak dan bagaimana orangtua menerapkan pola asuh dalam keluarga akan membentuk konsep diri anak-anaknya. Bagaimana individu memandang dirinya sendiri disebut
2
dengan konsep diri. Menurut Suliswati (2005) konsep diri adalah semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri berkembang secara bertahap dimulai dari bayi dapat mengenali dan membedakan orang lain. Terdapat lima komponen konsep diri yaitu; (1) Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar, sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi, penampilan, potensi tubuh saat ini dan masa lalu secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman yang baru; (2) Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana individu harus berperilaku berdasarkan standart, aspirasi, tujuan atau nilai personal tertentu; (3) Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa sebarapa jauh perilaku memenuhi ideal diri; (4) Peran adalah pola sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya dimasyarakat; (5) Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi, dan penilaian terhadap dirinya, menyadari individu bahwa dirinya berbeda dengan orang lain (Nevid dkk, 2002). Salah satu indikator yang menunjukan identitas diri yang positif adalah dimana individu dapat menerima gender atau kelamin yang mereka sejak lahir dan berperilaku seperti gender tersebut. Gender atau kelamin manusia secara anatomi hanya dibagi menjadi dua, yaitu laki-laki dan perempuan dan biasanya seseorang akan berperilaku serta berpikir sesuai dengan gender anatominya, laki-laki akan berperilaku maskulin sedangkan perempuan akan berperilaku feminin. Namun banyak ditemukan kasus laki-laki yang bersikap dan berperilaku layaknnya perempuan karena merasa bahwa dirinya adalah seorang perempuan sehingga bersikap feminin, juga sebaliknnya, perempuan yang bersikap macho ataupun maskulin karena merasa dirinya adalah
3
seorang laki-laki. bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang wanita atau pria, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya disebut dengan gangguan identitas gender (Nevid dkk 2002). Gangguan identitas gender biasanya mulai muncul ketika masih kanak-kanak dan sebagian dari mereka akan mengembangkan diri sebagai homoseksual atau lesbi ketika remaja. Seseorang dapat dikatakan mengalami gangguan identitas gender jika menunjukan empat gejala klinis berikut yaitu, 1) Identifikasi yang kuat dan persisten terhadap jenis kelamain lain (cross gender), 2) Ketidak sukaan yang menetap dengan jenis kalaminnya sendiri atau merasa tidak sesuai dalam peran jenis gendernya, 3) Gangguan ketidak bersamaan dengan kondisi interaksi fisik dan, 4)
Gangguan
menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan atau fungsi penting lainnya(Kaplan 1997). Gangguan identitas gender merupakan suatu akibat dikarenakan adanya faktorfaktor yang mempengaruhi seseorang berpikir dan berperilaku dari gender anatomi yang sebaliknya. Faktor penyebab dari gangguaan identitas gender salah satunya adalah Pola asuh yang terdapat dalam perilaku orang tua yang diterapkan kepada anak. Parke (2004: dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa baik ayah dan ibu memiliki peran psikologis yang penting dalam perkembangan gender anak. Ibu biasanya mengasuh dan bertanggung jawab secara fisik, sedangkan ayah lebih kepada bertanggung jawab dalam beriteraksi dalam bermain dan meyakinkan bahwa anakanak mematuhi norma budaya yang berlaku. Selain pola asuh, ketidak seimbangan hormonal juga dicurai sebagai pemicu dari perilaku gangguan identitas gender, namun Kaplan (1997) mengatakan bahwa maskilinitas, femininitas, dan identitas gender lebih merupakan hasil postnatal dibandingkan susunan hormonal prenatal. Angka keseluruhan gangguan identitas
4
gender tidak diketahui, namun gangguan ini muncul sekitar lima kali lebih banyak pada pria dari pada wanita. Laki-laki yang mengalami gangguan identitas gender disebut dengan male to female atau di Indonesia sering disebut dengan waria. Dari teori konsep diri yang telah dipaparkan sebelumnya, jika di aplikasikan pada penderita gangguan identitas gender male to female atau waria dapat disimpulkan bahwa penderita male to female memiliki konsep diri yang sangat negatif dari semua komponen yang ada baik gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran, dan identitas diri karena jelas terlihat bahwa individu dengan male to female tidak dapat menerima dirinya sebagai laki-laki. Penderita male to female mengubah gambaran dirinya dengan mendandani tubuhnya untuk mendapatkan gambaran fisik seorang perempuan, berperilaku sesuai standar seorang perempuan, peran yang dijalankan pun seperti yang diharapkan masyarakat pada seorang seorang perempuan, dan jelas identitas diri mengalami ketidak sesuaian dengan yang seharusnya. Namun bagaimana konsep diri penderita male to female setelah bersikap dan berperilaku selayaknya perempuan? Kurangnya penerimaan masyarakat terhadap sikap dan perilaku yang dianggap menyimpang oleh kebanyakan kalangan, bagaimana orangtua atau keluarga dalam konsep diri individu yang mengalami gangguan identitas gender? Di Indonesia, perkembangan jumlah penderita male to female tidak bisa dipandang
remeh.
Menurut
data
Direktorat
Jenderal
Administrasi
dan
Kependudukan Departemen Dalam Negeri, jumlah penderita male to female di Indonesia tahun 2005 lalu, mencapai 400.000 jiwa, jumlah ini terus meningkat secara signifikan dengan di dapatnya data terbaru pada tahun 2006 male to female yang memiliki Kartu Tanda Penduduk mencapai 3,887 juta jiwa dan pada tahun 2009, berdasarkan catatan Yayasan Srikandi Sejati, sebuah lembaga yang mengurusi masalah waria, jumlah waria di Indonesia mencapai enam juta orang. Data ini membuat male to
5
female menjadi penting untuk diperhatikan, karena waria menjadi salah satu kelompok masyarakat yang diindikasikan rentan terhadap perlakuan diskriminatif di Indonesia. Di kota-kota besar Male to female kerap dikaitkan dengan dunia prostitusi atau pelacuran, Masalah prostitusi dan male to female seringkali kurang dipahami oleh berbagai kalangan. Kesalah pahaman ini tidak jarang menempatkan male to female sebagai korban. Keberadaannya sebagai male to female saja sudah melahirkan stereotipe sendiri, belum lagi aktivitas seksualnya yang dianggap sebagai pelanggaran normanorma sosial yang berada di masyarakat selama ini, salah satu strereotipe masyarakat yang di kenakan pada male to female adalah bahwa mereka identik dengan protitusi. Padahal jika ditelisik lebih dalam, banyak male to female yang sangat berprestasi di indonesia misalnya saja Bunda Dorce Gamala, male to female asal surabaya yang berhasil menjadi artis nasional, kemudian Meghy Megawati merupakan Miss Internasional Waria di Thailand dan sekarang menjabat ketua Yayasan Putri Waria Indonesia, kemudian ada kemudian Merlyn sopjan seorang male to female asal malang ini mendapat penghargaan dianugerahi gelar Doktor HC dari Northern California Global University Amerika karena keterlibatannya sebagai aktivis sosial HIV/AIDS, selain itu alumni Ititut Teknologi Nasional Malang ini telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul ‘Jangan lihat kelaminku’. Ketiga penderita gangguan identitas gender male to female merupakan contoh male to female yang sangat berprestasi, namun ketigannya mengaku semua hal itu dikarenakan adanya dukungan orangtua yang ingin mereka menjadi seseorang male to female yang berkualitas dan berprestasi, tidak menjadi male to female yang banyak di cemooh orang akibat stigma negatif pada kaum male to female. (http://lib.uin-malang.ac.id/?mod=th_detail&id=05210017, di akses pada tanggal 6 mei 2013, 13.08 wib).
6
Banyaknya masyarakat yang memandang negatif kepada kaum male to female tidak menyurutkan semangat penderita para transgender, untuk menunjukan eksistensinya mereka mendirikan organisasi-organisasi yang bersifat positif untuk kalangan transgender male te female yang bersifat nasional maupun lokal atau daerah, seperti Yayasan Putri Waria Indonesia dan Forum Komunikasi Waria Indonesia merupakan beberapa contoh perkumpulan dari transgender male to female. Sedangkan yang bersifat lokal atau daerah diantaranya adalah IWAMA (Ikatan Waria Malang), dan KKWSS (Kerukunan Keluarga Waria Sulawesi Selatan). Kelompok ini juga membangun jejaring dengan berbagai organisasi, baik yang sejenis maupun bukan (LSM dan instansi pemerintah, mempunyai kelompok-kelompok kesenian, mempunyai kelompok–kelompok diskusi, membantu program pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS, dan masalah sosial yang lain seperti bencana alam, penanganan anak jalanan, pemberdayaan fakir miskin dan lain–lain). (http://lib.uinmalang.ac.id/?mod=th_detail&id=05210017, di akses pada tanggal 6 mei 2013, 13.08 wib). IWAMA merupakan salah satu komunitas yang menaungi penderita male to female di kota Malang, IWAMA merupakan singkatan dari Ikatan Waria Malang. Komunitas ini telah berdiri sejak 17 mei 1991, dengan tujuan untuk menyatukan semua penderita male to female yang ada dikota malang dan hingga saat ini terdapat kurang lebih 50 male to female yang hingga sekarang aktif dalam komunitas tersebut. Untuk menjadi anggota dari IWAMA, terdapat beberapa syarat yang harus di penuhi, seperti male to female tersebut haruslah menetap di malang dan tidak berpindahpindah, dengan alasan agar memudahkan pendataan dan mudah di awasi. Markas yang biasa digunakan oleh komunitas IWAMA untuk tempat bersosialisasi adalah stasiun, namun jika akan diadakan rapat internal para male to female ini lebih banyak
7
berkumpul ditempat ketua II IWAMA yaitu di salon mbak Adeq yang terdapat di jalan Ciliwung 10 Kav 3. Menurut salah satu dari pengurus IWAMA mengatakan bahwa, para waria yang ada di dalam ikatan IWAMA mengubah penampilan mereka menjadi wanita kebanyakan setelah lulus SMA atau semester awal perkuliahan (sekitar usia 1618tahun). Butuh waktu bagi mereka agar orangtua mampu menerima mereka dan mendukung pilihan juga keputusan mereka tersebut. IWAMA menjadi salah satu wadah bagi para male to female untuk berprestasi dan menunjukan bahwa mereka tidaklah seburuk penilaian masyarakat, dan dengan dukungan orangtua mereka, para penderita gangguan identitas gender ini lebih percaya diri dan berusaha untuk bangkit dari stigma masyarakat yang buruk tentang mereka (wawancara via telpon dengan pengurus IWAMA, tanggal 20 Agustus 2013). Male to female yang berprestasi tidak lepas dari pengaruh dukungan orang tua, Mbak Adeq yang merupakan
ketua II IWAMA ketua I, Merlin Sopjhan),
menuturkan bahwasannya penerimaan orangtuanya terhadap dirinya sebagai seorang ‘perempuan’ membuatnya lebih percaya diri dan lebih mendorongnya untuk berprestasi, hal itu di buktikannya dengan membuka sebuah salon elit di jalan Ciliwung, blimbing malang. Peran orangtua yang mampu menerima kondisi dari seseorang yang mengalami trans gender male to female sangatlah dibutuhkan karena dapat memberikan pengaruh positif pada seseorang karena dengan penerimaan berarti orangtua menunjukan rasa menghormati sehingga meninggkatkan rasa kepercayaan diri serta harga diri dari seorang anak. Mbak Adeq menuturkan tidak sedikit anggotanaya yang terlena dalam arus ‘prostitusi’ akibat dari kekecewaan mereka karena ketidak harmonisan hubungan mereka dengan keluarga, dan juga masyarakat yang acuh menjadikan lapangan pekerjaan sangat sedikit untuk kaum
8
transgender male to female sehingga jalan terakhir untuk mereka adalah bisnis kelam tersebut. Stasiun kota dan alun-alun kota Malang pada waktu tertentu yaitu menjelang tengah malam merupakan tempat dimana kaum trangender male to female mulai menunjukan eksistensinya. Tidak sedikit penderita gangguan identitas gender khususnya male to female mendatangi stasiun dan alun-alun untuk saling bersosialisasi satu sama lainnya, namun tidak sedikit juga memiliki niat untuk bekerja mencari ‘pelanggan’ demi sesuap nasi. Jalan pintas ini ditempuh ketika ruang sosial, baik lapangan pendidikan maupun pekerjaan, tidak bisa menerima orang-orang yang dianggap sakit ini. (hasil wawancara dengan ketua II IWAMA, 5 mei 2013). Pembentukan perilaku waria tidak terlepas dari peran pola asuh serta perilaku orangtua mereka. Pola asuh orangtua dalam bentuk dukungan mereka dalam menerima gangguan yang diderita male to female akan membuat mereka menghargai diri mereka sehingga akan berperilaku positif dan akan meningkatkan kualitas mereka. Banyakx para male to female yang bersingung dengan dunia kerja prostitusi merupakan salah satu efek dari kurangnya lapangan pekerjaan dan rasa rendah diri dari para male to female. Jika adanya dukungan keluarga dimana mengasuh anak yang mengalami gangguan identitas gender dengan mendorong mereka berperilaku positif, maka tidak kecil kemungkinan anak yang mengalami gangguan identitas gender akan terhindar dari pekerjaan prostitusi yang merupakan salah satu penyumbang terbanyak penularan HIV/AIDS. Di Malang berdasarkan data Ikatana Waria Malang, ada sekitar 400 waria. Mereka tersebar di kota Batu sejumlah 50 orang, di Kabupaten Malang 250 orng, dan Kota Malang 100 orang. Berdasarkan data yang ada di voluntary councelling and
9
testing (VCT) for AIDS Rumah Sakit Islam Dinoyo, 1 dari 7 waria di Kota Malang terinfeksi HIV/AIDS. Jika menilik data dari RSI Dinoyo itu, maka jumlah waria yang terinfeksi HIV/AIDS sekitar 57 waria, dan jumlah ini dapat meningkat sebab banyak waria
yang
belum
terdata
dan
belum
menjalani
VCT.
(http//Radar
Malang.co.id/dari-7-waria-1-kena-hivaids-301.htm, edisi 9 desember 2013, di akses pada tanggal 1 mei 2014, 11.40 wib). Dengan adanya pola asuh orangtua yang positif yang akan mendorong anak yang mengalami gangguan identitas gender male to female untuk berperilaku positif dimana mereka akan mengembangkan bakat mereka dan tidak terjun dalam dunia protitusi yang rentan akan penyakit menular. Makin sedikit para penderita gangguan identitas gender male to female yang bersinggung dengan dunia prostitusi diharapkan akan menekan penularan HIV/AIDS karena salah satu penyumbang dari penyakit penular tersebut adalah para male to female. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengambil penelitian ‘Pengaruh Pola Asuh OrangTua terhadap Konsep Diri pada gangguan identitas gender, male to female di Komunitas IWAMA-Malang’. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan urain latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1.
Bagaimana gambaran pola asuh orangtua pada penderita male to female di komunitas IWAMA-Malang?
2.
Bagaimana gambaran konsep diri pada penderita male to female di komunitas IWAMA-Malang?
3.
Adakah pengaruh pola asuh orangtua terhadap gambaran diri pada penderita male to female dengan pola asuh orangtua di komunitas IWAMA-Malang?
10
4.
Adakah pengaruh pola asuh orangtua terhadap ideal diri pada penderita male to female di komunitas IWAMA-Malang?
5.
Adakah pengaruh pola asuh orangtua terhadap peran diri pada penderita male to female di komunitas IWAMA-Malang?
6.
Adakah pengaruh pola assuh orangtua terhadap harga diri pada penderita male to female di komunitas IWAMA-Malang
7.
Adakah pengaruh pola asuh orangtua terhadap identitas diri pada penderita male to female di komunitas IWAMA-Malang?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan umum dan tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut : 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui adanya pengaruh pola asuh terhadap konsep diri pada penderita gangguan identitas gender male to female di komunitas IWAMA-Malang. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.
Mendiskripsikan gambaran pola asuh orangtua pada penderita male to female di komunitas IWAMA-Malang.
2.
Mendiskripsikan gambaran komponen konsep diri pada penderita male to female di komunitas IWAMA-Malang.
3.
Menganalisa adanya pengaruh pola asuh orangtua terhadap gambaran diri pada penderita male to female di komunitas IWAMA-Malang.
4.
Menganalisa adanya pengaruh pola asuh orangtua terhadap ideal diri pada penderita male to female di komunitas IWAMA-Malang.
11
5.
Menganalisa adanya pengaruh pola asuh orangtua terhadap peran diri pada penderita male to female dengan pola asuh orangtua di komunitas IWAMAMalang.
6.
Menganalisa adanya pengaruh pola asuh orangtua terhadap harga diri pada penderita male to female di komunitas IWAMA-Malang.
7.
Menganalisa adanya pengaruh pola asuh orangtua terhadap identitas diri pada penderita male to female di komunitas IWAMA-Malang.
1.4
Manfaat Penelitian
14.1 Bagi Peneliti Selain untuk sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana, penelitian ini juga akan memberika gambaran pada peneliti tentang adanya pengaruh pola asuh orangtua terhadap konsep diri male to female di komunitas IWAMA-Malang. Penelitian ini juga akan menambah pengetahuan peneliti dalam mata kuliah keperawatan komunitas (komunitas gangguan identitas gender male to female) dan keperawatan jiwa (konsep diri). 1.4.2 Bagi Keluarga/Masyarakat. Diharapkan penelitian ini mampu memberikan kontribusi dalam Memberikan informasi dan memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya konsep diri yang positif kepada anggota keluarga, serta masyarakat dapat memahami bahwa sikap dan perilaku orangtua sangat berpengaruh dalam membentuk konsep diri pada anak. 1.4.3 Bagi Keperawatan
12
Selain dapat memberikan informasi tentang gambaran pola asuh dan konsep diri pada komunitas gangguan identitas gender male to female yang dapat digunakan untuk menambah pengetahuan tentang keperawatan komunitas dan keperawatan jiwa, juga Dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk memberikan edukasi dan konseling tentang pencegahan konsep diri yang negatif dengan memberikan pola asuh yang positif dari orangtua pada gangguan identitas gender khususnya male to female. 1.5
Keaslian Penelitian. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Elfrida dan Dona (2008) yang berjudul
peran Pola asuh terhadap konsep diri waria ditemukan bahwa 3 sampel yang ditelitinya memiliki konsep diri yang positif dimana orangtua (ibu) dapat menerima keadaan mereka. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah variabel yang diteliti sama yaitu pola asuh dan konsep diri pada waria, namun ada perbedaan yang sangat mendasar yaitu pada metode penelitian dimana penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan kuantitatif dan teknik pengumpulan data menggunakan skala Likert dan skala Guttman, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Elfrida dan Dona menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam serta dilakukan observasi, selain itu populasi yang akan ditelitipun berbeda daerah atau bukan pada komunitas yang sama. Penelitian kedua yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Dewi Mutthi’ah di Semarang (2007). Penelitian Dewi dengan judul konsep diri dan latar belakang kehidupan waria, dalam penelian ini ditemukan bahwa pada 3 waria adanya hubungan antara latar belakang kehidupan waria dengan konsep diri. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan sama-
13
sama menggunkan variabel konsep diri dan waria, namun tidak meneliti tentang latar belakang kehidupan waria, hanya latar belakang pola asuh sehingga penelitian yang akan dilakukan akan melibatkan orangtua waria. Perbedaan lainnya adalah dalam metode penelitian, jika penelitian Dewi menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan datanya melakukan wawancara, observasi juga melakukan tes psikologi pada waria, penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode deskritif analitik dengan teknik pengumpulan data menggunakan skala Likert dan skala Guttman untuk mengukur data. Penelitian berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Yuli Muliyani Anwar (2012), dengan judul hubungan poal asuh orangtua dengan mekanisme koping penyalahgunaan NAPZA pada remaja di SMAN 8 Malang. Penelitian Yuli menemukan adanya hubungan pola asuh orangtua dengan mekanisme koping remaja di SMAN 8 Malang dengang sampel sebanyak 103. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada variabel pola asuh yang akan dijadikan variabel bebas. Perbedaan lain dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada metode yang digunakan dalam penelitian, Metode yang digunakan oleh Yuli merupakan metode analitik dengan pendekatan cross sectinal sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode deskriptif analitik.
1.6
Definisi Istilah
1.
Pola asuh : Merupakan suatu interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak (Marti & Colbert, 1997).
2.
Konsep diri : adalah bagaimana individu menggambarkan dirinya sendiri. Istilah konsep diri mencakup konsep, keyakinan, dan pendirian yang ada dalam
14
pengetahuan seseorang tentang dirinya sendiri dan yang mempengaruhi hubungan individu tersebut dengan orang lain (Wong dkk, 2009). 3.
Gangguan identitas gender
: merupakan gangguan perilaku seksual yang
ditandai dengan ketidakpuasan psikologis terhadapa jenis kelamin (seks) biologi sehingga dia merasa tidak puas memiliki jenis kelamin yang sebanarnya dan merasa lebih senang jika menyandang gender yang berlawanan dengan realitas (Pieter dkk, 2011). 4.
Male to female: Adalah Secara fisik mereka adalah laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal, namun mereka merasa dirinya perempuan, dan berpenampilan tidak ubahnya seperti kaum perempuan lainnya (Koeswinarno, 2004).
1.7
Batasan Penelitian Terdapat empat jenis gangguan identitas gender yang dikemukakan oleh Piere
(2011), yakni transvestic fetishism (mendapatkan kepuasan seksual ketiak mengenakan pakaian lawan jenis), intersexed individual (hermafrodit/lahir dengan kelamin yang tidak jelas), female to male (gender anatomis perempuan tapi memiliki sifat dan karakter gender maskulin/laki-laki) dan terakhir male to female (secara fisik laki-laki namun sifat dan karakternya yang miliki adalah feminin/perempuan. Dalam penelitian yang akan dilakukan dibatasi hanya pada pengaruh pola asuh pada pembentukan perilaku male to female atau yang disebut juga dengan Waria, sedangkan batasan responden yang akan diteliti adalah responden yang terdapat pada suatu komunitas di kota malang yang menyebut diri mereka ‘Ikatan Waria Malang’ atau sering disebut dengan IWAMA.