1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti dilalui oleh seseorang. Anak-anak merupakan aset penting milik negara yang akan menjadi penerus suatu bangsa. Anak-anak mempunyai peranan penting untuk mencapai negara yang sejahtera, makmur dan sentosa. Bangsa yang terpandang dan diakui oleh dunia adalah bangsa yang tidak hanya kaya dalam sumber daya alam saja tapi juga dalam sumber daya manusia. Anak-anak mempunyai banyak sekali potensi di dalam dirinya untuk dikembangkan. Sampai sejauh mana potensi ini dikembangkan akan menentukan sumber daya manusia seperti apa yang akan dimiliki oleh suatu bangsa. Sepanjang kehidupan seorang manusia terdapat banyak hal yang dapat mempengaruhi kualitas perkembangan manusia tersebut. Salah satu hal yang paling berpengaruh terhadap kehidupan adalah nilai kemanusiaan yang dimiliki seseorang. Oleh karena itu, nilai-nilai kemanusiaan perlu ditanamkan sedini mungkin dalam diri seorang anak. Nilai-nilai kemanusiaan yang ditanamkan pada diri anak-anak dapat memberikan gambaran mengenai nilai- nilai dan moralitas bangsa di masa depan. Nilai-nilai kemanusiaan berkaitan erat dengan interaksi antar manusia. Seperti sudah umum diketahui, manusia adalah makhluk sosial yang hidup saling berinteraksi dengan sesamanya. Dengan demikian, dalam masa perkembangannya
Universitas Kristen Maranatha
2
anak-anak harus belajar berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Dalam proses tersebut anak dituntut mampu menyesuaikan diri, menyelaraskan kepentingan dirinya dengan kepentingan orang lain, dan mempelajari berbagai keterampilan sosial sehingga dapat hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis. Sikap anak terhadap orang lain, pengalaman sosial, serta seberapa besar kepedulian anak terhadap kepentingan orang lain tercermin melalui relasi sosial yang terbentuk. Relasi sosial dapat terjadi antara anak dengan orang dewasa, teman sebaya atau anak yang lebih kecil darinya. Dalam proses sosialisasi, anak mempelajari cara yang baik untuk berinteraksi dengan orang lain. Anak belajar bahwa untuk diterima dalam pergaulan, ia harus mau memperhatikan kepentingan orang lain disamping kepentingan dirinya pribadi. Melalui proses belajar secara tidak langsung tersebut, anak diharapkan dapat bersosialisasi dengan baik dan tumbuh sebagai individu yang memiliki kepekaan serta kepedulian terhadap situasi dan permasalahan yang dihadapinya sehari-hari. Seperti telah disebutkan sebelumnya, masa anak-anak merupakan tahap perkembangan yang penting untuk diperhatikan. Perilaku sosial yang terbentuk pada usia anak-anak cenderung tidak berubah. Kalaupun mengalami perubahan, perubahan yang terjadi akan sangat minimal, kecuali bila dilakukan intervensi efektif. Salah satu cara untuk membentuk perilaku sosial anak adalah dengan dorongan secara langsung dari orang dewasa yang mendampinginya dan dari lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang. Anak akan cepat mempelajari
Universitas Kristen Maranatha
3
kebiasaan berperilaku sosial tertentu bila terdapat kondisi lingkungan yang mendukung. Lingkungan mempunyai pengaruh yang besar dalam perkembangan sosialisasi anak. Lingkungan yang bercirikan nilai-nilai kemanusian akan berpengaruh terhadap tingkah laku anak. Salah satu acuan yang digunakan untuk menunjukkan bahwa anak memiliki nilai-nilai kemanusiaan adalah adanya keinginan untuk memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Keinginan untuk menolong orang lain dikenal sebagai motif prososial. Motif prososial adalah dorongan dari dalam diri untuk menampilkan tingkah laku menolong dan berbagi serta bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa mengharapkan imbalan dari luar.(Eisenberg, 1982). Konsep filosofi dari motif prososial berakar dari doktrin religi (Eisenberg, 1982). Semua agama mengajarkan pemeluknya mengenai nilai-nilai yang bercirikan prososialitas. Salah satu agama yang diakui di negara kita adalah agama Kristen. Di dalam agama Kristen individu diajarkan untuk mengasihi orang lain sebagaimana mengasihi dirinya sendiri. Pengajaran ini dapat ditemukan dalam berbagai peristiwa bercirikan motif prososial yang dikisahkan dalam kitab suci agama Kristen. Salah satu kisah yang diceritakan adalah cerita mengenai orang Samaria yang berbelas kasihan membalut orang asing yang terluka, mengantarnya ke penginapan dan menanggung biaya penginapannya. (LAI, dalam Eisenberg, 1982). Dalam sebagian besar gereja Kristen, pendidikan iman dan keagamaan tidak hanya diperuntukkan pada orang dewasa saja, melainkan diperuntukkan juga
Universitas Kristen Maranatha
4
bagi anak-anak. Pendidikan yang diperuntukkan bagi anak lazim dikenal dengan sebutan sekolah minggu. Sekolah minggu, seperti yang tercantum dalam Tata Laksana GKI Jawa Barat (2000), merupakan salah satu bagian dari program gereja di bidang pelayanan khusus kepada anak. Kebaktian anak dimaksudkan untuk membangun interaksi anak dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama. Selain itu, anak diajar mengenai nilai-nilai sosial yang akan mendukung motif prososialnya. Hal ini tercermin dalam beberapa pelajaran yang diajarkan di sekolah minggu. Salah satu kelompok usia dalam kegiatan sekolah minggu adalah usia 9-12 tahun. Individu yang mengikuti pelajaran sekolah minggu dikenal dengan sebutan nara didik sekolah minggu (merupakan istilah yang baku dan dipergunakan dalam pendidikan untuk siswa). Individu dalam rentang usia 9-12 tahun dituntut untuk dapat bersosialisasi dan berelasi dengan lebih baik. Menurut Piaget, anak usia 912 tahun berada dalam tahap concrete operational (dalam Huitt & Hummel, 2003). Pada tahap ini, nara didik telah memiliki aspek kognisi yang lebih matang dibandingkan nara didik dengan usia lebih muda. Nara didik mulai meninggalkan meninggalkan pola pikir yang mementingkan diri sendiri dan mulai dapat melihat dan merasakan sudut pandang orang lain. Dengan kemampuan ini nara didk dapat mencerna stimulus dari lingkungan dengan lebih tepat. Program pembelajaran yang diajarkan dan lingkungan di sekolah minggu memiliki memiliki ciri-ciri motif prososial. Hal ini dapat dilihat dari materi-materi yang mempunyai sub judul seperti: “Allah mau kita mengasihi sesama”, “Aku mau berdoa untuk …”, “Apa yang dapat kamu lakukan untuk membantu ...”, “Apa
Universitas Kristen Maranatha
5
yang bisa kuberikan untuk Tuhan dan sesamaku?”, dan lain sebagainya. Di sekolah minggu, nara didik diajarkan untuk saling menolong, yaitu memberikan sesuatu yang dibutuhkan orang lain agar dapat mencapai tujuan tertentu (Suluh Sekolah Minggu GKI SW JABAR). Dalam pembelajaran di sekolah minggu terdapat berbagai kegiatan yang mendorong nara didik untuk mengerjakan suatu aktivitas tertentu yang dapat membangun motif prososial nara didik. Sebagai contoh, nara didik mengisi form aktivitas yang berkaitan dengan tema yang diajarkan pada hari tersebut, seperti: ”Apa yang kamu lakukan untuk membantu ibumu?”. Contoh lain adalah nara didik juga dituntut untuk dapat berdiskusi, aktif berperan dalam kegiatan sekolah minggu, mampu menyatakan pendapat, dan mampu mengekspresikan perasaannya. Wawancara yang dilakukan peneliti kepada 23 orang tua nara didik dan 12 guru sekolah minggu menunjukkan ketidakjelasan tentang motif prososial yang dimiliki anak didiknya. Sebesar 52,2% orang tua mengatakan bahwa anaknya akan menolong orang yang sedang kesulitan jika disuruh oleh orang lain yang lebih dewasa. Sedangkan 41,7% guru sekolah minggu berpendapat bahwa nara didiknya mau menolong orang lain tanpa disuruh,dan sebesar 66,7% guru sekolah minggu berpendapat nara didik akan menolong orang lain hanya jika dijanjikan imbalan. Hasil yang sama didapat dari observasi yang dilakukan oleh peneliti selama 1 bulan (4 kali pertemuan sekolah minggu). Dari hasil observasi menunjukan nara didik sekolah minggu usia 9-12 tahun kurang memiliki motif prososial merata. Tidak semua nara didik sekolah minggu menunjukkan
Universitas Kristen Maranatha
6
kepedulian terhadap temannya. Di dalam kegiatan sekolah minggu seorang guru sering memberi kesempatan bagi nara didik yang ingin menceritakan pengalamannya, baik itu pengalaman menyenangkan ataupun pengalaman yang tidak menyenangkan. Beberapa anak menangis setelah mendengar pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami temannya. Mereka iba mendengar temannya yang sedang mengalami kesulitan dan ingin menolongnya untuk meringankan masalah temannya tersebut. Namun ada juga yang mengatakan bahwa pengalaman temannya itu biasa saja, dan tidak perlu dipikirkan karena bukan urusannya. Peneliti juga melihat hasil lembar form kegiatan yang telah diisi oleh nara didik sekolah minggu. Dari data tersebut didapat bahwa jawaban–jawaban yang diberikan nara didik sangat beragam dan tidak semuanya menunjukkan motif prososial yang kuat. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai motif prososial nara didik sekolah minggu yang merupakan salah satu lingkungan yang bercirikan motif prososial. Karena itu peneliti tertarik untuk meneliti motif prososial nara didik sekolah minggu Gereja Kristen Indonesia berusia 9-12 tahun di Bandung.
1.2. Identifikasi Masalah Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah motif prososial nara didik sekolah minggu Gereja Kristen Indonesia berusia 9-12 tahun yang ada di Bandung.
Universitas Kristen Maranatha
7
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk menjaring data tentang motif prososial pada nara didik sekolah minggu Gereja Kristen Indonesia berusia 9-12 tahun di Bandung dan faktor–faktor yang mempengaruhinya.
1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran motif prososial pada nara didik sekolah minggu Gereja Kristen Indonesia berusia 9-12 tahun di Bandung.
1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretik •
Kegunaan teoritik dari penelitian ini sebagai upaya untuk mengkaji motif prososial nara didik sekolah minggu Gereja Kristen Indonesia berusia 9-12 tahun di Bandung.
•
Sebagai bahan acuan dan informasi bagi penelitian lebih lanjut mengenai motif prososial.
1.4.2 Kegunaan Praktis •
Informasi bagi komisi anak mengenai motif prososial nara didik sekolah minggu.
Universitas Kristen Maranatha
8
•
Informasi bagi guru sekolah minggu mengenai motif prososial nara didiknya.
•
Mengetahui faktor–faktor yang terlibat sehingga dapat mengupayakan kegiatan di sekolah minggu yang dapat meningkatkan motif prososial nara didik.
1.5. Kerangka Pikir Menurut penelitian, pendidikan di masa kanak-kanak pada umumnya memiliki banyak pengaruh terhadap perkembangan anak. Individu akan menjadi lebih kompeten dan dewasa secara sosial. Artinya, individu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan sosial yang dialaminya (Clarke-Stewart and Fein, 1983 dalam Santrock, 2002). Salah satu bentuk pendidikan dini yang dapat diikuti oleh anak adalah sekolah minggu. Sekolah minggu adalah bagian dari program gereja di bidang pelayanan khusus kepada anak. Tujuan umum diadakannya sekolah minggu adalah untuk memelihara dan mengembangkan aspek pendidikan sekaligus aspek ibadah. Adapun yang dimaksud dengan aspek pendidikan disini adalah kegiatan pembelajaran pada sekolah minggu yang dilakukan dengan mengikuti kurikulum tertentu. Tujuan khusus yang ingin dicapai oleh sekolah minggu di susun dala suatu kurikulum. Kurikulum adalah susunan rencana kegiatan pendidikan yang terarah dalam mendidik anak mengalami serta mengembangkan hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Dalam GKI Jabar digunakan kurikulum yang
Universitas Kristen Maranatha
9
diterbitkan oleh Sinode GKI Jabar (Tata Gereja, Tata Tertib, dan Tata Laksana GKI Jabar, 1994). Kegiatan pembelajaran di sekolah minggu menggunakan buku paduan yang berjudul Suluh Siswa. GKI SW Jabar telah mengembangkan kurikulum dan materi Sekolah minggu yang digunakan sejak tahun 1984 dan direvisi setiap dua tahun sekali. Tujuan diterbitkan Suluh Sekolah Minggu adalah untuk mempermudah guru sekolah minggu dalam mencapai mengarahkan dan memberikan kesempatan kepada nara didik untuk menerjemahkan kasih dan kepedulian Sang Pencipta ke dalam pengalaman yang spesifik dan konkrit, sebagai bagian dari kehidupan para murid setiap harinya.Sekolah minggu terbagi menjadi beberapa kelas yang dikelompokkan berdasarkan usia dan tingkatan kelas di sekolah formal. Kurikulum sekolah minggu mengatur sesi pembelajaran, yaitu setiap pertemuan terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama guru sekolah minggu akan menceritakan kisah dan tokoh–tokoh dalam Alkitab yang mencerminkan nilai – nilai kristiani. Dalam bercerita, guru sekolah minggu diwajibkan menggunakan alat peraga seperti boneka wayang, gambar tokoh, kain flanel (Suluh Sekolah Minggu GKI SW JABAR, 1998). Dengan demikian, anak akan lebih memahami situasi yang sedang terjadi dalam cerita tersebut. Guru sekolah minggu juga mengharuskan nara didik untuk menghafal ayat alkitab, sehingga anak dapat mengingat nilai–nilai kebaikan yang telah telah mereka dengar. Proses ini mendorong nara didik sekolah minggu untuk mengolah kognisinya.
Universitas Kristen Maranatha
10
Bagian kedua dari pembelajaran adalah aktivitas belajar. Nara didik wajib mengikuti aktivitas yang berkaitan dengan cerita yang baru diajarkan. Guru sekolah minggu wajib membimbing nara didik untuk
berdiskusi dan
mengungkapkan pikiran, perasaan, dan apa yang akan dilakukan oleh mereka. Di setiap pertemuan, guru dan nara didik akan berdoa kebutuhan pribadi atau kebutuhan orang
baik yang menyangkut
lain. Misalnya berdoa untuk
kesembuhan, berdoa untuk orang yang dalam kekurangan, berdoa untuk korban bencana alam. Proses ini dapat melatih anak untuk mempertajam afeksi nara didik sekolah minggu. Menurut Santrock, 2002 individu usia 9-12 tahun berada pada tahap perkembangan masa pertengahan dan akhir anak-anak. Pada masa ini anak belajar menyesuaikan diri dengan teman–teman sebaya, mengembangkan hati dan norma, mengembangkan kata hati, moral dan nilai-nilai, dan juga anak belajar mengembangkan sikap dalam kelompok sosial dan intuisi. Perkembangan kognitif pada anak usia 9-12 tahun, menurut Piaget sedang berada pada tahap concrete operational dimana pada masa ini anak-anak mengalami perkembangan pesat dalam proses operasi kognitif. Operasi kognitif adalah aktivitas mental yang memampukan anak-anak menyesuaikan
dan
menyusun bentuk dan simbol dalam membuat rumusan atau keputusan yang logis. Pada masa ini anak tidak lagi memikirkan diri sendiri (self oriented), melainkan anak mampu menilai berdasarkan sudut pandang orang lain. Individu mulai menyadari bahwa keadaan tiap orang berbeda karena itu setiap orang mempunyai perasaan dan pemikiran yang berbeda pula.
Universitas Kristen Maranatha
11
Dalam upaya untuk memenuhi tugas–tugas perkembangan dapat dilatih melalui interaksi individu dengan orang lain disekitarnya. Agar anak dapat diterima di lingkungannya, anak harus belajar mengembangkan keterampilan– keterampilan bersosialisasi yang diantaranya melalui tingkah laku prososial. Tingkah laku tertentu akan diarahkan oleh motif tertentu (Atkinson, 1964). Tingkah laku prososial diarahkan oleh motif prososial. Motif sifatnya potensial dalam diri individu, artinya setiap individu sudah mempunyai motif. Berdasar pemahaman tersebut, motif prososial dapat diartikan sebagai motif khusus dan motif tunggal yang ada dalam diri individu yang mendorong munculnya perilaku prososial. Motif menolong akan menggerakkan tingkah laku menolong. Motif prososial adalah dorongan dari dalam diri untuk menampilkan tingkah laku menolong, yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa mengharapkan imbalan dari luar (Eisenberg, 1982). Motif prososial tercermin melalui kecenderungan anak untuk menolong, berbuat baik, suka berbagi, suka memberi, merasa terlibat dan bertanggung jawab terhadap penderitaan sesama, memperhatikan kesejahteraan orang lain dan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Menurut Hoffman, motif prososial terdiri atas dua aspek yaitu aspek kognisi dan afeksi (dalam Eisenberg, 1982). Aspek kognisi terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen persepsi terhadap situasi, nilai sosial dan perspektif sosial. Aspek afeksi terbagi menjadi dua elemen yaitu empati dan afek positif. Interaksi
Universitas Kristen Maranatha
12
antara aspek kognisi dan aspek afeksi sangat penting dan berpengaruh terhadap motif prososial yang mendasari munculnya tingkah laku prososial. Elemen-elemen dalam tiap aspek menunjukkan interaksi yang saling terkait dan saling berhubungan. Elemen pertama dari aspek kognisi adalah persepsi tentang situasi, yaitu pemaknaan terhadap situasi lingkungan dimana bantuan
dibutuhkan.
Individu
menilai
situasi,
apakah
situasi
tersebut
membutuhkan bantuan atau tidak. Elemen kedua adalah nilai prososial, yaitu nilai pribadi tentang prososial yang dimiliki atau dianut individu yang merupakan hasil internalisasi nilai dan norma dalam masyarakat atau kelompok. Individu akan menentukan apakah ia perlu membantu atau tidak. Elemen yang ketiga adalah perspektif sosial, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri secara kognitif pada orang lain yang ditolong. Individu memiliki pengetahuan dan pemahaman kognisi tentang kondisi yang ditolong. Aspek efeksi terdiri atas dua elemen, yaitu elemen empati dan afek positif. Empati merupakan perasaan yang muncul ketika melihat orang yang mengalami kejadian. Individu seolah-olah merasakan apa yang dirasakan orang lain yang membutuhkan bantuan. Afek positif adalah wujud tergeraknya perasaan untuk melakukan sesuatu yang bernilai prososial, misalnya perasaan kasih sayang dan perhatian. Masing-masing elemen akan berinteraksi dan nantinya akan menentukan kekuatan motif prososial pada diri individu. Motif prososial yang kuat akan ditunjang oleh elemen-elemen yang kuat pula Begitu pula sebaliknya jika elemen-elemen motif prososial lemah maka individu akan memiliki motif prososial yang lemah pula.
Universitas Kristen Maranatha
13
Menurut Hoffman (1975), motif prososial terbentuk secara individu karena terbentuknya dipengaruhi oleh pengalaman sosialisasi yang dialami individu sendiri. Oleh karena itu terdapat pula perbedaan individu dalam kekuatan motif. Begitu motif terbentuk, maka motif akan memiliki kecenderungan yang relatif menetap. Kornadt (1985) mengemukakan bahwa motif hendaknya dipandang sebagai bagian dari kepribadian. Motif prososial merupakan suatu kecenderungan untuk bertingkah laku prososial dengan mempertimbangkan dan tanggap terhadap kesulitan yang dihadapi orang lain. Perkembangan motif prososial dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Hal–hal yang termasuk dalam faktor internal antara lain usia, jenis kelamin dan kepribadian. Sedangkan yang termasuk dalam faktor eksternal adalah pola asuh, lingkungan, dan sosialisasi. Faktor internal yang pertama adalah usia. Dari penelitian-penelitian para ahli diperoleh bahwa ada hubungan antara usia dengan beberapa indikator tingkah laku prososial, namun tidak dapat disimpulkan untuk tingkah laku prososial secara keseluruhan. Ada konsistensi hubungan antara usia dengan kecenderungan berbagi. Anak-anak pada usia yang lebih besar lebih sering berbagi dan murah hati dibandingkan anak-anak yang lebih kecil (Staub, 1970, 1971). Faktor internal yang kedua adalah jenis kelamin. Penelitian yang berkesinambungan juga dilakukan terhadap pengaruh jenis kelamin dalam motif prososial. Sejumlah penelitian
menemukan perbedaan yang signifikan dalam
kedermawanan antara anak perempuan dan anak laki-laki (Harris & Siebel, 1975; Sawin dkk., 1980; Skarin & Moely, 1976). Penelitian yang dilakukan
Universitas Kristen Maranatha
14
Raven – Rubin, 1983 (dalam Eisenberg) menunjukkan motif prososial pada perempuan lebih tinggi, namun dalam tindakan prososial, perempuan lebih rendah dibandingkan laki- laki. Faktor internal yang ketiga adalah kepribadian. Satow (1975) mengamati bahwa orang yang mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial, lebih cenderung menyumbangkan uang bagi kepentingan amal daripada orang yang mempunyai tingkat kebutuhan rendah untuk diterima secara sosial, kecuali hanya bila orang lain menyaksikannya. Variabel yang termasuk dalam faktor eksternal yaitu pola asuh, lingkungan dan sosialisasi. Pertama, dalam teori-teori tentang pengasuhan orang tua, Lieke Wisnubrata (1992) mengungkapkan bahwa strategi pengasuhan orang tua mempunyai pengaruh untuk mengembangkan motif prososial. Pola asuh bina kasih (identik dengan demokratis/autoratif) mempunyai pengaruh untuk mengembangkan motif prososial. Pola otoriter/authoritarian dan permisif memiliki pengaruh sebagai penghambat motif prososial. Faktor eksternal yang kedua adalah lingkungan. Berdasarkan penelitian mengenai variabel-variabel lingkungan, dapat dikatakan bahwa lingkungan tempat individu tinggal dan bersosialisasi merupakan hal penting yang potensial dalam pembentukan kecenderungan tingkah laku prososial anak (Eisenberg,1982). Lingkungan yang bercirikan prososial akan mengembangkan motif prososial. Faktor eksternal yang ketiga adalah sosialisasi. Menurut Child (1954), sosialisasi adalah proses ketika seorang individu yang lahir dengan potensi tingkah laku yang bermacam-macam dibimbing untuk mengembangkan tingkah
Universitas Kristen Maranatha
15
laku aktual yang lebih sedikit ragamnya. Proses ini berlangsung dalam batasan apa yang menjadi kebiasaan bagi individu tersebut sesuai dengan standar kelompoknya. Pengalaman-pengalaman sosialisasi anak dipandang memiliki peran penting dalam perkembangan kecenderungan empati dan dalam mengembangkan sikap mental terhadap orang lain. Pengalaman sosialisasi anak dapat memberikan tekanan pada nilai-nilai yang mempengaruhi proses altruisme. Pengalaman-pengalaman sosialisasi yang terjadi di lingkungan sekolah minggu merupakan kejadian-kejadian yang mencerminkan nilai prososial. Lingkungan yang bercirikan motif prososial berpengaruh unntuk meningkatkan motif prososial.
1.5. Bagan Kerangka Pikir Faktor – faktor yang mempengaruhi: Internal : Usia Jenis kelamin Kepribadian Eksternal: Pola Asuh Lingkungan Sosialisasi
Kuat
Nara didik sekolah minggu
MOTIF PROSOSIAL
Lemah Aspek Kognitif: Persepsi terhadap situasi Nilai prososial Perspektif Sosial Aspek Afektif Empati Afek positif
Universitas Kristen Maranatha
16
1.6. Asumsi Penelitian Berdasarkan uraian diatas, diturunkan asumsi penelitian sebagai berikut: •
Motif prososial pada nara didik sekolah minggu dijaring melalui persepsi tentang situasi, nilai prososial, perspektif sosial, empati dan afek positif.
•
Sekolah minggu merupakan lingkungan yang bercirikan prososial yang membuka peluang munculnya motif prososial dengan tingkat kekuatan yang beragam.
Universitas Kristen Maranatha