BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung. Setiap mahluk hidup memiliki hak azasi untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan yang disebabkan karena keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap agama yang dipeluk. Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) 1 , bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu
1
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (LN 1974
Nomor 1,TLN 3019). 1
2
perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya. 2 Tata cara perkawinan di Indonesia tergolong beraneka ragam antara satu dengan yang lainnya oleh karena di Indonesia mengakui adanya bermacammacam agama dan kepercayaan, yang tata caranya berbeda. Hal yang demikian dimungkinkan dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan beragama. 3 Pasangan suami-istri yang telah melangsungkan perkawinan, pada umumnya ingin memiliki keturunan dari perkawinan yang telah mereka lakukan, tetapi ada pula pasangan suami istri yang hidup bersama tanpa keinginan untuk mendapatkan keturunan. Hal tersebut dilakukan oleh pasangan suami istri yang telah lanjut usia dan bisa dikenal dengan istilah In Extremis. Adanya akibat hukum dalam berhubungan hidup bersama pada suatu perkawinan, maka masyarakat membutuhkan suatu peraturan tentang perkawinan ini, yaitu mengenai syarat-syarat untuk peresmian, pelaksanaan, kelanjutan dan terhentinya hidup bersama ini dalam suatu undangundang, dalam hal ini UU Perkawinan. Sebelum lahirnya UU Perkawinan yang merupakan peraturan perundangundangan yang bersifat Nasional, Pemerintah mengadopsi peraturan dari Zaman Pemerintah Hindia Belanda yang membagi masyarakat kedalam beberapa
2
Abdurrahman, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni, hal. 9 3 Subekti, 2002, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Penerbit PT.Intermasa, hal. 1.
3
golongan penduduk, dengan adanya golongan penduduk ini, maka perkawinan di Indonesia diatur dalam: 4 1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama Islam. 2. Bagi orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat daerah masingmasing. 3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christien Indonesier (S. 1993 No.74) selanjutnya disebut HOCI. 4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan cina berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. ( Selanjutnya disebut KUHPerdata). 5. Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya, berlaku hukum adat mereka. Sebelum lahirnya UU Perkawinan, mengenai ketentuan, tatacara dan sahnya suatu perkawinan bagi orang Indonesia pada umumnya didasarkan pada hukum agama dan hukum adat masing-masing. Menurut hukum adat, perkawinan adalah suatu ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang dilaksanakan secara adat dan agamanya dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak saudara maupun kerabat. 5
4
Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adar, Hukum Agama, Bandung, CV. Mandur Maju, hal. 5. 5 Soerjono Wignjodipoere, 1988, Asas-asas Hukum Adat, Jakarta : Gunung Agung, hal. 55.
4
Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan, membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan, kekerabatan dan harta kekayaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. 6 Disamping hal tersebut, pada saat itu dikenal pula yang namanya “perkawinan campuran” yaitu perkawinan campuran antar golongan, perkawinan campuran antar tempat dan perkawinan campuran antar agama. 7 Saat ini yang dimaksud perkawinan campuran hanyalah untuk perkawinan internasional. Setelah berlakunya UU Perkawinan, maka terjadi unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia, dimana perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama/kerohanian. Pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama terhadap semua warga Negara oleh karena itu, setiap warga negara harus patuh terhadap hukum yang berlaku, termasuk terhadap UU Perkawinan yang menjadi landasan untuk menciptakan kepastian hukum, baik dari sudut hukum keluarga, harta benda, dan akibat hukum dari suatu perkawinan. 8 Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menjelaskan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan”. Ketentuan itu menggambarkan prinsip perkawinan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang dapat dilihat dari penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bahwa suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama masing-masing adalah merupakan prinsip utama dari suatu perkawinan yang sah. 6
Hilman Hadikusuma, loc.cit. Sudargo Gautama, 1973, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan campuran, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 3. 8 K. Wantjik Saleh, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, hal. 3. 7
5
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan :”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Keabsahan suatu perkawinan menurut UU Perkawinan adalah didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan masing-masing, sehingga sejak berlakunya UU Perkawinan ini maka upacara perkawinan menurut hukum agama bersifat menentukan tentang sah atau tidaknya perkawinan itu. Hal ini berakibat banyak orang tidak melakukan pencatatan pada kantor catatan sipil. Berdasarkan penjelasan umum UU Perkawinan, mengenai pencatatan perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian merupakan suatu peristiwa penting bukan suatu peristiwa hukum. Pencatatan perkawinan dalam suatu akta merupakan akta nikah. Akta nikah adalah bukti tentang perkawinan dan merupakan alat bukti yang sempurna mengenai adanya perkawinan. Scholten menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh Negara. 9 Menurut Subekti sebagaimana dikutip pada buku Soetojo Prawirohamidjojo, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. 10 Sedangkan Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang memenuhi
syarat-syarat
yang
termasuk
dalam
peraturan
hukum
9
Soetojo Prawirohamidjojo dkk, 2000, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kesebelas, Alumni, Bandung, hal 8. 10 Ibid.
6
perkawinan. 11 Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan telah secara jelas menyatakan tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Dalam prakteknya di masyarakat ada pula orang yang hanya melakukan perkawinan dengan cara keagamaannya saja dan tidak dicatatkan pada kantor catatan sipil. Disamping itu ada pula yang hanya mencatatakan perkawinannya tanpa melakukan upacara agama mereka. Tindakan ini jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta asas-asas atau prinsip-prinsip dari UU Perkawinan yakni : a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal. b. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu. c. Perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan. d. Perkawinan berasas monogami terbuka. e. Calon suami-istri harus bersatu antara jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan f. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. g. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan h. Hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang Penjelasan mengenai arti perkawinan sesuai agama dan kepercayaan yang mana semuanya bertujuan sama yaitu untuk menjadi keluarga yang bahagia dan menghasilkan
keturunan.
Mengenai
tatacara
untuk
melangsungkan
perkawinannya, hal ini dijelaskan oleh Mary Welstead, sebagai berikut: 11
Ibid.
7
Religious Ceremonies : “Where the parties wish to marry in a religious ceremony, different rules apply to different religious denominations. Each religious denomination has the right to refuse permission to a couple to marry in a particular place of workship”. 12 (Upacara keagamaan :”Dimana setiap keinginan untuk melakukan pesta perkawinan atau upacara perkawinan (keagamaan), setiap aturan yang digunakan berbeda-beda dalam setiap golongan, karena masing-masing pasangan tidak sama dalam memeluk agama dan kepercayaannya, hal ini menyatakan bahwa setiap golongan agama memiliki peraturan masing-masing dalam hal untuk memberikan izin melaksanakan Upacara Keagamaannya (perkawinan)”. Masalah perkawinan merupakan perbuatan suci yang mempunyai hubungan erat sekali dengan agama/kerohanian. Perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahiriah/jasmani tetapi juga unsur rohani yang mempunyai peranan penting. Hal ini sesuai dengan UU Perkawinan “Tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan keagamaan”. 13 Dalam masyarakat banyak terjadi permasalahan hukum perkawinan ini, ada yang melakukan perkawinan secara agama saja namun tidak dicatatkan serta ada pula permasalahan hukum pada perkawinan yang dicatatkan saja namun tidak dilakukan melalui suatu upacara keagamaan. Hal itu jelas tidak sesuai dengan UU Perkawinan yang mengatur mengenai sahnya suatu perkawinan. Tatacara perkawinan diatur dalam Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai tatacara perkawinan diatur pada Pasal 10 ayat (2) menyebutkan “Tatacara Perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pada ayat (3) disebutkan “Dengan mengindahkan tatacara 12
Mary Welstead, dkk, 2006, Family Law, New York : oxford University Press, hal 15. 13 Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, Mandar Maju, hal 7.
8
perkawinan menurut hukum agama masing-masing dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”. Dalam tesis ini akan dibahas mengenai perkawinan yang dilakukan hanya dengan melakukan pencatatan pada kantor Catatan Sipil saja tanpa didahului upacara keagamaan, seperti yang pernah terjadi di Kalimantan Timur. Hal ini tentunya bertentangan dengan UU Perkawinan utamanya mengenai syarat sahnya suatu perkawinan. Dalam kasus ini terlihat adanya kesenjangan antara pelaksanaan (das sein) dan pengaturan (das sollen), yang menarik untuk diteliti dan diangkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Perkawinan Yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil Tanpa melakukan Upacara Keagamaan”. Berdasarkan penelusuran yang akan diteliti dari tesis ini, dapat ditunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini tidak ada kesamaan dengan penelitian sebelumnya sehingga originalitasnya dapat dijamin. Penelusuran kepustakaan yang dilakukan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan permasalahan UU Perkawinan yaitu : Tesis dari Abdullah Wasian, pada Universitas Diponegoro Semarang yang berjudul Akibat Hukum Perkawinan Siri (tidak dicatatkan) terhadap Kedudukan Istri, Anak dan Harta Kekayaannya Tinjauan Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan. Rumusan permasalahan dari tesis tersebut adalah : 1. Bagaimana Konsep Perkawinan siri tidak dicatatkan menurut hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan?
9
2. Bagaimana akibat hukum perkawinan siri terhadap kedudukan istri, anak dan harta kekayaan? Tesis dari Alvina Suwasiswahyuni, 0806278512, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Magister Kenotariatan, dengan judul tesis Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri Berdasarkan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan Dan Undang-Undang No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dengan pokok permasalahan yang ditulis: 1. Bagaimana keabsahan pencatatan beda agama sebelum dan sesudah diberlakukan Undang-Undang no 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan? 2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memberikan penetapan pengadilan terhadap perkawinan beda agama sebelum dan sesudah diberlakukannya Undang-Undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan? 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan mengenai perkawinan di atas, maka penulis mengambil suatu rumusan permasalahan, sebagai berikut : 1. Apakah akibat hukum suatu perkawinan yang dilakukan hanya melalui pencatatan perkawinan saja? 2. Bagaimana
perlindungan
hukum
perkawinannya dinyatakan tidak sah?
terhadap
perempuan
yang
10
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum dalam bidang Hukum Perkawinan dan Keluarga. Ilmu sebagai proses, maka ilmu tidak pernah final dalam penggaliannya, termasuk dalam kaitannya dengan persoalan perkawinan. 1.3.2 Tujuan Khusus Berdasarkan tujuan umum tersebut, pernelitian ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang bersifat khusus, yaitu: 1. Untuk mengkaji dan menganalisa mengenai sahnya perkawinan dan mengetahui apakah dengan pencatatan saja tanpa adanya hukum agamanya perkawinan tersebut sudah sah. 2. untuk mengkaji dan menganalisa tentang perlindungan hukum terhadap wanita mengenai hak-hak apa sajakah yang berhak ia dapatkan jika perkawinan yang telah ia lakukan dinyatakan tidak sah. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung maupun tidak langsung antara lain : 1.4.1. Manfaat secara teoritis Secara teoritis, diharapkan dapat menambah khasanah Ilmu Hukum berupa memberikan masukan atau sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan Hukum Keluarga. Hukum Keluarga yang dimaksudkan berkaitan dengan hukum
11
perkawinan yang didasari atas pencatatan di kantor catatan sipil tanpa melakukan upacara keagamaan. 1.4.2. Manfaat secara praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi kepentingan masyarakat dan pemerintah khusunya perkawinan. 1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1 Landasan Teoritis Landasan teori atas teori, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang akan digunakan sebagai landasan untuk membahas permasalahan dalam proposal tesis ini. Landasan teoritis berupa teori yang diterapkan dalam analisis permasalahan tesis ini, yaitu teori keadilan, teori kepastian hukum, serta teori perlindungan Hukum. 1.5.1.1 Teori Kepastian Hukum Berkaitan dengan teori kepastian hukum, penulis melihat seberapa efisienkah peraturan yang terdapat pada UU Perkawinan. Teori kepastian hukum ini untuk
memecahkan masalah pertama, karena pada permasalahan yang
pertama, apakah suatu perkawinan yang sakral dapat dilakukan hanya dengan dicatatkan saja pada kantor pencatatan sipil, dan bagaimana bisa suatu kantor pencatatan sipil dapat mencatatkan perkawinan tanpa adanya suatu upacara keagaman yang dianut masing-masing mempelai. Dalam kaitannya dengan teori kepastian hukum ini O. Notohamidjojo mengemukakan berkenaan dengan tujuan hukum yakni : Melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga social dalam masyarakat (dalam arti luas, yang mencakup
12
lembaga-lembaga social di bidang politik, social, ekonomi dan kebudayaan), atas dasar keadilan untuk mencapai keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum (bonum commune). 14 Selanjutnya dikemukakan : Hukum yang berwibawa itu ditaati, baik oleh pejabat-pejabat hukum maupun oleh justitiabelen yaitu orang-orang yang harus menaati hukum itu. Hukum akan bertambah kewibawaannya, jika : 1. Memperoleh dukungan dari value sistem yang berlaku dalam masyarakat. Hukum salah satu jenis norma dalam value sistem yang berlaku akan lebih mudah ditopang oleh norma social lain yang berlaku. 2. Hukum dalam pembentukannya ordeningssubject atau pejabat-pejabat hukum, tidak diisolasikan dari norma-norma sosial lain, bahkan disambungkan dengan norma-norma yang berlaku. 3. Kesadaran hukum dari para justitiabelen. Wibawa hukum akan bertambah kuat apabila kesadaran hukum yang baru. 4. Kesadaran hukum pejabat dari pejabat hukum yang dipanggil untuk memelihara hukum dan untuk menjadi penggembala hukum, pejabat hukum harus insaf dan mengerti bahwa wibawa hukum itu bertambah apabila tindakannya itu tertib menurut wewenanganya dan apabila ia menghormati dan melindungi tata ikatannya (verbandsorde). 15 Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja berkaitan dengan kepastian, beliau menyatakan sebagai berikut: Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat teratur, tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat 14 15
O. Notohamidjojo,1970, Makna Negara Hukum, Jakarta, BPK, hal. 80-82. Ibid, hal. 83-84
13
sekarang. Karena itulah terdapat lembaga-lembaga hukum, seperti perkawinan, hak milik dan kontrak. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya manusia tak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optima dalam masyarakat tempat ia hidup. 16 Teori kepastian hukum oleh Gustav Radbruch menyatakan bahwa :”sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan” 17 . Jadi, hukum dibuat pun ada tujuannya, tujuannya ini merupakan suatu nilai yang ingin diwujudkan manusia, tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu: Keadilan Untuk Keseimbangan, Kepastian Untuk ketetapan, Kemanfaatan untuk kebahagian. Pemikiran para pakar hukum, bahwa wujud kepastian hukum pada umumnya berupa peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan yang mempunyai otoritas. Kepastian hukum sendiri merupakan salah satu asas dalam tata pemerintahan yang baik, dengan adanya suatu kepastian Hukum maka dengan sendirinya warga masyarakat akan mendapatkan perlindungan Hukum. Suatu kepastian hukum mengharuskan terciptanya suatu peraturan umum atau kaidah umum yang berlaku secara umum, serta mengakibatkan bahwa tugas hukum umum untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia). Hal ini dilakukan agar terciptanya suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat luas dan ditegakkannya serta dilaksanakan dengan tegas. 18
16
Mochtar Kusumaatmadja, 1970, Fungsi dan perkembangan Hukum dalam pembangunan Nasional, Majalah Pajajaran, Bandung, No 1 jilid III, hal. 6 17 Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi krisis terhadap hukum, PT. Raja Garfindo Persada, hal. 123. 18 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung,Hal. 15.
14
1.5.1.2 Teori keadilan Teori Keadilan ini dipergunakan untuk memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan hak-hak dari perempuan yang perkawinan tidak dilakukan sesuai dengan UU Perkawinan. Oleh karena itu teori keadilan ini diharapkan dapat menjawab mengenai rumusan permasalahan kedua. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi juga mengenai kepastian hukum dan kemanfaatannya. Pakar teori keadilan yaitu Aristoteles menyatakan bahwa kata adil mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menuntut hukum, dan apa yang sebanding yaitu yang semestinya. 19 Disini ditunjukan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila mengambil bagian lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.20 Thomas Aquinas selanjutnya membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu: keadilan umum (Justitia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. 21
19
Darji Darmadiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia), Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Hal.156. 20 Ibid. 21 Ibid.
15
Teori Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran-pemikiran seperti Jeremy Bentham, J.S. Mill dan Hume. Rawls berpendapat perlu adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Hukum menurut Rawls persepsikan sebagai wasit yang memihak dan tidak bersimpati dengan orang lain melainkan hukum justru harus menjadi penuntut agar orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya. 22 Menurut Robert Nozick, keadilan bukan merupakan perhatian utama Nozick. Robert Nozaick lebih memperdebatkan pembatasan peran Negara bahwa Negara minimal (minimal state) dan hanya Negara minimal adalah satu-satunya yang bisa dijustifikasi. Keadilan kemudian muncul karena keadilan distributive seperti dibayangkan Rawls sering dianggap sebagai rasionalisasi bagi Negara yang lebih dari minimal, dalam upayanya menunjukkan bahwa keadilan distributif tidak menyediakan rasionalisasi yang kuat bagi Negara yang lebih dari minimal. 23 Jika terjadi hak maka terdapat kewajiban, jadi hak dan kewajiban dapat terjadi bila diperlukan suatu peristiwa yang oleh hukum dihubungkan sebagai suatu akibat. Demikian pula pendapat dari Soedjono Dirdjosisworo bahwa “hak dan kewajiban timbul bila adanya suatu peristiwa hukum” 24 . Peristiwa hukum adalah “semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum, antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum”. 25
22
Ibid, hal. 161-162. Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, Six Theories of Justice, Bandung, Nusa Media, hal 89 24 Soedjono Dirdjosisworo, 2000, Penghantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keenam, Jakarta, hal. 130. 25 Ibid. 23
16
Akan tetapi, menurut pandangan yang dinyatakan oleh N.M. Kurkunov bahwa tidak semua hak terjadi harus diikuti oleh suatu kewajiban dan begitu pula sebaliknya: Every right supposes, necessarly, a corresponding obligation. If the obligation does not exist, there will be only a permission and not a right. But an obligation may sometimes exist without a corresponding right. This happens when the interest which constitutes the subject-matter of the corresponding right arises subsequently to it or is temporarily suspended. Thus the obligation not to assail the right of an unborn child corresponds to no right, since the foetus is not yet a subject of right. The obligation is here created in expectation and by way of protection of the life of the infant to be born. 26 (Pernyataan N.M. Kurkunov tersebut di atas mengandung pengertian bahwa setiap hak harus diikuti suatu kewajiban. Bila tidak ada kewajiban, maka hak itu tidak ada, yang ada hanyalah suatu permohonan saja. Suatu kewajiban timbul tidak selalu diikuti dengan perolehan hak). 1.5.1.3 Teori Perlindungan Hukum Perlindungan hukum bagi warga Negara Indonesia adalah perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Perlindungan Hukum diberikan kepada Warga Negara Indonesia sangat diperlukan demi terciptanya peraturan Umum dan Kaidah Hukum yang berlaku Umum. Demi terciptanya fungsi hukum sebagai masyarakat yang tertib diperlukan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan serta jaminan atas terwujudnya kaidah hukum dimaksud dalam praktek hukum dengan kata lain adanya jaminan penegakan hukum yang baik dan adil bagi seluruh rakyat
26
Korkunov, N.M., 1922, General Theory of Law, English Translation by W.G. Hastings, Dean of the law Faculty, University of Nebraska, Second Edition, New Book The Macmillan Company, hal. 211.
17
Indonesia tanpa membeda-bedakan suku ras serta kedudukan sosialnya serta tidak membeda-bedakan gender. 27 Teori Perlindungan Hukum juga dimaksudkan memecahkan masalah kedua, yaitu mengenai perlindungan hukum bagi wanita jika perkawinan yang dilakukan hanya dicatatkan saja tidak sesuai dengan perundang-undangan Perkawinan. Perlindungan hukum bagi wanita telah diatur dalam beberapa produk-produk ukum yang berkaitan dengan wanita. Dalam perlindungan hukum ada 3 (tiga) unsur yang harus diperhatikan, yaitu: 1. Mengenai kepastian hukum (Rechtssicherheit). 2. Mengenai Kemanfaatan (Zweckmassigkeit) 3. Mengenai Keadilannya (Gerechtigkeit). 1.5.2. Kerangka Konseptual 1.5.2.1. Konsep Keabsahan Perkawinan 1.5.2.1.1 Sahnya Perkawinan menurut Hukum Adat Sahnya Perkawinan menurut Hukum Adat, tergantung pada upacara perkawinan hukum agama yang dianut masyarakat adat di Indonesia. Apabila telah dilaksanakan menurut tata cara hukum agama, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat. Upacara perkawinan tujuannya untuk meresmikan masuknya individu menjadi warga adat merupakan upacara perkawinan adat. 1.5.2.1.2
Sahnya Perkawinan Menurut Perundang-undangan
Dalam Pasal 1 UU Perkawinan dijelaskan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan 27
Munir Fuady, 2003, Aliran Hukum Kritis (paradigm ketidak Berdayaan Hukum), PT. Citra Aditya Bakti, Cet. 1, Bandung, hal. 40.
18
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut Kuhperdata Pasal 26 masalah perkawinan berkaitan dengan hubungan perdata saja. Pasal 81 Kuhperdata tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan sebelum kedua pihak membuktikan kepada penjabat agama mereka bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung. Hal ini jelas bahwa Kuhperdata hanya melihat dari segi keperdataannya saja dan mengabaikan segi keagamaan yang tidak searah dengan dasar falsafah Negara Indonesia. 1.5.2.2. Konsep Perlindungan Hukum Konsep perlindungan hukum ini merupakan konsep yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan kedua. Dalam permasalahan kedua ini membahas mengenai perlindungan hukum perkawinan tidak sah dan batal demi hukum karena tidak sesuai dengan syarat sah suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan. 1.5.2.3. Konsep Akibat Hukum Perkawinan Dengan adanya perkawinan, maka akan menimbulkan suatu akibat baik terhadap istri dan suami, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. 1.5.2.4. Konsep Pencatatan Perkawinan Pencatatan Perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (2) yang mana tiap-tiap perkawinan yang dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan kata lain suatu pencatatan perkawinan dilakukan
19
apabila sudah melaksanakan perkawinan secara agama. Lembaga Catatan Sipil dibentuk dengan tujuan untuk mencatat (mendaftar) selengkap dan sejelasjelasnya suatu peristiwa hukum, sehingga memberikan kepastian yang sebenarbenarnya mengenai semua kejadian seperti : 1. Kelahiran. 2. Pengakuan (terhadap kelahiran). 3. Perkawinan dan Perceraian. 4. Kematian. 5. Izin kawin. Pencatatan sangat penting baik untuk diri seseorang maupun untuk orang lain oleh karena dengan pencatatan ini orang dapat dengan mudah memperoleh kepastian akan kejadian-kejadian. 1.5.2.5. Konsep Upacara Pekawinan Upacara perkawinan adalah upacara yang berkaitan dengan keagamaan, biasanya dilaksanakan sesuai dengan adat yang diselenggarakan. Pernikahan sebagai peristiwa penting bagi manusia karena bersifat sakral dan dapat dikenang. Upacara Perkawinan tradisional dilakukan menurut aturan-aturan adat setempat. Indonesia memiliki banyak suku yang masing-masing memiliki tradisi upacara pernikahan sendiri serta agama yang dipercaya. 28 1.5.2.6. Konsep Agama dan Kepercayaan Seperti yang telah disinggung di atas mengenai agama dan kepercayaan, bahwa suatu Agama dan Kepercayaan dalam suatu perkawinan mempunyai 28
Id.m.wikipedia.org/wiki/upacara_pernikahan, diakses pada tanggal 26 Mei 2013 pukul 16.46 Wita.
20
hubungan yang sangat erat untuk warga Negara Indonesia. Indonesia sendiri mempunyai adat dan istiadat yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Konsep agama dan kepercayaan ini sangat penting bagi suatu perkawinan di karenakan perkawinan mempunyai tujuan yang berkaitan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
21
1.5.3. Bagan pemikiran
HUKUM PERKAWINAN
DAS SOLLEN.
DAS SEIN.
Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa Perkawinan yang sah adalah sesuai dengan agama dan kepercayaannya dan dicatatkan pada kantor Pencatatan Sipil
Dalam pelaksanaannya atau kenyataannya terdapat perkawinan yang hanya dicatatkan, tanpa dilakukannya Upacara Agama dan Kepercayaan
PERKAWINAN YANG DICATATKAN PADA KANTOR CATATAN SIPIL TANPA UPACARA KEAGAMAAN
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Perempuan yang perkawinannya dinyatakan tidak sah?
1. Apakah akibat hukum perkawinan yang dilakukan hanya melalui pencatatan perkawinan saja?
1. Teori keadilan. 2. Teori Kepastian Hukum. 3. Teori Perlindungan Hukum
HASIL PENELITIAN
1. Konsep Keabsahan Perkawinan. 2. Konsep Akibat Hukum Perkawinan. 3. Konsep Upacara Perkawinan. 4. Konsep Agama dan Kepercayaan.
22
Bagan di atas, dapat dijelaskan bahwa adanya kewenangan mengatur mengenai perkawinan di Indonesia, UU Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) dan (2) menjelaskan sahnya suatu perkawinan didahului dengan agama dan kepercayaan yang dianut lalu dicatatkan pada kantor pencatatan sipil. Tetapi terjadi kesenjangan antara UU Perkawinan dengan kenyataannya yang terjadi pada masyarakat. Banyak masyarakat tidak mengetahui tentang arti perkawinan yang sah, dalam masyarakat ada yang melakukan perkawinan mereka dengan hanya sesuai agama dan kepercayaannya. Hal ini jika dilihat dari sudut pandang hukum adat maka perkawinan yang mereka lakukan adalah sah. Namun secara Negara perkawinan tersebut belum sah karena tidak adanya bukti tentang perkawinan dan ada pula yang melakukan perkawinannya dicatatkan tanpa dilakukan upacara keagamaan. Beranjak dari kesenjangan antara das sollen dan das sein, maka dapat ditentukan satu judul yang mencakup keseluruhan dari inti permasalahan, yaitu Perkawinan Yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil Tanpa Melakukan Upacara Keagamaan. Adapun Pokok permasalahannya yang dapat dikaji yaitu Apakah akibat hukum perkawinan yang dilakukan hanya melalui pencatatan saja dan Bagaimanakah perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap perempuan yang perkawinannya dinyatakan tidak sah. Untuk permasalahan Pertama dikaji dan dianalisis dengan menggunakan Teori Kepastian Hukum, hasil pembahasannya adalah untuk mengetahui perkawinan yang hanya dicatatkan saja sudah dianggap sah dan bagaimana Kantor
23
Pencatatan sipil dapat mencatatkan perkawinannya padahal belum melakukan Upacara keagamaan menurut kepercayaannya masing-masing. Permasalahan Kedua dikaji dan dianalisis dengan teori keadilan dan teori perlindungan hukum, upaya perlindungan hukum untuk perempuan jika diketahui bahwa perkawinan yang dilakukan hanya dengan dicatatkan saja dinyatakan tidak sah. 1.6. Metode Penelitian Metode berarti cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, sedangkan penelitian berarti suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporannya. 29 1.6.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum Empiris (yuridis empiris), karena berangkat dari masalah peraturan yang berlaku yaitu UU Perkawinan da kenyataan dalam masyarakat di Kalimantan Timur. Terkategori sebagai penelitian hukum empiris, karena penelitian ini secara akademik melakukan kajian terhadap masalah hukum, terutama terkait dengan problem, perkawinan yang dicatatkan pada kantor catatan sipil tanpa melakukan upacara keagamaannya masing-masing.
29
Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, 2002, Metodologi Penelitian, PT Bumi Aksara, Jakarta, hal. 1.
24
1.6.2. Sifat Penelitian Penelitian yang sifatnya Deskriptif Analitis, karena ingin menggambarkan kenyataan yang ada dalam masyarakat di Kalimantan Timur. Deskriptif artinya dalam penelitian ini analisis datanya tidak keluar dari lingkup sample yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, gejala, keadaan atau kelompok dalam masyarakat. Serta analitis artinya dalam penelitian ini analisis data mengarah menuju ke populasi data. 30 1.6.3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, terdapat tiga tempat yang dipilih sebagai lokasi operasional penelitian ini masing-masing, adalah: a. Pengadilan Negeri di Samarinda b. Kantor Catatan Sipil di Balikpapan c. Kantor Urusan Agama di Balikpapan Ketiga tempat tersebut berada di Propinsi Kalimantan Timur. Pilihan ketiga tempat menjadi argumentasi dan pertimbangan sebagai berikut : A. Karena substansi kajian penelitian ini eksis di tiga tempat tersebut. B. Sisi metodelogi, karena informan sebagai seseorang yang memiliki informasi (data mengenai objek yang sedang diteliti) baik dari Pengadilan Negeri, Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama hanya dapat dengan mudah dijumpai di tiga tempat tersebut.
30
Bambang Sunggono, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 36.
25
1.6.3. Data dan Sumber Data Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris (yuridis empiris) ada 2 jenis yaitu data primer dan data sekunder. a) Data primer. Data primer bersumber dari lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari instansi (informan) yang terkait pada permasalahan penelitian ini. b) Data sekunder. Data sekunder dari penelitian ini bersumber dari kepustakaan yang terdiri dari: 1. Bahan hukum primer, Putusan-putusan Pengadilan yang terkait pada pokok pembahasan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Samarinda No.161/Pid.S/1990/PN.Sinda, Putusan Pengadilan Tinggi Samarinda No.03/Pid.S/1990/PT.KT.Sinda dan Mahkamah Agung Reg. No. 2099k/Pid/1990 serta Undang-undang yang terkait yaitu UU Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan, Undang-undang Kependudukan No 23 tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674) dan UU No.32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (Lembaran Negara 1954 nomor 98). 2. Bahan Hukum Sekunder, Beberapa buku bacaan/ Literatur yang berkaitan/ membahas tentang perkawinan, karya ilmiah (makalah,
26
skripsi,tesis, atau desertasi), serta pendapat para ahli hukum dan berbagai bahan yang di dapat dari internet akan mendukung pembahasan yang berkaitan dengan masalah yang ada dalam tesis ini. 1.6.5. Tehnik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data lapangan digunakan tehnik wawancara dan tehnik studi dokumen. 1.
Tehnik wawancara yaitu tehnik dengan mewawancari informan dengan memberikan beberapa pertanyaaan secara sistematis dan telah disiapkan sebelumnya yang berupa pedoman wawancara yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Dengan tehnik wawancara akan lebih memudahkan mendapatkan informasi yang diinginkan, seperti yang dinyatakan oleh William D. Crano dan Marilyn B. Brewer, bahwa “in surevey research personal contact will achieve higher response rates than the more impersonal questionnair approach” 31
2. Tehnik
studi
dokumen
melalui
kepustakaan
yaitu
dengan
cara
mengumpulkan data-data yang relevan dengan permasalahan penelitian, melalui penelusuran literatur-literatur dan melakukan pencatatan bahanbahan hukum.
31
Crano, William D and Brewer, Marilyn B, 2002, Principles And Methodes Of Social Research, Lowrence Erlbaum Associates, Pulishers, Mahwah, New Jersey, hal. 223
27
1.6.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Tehnik yang digunakan adalah purposive sampling dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sample dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sample berdasarkan pertimbangan bahwa sample telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya. 1.6.7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Penelitian yuridis empiris dikenal model-model analisis yaitu analisis data kualitatif dan analisis data kuantitatif. 32 Dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yang dipergunakan adalah deskriptif analitis. 33 Setelah data terkumpul baik data lapangan dan kepustakaan kemudian di klasifikasikan secara kualitatif sesuai dengan masalah kemudian dianalisa dengan teori-teori yang relevan dan disimpulkan untuk menjawab permasalahan, akhirnya dianalisis dengan deskriptif analitis.
32
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1990, hal. 5. 33 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah lahirnya Undang-undang Perkawinan 2.1.1. Latar belakang Sejarahnya Usaha ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan itu sudah ada sejak lama, yakni sejak dibentuknya panitia penyelidik peraturan hukum perkawinan, talak dan rujuk pada tahun 1950. Sebelum Bangsa Indonesia merdeka, Pemerintah Hindia Belanda pernah mengajukan rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan yang tercatat pada tahun 1937 yang berlaku bagi orang Indonesia dan Timur Asing bukan Tionghoa. Namun semua usaha tersebut mengalami kegagalan, upaya kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan baru terwujud pada tahun 1974. 34 Terbentuknya Undang-undang Perkawinan 1974 dapat dibagi kedalam tiga periode yaitu: 35 1. Pada Periode Sebelum Kemerdekaan atau masa penjajahan, usaha kearah terbentuknya peraturan hukum perkawinan baru pada tahap tuntutan formal yaitu agar segera dibentuk peraturan hukum mengenai perkawinan, keadaan ini dapat mengakibatkan kaum perempuan lebih banyak menderita akibat suatu perkawinan dibandingkan kaum laki-laki, sampai berakhirnya masa penjajahan pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil
34
Maria Ulfah Soebadio, 1981, Perjuangan Untuk Mencapai Undangundang Perkawinan, Idayu, Jakarta, hal. 10. 35 Ibid. 28
29
membuat Undang-undang yang berisi hukum material tentang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. 36 2. Periode Kepemimpinan Orde Lama, dalam Masa kepemimpinan orde lama (1945-1965) untuk keinginan memiliki UU Perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia ternyata belum juga terwujud, hal ini dikarenakan bagi golongan Kristen dan warga negara keturunan Eropa dan Cina telah memiliki kodifikasi hukum perkawinan maka jarang terjadi permasalahan yang sulit dalam perkawinan mereka, pada golongan Islam yang belum memiliki kodifikasi hukum perkawinan, hukum perkawinan yang dipedomani oleh umat Islam masih tersebar dalam beberapa kitab fikih munakahat. Usaha perbaikan perilaku perkawinan terus dilanjutkan melalui instruksi Menteri Agama No 4 tahun
1974 yang isinya
menganjurkan kepada petugas pencatat Nikah, talak dan rujuk untuk mencegah perkawinan di bawah umur, menertibkan kembali soal poligami, talak, dan rujuk agar supaya sesuai dengan ajaran Hukum Islam, sampai periode kepemimpinan orde lama berakhir undang-undang perkawinan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia belum juga terbentuk. 37 3. Periode kepemimpinan Orde Baru, dalam sidang 1967-1971 parlemen (DPR-GR) membahas kembali mengenai RUU Perkawinan yaitu :
36
Taufiqurrohman Syahuri, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, pro-kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 100. 37 Ibid, hal. 104.
30
a. RUU perkawinan Umat Islam berasal dari Departemen Agama, yang diajukan kepada DPR-GR bulan mei 1967 b. RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman, yang diajukan kepada DPR-GR bulan September 1968. 38 Dalam proses pembentukan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sikap atau pandangan masyarakat terbagi dalam tiga aliran yaitu aliran yang menginginkan adanya jaminan perlindungan hukum terhadap istri dalam hidup berumah tangga, aliran yang menghendaki suatu undang-undang perkawinan yang menghendaki suatu undang-undang perkawinan yang tidak bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia dan aliran yang menghendaki adanya pemisahan antara hukum Negara dengan hukum agama dalam mengatur soal perkawinan. 39 2.1.2. Politik Hukum di Indonesia Hukum adalah sebuah entitas yang sangat komplek meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase. Politik hukum merupakan satu disiplin hukum yang tergolong paling muda dibandingkan dengan disiplin-disiplin hukum lain yang lebih klasik. 40 Hukum sebagai kaidah-kaidah yang berlaku tidaklah lahir begitu saja namun memerlukan suatu proses pembentukan hukum, yang mana hukum tersebut berasal dari suatu produk politik dari kristalisasi kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi serta bersaing. Pengertian politik hukum sebagai 38
Ibid. Ibid, hal. 208. 40 Imam Syaukani, 2013, Dasar-dasar Politik Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1. 39
31
ilmu studi (ilmu politik hukum) adalah studi tentang kebijakan hukum dan latar belakang politik. Definisi politik hukum yang dirumuskan oleh beberapa ahli hukum yaitu Menurut pendapat Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai “suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun”. 41 Menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah “kebijakan penyelenggara Negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu”. 42 2.1.2.1. Pada Masa Penjajahan Terdapat tiga sistem hukum yang berkembang di Indonesia yaitu Hukum Barat (Belanda), hukum adat serta hukum Islam. Ketiga sistem hukum ini berlaku pada waktu yang tidak bersamaan antara hukum barat, adat serta Hukum Islam. 43 Hukum yang berlaku pada waktu itu adalah sistem hukum Belanda, pada mulanya hanya berlaku bagi orang Eropa. Dengan berbagai peraturan dan upaya pada akhirnya dinyatakan berlaku bagi bangsa Asia termasuk Indonesia yang menundukkan diri pada hukum barat secara sukarela atau karena ada perbuatan hukum. Menurut Soepomo, dengan membentuk kitab hukum ini VOC berkehendak memperbaiki kepastian hukum. 41
Ibid, hal. 27. Ibid, hal. 26. 43 Yaswirman, 2013, Hukum keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 26. 42
32
Hukum adat adalah bagian dari rekayasa Pemerintah Hindia Belanda. Terkait dengan politik hukum pada masa penjajahan, adat istiadat pada praktiknya sebagai pedoman hidup, baik berbentuk ucapan dan tindakan nyata dan bagi yang melanggarnya akan mendapatkan sangsi sosial dalam bentul bertingkat-tingkat sesuai dengan pelanggaran yang diperbuat. Pemerintah jajahan, baik Hindia Belanda Inggris maupun jepang selalu menempatkan bangsa mereka di Negeri jajahan sebagai orang istimewa dan pribumi sebagai orang biasa. Pada penggolongan penduduk pemberlakuan sistem hukum mencampur adukkan hukum adat dengan hukum islam. 2.1.2.2. Pada Masa Kemerdekaan Setelah masa kemerdekaan, segala kebijakan pemerintahan termasuk bidang tata hukum bersumber dan bermuara dari UUD 1945. Sistem peradilan masa penjajahan dilanjutkan oleh Indonesia bahkan disederhanakan, seperti penyatuan lembaga peradilan tingkat pertama dengan nama Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi untuk tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi. 44 Dengan runtuhnya kekuasaan Jepang di Indonesia karena kekalahan dari tentara sekutu dalam perang dunia II mengundang Belanda untuk kembali lagi ke Indonesia karena secara de jure mereka mengaku sebagai penguasa politik satusatunya di Nusantara. 45 Pluralisme masyarakat dan hukum yang terlanjur ada itu antara lain karena faktor:
44
Ibid, hal 46. Soepomo, 1993, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 122. 45
33
a. Kitab undang-undang Hukum Perdata dan hukum Dagang yang berlaku untuk bangsa Eropa dan sebagian untuk Timur Asing itu juga berlaku untuk penduduk asli (Bumi Putera) b. Hukum adat yang diberlakukan untuk bumi putera itu sebagiannya juga diberlakukan bagi bangsa Cina dan Timur Asing lainnya c. Hukum Islam diberlakukan bagi penduduk yang beragama Islam, seperti perkawinan, perceraian, wakaf dan sebagainya d. Hukum perundang-undangan yang dibuat dan diundangkan secara khusus diperlakukan bagi orang Indonesia Asli yang beragama Kristen e. Hukum perundang-undangan yang dibuat dan berlaku untuk semua golongan, seperti asuransi, hak cipta dan sebagainya. 46 Mengenai hukum adat, Badan Pembinaan Hukum Nasional (sebelumnya bernama Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) yang dirintis sejak tahun 1958 dan diaktifkan kembali oleh pemerintah tahun 1961, sejak semula bercita-cita mewujudkan unifikasi dan kodifikasi dalam sistem hukum nasional. Hukum adat yang dimaksud tidak harus yang mengatur mengenai kehidupan pedesaan saja melainkan yang difungsikan untuk kepentingan kehidupan Nasional dan Internasional yang modern. 47 Setelah masa orde baru, pemerintah secara berangsur-angsur berusaha mengembalikan citra Indonesia sebagai negara hukum. Doktrin kepastian hukum dan tata hirarki perundang-undangan dipulihkan kembali melalui TAP MPRS No.XX/15 juli 1966 ditetapkan, bahwa sumber tertib hukum Republik Indonesia 46
Yaswirman, op.cit, hal. 51 Yaswirman, op.cit, hal. 57.
47
34
dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah untuk menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, sumber tertib hukum menurut ketetapan adalah Pancasila. 48 Pada kenyataannya sistem hukum di Indonesia masih mengacu pada sistem hukum barat (Belanda), sistem hukum Belanda telah mengalami beberapa kali perubahan dan pembaruan sedikit demi sedikit. Dalam bidang hukum pidana dan hukum perdata yang masih sering mengacu pada sistem hukum Belanda, hukum perdata masih terdapat dualisme antara penerapan hukum barat dan hukum adatnya sendiri tetapi setelah lahirnya UU Perkawinan. 49 2.2.
Pengertian Perkawinan Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis
dan kehendak kemanusiaan , yaitu suatu ikatan atau hubungan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita. Dalam UU Perkawinan pada Pasal 1 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (berumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dalam sila pertama menyebutkan mengenai “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan yang akan dilakukan mempunyai kekuatan atau hubungan yang sangat erat dengan agama dan kerohaniaan, hal ini disebabkan karena suatu perkawinan bukan hanya
48 49
Yaswirman, loc.cit. Yaswirman, loc.cit.
35
hubungan Jasmaniahnya saja tetapi hubungan Bathiniah (agama dan kerohanian) mempunyai peran yang sangat penting dalam perkawinan. 50 Ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan tersebut dapat dirinci dalam beberapa unsur dari pengertian sebagai berikut: a) Adanya Ikatan Lahir Batin Perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu persetujuan yang dapat menimbulkan ikatan, dalam bentuk lahiriah maupun batiniah antara seorang pria dan wanita, bahkan ikatan batin ini merupakan daripada ikatan lahir. b) Antara Seorang Pria dan Wanita Unsur pria dan wanita menunjukkan secara biologis orang akan melangsungkan perkawinan haruslah berbeda jenis kelamin. Hal ini sangat penting, karena perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang menghendaki adanya keturunan. c) Sebagai Suami Istri Pria dan wanita yang sudah terikat dalam suatu perkawinan, secara yuridis statusnya berubah. Pria berubah statusnya sebagai suami dan wanita berubah statusnya sebagai istri. d) Adanya Tujuan Tujuan dalam perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Seorang pria dan seorang wanita yang telah mempunyai ikatan lahir batin dengan melangsungkan perkawinan haruslah menuju pada suatu perkawinan yang kekal, bukan untuk masa tertentu. 50
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-azas perkawinan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 7.
36
e) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Unsur berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan arti bahwa perkawinan itu mempunyai hubungan yang erat dengan agama atau kerohanian. Sini dapat di lihat bahwa peranan agama adalah sangat penting. Masalah perkawinan bukanlah semata-mata masalah keperdataan saja, melainkan juga masalah agama. Sehingga di dalam perkawinan tersebut harus diperhatikan unsur-unsur agama. Perkawinan adalah suatu proses yang sudah melembaga, yang mana lakilaki dan perempuan memulai dan memelihara hubungan timbal balik yang merupakan dasar bagi suatu keluarga. Hal ini akan menimbulkan hak dan kewajiban baik di antara laki-laki dan perempuan maupun dengan anak-anak yang kemudian dilahirkan. 51 Dalam pengertian perkawinan terdapat 2 azas yaitu azas monogami dan poligami. Azas poligami terjadi bila sepanjang hukum agama yang dianut mengizinkannya untuk melakukan poligami dan melalui syarat-syarat yang ketat dengan izin dari pengadilan dan izin itu pun hanya akan diperoleh jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. 52 Tujuan dari UU Perkawinan ini tidak hanya dari segi lahiriah, tetapi sekaligus adanya suatu unsur agama, yang mana dalam unsur agama ini ditujukan
51
I Ketut Atardi, 1987, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Yurisprudensi, Cet. II, Setia Lawan, Denpasar, hal. 169. 52 Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undangundang Perkawinan No.1 tahun 1974, PT. Dian Rakyat, Jakarta, hal. 19.
37
untuk membina suatu keluarga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan sesuai dengan Kehendak Tuhan Yang Maha Esa. 2.2.1. Syarat sahnya Perkawinan Syarat sahnya suatu perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan. Menjelaskan syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai yang akan melaksanakan perkawinan. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam syarat-syarat perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat pada diri masing-masing pihak disebut juga “Syarat-syarat Subjektif”, dan syarat formal yaitu mengenai tatacara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang disebut juga syarat objektif. 53 A. Syarat Materiil. 1. Persetujuan kedua calon mempelai Menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, perkawinan harus didasari atas persetujuan kedua mempelai, artinya kedua calon mempelai telah sepakat untuk melaksanakan suatu perkawianan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Persetujuan kedua calon mempelai ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang dan tidak pula mengurangi ketentuan yang berlaku menurut agama masing-masing. Menurut syarat ini meskipun kesepakatan kedua belah pihak calon mempelai tetapi izin dari keluarga terutama kedua orang tua masing-masing pihak diperlukan sesuai dengan Hak Asasi Manusia atas perkawinan dan sesuai pula dengan 53
Abdulkadir muhamad, 2000, Hukum Perdata Undonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hal. 76.
38
tujuan perkawinan yang pada intinya untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. 2. Izin Orang tua/ pengadilan Jika belum berumur 21 Menurut Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan, untuk melangsungkan suatu perkawinan seorang yang belum berumur mencapai 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tua. Namun dalam ayat (3)nya menyebutkan bahwa jika kedua orangtuanya meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) UU Perkawinan cukup diperoleh dari orangtua yang masih hidup atau yang mampu menyatakan kehendaknya. Dalam hal ini anak yang dibawah umur 21 tahun jika ingin melakukan suatu tindakan hukum dalam hal ini perkawinan maka sebelum melangsungkan perkawinan harus ada izin dari kedua orang tuanya tetapi jika kedua orang tuanya tidak ada atau meninggal dunia maka calon mempelai dapat meminta izin dari wali yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan si calon mempelai, mengapa anak yang dibawah umur 21 tahun harus meminta izin dari kedua orangtuanya ini disebabkan karena umur 21 tahun dianggap belum dewasa menurut hukum. 3. Pria sudah berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, perkawinan dapat diberikan atau diizinkan jika pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak
39
wanita 16 tahun. Batas umur ini untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunannya. Dalam jika pasangan calon masing-masing masih berumur pria 19 tahun dan wanita 16 maka sebelum mereka melakukan perkawinan harus seizing kedua orangtuanya mereka masing-masing. 4. Tidak terikat dalam suatu perkawinan Pada Pasal 9 UU Perkawinan, seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal Pasal 3 ayat (2) dan dan Pasal 4 UU Perkawinan. Dalam Pasal 9 ini menganut asas monogamy. Suatu perkawinan tidak di perbolehkan untuk kawin lagi, tetapi apabila dalam perkawinan yang terdahulu terdapat masalah sesuai dengan yang dijelaskan pada Pasal 4 maka lakilaki tersebut dapat kawin lagi namun sesuai dengan peraturan agama masing-masing. 5. Tidak melakukan perkawinan atau perceraian untuk kedua kalinya dengan suami/istri yang sama. Ketentuan pada Pasal 10 UU Perkawinan, apabila suami-istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Oleh karena itu UU Perkawinan mempunyai maksud agar suami-istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan abadi, agar tidak terjadi putusnya
40
perkawinannya, jika suatu saat mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dengan pertimbangan yang matang. Ketentuan ini mencegah tindakan kawin-cerai dalam masyarakat dan agar antara pasangan suami-istri dapat menghargai satu dengan yang lain dan menciptakan keharmonisasian di kalangan keluarga dan masyarakat umum. 6. Bagi janda Ketentuan pada Pasal 11 ayat (1) UU Perkawinan, bagi seorang wanita berlaku jangka waktu tunggu, yang mana di sebutkan pada ayat (2) UU Perkawinan, tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut. Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan pada Pasal 39 disebutkan bahwa apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan dan untuk janda yang putus karena perceraian sedang antara janda dan bekas suami belum pernah melakukan hubungan kelamin maka tidak ada waktu tunggu tetapi jika perkawinan yang putus karena perceraian dan antara mereka
41
pernah melakukan hubungan kelamin maka waktu tunggunya dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan untuk janda yang perkawinannya putus karena kematian maka tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suaminya. Syarat-syarat ini bersifat kumulatif, jadi harus dipenuhi semua. B. Syarat Formal Syarat formal adalah yang berhubungan dengan formalitas-formalitas mengenai pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat formal ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan pada Pasal 3,4,5,6,8,9 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. 2.2.2. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Perkawinan menurut Hukum Adat, pada pembahasan yang akan dijelaskan oleh penulis ialah mengenai tempat kedudukan wanita dan hak wanita menurut hukum adat untuk melakukan tindakan Hukum. Mengenai tempat kedudukan wanita dalam hal hukum adat, di Indonesia terdiri dari 3 sistem yaitu sistem matrilineal, parental serta patrilinial. Tiga sistem kekeluargaan di masing-masing daerah memiliki perbedaan tentang pengaturannya. Pada masyarakat dengan sistem matrilineal umumnya baik istri maupun suami masing-masing tinggal dalam rumah keluarganya sendiri, tetapi dalam sistem patrilinial umumnya si wanita mengikuti tempat kedudukan dari si laki-laki dan pada sistem parental pada umumnya tidak ada peraturan yang
42
tetap mengenai kedudukan dari kedua belah pihak, pada sistem kekeluargaan ini lebih mengedepankan sistem parental kerena musyawarah terhadap kedua belah pihak lebih dikedepankan, seringkali istri mengikuti kedudukan suami dan seringkali pula suami mengikuti kedudukan istri. Hak wanita untuk melakukan tindakan hukum dalam hukum perkawinan menurut hukum adat dalam sistem matrilineal kaum wanita yang telah kawin berhak untuk bertindak sendiri sekedar mengenai barang-barang yang dimilikinya. 54 Dalam sistem patrilinial kaum wanita tidak berhak melakukan tindakan hukum, dan dalam sistem parental seperti penjelasan sebelumnya, hal ini menjelaskan mengenai kedudukan wanita atau hak wanita dalam melakukan suatu tindakan hukumnya, wanita umumnya berhak bertindak mengenai barang-barang yang dimilikinya, dan mengenai harta yang dimiliki oleh mereka bersama (harta yang dimiliki pada saat perkawinan dan tidak disertai oleh perjanjian kawin) merupakan atau dikuasai oleh suaminya, tetapi meskipun di kuasai oleh suami sebelum
melakukan
tindakan
yang
penting,
suami
umumnya
akan
memberitahukan dahulu kepada istrinya sebelum melakukan suatu tindakan dan kaum wanita sama dengan sistem patrilinial yang dimana dapat menuntut nafkah dan dapat meminta cerai jika ditinggalkan begitu saja oleh suaminya. Di samping hukum tertulis, terdapat hukum tidak tertulis yaitu hukum adat dan senantiasa pula ada hukum yang tidak berasal dari alat-alat perlengkapan lain
54
Nani Soewondo, 1984, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 50.
43
dan dari berbagai golongan dalam masyarakat. 55 Perkawinan tidak berimbang dengan urusan keluarga, urusan rumah tangga, urusan pergaulan masyarakat, urusan kedudukan dan urusan pribadi. 56 Pada umumnya di Indonesia terdiri beragam adat dan istiadat yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, hal ini mempengaruhi perkawinan di Indonesia. Melangsungkan perkawinan itu hanyalah subyek hukum yang dinamakan pribadi kodrati, tetapi tidak setiap pribadi kodrati yang dapat melangsungkan perkawinan. 57 Pengertian perkawinan menurut hukum adat adalah suatu ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu rumah tangga atau keluarga baru yang nantinya akan menghasilkan keturunan, yang mana perkawinan ini bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta kekayaan dan masalah pewarisan. 58 Perkawinan yang dilaksanakan secara adat dengan melibatkan keluarga besar kedua belah pihak. 59 Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja berarti sebagai perikatan perdatanya saja tetapi merupakan perikatan adat yang mana suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataannya saja. Menurut Ter Haar bahwa perkawinan itu adalah urusan 55
Van Dijk, 2006, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 5. 56 J. Prins, 1982, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, hal. 42. 57 Soerjono Soekanto, 2011, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 217. 58 Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam kajian kepustakaan), Penerbit Alfabeta, Bandung, hal. 222. 59 Soerojo Wignjodipoero, 1988, Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, hal. 55.
44
kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi dan menyangkut urusan keagamaan. 60 Perkawinan dalam arti adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan itu terjadi, yang mana yang dimaksud dengan akibat hukum ini adalah yang akan menimbulkan suatu hak dan kewajiban orangtua, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat, membina dan memelihara kerukunan keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan. Dalam perkawinan adat di Indonesia dapat berbentuk dan bersistem perkawinan jujuran yang mana dalam perkawinan ini dilakukan pelamaran yang dilakukan oleh laki-laki kepada pihak wanita biasanya perkawinan jujur ini terdapat pada daerah patrilinial (Batak. Lampung dan Bali). Perkawinan semanda yang mana dalam bentuk pelamaran yang dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak laki-laki dan setelah perkawinan terjadi pihak laki-laki mengikuti pihak wanita perkawinan ini terdapat pada daerah matrilineal (Minangkabau, Semendo sumatera selatan) dan perkawinan bebas yang mana pelamarannya dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita, dan untuk tempat kedudukan dan kediaman mereka bebas untuk memilih, perkawinan seperti ini terdapat pada daerah parental ( jawa, mencar, mentas). 61 Perkawinan yang dilakukan antar adat yang berbeda-beda tidak menjadi masalah seberat perkawinan yang dilangsungkan antar agama. Oleh karena itu 60 61
Ibid. Hilman Hadikusuma, op.cit, hal. 8.
45
perbedaan adat hanya menyangkut perbedaan masyarakat bukan perbedaan keyakinan, jadi perkawinan menurut hukum adat lebih luas pengertiannya di bandingkan dengan perkawinan menurut Perundang-undangan. Perkawinan adat bersifat : 62 1. Patrilokal (pada susunan patrilinial dan matrilineal) seperti suami istri tinggal pada keluarga si laki-laki (untuk sementara atau selamanya) 2. Matrilokal : suami istri tinggal pada keluarga si perempuan (pada tertib matrilineal dan parental: pada tertib yang terakhir ini kadang-kadang berganti-ganti patria tau matrilokal) 3. Pada waktu perkawinan atau beberapa lamanya sesudah itu keluarga yang baru itu pindah ke rumah sendiri. Upacara-upacara Perkawinan adat pada sesuatu perkawinan ini adalah berakar pada adat-istiadat serta kepercayaan, upacara keagamaan dilakukan pada hari-hari sebelum pernikahan serta berlangsung sampai hari-hari sesudah upacara nikah. Upacara perkawinan masing-masing daerah berbeda-beda. 2.2.3. Sahnya Perkawinan Menurut Perundang-undangan Untuk sahnya suatu perkawinan menurut perundang-undangan ini terdapat perbedaan antara KUHPerdata dengan UU Perkawinan. Dalam Kuhperdata hanya sebagai perikatan perdatanya saja sedangkan dalam UU Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan keagamaan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. 63 62
Van Dijk, 2006, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 53. 63 Ibid.
46
UU Perkawinan untuk sahnya suatu perkawinan harus dilakukan menurut ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Setelah dilaksanakan dengan hukum agamanya masing-masing para pasangan suami-istri dapat mendaftarkan perkawinan mereka pada kantor catatan sipil di daerah mereka masing-masing untuk mengetahui bahwa perkawinan yang akan mereka lakukan tidak mempunyai halangan. 2.3. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukun. Dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive maupun yang bersifat represif yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Beberapa unsur kata Perlindungan: 64 1. Melindungi:
menutupi
supaya
tidak
terlihat/tampak,
menjaga,
memelihara, merawat, menyelamatkan. 2. Perlindungan; proses, cara, perbuatan tempat berlindung, hal (perbuatan),
memperlindungi
(menjadikan
atau
menyebabkan
berlindung). 64
http//www.artikata.com/artiperlindungan.html, diakses pada tanggal 17 Juli 2013 pukul 22.30 Wita.
47
3. Pelindung: orang yang melindungi, alat untuk melindungi. 4. Terlindung: tertutup oleh sesuatu hingga tidak kelihatan. 5. Lindungan : yang dilindungi, cak tempat berlindung, cak perbuatan. 6. Memperlindungi: menjadikan atau menyebabkan berlindung. 7. Melindungkan: membuat diri terlindungi 2.4.
Pengertian tentang Akibat Hukum Perkawinan Suatu perkawinan mempunyai suatu akibat hukum, baik antara kedua belah
pihak maupun dengan keturunan. Akibat hukum perkawinan menyebabkan adanya hak dan kewajiban dan dalam hal harta benda. Dalam bab VI UU Perkawinan pada Pasal 30 berbunyi suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Selain hak dan kewajiban suami-istri ini, jika perkawinannya dikaruniai anak, kedudukan anak yang diatur pada Pasal 42-44 UU Perkawinan. Dalam Pasal 42 anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, maka masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang sama yang mana diatur pada Pasal 45 - 49 UU perkawinan kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Akibat dari suatu perkawinan terjadi pada harta benda, yang mana harta ini merupakan permasalahan yang paling sensitive bagi semua golongan masyarakat. Harta benda dalam suatu perkawinan terjadi adanya percampuran harta benda diantara suami dan istri tanpa adanya perjanjian kawin (Pasal 29 UU Perkawinan). Harta campuran Pasal 35 UU Perkawinan ayat (1) berbunyi Harta Benda yang
48
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama terkecuali jika harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan (Pasal 35 ayat 2 UU Perkawinan). Apabila
suami-istri
masing-masing
membawa
harta
kedalam
perkawinannya, atau dalam perkawinannya tersebut memperoleh harta karena hadiah atau warisan, maka harta tersebut tetap dikuasai oleh masing-masing pihak, kecuali ditentukan untuk dijadikan harta bersama. 65 Akibat suatu perkawinan menyebabkan suatu akibat terhadap hak dan kewajiban para pihak serta hak dan kewajiban terhadap anak-anak. 2.5.
Pengertian Pencatatan Perkawinan Tahun
1996
No.31/U/In/12/1996
telah yang
dikeluarkan antara
lain
Instruksi
Presidium
menginstruksikan
kepada
Kabinet menteri
kehakiman serta kantor catatan sipil seluruh Indonesia untuk tidak menggunakan penggolongan-penggolongan penduduk Indonesia. Berdasarkan pasal 131 dan 163 I.S. pada kantor catatan sipil diseluruh Indonesia serta selanjutnya kantor cacatan sipil di Indonesia untuk bagi seluruh penduduk Indonesia dan hanya ditentukan antara Warga Negara Indonesia dan Orang Asing. 66 Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam buku Understanding Family Law “ Formal Registration Of The Marriage Is Necessary To Enable The Parties To Have Proof Of Their Status. As You Will Realise, Many Rights And Obligations, Both Of The Parties To One Another And Of The State, Are Dependent Upon The Status Of A Married Person. The Marriage Register 65
Djoko Prakoso, op.cit, hal. 26. Soedjito Tjokrowisastro, Pedoman Penyelenggaraan, Catatan Sipil, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 217. 66
49
Must Be Completed And Signed By Witnesses A Copy Of Thisentry In The Marriage Register is Provided To The Couple.” 67 ( Pendaftaran resmi dari pernikahan yang diperlukan untuk memungkinkan para pihak untuk memiliki bukti status mereka. Ketika Anda akan menyadari, banyak hak dan kewajiban, baik dari pihak satu sama lain dan negara, tergantung pada status orang yang sudah menikah. Salinan entri ini dalam akta nikah disediakan untuk pasangan). Di negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan ruju’). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah: a. Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk Nikah, Talak, dan Ruju’ bagi orang beragama Islam. b. Kantor catatan sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang tunduk kepada: 1. Stb 1933 Nomor 75jo Stb. Nomor 1936 Nomor 607 tentang Peraturan Sipil untuk orang Indonesia, Kristen, Jawa, Madura, Minahasa, dan Ambonia. 2. Stb 1847 Nomor 23 tentang Peraturan Perkawinan dilakukan menurut ketentuan Stb. 1849 Nomor 25 yaitu tentang Pencatatan Sipil Eropa. 3. Stb 1917 Nomor 129 pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan Stb. 1917 Nomor 130jo. Stb. 1919 Nomor 81 tentang Peraturan Pencatatan Sipil Campuran. 4. Pencatatan Sipil untuk Perkawinan Campuran sebagaimana diatur dalam Stb. 1904 Nomon 279.
67
ME. Rodgers, 2004, Understanding Family Law, Cavendish Publishing Limited, London, hal. 10.
50
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa orang Kristen di Sumatera, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, sebagian di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang belum diatur tersendiri sebagaimana tersebut dalam poin-poin di atas, pencatatan perkawinan bagi mereka ini dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil berdasarkan ketentuan Pasal 3 sampai dengan 9 peraturan ini. Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan di wilayahnya masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan ini dapat dikenakan sanksi kepada petugas pencatat perkawinan tersebut. Salah satu kegunaan dari pencatat perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan kabinet tentang data NTR. Di Indonesia banyak terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor catatan sipil. Guna perkawinan dicatatkan adalah untuk suatu pembuktian, jika perkawinannya tersebut dicatatkan maka perkawinan yang dilakukan mempunyai kekuatan hukum tetap. Di dalam Pasal 2 ayat (2) undang-undang ini menjelaskan mengenai adanya pencatatan perkawinan, yang secara rinci diatur bahwa: 68 a. Pencatatan perkawinan dari yang akan melangsungkan perkawinannya menurut agama islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. b. Pencatatan perkawinan dari yang akan melangsungkan perkawinanya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama islam, dilakukan 68
Sudarsono, 2010, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 17-21.
51
oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatat perkawinan. c. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan 9 peraturan pemerintah. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, pencatatan perkawian dilakukan oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Kantor catatan Sipil atau instansi/pejabat yang membantunya. Sedangkan hal-hal yang berhubungan dengan tatacara pencatatan perkawian pada dasarnya dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 3 dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Mengenai ketentuan khusus yang menyangkut tatacara pencatatan perkawinan yang diatur dalam berbagai peraturan, merupakan pelengkap bagi Peraturan Pemerintah. Ketentuan mengenai tempat pemberitahuan dan tenggang waktu antara saat memberitahukan dengan pelaksanaaannya. a. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. b. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
52
c. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. 1. Tata cara pemberitahuan kehendak untuk melakukan perkawinan di tentukan bahwa : Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya. 2. Di dalam memberitahukan terdapat beberapa unsur yang harus disampaikan, yakni : “Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isterinya atau suaminya terdahulu”. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang menurut penjelasannya dinyatakan bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga, maka dalam pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, dicantumkan baik nama kecil maupun nama keluarga. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama kecilnya saja ataupun namanya saja. Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat dijadikan alasan untuk penolakan berlangsungnya perkawinan”. 3. Pemberitahuan tersebut mengharuskan Pegawai Pencatat untuk melakukan beberapa hal, yaitu : a. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan,
meneliti
apakah
syarat-syarat
perkawianan telah dipenuhi menurut Undang-Undang. b. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam angka 1 (satu) Pegawai Pencatat meneliti pula kutipan akta kelahiran atau surat
lahir
calon
mempelai,
keterangan
mengenai
nama,
53
agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orangtua calon mempelai, jika salah satu mempelai belum berumur 21 tahun maka ia diwajibkan untuk meminta surat izin tertulis/izin pengadilan, jika calon suami masih mempunyai isteri maka meminta izin dari pengadilan dan izin dari istri pertamanya, tetapi jika masingmasing calon mempelai pernah kawin dan perkawinan mereka yang terdahulu telah putus akibat perceraian atau kematian maka meminta surat kematian yang diberikan oleh lurah/ kepala desa yang meliputi wilayah tempat kediaman suami atau istri terdahulu, untuk calon mempelai Anggota Angkatan Bersenjata meminta izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/ PANGAB, jika nantinya salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena adanya halangan maka dimohonkan untuk membuat surat dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat atau surat kuasa otentik, penyelenggaraan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat yang diatur dengan tegas bahwa setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinannya itu maka pegawai pencatat segera menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor
54
pencatat perkawinan pada suatu tenpat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum atau masyarakat. Selain penjelasan diatas dalam buku mengenai pedoman penyelenggaraan catatan sipil menjelaskan bahwa, apabila seorang hendak melangsungkan perkawinan maka ia harus: 69 a. Memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinanya kepada Pegawai Pencatata perkawinan ditempat perkawinan akan dilangsungkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan, untuk selanjutnya di dalam pedoman ini pegawai pencatat perkawinan disebut pegawai pencatat sipil/ pejabat khusus. b. Yang dimaksud dengan pejabat Khusus adalah seorang pemuka agama yang diangkat oleh pejabat yang berwenang. c. Pemberitahuan dilakukan dengan cara lisan atau tertulis, lisan yaitu apabila datang sendiri ke kantor pencatat dan dalam hal pemberitahuan secara lisan tidak mungkin, maka dilakukan secara tertulis (Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan). d. Setelah dilakukan pemberitahuan maka pegawai pencatat sipil/pejabat khusus memberikan 2 (dua) macam formulir, yaitu formulir model 1 dan formulir model 2. Kedua formulir dapat diisi di Kantor Pencatat Perkawinan atau dapat di isi di rumah.
69
Soedjito Tjokrowisastro, 1985, Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 270.
55
e. Dalam hal pemberitahuan tidak dilakukan oleh calon mempelai dan formulir model 1 akan diisi oleh orang yang melakukan pemberitahuan di Kantor Pencatat Perkawinan, maka formulir dapat ditandatangani oleh orang yang datang melakukan pemberitahuan tersebut yang bertindak atas nama kedua calon mempelai. Untuk hal ini pegawai pencatat sipil/pejabat khusus harus mengetahui adanya surat persetujuan tertulis dari pada calon mempelai seperti yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan. f. Formulir model 2 seperti dimaksud dalam nomor 4 diatas adalah formulir pencatatan perkawinan yang sekurang-kurangnya harus di tanda tangani oleh salah seorang calon mempelai. Lampiran yang diperlukan seperti di tentukan dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan UU Perkawinan yaitu: 1. Akte kelahiran bagi mereka yang mempunyai atau bagi mereka yang pada waktu lahirnya telah diperlakukan peraturan pencatatan sipil. Bagi yang tidak mempunyai akte kelahiran khususnya warganegara Indonesia asli dapat menggunakan surat kenal lahir atau surat keterangan dari kepala desa yang menyatakan tentang umur dan asalusul mempelai. 2. Bagi mereka dari anggota ABRI supaya melampirkan surat izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh menteri Hankam/Pangab. 3. Apabila ada calon mempelai yang pernah kawin supaya melampirkan akte kematian atau akte perceraian. Dan mereka yang masih dalam ikatan perkawinan supaya melampirkan izin dari pengadilan.
56
4. Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus ada izin orang tua/wali orang yang memelihara/anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan keatas atau izin dari pengadilan, mengenai izin orangtua, wali seperti dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3) dan (4) UU Perkawinan dalam formulir model 4 sudah disediakan tempat untuk tanda tangan orang yang memberi izin apabila ia datang hadir pada waktu perkawinan dilangsungkan, akte izin untuk perkawinan ini dibuat oleh orang yang akan memberi izin di kantor Catatan Sipil dari tempat kediamannya yang kemudian kutipan dari akte tersebut disampaikan kepada Pegawai Pencatat Sipil di Kantor Pencatatan sipil dimana perkawinan akan dilangsungkan. 5. Bagi salah seorang atau kedua mempelai yang tidak dapat hadir karena suatu alasan penting supaya melampirkan surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat sipil 6. Bagi calon mempelai yang mengadakan perjanjian perkawinan supaya melampirkan suatu perjanjian. 7. Dispensasi pengadilan sebagai di maksud Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan. g. Apabila calon mempelai yang harus menanda tangani formulir model 2 itu buta huruf maka ia dapat membubuhi cap jempol kiri yang dilakukan dihadapan pegawai pencatat sipil/ pejabat khusus.
57
h. Setelah formulir diteliti berikut lampiran-lampiran, pegawai pencatat sipil/pejabat khusus mencatat/menulis kedalam daftar model 3 dalam rangkap 2, satu helai untuk dilampirkan kedalam daftar akte perkawinan dan satu helai lagi untuk diumumkan daftar ditanda tangani oleh pencatat sipil/pejabat khusus (Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan). i. Kalau para calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan berbeda tempat kediamannya, maka pengumuman dilakukan di kantor di mana perkawinan dilangsungkan dan juga di kantor pencatat sipil dari tempat kediaman calon mempelai yang lainnya. j. Apabila tidak ada sanggahan terhadap pengumuman maka pegawai pencatat sipil/pejabat khusus mengutip formulir untuk pencatatan perkawinan yang telah diisi kedalam daftar akta perkawinan model no 4 dalam rangka dua beberapa hari sebelum perkawinan dilangsungkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan. Surat-surat keterangan yang dilampirkan pada formulir untuk pencatatan perkawinan supaya disebutkan pada daftar akta perkawinan. k. Daftar akta perkawinan harus ditanda tangani oleh para mempelai, orang tua, para saksi dan pegawai pencatat sipil/pejabat khusus. l. Kepada mempelai diberikan kutipan akta perkawinan, model no 5 sesaat sesudah perkawinan dilangsungkan (Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan).
58
m. Bagi para mempelai yang belum mempunyai peraturan pencatatan sipil mengenai perkawinan (misalnya warga Negara Indonesia asli bukan nasrani) agar pengisian Staatsblad pada formulir model 4 dan 5 tidak di isi n. Kalau perkawinan dilangsungkan dihadapan pejabat khusus maka akta perkawinan ditanda tangani oleh pejabat khusus dan kemudian ditanda tangani pula oleh pegawai pencatat sipil, sedangkan kutipan akta perkawinan dari perkawinan tersebut hanya diberikan dan ditanda tangani oleh Pegawai Pencatat Sipil. o. Dalam hal mengeluarkan kutipan akta perkawian (formulir model no 5), maka dibawah perkataan “pencatatan sipil” dimana hatrus diisi dengan kewarganegaraan mempelai maka supaya disebutkan Negara dari mempelai pria. Apabila pihak mempelai pria tidak mempunyai kewarganegaraan atau tanpa kewarganegaraan maka disebutkan dengan “tanpa kewarganegaraan”. p. Apabila dalam pedoman ini disebutkan pegawai pencatat sipil, maka hal ini adalah yang dimaksudkan dengan Pegawai Luar Biasa seperti yang tercantum pada model-model formulir terlampir. 2.6. Pengertian Upacara Perkawinan Pernikahan adalah sebuah peristiwa penting bagi setiap manusia yang akan melanjutkan kejenjang yang lebih baik dari sebelumnya maka dari ini Upacara perkawinan adalah sebuah kegiatan atau peristiwa yang bersifat sakral dan dapat dikenang bagi setiap golongan yang akan menikah. Upacara perkawinan adalah
59
upacara yang berkaitan dengan keagamaan, biasanya dilaksanakan sesuai dengan adat yang diselenggarakan dalam rangka menyambut peristiwa perkawinan. Upacara perkawinan di Indonesia antar satu daerah dengan daerah yang lainnya berbeda-beda karena di Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat kebiasaan. Indonesia terdiri dari 6 agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat, Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. 2.6.1. Perkawinan Menurut Hukum Agama Islam Dasar agama Islam dimuat dalam ALquran, hukum Islam melarang perkawinan antara orang-orang yang berhubungan darah dalam keturunan lurus dan keturunan menyimpang serta orang yang berhubungan semenda dalam keturunan lurus. Perkawinan dalam bahasa arab adalah “nikah”, arti nikah ada dua yaitu arti sebenarnya dan arti kiasan. Nikah pada hakekatnya adalah aqad antara calon suami isteri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri, aqad artinya ikatan atau perjanjian, jadi perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antra seorang wanita dengan seorang pria. 70 Sebelum aqad nikah dilakukan, diadakan terlebih dahulu peminangan secara resmi dari pihak laki-laki dan wali dari pihak wanita pemberi persetujuannya. Aqad Perkawinan yang akan dilangsungkan sebelum dictatakan, agar secara agama perkawinan tersebut sah. Dengan melakukan ijab Kabul (yaitu penawaran oleh wali mempelai perempuan dan penerimaan oleh mempelai laki 70
Asmin, Status Perkawinan Antara Agama, PT.dian Rakyat, Jakarta, hal. 28.
60
laki) di hadapan sekurang-kurangnya dua saksi laki-laki yang harus beragama Islam dan berkelakuan baik. 71 Perkawinan ialah aqad antara calon suami-isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at. 72 Perkawinan menurut Islam ialah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama-sama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram bahagia dan kekal. 73 Agama Islam dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, pertama berupa pokok-pokok akidah, yaitu hal-hal yang menyangkut kepercayaan, keimanan dan keyakinan, seperti : percaya kepada Tuhan, malaikat, wahyu, rasulrasul, kitab suci, hari kiamat dan sebagainya, yang harus dipercayai, diimani dan diyakini kebersamaannya sebelum lainnya. Kedua yang berupa pokok-pokok syari’ah berisi pokok-pokok peraturan amaliah (sikap tindak/perbuatan) manusia sehubungan dengan hubungannya dengan tuhan, sesama umat seagama, sesama umat lainnya, hubungannya dengan alam dan mahluk hidup lainnya. Perkawinan oleh agama islam dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang, yaitu: Sudut hukum, sosial dan agama. Dari sudut Hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian yang sangat kuat “mitsaaqaan ghaliizhaan” sebagai disebutkan dalam qur’an IV:21, dari sudut sosial, perkawinan merupakan sarana untuk meningkatkan status seorang dalam masyarakat, sedangkan dari sudut agama, 71
Nani Soewondo, 1984, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 54. 72 H. Mahmud Yunus, 1981, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Hildakarya Agung, Cetakan ke 9, Jakarta, hal. 1. 73 Idris Ramulyo, 1984, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Ind.Hill Co, Jakarta, hal. 174.
61
perkawinan ini diangap sebagai suatu lembaga suci, sebab pasangan suami isteri itu dihubungkan dengan mempergunakan nama Allah (qur’an IV:1). 74 Agama Islam mensyari’atkan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu, antara lain adalah : 75 1. Untuk melanjutkan keturunan 2. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan maksiat 3. Menimbulkan rasa kasih sayang 4. Untuk menghormati sunah, rasul dan, 5. Untuk membersihkan keturunan. Perkawinan yang sah menurut agama islam adalah perkawinan yang dilakukan secara hukum islam yaitu melalui aqad nikah karena memenuhi rukun dan syarat. 76 Rukun ialah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum, perkawinan sebagai perbuatan hukum tentunya juga harus memenuhi rukun dan syart-syarat tertentu. 77 Agama islam menentukan sahnya akad nikah kepada tiga macam syarat, yaitu : 1. Dipenuhinya semua rukun nikah 2. Dipenuhinya syarat-syarat nikah 3. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagai yang ditentukan oleh syariat.
74
Asmin, loc.cit,. Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agma dan Masalahnya, Shantika Dharma, cetakan pertama, Bandung, hal. 22. 76 Zuhri Hamid, 1978, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang Perkawinan di Indonesia, Cet. Ke-1, ttp:Bina Cipta,hal. 24. 77 Asmin, op.cit, hal. 29. 75
62
Rukun nikah merupakan bagian dari pada hakekat perkawinan, artinya bila salah satu dari rukun nikah tidak dipenuhi, maka tidak akan terjadi suatu perkawinan. Syarat nikah menurut agama Islam diperinci ke dalam syarat-syarat untuk mempelai wanita dan syarat-syarat untuk mempelai laki-laki. Syarat-syarat nikah dapat digolongkan kedalam syarat materiil dan harus dipenuhi agar dapat melangsungkan perkawinan, syarat bagi calon mempelai laki-laki : 1. Beragama islam 2. Terang laki-lakinya (bukan banci) 3. Tidak dipaksa (dengan kemauan sendiri) 4. Tidak beristeri lebih dari empat orang 5. Bukan mahramnya bakal isteri 6. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan bakal isternya 7. Mengetahui bekal isterinya tidak haram dinikahinya 8. Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah Selanjutnya mengenai syarat bagi calon mempelai wanita untuk dapat melangsungka perkawinan, adalah: 1. Beragama islam 2. Terang perempuannya (bukan banci) 3. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahinya 4. Tidak bersuami, dan tidak dalam masa idah 5. Bukan mahram bakal suami 6. Belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh bakal suaminya 7. Terang orangnya
63
8. Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah Jika tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut diatas maka berakibat batal atau tidak sahnya nikahnya. 2.6.2. Perkawinan Menurut Agama Kristen Katolik dan Protestan Timbulnya aliran-aliran dalam agama Kristen, dimulai sekitar abad 16, yaitu ketika Martin Luther (1527) secara terang-terangan menentang paus sebagai pimpinan tertinggi gereja Katolik saat itu. Gerakan-gerakan yang mengikari kekuasaan paus dan menghendaki perubahan dalam tata kehidupan keagamaan tersebut dikenal dengan gerakan reformasi. Gerakan-gerakan itu timbullah aloran baru dalam agama Kristen diantaranya adalah aliran agama protestan, yang pada mulanya mempunyai banyak pengikut di jerman, Denmark, Swedia dan Norwegia. 78 A. Perkawinan menurut agama katolik Agama katolik menganggap nikah sebagai satu “Sakramen”, gereja Roma Katolik mendasarkan ajarannya itu pada Efesus 5:25-33. Hukum gereja katolik merumuskan perkawinan sebagai perjanjian perkawinan. Sifat kodratinya teratah pada kesejahteraan suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak, oleh Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen. 79 Perkawinan Katolik bersifat monogami, kekal dan sakramental, tujuan dari perkawinan katolik untuk saling melengkapi antar satu dengan yang lain dengan kata lain untuk saling menyempurnakan dan saling membutuhkan, dan untuk 78 79
Sundoro, Sejarah umum, jilid 1, PT. Pembangunan Jakarta, Jakarta, hal. 42. Asmin, Op,cit, Hal. 34.
64
menghasilkan keturunannya kelak. Sahnya perkawinan Katolik adalah perkawinan yang dilakukan, diteguhkan dan diberkati oleh pejabat gereja. Pernikahan antara seorang pria dan wanita yang dilakukan secara sah ditingkatan menjadi satu sakramen. Sakramen diberikan oleh suami istri itu sendiri, dengan mengucapkan janji saling mencintai dan setia satu sama lain dihadapan imam dan para saksi. 80 Syarat-syarat perkawinan katolik : 1. Syarat Materiil. a. Calon mempelai sudah mengerti makna penerimaan sakramen perkawinan beserta akibat-akibatnya b. Tidak berdasarkan paksaan c. Pria sudah berumur 16 tahun dan wanita 14 tahun d. Tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain e. Beragama katolik f. Tidak ada hubungan darah yang terlampau dekat g. Tidak melnggar larangan perkawinan 2. Syarat Formil a. Dua bulan sebelum hari pernikahan, calon mempelai memberitahukan maksudnya kepada pastor paroki pihak wanita atau pihak pria bila calon isteri tidak beragama katolik b. Pastor paroki akan mengadakan penyelidikan kanonik mengenai ada atau tidaknya halangan perkawinan, pengertian calon mempelai tentang makna menerima sakremen perkawinan dengan segala akibatnya 80
Asmin, loc.cit.
65
c. Bila tidak ada halangan perkawinan, pastor paroki akan mengumumkan berturut-turut 3 kali pada misa hari minggu d. Bila tidak ada pencegahan perkawinan, pernikahan dapat dilangsungkan pada hari yang ditentukan e. Pernikahan dilakukan menurut aturan gereja katolik yaitu :
harus
dihadapan ordinaries wilayah atau pastor-pastor atau imamdiakon yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka untuk meneguhkan perkawinan tersebut, harus di saksikan oleh dua orang saksi f. Setelah perkawinan menurut hukum agama selesai, pernikahan tersebut haruslah dicatatkan di kantor Catatan Sipil B. Perkawinan menurut agama Protestan Perkawinan menurut agama Protestan hampir sama dengan Katholik. Pandangan agama Protestan mengenai perkawinan dimulai dengan melihat perkawinan sebagai suatu peraturan yang ditetapkan oleh tuhan. Dasar utama dari perkawinan menurut Alkitab adalah kasih yang tulus dari dua orang, sehingga mereka menentukan untuk hidup bersatu dalam suka atau duka sehinggga diceraikan oleh kematian. 81 Perkawinan menurut pandangan protestan adalah suatu persekutuan hidup dan percaya yang total, eksklusif dan bersambung. Seorang pria dengan seorang wanita yan dikuduskan dan diberkati oleh kristus Yesus. Tujuannya adalah supaya dengan pernikahan itu seorang pria dan seorang wanita dapat saling bantu membantu, saling melengkapi, saling menyempurnakan satu dengan lainnya, 81
hal. 7.
Soerjono, 1982, Perkawinan Yang Bahagia, edisi ke 8, Yakin, Surabaya,
66
sehingga akan dapat dicapai kebahagian hidup materiil dan spiritual di dalam kasih dan rahmat Tuhan. 82 Menurut keyakinan Kristen Protestan, pernikahan mempunyai dua aspek : 1. Aspek sipil, yang mana erat hubungannya dengan masyarakat dan Negara, karena Negara berhak mengaturnya menurut undang-undang Negara 2. Perkawinan adalah merupakan soal agama, yang harus tunduk kepada hukum agama Jadi sahnya perkawinan menurut agama protestan adalah suatu perkawinan yang harus melalui catatan sipil kemudian agama, hal ini sesuai dengan Pasal 81 Kuhperdata yang mana dalam hal ini di dahulukan terlebih dahulu urusan sipilnya lalu agamanya karena suatu pernikahan akan lahir keluarga yang merupakan inti dari suatu bangsa. 2.6.2. Perkawinan menurut agama Hindu dan Budha a. Perkawinan Menurut Agama Hindu Dalam agama Hindu suatu perkawinan mempunyai makna dalam sebuah pengordanan suci (yadnya), dalam konsep Hindu perkawinan disebut Grhasta yang mempunyai arti masa berumah tangga. Perkawinan agama hindu bertujuan hidup sejahtera dan bahagia, dalam kitab Manawadharmasastra ada tiga tujuan yaitu dharmasampatti, praja dan rati. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan dan penpres no 1 tahun 1963 yang diUndangkan menjadi UU No. 5 tahun 1969 menentukan adanya hukum Hindu untuk di tinjau dalam rangka pelaksanaan UU Perkawinan yang 82
J. Verkuly, 1984, Etika Kristen (seksuil), Gunung Mulia, Cetakan ke 8, Jakarta, hal. 56.
67
dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. 83 Menurut istilahnya hukum adalah dharma atau dharma adalah hukum. Sistem perkawinan hindu adalah cara atau bentuk usaha yang dibenarkan dan yang dapat dilakukan oleh seseorang menurut hukum hindu dalam melegalisir tata cara perkawinan, sehingga dengan demikian baik formil maupun materiil dapat dinyatakan sah sebagai suami isteri. 84
Berdasarkan Manusmreti
(Manudharmasastra), perkawinan umat Hindu bersifat religious dan obligator (mengikat), hal ini dihubungkan dengan adanya kewajiban bagi seorang untuk mempunyai keturunan laki-laki (purusa) agar anak tersebut dapat menyelamatkan orangtua dari neraka. 85 Tetapi jika perkawinan tidak dilangsungkan dengan upacara menurut hukum Hindu maka perkawinan itu tidak sah. Dalam Hukum Adat Bali, perkawinan selain dilandasi oleh UU Perkawinan, juga dilandasi oleh Agama Hindu. Dalam hukum adat Bali dikenal adanya dua bentuk perkawinan yaitu: a. Bentuk Biasa, yaitu perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, dengan si laki-laki berkedudukan sebagai purusa. Dalam perkawinan seperti ini si laki-laki mengawini si perempuan dengan menarik perempuan itu masuk rumpun keluarga laki-laki. Perempuan berkedudukan sebagai predana. Dalam arti juga keturunannya nanti secara otomatis akan masuk ke dalam rumpun keluarga si laki-laki sebagi suaminya dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan keluarga 83
Gde Pudja, 1984, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari, Jakarta, hal. 18. 84 Ibid. 85 Ibid.
68
ibunya. Terjadinya bentuk perkawinan ini adalah sebagai akibat dianutnya sistem kekeluargaan patrilineal di Bali. Menurut sistem kekeluargaan patrilineal, anak laki-laki yang memegang peranan yang sangat penting selaku pelanjut keturunan dalam keluarga, sehingga dalam perkawinan si istri akan mengikuti suami dan demikian pula berlaku bagi anak-anaknya nanti akan masuk menjadi anggota keluarga ayahnya. b. Bentuk Nyentana, yaitu perkawinan yang dilakukan dengan si perempuan berkedudukan sebagai “purusa”. Hal ini merupakan kebalikan dari bentuk perkawinan biasa yang berlaku dan dilaksanakan di Bali. Dalam perkawinan seperti ini, si perempuan kawin dengan si laki-laki dengan menarik si lakilaki itu masuk ke rumpun keluarga si perempuan. Si perempuan menjadi berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-laki akan berkedudukan sebagai perempuan. bagi si perempuan akan berlaku hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Dalam arti juga keturunannya nanti secara otomatis akan masuk ke dalam rumpun keluarga si perempuan sebagai istrinya yang berstatus purusa dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan
keluarga
ayahnya. Bagi laki-laki yang nyentana,
kedudukannya dalam warisan adalah sebagai perempuan.86 Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu perkawinan tidak hanya menyangkut perempuan dan pria yang akan menjadi suami istri saja tetapi juga menyangkut orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan kerabat lainnya. 86
I Ketut Atardi, 1987, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Yurisprudensi, Cet. II, Setia Lawan, Denpasar, hal. 169.
69
Perkawinan juga bukan hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup tetapi perkawinan itu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta terbentuk rumah tangga yang sehat dan anak yang lahir dari keturunan yang sah. Dalam adat bali sebelum melakukan perkawinan antara calon suami atau calon istri melakukan “kawin lari ” atau “kawin rangkat” dengan maksud Bakal suami melarikan Bakal istri dengan paksaan. Dalam perkawinan semacam ini mempelai laki-laki wajib memberi ganti rugi juga kepada pihak yang terhina dan di samping itu harus pula membayar pengeluaran-pengeluaran perkawinan biasa lainnya. Istilah perkawinan di Bali adalah Patukun-luh, Pemberian jujur atau Patukun-luh oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan adalah sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si istri dengan orang tua, nenek moyang, saudara-saudara sekandungnya. Dalam hal ini perlu diperhatikan mengenai perkawinan rangkat (Gandharwa Wiwaha) yang menurut hukum Hindu formalitas menurut hukum hindu ia sudah sah sebagai suami istri sejak upacara bea-kaon (mekala-kalaan), namun karena proses hukum yang dikehendaki untuk registrasinya maka saat kedua pihak telah melakukan upacara keagamaan agar mencatatkan perkawinan. 87 Perkawinan agama Hindu dikaitkan dengan urusan niskala dan sekala, bahwa perkawinan merupakan urusan sekala, adanya pengumuman di desa pakraman dengan awig-awig yang berlaku di banjar atau desa pakraman setempat
87
Gde Pudja, op.cit. hal. 80.
70
dan adanya akta perkawinan. 88 Setelah adanya UU Perkawinan pada Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang mewajibkan suatu perkawinan dicatatkan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku akhir dari proses pencatatan perkawinan adalah dikeluarkannya akta perkawinan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setelah pemohon memenuhi segala persyaratan yang diperlukan. 89 Fungsi pencatatan perkawinan sama halnya dengan pencatatan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seorang, misalnya kelahiran atau kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. 90 Akta perkawinan bagi agama Hindu, tidak jauh berbeda dengan umat non Hindu, akta perkawinan tidak hanya berfungsi untuk membuktikan bahwa telah dilaksanakan perkawinan secara sah berdasarkan aturan yang berlaku, juga untuk menjelaskan kedudukan hukum seseorang dalam keluarga. 91 b. Perkawinan Menurut Agama Budha Doktrin atau pokok ajaran agama Budha disebut Dharma, ajarannya ini dirumuskan dalam apa yang disebut empat kebenaran yang mulia atau empat aryasatyani. Aryasatyani terdiri dari empat kata, yaitu: Dukha artinya penderitaan, samudaya artinya sebab, nirodha artinya pemadaman, dan marga artinya jalan yaitu jalan kelepasan. 92
88
I ketut Sudantra, dkk, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press, hal. 16. 89 Ibid. 90 Ibid, hal. 25. 91 Ibid, hal. 52. 92 Asmin, Op.cit, hal. 50.
71
Menurut Budha, hidup adalah penderitaan, dilahirkan, tua, mati, dilahirkan kembali. Perkawinan sebagai salah satu aspek hidup akan selalu dicengkeram oleh dukha, dan dalam suatu perkawinan kebahagian yang diperoleh adalah bersifat kebahagian duniawi (lokiya) sedangkan kebahagian tertinggi adalah nirwana (nibbana) yang untuk mencapainya diperlukan pemadaman semua kekotoran batin termasuk nafsu seks. Perkawinan menurut agama budha adalah sebagai suatu ikatan suci yang harus dijalani dengan cinta dan kasih sayang seperti yang diajarkan oleh Budha. Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin dari dua orang yang berbeda kelamin, yang hidup bersama untuk selamanya dan bersama-sama melaksanakan Dharma Vinaya untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang, dikenal 4 macam perkawinan di dalam ajaran agama budha : 93 1. Raksasa (chavo) yang hidup bersama,karena suami isteri adalah pasangan yang hinadan berkelakuan buruk. 2. Raksasa yang hidup bersama Dewi, karena suami yang berkelakuan buruk hidup dengan isteri yang berbudi luhur dan berkelakuan baik. 3. Dewa yang hidup bersama Raksesi, karena suami yang berkelakuan baik hidup dengan isteri yang berkelakuan buruk. 4. Dewa yang hidup bersama Dewi, karena suami isteri merupakan pasangan yang mulia, yang berkelakuan baik.
93
Asmin, loc.cit.
72
Tujuan dari perkawinan ini untuk mencapai kebahagian lahir dan bathin, baik dalam kehidupan sekarang maupun dalam kehidupan yang akan datang. Syarat-syarat perkawinan menurut agama Budha mengatur masalah perkawinan umatnya, di atas bahwa syarat materiil yang minimal harus dimiliki oleh umat Budha yang bermaksud akan melangsungkan perkawinan adalah sebagai berikut : 1. Apapun yang mendorong suatu pasangan untuk menikah cinta kasih dan pengertian yang baik dengan tujuan membahagiakan satu nama lain adalah hal utama yang harus dikembangkan. 2. Usia kedua calon mempelai tidak terlalu jauh berbeda 3. Kedua calon mempelai haruslah sedharma, mempunyai keyakinan yang sebanding tata susila yang sebanding, kemurahan hati yang sebanding dan kebiksanan yang sebanding pula. Formalitas atau tatacara perkawinan diatur atau disusun oleh para pemimpin agama budha, disesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan setempat dengan berpedoman pada ajaran budha. Dengan selesainya upacara keagamaan selesai pula pelaksanaan perkawinan menurut agama budha, selanjutnya untuk kepastian hukum perkawinan kedua mempelai tersebut, maka pernikahan yang sudah sah menurut hukum agama harus dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil sebagai dikehendaki oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No 1 tahun 1974. 94
94
Asmin, op.cit, hal. 56.
73
2.7. Hukum Tentang orang, Hukum Keluarga Di Belanda dan Di Indonesia 2.7.1. Hukum Tentang Orang dan Hukum Keluarga di Belanda 2.7.1.1.Pasangan Hidup Bersama yang Terdaftar Pasangan hidup bersama yang terdaftar telah ada sejak tahun 1 Januari 1998. Konsekuensi dari pasangan hidup bersama yang terdaftar sebagian besar sama dengan perkawinan. Beberapa perbedaan penting antara pasangan hidup bersama yang terdaftar dan perkawinan adalah sebagai berikut : 95 1. Sebuah
pasangan
hidup
bersama
yang
terdaftar
tidak
otomatis
mengakibatkan hubungan keluarga dengan anak-anak yang lahir dalam pasangan hidup bersama tersebut. Sama seperti pasangan yang tidak menikah, pasangan hidup bersama yang terdaftar tidak memiliki konsekuensi hukum dalam hal pewarisan atau hak mewarisi. Namun pasangan hidup yang terdaftar benar-benar secara otomatis memiliki kewenangan bersama sebagai orang tua atas anak yang lahir selama kehidupan bersama yang terdaftar tersebut, jadi dalam kehidupan bersama yang terdaftar mengenai anak tidak diperlukan untuk mendaftar kewenangan bersama sebagai orang tua pada pencatatan kewenangan sebagai orang tua dan pengasuh atau hak asuh. 2. Sebuah pasangan hidup bersama yang terdaftar dapat dihentikan dengan persetujuan antara para pihak tanpa intervensi pengadilan. Namun sejak tanggal 1 Maret 2009 intervensi pengadilan telah menjadi wajib jika para
95
Wilbert D.Kolkman, 2012, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia. Pustaka Larasan, Denpasar, Bali, hal. 38.
74
pasangan memiliki kewenangan bersama sebagai orang tua atas satu atau lebih anak. Selain perbedaan-perbedaan tersebut ada juga perbedaan dari suatu hakikat prosedural (yang dibuat pada kantor pencatatan kelahiran, kematian dan perkawinan). Selain itu pemisahan secara hukum tidak mungkin dalam kasus pasangan hidup bersama yang terdaftar, pemisahan secara hukum (pemisahan tempat tinggal dan pangan) masih diperuntukkan bagi pasangan yang sudah menikah. Mengenai berakhirnya pasangan hidup bersama yang terdaftar dijelaskan bahwa: 96 1. Melalui perkawinan 2. Jika salah satu dari pasangan pergi atau menghilang dan pasangan lainnya telah menjalin pasangan hidup bersama yang terdaftar yang baru atau telah menikah 3. Dengan persetujuan bersama melalui pendaftaran oleh pihak pendaftar atau pencatat kelahiran, kematian dan perkawinan tentang suatu pernyataan yang ditandatangani dan diberi tanggal oleh kedua pasangan bersangkutan dan satu atau lebih pengacara atau notaris hukum perdata yang menyatakan bahwa dan pada waktu kapan para pasangan telah mencapau kesepakatan mengenai pembubaran kehidupan bersama yang terdaftar tersebut 4. Melalui pembubaran atas permohonan dari para pasangan atau salah satu dari pasangan bersangkutan 96
Ibid, hal. 39.
75
5. Melalui konversi atau perubahan dari pasangan “hidup bersama yang terdaftar menjadi sebuah perkawinan”. Salah satu kelemahan dari pasangan hidup bersama yang terdaftar adalah kenyataan bahwa hal itu tidak diakui di setiap Negara. Negara-negara Skandinavia dan di Prancis pasangan hidup bersama semacam ini juga telah diperkenalkan. 97 Di Negara Belanda selain perkawinan mengenal istilah pasangan hidup bersama yang terdaftar, pasangan hidup bersama yang terdaftar biasanya digunakan oleh pasangan sesama jenis yang akan melakukan suatu ikatan. Beberapa Negara khususnya di Belanda perkawinan telah dibuka untuk pasangan berjenis kelamin yang sama pada tanggal 1 april 2001. Alasan dari adanya pengaturan hukum untuk pasangan hidup bersama yang terdaftar telah ada, maksudnya adalah untuk mengakomodasi kehidupan bersama pasangan berjenis kelamin sama dan sebagai akibatnya pasangan hidup bersama yang terdaftar telah mengambil bentuk kehidupannya sendiri. 98 Menyingkirkan
pasangan
hidup
bersama
yang
terdaftar
akan
menyederhanakan undang-undang. Menteri memutuskan untuk mempertahankan pengaturan mengenai pasangan hidup bersama yang terdaftar, hakikat pasangan hidup bersama yang terdaftar kurang tradisional dan simbolis dibandingkan dengan perkawinan. 99
97
Ibid. Ibid. 99 Ibid. 98
76
2.7.1.2. Hukum Pekawinan di Belanda Dalam Kitab Undang-undang hukum Perdata menyebutkan mengenai perkawinan bagi golongan Eropa. Dalam Kuhperdata yang menganut ajaran Belanda menjelaskan bahwa suatu perkawinan dilaksanakan oleh kedua orang yang berbeda jenis kelamin untuk mencapai tujuan hidup, pada Pasal 81 menjelaskan mengenai perkawinan lebih mendominasi kepada peraturan Negara, jika telah dilaksanakan di depan pencatat perkawinan maka perkawinan tersebut sah tanpa harus melakukan menurut agama masing-masing. 2.7.2. Beberapa Catatan Tentang Hukum Perkawinan Di Indonesia 2.7.2.1. Keadaan Hukum Perdata Di Indonesia Hukum perdata di Indonesia beraneka ragam, hukum perdata di Indonesia terdiri dari hukum nasional, hukum agama dan hukum adat. Hal ini didasarkan pada sejarah perkembangan hukum di Indonesia dan sebagai konsekuensi dari komposisi masyarakat yang beraneka ragam, baik dari segi latar belakang adatistiadat dan kebudayaan serta agama. Di bidang hukum perkawinan, sebelum berlakunya UU Perkawinan berlaku beberapa ketentuan hukum bagi golongan penduduk di Indonesia.100 Lahirnya UU Perkawinan dilatar belakangi oleh unifikasi hukum yaitu merupakan upaya memberlakukan satu ketentuan hukum yang bersifat nasional dan berlaku untuk semua warga Negara.
100
Ibid, hal. 129.
77
Setelah adanya UU Perkawinan, peraturan perundang-undangan yang lainnya masih tetap berlaku sepanjang belum diatur oleh undang-undang perkawinan, jika peraturan . 101 2.7.2.2. Perkawinan Beda agama Sebelum adanya undang-undang perkawinan, untuk hal perkawinan campuran, pengaturannya dapat ditemui dalam HOCI (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers, S. 1933 No.74). Pasal 75 HOCI membolehkan perkawinan antara seorang wanita beragama Kristen dengan seorang pria beragama bukan Kristen, GHR juga mengatur mengenai perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken, S. 1898 No.158). HOCI telah dicabut oleh Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan melalui Pasal 106 sehingga ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, terdapat ketentuan dalam Undang-undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pasal 35 Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta penjelasan disebutkan bahwa untuk perkawinan yang dilakukan antar umat beda agama ditetapkan oleh pengadilan. Selama pasanganpasangan beda agama yang ingin melangsungkan perkawinan, umumnya dilakukan dengan cara menikah diluar negeri atau jika menikah di Indonesia maka salah satu dari mereka bersedia menundukkan diri sementara atau permanen agar perkawinan mereka dapat dilaksanakan. 101
Ibid.
78
Berkaitan dengan adanya pasangan beda agama yang ingin melangsungkan perkawinan dan telah ditetapkan pengadilan untuk dicatatkan pada kantor catatan sipil berhak untuk dicatatkan pada kantor catatan sipil. Pengaturan mengenai perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2006, Pasal 35 tentang Administrasi Kependudukan, menjelaskan “pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 berlaku pula bagi, perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dan perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan”. 2.8. Mahkamah Agung dan peranannya dalam pembangunan hukum di Indonesia 2.8.1. Fungsi Mahkamah Agung sesuai sistematika UU Peranan fungsi pokok Mahkamah Agung bersifat peradilan, yang mencakup 5 bidang yaitu: 102 1. Peradilan kasasi, perkataan kasasi berasal dari bahasa perancis Cassation , yang berarti membatalkan atau memecahkan. Peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan atau membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan,
karena
dianggap
mengandung
kesalahan dalam penerapan hukum. Menurut Oemar Seno Adji, memaparkan bahwa fungsi peradilan kasasi bertujuan untuk : 103 a. Menyatakan
satu
kesatuan
hukum
(yang
dapat
diartikan
menciptakan unifikasi hukum melalui yurisprudensi). 102
Henry Pandapotan Panggabean, 2012, Peranan Mahkamah Agung melalui putusan-putusan Hukum Perikatan, PT. Alumni, Bandung, hal. 33. 103 Oemar Seno Adji, 1985, Peradilan bebas Negara hukum, Erlangga, Jakarta, hal. 262.
79
b. Menjaga kesamaan dalam peradilan (yang dapat diartikan menjamin terlaksananya peradilan secara cepat, dan biaya ringan). 2. Bidang fungsi peradilan untuk sengketa kewenangan mengadili. Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutus sengketa t tentang kewenangan mengadili (Pasal 28 ayat (1)b UU MA). Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa kewenangan mengadili, mencakup bidang kewenangan : a. Antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di lingkungan peradilan yang lain b. Antara 2 (dua) pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dalam lingkungan peradilan yang sama c. Antara 2 (dua) pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan yang sama atau antar lingkungan peradilan yang berlainan 3.
Bidang fungsi pengadilan untuk sengketa perampasan kapal asing oleh kapal perang RI
4.
Bidang fungsi peradilan untuk permohonan peninjauan kembali (Pasal 28 UU MA).
5. Bidang fungsi peradilan untuk Hak Uji materiil Hak menguji dapat dibedakan dalam 2 jenis, yaitu : a. Hak menguji formal, yaitu hak untuk meneliti apakah suatu peraturan telah dibuat menurut prosedur yang telah ditetapkan UU. Hak ini melekat dalam fungsi hakim melalui proses sidang.
80
b. Hak menguji materiil, yaitu hak meneliti dan menilai apakah isi suatu peraturan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Penerapan fakta-fakta termasuk wewenang Judex facti dan di dalam sistem hukum Indonesia menjadi wewenang pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat terakhir. Dalam praktik ruang lingkup peradilan kasasi mencakup putusan atau vonis yang diambil dalam suatu perkara atau perselisihan sebagai penutup, penetapan yang dalam bahasa Belanda disebut Beschikking adalah tindakantindakan pengadilan (hakim) yang tidak merupakan putusan. Putusan dan penetapan yang dimintakan kasasi itu harus berasal dari sebuah badan pengadilan atau hakim, jadi suatu putusan pengadilan yang dalam bahasa belanda disebut rechterlijk beschikking. 104 Syarat formal pengajuan permohonan kasasi (alasan hukum permohonan kasasi) : 1. Di bidang hukum perdata, ketentuan Pasal 30 UU Mahkamah agung menentukan 3 alasan hukum untuk permohonan kasasi yaitu: a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan 2. Di bidang hukum pidana ketentuan Pasal 253 (1) KUHAP menentukan tiga alasan, disingkat sebagai berikut: a. Kesalahan penerapan peraturan hukum 104
Henry Pandapotan Panggabean, loc.cit.
81
b. Kesalahan cara mengadili c. Judex facti melampaui batas wewenang Syarat-syarat formal pengajuan permohonan kasasi di kedua bidang hukum, syarat-syarat formal mana merupakan akses bersifat limitative bagi hakim kasasi memerikasa dan mengadili permohonan kasasi. Asas kepastian hukum itu disebut asas ne bis in idem, artinya tidak boleh terjadi dua kali putusan terhadap satu kasus yang sama antara 2 pihak yang sama. Ketatnya persyaratan untuk itu adalah untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian hukum, putusan hakim adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan hakim secara manusiawi. 105 Fungsi Mahkamah Agung dalam peradilan peninjauan kembali adalah mengadakan koreksi terakhir terhadap putusan pengadilan yang mengandung ketidakadilan karena kesalahan dan kekhilafan hakim. Permohonan peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa karena sebenarnya lembaga ini bertentangan dengan asas kepastian hukum. 106 Prinsip asas kepastian hukum menentukan bahwa putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dapat diubah lagi.
105 106
Ibid. Henry, Op.cit, hal. 41.
82
2.8.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi peranan Mahkamah Agung 2.8.2.1. Faktor-faktor internal yang menimbulkan kelemahan dalam pelaksanaan peranan Mahkamah Agung Faktor kelemahan internal pada dasarnya terletak pada tidak efektif fungsi pengawasan dan pembinaan di lingkungan peradilan. Fungsi pengawasan di Mahkamah Agung tidak selalu menerapkan prinsip nilai yaitu pemberian reward dan punishment bagi para ketua dan hakim judex factie, bahkan penindakan terhadap pejabat peradilan terkesan ditutup-tutupi sehingga masyarakat luas kurang menghargai peranan pengawasan dari Mahkamah Agung. 107 Kelemahan Mahkamah Agung bersifat internal, karena disebabkan tidak berjalannya lembaga devisional system. Lembaga devisional system pada intinya menempatkan tenaga hakim itu sesuai ilmu hukum yang ditekuninya. 108 2.8.2.2. Faktor eksternal yang menimbulkan kelemahan dalam pelaksanaan peranan Mahkamah Agung Kelemahan-kelemahan dalam tubuh Mahkamah Agung sebenarnya adalah juga disebabkan beberapa faktor eksternal, sebagai berikut: a. Peranan Mahkamah Agung sesuai sistem hukum Indonesia Salah satu peranan utama Mahkamah Agung adalah menciptakan unifikasi hukum melalui yurisprudensi. Proses pembentukan hukum melalui yurisprudensi itu memerlukan 2 tingkatan peradilan, para pembuat UU
107 108
Henry, Op.cit, hal. 232. Henry, Op.cit, hal. 235.
83
sepertinya ada maksud untuk tidak membatasi keinginan pencari keadilan mengajukan perkara kasasi untuk semua jenis sengketa. 109 b. Penerapan asas kemandirian Mahkamah Agung sesuai ketentuan UU No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung Dalam orde baru keberadaan lembaga kekuasaan kehakiman berada dalam dualisme kepemimpinan. Program penegakan hukum telah diarahkan sebagai sarana peningkatan perekonomian sesuai kebijakan pemerintahan. Penyediaan dana yang terbatas di lingkungan peradilan selama ini adalah menjadi faktor ekternal utama yang menyebabkan MA harus menerima kritikan masyarakat. Ketentuan pasal 81 UU No.5 Tahun 2004 tentang Anggaran MA akan dapat dijadikan tolak ukur kesungguhan Pemerintah dan DPR mendukung upaya supremasi hukum di Indonesia. 110 c. Pembentukan UU Contempt of court Upaya yuridis menolak putusan hakim dan upaya melaporkan kecurangan pribadi para hakim dapat ditamping sesuai mekanisme hukum yang berlaku. Di lingkungan peradilan berlaku suatu doktrin diam itu emas yang artinya para hakim praktis tidak pernah melakukan counter balik bagi pihak yang usil, tetapi melanggar ajaran Contempt of Court. UU Contempt of Court sudah puluhan tahun dirindukan para hakim melalui IKAHI dan juga dirindukan para praktisi hukum. 111
109
Henry, op.cit, hal. 236. Henry, op.cit, hal. 237. 111 Henty, loc.cit. 110
BAB III AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG DILAKUKAN HANYA MELALUI PENCATATAN PERKAWINAN 3.1. Kondisi geografis Kalimantan Timur Kalimantan Timur atau yang biasa disingkat Kal-Tim adalah sebuah provinsi Indonesia di Pulau Kalimantan bagian ujung timur yang berbatasan dengan Malaysia, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi, luas total kaltim adalah 129.066.64 km2, luas perairan 10.217 km2 (3.945mil2) 4,2% dan populasi sebesar 3.6 juta serta kepadatannya 14/km2. Kalimantan Timur merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk terendah keempat di Nusantara dengan ibukotanya Samarinda. 112 Suku bangsa yang berada di daerah Kaltim, jawa (29,55%), Bugis (18,26%), Banjar (13,94%), Dayak (9,91%), Kutai (9,21%), Toraja (1,96%), Sunda (1,59%), Madura (1,24%), Tionghoa (1,16%) dan lain-lain (13,18%) serta agama yang di anut oleh masyarakat Kal-Tim adalah islam (82,3%), Kristen protestan dan katolik (16,4%), hindu (0,58%) dan Budha (0,78%) 113 . Sebelum pemekaran provinsi Kalimantan Utara, Kal-Tim merupakan provinsi terluas kedua di Indonesia dengan luas sekitar satu setengah kali Pulau jawa dan Madura atau 11% dari total luas wilayah Indonesia. Wilayah Kalimantan timur dahulu mayoritas adalah hutan hujan tropis, penduduk aslinya adalah suku dayak, terdapat beberapa kerajaan yang berada di Kalimantan Timur diantaranya 112
http://www.id.m.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Timur diakses pada tanggal 21 September 2013 pukul 16.30 Wita. 113 http://kaltim.bps.go.id diakses pada tanggal 21 September 2013 pukul 18.30 Wita. 84
85
adalah kerajaan kutai yang beragama Hindu, Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martadipura, Kesultanan Pasir dan Kesultanan Bulungan. Pembentukan provinsi Kalimantan Timur selain sebagai kesatuan administrasi juga sebagai kesatuan ekologis dan historis. Kalimantan Timur sebagai wilayah administrasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 1956 dengan gubernurnya yang pertama adalah APT Pranoto. Kalimantan Timur merupakan salah satu kerasidenan dari Provinsi Kalimantan, sesuai dengan aspirasi rakyat sejak tahun 1956 wilayahnya dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat, tetapi pada tahun 2012 kembali terjadi pemekaran wilayah yang ditandai dengan pembentukan provinsi Kalimantan Utara. Daerah Kabupaten atau Kota di dalam wilayah Kalimantan Timur, dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan Timur (Lembaran Negara Tahun 1955 No.9). lembaran Negara No 72 tahun 1959 terdiri atas : a. Pembentukan 2 kotamadya, yaitu : 1. Kotamadya Samarinda, dengan Kota Samarinda sebagai ibukotanya dan sekaligus sebagai ibukota provonsi Kalimantan Timur 2. Kotamadya Balikpapan, dengan kota Balikpapan merupakan pintu gerbang Kalimantan Timur. b. Pembentukan 4 kabupaten yaitu : 1. Kabupaten Kutai dengan Ibukotanya Tenggarong 2. Kabupaten Paser dengan Ibukotanya Tanah Grogot
86
3. Kabuaten Berau dengan Ibukotanya TanjungRedeb 4. Kabupaten Bulungan dengan Ibukotanya Tanjung Selor Setelah pembentukan provinsi Kalimantan Utara, kini Kalimantan Timur terbagi menjadi 7 kabupaten dan 3 kota antara lain : 1. Kota Samarinda 2. Kota Balikpapan 3. Kota Bontang 4. Kabupaten Berau 5. Kabupaten Kutai Barat 6. Kabupaten Kutai Kartanegara 7. Kabupaten Kutai Timur 8. Kabupaten Paser 9. Kabupaten Penajam Paser Utara Hasil utama provinsi ini adalah hasil tambang seperti minyak, gas alam dan batubara, sektor lain yang kini sedang berkembang adalah agrikultur, pariwisata dan industri pengolahan. Beberapa daerah seperti Balikpapan dan Bontang mulai mengembangkan
kawasan
industri
berbagai
bidang
demi
mempercepat
pertumbuhan perekonomian. 3.1.1. Geografis Kota Samarinda Kota Samarinda adalah salah satu kota sekaligus merupakan ibu kota provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan kabupaten Kutai Kartanegara kota Samarinda dapat dicapai dengan perjalanan darat, laut dan udara. Dengan sungai Mahakam yang membelah
87
di tengah kota Samarinda yang menjadi gerbang menuju pedalaman Kalimantan Timur, kota ini memiliki luas wilayah 718 km2 dan penduduk 726,223 Jiwa menjadikan kota ini berpenduduk terbesar diseluruh Kalimantan, Samarinda terletak di wilayah khatulistiwa dengan koordinat di antara 0”21’81”-1009’16” LS dan 116015’16”-117024’16” BT. 114 3.1.2. Geografis Kota Balikpapan Kota Balikpapan merupakan salah satu kota di Kalimantan timur, Indonesia, Balikpapan memiliki penduduk sekitar 656,417jiwa yang merupakan 18% dari keseluruhan penduduk Kaltim. Balikpapan merupakan kota dengan biaya hidup termahal
se-Indonesia, 115
tumbuhnya
perekonomian
terutama
sejak
diberlakukannya otonomi daerah, kota ini terus menerus dibanjiri oleh pendatang dari berbagai daerah. Diakhir juni tahun 2013 jumlah penduduk mencapai 656,417 jiwa dengan jumlah pendatang selama tahun 2012 sebanyak 21,486 jiwa yang merupakan jumlah tertinggi selama tiga tahun terakhir. Peningkatan jumlah penduduk terjadi akibat tingginya arus migrasi pendatang serta pertambahan alamiah (kelahiran) sehingga Balikpapan mulai tahun 2005 hingga saat ini menjadi kota terpadat penduduk di Kaltim. Ada lima budaya dasar suku bangsa asal Kalimantan yang disebut Rumpun Kalimantan, empat diantaranya terdapat di Kalimantan Timur khususnya Balikpapan yaitu Banjar, kutai, Dayak Dan Paser yang biasa disingkat komunitas 114
http://id.m.wikipedia.org/wiki/kota_samarinda diakses pada tanggal 21 september 2013 pada pukul 20.30 wita. 115 Tempo.com diakses pada tanggal 22 September 2013 pukul 15.00 Wita.
88
BAKUDA atau BAKUDAPA jika dihitung mencapai 31,39% populasi sensus tahun 2000, Selain empat suku yang ada di Kalimantan terdapat pula suku dari pulau Sulawesi, Jawa, Sumater, Bali dan pulau lainnya. Mengenai adat perkawinannya pula penduduk Balikpapan masih sangat mencintai adat-istiadat dan aturan pernikahan tradisional. Apapun tradisi pernikahan sering terjadi adalah pernikahan dengan menggunakan adat Kutai, Dayak, Banjar, Bugis serta Jawa dan sebagian kecil dari adat Manado dan sebagainya. Segi perekonomian kota ini bertumpu pada sektor industri yang di dominasi oleh industri minyak dan gas perdagangan dan jasa, kota ini memiliki bandara udara berskala internasional yakni bandara sepinggan serta pelabuhan semayang selain pelabuhan minyak yang dimiliki pertamina. Disektor perdagangan, pemerintahan kota melindungi pengusaha lokal Balikpapan dengan membentuk peraturan daerah yang tidak lagi menerbitkan izin kepada toko modern seperti minimarket dari luar kota untuk beroperasi di Balikpapan. 116 3.2. Prosedur Pencatatan Perkawinan Perkawinan yang sah berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, wajib dilaporkan oleh individu kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya peristiwa perkawinan paling lambat 60
116
Balikpapan Post, www.balikpapanpos.co.id diakses pada tanggal 22 September 2013 pada pukul 15.45 Wita.
89
(enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam pencatatann perkawinan, adalah : 117 a. Foto ukuran 4x6 Lima buah bewarna berdampingan. b. Satu lembar fotokopi KTP dan KK c. Formulir perkawinan model 1 dan 2 d. Surat keterangan belum pernah kawin dari kepala desa/kelurahan (asli) e. Akta kelahiran f. Surat baptis/keterangan jemaat g. Ganti nama (jika ada) h. Dokumen imigrasi dan SKLD i.
Passport/Certificate of Embassy
j.
Memenuhi syarat umur laki-laki 21 tahun, wanita 21 tahun
k.
Ijin orang tua (jika mempelai dibawah 21 tahun)
l.
Surat ijin komandan TNI/POLRI dan atasan (PNS)
m. Akta cerai/talak/kematian n.
Waktu tunggu bagi janda mati 130 hari, cerai 90 hari
o.
Perkawinan dilangsungkan minimal 10 hari setelah pendaftaran
p.
Perkawinan dibawah 10 hari harus ada dispensasi camat an. Bupati
q. Mempelai yang berasal dari luar daerah diumumkan di daerahnya r.
Saksi masing-masing 1 orang berumur minimal 21 tahun (KTP)
s.
Surat-surat dilampirkan di fotokopi rangkap 2
t.
Akta anak diluar kawin
117
http://www.casip.bandungkab.go.id/akta-perkawinan, diakses pada tanggal 21 Agustus 2013 pukul 15.01 Wita.
90
u.
Perjanjian kawin
v.
Fotokopi surat kawin dari gereja dilegalisir
w. Bagi WNI yang melakukan perkawinan berbeda agama harus ada surat penetapan dari pengadilan negeri Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka pencatatan perkawinan baru dapat dilakukan, Prosedur pelayanan pencatatan perkawinan adalah sebagai berikut: a.
Permohonan mengisi formulir dengan melampirkan persyaratan lengkap
b.
Petugas melakukan verifikasi dan validasi atas isian formulir dan persyaratan
c.
Kedua mempelai dan 2 orang skasi hadir pada waktu pencatatan
d.
Mempelai beserta 2 orang saksi menandatangani dalam buku register perkawinan
e.
Petugas pada instansi pelaksana melakukan proses pencocokan data, pencatatan, penerbitan dan selanjutnya diteliti dan diparaf oleh pejabat Teknis pada bidang pencatatan sipil
f.
Proses pembuatan akta perkawinan paling lambat 3 hari setelah tanggal pencatatan perkawinan dilaksanakan
g.
Perkawinan bagi penduduk yang beragam islam dicatat oleh Kantor Urusan Agama kecamatan
h.
Penerbitan akta perkawinan bagi penduduk yang beragama islam dilakukan oleh Departemen Agama
91
i.
Data hasil pencatatan KUA kecamatan atas peristiwa perkawinan disampaikan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk direkam ke dalam database kependudukan dan tidak dimaksudkan untuk penerbitan kutipan akta perkawinan
Dalam hal perkawinan yang akan dicatatkan di luar wilayah NKRI, terdapat prosedur lain yang harus dilakukan. Pencatatan perkawinan di Luar wilayah NKRI bagi Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Indonesia dilakukan pada instansi yang berwenang di Negara setempat. Setelah pencatatan kemudian dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi syarat fotokopi : a.
Bukti pencatatan perkawinan/ akta perkawinan dari Negara setempat
b.
Paspor Republik Indonesia
c.
KTP suami dan isteri bagi penduduk Indonesia
Pada Proses untuk melaksanakan pencatatan perkawinan pada Catatan Sipil Kota Balikpapan mempunyai syarat-syarat : 118 a. Syarat umum 1. Akta Kelahiran (asli dan fotocopy) 2. Surat Baptis/permandian/sidi (fotocopy) 3. Surat kartu keluarga (fotocopy) 4. Surat keterangan untuk kawin dari kelurahan setempat (asli) 5. Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang bersangkutan (fotocopy) 6. Kartu Tanda Penduduk (KTP) saksi-saksi (fotocopy) 118
Diambil pada papan pengumuman yang tertera pada kantor catatan sipil Balikpapan pada tanggal 20 September 2013.
92
7. Surat keterangan ijin untuk menikah dari instansi/perusahan/lembaga dimana calon mempelai bekerja (asli) 8. Khusus bagi anggota ABRI/POLRI harus ada izin dari komandan satuannya (asli) 9. Surat kartu imunisasi calon mempelai wanita (fotocopy) 10. Mengisi formulir pemberitahuan akan mencatatkan perkawinan 11. Bukti surat kawin gereja/vihara/pura yang menentukan tanggal pelaksanaan perkawinan secara agama (asli) 12. Surat keterangan kesediaan dari Gereja/Vihara/Pura yang menentukan tanggal pelaksanaan secara agama (asli) 13. 4 (empat) lembar pas foto berdampingan ukuran 4x6 berwarna b. Selain mempunyai ketentuan yang umum, kantor catatan sipil kota Balikpapan juga mengatur mengenai ketentuan yang khusus: 1. Surat keterangan pindah agama dari DEPAG bagi mempelai yang berlainan agama 2. Surat ijin dari kedua orangtua calon mempelai yang berumur dibawah 21 (dua puluh satu) tahun (fotocopy) 3. Kalau ada orang tua calon yang telah meninggal dunia dibuktikan dengan akta kematian atau surat kenal kematian (fotocopy) 4. Bagi yang sudah cerai melampirkan akta perceraian (asli) 5. Bukti akta kematian/surat kenal kematian dari suami/istri terdahulu 6. Akta kelahiran anak yang akan diakui dan disahkan dalam perkawinan (asli)
93
7. Surat keputusan ganti nama (fotocopy) bila ada nama yang berlainan 8. Dispensasi dari camat, pemohon pencatatan kurang dari sepuluh hari kerja (asli) 9. Bagi yang berlainan wilayah domisili wajib: a. Membawa pengantar Nikah dari Catatan Sipil setempat (asli) b. Pencatat Perkawinan dilaksanakan setelah 10 hari kerja diumumkan c. Syarat tambahan bagi WNA untuk dapat melakukan perkawinan: 1. Harus memiliki rekomendasi dari kedutaan Besar Negara asal calon mempelai (asli) 2. Passport (fotocopy) 3. S.T.M.D (fotocopy) 4. Surat Imigrasi Kitas/VISA (fotocopy) 5. Surat bukti pajak bangsa asing (fotocopy) 3.3.
Perkawinan yang Tidak Dicatatkan dan yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan sipil Dalam hal perkawinan, perkawinan dilakukan atau dilaksanakan sesuai
dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing lalu dicatatkan pada kantor catatan sipil dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2). UU Perkawinan menempatkan hukum agama pada posisi yang menentukan, namun setelah melakukan perkawinan secara agama dapat mencatatkan perkawinan. Ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan jelas menegaskan dari segi materiil dan formil perkawinan. Aspek materiilnya adalah bertolak pangkal pada hukum agama dan kepercayaan sebagai penentuan keabsahan suatu perkawinan, aspek
94
formal terletak pada ketentuan ayat (2)-nya yang menyangkut pencatatan. 119 Secara
adat
dan
kepercayaan
mengenai
keabsahan
pernikahan
yang
dilangsungkan berbeda dengan aturan hukum yang ada. Bahwa UU Perkawinan secara hakiki berbeda dari Kuhperdata, yaitu dalam hal perkawinan yang sah, orang harus kawin di hadapan seorang fungsionaris keagamaan, baik ia dari agama Islam, Kristen dan Protestan, Hindu dan budha. 120 Suatu perkawinan haruslah dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing karena suatu perkawinan didasarkan pada suatu keyakinan yang ada. Perkawinan memiliki tujuan yang baik sesuai dengan ajaran agama yang dianut serta mencatatakan perkawinan tersebut pada kantor catatan sipil untuk mendapatkan akte perkawinan. Akte perkawinan tersebut akan mempunyai kekuatan hukum tetap dan untuk memudahkan suami-istri untuk melakukan aktifitas keperdataannya terutama dalam hal pengurusan akta kelahiran putraputri. (wawancara dengan ibu Isnaniah, Panitra Muda Hukum pada Pengadilan Negeri Samarinda tanggal 19 September 2013 pukul 11.00 Wita). Syarat akta kelahiran berdasarkan Perda No. 9 tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum dan Perda No. 5 tahun 2012 tentang Administrasi Kependudukan, persyaratan yang diatur di wilayah kota Balikpapan: 121 a. Surat pengantar kelurahan (asli) 119
Herlien Budiono, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 9. 120 Ibid, hal. 11. 121 Diambil pada kantor Catatan Sipil Kota Balikpapan pada tanggal 20 Septermber 2013.
95
b. KK dan KTP orang tua c. Surat nikah/akta perkawinan d. Surat keterangan kelahiran dari Dokter, Bidan, Rumah sakit (asli) e. Menghadirkan 2 orang saksi. 3.3.1. Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil Perkawinan yang tidak dicatat adalah suatu perkawinan yang tidak dilakukan dengan pencatatan pada kantor catatan sipil dan hanya dilakukan dengan perkawinan agama. Dalam hukum Islam perkawinan yang tidak dicatatkan harus merupakan perkawinan yang memenuhi syarat dan rukun Islam namun kebanyakan dalam prakteknya suatu perkawinan yang hanya berlandaskan agama saja. Dalam melakukan nikah sirri harus adanya wali nikah, wali nikah ini hanya bisa dilakukan oleh bapak dari calon wanita. Selain bapak tidak ada yang dapat menjadi wali nikah, namun jika si bapak meninggal yang menjadi walinya baru kakeknya, jika kakeknya meninggal dunia barulah buyutnya, jika dari bapak, kakek dan buyut ini sudah meninggal semua, maka kakak laki-laki dari calon wanita tersebut yang dapat menjadi wali nikah. (wawancara dengan bapak Murtafi’in, Kepala Kantor Urusan Agama di Balikpapan selatan pada tanggal 25 September 2013 pada pukul 14.00). Perkawinan yang dilaksanakan dengan upacara keagamaannya, dianggap sudah sah secara agama. Akan tetapi secara Negara perkawinan yang dilaksanakan hanya dengan upacara keagamaan yang disahkan oleh masingmasing pemuka agama belumlah sah dan belum memiliki kekuatan hukum tetap.
96
Suatu perkawinan yang sah sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa perkawinan dilakukan secara agama dan dicatatkan pada kantor catatan sipil, perkawinan yang tidak dicatatkan maka tidak mempunyai kekuatan hukum dalam hal syarat kelengkapan administrasi. Pencatatan dilakukan untuk mendapatkan peristiwa hukum suatu perkawinan. Istilah “tidak dicatat” dengan “tidak dicatatkan” mengandung makna yang berbeda. Pada perkawinan yang tidak dicatat bermakna perkawinan itu tidak mengandung unsur dengan sengaja yang mengiri iktikad atau niat seseorang untuk tidak mencatatkan perkawinannya sedangkan perkawinan yang tidak dicatatkan mengandung iktikad atau niat buruk dari suami khususnya yang bermaksud perkawinannya memang dengan sengaja tidak dicatatkan. Pencatatan perkawinan biasanya dilakukan sesudah calon pasangan suamiistri telah melakukan upacara menurut agama dan kepercayaannya lalu mencatatkan
peristiwa perkawinannya pada kantor catatan sipil. Bagi agama
Islam melakukan perkawinan di KUA sedangkan untuk agama Non Islam melakukan pencatatan perkawinan mereka pada Kantor Catatan Sipil di Kota masing-masing. Perkawinan adalah suatu perbuatan yang sakral yang dilaksanakan atau dilakukan oleh dua orang yang berbeda jenis kelamin, yang memiliki tujuan untuk membina suatu keluarga yang kekal dan abadi. Perkawinan yang dilakukan hanya dengan agama yang diyakinin, tanpa melakukan pencatatan pada kantor catatan sipil tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap.
97
Bila perkawinan yang dilaksanakan antara dua orang yang berbeda jenis kelamin dan memiliki keyakinan yang berbeda pula, sebelum melakukan perkawinan harus mendapatkan penetapan dari Pengadilan di daerah tempat tinggal mereka. Jika suatu perkawinan yang tidak dicatatkan maka tidak mempunyai suatu kekuatan hukum yang tetap dan tidak diakui oleh Negara. (Wawancara dengan ibu Isnaniah, Panitera Muda Hukum pada Pengadilan Negeri Samarinda tanggal 19 September 2013 pada pukul 11.00 Wita). Suatu perkawinan yang tidak dicatatkan maka akan berakibat buruk bagi si wanita. Akibatnya jika perkawinan kedua orang tuanya tidak dicatatkan namun dilakukan secara agama, si anak tidak mendapatkan akta kelahiran yang bertuliskan nama kedua orangtuanya melainkan hanya akta yang bertuliskan nama ibu. (Wawancara dengan ibu Mulyana Kasi. Perkawinan Dan Perceraian pada kantor Catatan Sipil Balikpapan, pada tanggal 25 September 2013 pukul 10.00 Wita). Pada kota Balikpapan, diketahui bahwa warga masyarakat masih ada yang belum melakukan pencatatan. Hal ini disampaikan oleh ibu Mulyana, menurut keterangan beliau pada warga di KM 12 yang mana masih banyak yang belum melakukan pencatatan perkawinan. Entah karena kurangnya informasi tentang pentingnya suatu pencatatan ataukah karena individu tersebut yang malas untuk mencatakan perkawinannya. Pegawai kantor catatan sipil Balikpapan masih terus berusaha mengenalkan mengenai sahnya suatu perkawinan terhadap warganya dan sekarang hasilnya sudah mulai ada peningkatan pencatatan perkawinannya pada kantor Catatan Sipil
98
di Kota Balikpapan. (wawancara dengan Ibu Mulyana, Kasi. Perkawinan Dan Perceraian pada kantor Catatan Sipil Balikpapan, pada tanggal 25 September 2013 pukul 10.00 WITA). Hal ini dijelaskan pada data atau laporan statistik jumlah akte perkawinan yang terbit pada periode bulan januari 2012 s/d Desember 2012.
sumber: data Primer, diolah 2013
Laporan statistik jumlah akta perkawinan yang diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil Kota Balikpapan dijelaskan bahwa pada bulan Januari terdapat persamaan pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh petugas catatan sipil kota Balikpapan yang dilakukan baik di luar kantor catatan sipil dan di dalam kantor catatan sipil dengan jumlah 28. Pada bulan Februari, juni dan September pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar kantor sedikit berkurang di bandingkan pencatatan yang dilakukan dalam kantor, bulan Maret dan April, juli, oktober, nopember dan desember pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar kantor catatan sipil lebih banyak dilakukan dibandingkan pencatatan yang dilakukan dalam kantor catatan sipil. Pada bulan Mei antara pencatatan di luar
99
kantor dengan di dalam kantor terdapat persamaan persentasenya dengan jumlah 38. Persentase jumlah akta perkawinan yang diterbitkan oleh kantor catatan sipil kota Balikpapan dr bulan Januari sampai dengan bulan Desember pencatatan yang dilakukan diluar kantor catatan sipil sebesar 198. Jumlah pencatatan yang dilakukan didalam kantor catatan sipil 158 dengan jumlah persentase ini dijumlahkan secara keseluruhan sebesar 356 total dari akta yang telah diterbitkan. 3.3.2. Perkawinan yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil Seperti penjelasan yang telah dijelaskan oleh penulis pada permasalahan sebelumnya mengenai pencatatan, dalam Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 2006 (selanjutnya disebut UU Administrasi Kependudukan) 122 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Administrasi Kependudukan menjelaskan mengenai pencatatan sipil yang mana dalam Pasal 1 ayat 15. Pencatatan sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada instansi pelaksanaan. Perkawinan menurut UU Perkawinan bukan sekedar sebagai perbuatan agamanya yang mana sah atau tidaknya suatu perkawinan yang akan dilakukan digantungkan pada hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan yang dianut rakyat Indonesia pada umumnya. Pada kenyataannya agama yang memiliki peran atau andil yang cukup penting dalam kehidupan manusia.
122
Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Administrasi Kependudukan (LN 2006, Nomor 124 TL 4674).
100
Dalam
UU Administrasi Kependudukan Pasal 34 tentang pencatatan
perkawinan di Indonesia pada ayat (1) perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Serta ayat (2) menyatakan berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat pencatatan sipil mencatat pada register Akte Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akte Perkawinan. Dalam hal pencatatan suatu peristiwa termasuk peristiwa perkawinan yang mana jika suatu perkawinan dilakukan dan dicatatkan pada pencatatan sipil maka perkawinan yang dilakukan memiliki kekuatan hukum yang tetap oleh Hukum. Perkawinan yang telah dilakukan menurut agama masing-masing sangat penting untuk dicatatkan karena hal ini akan berakibat terhadap pewarisan dan hal-hal yang terkait dalam bidang keperdataan. Selama perkawinan itu belum didaftarkan, perkawinan tersebut masih belum dapat memberikan perlindungan hukum serta kepastian hukum bagi perempuan sebagai istri dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Terkait dengan pencatatan perkawinan Duncan J. Bioy , menyatakan sebagai berikut: A void marriage is one that will be regarded by every court in any case in which the existence of the marriage is in issue, as never having taken placa and cam be so treated by both parties to it without the necessityof any decree annulling it a voidable marriage is one that will be regarded by every court as a valid subsisting marriage until a decree annulling it has been pronounced by a court of competent jurisdiction 123 ( Keberadaan perkawinan sebagai persoalan kedua belah pihak saling menghormati, untuk mengambil tempat dan perlakuan bersama-sama, perkawinan adalah salah satu yang dianggap oleh setiap pengadilan sebagai pernikahan administrative berlaku sampai keputusan yang 123
Duncan J. Bioy, 1995, Family law, Head of department of law and finance University of Glamorgan, hal. 42.
101
telah diucapkan atau pengadilan dengan yurisdiksi yang kompeten, jadi kedua calon mempelai harus mencatatkan perkawinannya pada catatan sipil agar mendapat ketetapan dari pengadilan dan memiliki kekuatan hukum tetap terhadap perkawinannya. ) Bagi orang Indonesia yang beragama Islam pencatatan perkawinanya dilakukan oleh P.3 NTR atas dasar ketentuan Undang-undang No 22 tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sebagai mana kemudian dengan Undang-undang No 32 tahun 1954 (LN. 1954 No 98) 124 dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang no 22 tahun 1946 nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatatan nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya. Jadi fungsi pegawai pencatat hanyalah mengawasi pernikahan dan pernikahan tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan Hukum Islam yang tidak mensyaratkan campur tangan seorang pejabat Negara dalam penentuan sah atau tidaknya pernikahan. 125 Pencatatan perkawinan sebenarnya bukanlah merupakan syarat yang menentukan sahnya perkawinan, karena perkawinan di Indonesia dianggap sah bila mana hukum agama dan kepercayaannya sudah menyatakan sah, akan tetapi karena Negara Indonesia merupakan Negara hukum maka setiap tindakan atau setiap perbuatan merupakan suatu hubungan hukum dalam hal ini perkawinan harus dicatatkan agar memiliki kekuatan hukum dan nantinya jika perkawinan
124
Undang-undang No 22 tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sebagaimana kemudian dengan Undang-undang No 32 tahun 1954 (LN. 1954 No 98). 125 Abdurrahman, op.cit, hal. 13.
102
antara suami-istri itu putus maka istri memiliki hak atas perkawinannya tersebut terutama dalam hal pewarisan dan hal sebagainya. 3.4. Akibat Hukum Pegawai Pencatat Nikah
Menolak Mancatat Suatu
Perkawinan Seperti yang telah di singgung mengenai sahnya suatu perkawinan, harus sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU perkawinan yang mana dalam UU perkawinan Pasal 2 ini mengatur secara agama dan secara Negara. Secara Negara perkawinan adalah sah apabila dilakukan pencatatan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai pencatat sipil dan dilangsungkan menurut ketentuan UU Perkawinan. Kantor catatan sipil mencatat setiap perkawinan yang telah dilakukan secara agama, kantor catatan sipil mencatat setiap perkawinan yang terjadi pada setiap yang beragama non muslim. Pencatatan dilakukan untuk mendata setiap masyarakat yang telah melakukan perkawinan yang nantinya akan mempermudah setiap individu untuk melakukan urusan-urusan keperdataan, seperti pencatatan kelahiran putra-putri mereka kelak. Pegawai pencatat dapat menolak suatu perkawinan yang akan dicatatkan, tetapi pada saat pasangan suami-istri tersebut tidak dapat memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi. Akibatnya jika pegawai pencatat menolak mencatatkan perkawinan, maka para pihak tidak mendapatkan akta nikah, tetapi hal penolakan yang dilakukan oleh pegawai catatan sipil sangat jarang terjadi meskipun terjadi pasti dikarena tidak memenuhi persyaratan maka pegawai pencatat sipil tidak berani untuk mencatatkan perkawinan.
103
Pegawai pencatat memberi saran agar segera melakukan atau memenuhi persyaratan, misalnya jika para pihak datang ke catatan sipil, dan pegawai catatan sipil meminta bukti surat kawin dari gereja/vihara dan pura yang asli. Tetapi jika para pihak tidak dapat memberikan bukti kawin dari gereja maka pegawai pencatat tidak akan mencatatkan perkawinan mereka tersebut, karena suatu perkawinan sudah jelas syarat sahnya dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang mana harus dilaksanakan sesuai hukum agamanya lalu di catatkan pada catatan sipil agar mendapatkan kekuatan hukum yang tetap untuk perkawinan. (Wawancara dengan Ibu mulyana, Kasi perkawinan dan perceraian pada kantor catatan sipil di Balikpapan pada tanggal 25 September 2013 pukul 10.00 Wita). Namun setelah penulis melakukan penelusuran mengenai pegawai pencatat menolak suatu pencatatan perkawinan di media elektronik (internet), penulis menemukan bahwa Sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas tentang pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dalam putusannya nomor 024/G.TUN/1997. PTUN Jkt, menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil tidak berwenang menolak pencatatan penganut kepercayaan. Namun pada kenyataannya hingga saat ini, Kantor Catatan Sipil tidak mau melaksanakan putusan-putusan tersebut dan Kantor Catatan Sipil menyatakan tunduk pada keputusan Menteri Dalam Negeri yang pada pokoknya melarang Kantor Catatan Sipil mencatat perkawinan penganut kepercayaan. Bahkan hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Unsri pada tahun 2009-2010 menemukan bahwa perkawinan yang telah dilakukan oleh masyarakat Palembang
104
yang menganut Kong Fu Chu juga ditolak pencatatannya oleh Kantor Catatan Sipil Kota Palembang. Sehingga bagi mereka yang menganut Kong Fu Chu mengambil jalan keluar dengan mencatatkan perkawinannya dengan merubah kepercayaannya menjadi pemeluk salah satu agama seperti Budha atau Hindu, padahal secara hukum Kong Fu Chu ditetapkan sebagai salah satu agama selain Islam, Katholik, Kristen, Budha dan Hindu. 126 Menurut hemat penulis di Indonesia mengenai perkawinan antar umat beragama masih sangat sulit terjadi, para pegawai pencatat perkawinan juga tidak mau mengambil resiko untuk melakukan pencatatan diluar peraturan UndangUndang yang berlaku. Akan tetapi setiap kehendak perkawinan beda agama tidak dapat ditolak oleh kantor catatan sipil untuk pencatatan berdasarkan Pasal 21 ayat (3) tentang Kekuasaan Kehakiman. 3.5. Pencatatan Perkawinan Antar Agama Perkawinan bukan sekedar masalah pribadi antar dua insan pasangan lakilaki dan perempuan yang pada akhirnya nanti akan menjadi pasangan suami istri yang akan membentuk sebuah keluarga yang harmonis. Perkawinan bukan hanya sekedar masalah pribadi saja melainkan merupakan salah satu masalah keagamaannya yang sangat cukup sensitif dan erat sekali hubungannya dengan kerohanian seseorang. Berbicara mengenai agama, hampir setiap agama memiliki peraturan sendiri-sendiri tentang perkawinan, sehingga setiap orang yang akan melakukan 126
Pentingnya pencatatan perkawinan menurut Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan oleh Wahyu Ernaningsih, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Di unggah pada tanggal 27 September 2013.
105
suatu perkawinan harus tunduk pada ketentuan agama yang dianut oleh mereka. Hukum agama dan kepercayaan yang dimaksud bukanlah hanya hukum yang dijumpai dalam kitab-kitab suci atau dalam keyakinan yang terbentuk dalam gereja-gereja
Kristen
atau
dalam
kesatuan-kesatuan
masyarakat
yang
berkepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi juga semua ketentuanketentuan perundang-undangan. 127 Untuk terciptanya hukum perkawinan sebagai yang diidamkan tersebut UU Perkawinan meletakkan beberapa pengertian dasar tentang hukum perkawinan Nasional. UU Perkawinan didasarkan pada agama dan tidak membenarkan adanya penyimpangan terhadap perkawinan, bangsa Indonesia berdasarkan pada pancasila yang secara tegas mengakui adanya kebebasan beragama, maka ketentuan telah memberikan otoritas kepada masing-masing pemeluk agama untuk melaksanakan hukum agamanya atau dengan perkara lain masing-masing agama berhak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan menurut ukurannya sendiri yang kenyataannya berbeda antara agama yang satu dengan yang lainnya. Polemik beda agama merupakan polemik yang sangat intim untuk suatu pembahasan, karena merupakan pokok permasalahan yang sangat bersifat pribadi. Undang-Undang tidak berhak mengubah atau menghapuskan hukum agama dalam semua agama atau kepercayaan yang Ketuhanan Yang Maha Esa, kecuali jika hukum agama sedemikian itu nyata berlawanan dengan pancasila, maka dalam hal
127
Hazairin, 1975, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Timtamas Indonesia, Jakarta, hal. 6.
106
ini bukan dihapuskan atau diubah tetapi atas dasar darurat terpaksa diakui sebagai non-aktif. 128 Masalah pasangan beda agama yang akan melangsungkan perkawinan tidak serumit apa yang dibayangkan jika salah satu pihak bersedia untuk menundukkan diri. Masalah perkawinan antar agama bukanlah merupakan suatu permasalahan yang mudah dipecahkan dengan begitu saja, karena menyangkut dua unsur atau dua aspek yang mana antara aspek atau unsur perkawinan dengan agama yang paling penting dalam kehidupan seseorang. Pada kasus perkawinan beda agama di Indonesia banyak dilakukan secara
menundukkan diri hal ini bertentangan dengan kebebasan seseorang untuk memeluk agama. Tetapi ada pula perkawinan beda agama yang meminta penetapan dari pengadilan daerah domisili calon mempelai, terdapat di daerah Surakarta pada Putusan MA Nomor : 156/Pdt.P/ 2010 /PN.Ska yang mana para pemohonnya adalah LISTYANI ASTUTI beragama Kristen dan ACHMAD JULIANTO beragama Islam selain penetapan pengadilan. Putusan MA Nomor : 237 / Pdt.P / 2012 / PN.Ska
yang mana para pemohonnya adalah BETI
HARYUNING DYAH beragama Kristen dan EBNU FAJRI BAYU WORO beragama Islam, keduanya telah mendapatkan penetapan pengadilan untuk melaksanakan suatu perkawinan yang mana perkawinan yang mereka lakukan adalah perkawinan beda agama. Suatu perkawinan yang dilakukan dengan penetapan pengadilan, menurut penulis masih tidak sesuai dengan syarat sahnya suatu perkawinan yang mana 128
Ibid, hal. 7.
107
dalam perkawinan menyebutkan sahnya harus sesuai dengan hukum agamanya mereka dan dicatatkan pada kantor catatan sipil. Jika suatu penetapan pengadilan yang mengizinkan perkawinannya dilaksanakan dan dicatatkan pada kantor catat sipil hal ini yang menjadi rancu, karena dengan adanya sebuah penetapan pengadilan tanpa pemberkatan maupun upacara agamanya, hal ini tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Selain permasalahan beda agama yang akan melangsungkan perkawinan, terdapat kasus yang mana salah satu pihak melakukan perkawinan tidak sesuai agama yang dianut berdua. Namun perkawinan yang dilakukan dicatatkan pada kantor catatan sipil hal ini sesuai dengan putusan MA tanggal 24 November 1993 reg. No. 2099 k/pid/1990. Permasalahan disini yang mana Sony Gozal dan Mirjati Manuaba melakukan perkawinan di Ujung Pandang, status berdua adalah sama-sama bujang dan memeluk keyakinan yang sama yang mana Sony Gozal beragama Nasrani sedangkan Mirjati Manuaba beragama Nasrani. Mereka melakukan perkawinan tetapi perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum agama. Padahal diketahui bahwa agama yang dianut sama-sama beragama nasrani. Diketahui bahwa suatu perkawinan haruslah dilakukan menurut agama terlebih dahulu meskipun untuk yang berbeda agama, salah satu dari kedua pihak harus menundukan diri pada salah satu agama yang dianut. Jika para calon telah melakukan suatu upacara keagamaan barulah mencatatkannya, tetapi pada kasus ini ditemukan suatu keganjalan yang mendasar yang mana catatan sipil dapat
108
melakukan pencatatan padahal pasangan calon suami-istri belum melakukan upacara keagamaan terdahulu. 3.6. Akibat
Hukum
Perkawinan
yang
dilakukan
dengan
Upacara
Perkawinan tanpa Pencatatan Suatu perkawinan terjadi bila 2 insan laki-laki dan perempuan yang samasama memeluk satu keyakinan maupun berbeda keyakinan dan memiliki tujuan yang sama untuk membangun suatu keluarga yang harmonis dan kekal sampai ajal memisahkan. Menurut Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan menyebutkan perkawinan yang terjadi harus sesuai dengan hukum agamanya masing-masing lalu di catatkan pada kantor Catatan Sipil, jadi perkawinan yang sah menurut UU Perkawinan ialah sesuai dengan hukum agama dan dicatatakan. Indonesia terdiri dari beragam kultur kebudayaan, hal ini sangat mempengaruhi sahnya perkawinan, yang mana jika suatu perkawinan sudah dilakukan upacara keagamaan maka perkawinan tersebut sah dan tidak perlu adanya pencatatan. Hal tersebut benar adanya untuk perkawinan yang telah dilakukan secara agama dianggap sah karena agama yang menjadi tolak ukur sahnya atau tidaknya perkawinan tersebut. Namun di Indonesia ini adalah Negara hukum maka untuk setiap perbuatan haruslah sesuai dengan peraturan dan Undang-Undang yang berlaku, perkawinan setelah dilaksanakan menurut agamanya maka dicatatkan pada Catatan Sipil setempat. Banyak hal yang dapat dirugikan bila suatu perkawinan tidak dicatatkan, salah satunya jika suatu saat mereka berpisah maka si wanita tidak mendapatkan hak-haknya serta kepada anaknya kelak.
109
3.7.
Akibat Hukum Perkawinan yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil Tanpa Melakukan Upacara Keagamaan Suatu perkawinan yang sudah dicatatkan pada kantor catatan sipil memiliki
kekuatan hukum yang tetap dan pengakuan Negara atas perkawinan tersebut. Anak-anak atau keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut akan dengan mudah mendapatkan status sebagai anak sah. Dalam hal pencatatan kelahiran dari anak sah tersebut akan memberikan kepastian hukum. Itulah kegunaannya suatu perkawinan yang dicatatkan pada kantor catatan sipil. Sebelum melakukan pencatatan perkawinan, pasangan suami istri harus melakukan perkawinan menurut hukum agama masing-masing. Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan, suatu perkawinan yang sah harus melakukan perkawinan menurut hukum agama mereka masing-masing serta dicatatkan pada kantor catatan sipil. Perkawinan yang dilakukan langsung dicatatkan pada kantor catatan sipil, hal ini menjadi pertanyaan apakah bisa suatu perkawinan yang tidak dilakukan secara keagamaan terlebih dahulu dapat dicatatkan hal ini dijawab oleh ibu Mulyana kasi dari perkawinan dan perceraian di kantor catatan sipil Balikpapan. Beliau menjawab bahwa jelas tidak ada suatu perkawinan yang dapat dicatatkan tanpa dilakukan terdahulu prosesi upacara keagamaan jika yang beragama Kristen ada pemberkatan dari gerejanya serupa juga demikian pada agama Budha dan Hindu harus ada bukti nikah secara agama yang dikeluarkan oleh masing-masing dan nantinya bukti kawin ini akan menjadi data di catatan sipil. (wawancara
110
dengan ibu Mulyana, Kasi Perkawinan dan Perceraian pada Kantor catatan Sipil Balikpapan, tanggal 25 September 2013 pukul 10.00 Wita) Dalam prosedur pencatatan perkawinan persyaratan-persyaratan untuk melakukan suatu perkawinan harus membawakan bukti surat baptis atau telah melakukan perkawinan secara agama. Dengan membawa surat bukti yang ditunjukkan kepada catatan sipil, maka perkawinan tersebut telah didahului sesuai agama dan pegawai catatan sipil dapat mencatatkan perkawinan. Pencatatan tersebut akan adanya akta perkawinan yang dipegang oleh masing-masing pasangan. Tetapi jika perkawinannya belum melakukan upacara keagamaan maka tidak dapat dicatatkan hal ini sesuai dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2)-nya UU Perkawinan yang menjelaskan perkawinan secara agama dan secara Negara saling berkaitan. Suatu perkawinan yang akan dilaksanakan tidak melakukan prosesi perkawinan secara agama atau kata lain jika perkawinan tersebut tidak dilaksanakannya upacara keagamaan, maka akibat hukum dari perkawinan tersebut ialah pada Pasal 22 UU perkawinan yang mana perkawinan tersebut dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat-syarat dari sahnya suatu perkawinan. 3.7.1. Putusan
Pengadilan
Negeri
tanggal
20
Januari
1990
No.16/Pid.S/1990/PN.Sinda Mengenai kasus suatu perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya upacara keagamaan namun dapat di catatkan pada kantor catatan sipil. Dalam putusan Pengadilan
Negeri
Samarinda
tanggal
20
Januari
1990
111
No.16/Pid.S/1990/PN.Sinda menyatakan bahwa terdakwa Sony Gozal dinyatakan bersalah oleh hakim karena telah melakukan perkawinan kedua. Diketahui bahwa terdakwa Sony Gozal masih terdapat penghalang yang sah untuk melakukan perkawinan lagi dan disekitar bulan juni 1989, di Kantor Catatan Sipil Kotamadya Samarinda atau setidak-tidaknya disalah satu tempat dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Samarinda, terdakwa Sony Gozal memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya tidak sesuai dengan kebenaran. Bertujuan
untuk
pelengkap
persyaratan
pencatatan
perkawinannya,
terdakwa telah mencantumkan keterangan bahwa diri terdakwa belum pernah kawin. Sehingga berdasarkan keterangan terdakwa maka pegawai pencatatan, mencatatkan perkawinannya dengan saudari Lusiana dalam akte perkawinan No.29/1989 tanggal 3 Juni 1989. Sebelum terdakwa mencatatkan perkawinan keduanya, diketahui bahwa sesungguhnya terdakwa Sony Gozal telah mencatatkan perkawinanya pertama dengan Dokter Mirjati Manuaba di Catatan sipil Ujung Pandang tanggal 11 Agustus 1987 dengan akte perkawinan No. 214/B/SC/1987 yang sampai sekarang belum pernah diceraikannya. Akibat perbuatan terdakwa tersebut saksi Dokter Mirjati Manuba selaku istri sah terdakwa merasa dirugikan secara materiil maupun immaterial. Dalam putusan Pengadilan Negeri ini menyebutkan bahwa akte perkawinannya tetap sah, meskipun belum diikuti upacara keagamaan yang bersangkutan. Namun terdakwa terbukti bersalah karena telah memberikan
112
keterangan palsu dalam akte perkawinan mengenai identitasnya, keterangan terdakwa mengenai identitasnya yang mengakibatkan catatan sipil mengeluarkan akte perkawinan, yang sah hal ini menimbulkan kerugian bagi pihak lain. 3.7.2. Putusan
Pengadilan
Tinggi
tanggal
19
April
1990
No.03/PID.S/1990/PT.KT. Sinda Dalam putusan Pengadilan Tinggi Samarinda tanggal 19 April 1990 No.03/PID.S/1990/PT.KT Sinda menguatkan putusan dari Pengadilan Negeri Samarinda yang menyatakan bahwa terdakwa Sony Gozal dinyatakan bersalah karena telah melakukan perkawinan untuk kedua kalinya dan tidak melakukan perkawinannya sesuai dengan agama yang dianut, dan memberikan keterangan palsu yang mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. 3.7.3. Putusan Mahkamah Agung Tanggal 24 Nopember 1993 Reg.No. 2099 K/Pid/1990 Dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Nopember 1993 Reg.No. 2099 K/Pid/1990 Permohonan kasasi terdakwa dimaksud didasari oleh keberatankeberatan, atas dasar pertimbangan akhirnya Majelis membatalkan putusan Judex Factie dan memutuskan dengan putusan yang menyatakan : • • • • • •
Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi : SG tersebut. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Samarinda tanggal 19 April 1990 Nomor : 03/Pid.S/1990/PT. KT. Smda, dan Putusan Pengadilan Negeri Samarinda tanggal 20 Januari 1990 Nomor : 16/Pid.S/1990/PN.Smda. Menyatakan terdakwa SG tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan kesatu, dakwaan kedua primair, subsidair, lebih subsidair. Membebaskan terdakwa oleh karena dari segala dakwaan tersebut. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Memerintahkan barang-barang bukti berupa :
113
a. Kutipan Akte Perkawinan no 29/1989 beserta copyan untuk isteri diserahkan kepada saksi LS. b. KTP. a.n SG di serahkan kepada SG. c. Foto Copy surat keterangan menyatakan belum pernah kawin No. 474.2/31/1005-A a.n LS. d. Foto copy surat kenal lahir a.n LS. e. Foto Copy pengumunan dari catatan sipil Kodya Samarinda a.n SG dan LS tetap dilampirkan dalam berkas perkara. f. Membebaskan biaya perkara dalam semua tingkt peradilan Kepada Negara. Menurut analisa penulis serta dari hasil penelitian mengenai kasus ini yang mana Sony Gozal yang berprofesi sebagai dokter, awalnya menikah dengan Mirjati Manuaba yang berprofesi sama dengan Sony Gozal yaitu Dokter. Para pihak melaksanakan perkawinannya di Ujung Pandang tanpa dilakukan Upacara Agama terlebih dahulu namun telah dicatatkan pada kantor catatan sipil setempat. Suatu ketika saudara Sony Gozal pindah tugas ke kota Samarinda. Di kota Samarinda saudara Sony Gozal menikahi saudari Lusiana Madau, namun pernikahan yang kedua ini tidak dilaksanakan Upacara keagamaan, sama halnya dengan perkawinannya yang pertama perkawinannya hanya dilakukan di catatan Sipil. Saudara Sony Gozal terbukti bersalah karena telah melakukan perkawinan kedua padahal mengetahui bahwa terdakwa mempunyai penghalang yang sah untuk melakukan perkawinan lagi. Dalam Putusan Pengadilan Negeri menyatakan bahwa saudara Sony Gozal dinyatakan bersalah karena telah melakukan perkawinan kembali meskipun belum pernah dilakukan upacara perkawinan tetapi sudah memiliki akta perkawinan. Akta perkawinan tetap sah, meskipun belum dilaksanakannya upacara perkawinan serta diketahui bahwa terdapat suatu penghalang yang sah.
114
Menurut keterangan terdakwa Sony Gozal diketahui bahwa terdakwa melanggar Pasal 279 ayat (1) KUHP dan terdakwa Sony Gozal terbukti bersalah karena telah memberikan suatu keterangan palsu mencantumkan keterangan bahwa diri terdakwa belum pernah kawin (bujang). Berdasarkan keterangan terdakwa Sony Gozal tersebut Pegawai Pencatatan Sipil telah mencatatkan perkawinan terdakwa dengan saudari Lusiana dalam akte perkawinan yang telah dijelaskan diatas dengan keterangan tersebut terdakwa melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHP dan Pasal 263 ayat (2) KUHP dan Putusan Pengadilan Tinggi memperkuat putusan Pengadilan Negeri Samarinda tersebut. Dalam Putusan Mahkamah Agung, majelis melihat sisi formal dari perkawinan-perkawinan terdakwa. Pertimbangannya adalah pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mana dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan. Penjelasannya dengan perumusan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Perkawinan yang dilakukan baik dengan istri Pertama maupun dengan istri kedua, walaupun sudah terdaftar di kantor Catatan Sipil, namun tetap saja belum pernah dilakukan upacara perkawinan menurut agama yang dianut. Dengan dasar ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan disimpulkan bahwa perkawinanperkawinan yang dilakukan oleh Sony Gozal baik dengan saudari Mirjati Manuba maupun saudari Lusiana tidak ada perkawinan yang sah.
115
Alasan atau argumentasi catatan sipil mencatatkan perkawinan terdakwa Sony Gozal dengan saudari Lusiana, pada saat pegawai pencatatan meminta keterangan
pelengkap
persyaratan
perkawinan
terdakwa
mencantumkan
keterangan bahwa diri terdakwa belum pernah kawin. Pegawai pencatat mengumumkan perkawinan pada papan pengumuman di kantor catatan sipil diketahui bahwa tidak ada yang merasa keberatan atas perkawinan terdakwa Sony Gozal dengan saudari Lusiana. Atas keterangan yang disampaikan oleh keduanya (Sony Gozal dan Lusiana), maka pegawai pencatat mencatatakan perkawinan keduanya dan menerbitkan akta perkawinan yang sah. Namun pegawai pencatatan lalai dalam mencatatkan perkawinan yang belum didahului dengan hukum agama yang dianut masing-masing pihak, hal ini berakibat buruk terhadap perkawinan para pihak. Dalam kasus ini yang mana pegawai pencatat mencatatkan perkawinan tidak sesuai dengan prosedur pencatatan yang mana tidak ada surat mengenai perkawinan yang telah dilaksanakan upacara agama. Catatan sipil hanya mencatatkan perkawinan terdakwa dengan saudari Lusiana sesuai dengan keterangan yang di terima atau disampaikan oleh keduanya serta alasan catatan sipil pada saat mengumumkan perkawinan pada papan pengumuman tidak ada yang keberatan atas perkawinan tersebut. Akibatnya perkawinan tersebut yang tidak sesuai dengan prosedur serta syarat sahnya perkawinan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan atau tidak sah (Pasal 22 UU Perkawinan) dan mengenai akta perkawinan yang telah
116
diterbitkan oleh kantor catatan sipil batal demi hukum karena tidak memenuhinya syarat objektif.
BAB IV PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN YANG PERKAWINANNYA DIBATALKAN 4.1. Hak dan Kewajiban sebagai suami istri yang timbul karena perkawinan serta hak dan kewajiban kepada anak Dalam UU Perkawinan pasal 1 menjelaskan bahwa “perkawinan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia Dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Serta dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan menjelaskan bahwa sahnya suatu perkawinan menurut hukum agamanya yang dianut serta dicatatkan pada kantor catatan sipil agar mendapatkan suatu kepastian hukum atau perlindungan hukum dalam suatu perkawian yang telah dilaksanakan. Suatu perkawinan telah dilakukan secara sah maka dengan sendirinya akan menimbulkan hak dan kewajiban antara suami-istri, orangtua ke anak. Dalam Pasal 30-34 UU Perkawinan mengatur mengenai hak dan kewajiban suami istri. Pasal 30 UU Perkawinan menjelaskan mengenai suami dan istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Pasal 34 UU Perkawinan menjelaskan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan dalam ayat (3)-nya jika suami dan istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
117
118
Bilamana syarat sahnya suatu perkawinan tidak dilaksanakan secara benar adanya, tidak dilakukan sesuai hukum agama namun dicatatkan pada kantor catatan sipil, hal ini sangat merugikan salah satu pihak maupun keduanya. Suatu perkawinan yang hanya dilaksanakan pencatatan saja, perkawinan itu tidak sah, karena suatu perkawinan bersifat sakral, jadi diharuskan melakukan pencatatan seperti yang dikatakan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Jika suatu perkawinan tidak dilakukan sesuai syarat sahnya perkawinan maka Perkawinan tersebut tidak dapat perlindungan hukum. Penjelasan di atas yang sangat sering terjadi di masyarakat banyak hal-hal yang sering bertolak belakang dengan suatu peraturan perundang-undangan yang telah mengatur setiap warga negaranya termasuk dalam hal perkawinan. Maka dari itu perlunya sosialisasi kepada masyarakat agar mendapat suatu perlindungan hukum. Berkaitan dengan pokok kasus ini yang mana terdakwa Sony Gozal yang melaksanakan perkawinannya tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinannya. Perkawinannya hanya dicatatkan pada kantor catatan sipil dan suatu saat ia kawin lagi dengan wanita lain, Menurut hemat penulis terhadap kasus ini seorang pria yang ingin melakukan perkawinan untuk kedua kalinya dengan wanita lain, maka harus dengan izin dari istri pertamanya dan diketahui bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya (Pasal 4 ayat (1) dan (2)). Terhadap kasus ini Dalam hal ini suami tidak memenuhi kewajibannya yang dijelaskan pada Pasal 34 UU perkawinan, menurut keterangan yang diberikan oleh bapak Murtafi’in seorang suami harus melindungi keluarganya termasuk istri,
119
karena suatu perkawinan itu bersifat sakral, sebelum melakukan perkawinan suami sudah berjanji kepada Tuhan bukan lagi berjanji dengan manusia yang kapan saja bisa di ingkari, jadi kewajiban suami maupun istri sama-sama untuk menjaga keutuhan rumah tangganya. (Wawancara dengan bapak Murtafi’in, Kepala Kantor Urusan Agama di Balikpapan selatan tanggal 25 September 2013 pukul 14.00 Wita). Pria dan wanita melakukan perkawinan mempunyai tujuan yang sangat diharapkan oleh keduanya yaitu keturunan. Dalam UU Perkawinan mengatur mengenai hak dan kewajiban orangtua terhadap anak dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49, dalam Pasal 45 ayat (1) menyatakan kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, ayat (2) kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtuanya putus. Dalam UU Perkawinan mengatur mengenai hak dan kewajiban orangtua dan hak dan kewajiban anak terhadap orangtuanya. Anak adalah seseorang yang tercipta karena adanya cinta dari kedua orangtuanya, sudah selayaknya orangtua memperhatikan tumbuh kembang anak mereka dan masa depan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Seorang anak yang dilahirkan harus mendapatkan akta kelahiran yang menandakan jati dirinya. Namun untuk mendapatkan akta kelahiran pegawai pencatatan sipil meminta akta perkawinan dari kedua orangtuanya tujuannya
120
untuk melihat apakah perkawinan yang telah dilakukan sah menurut hukum dan agamanya. Jika perkawinan kedua orang tuanya tidak sah, tidak dilaksanakannya sesuai agamanya yang dianut maupun tidak dicatatkan. Dampaknya akan ke anak yang lahir dari perkawinan tersebut, anak tersebut sudah tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan akta kelahiran, meskipun anak tetap bisa mendapatkan akta kelahirannya namun hanya nama ibu. Akta kelahiran anak yang hanya mencantumkan nama ibu saja, berdampak negatif ke anak. Oleh karena itu suatu perkawinan yang sah didahulukan secara agama lalu dicatatkan pada kantor catatan sipil, maka pentingnya suatu pencatatan dan agamanya sesuai dengan UU Perkawinanmengatur mengenai syarat sahnya perkawinan (Pasal 2 ayat (1) dan (2)). 4.2. Perkawinan yang telah berlangsung dan dinyatakan dibatalkan Hakim dapat melakukan pembatalan untuk perkawinan, namun harus ada persetujuan dari kedua belah pihak. Suatu perkawinan jika tidak memenuhi syaratsyarat sahnya yang diharuskan oleh UU Perkawinan maka perkawinan itu dibatalkan namun jika sudah diajukan gugatan pembatalan dimuka hakim oleh kedua belah pihak, keluarga garis keturunan lurus ke atas (Pasal 23 UU Perkawinan). 129 Pembatalan perkawinan dengan pencegahan perkawinan terkadang sama, namun kedua upaya hukum tersebut berbeda pengertiannya yang mana dalam pencegahan perkawinan yaitu sebelum terjadinya suatu perkawinan berlangsung 129
Wita.
www.jurnalhukum.com diakses pada tanggal 6 October 2013 pukul 20.40
121
sedangkan untuk pembatalan perkawinan dilakukan setelah perkawinan berlangsung, suatu pembatalan perkawinan biasanya terjadi suatu perkawinan dengan anak yang dibawah umur, seperti contonya perkawinan yang dilakukan syehfuzi dengan anak di bawah umur perkawinan yang dilaksanakan dibatalkan karena tidak memenuhi syarat umur atau syarat subyektif. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan keputusan mengenai batalnya perkawinan tersebut tidak berlaku surut terhadap : 130 1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut 2. Suami dan istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu 3. Pihak ketiga yang memperoleh hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap Menurut UU Perkawinan, pada prinsipnya perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 22 sampai Pasal 28 UU Perkawinan, sedangkan hal untuk mengajukan pembatalan perkawinan diatur didalam Pasal 23 UU Perkawinan: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri. b. Suami dan istri. c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan 130
Ibid.
122
d. Pejabat yang ditunjuk menurut Pasal 16 ayat (2) UU Perkawinan ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pasal 24 ditegaskan bahwa “barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan”. Di dalam Pasal 25 mengatur mengenai tempat diajukannya permohonan pembatalan perkawinan ini, permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri. Dalam Pasal 26 UU Perkawinan dijelaskan bahwa pembatalan perkawinan juga dapat dilakukan oleh wali nikahnya yang mana dalam pasal 26 menjelaskan : 1. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri. 2. Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
123
Tetapi jika suatu perkawinan yang sudah mencapai lebih dari 6 bulan maka suatu pembatalan tidak dapat dilakukan mengingat Pasal 26 dan Pasal 27 UU Perkawinan, menyatakan bahwa jika lebih dari jangka waktu 6 bulan untuk mengajukan permohonan pembatalan para pihak tidak mengajukan gugatan pembatan maka hak untuk mengajukan gugatan gugur. Dalam hukum Islam prosedur pembatalan perkawinan dapat dimohonkan kepada Pengadilan Agama diwilayah hukum tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan dilangsungkan. Perkawinan batal dimulai setelah putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan ketentuan ini diatur dalam Pasal 28 UU Perkawinan ayat (1) dan (2), pembatalan suatu perkawinan tidak berlaku surut terhadap anakanak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Menurut penjelasan dari bapak Mutafi’in kepala KUA kota Balikpapan selatan, pernah terjadi kasus yang mana hampir sama dengan permasalahan ini. Permasalahan yang di ceritakan oleh bapak Mutafi’in ini mengenai perkawinan yang dibatalkan, perkawinan yang dilakukan oleh si A yang telah menikah secara sah agama dan Negara dengan si B. Suatu ketika si A pindah ke Balikpapan dan berbekal dengan KTP beridentitaskan palsu. Dalam statusnya si A masih bujang si A menyadari bahwa dirinya telah menikah dan memiliki anak dengan perkawinan pertamanya dengan si B. Setelah si A pindah ke Balikpapan dengan berbekal identitas palsu di KTP maka si A menikahi si C (wanita yang bertemu di Balikpapan) sebelum melakukan pernikahan secara sah, si A dan si C melaporkan niatnya untuk melakukan perkawinan di KUA Balikpapan.
124
Pegawai KUA serta Kepala KUA-nya sendiri sebelum mencatatkan perkawinan, pegawai kua dengan kepala KUA meminta mengenai status perkawinan sebelumnya. Para pihak menjawab bahwa benar tidak terdapat penghalang atau dengan kata lain para pihak benar-benar masih bujang dan lajang sesuai dengan identitas para pihak dan KUA setempay melakukan pencatatan perkawinan. Setelah mereka melakukan perkawinan yang sah ternyata suatu ketika si C mendapati bukti bahwa si A pernah menikah dengan si B. Karena alasan tersebut inilah si C menggugat si A dan ingin membatalkan perkawinan, tetapi gugatan si C di tolak oleh pengadilan agama dan kasusnya sampai sekarang masih bergulir. Menurut keterangan bapak Mutafi’in bahwa tidak seharusnya si C mengajukan gugatan pembatalan perkawinan dikarenakan akan merugikan dirinya sendiri, karena di mata tuhan ia bukan lagi sebagai lajang yang belum pernah menikah. Kelak jika permohonan pembatalannya di putuskan oleh pengadilan dan di setujui maka akan merugikan dirinya sendiri nantinya, Sebaikanya si wanita meminta cerai saja dari pada permohonan pembatalan kawin. (Wawancara dengan bapak Murtafi’in, Kepala KUA Balikpapan Selatan, pada tanggal 25 September 2013, pukul 14.00 Wita). 4.3. Pelaksanaan
Perlindungan
Hukum
kepada
perempuan
yang
perkawinannya dinyatakan tidak sah Apa jadinya jika manusia tidak ada yang menikah, generasi akan punah dan bumi ini akan sepi, sehingga sungguh hal mulia ketika manusia memutuskan untuk kawin tujuanya membangun rumah tangga, memiliki keturunan. Suatu
125
perkawinan yang telah berlangsung antara suami dan istri haruslah didasari oleh cinta dan kasih. Perkawinan adalah sebuah kesepakatan yang dibuat antar kedua belah pihak. Kedua belah pihak dengan Tuhan serta kedua belah pihak untuk masing-masing keluarga dan perjanjian antar kedua belah pihak dengan keturunannya kelak. Suatu perkawinan mempunyai syarat sahnya yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) serta dalam Bab II tentang syarat-syarat perkawinan dalam UU Perkawinan. Dalam UU Perkawinan, mengatur mengenai perkawinan itu terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Mengenai umur juga diatur dalam UU Perkawinan untuk anak umur dibawah 21 tahun harus memiliki izin dari kedua orang tuanya, sesuai dengan Pasal 7 UU Perkawinan menyatakan izin diberikan jika pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun. Perkawinan harus didahului hukum agama masing-masing karena hukum agamalah yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Setelah melakukan perkawinan dengan hukum agama, kedua mempelai di minta untuk mencatatkan pada kantor catatan sipil, gunanya mencatatkan perkawinan yang dilakukan secara administrasi agar kedua mempelai sama-sama memiliki perlindungan hukum terutama untuk wanita dan anak-anaknya tersebut. Tujuan perkawinan semuanya adalah untuk membina keluarga yang sejahtera dan bahagia. Dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan begitu pula sebaliknya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, namun
126
dalam ayat (2)-nya UU Perkawinan mengatur mengenai seorang pria dapat memiliki lebih dari seorang istri, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan telah mendapatkan penetapan dari pengadilan. Mengenai suatu perlindungan hukum sangat diperlukan oleh setiap masyarakat atau subyek hukum. Semua masyarakat memerlukan suatu perlindungan baik pria, wanita maupun anak-anak, karena dimata hukum semua sama adanya tidak ada yang diistimewakan namun dalam hal ini perlindungan hukum sangat diperlukan oleh perempuan yang mana perkawinan yang telah ia lakukan dibatalkan. Dalam pokok pembahasan ini yang mana telah terjadi perkawinan yang dilakukan oleh dua orang pasangan laki-laki dengan wanita. Perkawinan yang mereka lakukan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mana perkawinan yang mereka lakukan tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka anut berdua. Perkawinan tersebut langsung dicatatkan pada kantor catatan sipil di wilayah tempat tinggal, suatu ketika terdakwa Sony Gozal pindah ke kota Samarinda dengan berbekal KTP identitas palsu yang mana dalam statusnya dijelaskan bahwa ia bujangan. Suatu ketika terdakwa Sony Gozal menikah dengan saudari Lusiana wanita lain di kota Samarinda. Terdakwa Sony Gozal menyadari bahwa terdapat penghalang yang sah untuk melakukan perkawinan kedua kalinya. Tetapi terdakwa Sony Gozal tetap menjalankan niatnya untuk melakukan perkawinan kembali dengan saudari
127
Lusiana di kantor catatan sipil Samarinda. Pegawai pencatat menjalankan tugasnya untuk mencatatkan perkawinan Sony Gozal dengan Lusiana. Alasan pegawai pencatat melakukan pencatatan perkawinan Sony Gozal dengan Lusiana karena pada KTP keduanya berstatus bujangan dan pada saat pengumuman berita perkawinan tidak ada yang keberatan atas perkawinan tersebut maka pegawai pencatat mencatat perkawinan berdua. Setelah beberapa bulan barulah istri pertama dari terdakwa Sony Gozal tersebut mengetahui berita bahwa suaminya telah melakukan perkawinan untuk kedua kalinya tanpa adanya izin atau pemberitahuan terdahulu, maka istri pertamanya melaporkan kepada polres setempat dan kasus tersebut sampai pada tingkat kasasi. Pada pembahasan mengenai sahnya perkawinan harus dilaksanakan menurut ajaran agama lalu dicatatkan. Jika perkawinan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan agama maka perkawinan di mata Tuhan tidak ada meskipun sesuai administrasi atau menurut hukum perkawinan tersebut sudah dicatatkan namun pencatatan tersebut tetap tidak sah karena tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Suatu perkawinan jika tidak sesuai dengan syarat sahnya perkawinan maka perkawinan tersebut batal, menurut penjelasan dari ibu Mulyana status mengenai istri-istri dari Sony Gozal dikembalikan seperti semula. (Wawancara dengan ibu Mulyana Kasi. Perkawinan dan Perceraian pada kantor catatan sipil Balikpapan, tanggal 25 September 2013, pukul 10.00 Wita). Namun menurut penulis untuk suatu status memang bisa perbaiki apalagi hanya mengenai status di KTP, namun
128
bagaimana dengan status pribadinya mereka masing-masing yang mana mereka sudah tidak lagi lajang. Upaya perlindungan Hukum yang dapat diterima oleh pihak perempuan, para pihak yang dirugikan dalam perkawinan ini dapat mengajukan tuntutan. Baik kepada Sony Gozal maupun catatan sipil, karena dengan catatan sipil menerbitkan akte perkawinan tersebut, maka dianggap sudah ada perkawinan yang sah sebab sudah ada bukti perkawinannya. Catatan sipil telah melanggar ketentuan UU Perkawinan, padahal catatan sipil mengetahui belum terjadi perkawinan secara agama hal ini yang menimbulkan suatu permasalahan yang mana akibat dari kelalaian merugikan pihak lain. Maka dari itu catatan sipil dapat dituntut ganti rugi secara materiil dan imateriil dan mengembalikan nama baik kedua korban.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari penjelasan atas permasalahan yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Suatu perkawinan dilakukan harus menurut hukum agamanya masingmasing dan lalu dicatatkan pada kantor catatan sipil, sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan. Pada kenyataannya agamalah yang mempunyai peranan penting untuk membuktikan sah atau tidaknya suatu perkawinan, dikarenakan agama mempunyai kekuatan yang sakral yang nantinya akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, setelah sah menurut hukum agamanya barulah dicatatkan pada kantor catatan sipil. Akibat jika suatu perkawinan tidak dilakukan secara agama maka dianggap kumpul kebo, meskipun sudah mencatatkan perkawinan. Akibat hukum suatu perkawinan yang tidak dilaksanakan
menurut
agamanya
dan
hanya
dicatatkan
maka
perkawinannya tersebut tidak sah. 2. Perlindungan hukum untuk perempuan yang perkawinannya batal, pihak perempuan dapat mengajukan gugatan, baik kepada suaminya maupun catatan sipil, karena dengan diterbitkan akta perkawinan ini maka perkawinan dianggap sudah ada dan catatan sipil telah melanggar ketentuan UU Perkawinan. Padahal catatan sipil mengetahui belum terjadi perkawinan secara agama maka dari itu catatan sipil dapat dituntut
129
130
ganti rugi secara materiil dan imateriil dan mengembalikan nama baik korban. B. Saran Saran-saran yang dapat disampaikan dari uraian pembahasan mengenai perkawinan yang dicatatkan pada kantor catatan sipil tanpa melakukan upacara keagamaan di kalimatan timur adalah sebagai berikut ini : 1. Bagi pemerintah Undang-undang Perkawinan harus secara tegas dalam suatu penerapan sahnya perkawinan, sehingga tidak terjadi kesimpang siuran untuk menetapkan sah atau tidaknya suatu perkawinan serta pemerintah diharapkan dapat melindungi setiap permasalahan yang timbul akibat suatu perkawinan. 2. Bagi Catatan Sipil Agar segera memperbaiki diri supaya kejadian seperti ini tidak akan terulang kembali dan untuk suatu pencatatan yang diajukan oleh pihak yang terkait agar catatan sipil benar-benar mengetahui mengenai status pihak tersebut. Catatan sipil menjalankan tugasnya harus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dan tidak melenceng dari peraturan tersebut, contohnya jika suatu saat ada ditemukan pasangan yang akan kawin, namun tidak didahului dengan pemberkatan atau upacara keagamaan maka capil dapat menolak pencatatannya alasannya belum sesuai dengan UU Perkawinan yang mengharuskan suatu perkawinan dilaksanakan terlebih dahulu secara hukum agamanya mereka anut.
131
Untuk catatan sipil juga agar tidak sembarangan dalam mencatatkan suatu perkawinan karena dapat merugikan sekali bagi salah satu pihak. 3. Bagi masyarakat Saran penulis untuk masyarakat khususnya perempuan agar lebih cermat dalam memilih pasangan hidupnya jangan asal memilih saja agar tidak rugi dikemudian hari dan untuk perempuan harus benar-benar mengetahui mengenai suatu syarat sahnya perkawinan tersebut agar tidak tersesat atas suatu peristiwa yang akan merugikan dirinya sendiri dan masyarakat di minta untuk mentaati UU Perkawinan sehingga tidak ada keraguan untuk menetapkan sah atau tidaknya perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku – Buku
Abdurrahman, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia. Penerbit Alumni, Bandung. Adji, Seno Oemar, 1985, Peradilan bebas Negara hukum, Erlangga, Jakarta. Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974, PT. Dian Rakyat, Jakarta. Artadi, I Ketut, 1987, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Yurisprudensi, Cet. II, Setia Lawan, Denpasar. Bioy, J, Duncan, 1995, Family law, Head of department of law and finance University of Glamorgan. Budiono, Herlien, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Crano, D. William and Brewer and Marilyn B, 2002, Principles And Methodes Of Social Research, Lowrence Erlbaum Associates, Pulishers, Mahwah, New Jersey Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia), Gramedia pustaka Utama, Jakarta. Dijk, Van, 2006, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Dirdjosisworo, Soedjono, 2000, Penghantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keenam, Jakarta. Erwin, Muhamad, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi krisis terhadap hukum, PT. Raja Garfindo Persada. Fuady, Munir, 2003, Aliran Hukum Kritis (paradigm ketidak Berdayaan Hukum), PT. Citra Aditya Bakti, Cet. 1, Bandung. Gautama, Sudargo, 1973, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan campuran, Penerbit Alumni, Bandung. Hadikusuma, Hilman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, menurut perundangan hukum adat dan hukum agama, CV. Mandar Maju, Bandung.
132
133
Hamid, Zuhri, 1978, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang Perkawinan di Indonesia, Cet. Ke-1, ttp:Bina Cipta. Hazairin, 1975, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Timtamas Indonesia, Jakarta. Kolkman, D, Wilbert, 2012, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia. Pustaka Larasan, Denpasar. Korkunov, N.M, 1922, General Theory of Law, English Translation by W.G. Hastings, Dean of the law Faculty, University of Nebraska, Second Edition, New Book The Macmillan Company Kusumaatmadja, Mochtar, 1970, Fungsi dan perkembangan Hukum dalam pembangunan Nasional, Majalah Pajajaran, Bandung. Lebacqz, Karen, Teori-Teori Keadilan, Six Theories of Justice, Bandung, Nusa Media. Moleong, J, Lexy, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Muhamad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Undonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Narbuko Cholid dan H. Abu Achmadi, 2002, Metodologi Penelitian, PT Bumi Aksara, Jakarta. Notohamidjojo, O, 1970, Makna Negara Hukum, Jakarta, BPK Panggabean, Pendapotan Henry, 2012, Peranan Mahkamah Agung melalui putusan-putusan Hukum Perikatan, PT. Alumni, Bandung. Prawirohamidjojo, Soetojo, 2000, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kesebelas, Bandung. Pudja, Gde, 1984, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari, Jakarta. Prins, J, 1982, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur. Ramulyo, Idris, 1984, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Ind.Hill Co, Jakarta. Rodgers, ME, 2004, Understanding Family Law, Cavendish Publishing Limited, London. Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Shantika Dharma, cetakan pertama, Bandung.
134
Saleh, K. Wantjik, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur. Setiady, Tolib, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam kajian kepustakaan), Penerbit Alfabeta, Bandung Soebadio, Ulfah Maria, 1981, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-undang Perkawinan, Idayu, Jakarta. Soekanto Soerjono, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung ______, 2011, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Soepomo, 1993, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, Jakarta Soerjono, 1982, Perkawinan Yang Bahagia, edisi ke 8, Yakin, Surabaya Soewondo, Nani, 1984, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta. Subekti, 2002, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Penerbit PT.Intermasa. Sudantra, I Ketut, dkk, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press, Denpasar. Sudarsono, 2010, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta Sundoro, Sejarah umum, jilid 1, PT. Pembangunan Jakarta. Sunggono, Bambang, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Syahuri, Taufiqurrohman, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, prokontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Tjokrowisastro, Soedjito, 1985, Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, PT. Bina Aksara, Jakarta. Wignjodipoere, Soerjono, 1988, Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta. Welstead, Mary dan Susan Edwards, 2006, Family Law, oxford university Press, New York. Verkuly, J, 1984, Etika Kristen (seksuil), Gunung Mulia, Cetakan ke 8, Jakarta. Wignjodipoero, Soerojo, 1988, Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.
135
Yaswirman, 2013, Hukum keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Yunus, H. Mahmud, 1981, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Hildakarya Agung, Cetakan ke 9, Jakarta. B. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang R.I. Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-undang No 22 tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Undang-undang No 32 tahun 1954 tentang pencatatan Nikah Talak dan Rujuk (LN. 1954 No 98) Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019). C. Artikel dan Jurnal Pentingnya pencatatan perkawinan menurut UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan oleh Wahyu Ernaningsih, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Di unggah pada tanggal 27 September 2013 D. Internet Id.m.wikipedia.org/wiki/upacara_pernikahan, diakses pada tanggal 26 Mei 2013 pukul 16.46 Wita http: //www.artikata.com/artiperlindungan.html, diakses pada tanggal 17 Juli 2013 pukul 22.30WITA http:// www.id.m.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Timur diakses pada tanggal 21 September 2013 pukul 16.30 Wita http://kaltim.bps.go.id diakses pada tanggal 21 September 2013 pukul 18.30 Wita http://id.m.wikipedia.org/wiki/kota_samarinda diakses pada tanggal 21 september 2013 pada pukul 20.30 wita www.Tempo.com diakses pada tanggal 22 September 2013 pukul 15.00 Wita. Balikpapanpos.co.id diakses pada tanggal 22 september 2013 pukul 15.06 Wita Balikpapan:Kaltimpost.co.id diakses pada tanggal 22 September 2013 pada pukul 25.10 Wita
136
Balikpapan Post, www.balikpapanpos.co.id diakses pada tanggal 22 September 2013 pada pukul 15.45 Wita http://www.casip.bandungkab.go.id/akta-perkawinan, diakses pada tanggal 21 Agustus 2013 pukul 15.01 Wita http://id.wikipedia.org. diakses pada tanggal 20 agustus 2013 pukul 11.33 WITA
www.jurnalhukum.com diakses pada tanggal 6 October 2013 pukul 20.40 Wita
E. DATA INFORMAN 1. Nama
: Isnaniah
Jabatan
: Panitra Muda Hukum, Pengadilan Negeri Samarinda.
Pendidikan
: Sarjana Hukum
Tempat/ Tanggal Lahir : Samarinda, 28 April 1967 Alamat 2. Nama Jabatan
: Jalan Kapt.Tendean nomor 10 Samarinda : Mulyana : Kasi. Perkawinan dan perceraian Catatan sipil Balikpapan
Pendidikan
: Sarjana Hukum
Tempat/ Tanggal Lahir : Pontianak, 10 Agustus 1974 Alamat
: Pondok Karya Agung Blok AA 16 Balikpapan Selatan
3. Nama
: Murtafi’in
Jabatan
: Kepala KUA Balikpapan Selatan
Pendidikan
: Sarjana Agama
Tempat/tanggal Lahir : Gorontalo, 18 Januari 1963 Alamat
: Jalan Milono nomor 28, Balikpapan