BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Allah menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia
laki-laki dan perempuan. Sudah kodrat manusia antara satu sama lain selalu saling membutuhkan karena manusia merupakan makhluk sosial. Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri tersebut mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur, demikian pula di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya manusia diciptakan berpasang-pasangan supaya mereka cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-nya di antara suami dan istri itu kasih sayang. Agama Islam merupakan agama yang berusaha mengatur umatnya agar tercipta keadilan, kesejahteraan dan kedamaian dengan melaksanakan norma-norma hukum yang ada dalam agama. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku sampai pada saat ini selain hukum perkawinan, hukum kewarisan juga merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat1. Di mana hukum perkawinan dan kewarisan sangat terkait dengan peristiwa hukum yang menimpa seseorang, yakni periswa hukum berupa kematian atau meninggalnya seseorang. Kejadian ini menimbulkan polemik kepada orangorang yang memiliki hak dan kewajiban sebagai orang yang ditingalkan. Namun
1
Hazairin, 1981, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadist, Cetakan V, Tintamas, Jakarta, hlm. 1 1
2
seiring perjalanan waktu, berbagai permasalahan muncul menghadang umat manusia dalam upaya mencapai kebahagiaan, salah satunya adalah kenyataan bahwa salah seorang di antara mereka dinyatakan hilang. Peristiwa hukum meninggal atau hilangnya seseorang adalah suatu peristiwa yang dapat dibuktikan dengan adanya jasad si meninggal dan disaksikan oleh orang, khususnya para keluarga.
Penetapan status orang hilang bagi orang yang hilang sangat penting karena untuk mengetahui posisinya dalam hal memperoleh hak dan kewajiban, semisal kewarisan. Jika dia merupakan pewaris, maka ahli warisnya memerlukan kejelasan status tentang keberadaannya (apakah yang bersangkutan masih hidup atau sudah wafat) agar jelas hukum kewarisan dan harta warisannya. Dengan demikian, ahli waris sudah memiliki dasar hukum yang kuat apabila harta warisan tersebut akan dibagikan. Hukum Islam menyebut orang hilang sebagai mafqud, namun dalam menetapkan seseorang berstatus sebagai mafqud memiliki aturan-aturan tersendiri. Mafqud adalah orang yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup atau matinya. Orang ini sebelumnya pernah hidup dan tidak diketahui secara pasti keberadaannya apakah masih hidup atau tidak oleh keluarganya2. Di lain sisi, ada juga yang mengemukakan bahwa Mafqud adalah orang yang terputus beritanya yang sebelumnya pernah dinyatakan hidup dan diketahui keberadaaannya. Dengan kata lain orang tersebut tidak terdeteksi di mana keberadaannya dan bagaimana kondisinya.
2
132
Amir Syarifudin, 2005, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, Cetakan II, hlm.
3
Status hilangnya seseorang, tidak serta merta dapat menjadikan seseorang mengalami kehilangan atas hak untuk mewaris dan menikah. Perlindungan hak dalam hal kewarisan dan perkawinan sangat penting untuk menghindari terjadinya masalah hukum dikemudian hari, jika orang yang dinyatakan hilang ternyata masih kembali. Untuk menghindari hal-hal seperti itu, maka perlindungan terhadap hak mewaris dan menikahnya seseorang harus tetap dijamin secara hukum demi mencapai status keadilan dan kepastian hukum. Dalam menetapkan status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau tidak), para fuqaha cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti - bukti bahwa yang bersangkutan telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain3. Akan tetapi, anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Oleh karena itu, harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud. Para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status bagi orang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang telah wafat atau belum yang didasarkan pada bukti-bukti otentik. Beberapa kasus mengenai orang hilang dapat dikarenakan adanya suatu keadaan seperti saat terjadinya peperangan pada suatu negara atau hanya sekadar
3
116
Muchlis Usman, 1997, Kaidah kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.
4
kerusuhan massal, dan berpotensi menimbulkan suatu keadaan orang-orang yang ada dalam kondisi tersebut memilih untuk pergi meninggalkan daerah asalnya demi menghindari peperangan atau kerusuhan tersebut. Selain itu hilangnya seseorang juga dapat terjadi dikarenakan kecelakaan atau peristiwa bencana alam, seperti gempa bumi dan banjir bandang. Ada beberapa konsekuensi yang harus diterima oleh semua pihak ketika seseroang hilang dan belum memperoleh kepastian hukumn, diantaranya adalah: istrinya tidak boleh dinikahi atau dinikahkan, hartanya tidak boleh diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui keadaannya dan jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu selama waktu tertentu dan diperkirakan secara umum telah mati, dan hakim pun telah memvonisnya sebagai orang yang dianggap telah mati. Salah satu contoh yang bisa diambil adalah pengaturan mengenai perkawinan bagi suami istri yang salah satunya mafqud. Undang-undang perkawinan merupakan suatu keniscayaan bagi sebuah negara, tidak terkecuali Indonesia, yang berfungsi untuk mengatur tata cara dan status perkawinan seseorang. Hukum Perkawinan selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat, termasuk bagi orang-orang yang beragama Islam. Dalam suatu perkara mafqud, pihak yang ingin mengajukan permohonan penetapan mafqud, dapat mengajukan permohonannya kepada Pengadilan Agama. Perkara mafqud merupakan salah satu wewenang atau kompetensi dari Pengadilan Agama. Wewenang ini sebagaimana diatur dan dijelaskan dalam Pasal 49 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yaitu “Pengadilan Agama
5
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, kewarisan, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Sadaqah dan Ekonomi Syariah”. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa status mafqud dan tidaknya seseorang terkait erat dengan masalah perkawinan dan kewarisan, maka Pengadilan Agama harus memutus semua permohonan yang terkait dengan mafqud dan tidaknya seseorang. Berdasarkan uraian di atas maka, penting untuk diteliti tentang pengaturan mafqud dan pengaturanya, dengan judul “PENETAPAN KEMATIAN SECARA HUKUM TERHADAP ORANG YANG TELAH MAFQUD”.
B.
Rumusan Masalah Untuk memberikan gambaran yang jelas dan mudah dalam memahami
penulisan ini, maka penulis memberikan batasan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan hukum terkait dengan mafqud-nya seseorang? 2. Bagaimana pertimbangan hakim untuk menetapkan seseorang dalam keadaan mati secara hukum atau secara hukmi? C.
Keaslian Penelitian Berdasarkan pengetahuan penulis, penelitian tentang pengaturan hukum
tentang penetapan mafqud-nya seseorang secara hukum, khususnya mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, belum diulas. Walaupun demikian ada beberapa penulisan tesis yang sejenis, antara lain :
6
1.
Penerapan Asas Ijbari Terhadap Ahli Waris Yang Mafud Dalam Hukum Kewarisan Islam4 yang memiliki rumusan Rumusan Masalah sebagai berikut: a) Bagaimana penerapan asas ijbari terhadap ahli waris yang mafqud dalam hukum kewarisan islam? b) Bagaimana peluang penerapan asas ijbari terhadap ahli waris yang mafqud dalam hukum kewarisan islam? Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut adalah (1) Dalam pelaksanaan hukum kewarisan islam asas ijbari memiliki peranan yang sangat panting karena asas ini memiliki kemampuan untuk memaksa agar harta warisan yang telah terbuka dapat segera dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Ahli waris meskipun tidak diketahui keberadaannya (mafqud) tetap mempunyai hak atas harta warisan dari pewaris, tetapi besar bagian ahli waris mafqud tersebut dapat berubah dikarenakan posisinya yang belum jelas hidup atau matinya. (2) Ahli waris yang mafqud dapat memberikan pengaruh terhadap bagian ahli waris lain yang ada bersamanya, misalnya mafqud tersebut adalah sebagai satu-satunya „ashobah yang menghijab ahli waris lainnya atau ahli waris mafqud tersebut dapat menyebabkan bagian ahli waris lain diterima lebih sedikit dikarenakan ada ahli waris yang mafqud. Apabila merujuk pada hasil penelitian di atas, maka ada pembedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya karena penelitian ini ini membahas tentang
4
Riko Adriansyah, 2013, “Penetapan Asas Ijbari Terhadap Ahli Waris Yang Mafqud Dalam Hukum Kewarisan Islam”, Tesis, Universitas Gadjahmada, Yogyakarta
7
pengaturan
mafqud-nya
seseorang
dan
pertimbangan
hakim
untuk
memutuskan bahwa seseorang itu mafqud atau tidak. 2.
Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Karena Istri Mafqud (Analisa Yurisprudensi No.881/Pdt.G/2008/PA.JB)5 yang memiliki rumusan masalah sebagai berikut: a) Bagaimanakah metode Ijtihad Majelis Hakim dalam menetapkan suatu keputusan untuk menentukan hak hadlanah akibat perceraian dalam putusan No. 881/Pdt.G/2008/PA.JB? b) Apa dasar hukum yang digunakan Majelis Hakim dalam menetapkan pelimpahan
hak
hadlanah
kepada
Bapak
dalam
putusan
No.881/Pdt.G/2008/PA.JB? Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa (1) hakim hanya menggunakan metode ijtihad dengan menggunakan dasar hukum Pasal 19 huruf F PP No. 8 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf F Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 41 huruf a UU No. 1 Tahun 1974. (2) Metode Ijtihad yang dilakukan oleh hakim merujuk pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 yang menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang berada di bawah 12 (dua belas) tahun berada di tangan ibunya serta ketentuan yang diatur dalam Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974. Di samping itu, pertimbangan psikologis dan kemaslahatan anak menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan hak hadlanah. Dalam penelitian ini, penulis membahas tentang pengaturan 5
Siti Munawaroh, 2011, “Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Karena Istri Mafqud (Analisa Yurisprudensi No.881/Pdt.G/2008/PA.JB),” Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
8
mafqud-nya seseorang yang dapat dijadikan dasar hukum oleh hakim serta pertimbangan apa yang digunakan oleh hakim untuk menentukan seseorang mafqud atau tidak. Dengan demikian penelitian yang dilakukan penulis asli. D.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis yaitu hasil penelitian ini dapat digunakan oleh para akademisi untuk dijadikan acuan pembelajaran. 2. Manfaat praktis yaitu untuk dapat digunakan para praktisi hukum dalam menangani perkara yang terkait dengan suami mafqud (hilang). E.
Tujuan Penelitian Dengan berpedoman kepada perumusan masalah di atas, maka yang menjadi
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terkait dengan mafqud-nya seseorang. 2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim untuk menentukan atau memutuskan seseorang dalam keadaan mati secara hukum atau secara hukmi.