BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang “ALAM SAKTI KERINCI” menjadi jargon utama dataran tinggi Kabupaten Kerinci Jambi. Di mana-mana kita akan melihat jargon tersebut sebagai identitas pengenal sebuah kabupaten yang memang dikenal akan kesaktian alamnya. Desa Lempur yang menjadi lokasi penelitian saya dianggap sebagai desa tertua di Kerinci, kesaktian alam ini sangat dipercaya oleh seluruh masyarakat di Desa Lempur, karenanya mereka adalah masyarakat animisme yang mempercayai Dewi hutan bernama Mandari Kuning. Dewi tersebut sebagai tokoh mitologi masyarakat Desa Lempur yang menjaga hutan dari kerusakan akibat tangan-tangan manusia. Ia merupakan tokoh perempuan yang memberikan kehidupan kepada masyarakat desa dari hasil hutan, dan sangat disegani oleh masyarakat sekitar. Mata pencaharian masyarakat desa bergantung dari hasil hutan, mayoritas mereka bermata pencaharian sebagai petani dan penghasil kayu manis. Karena desa ini dikelilingi oleh hutan TNKS, maka tidak heran jika kehidupan mereka sangat dekat dengan alam. Karena alasan tersebut, Desa Lempur menjadi salah satu desa yang sedang dalam proses disiapkan untuk menghadapi program REDD+ di Jambi, oleh LSM Warsi.
Program REDD+ 1 yang merupakan program konservasi hutan ini melibatkan masyarakat adat untuk mengurangi degradasi dan emisi karbon dengan membentuk Hutan Tanaman Rakyat. HTR merupakan Salah satu skema/model dari PHBM (Pengelolaan Hutan berbasis Masyarakat). Skema PHBM sendiri meliputi Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Adat 2. Hal ini selain untuk meningkatkan hak-hak pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat setempat, juga memberikan kontribusi pada program REDD+ yang mengedepankan konservasi, yaitu memproteksi hutan dari kerusakan. Sayangnya, ketika LSM Warsi datang bersama perwakilan dari Dinas Kehutanan melakukan sosialisasi REDD+ dengan tema Program Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), masyarakat Desa Lempur Tengah tidak menanggapi dengan antusias. Hanya beberapa tokoh adat yang datang, sedangkan tidak satupun perempuan menghadiri acara tersebut, karena merasa urusan sawah dan ladang lebih penting. Di dalam skema REDD+, keikutsertaan perempuan dalam pengelolaan hutan sangat dibutuhkan, karena perempuan lebih bergantung pada sumber daya hutan untuk pemenuhan sebagian besar kebutuhan pangan, bahan bakar dan penghidupan, dan karenanya cenderung mengambil peran
aktif dalam
perlindungan hutan. Ketika perempuan diikutsertakan dalam pengelolaan hutan, mereka akan memberikan dampak positif bagi pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Pernyataan bahwa perempuan lebih peduli terhadap lingkungan
1
REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan” 2 Rahmani, dkk. Tata Cara dan Prosedur Pengembangan Program Hutan Berbasis Masyarakat (CIFOR, 2011)
dibandingkan dengan laki-laki, diasumsikan karena perempuan terbiasa peduli memelihara keluarga dan peduli dengan kehidupan 3. Adapun kerugian yang akan terjadi pada masyarakat miskin pedesaan terutama
perempuan
akibat
perubahan
iklim,
sehingga
partisipasi
dan
pemberdayaan perempuan harus dilakukan oleh para LSM yang bergerak dalam pemasalahan Climate Change dan Konservasi. Menurut kontribusi Kelompok Kerja II (Working Group II) pada laporan IPCC tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change) menunjukkan bahwa dampak terbesar perubahan iklim dalam jangka dekat akan diderita oleh masyarakat miskin pedesaan, termasuk keluarga yang dikepalai perempuan, yang hampir tidak memiliki akses kepada tanah, kepada sarana pertanian, infrastruktur dan pendidikan. (Tiwon dalam Candraningrum, 2014: 57) Perempuan di Desa Lempur Tengah, selain bekerja di sawah dan ladang, mereka juga bekerja di area domestik. Seluruh kebutuhan keluarga telah menjadi tanggung jawab perempuan, karena itu mereka tidak banyak waktu luang seperti laki-laki yang setelah pulang berkebun masih dapat duduk-duduk di warung kopi. Setelah pulang dari ladang, perempuan akan segera berbenah, mengambil kayu bakar dan memasak untuk makan malam. Karena alasan kedekatan perempuan terhadap lingkungan tersebut, maka pemberdayaan perempuan terus di sosialisasikan oleh hampir seluruh LSM di Jambi, yang turut andil dalam program REDD+. LSM Warsi, Gita Buana, AMAN, dan ZSL merupakan LSM yang sudah cukup lama berkecimpung mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi REDD+. Seperti sosialisasi REDD+ yang dilakukan di DA (Area Demonstrasi) 3
http://blog.cifor.org/6204/donor-dapat-berupaya-lebih-keras-untuk-pelopori-masuknya-gender-dalamprogram-mitigasi-iklim-dan-kehutanan-menurut-ahli#.U8Vu-EDztPw
Berbak Jambi oleh Warsi, Gita Buana dan ZSL yang salah satu programnya ialah dengan memberdayakan perempuan, melibatkan mereka dalam mengelola sumber daya hutan non-kayu, seperti memanfaatkan rotan dan madu. Selain itu juga mereka mengikutsertakan perempuan dalam rapat desa, dengan tujuan untuk dapat menyumbangkan aspirasinya. Namun hal tersebut bukan perkara mudah, karena perempuan lebih banyak bertindak pasif dan hanya menurut saja. Lain halnya dengan masyarakat Kerinci, Kerinci dikenal sebagai masyarakat yang mengadopsi sistem Matrilineal dari Minangkabau jika dilihat berdasarkan sistem pembagian warisnya, begitu pula Desa Lempur. Jika dilihat dari lokasi geografisnya, Kerinci berada di sebelah Selatan Sumatera Barat, lebih dekat dengan Minangkabau dibandingkan dengan Jambi sebagai Provinsi. LSM Jambi seperti Warsi, AMAN, dan Gita Buana menyatakan bahwa di dataran tinggi Jambi - Kerinci, keadaan masyarakatnya memiliki hak yang setara antara laki-laki dan perempuan. Hal itu dikarenakan, perempuan mempunyai hak waris yang sama besar dengan laki-laki, mereka mempunyai tanah, sawah dan ladang yang sama besarnya. Perempuan Kerinci di Desa Lempur hanya terlibat dalam pengambilan keputusan rapat desa ketika acara adat saja. Di luar acara adat, mereka enggan untuk berpartisipasi karena lebih mementingkan urusan ladang dan sawah. Sehingga rapat desa pada umumnya hanya dihadiri oleh laki-laki. Selain itu, hanya perempuan yang dapat menentukan pemimpin dan anggota adat dalam pemerintahan desa, dan gelar yang digunakan oleh anggota adat adalah gelar dari garis keturunan perempuan.
Sistem kekerabatan Matrilineal tersebut, telah membawa pandangan mengenai “kesetaraan” menurut para LSM di Jambi. Seperti yang dikatakan Randle dalam Frank (1992), bahwa citra matrilineal dari keperempuanan menunjukkan kekuatan ketimbang kelemahan, dan posisi ekonomi perempuan biasanya kuat, memberikan otonomi bukan ketergantungan. Sehingga bagi para anggota LSM Jambi, bukanlah hal yang sulit untuk mensosialisasikan keterlibatan perempuan dalam kegiatan program REDD+ di Kerinci. Posisi kaum perempuan dalam masyarakat Minangkabau memiliki hubungan yang cukup sulit antara sistem kekerabatan matrilineal dengan karakter Islam yang patriarkat. Matrilineal berarti anak keturunan dan harta warisan diatur menurut garis ibu atau pihak perempuan dalam keluarga. Pada masa lampau, pola seperti ini sering secara keliru disebut dengan matriarkat, sebuah istilah yang hendak menunjukkan posisi dominan kaum perempuan. Fakta bahwa di sana ada sistem kekerabatan matrilineal dan bahwa mereka menduduki posisi dominan dalam semua bidang kehidupan sosial (Davidson, 2010: 226). Masyarakat matrilineal pada masyarakat Minangkabau, memiliki sistem keturunan menurut garis Ibu. Anak mengikuti marga dari ibunya. Begitu juga tentang harta pusaka menurut hukum kewarisan matrilineal itu bukan dari ayah ke anak, tetapi dari mamak ke kemanakan. Fungsi laki-laki lebih sebagai mamak dari pada sebagai ayah, karena menurut sistem Minangkabau, apabila terjadi perkawinan, maka pihak perempuanlah yang meminang, bukan laki-laki. Jika sudah menikah, laki-lakilah yang dibawa ke rumah pihak perempuan, bukan lakilaki yang membawa istrinya ke rumahnya. Zed, dkk (1992 : 95).
Sedangkan menurut penelitian Beckmann (2000),
Matrilineal
sangat
berkaitan erat dengan pola hak waris yang berada dalam garis keturunan Ibu, sehingga laki-laki bekerja dan tinggal di tanah dan properti milik perempuan (istrinya). Di dalam masyarakat Matrilineal Minangkabau, sekalipun perempuan mempunyai hak waris secara penuh, namun mereka tidak mempunyai porsi kedudukan dalam lembaga adat. Di dalam lingkungan keluarga, perempuan bekerja di sawah dan ladang yang dekat dengan rumah Ibunya, atau rumah keluarga kecilnya jika sudah memiliki tempat tinggal sendiri. Anak-anak mereka dididik dan dihidupi oleh mamak dari keluarga Ibu. Sedangkan Ayah tidak memiliki wewenang terhadap anaknya. Secara konseptual, perempuan mempunyai status yang baik di dalam Matrilineal, karena mereka memiliki hak waris lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Namun di dalam penelitian ini, saya tidak melihat bentuk kesetaraan seperti anggapan beberapa LSM Jambi yang telah dikemukakan sebelumnya. Sehingga saya sebagai peneliti merasa tertarik untuk melihat lebih jauh bagaimana hak waris dan bagaimana perempuan Kerinci di desa Lempur mempunyai kuasa atas hak warisnya tersebut.
B. Permasalahan Dalam pra-observasi ini, saya melihat bentuk “kesetaraan” atas kepemilikan hak waris tidak semulus seperti apa yang dikatakan LSM Warsi, AMAN, dan Gita Buana. Dalam konteks REDD+, pelibatan masyarakat adat dalam menjaga hutan seringkali melupakan berbagai bentuk ketidakadilan gender
dalam pengelolaan hutan 4, terutama siapa
yang memiliki kekuasaan dalam
mengakses dan mengontrol sumber daya hutan. Beberapa LSM di Jambi berada dalam perspektif Matrilineal dengan menganggap perempuan mempunyai otoritas yang kuat di dalam desa, dan karenanya menganggap tidak sulit untuk memberdayakan perempuan di Desa Lempur. Karena itu kita perlu melihat bagaimana sebenarnya gagasan matrilineal terhadap pewarisan pada anak perempuan itu diwujudkan dalam kehidupan sosial. Selain itu perlu dilihat bagaimana gagasan dan praktik pewarisan itu berubah dari waktu ke waktu. Maka pertanyaan besar dalam tesis ini untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem matrilineal dan prakteknya. 1. Bagaimana Sistem pewarisan menurut garis keturunan masyarakat matrilineal Desa Lempur ? 2. Bagaimana akses dan kontrol atas properti waris bagi perempuan dan lakilaki di Desa Lempur?
C. Tinjauan Pustaka Studi ini membahas mengenai bagaimana sistem kekerabatan matrilineal di Desa Lempur Tengah telah membawa isu ‘kesetaraan’ di tingkat LSM Jambi dan masyarakat desa yang bersangkutan. Juga bagaimana bentuk adaptasi masyarakat matrilineal dalam menghadapi perubahan dan pengaruh dari luar, yang justru membawa pada ketimpangan dan bukan kesetaraan dalam mengakses 4
Komentar Solidaritas Perempuan- AKSI-Ulu Foundation, yang disampaikan pada tanggal 10 Oktober 2012 (versi 26 September 2012)
sumber daya alam yang berupa ladang, sawah, dan tanah. Terkait dengan studi tersebut, ada beberapa tulisan yang menurut saya dapat menjadi titik tolak dalam penulisan tesis ini. Di bawah ini Franke (1992), menyajikan penelitian pada masyarakat Hopi yang mengadopsi sistem kekerabatan Matrilineal. ia menekankan bahwa tidak semua masyarakat yang mengadopsi sistem Matrilineal dalam kekerabatannya, mempunyai pola sikap dan perilaku yang sama. Penelitiannya tidak hanya melihat perempuan dalam matrilineal, tetapi juga melihat maskulinitas dalam sistem matrilineal tersebut. Pria matrilineal dalam masyarakat Hopi adalah pria yang didefinisikan oleh perempuan. Sebagai contoh, menjadi seorang ayah dalam komunitas Hopi sangat dihargai, dan salah satu cara di mana seorang pria Hopi memenuhi kewajibannya dalam lingkungan desa ialah dengan menjadi ayah yang baik. Seorang ayah pada masyarakat Hopi harus melindungi dan menafkahi anak-anak mereka. Pria yang dipanggil ayah, adalah suatu "Peran dan tugasnya adalah untuk menggendong anak dalam pelukannya dan membantu (Ibu) dalam merawat dan menggendongnya. (Franke, 1992: 479-480). Penelitian di atas memperlihatkan bahwa konsep matrilineal tidak disikapi sama oleh seluruh kehidupan masyarakat yang mengadopsi sistem matrilineal. Seperti masyarakat Hopi, bahwa perempuan yang mendefinisikan bagaimana bentuk
idealnya
seorang
laki-laki.
Karena
itu,
penelitian
saya
akan
mendeskripsikan Matrilineal dari sisi lain, di mana masyarakat Kerinci Desa
Lempur yang telah membentuk kebudayaannya sendiri, telah mengadopsi sistem matrilineal dari daerah Minangkabau Sumatra Barat. Ada pun penelitian yang dilakukan oleh Beckmann (2000), yang telah dilakukan di Minangkabau, bahwa sistem matrilineal telah membawa perempuan terlibat dalam organisasi sosial masyarakat, bukan hanya pelibatan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga saja. Selain itu Matrilineal dalam Minangkabau sangat berkaitan erat dengan pola hak waris yang berada dalam garis keturunan Ibu, dan peran ayah tidak terlalu sentral seperti peran mamak (paman) atau saudara laki-laki dari pihak Ibu. Adapun kekuasaan dalam sistem matrilineal tidak hanya pada perempuan, tetapi juga laki-laki memiliki kekuasaan, namun kekuasaan itu lebih ditekankan pada peran mamak, dan bukan ayah. Kondisi masyarakat Minangkabau saat ini telah mengalami perubahan, seperti merubah pola warisan dari ayah kepada anaknya, yang sebelumnya tidak boleh dilakukan. Hal ini merupakan salah satu pola adaptasi masyarakat Minangkabau dalam menerima perubahan, terutama masalah perekonomian, dan berpindahnya tempat tinggal perempuan dari rumah gadang, ke rumah yang hanya dapat ditinggali oleh keluarga kecilnya saja. Masih penelitian pada masyarakat Minangkabau, Blackwood (2001) menganalisis kebudayaan masyarakat Minangkabau yang salah satunya dari tokoh Mitologi Bundo Kanduang. Di dalam penelitiannya, perempuan muncul sebagai orang-orang yang menghasilkan ahli waris untuk mengabadikan garis keturunan, sementara paman dari pihak Ibu mengelola garis keturunan dan anggotanya. Perempuan mempunyai banyak hak dan kewajiban di dalam sistem matrilineal.
Secara struktural laki-laki berada dalam posisi marginal di dalam rumah adat yang di kontrol oleh perempuan. Laki-laki Minangkabau tidak ada yang memiliki rumah atau tempat tinggal yang bisa dikatakan milik mereka. Rumah adalah milik ibu dan saudara perempuan. Perempuan yang dituakan memiliki suara paling didengar dalam diskusi keluarga ketika kaum (kelompok keluarga matrilokal) memutuskan tindakan apapun yang akan menjadi kepentingan keluarganya. Pada masyarakat Minangkabau, Bundo Kanduang merupakan tokoh mitologi masyarakat. Bundo Kanduang digambarkan sebagai Ibu sejati yang memiliki sikap keibuan dan kualitas kepemimpinan. Negara melihat Bundo Kanduang sebagai ibu dari anak-anaknya, sedangkan pehamaman lokal, Bundo Kanduang mempunyai arti yang lebih luas, perempuan sebagai pemimpin di kelompok kekerabatannya. Beberapa hal prinsipil yang berkaitan dengan Bundo Kanduang ialah warisan mengikuti garis keturunan Ibu, yang kedua bahwa perempuan penerima utama dari warisan, juga pemilik rumah dan tanah. Seorang ayah wajib membangun rumah untuk anak perempuannya, bukan anak lelakinya. Namun hal ini bukan berarti laki-laki tidak mendapatkan perhatian dalam hukum adat, melainkan karena alam telah memberikan kekuatan lebih besar daripada perempuan. Perempuan menurut Islam dan adat, tidak boleh tinggal di mana saja seperti laki-laki, mereka harus memiliki tempat tinggal yang jelas. Jika tidak seperti itu, sesuatu mungkin akan terjadi yang akan mencoreng nama baik
perempuan. Sesuai dengan sifat perempuan yang dianggap lemah, sehingga adat Minang memberikan kelebihan dalam memproteksi perempuan. Hal tersebut jika dilihat dalam studi ecofeminism menurut Vandana Shiva (2005), menjadi sangat berkaitan. Terutama karena melihat perempuan secara alamiah lemah, erat kaitannya dengan kehidupan dan penghidupan, karena itu perempuan cenderung lebih dekat dengan alam. Alam telah membentuk perempuan mempunyai potensi besar dalam kepeduliannya kepada lingkungan, dibandingkan dengan laki-laki yang mempunyai kecenderungan merusak lingkungan. Perempuan juga secara naluriah mempunyai kemampuan dalam mempertahankan kehidupan, sedangkan laki-laki tidak. Praktik-praktik lokal dalam kehidupannya berinteraksi dengan hutan dapat menjadi faktor yang sangat mendukung untuk memperlihatkan bagaimana mereka melihat masa depan, dan mempersiapkan generasi berikutnya. Masa depan hutan tidak akan luput dari pembangunan dan kerusakan jika teknologi terus masuk dan mempengaruhi cara fikir masyarakat untuk kehidupan yang lebih moderen. Karena itu peran perempuan sangat penting dalam menentukan keberlangsungan hidupnya dan generasi penerusnya ketika menghadapi sebuah pembangunan yang masuk dari luar desanya. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, dimana perempuan matrilineal yang secara alamiah dianggap lemah, sehinnga butuh perlakuan khusus dan perhatian lebih. Penelitian oleh Lewellen (2003), pada masyarakat Indian Iroquois lebih menekankan kekuasaan ekonomi berada di tangan perempuan. Tidak semua
masyarakat yang mengadopsi sistem matrilineal dalam sistem kekerabatannya mempunyai relasi kuasa yang sama antara laki-laki dan perempuan. Penelitian ini menjadi fondasi penelitian saya melihat peran gender yang tidak lepas dari konstruksi lingkungan atas peran perempuan dan laki-laki, bahwa Ibu matrilineal diposisikan sebagai kekuatan ekonomi. Laki-laki Matrilineal berinteraksi dengan ibu yang memiliki otonomi dan kekuasaan pengambilan keputusan. Perempuan Iroquois, menghasilkan sumber daya utama pangan dan mengendalikan semua makanan, termasuk hewan buruan yang dibawa oleh pemburu laki-laki, serta makanan untuk acara seremonial. Mereka juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi aksi militer dengan menahan persediaan makanan bagi para prajurit. Ibu sebagai satu-satunya pusat dan kekuatan dalam kehidupan. Perempuan meskipun kurang berperan dalam jabatan formal, namun mereka memiliki kekuatan politik informal yang besar. Kelayakan turun-temurun dalam sebuah jabatan, harus dengan persetujuan perempuan. Perempuan Iroquois bisa meningkatkan atau melengserkan para tetua penguasa, bisa menghadiri Dewan Tinggi, dan bisa mempengaruhi keputusan dewan. Mereka memiliki kekuatan sesekali atas perilaku perang dan negosiasi perjanjian. Ketika kepala suku meninggal, perempuan mengadakan pertemuan untuk memilih calon baru. Meskipun dalam masyarakat Iroquois, laki-laki memegang semua urusan formal, namun kekuatan perempuan secara tegas dilembagakan. (Lawellen, 2003: 138140). Citra matrilineal dari keperempuanan menunjukkan kekuatan ketimbang kelemahan, dan posisi ekonomi perempuan biasanya kuat, memberikan otonomi
bukan ketergantungan. Dari penelitian ini, ide mengenai matrilineal yang identik dengan kekuasaan di tangan perempuan, mempengaruhi konsep “kesetaraan” pada masyarakat matrilineal Kerinci yang diakui oleh NGO. Sedangkan matrilineal tidak dapat disama ratakan disetiap daerah, dan tergantung dengan kultur yang berlaku di daerah tersebut. Menurut penelitian Ward (2009), suku Minangkabau di Sumatera Barat ketika dalam pengaruh pemerintah kolonial Belanda, hanya laki-laki saja yang dapat berpartisipasi dalam politik formal dan nasional. Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan pengaturan ini dimulai pada abad kedelapan belas. Sistem pendidikan Indonesia, agama, dan media mempromosikan ideologi gender perempuan sebagai ibu rumah tangga, mengandalkan suami mereka untuk memberikan pendapatan yang berkelanjutan bagi keluarga. Paparan pengaruh ini tercermin dalam cara wanita muda sudah mulai menekankan pentingnya tinggal di rumah dan menjadi ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga yang ideal, sebagian besar termasuk bekerja keluar rumah, di sawah, sebagai bagian dari menjadi seorang ibu rumah tangga. Dengan demikian, mereka mendamaikan wacana negara dan Islam dengan realitas lokal dan nilai-nilai. Bahkan, mereka mendefinisikan kembali istilah "ibu rumah tangga". Demikian pula, dengan meningkatnya peluang upah buruh, perempuan memiliki sumber pendapatan lain selain dari suami mereka. Hal ini membuat anak-anak perempuan kurang bergantung pada ibu mereka untuk sumber daya lahan. Meskipun demikian, praktik matrilineal masih tetap berlangsung. Mereka masih mengandalkan warisan mereka dari tanah leluhur dan mempertahankan
kepemilikan tanah dan rumah mereka sendiri. Suami tetap tokoh bawahan di bidang ekonomi rumah tangga dan pengambilan keputusan keturunan. Rata-rata, wanita mengontrol lima kali lebih banyak tanah dari suaminya. Pria tidak dapat meng-klaim wilayah lahan matrilineal istri mereka atau bahkan untuk tanah dan rumah yang diperoleh bersama-sama. Tanah dan kepemilikan rumah bersama, dibarengi dengan kepatuhan terhadap adat lokal, tetap memberikan dasar untuk kekuatan perempuan, meskipun sudah banyak pengaruh kolonial, nasional dan Islam. Prinsip matrilineal belum hancur. Dalam Agarwal (2003), terdapat kasus yang kurang lebih menyerupai tesis dalam penelitian saya, yaitu akses dan kontrol atas warisan tanah. Di mana perempuan India harus diperjuangkan hak atas tanahnya karena kepemilikan tanah akan mengurangi kebergantungan mereka kepada suami dan anak laki-laki mereka. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa perempuan harus diperjuangkan atas kepemilikan tanah atas mereka. Beberapa diantaranya mengurangi risiko mereka diusir oleh anak-anaknya, meningkatkan kebebasan mereka untuk mengambil keputusan independen atas penggunaan lahan tanpa menunggu keputusan suami, memungkinkan mereka untuk memperoleh kredit produksi, memberikan mereka kontrol yang lebih besar atas pendapatan pertanian untuk digunakan di rumah, memungkinkan mereka untuk menawarkan keamanan bagi anak perempuan, dan juga anak-anak perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya. Hak atas tanah dapat membuat perbedaan penting untuk daya tawar perempuan dalam rumah dan masyarakat, meningkatkan kepercayaan diri mereka
dan rasa harga diri, memungkinkan mereka untuk bernegosiasi melakukan penawaran yang lebih baik di pasar upah tenaga kerja, memfasilitasi partisipasi mereka di desa badan pengambil keputusan, dan sebagainya. Tanah juga dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi perempuan India. Keuntungan langsung dapat berasal dari tanaman yang tumbuh atau pakan ternak atau pohon. Keuntungan tidak langsung dapat mengambil berbagai bentuk, seperti tanah milik dapat berfungsi sebagai jaminan kredit atau sebagai aset untuk dijual selama krisis. Tanah (baik yang dimiliki atau dikendalikan) dapat meningkatkan pekerjaan upah tambahan. Dengan kata lain, hak atas tanah yang aman untuk perempuan pedesaan saat ini bisa meningkatkan kesejahteraan anak-anak mereka, terutama anak perempuan. Hal ini dikarenakan masyarakat India lebih mengutamakan warisan kepada anak laki-laki mereka, sedangkan perempuan dibiarkan bergantung kepada suami dan ayahnya ketika belum menikah. Setelah menikah mereka akan bergantung kepada suaminya. Perempuan tidak mempunyai hak atas tanah karena laki-laki dianggap sebagai tulang punggung keluarga, dan yang bertugas menafkahi mereka. kepemilikan perempuan atas tanah dianggap dapat mengancam keutuhan rumah tangga.
D. Kerangka Konseptual/Teori Adakalanya hukum adat lebih berlaku dalam penggunaannya sebagai aturan dalam suatu masyarakat dibandingkan dengan hukum negara. Hukum adat juga memiliki cakupan yang lebih banyak dan terperinci karena memahami
kebutuhan hidup suatu masyarakat. Di Kerinci misalnya, hukum adat dan adat istiadat mengatur masyarakat desa dalam pembagian hak waris. Selain itu, kedua aturan tersebut juga mengatur bagaimana perempuan dan laki-laki mengakses tanah sawah dan ladang yang sebagian besar merupakan harta yang akan diwariskan, termasuk dalam tata cara memperlakukan tanah waris. Berangkat dari kondisi itulah selanjutnya penelitian ini akan melihat dinamika yang terjadi dalam masyarakat Kerinci. Penelitian ini akan melihat berbagai bentuk ketimpangan yang terjadi pada masyarakat Kerinci mengenai akses properti hak waris yang dimiliki oleh perempuan. Kondisi yang terjadi dalam masyarakat Kerinci mengingatkan saya akan konsep kesetaraan perempuan dan hak perempuan sebagaimana terdapat dalam teori ekofeminisme.
Saya menggunakan pendekatan Ekofeminisme Spiritual
dalam tesis ini untuk melihat bagaimana kedekatan hubungan antara masyarakat desa dengan alam sekitarnya. Kepercayaan masyarakat terhadap roh leluhur “Dewi” yang disinyalir adalah roh perempuan yang menguasai hutan menyiratkan adanya hubungan yang dekat antara perempuan dan alam. Alam di sini adalah area hutan yang mengalami pergeseran hak ulayat 5 semenjak masuknya Taman Nasional ke dalam kawasan tersebut. Seiring dengan terus bergulirnya penerbitan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan Taman Nasioanal, selanjutnya masyarakat desa yang pada awalnya sangat bergantung pada hasil sawah dan 5
Hak berarti hak, kekuasaan, wewenang. Ulayat berarti penjagaan, perwalian (Westenenk 1918a: 15). Dalam pemakaian masa kini di Minangkabau dan di Indonesia pada umumnya kosakata ulayat atau wilayat mengandung makna ruang: “area, daerah, distrik”. Sejak penjajahan Belanda, kontrol sosio-politik atas properti komunal dinyatakan sebagai ulayat atau hak ulayat. Beberapa orang berpendapat bahwa hak ulayat berlaku meliputi seluruh wilayah nagari (Van Vollenhoven 1918: 263; Westenenk 1918a: 16), dalam laporanlaporan lain dikatakan ia hanya meliputi tanah-tanah yang tidak ditanami dan hutan yang berada di dalam wilayah nagari (Risumi 1872: 15; Kroesen 1874: 7, 9; AB 11: 77; AB 11: 115 ff, 122, 124).
kebun, dipaksa untuk meninggalkan aktifitasnya yang berkaitan dengan hutan tersebut. Bagi sebagian orang, spiritualitas adalah sejenis agama namun tidak didasarkan pada kontinuitas dari agama patriarkal yang monoteistik sebagaimana Kekristenan, Yudaisme atau Islam, semua agama dianggap bermusuhan terhadap perempuan dan terhadap alam. Oleh karena itulah kemudian sebagian orang berusaha menghidupkan kembali atau menciptakan suatu agama berbasiskan dewi. Kendati spirit adalah perempuan, ia tidaklah terpisah dari dunia materiil. Spiritualitas dalam artian yang lebih material ini lebih dekat dengan magis, bukan dengan keagamaan seperti yang lazim dihayati. Spiritualis sebagian besar diidentikan dengan sensualitas perempuan, energi seksual mereka, daya hidup mereka yang paling berharga, yang menghubungkan mereka pada bentuk kehidupan dan unsur-unsur yang lain. (Shiva, 1993: 18-19). Masyarakat Desa Lempur baik laki-laki maupun perempuan sangat dekat dengan alam, lewat aturan adatnya mereka mengatur pola perilaku dalam mengeksploitasi hutan, seperti membuka lahan hutan menjadi ladang dan sawah yang diatur dalam aturan adat. Dari sikap ini terlihat bahwa mereka mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap lingkungan. Meskipun mereka berada dalam tekanan ekonomi dan memiliki keinginan untuk memanfaatkan hutan yang ada, mereka yakin akan ke-sakti-an 6 alam di sekitarnya. Dalam pemahaman mereka, roh leluhur dan dewi hutan akan murka kepada mereka dalam bentuk
6 Masyarakat Kerinci selalu menggunakan kata sakti untuk menggambarkan kemagisan alam disekitarnya jika ada orang yang berniat merusak alam tersebut.
bencana alam jika sebagai generasi penerus desa, mereka tidak menjaga wilayahnya dengan baik. Kepercayaan masyarakat setempat dengan sosok Dewi ini juga berpengaruh pada perilaku mereka kepada perempuan. Para lelaki di desa tersebut pernah bercerita kepada saya bahwa mereka tidak berani menduakan istri mereka karena yakin hukum alam itu ada, dan mereka memberikan contoh kasus salah satu penduduk yang ibarat pepatah hidup segan, mati tak mau (mati takut, hidup juga tidak berguna), dan ternyata hal tersebut ditujukan kepada lelaki yang terkena penyakit strooke, sehingga tidak bisa beraktifitas seperti sedia kala. Penduduk sangat yakin bahwa hal tersebut dikarenakan ia menduakan istrinya. Ekofeminis spiritual cenderung untuk memfokuskan pada penyembahan terhadap dewi-dewi kuno dan ritual penduduk asli Amerika yang berorientasi pada bumi. Mereka seringkali menarik analogi antara peran perempuan dalam produksi biologis dan peran tipikal “Ibu Pertiwi” atau “Ibu Kelahiran” sebagai pemberi kehidupan dan pencipta segala sesuatu yang ada (Tong, 1998: 381). Begitu juga dengan masyarakat Desa Lempur yang dengan upacara adatnya ‘Kenduri Seko’, mereka mengundang dewi-dewi dan roh leluhur ketika masa panen untuk berpesta adat, dalam rangka bersyukur dan berterima kasih atas sumber daya alam berlimpah yang telah mereka berikan kepada mayarakat di Desa Lempur. Seperti cerita yang sangat dikenal oleh masyarakat desa, mengenai leluhur mereka yang bernama Dewi Mandari Kuning yang melarang suaminya untuk membuka tutup panci nasi ketika ia pergi ke sawah dan ladang, jika sampai
membuka tutup panci tersebut, maka sang dewi akan meminta cerai dan kembali ke Gunung Kunyit. Mitos dewi ini menjadi simbol dari kedekatan perempuan dengan alam, bahwa perempuan bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya dengan bekerja di sawah dan ladang, juga memasak makanan untuk keluarganya. Selain itu, cerita ini juga tampak turut membentuk peran perempuan yang terdomestifikasi dengan pekerjaan rumahnya sehingga pekerjaan-pekerjaan rumah menjadi tabu untuk dilakukan oleh laki-laki. Mitos ini membentuk perilaku masyarakat agar menjaga hutan dari kerusakan yang datang dari luar juga dari dalam. Praktek penjagaan ini diwujudkan lewat bentuk sanksi adatnya. Penghormatan terhadap roh leluhur ini lantas juga membentuk penghormatan terhadap perempuan seperti diberikan hak yang sama untuk pendidikan dan wewenang atas pengambilan keputusan dalam memilih anggota lembaga adat desa. Seperti pada saat pemilihan Depati 7 sebagai pemimpin adat desa, hak memilih hanya diputuskan oleh perempuan, laki-laki tidak diperkenankan untuk memilih para calon Depati. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa sebagaimana dikatakan Tiwon bahwa mitos dapat berubah ke arah yang transformatif, seringkali dimobilisasi untuk berbagai keperluan politik dan ideologis yang bersifat regresif. Mitos tidak hidup dalam ruang hampa, kedap terhadap dinamika wacana dan politik kekuasaan. (Tiwon dalam Candraningrum, 2014: 60). Dalam
pendekatan
Environment
Feminism,
meskipun
hubungan
perempuan dan motivasi mereka untuk melindungi lingkungan memang bisa 7
Depati adalah para pemimpin-pemimpin adat yang menentukan aturan-aturan adat, serta yang memiliki wewenang dalam mengatur dan memberikan hukuman ketika masyarakat melanggar hukum adat.
diidentifikasi seperti yang dipahami oleh ekofeminisme, namun hubungan ini lebih didasarkan pada realitas material. Terdapat perbedaan pengalaman dan pengetahuan antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan lingkungan mereka. Hubungan mereka dengan hutan di mana mereka bergantung ditandai oleh kepentingan yang kompleks dan bervariasi terutama berdasarkan jenis kelamin dan kelas (Agarwal, 2009). Banyak perempuan India yang menjadi penanggung-jawab atas kebutuhan pangan dan bahan bakar dari keluarga mereka, yang mengharuskan mereka memelihara tanah dan mengumpulkan produk dari hutan. Kegiatan ini memberikan pengetahuan yang mendalam tentang ekosistem dan kebutuhan yang kuat untuk memastikan bahwa sumber daya digunakan secara berkelanjutan. Kegagalan menghasilkan sumber daya berkelanjutan akan meningkatkan beban kerja bagi perempuan (Agarwal, 1994). Fokus ini memperlihatkan pentingnya praktek material, khususnya praktek kerja laki-laki dan praktek kerja perempuan. Peran budaya secara spesifik membentuk jenis kelamin dan hubungannya dengan lingkungan. Dengan mendasarkan klaim ini pada praktek-praktek material, Agarwal memberikan dasar empiris bagi gagasan bahwa perempuan memiliki pengetahuan lingkungan yang unik, dan secara signifikan membawa analisis ekonomi politik ke dalam perdebatan seputar gender dan lingkungan. Perempuan Desa Lempur memiliki hak waris tanah sawah dan ladang yang sama besar dengan saudara laki-lakinya. Namun kepemilikan tersebut tidak dapat di akses secara leluasa oleh perempuan dikarenakan adat dan agama
mengatur peran suami sebagai kepala keluarga, yang memberi nafkah dan istri harus mengikuti aturan yang dibuat oleh suaminya tersebut. Akses pada tanah milik pribadi seorang istri, ketika menikah tidak dapat secara bebas di akses oleh mereka karena suaminya telah menjadi bagian dari keluarga, sebagai kepala keluarga sehingga ikut mengatur penggunaan sawah dan ladang tersebut. Dalam hal ini, terdapat kepentingan material pada masing-masing jenis kelamin ketika dihadapkan dengan sumber mata pencaharian mereka. Perempuan lebih mengedepankan kebutuhan rumah tangga, seperti bahan bakar, dan makanan pokok mereka sehari-hari. Sedangkan laki-laki lebih mengedepankan sumber pemasukan yang dapat menguntungkan perekonomian mereka. Menurut Agarwal (1992), pengetahuan tentang alam dan pengalamannya, pembagian kerja, properti, kekuasaan,
dan
pengalaman
juga
membentuk
pengetahuan
berdasarkan
pengalaman itu. Sebagaimana diuraikan Agarwal (1994), pentingnya hak atas tanah dapat membuat perbedaan yang signifikan terhadap daya tawar perempuan dalam rumah dan masyarakat. hak atas tanah dapat meningkatkan kepercayaan diri perempuan dan harga diri, memungkinkan mereka untuk bernegosiasi melakukan penawaran yang lebih baik di pasar upah tenaga kerja, meningkatkan rasa hormat perintah terhadap mereka dalam masyarakat, memfasilitasi partisipasi mereka di desa dalam pengambil keputusan, dan sebagainya. Untuk melihat bagaimana perempuan Desa Lempur kehilangan akses pada tanah miliknya sendiri, saya akan menggunakan pendekatan akses dan kontrol milik Nancy Peluso. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya akses
perempuan pada tanahnya sendiri, dan hal tersebut tidak lepas dari harapan kebudayaan masyarakat setempat kepada perempuan di dalam desa. Peluso
(2003)
mendefinisikan
akses
sebagai
kemampuan
untuk
mendapatkan keuntungan dari sesuatu, termasuk objek material, individu, institusi dan simbol-simbol. Formulasi akses ini akan memberikan ruang yang lebih luas bagi hubungan sosial yang dapat membuat orang bisa mendapatkan keuntungan dari sumber daya tanpa memfokuskan pada properti. Seperti pada perempuan di Desa Lempur, sekalipun perempuan yang memiliki properti waris tanah sawah dan ladang, namun laki-laki di desa tetap mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan atas kepemilikannya. Dengan memfokuskan pada sumber daya alam, Ribot dan Peluso mengeksplorasi pembahasan mereka lebih luas tentang kekuasaan. Kekuasaan melekat pada upaya-upaya melalui mekanisme, proses dan relasi sosial. Kekuasaan dilandasi
oleh materi, budaya, dan politik ekonomi yang terjalin
dalam lingkaran dan jaringan kekuasaan yang membentuk sumber akses. Beberapa orang dan institusi bisa mengontrol sumber daya sementara yang lain mempertahankan akses mereka melalui siapa yang mengontrol sumber daya. Analisa akses juga akan membantu dalam memahami mengapa beberapa orang atau institusi mendapatkan keuntungan dari sumber daya, dengan ada atau tidak adanya kepemilikan barang pada mereka. Perempuan Desa Lempur memiliki sumber daya lewat kepemilikannya dari hak waris, sedangkan laki-laki mempertahankan akses mereka melalui istriistri mereka yang dimediasi oleh aturan adat dan agama untuk mendapatkan
keuntungan dari sumber daya.
Pada bagian lain Ribot dan Peluso juga
memperluas diskusi dengan tentang bagaimana teknologi, kapital, pasar, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial dan relasi sosial bisa membentuk atau mempengaruhi akses. Penguasaan teknologi dan pengetahuan yang dimiliki oleh laki-laki karena peluang mereka dalam menerima informasi, dan kewenangan yang didapat dari pengaruh islam dan adat, mempengaruhi atau membentuk akses yang dimiliki oleh laki-laki desa.
E. Metode Pengumpulan Data 1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian yang saya pilih adalah Desa Lempur Tengah, yang berada di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Indonesia. Kerapatan Adat Lekuk 50 Tumbi 8 terdiri dari 5 desa, yaitu Desa Lempur Mudik, Lempur Tengah, Lempur Hilir, Dusun Baru Lempur, dan Desa Manjuto. Saya telah melakukan pemetaan dan pengamatan di seluruh desa, namun hanya fokus pada satu desa yaitu Lempur Tengah. Hal ini karena posisi Lempur Tengah berada di tengahtengah Kerapatan adat Lekuk 50 Tumbi, dan menjadi lokasi hilir mudik penduduk. Terutama ketika diadakan pasar Rabu dan Jumat disetiap minggu yang berada di Lempur Tengah. Desa Lempur bukan sebagai daerah pilot project REDD+, namun ia menjadi salah satu desa yang sudah memiliki hutan adat sebelum REDD+ hadir dan membentuk PHBM sebagai program untuk menyiapkan masyarakat dalam
8
Nama Hutan Adat yang dimiliki oleh kelima desa di atas
menghadapi REDD+. Selama saya melakukan penelitian di desa Lempur, baru sekali saja LSM Warsi melakukan sosialisasi di Desa Lempur Tengah, itupun tidak ditanggapi dengan baik oleh masyarakat adat di desa ini. Sosialisasi tidak menjelaskan hutan adat lagi, melainkan hutan kemasyarakatan (HKM). Hal ini dikarenakan masyarakat desa Lempur sudah mempunyai hutan adat Lekuk 50 Tumbi dengan luas 580 Hektar. Sosialisasi HKM adalah program untuk masyarakat desa yang terlanjur memiliki kebun yang berada di wilayah Taman Nasional saja. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan. Sejak awal Februari hingga Juli 2013.
2. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini saya melakukan pengumpulan data kualitatif yang bersifat primer dan sekunder. Pengumpulan data primer saya lakukan dengan wawancara dan observasi partisipasi pada beberapa kegiatan perempuan dan lakilaki. Namun saya mendapatkan keterbatasan akses ketika mengikuti kegiatan lakilaki di desa karena aturan adat yang melarang perempuan untuk terlalu dekat dengan laki-laki, sehingga saya meminta pertolongan rekan peneliti dari WANADRI untuk membantu saya observasi partisipasi kegiatan laki-laki di dalam desa disertai dengan foto-foto kegiatannya. Sedangkan
pengumpulan
data
sekunder
saya
lakukan
dengan
mengumpulkan data dari perpustakan Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat, untuk melihat bagaimana proses terbentuknya hutan adat pertama kali di Kerinci sebelum masuknya REDD+. Dan dinamika hadirnya Taman Nasional Kerinci
Seblat pada masyarakat Desa Lempur. catatan-catatan itu dibuat oleh penduduk lokal yang ketika itu bekerja sebagai anggota WWF yang terlibat dalam pembentukan hutan adat tersebut. Informan yang saya pilih adalah anggota masyarakat desa, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah, maupun belum menikah. Juga orangorang adat yang mempunyai peran dominan di dalam desa. Penelitian dilakukan dengan terlibat langsung dengan kegiatan perempuan dalam kehidupan seharihari. Acara pernikahan, Upacara tegak tiang (membangun rumah), pengajian, arisan, dan berkebun. Mengikuti kegiatan pemudi yang belum menikah, operasi bersih masuk ke dalam hutan, berbincang-bincang di warung kopi bersama orangorang adat dan pemuda. Alat pengumpulan data yang saya gunakan adalah alat rekam, dan kamera. Kegiatan sehari-hari saya tulis ke dalam buku catatan untuk memastikan saya tidak kehilangan informasi apapun ketika akan melakukan penulisan tesis.
3. Analisis Data dan Metode Analisis Metode analisis yang saya gunakan ialah hasil pengumpulan data yang sedari awal sudah ditujukan ke dalam beberapa pendekatan teori, kemudian di analisis secara lebih tajam dengan menggunakan metode analisis Harvard untuk melihat ketimpangan akses dan kontrol dalam hubungan gender. Data yang disajikan dengan menggunakan metode penulisan etnografi, sehingga diharapkan data yang sudah didapat, dapat menghasilkan analisis dan tulisan yang matang dan fokus dengan menggunakan teori-teori tersebut.