BAB. I PENDAHULUAN 1.1
Latar belakang Alam merupakan unsur penting bagi keberlangsungan hidup manusia.
Alam merupakan ekosistem tempat bernaung, mencari nafkah, dan pemenuhan kebutuhan primer manusia. Oleh karena itu, perhatian terhadap kelestarian alam sangat perlu untuk dilakukan secara seksama. Perubahan terhadap ekosistem dapat menimbulkan kerusakan terhadap mekanisme kehidupan termasuk didalamnya manusia sebagai puncak rantai makanan mahluk hidup. Keberlangsungan pelestarian lingkungan dapat menjamin pemenuhan hak asasi yang dasar yaitu hak memperoleh kehidupan yang layak. Masa Revolusi Industri yang dilanjutkan dengan masa Perang Dunia I, dan Perang Dunia II telah menyebabkan rusaknya beberapa ekosistem lingkungan sehingga menyebabkan punahnya beberapa spesies mahluk hidup yang berakibat siklus kehidupan didunia ini menjadi tidak berimbang. Sejak Revolusi Industri, ekosistem bumi menderita pencemaran udara yang berdampak besar pada perubahan iklim global. Revolusi Industri menggunakan sumber energi yang berasal dari fosil mahluk hidup yang terpendam dalam perut bumi berupa batubara, minyak bumi, dan gas alam yang memproduksi emisi Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrousoksida (N2O).1 Global Warming (Pemanasan Global) terjadi dikarenakan sinar matahari yang menyinari bumi juga menghasilkan radiasi panas yang ditangkap oleh 1
Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. xi-xii.
1
atmosfir sehingga udara bumi bersuhu nyaman bagi kehidupan manusia, apabila kemudian atmosfir bumi dijejali gas rumahkaca, terjadilah “efek selimut”, yakni radiasi panas bumi yang lepas ke udara ditahan oleh “ selimut gas rumahkaca” sehingga suhu bumi naik menjadi panas. Semakin banyak konsentrasi gas rumahkaca dilepas ke udara, semakin tebal “selimut bumi”, semakin panas pula suhu bumi, menurut Emil Salim pada kata pengantar
dalam buku 10 tahun
perjalanan negosiasi konvensi Perubahan Iklim.2 Pada suhu bumi sepanas inilah kemudian timbul gejala pemekaran air laut serta mencairnya bongkahan es di kutub sehingga volume air laut pun bertambah membuat permukaan air laut naik dengan kemampuan menenggelamkan pulau, menghalangi mengalirnya air sungai ke laut yang menimbulkan banjir di dataran rendah seperti Pantai Utara Jawa, dataran rendah di Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan lain sebagainya.3 Penggundulan hutan yang mengurangi penyerapan karbon oleh pohon, menyebabkan emisi karbon bertambah sebesar 20%, dan mengubah iklim mikro lokal dan siklus hidrologis, sehingga mempengaruhi kesuburan tanah. Pencegahan perubahan iklim yang merusak membutuhkan tindakan nyata untuk menstabilkan tingkat
gas rumahkaca di udara sesegera mungkin; dengan mengurangi emisi gas
rumah kaca sebesar 50%, demikian menurut Panel Inter Pemerintah. Jika tidak melakukan apa-apa maka hal-hal inilah yang akan membawa dampak yang merusak.
2
Ibid. Ibid.
3
2
Inilah yang kemudian menjadi perhatian global, beberapa negara mencoba menggagas upaya guna mencegah perubahan iklim ini, gagasan ini kemudian di ajukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang lebih kita kenal dengan sebutan PBB. Pada bulan Juni tahun 1992 diadakan pertemuan guna membahas masalah perubahan iklim yang bertempat di Rio De Janeiro, Brazil. Diselenggarakanlah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan yang lebih dikenal dengan nama United Nations Conference on Environment
and Development (UNCED). Dalam KTT yang bertemakan “think
globally action locally” inilah kemudian dirumuskan sebuah prinsip yang kita kenal sebagai prinsip common but differentiated responsibility, sebagaimana pada Prinsip 7 yang berbunyi:4 ―States shall co-operate in a spirit of global partnership to conserve, protect and restore the health and integrity of the Earth's ecosystem. In view of the different contributions to global environmental degradation, States have common but differentiated responsibilities. The developed countries acknowledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable development in view of the pressures their societies place on the global environment and of the technologies and financial resources they command.‖ "Negara-negara harus bekerja sama dalam semangat kemitraan global untuk melestarikan, melindungi dan memulihkan kesehatan dan keutuhan ekosistem bumi. Mengingat kontribusi yang berbeda terhadap degradasi lingkungan global, negara memiliki tanggung jawab bersama yang dibedakan. Negara-negara maju mengakui tanggung jawab mereka dalam upaya internasional menuju pembangunan berkelanjutan, mengingat pengaruh yang ditimbulkan masyarakat mereka pada lingkungan global dan mengingat teknologi dan sumber daya keuangan yang mereka miliki. "(terjemahan oleh penulis).
4
The Rio Declaration on Environment And Development (1992).
3
Lavanya Rajamani membagi tanggung jawab dalam Prinsip Commom but Differentiated Responsibility dalam dua poin penting, yaitu: 1.
Common Responsibility yang mendasarkan bahwa lingkungan adalah tanggung jawab bersama antara negara-negara terutama dalam melakukan upaya proteksi terhadap pencemaran yang bersifat lintas batas.
2.
Differentiated Responsibility yang mendasarkan bahwa masing-masing Negara mempunyai kontribusi yang berbeda dalam perubahan iklim selain itu masing-masing Negara juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam melakukan upaya penanganan hal tersebut.5 Prinsip ini mengakomodasi adanya keharusan bersama bagi negara maju
dan negara berkembang untuk melawan perubahan iklim dengan tanggung jawab yang berbeda sesuai dengan kemampuan negara masing-masing. Ketentuan ini cukup memadai dan adil dalam menampung beberapa perbedaan kepentingan antara negara maju dan negara berkembang. Akan tetapi sebenarnya di balik “keadilan” tersebut tersembunyi peluang untuk melepaskan tanggung jawab bagi para pihak. Di satu pihak, prinsip ini menguntungkan bagi negara berkembang karena dapat dipakai untuk berlindung dibalik ketentuan tanggung jawab yang berbeda. Sementara di sisi lain, negara maju juga dapat menggunakannya sebab tidak terdapat parameter pasti tentang tanggung jawab yang harus dipikul negaranegara maju dalam memerangi perubahan iklim.
5
L. Rajamani, „The Nature, Promise, and Limits of Differential Treatment in the Climate Regime, in Ole Kristian Fauchald & Jacob Werksman (Eds.), Year Book of International Environmental Law, (London: Oxford University Press 2005). vol. 16, hal. 82.
4
Namun setidaknya prinsip dalam Konvensi ini dapat meredam perbedaan yang meruncing antara negara maju dan negara berkembang. Konvensi kemudian menyepakati untuk membagi negara-negara yang meratifikasi menjadi dua kelompok yakni negara-negara Annex I dan negara-negara Non-Annex. Negaranegara Annex I adalah negara-negara yang telah lebih dulu mengkontribusi gas rumah kaca melalui kegiatan manusia sejak berlangsungnya revolusi industri tahun 1850-an. Sementara negara-negara Non-Annex adalah negara-negara selain Annex I yang menghasilkan emisi gas rumah kaca jauh lebih sedikit dibanding negara-negara Annex I serta mempunyai tingkat perekonomian lebih rendah. Negara-negara ini dikelompokkan dalam negara berkembang. Indonesia pun menggunakan prinsip ini sebagai landasan dalam beberapa pertemuan yang membahas tentang perlunya pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup6, sebagai contoh pada roadmap di Bali, indonesia melampirkan prinsip ini dalam permintaan perlindungan terhadap pencemaran Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) pada wilayah laut indonesia yang memiliki alur laut kepulauan dan Dalam hal pemeliharaan hutan lindung yang merupakan paru-paru dunia sebagai filter dan penyerapan terhadap gas karbon yang terlepas ke udara.7 Itulah kiranya perlu pemahaman terhadap prinsip ini guna menjawab keraguan apakah prinsip ini dapat digunakan untuk
penanggulangan global
warming. Ada beberapa pokok bahasan yang kemudian timbul setelah prinsip ini disepakati bersama oleh seluruh peserta konvensi; pertama, mengenai apa dasar 6
Daniel Murdiyarso, Op.cit. hal. xi-xii “ Karya ilmiah Pemanasan Global Di Indonesia Ditinjau Dari Protokol Kyoto, UNCCC2007: Bali Roadmap" diakses dari http://www.uncccbaliroadmap- Majari Magazine.htm, akses 16 April 2012 7
5
pembeda tanggung jawab yang akan diberikan kepada setiap pihak dalam hal ini negara sebagai subjek hukum internasional. Kedua, mengenai efektivitas pemberlakuan prinsip ini semenjak digulirkannya KTT iklim di Rio De Janiero Juni tahun 1992, dimana setiap negara memiliki interpretasi yang berbeda menyangkut prinsip ini sehingga menimbulkan kendala dalam implementasi pada setiap pelaksanaan perjanjian-perjanjian internasional yang dilakukan guna menanggapi KTT iklim di Rio de Janeiro. salah satu buktinya adalah penolakan amerika serikat guna menyepakati Protokol Kyoto padahal amerika serikat merupakan negara tergabung dalam Annex I dan merupakan penyumbang emisi gas karbon terbesar yaitu sebesar 36,1% dari seluruh besaran karbon yang dilepas ke udara. 1.2
Rumusan Masalah Dari uraian di atas, hal-hal yang akan dibahas sebagai rumusan masalah
adalah sebagai berikut : 1. Apakah prinsip common but differentiated responsibility dapat digunakan dalam upaya penanggulangan global warming? 2. Bagaimanakah implementasi prinsip common but differentiated responibility terhadap negara-negara sebagai
subjek hukum internasional termasuk di
dalamnya Indonesia?
6
1.3
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana prinsip common but differentiated responsibility ini dapat digunakan dalam upaya penanggulangan global warming. 2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi prinsip common but differentiated responibility terhadap negara-negara sebagai
subjek hukum internasional
termasuk di dalamnya Indonesia. 1.4
Kegunaan Penulisan
1. Diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai prinsip common but differentiated responsibility ini dapat digunakan dalam upaya penanggulangan global warming. 2. Diharapkan dapat memberikan gambaran implementasi prinsip common but differentiated responibility terhadap negara-negara sebagai
subjek hukum
internasional termasuk didalamnya Indonesia.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Sejarah Hukum Lingkungan Internasional Kaitan Dengan Global Warming Hukum Lingkungan merupakan bidang ilmu yang sangat muda, yang
perkembangannya baru terjadi pada dasawarsa akhir ini. Apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek lingkungan, maka panjang atau pendeknya sejarah tentang peraturan tersebut tergantung dari apa yang dipandang sebagai environmental concern.8 Hukum Lingkungan dalam bahasa: Inggris disebut Environmental Law, Prancis- Droit de L‘environment, Jerman - Umweltsrecht; Belanda- Milieu-recht, Malaysia-Hukum Alam-Seputar, Tagalog- Batas nan Kapalagiran, Thai-Sin-vedlom-Kwahn; dan Arab – Qonun al‘biah.9 Hukum Lingkungan terdiri dari dua unsur yakni pengertian Hukum dan pengertian Lingkungan. Munadjat Danusaputo, membagi hukum lingkungan dalam dua bagian
yakni hukum lingkungan klasik dan hukum lingkungan
modern. Hukum lingkungan klasik, berorientasi kepada penggunaan lingkungan
8
Koesnadi Hardjiasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakrta: Gajahmada University Press, 2006), hal. 39. 9 Mohammad Askin, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Lingkungan, (Jakarta: Yayasan Peduli Energi Indonesia (YPEI), 2008), hal. 11-12.
8
atau Use Oriented, sedangkan hukum lingkungan modern berorientasi pada lingkungan.10 Hukum lingkungan modern, menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutu agar dapat digunakan oleh manusia dan terjamin kelangsungan untuk kepentingan generasi berikutnya. Sebaliknya hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil yang semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.11 Hukum lingkungan pada hakekatnya adalah untuk mengatasi masalah pencemaran dan pengerusakan lingkungan akibat tingkah laku manusia dengan segala akvititasnya yang berupa pembangunan serta teknologinya. Pencemaran dan perusakan lingkungan terjadi dimana-mana sehingga menjadi masalah negara, regional, dan global. Contoh: pencemaran air, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra telah mempengaruhi negara Singapura, Philipina, Malaysia, Brunei, dll.12 Kaitannya dengan perubahan iklim yang disebabkan karena Global warming, yaitu keadaan dimana suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa,
10
Ibid, hal 41. Ibid. 12 Koesnadi Hardjiasoemantri, Op.cit, hal. 13. 11
9
"sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut. Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.13 2.2
Hakikat, Maksud dan Tujuan Perumusan Prinsip Common But Differentiated Responsibility Prinsip tentang Tanggung Jawab Bersama dengan Beban yang Berbeda
(The Principle of Common but Differentiated Responsibility) adalah salah satu prinsip dalam hukum lingkungan internasional, yang pada dasarnya lahir dari sebuah prinsip dasar yaitu prinsip “common heritage of mankind” “warisan bersama seluruh umat manusia”, dan prinsip ini adalah manifestasi dari sebuah prinsip hukum umum dalam hukum internasional yaitu prinsip tentang persamaan
13
http://id.wikipedia.org/ global_warming/wiki/Pemanasan_global, diakses pada tanggal 4 Juni 2012 jam 09.58 WITA.
10
dalam hukum internasional atau yang kita kenal dengan “equity in international law”.14 Dasar hukum dari prinsip ini adalah Prinsip 7 Deklarasi Rio tentang Pembangunan dan Lingkungan15: “In view of the different contributions to global environmental degradation, States have common but differentiated responsibilities. The developed countries acknowledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable development in view of the pressures their societies place on the global environment and of the technologies and financial resources they command.” "Negara-negara harus bekerja sama dalam semangat kemitraan global untuk melestarikan, melindungi dan memulihkan kesehatan dan keutuhan ekosistem bumi. Mengingat kontribusi yang berbeda terhadap degradasi lingkungan global, negara memiliki tanggung jawab bersama yang dibedakan. Negara-negara maju mengakui tanggung jawab mereka dalam upaya internasional menuju pembangunan berkelanjutan, mengingat pengaruh yang ditimbulkan masyarakat mereka pada lingkungan global dan mengingat teknologi dan sumber daya keuangan yang mereka miliki. " ( terjemahan oleh penulis ). Dari Pasal 7 Deklarasi Rio dapat dipaparkan bahwa prinsip ini mengandung dua hal penting tentang bentuk tanggung jawab negara tersebut dalam konteks perubahan iklim:
1.
Tanggung jawab bersama untuk melakukan perlindungan terhadap lingkungan, baik ditingkat nasional, regional dan global.
2.
Adanya kebutuhan untuk mempertimbangkan keadaan yang berbeda kepada masing-masing negara termasuk pertimbangan kontribusinya terhadap munculnya perubahan iklim, dan beban tanggung jawabnya untuk melakukan perlindungan, menurunkan dan mengendalikan ancaman.
14
L. Rajamani, Op.cit, p. 82. The Rio Declaration on Environment and Development (1992).
15
11
Prinsip ini lahir dari perjalanan sebuah konvensi tentang Perubahan iklim yang kita kenal dengan “United Nations Conference on Enviroment and Development” disingkat UNCED. Perbedaan tanggung jawab yang menjadi dasar dalam prinsip ini membagi negara dalam dua kategori, yaitu : (1) negara maju atau Annex I dan (2) negara berkembang atau Non-Annex I.16 Dilihat lebih jauh pembedaan tanggung jawab
ini lahir dari sebuah
argumentasi bahwa:17
1.
Pembedaan tanggung jawab terhadap masalah perubahan iklim didasari pada perjalanan sejarah dimana negara industri yang basis ekonomi negaranya dibangun berdasarkan komoditas industri, memberikan kontribusi
secara linier
yang signifikan terhadap perubahan iklim
dewasaini, dimana negara tersebut jelas menghasilkan emisi dari pabrikpabrik industri mereka. 2.
sebaliknya, negara-negara berkembang umumnya memiliki basis ekonomi pertanian atau agrikultur, yang jelas tidak menyumbang banyak emisi bagi munculnya perubahan iklim dewasa ini.
3.
Alasan tentang perbedaan kemampuan ekonomi, teknologi, dan keuangan tiap negara.
Ketiga argumentasi ini menjadi alasan utama lahirnya prinsip tentang Tanggung Jawab Bersama dengan Beban yang Berbeda
(The Principle of
16
Daniel Murdiyarso, Op.cit,hal xi-xii L. Ranjamani, Op.Cit, hal. 82.
17
12
Common but Differentiated Responsibility). Dua konsekuensi penting dari terikatnya sebuah negara dalam prinsip ini :
Semua negara yang bersangkutan terikat dalam sebuah kewajiban internasional untuk berpartisipasi secara aktif dalam upaya mengatasi permasalahan lingkungan.
Berdasarkan standar lingkungan yang ada, memberkan kewajiban yang berbeda-beda bagi tiap Negara.
Dalam Prinsip tentang Tanggung Jawab Bersama dengan Beban yang Berbeda
(The Principle of Common but Differentiated Responsibility)
berdasarkan etimologi terdapat dua unsur didalamnya:18
1.
Common Responsibility: Tanggung Jawab bersama Unsur ini menggambarkan kewajiban bersama dari dua atau lebih negara
terhadap perlindungan lingkungan atas sumber daya alamnya. Tanggung jawab bersama ini berlaku pada jenis sumber daya yang digunakan bersama dan tidak berada dibawah kendali negara manapun, kedaulatan negara manapun dalam pemanfaatannya tersebut, akan tetapi tunduk pada kepentingan hukum yang umum; seperti keanekaragaman hayati. 2.
Differentiated Responsibility : tanggung jawab (baca; beban) yang berbeda Tanggung jawab yang berbeda ditujukan untuk melindungi lingkungan
hidup secara luas, unsur ini diterjemahkan ke dalam standar lingkungan yang ditetapkan dibedakan berdasakan berbagai faktor, termasuk kebutuhan khusus 18
Ibid.
13
keadaan, pembangunan ekonomi masa depan suatu negara, dan kontribusi bersejarah lahirnya perubahan iklim. Hal
yang
perlu
ditambahkan
berkaitan
dengan
Differentiated
Responsibility, yakni unsur ini memiliki tujuan untuk memastikan bahwa negaranegara berkembang mendapat keadilan secara hukum dengan tidak mengabaikan adanya kewajiban hukum yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang.19 Ada beberapa pendapat lain berkaitan dengan prinsip Common but Differentiated Responsibility di atas sebagaimana menurut Protokol Kyoto:20 UNFCCC adopts a principle of "common but differentiated responsibilities." The parties agreed that: 1. the largest share of historical and current global emissions of greenhouse gases originated in developed countries; 2. per capita emissions in developing countries are still relatively low; 3. the share of global emissions originating in developing countries will grow to meet social and development needs. UNFCCC mengadopsi prinsip responsibilities." Para pihak setuju bahwa: 1. 2. 3.
"common
but
differentiated
bagian terbesar dari emisi global historis dan saat ini gas rumah kaca berasal dari negara-negara maju; emisi perkapita di negara berkembang masih relatif rendah; porsi emisi global berasal dari negara-negara berkembang akan tumbuh untuk memenuhi kebutuhan sosial dan pembangunan. (terjemahan oleh penulis).
Begitu pula dengan pendapat penganut paham Kosmopolitan mengenai prinsip Common but Differentiated Responsibility. Pada dasarnya, Kosmopolitan memandang bahwa tidak ada kewajiban yang melekat bagi seorang individu, 19
Ibid. The Principle of Common But Differentiated Responsibilities: Scope,http://www.cisdl.org/pdf/brief_common.pdf akses 12 Feb 2012. 20
Origins
and
14
individu terlahir hanya dengan hak. Kewajiban dipahami sebagi sesuatu yang melekat pada negara atau otoritas yang memerintah, karena individu telah menyerahkan sebagian haknya kepada mereka. Konsekuensi ini, membawa pelimpahan tanggung jawab pada negara, negaralah sebagai institusi sosial yang didaulat sebagai penjaga dan penjamin keterpenuhan hak sosial warganya. Namun, poin ini menjadi problematik ketika sebuah negara dianggap tidak mampu untuk melakukan tanggung jawabnya. Terkait dengan masalah lingkungan, negara seperti negara berkembang atau Non Annex I tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai program konservasi hutan, dan negara tersebut tidak bisa untuk lepas dari godaan mengeksploitasi hutan demi kepentingan nasional. Jadi masalah pelestarian lingkungan tersebut menjadi kompleks, karena tidak hanya harus diselesaikan oleh suatu negara, tetapi menjadi masalah bersama negara-negara di dunia, yang berimplikasi juga terhadap tanggung jawab warga negaranya.21 Menurut Mark Evans22, etika moral seorang individu dalam relasinya sebagai manusia yang hidup di ruang yang sama dengan individu lainnya. Dengan kata lain, Evans merumuskan bahwa tanggung jawab itu bisa melekat pada diri individu selaku warga dunia, karena adanya hubungan kausalitas individu dengan lingkungannya. Dari bentuk hubungan kausalitas tersebut kemudian lahir dua bentuk tanggung jawab, yaitu tanggung jawab relasional dan tanggung jawab posisional.
21
The Principle of Common But Differentiated Responsibilities: Origins and Scope,http://www.cisdl.org/pdf/brief_common.pdf akses 12 Feb 2012. 22 Tokoh paham kosmopolitan, membahas dalam tulisannya tentang tanggung jawab warga dunia terhadap ketidakadilan kemanusiaan (humanitarian injustice).
15
Tanggung jawab relasional dipahami sebagai sebuah konsekuensi yang lahir dari sebuah hubungan, bisa dari kontrak, lahiriah/persaudaraan, persahabatan, kesamaan wilayah, dsb. Sedangkan tanggung jawab posisional muncul dari siapa yang memiliki posisi terbaik yang bisa membantu. Evans menyebutkan bahwa tanggung jawab tipe ini berperan ketika sebuah hubungan gagal untuk mengidentifikasi siapa atau pihak mana yang memiliki posisi tersebut. Terkait dengan masalah lingkungan, terutama pada kasus pemanasan global.23 Pemanasan Global (Global Warming) dan Perubahan Iklim (Climate Change), kedua konsep tanggung jawab ini bisa dijadikan panduan memetakan siapa yang memiliki tanggung jawab untuk berbuat. Konsep tanggung jawab tersebut terlihat padu dalam istilah Common but Differentiated Responsibilities (CBDR). Pada konsep yang dianut oleh UNFCCC ini memuat tanggung jawab relasional karena adanya semacam mekanisme kontrak antara negara penghasil emisi GRK dengan negara pemilik hutan. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan keputusan yang dilahirkan dari Konvensi Para Pihak /COP UNFCCC, seperti Protokol Kyoto 1997, dimana diberlakukannya kredit karbon, yaitu negara emitter membayar persentase kelebihan emisinya pada negara pemilik hutan; sedangkan tangung jawab posisional juga bisa kita pahami dengan dilibatkannya beberapa organisasi seperti Bank Dunia di bidang manajemen pendanaan selain negaranegara industri maju; Bali Road Map 2007.
23
Ibid.
16
Sedangkan menurut Paul G Harris prinsip Common but Differentiated Responsibility kaitannya dengan Perubahan Iklim (Climate Change):24 As a nascent principle of international environmental law, ―common but differentiated responsibility‖ evolved from the notion of the ―common heritage of mankind.‖ The latter concept gained stature in the United Nations Convention on the Law of the Sea,as ―common interests‖ of humankind. Bearing in mind that humans depend on a healthy climate for their survival, the General Assembly went further by recognizing the earth‘s climate as a ―common concern‖ of humankind. This implicates not only the need for international cooperation to protect human interests, but also a ―certain higher status inasmuch as it emphasizes the potential dangers underlying the problem of global warming and ozone depletion [and suggests] that international governance regarding those ‗concerns‘ is not only necessary or desired but rather essential for the survival of humankind.‖Insofar as the climate is of such crucial ―common concern‖ to humankind, it follows that there is a responsibility on the part of countries to protect it. This begs the question of who is responsible for climate pollution. The answer is a function of each country‘s historical responsibility for the problem, its level of economic development, and its capability to act. This was suggested by Principle 23 of the 1972 Stockholm Declaration, which states that it is essential to consider ―the extent of the applicability of standards which are valid for the most advanced countries but which may be inappropriate and of unwarranted social cost for developing countries.‖ Yang artinya sebagai prinsip yang relatif baru dalam hukum lingkungan internasional prinsip Common but Differentiated Responsibility lahir dari konsep “Common Herritage of Mankind‖. Pandangan ini mulai berkembang pada konvensi PBB tentang hukum laut, yang memandang sebagai “kepentingan umum” bagi umat manusia. Mengingat manusia bergantung pada iklim yang sehat guna kelangsungan hidupnya, Majelis Umum mengakui Iklim bumi sebagai “keprihatinan bersama” bagi seluruh Umat manusia. Hal ini berimplikasi pada pandangan perlunya kerjasama internasional guna perlindungan kepentingan manusia diatas, tetapi juga "pemberian status yang lebih tinggi ini menimbang karena ia menekankan potensi bahaya yang mendasari masalah pemanasan global dan penipisan ozon [dan menunjukkan] kepada pemerintahan internasional tentang 'keprihatinan' mereka, pemberian status ini tidak hanya diperlukan atau diinginkan tetapi lebih penting untuk lebih memperhatikan kelangsungan hidup manusia "Sejauh mana, iklim bagi manusia sangatlah penting". Perhatian bersama "bagi umat manusia, berarti ada tanggung jawab bagi negara untuk melindunginya. Ini menimbulkan pertanyaan siapa yang bertanggung jawab untuk polusi iklim. Jawabannya adalah fungsi dari tanggung jawab historis masingmasing negara yang terkait, tingkat pembangunan ekonomi,dan kemampuan untuk bertindak. Ini disarankan oleh Prinsip 23 dari Deklarasi Stockholm tahun 1972, yang menyatakan bahwa adalah penting untuk mempertimbangkan "sejauh mana 24
Ibid.
17
penerapan standar yang berlaku bagi negara-negara maju tetapi mungkin saja tidak sesuai dengan pembiayaan bagi negara berkembang (Terjemahan oleh penulis). Sedangkan menurut Vice Yu (FOEI WTO Program Officer CIEL-IATPFOEI Trade Information Project):25
The principle of Common but Differentiated Responsibility (CDR) has become a normative standard in the development of international environmental law and of Multilateral Environmental Agreements(MEAs). The application of the CDR principle requires that international environmental governance must take into account the specific needs and interests of developing countries. The CDR principle requires that while the burden of protecting the global environment isa burden shared by both developing and developed countries, developed countries must bear a proportionately greater share of the burden in view of the greater pressure that their societies place on global environmental resources as well as in view of the larger stock of technology and financial resources that they can mobilize. Penerapan prinsip ini dalam pengembangan tata kelola lingkungan internasional harus mempertimbangkan kebutuhan khusus dan kepentingan negara berkembang. Prinsip ini menekankan bahwa walaupun beban melindungi lingkungan global merupakan beban bersama oleh negara maju dan negara berkembang, negara maju harus memiliki proporsional yang lebih besar ketimbang negara berkembang mengingat penggunaan sumber daya yang lebih oleh masyarakat mereka dan juga kemampuan teknologi dan sumber daya keuangan mereka yang lebih besar yang dapat mereka gunakan (Terjemahan oleh penulis). Menurut Ntale Mustapher:26 The Principle of Common but Differentiated Responsibilities (hereinafter abbreviated as CBDR) has two matrices. The first one is the common responsibility which describes the shared obligations of two or more States towards the protection of a particular environmental resource. Common responsibility is likely to apply where the resource is shared, under the control of no State, or under the sovereign control of a State, but subject to a common legal interest, such as biodiversity and climate. The second matrix is differentiated responsibility, which describes the obligation of States to protect the environment on differentiated environmental standards and limitations, set on the basis of a range of factors, including special needs and circumstances; future economic development of countries; and historic contributions to the creation of an environmental problem. Most global 25
Ibid. Ibid.
26
18
environmental problems of the world were, and are being, created with less participation of developing countries. Differentiated responsibility aims atpromoting substantive equity, by placing weightier environmental obligations and standards on the developed countries, the contributors of the environmental problems, to limit their contribution to environmental degradation. Prinsip ini memiliki dua matriks. Pertama adalah tanggung jawab umum yang menggambarkan kewajiban bersama dari dua atau lebih negara terhadap perlindungan sumber daya lingkungan tertentu. Tanggung jawab yang sama kemungkinan akan berlaku apabila sumber daya digunakan bersama-sama, tidak di bawah kontrol negara atau di bawah kedaulatan negara, tetapi dengan kepentingan hukum umum, seperti keanekaragaman hayati dan iklim. Kedua adalah tanggung jawab berbeda, yang menggambarkan kewajiban negara untuk melindungi lingkungan dengan standar lingkungan yang berbeda dan dengan keterbatasan yang berbeda. Yang ditetapkan berdasarkan berbagai faktor, termasuk kebutuhan khusus dan keadaan; masa depan pembangunan ekonomi negara, dan sejarah kontribusi negara dalam penciptaan masalah lingkungan. Masalah lingkungan yang paling global di dunia, dan sedang dibuat dengan sedikit partisipasi dari negara berkembang. Tanggung jawab Differentiated bertujuan untuk mempromosikan kesetaraan substantif, dengan menempatkan kewajiban lingkungan dan standar yang lebih berat di negara maju sebagai kontributor masalah lingkungan, untuk membatasi kontribusi mereka terhadap degradasi lingkungan (terjemahan oleh penulis).
Grafik 1. grafik presentase dari kontributor bagi perubahan iklim yang menjadi bahan penjelas dari uraian di atas :
source: W.F.I: Marlanc et al.2000 : houghton and hackler 2000. 19
Berdasarkan grafik tersebut dapat kita lihat bahwa kontributor bagi terjadinya perubahan Iklim adalah negara-negara industri, berdasarkan fakta tersebut maka prinsip “common but differentiated responsibility” yang membagi bentuk tanggung jawab negara terhadap terjadinya perubahan iklim berdasarkan asas proporsionalitas berdasarkan fakta riset lingkungan, sejarah, ekonomi, sosial dan kemampuan antara negara-negara maju dengan negara berkembang.
2.3
Konferensi Internasional dan Perjanjian Internasional Tentang Perubahan Iklim Dengan makin banyaknya bukti-bukti ilmiah akan adanya pengaruh
aktivitas manusia terhadap sistem iklim serta meningkatnya kepedulian masyarakat internasional akan isu lingkungan global, pada akhirnya menyebabkan isu perubahan iklim menjadi salah satu isu penting di dalam agenda politik internasional.
Berikut ini adalah beberapa konferensi internasional dan perjanjian internasional yang membahas mengenai masalah perubahan iklim:27 a. The First World Climate ―Conference‖ tahun 1979 mengindetifikasi perubahan iklim sebagai sebuah permasalahan global sangat mendesak dan mengeluarkan deklarasi untuk mengundang pemerintah di seluruh dunia untuk
27
Nirmalasari, 2008, “Implikasi Perdagangan Karbon (Karbon Trading) Terhadap Global Warming dalam Perspektif Hukum Lingkungan Internasional”, Skripsi, Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, hal. 12. Lihat juga UNEP dan UNFCCC, Climate Change Information Kit, 2002, sheet 17 dan laporan delegasi Republik Indonesia 2006.
20
mengentisipasinya. Kemudian ditindak lanjuti dengan pembentukan World Climate Programme dengan arahan World Meteorogical Organization (WMO), The United Nations Environment Programme (UNEP) dan International
Council
of
Scientific
Unions
(ICSU)
serta
diikuti
penyelenggaraan konferensi antar pemerintah dalam isu perubahan iklim. b. Sejumlah konferensi antar pemerintah antar pemerintah khusus membahas perubahan iklim pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Sejalan dengan bertambahnya bukti ilmiah, konferensi-konferensi ini membantu untuk meningkatkan perhatian Internasional terhadap isu tersebut. Para peserta termasuk pemerintah pembuat kebijakan, ilmuwan, dan para pakar lingkungan dalam pertemuan tersebut membahas isu ilmiah maupun isu kebijakan dan disebut sebagai Global Action. Pertemuan tersebut yaitu The Villach Conference (Oktober 1985), The Toronto Conference (Juni 1988), The Ottawa Conference (Februari 1989), The Tata Conference (Februari 1989), The Hague Conference and Declaration (Maret 1989), The Noordwijk Ministrial Conference (November 1989), The Cairo Compact (Desember 1989), The Bergen Conference (Mei 1990), dan The Second World Climate Conference (November 1990). c. The Intergoveremental Panel on Climate Change (IPCC) mempublikasikan First Assessment Report on The state of Global Climate pada 1990. IPCC dibentuk oleh UNEP dan WMO pada 1988, untuk mengkaji perubahan iklim di dunia yang terjadi, memperkirakan dampak yang ditimbulkannya dan
21
mengajukan strategi untuk menaggulanginya. Tanggal 21 desember 1990, UN General Assembly melalui Resolution 45/212 membentuk Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate Change (INC) sebagai “a single intergovernmental negotiating process under the auspices of the General Assembly‖.28 d. INC menyelesaikan teks konvensi dalam waktu 15 bulan. UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) diadopsi di New York pada tanggal 9 Mei 1992 dan diumumkan pada bulan juni di Rio de Jeneiro Earth Summit, dimana UNFCCC dibuka untuk penandatanganan dan 154 negara menandatanganinya. UNFCCC mulai berlaku tanggal 21 Maret 1994.29 e. The Conference of the Parties pertama (COP-1) diadakan di Berlin tanggal 28 Maret – 7 April 1995. INC menyelesaikan tugasnya untuk mempersiapkan implementasi konvensi. Para pihak menyetujui komitmen untuk Negaranegara industri dan menghasilkan “Berlin Mandate‖ yang menyebutkan tentang komitmen tambahan. Adapun hasil dari COP-1 adalah sebagai berikut:30
1. Membentuk Ad Hoc on the Berlin Mandate untuk menindak lanjuti negosiasi
28
Laporan Delegasi Republik Indonesia, hal. 6 Ibid 30 http://unfcc.int/COP1_Berlin/resource/docs/cop1/07a01.pdf#page=4, diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.20 WITA 29
22
2. Memutuskan perlunya
dilakukan pertemuan Subsidary Body for
Implementation (SBI, Article 10 Konvensi) dan Subsidary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA, Article 9 Konvensi).
f. COP-2 dilaksanakan pada 1996 di Jenewa. Hasil yang dicapai dari COP-2 antara Lain:31
1. Mencatat program kerja dari SBI dan melaksanakannya dengan bantuan secretariat serta melaporkan program kerja tersebut pada COP-3 2. Perlunya dukungan teknis dan finansial bagi Negara anggota khususnya Negara
berkembang
dalam
upaya
meningkatkan
kemampuan
mengimplementasikan komitmen mereka dibawah konvensi.
g. The Kyoto Protocol diadopsi di COP-3 Desember 1997. Sekitar 10.000 delegasi, observer, dan jurnalis berpartisipasi dalam even besar ini dari tanggal 1-11 Desember. Hasil dari COP-3 antara lain:32
1. Adopsi The Kyoto Protocol to The United Nations Fremwork Convention on Climate Change. 2. Perlunya SBI melakukan identifikasi dan menentukan tindakan yang diperlukan bagi Negara-negara berkembang (Article 4, paraghraps 8 and 9 konvensi), termasuk pendanaan, asuransi dan transfer teknologi.
31
32
http://unfcc.int/cop2_jenewa/resource/docs/cop2/15a01.pdf#page=4, diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.21 WITA http://unfcc.int/cop3_kyoto/resource/docs/cop3/07a01.pdf#page=4, diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.21 WITA
23
Protokol Kyoto adalah sebuah perjanjian internasional yang mengatur tata cara penurunan GRK sehingga tidak mengganggu iklim bumi. Melalui Protokol Kyoto, target penurunan emisi oleh Negara-negara industri dapat dijadwalkan dan dilaksanakan melalui mekanisme yang transparan. Semua pihak anggota Protokol juga dapat mengawasi pelaporan dan penataannya yang diatur di dalam Protokol. Bahkan melalui Meeting of Parties (MOP)33, mereka juga dapat menentukan tindakan yang harus diambil jika salah satu pihak tidak menaati (non-complience) ketentuan yang ada.
Protokol ini diadopsi pada COP-3 dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang, pada Desember 1997. Dalam proses negosiasi yang panjang, Protokol Kyoto telah mengalami pasang-surut dan mencapai titik terendahnya pada awal tahun 2001 ketika Amerika Serikat menyatakan mundur dari perjanjian Internasional ini, dua bulan setelah COP-6 bulan November 2000 di Den Haag. Namun pada COP-7 di Marrakesh, Bulan November 2001 para pihak yang telah terpolarisasi dalam kelompok Negara industri dan Negara berkembang telah saling memberi dan menerima dan tidak mempertahankan posisi masing-masing yang dipegang teguh pada COP-COP sebelumnya. Kesepakatan yang dicapai pada COP-7 tidak terlepas dari peranan COP-6 Bagian II yang diadakan 6
33
Forum tertinggi pengambil keputusan dari para pihak dalam melaksanakan pasal-pasal yang diatur dalam Protokol.
24
bulam sebelumnya di Bonn. COP-6 inilah yang melapangkan jalan bagi para
pihak
terutama
Negara-negara
industri
untuk
meratifikasi
Protokol.Semangat multiralisme telah didemonstrasikan di Bonn dan Maroko. Protokol Kyoto berlaku efektif pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi dari Rusia dan telah memenuhi syarat 55% dari seluruh emisi CO2 pada 1990. Untuk mencapai tujuan UNFCCC34, diatur mekanisme fleksibel dalam Protokol Kyoto, yaitu :
1. Implementasi Bersama (Joint Implementation); Yaitu mekanisme penurunan emisi dimana negara-negara Annex I dapat mengalihkan pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan mengurangi emisi akibat kegiatan manusia atau yang meningkatkan peresapan GRK (Pasal 6 Protokol Kyoto). 2. Perdagangan Emisi (Emissions Trading); Ini adalah mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antar negara industri untuk memudahkan mencapai target. Negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya ke negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Akan tetapi jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli emisi tetap memenuhi kewajibannya. 34
UNFCCC bertujuan untuk menstabilkan emisi GRK sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Konvensi ini sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.6/1994
25
3. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mecanism - CDM) Pasal 12 Protokol Kyoto menguraikan prosedur penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Mekanisme ini diharapkan membantu negara Annex I mencapai target pengurangan emisi dan negara Non-Annex I dapat melaksanakan program pembangunan berkelanjutan. Caranya adalah negara Annex I melakukan investasi dalam program pengurangan emisi atau program yang berpotensi mengurangi emisi dan/atau menyerap GRK di negara berkembang. Hasilnya akan dihitung sebagai pengurangan emisi di negara Annex I yang melakukan investasi tersebut. Di dalam protokol ini telah disepakati target dan jadwal penurunan emisi yang harus dilakukan olejh negara maju, yaitu sebesar 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 yang harus dicapai pada periode 2008-2012. Dengan target ini seluruh negara maju yang terdaftar dalam Annex I Konvensi Perubahan Iklim harus menurunkan target emisi sebesar 13,7 Gt1.35 Untuk mencapai target tersebut maka dirumuskan mekanisme fleksibel yaitu ketiga mekanisme diatas, berupa Joint Implementation (JI) yang diuraikan pada pasal 6, Mekanisme Pembangunan Bersih (clean development mechanism, CDM) yang diuraikan pada pasal 12, dan
35
9
1 Gt = 1 gigaton (1x10 ton)
26
perdagangan Emisi (Emission Trading, ET) yang diuraikan pada pasal 17 Protokol Kyoto.36 Mekanisme ini menghasilkan unit pengurangan emisi (Emission Reduction Unit, ERU) untuk JI, pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction, CER) dari CDM, dan unit jatah emisi (Assigned Amount Unit, AAU) dari ET. Pengurangan emisi melalui kegiatan tataguna lahan, alihguna lahan dan kehutanan ( land-use, land-use change and forestry, LULUCF) yang dilakukan secara domestik di negara-negara industri akan menghasilkan unit penyerapan ( Removal Unit, RMU).37 h. COP-438 diadakan di Buenos Aires dari 2-13 November 1998, yang menghasilkan :
1. Buenos Aires of Action Plan (BAPA), yaitu rencana dua tahun untuk melengkapi perangkat praktis implementasi protokol. 2. Membahas mengenai Land-use, Land-Use Change, and Forestry (LULUCF). i. Agenda COP-539, yang dilaksanakan di Bonn 15 Oktober – 5 November 1999, adalah sebagai berikut : 1. Implementasi BuenosAires Plan of Action (BAPA).40 36
37 38
39
Daniel Murdiyarso, CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, (Jakarta: Penerbit Kompas,2003) hal.2. Ibid, hal.3. http://unfcc.int/cop4_buenosaires/resource/docs/cop4/16a01.pdf#page=4, diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.25 WITA http://unfcc.int/cop5_bonn/resource/docs/cop5/06a01.pdf#page=4, diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.25 WITA
27
2. Mengadopsi guidelines for the preparation of national Communications by parties included in Annex I to the Convention yang dibagi menjadi dua bagian yaitu UNFCCC reporting Guidelines on annual infentories dan UNFCCC reporting guidelines on national communications. j. COP-641 diadakan pada tanggal 6-25 November 2000 di Den Haag. COP-6 menghasilkan perkembangan yang bagus namun belum bisa mengatasi semua permasalahan yang ada. Pertemuan tersebut tertunda dan dilanjutkan pada tanggal 16-27 Juli di Bonn. Dalam sesi ini dihasilkan persetujuan politis dalam Modalities of the Kyoto Protocol. Dihasilkan pula Bonn Aggreement tentang sistem perdagangan emisi, Clean Development Mechanism (CDM), aturan untuk menghitung reduksi emisi dari Carbon Sinks, dan Compliance regime. Selain itu, juga menggarisbawahi paket dukungan keuangan dan teknologi untuk membantu Negara berkembang agar dapat berkontribusi dalam aksi global perubahan iklim dan dampaknya. Pada COP-6 diusulkan masuknya sektor kehutanan dalam CDM. k. Agenda COP-742 di Marrakesh salah satunya yaitu : finalisasi teknis secara rinci mengenai Bonn Aggreement terkait dengan Protokol Kyoto yang disebut “Marrakesh Accord‖. Disahkan kegiatan Aforestasi dan Reforestasi, 40
41
42
Hal-hal yang dibahas didalamnya antara lain : financial mechanism, development andtransfer technologies, addressing the specific needs and concerns of developing countries, including minimization of adverse impact (article 4.8 and 4.9), activities implemented jointly under the pilot phase, the mechanism of the Kyoto Protocol, preparation for the first session of COP/MOP. http://unfcc.int/cop6_denhaag/resource/docs/cop6/05a02.pdf#page=3 , diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.27 WITA http://unfcc.int/cop7_marrakesh/resource/docs/cop7/13a01.pdf#page=3 , diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.27 WITA
28
sedangkan pencegahan terhadap deforestasi (avoided deforestation) tidak termasuk. l. COP-843 diadakan tahun 2002 di New Delhi; merupakan sesi pertama yang dilakukan setelah penyelesaian negosiasi BAPA. COP-8 mengadopsi Delhi Ministerial Declaration on Climate Change and Suistainable Development dan New delhi Work Programme dalam aspek pendidikan, pelatihan, dan public awareness. m. Tahun 2003, COP-944 di Milan; mengadopsi keputusan kegiatan aforestasi dan reforestasi di bawah skema CDM. n. Tahun 2004, COP-1045 di Buenos Aires; membahas adaptasi perubahan iklim dan mengahasilkan Buenos Aires Programme of Work on Adaptation and Response Measures. o. Tahun 2005, COP-11 dan COP/MOP-1 di Montreal. Protokol Kyoto mulai berlaku sejak Februari dan pada penyelenggaraan COP-11 ini dilangsungkan pula 1stConference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto protocol (COP/MOP-1). Salah satu keputusan penting yang dicapai46 adalah ‖Consideration of Commitments for subsequent periods for Annex I parties to the Convention under Article 3.9 of the Kyoto protocol‖ (decision 43
http://unfcc.int/cop8_newdelhi/resource/docs/cop8/07a01.pdf#page=3 , diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.30 WITA 44 http://unfcc.int/cop9_milan/resource/docs/cop9/06a01.pdf#page=3 , diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.30 WITA 45 http://unfcc.int/cop10_buenosaires/resource/docs/cop10/10a01.pdf#page=3 , diakses tanggal 8 Maret 2012,pada pukul 09.30 WITA 46 http://unfcc.int/cop11_montreal/resource/docs/cop11/05a01.pdf#page=3 , diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.30 WITA
29
1/CMP.1), dimana Negara anggota memutuskan untuk mempertimbangkan komitmen lanjutan Negara Annex I untuk periode setelah 2012. Hal ini mendorong pembentukan Ad-Hoc Working group of Parties to the Kyoto Protocol (AWG-KP) untuk menindak lanjutinya dan akan dilaporkan kepada COP/MOP. p.
Tahun 2006, COP-12 dan COP/MOP-2 di Nairobi. Dalam pertemuan itu dibahas47 : 1. Mengajak Parties Non-Annex I untuk menggunakan prioritas adaptasi yang strategis dan pengembangan kapasitas yang didanai oleh Global Environment Facilities (GEF), dalam rangka merespon panduan COP, dan pendanaan yang dijanjikan kepada Special Climate Change Fund (SCCF). 2. Mengadopsi Five-year program of work SBSTA dan harus dijalankan secara konsisten dengan TOR SBSTA (Article 9 UNFCCC).
q. Tahun 2007, COP-13 di Bali. Berikut kesepakatan dalam pertemuan tersebut48: 1. Kerjasama antara Negara maju dengan Negara berkembang dalam mengatasi dampak perubahan iklim dengan menurunkan suhu bumi sekurang-kurangnya 2 derajat celcius sampai 2050.
47
48
http://unfcc.int/cop12_nairobi/resource/docs/cop12/05a01.pdf#page=3 , diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.35 WITA http://unfcc.int/cop13_bali/resource/docs/cop13/06a01.pdf#page=3 , diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.35 WITA
30
2. Dana Adaptasi: Negara maju menyiapkan anggaran USD 30 Juta-USD 300 Juta yang akan diimplementasikan mulai 20008 hingga berakhirnya Protokol Kyoto pada 2012. 3.
REDD
(Reducing
Emissions
from
Deforestation
and
Degradation). Setuju melakukan langkah-langkah nyata mengurangi emisi dari deforestasi, dan akan segera membuat program kerja untuk mengatur metodologinya. Negara maju sepakat untuk memberikan pelatihan dan penguatan kapasitas untuk membantu Negara berkembang dalam program REDD. 4.
CDM (Clean Development Mechanism): Negara-negara yang menandatangani Protokol Kyoto membeli CER (CertIified Emissions Reduction) untuk menutupi setengah dari emisi yang mereka keluarkan. Dana USD 2,6 miliar disiapkan untuk membayar SPE dari Protokol Kyoto. Masing-masing sertifikat itu setara dengan satu ton CO2.
r. Tahun 2008, COP-1449 di Bonn, Jerman. Di sini dibahas tentang perkembangan Bali Action Plan, transfer teknologi dan pengembangan teknologi kepada Negara Non-Annex I dan juga tentang pedoman lanjutan pendanaan di Negara miskin. Selain itu yang banyak dibahas juga mengenai bagaimana pengembangan dan tindak lanjut dari Fasilitas Global Lingkungan pada Negara-negara berkembang ataupun Negara maju.
49
http://unfccc.int/cop14_bonn/resource/docs/2008/cop14/eng/07a01.pdf#page=2, diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.40 WITA
31
s. Tahun 2009, COP-1550 di Copenhagen, Denmark. Pertemuan ini merupakan kesempatan terbaik dan terakhir dalam upaya menjawab tantangan dampak perubahan iklim. Konferensi ini akan menjadi forum akbar komunitas lingkungan global dalam upaya menyelamatkan masa depan planet bumi. Langkah tersebut juga menjadi penting karena akan menentukan kesepakatan final pengganti Protokol Kyoto. Kesepakatan yang bertujuan utama mencegah terus berlanjutnya dampak negatif pemanasan global. t. Tahun 2010, COP-1651 di cancun, meksiko. sayang sampai COP 16 di Cancun Mexico, negara-negara yang berpartisipasi di dalam PBB Perubahan Iklim belum bisa mencapai kesepakatan yang mengikat. Di Cancun disepakati kesepakatan tidak mengikat yang merinci secara detail mengenai skema REDD+
yang
berpotensi
menggantikan
atau
memperkuat
Protokol
Kyoto.Yang jelas hasil COP 16 merupakan kabar baik bagi negara-negara yang masih memilki hutan yang luas seperti Brazil, Congo, Indonesia dan Guyana. Negara-negara maju juga berkomitmen untuk menambah bantuan untuk kegiatan adaptasi, mitigasi dan teknologi sebanyak $ 100 miliar dolar diatas komitmen $30 miliar dolar dijanjikan di COP 15 di Copenhagen, Denmark tahun lalu. Dalam kesepakatan COP 16 di Cancun telah disepakati aksi untuk adaptasi, mitigasi dan transfer teknologi dalam menangani perubahan iklim. Pada Bagian III, disepakati usaha memitigasi perubahan iklim melalui pencegahan deforestasi dan degredasi hutan. Dalam poin C dari 50
51
http://unfccc.int/cop15_copenhagen/resource/docs/2009/cop15/eng/11a01.pdf#page=4, diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.30 WITA http://unfccc.int/cop16_cancun/resource/docs/2010/cop16/eng/11a01.pdf#page=5, diakses tanggal 27 desember 2012, pada pukul 09.30 WITA
32
bagian III di jelaskan yang termasuk skema Reduction Emission From Deforestation and Degredation + atau REDD + adalah sbb: Sebelumnya hanya dua definisi saja untuk REDD. Sekarang REDD + definisinya menjadi lima yaitu: penurunan emisi dari deforestasi ;Penurunan emisi dari degradasi hutan; Konservasi stok karbon di hutan (Conservation of forest carbon stocks); Penurunan emisi dari pengelolaan hutan lestari (Sustainable management of forest) dan Penambahan stok karbon di hutan (Enhancement of forest carbon stocks).
u. Tahun 2011, COP-1752 Durban, Afrika Selatan. Konferensi Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke-17 yang berlangsung di Durban Afrika Selatan menghasilkan “Durban Platform“. Ada dua kesepakatan utama dari COP17 Durban yaitu diperpanjangnya mandat Kelompok Kerja Adhoc untuk Kerjasama Jangka Panjang (The Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention/AWG-LCA) dan dibentuknya badan baru yaitu Kelompok Kerja Adhoc Durban Platform (Adhoc Working Group on Durban Platform). Kuki Soejachmoen menjelaskan Adhoc Working Group on Durban Platform akan bertugas menyepakati kerangka multilateral perubahan iklim dengan dua pilihan utama, yaitu membentuk protokol baru atau melalui format hukum lain yang memiliki `legal certainty` pasca berakhirnya komitmen kedua Protokol Kyoto.
52
http://unfccc.int/cop17_durban/resource/docs/2011/cop17/eng/11a01.pdf#page=9, diakses tanggal 27 desember 2012, pada pukul 09.40 WITA
33
COP 17 di Durban selaian itu juga menyepakati diperpanjangnya masa kerja Kelompok Kerja Adhoc untuk komitmen dibawah Protokol Kyoto (The Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol/AWG-KP) antara lain adalah disepakatinya komitmen kedua dari Protokol Kyoto yang dimulai 2013 sampai 2017 atau sampai 2020. “Indonesia menyambut baik hasil di Durban ini. Durban platform ini menjadi legally binding terutama bagi negara-negara maju terhadap komitmen mereka pada perubahan iklim,” kata Kuki. v. Tahun 2012, COP-1853 Doha, Qatar. Presiden COP18/CMP8, Abdullah bin Hamad Al-Attiyah, menutup konferensi dengan beberapa keputusan penting diantaranya mengenai kelanjutan Protokol Kyoto periode komitmen kedua, pengurangan emisi dengan ambisi yang lebih besar, serta pelaksanaan komitmen penyediaan pendanaan jangka panjang oleh negara maju untuk membantu negara berkembang melaksanakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Namun keputusan yang tertuang dalam Doha Climate Gateway tersebut tidak sepenuhnya memuaskan bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lain. Khususnya mengenai komitmen pengurangan emisi dan penyediaan pendanaan oleh negara maju. Sebanyak 37 negara maju dan Uni Eropa telah menyepakati pelaksanaan periode komitmen kedua (Second Commitment Period) selama 8 tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 2013. Namun negara53
http://unfccc.int/cop_doha/resource/docs/2012/cop18/eng/11a01.pdf#page=11, tanggal 27 desember 2012, pada pukul 09.30 WITA
diakses
34
negara tersebut hanya merepresentasikan kurang dari 20 persen emisi gas rumah kaca dunia. Tiga negara maju yaitu Rusia, Jepang dan Selandia Baru memutuskan
tetap
menjadi
anggota
Protokol
Kyoto,
namun
tidak
berkomitmen menurunkan emisi. Sementara Kanada bergabung dengan Amerika Serikat keluar dari Protokol Kyoto.
Sebelumnya, IPCC Fourth Assessment Report (IPCC 4 AR) mencatat bahwa wilayah yang paling rentan dan sekaligus paling parah mengalami dampak perubahan iklim adalah Negara-negara pulau kecil di samudra pasifik. Meningkatnya tinggi permukaan air laut dan suhu air laut akan meningkatkan abrasi, mengurangi daya tahan alami mangrov dan terumbu karang, dan pada gilirannya menghantam industri pariwisata. Tanpa peningkatan kemampuan beradaptasi, Negara kepulauan akan mengalami peningkatan suhu udara dan berkurangnya produksi pangan dan pasokan air bersih.
Dalam waktu kurang dari lima puluh tahun, sebagian besar daratan asia hampir dipastikan akan mengalami dampak yang hebat dari banjir, kekeringan dan kelaparan. Hal ini terjadi karena peningkatan tinggi permukaan air laut yang akan menggenangi kawasan yang dihuni jutaan manusia di delta sungai-sungai besar seperti Gangga-Brahmaputra, Yangtze, Sungai Merah dan Mekong, juga di perparah oleh gletser di Himalaya karena peningkatan suhu udara.
Dalam IPCC AR 4 ada tiga hal disebut secara spesifik tentang Indonesia. Pertama, meningkatnya hujan di kawasan utara dan menurunnya hujan di selatan (katulistiwa). Kedua, kebakaran hutan dan lahan yang peluangnya akan semakin
35
besar dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas El-Nino. Ketiga, delta sungai Mahakam masuk ke dalam peta kawasan pantai yang rentan.
2.4
Clean Development Mechanism (CDM) CDM merupakan sebuah mekanisme di mana Negara maju dapat
menurunkan emisi gas rumah kacanya melalui sekuistrasi karbon (penyimpanan karbon) dan juga melalui proyek ramah lingkungan, proyek yang terbukti dapat menurunkan emisi GRK, di Negara berkembang. Pada intinya, mekanisme ini merupakan salah satu bentuk perdagangan karbon, dimana Negara berkembang dapat menjual kredit penurunan emisi melalui proyek CDM kepada Negara Annex I yang memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi. Secara umum CDM merupakan mekanisme penurunan emisi yang berbasis pasar juga. Mekanisme ini memungkinkan negara maju melakukan investasi di negara
berkembang pada berbagai sektor untuk mencapai target
penurunan emisi. Sementara itu, negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan sebagai agenda nasionalnya sambil mencapai tujuan utama konvensi seperti yang diuraikan diatas. Mekanisme ini dapat dilakukan secara multilateral, bilateral, danahkan akhir-akhir ini berkembang dengan cara unilateral. Ini semua bergantung pada sumber pendanaan dan sistem penyalurannya.54
Adapun tujuan dari mekanisme CDM diatur dalam Article 12 Protokol Kyoto, yaitu : 54
Daniel Murdiyarso, CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, Op.cit. hal.2.
36
1. Membantu negara maju/industri memenuhi sebagaian kewajibannya menurunkan emisi GRK. 2. Mebantu negara berkembang dalam upaya menuju pembangunan berkelanjutan dan kontribusi terhadap pencapaian tujuan konvensi Perubahan iklim (UNFCCC).
Sebuah proyek CDM dapat dilakukan bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:55
1. Atas dasar suka rela (antar Pemerintah, antar swasta, dan antara pemerintah dengan swasta). 2. Disetujui oleh pemerintah masing-masing.
Apabila suatu proyek CDM berhasil meniurunkan emisi GRK, maka akan mendapatkan sertifikat pengurangan emisi atau dikenal dengan CER (Certified Emissions Reduction). Sertifikat ini dikeluarkan oleh Badan Eksekutif CDM (CDM Executive Board), badan internasional yang berwenang melakukan pengawasan dan pengaturan pelaksanaan CDM.
Di tingkat nasional, proyek CDM harus mendapatkan persetujuan dari Designated Natioanal Authority (DNA) atau badan CDM Nasional, yaitu sebuah badan yang ditunjuk pemerintah untuk memberikan penilaian apakah proyek CDM itu memang menguntungkan bagi pembangunan berkelanjutan (Suistanable Development) dan masyarakat lokal atau malah merugikan. Proyek-proyek CDM
55
Protokol Kyoto 1997, Article 12(5).
37
haruslah
memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal, baik lingkungan, sosial
dan ekonomi. Untuk menjamin itu masyarakat lokal dan pihak-pihak lain harus dilibatkan dalam proyek CDM ini. Pemilik proyek CDM diharuskan untuk mengadakan proses publik yang transparan dan obyektif untuk mendapatkan opini-opini dari masyarakat mengenai kegiatan proyek tersebut.
Pada saat sebuah proyek CDM didaftarkan ke badan Eksekutif CDM, badan ini akan mempublikasikan dokumen proyek CDM tersebut dan kemudian meminta publik untuk memberikan opini atau komentar mengenai kegiatan proyek tersebut. Dari kedua proses publik transparan dan obyektif tersebut, diharapkan proyek CDM yang telah disetujui tidak akan merugikan masyarakat lokal atau pihak terkait lainnya, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Mekanisme pendanaan CDM yang dapat dilakukan, yaitu:56
1. Bilateral : antar pemerintah, antar swasta (dengan persetujuan pemerintah), dan antara Pemerintah dengan swasta. 2. Multirateral : ketersediaan dana dari Negara Industri (pemerintah atau swasta) pada „Lembaga Independen‟ dan lembaga ini menyalurkan dana untuk proyek CDM. 3. Unilateral : Host country melaksanakan proyek pengurangan emisi GRK dengan biaya sendiri yang dapat dipasarkan melalui pasar bebas.
56
Silver Hutabarat dan Nur Masripatin, 2009, Clean Development Mechanism Sebagai Salah Satu Sumber Pendanaan, Kementrian kehutanan Republik Indonesia (RI), http://www.dephut.go.id/cleandevelopmentmechanismcdm/index.php?q=id/node/706, diakses pada tanggal 10 Maret 2010 pukul 13.15 WITA
38
Mekanisme CDM juga menyediakan dana tambahan, dikenal dengan dana adaptasi, bagi Negara-negara yang rentan seperti Negara-negara kepulauan (Small Island States) untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan iklim. Dana tambahan ini didapatkan dari penjualan kredit penurunan emisi dalam mekanisme CDM, yaitu sebesar 2% dari hasil penjualan CDM yang harus diserahkan kepada UNFCCC untuk dikelola menjadi dana adaptasi.
2.5
CarbonTrading Pada intinya mekanisme CDM merupakan suatu perdagangan karbon dari
hasil CER yang didapat dari proyek ramah lingkungan dan aktivitas di sektor kehutanan.Negara-negara maju yang telah meratifikasi Protokol Kyoto diharuskan mengurangi emisi karbon sampai taraf tertentu. Jika mereka tidak mampu memenuhi target, mereka dapat “membeli jatah” dari tempat lain yang telah melakukan pengurangan emisi.
Sektor kehutanan, perdagangan karbon adalah menjual kemampuan pohon untuk menyerap sejumlah karbon yang dikandung di atmosfer agar disimpan di dalam biomassa pohon untuk waktu yang ditentukan (20 tahun dengan 2 kali perpanjangan atau satu periode selama 30 tahun saja) sesuai dengan definisi hutan telah disepakati di Marrakesh dan definisi kelayakan lahan untuk kegiatan Aforestrasi dan Reforestasi CDM yang telah disepakati di Kyoto (dikenal kemudian dangan definisi Kyoto).
39
Seperti perdagangan pada umumnya, dalam perdagangan karbon juga dikenal penjual dan pembeli karbon. Pembeli adalah pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer memiliki ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme sekuistrasi karbon. Fasilitas pembangkit tenaga bisa masuk dalam industri ini. Pihak-pihak yang termasuk dalam kategori ini yaitu :
1. Pemerintah negara yang diwajibkan menurunkan emisi; 2. Perusahaan yang diwajibkan oleh pemerintahannya menurunkan emisi; 3. Bank; 4. Penyedia jasa keuangan lingkungan lingkungan (broker).
Sedangkan penjual adalah pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian bisa menjual kredit karbon berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka. Atau bisa juga pengelola industri yang mengurangi emisi karbon mereka menjual emisi mereka yang telah dikurangi kepada emiter lain. Pihak-pihak yang termasuk dalam kategori ini, antara lain :
1. Pemerintah negara pemilik hutan; 2. Pemerintah daerah; 3. Pemegang izin hak pengelola hutan; 4. LSM lingkungan, bila mengakui sisi izin pengelolaan hutan; 5. Yayasan masyarakat adat.
40
Ada dua jenis perdagangan karbon.Pertama adalah perdagangan emisi (emission trading). Yang kedua adalah perdagangan kredit berbasis proyek (trading in project based credit). Seringkali dua kategori tersebut disatukan menjadi sistem perdagangan hibrida.
2.6
Reducing Emissions From Deforestation and Degradation (REDD+) Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD+)
merupakan mekanisme internasional untuk memberikan intensif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestrasi dan degradasi hutan. REDD+ merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan dan bersifat sukarela (Voluntery) dan menghormati kedaulatan negara (sovereignity). Deforestasi, seperti yang didefinisikan oleh Marrakesh Accords, adalah perbuatan manusia yang melakukan konversi lahan hutan menjadi lahan nonhutan. Degradasi hutan yaitu perubahan luas tutupan hutan tropis yang lebih banyak untuk tujuan ekonomi dan non ekologis. Berarti, penggunaan dan pemanfaatan lahan (land use) tidak berubah, tetapi sebagai kawasan hutan, yang berubah adalah kuantitas dan kualitas penutupan hutannya. Hutan merupakan areal lahan berukuran sedikitnya 0,05-1,0 hae dengan penutupan tajuk pepohonan (atau tingkatan stok yang setara) antara 10-30 % dan pepohonan pada lahan itu berpotensi untuk tumbuh mencapai ketinggian antara 25 meter. Hutan dapat terdiri dari formasi hutan tertutup yang ditumbuhi dengan pepohonan dengan berbagai cabang dan semak-semak menutupi sebagian besar
41
tanah atau hutan terbuka. Tanaman tegakan alam muda dan semua perkebunan yang yang belum mencapai kepadatan tajuk 10-30 % atau tinggi pohon 2-5 meter termasuk dalam hutan, begitu juga dengan areal yang yang biasanya membentuk bagian dari areal hutan yang secara temporer berkurang stoknya karena intervensi manusia seperti pemanenan atau karena alam yang diperkirakan dapat dipulihkan (FAO 2000)57. Akan tetapi di dalam Protokol Kyoto dimungkinkan kepada para pihak untuk menggunakan definisi hutan menurut peraturan negaranya masingmasing. Menurut data World Resource Institute (WRI, 2000) yang dikutip dalam Stern Report disebutkan bahwa deforestrasi menyumbang sekitar 18% terhadap emisi Gas Rumah Kaca global. Dari 18% kontribusi emisi gas rumah kaca tersebut, 75% diantaranya berasal dari deforestasi di Negara berkembang. Sementara itu emisi dari Negara berkembang diperkirakan akan terus meningkat sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk dan keperluan pembangunan lainnya, apabila tidak ada intervensi kebijakan (Policy approaches and positive incentives) yang memungkinkan Negara berkembang mengurangi deforestrasi dengan tetap menjamin keberlanjutan pembangunan nasionalnya.58 Sebuah tonggak fundamental dicapai pada COP 11 di Montreal pada tahun 2005 ketika Papua Nugini dan Kosta Rika didukung oleh delapan Pihak lain yang tergabung dalam Koalisi Pemilik Hutan Tropis (Coalition for Rain Forest 57
58
Berry Nahdian Forqan,”Pemanasan Global, Skema Global dan Implikasinya di Indonesia”, Jurnal Legislasi Indonesia, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Vol.6 No. 1 – Maret 2009, hal. 103-121. Nur Masripatin, “Apa Itu REDD?”,kajian dan opini, Warta Tenure No.6, hal. 5 http://www.wgtenure.org/file/Warta_Tenure/Edisi_06/02a.Kajian01.pdf, diakses tanggal 10 Maret 2012, pukul 12.42 WITA
42
Nations/CfRN) mengusulkan mekanisme untuk Pengurangan Emisi dari Deforestasi (RED) di negara-negara berkembang. Proposal tersebut mendapat dukungan luas dari para pihak dan COP membentuk grup kontak dan kemudian mulai dua tahun proses untuk mengeksplorasi pilihan untuk REDD. Keputusan ini berakibat luas pada berbagai Pihak dan pengamat selama periode itu mengajukan proposal dan rekomendasi kepada Subsidiary Body on Scientific and Technical Advice (SBSTA) untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari deforestasi dan degradasi. Negosiasi besar yang dilakukan untuk menghadapi perubahan iklim pada akhirnya berhenti pada posisi bahwa negara Annex I sebagai penghasil utama karbon yang berperan besar terhadap perubahan iklim harus memberikan kompensasi pada negara-negara ke tiga pemilik hutan yang dipercaya dapat melepaskan atau menyimpan karbon. Pada posisi itulah program REDD (Reduction Emission from Deforestation and Degradation) sebagai model penghadangan laju kerusakan hutan di dunia ketiga mendapatkan fondasi setelah generasi awal berupa A/R Clean Development Mechanism (CDM) nyaris gagal total. Berdasarkan The Little Book REDD59, Ide dasar dibalik REDD yaitu negara-negara yang bersedia dan mampu mengurangi emisi dari deforestasi harus diberikan kompensasi finansial untuk melakukan hal tersebut. Sedangkan tujuan
59
Merupakan Buku panduan yang dikeluarkan oleh Andew W. Mitchel (dkk) dari The Global Canopy Programme (GCP) untuk membantu membangun pemahaman tentang REDD secara menyeluruh.http://www.amazonconservation.org/pdf/redd_the_little_redd_book_dec_08.pdf, diakses pada tanggal 11 Maret 2012 pada pukul 08.08 WITA.
43
utama dari REDD itu sendiri yaitu tentang pengurangan emisi. Bali Action Plan memutuskan pada Konferensi Para Pihak (COP 13) bahwa pendekatan yang komprehensif untuk mengurangi perubahan iklim harus mencakup: " Pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkaitan dengan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negaranegara berkembang " Bali Action Plan mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung dalam REDD. Inisiatif REDD dalam mitigasi perubahan iklim dapat memberikan berbagai macam manfaat dan keuntungan lain yang menyertainya. Termasuk di dalamnya adalah manfaat untuk memberikan perlindungan bagi jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan, meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar hutan dan memperjelas hak kepemilikan lahan. REDD secara bersamaan bisa mengatasi perubahan iklim dan kemiskinan di pedesaan, sambil melestarikan keanekaragaman hayati dan mempertahankan jasa ekosistem yang penting. Ada beberapa catatan dari kesepakatan/keputusan COP 13 tentang REDD:60 -
COP 13 telah menghasilkan keputusan tentang pengurangan emisi dari deforestrasi dan degradasi (REDD) di negara berkembang. REDD juga merupakan bagian penting dari aksi mitigasi perubahan iklim dalam “Bali Action Plan”
60
Nur Masripatin, op.cit,hal. 8
44
-
Dalam “Bali Action Plan‖, disamping Negara maju yang harus memenuhi kewajiban peningkatan target penurunan emisi dan membantu Negara berkembang (capacity building, technology transfer, financial) dalam upaya mengurangi dampak negatif perubahan iklim, Negara berkembang juga didorong melakukan aksi nyata dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan melalui integrasi upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam perencanaan nasional dan sektoral planning.
-
Beberapa butir penting dan keputusan COP-13 yang memerlukan tindak lanjut segera maupun terjemahan lebih lanjut untuk implementasinya di Indonesia antara lain: a. REDD dilaksanaan atas dasar sukarela (voluntary basis) dengan prinsip menghormati kedaulatan negara, b. Negara maju sepakat memberikan dukungan untuk capacity building, transfer
teknologi
di
bidang
metodologi
dan
institusional,
pilot/demonstration activities, c. Untuk pelaksanaan pilot/demonstration activities dan implementasi REDD, diperlukan penguasaan aspek metodologi sesuai standar internasional. Oleh karenanya COP-13 menyepakati indicative guidance untuk pilot/demontstration activities, dimana terdapat tanggung jawab internasional, nasional (pemerintah pusat) dan subnasional (pelaksana daerah).
45
Satu tahun setelah Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan) disetujui, para juru runding mengadakan pertemuan kembali di Poznań, Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa kegiatan REDD sebaiknya diperluas. REDD+ menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Negara-negara berkembang. Dua ketetapan awal REDD adalah61 : d. mengurangi emisi dari deforestasi dan e. mengurangi emisi dari degradasi hutan Beberapa strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi melalui: f. peranan konservasi g. pengelolaan hutan secara lestari h. peningkatan cadangan karbon hutan Definisi yang lebih luas ini memudahkan negara-negara lain untuk ikut berpartisipasi. Banyak pihak dengan kondisi nasional yang berbeda dapat dilibatkan ke dalam kerangka yang akan datang. Di bawah skema REDD+ yang lebih luas, negara-negara yang secara efektif sudah melindungi hutannya juga dapat memperoleh keuntungan. Praktek yang diterapkan secara berkelanjutan yang dapat membantu masyarakat miskin. Contohnya perusahaan kayu yang memberikan akses kepada masyarakat lokal untuk dapat memanfaatkan hutan, juga akan diakui dan diberi penghargaan. Inisiatif penghijauan di kawasan hutan yang gundul dan terdegradasi juga akan 61
CIFOR, op.cit, hal. 6
46
dipertimbangkan. Jika REDD+ dibawa ke meja perundingan, akan lebih banyak negara yang mendukung atau meratifikasi kesepakatan di masa yang akan datang. Bagaimanapun juga, REDD+ memerlukan kerangka kerja yang lebih rumit untuk mengakomodasikan seluruh kategori dan dapat menyebabkan terjadinya biaya transaksi dan implementasi yang lebih besar.62 Namun demikian, masih ada beberapa isu yang belum tuntas, termasuk referensi terhadap emisi dan usaha-usaha di tingkat subnasional. Ini merupakan isu penting bagi negara-negara yang memiliki hutan yang luas dengan tipe yang beragam yang mengalami tekanan yang berbeda-beda seperti Indonesia dan Brazil. Isu-isu ini juga penting bagi negara-negara yang sedang mengalami pemberontakan/kekacauan dimana pemerintah tidak selalu memiliki kendali penuh atas semua lahan di negaranya. Isu lain yang juga perlu diatasi misalnya perlindungan hak-hak penduduk asli dan masyarakat lokal. Salah satu titik kelemahan terbesar adalah minimnya target, baik itu untuk pengurangan emisi maupun untuk sumber pendanaan. Kelemahan dari perjanjian ini dapat mengaburkan apa yang ingin dicapai dari kerja sama antara negara berkembang dan negara maju dalam kaitannya dengan REDD+. Hal-hal inilah yang perlu diperhatikan dalam membuat perjanjian internasional ataupun kesepakatan-kesepakatan oleh para pihak COP 16 di Cancun dan pengimplementasiannya pasca Protokol Kyoto-2012.
62
Ibid.
47
2.7
Implementasi prinsip Common but Differentiated Responsibility terhadap Indonesia Jauh sebelum indonesia meratifikasi UNCED yang di helat di Rio de
Janiero Brazil, indonesia telah memberi perhatian lebih terhadap pelestarian lingkungan hidup. Hal ini dapat dibuktikan dengan diberlakukannya Undangundang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) sebagaimana diubah dan diperbaharui oleh Undangundang nomor 23 Tahun 1987 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah diletakkan sebagai tujuan yang hendak diwujudkan pengelolaan lingkungan hidup atau pembangunan manusia indonesia seutuhnya. Dimana sebelumnya telah terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali yang mengakibatkan terjadina kerusakan lingkungan. Selama tiga dasawarsa belakangan ini, isu lingkungan dapat diidentifikasi menjadi dua kelompok besar, yaitu: 1.
Masalah penurunan kualitas lingkungan berupa: a.
Masalah penurunan kualitas dan kuantitas air;
b.
masalah Penurunan kualitas udara, terutama di kota-kota besar;
c.
Kerusakan pesisir dan laut dalam hal ini masalah kualitas iar, terumbuk karang, dan mangrove.
d.
Penurunan kualitas lingkungan hidup perkotaan dalam hal ini sampah, hilangnya hutan kota dan jalur hijau, serta fasilitas publik; dan
48
e.
Kerusakan lingkungan fisik seperti penebangan hutan akibat kegiatan pertambangan, serta terjadinya erosi dan sedimentasi.
2.
Masalah manajemen berupa: a.
Keterbatasan dana;
b.
Kelembagaan lingkungan hidup di daerah yang tidak memadai; dan
c.
Kapasitas sumber daa manusia ang masih terbatas.63
Setelah indonesia meratifikasi isi UNCED dengan mengeluarkan undangundang no. 6/1994 dan amandemen UUD NRI 1945 terdapat dua pasal baru yang mengatur tentang aspek lingkungan hidup, yakni:64 a. Pasal 28H ayat (1) yang berbunyi: “ setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Ketentuan ini tercantum sebagai bagian dari pengaturan tentang hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA. b. Selain muatan lingkungan hidup sebagai HAM dalam UUD NRI 1945, aspek pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (PKWL), juga diatur dalam UUD NRI 1945 pasca amandemen. Pasal 33 ayat (4) berbunyi: “ perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi
ekonomi
dengan
prinsip...
berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan...”.
63 64
Mohammad Askin, op.cit, hal.35. Ibid hal.37
49
Istilah PKWL pertama kali digunakan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) dalam pasal 1 butir 13. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan hidup (UUPLH) sebagai pengganti UULH menetapkan dalam pasal 1 butir 3 kembali mempertegas bahwa: “PKWL hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi kini dan generasi ang akan datang”. PKWL atau istilah lainnya sustainable development sebagai tujuan pembangunan manusia indonesia seutuhnya dan pembangunan masarakat indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini makin diperkuat dengan hasil konferensi nasional untuk pembangunan berkelanjutan (KNPB) di yogyakarta tanggal 21 januari 2004 yakni kesepakatan nasional dan rencan tindak pembangunan berkelanjutan yang diterima oleh presiden dan menjadi dasar semua pihak untuk melaksanakannya. Kesepakatan
internasional
telah
pula
diadakan
pada
deklarasi
pembangunan berkelanjutan tahun 2002 (The Johannesburg Declaration on Sustainable development). Deklarasi ini antara lain menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan mensyaratkan partisipasi berbasis keterlibatan menyeluruh masyarakat dalam formulasi kebijakan, pembuatan keputusan dan implementasi di semua tingkat. Sebagai tindak lanjut atas deklarasi ini telah ditetapkan Plan of Implementation yang mengedepankan integrasi tiga komponen
50
pembangunan berkelanjutan: “ economic deevelopment, social development, and environmental protection, sebagai reinforcing pillars”. Peraturan presiden nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Bab 32 Perbaikan Sumber Daya Alam Dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup ditetapkan antara lain arah kebijakan pembangunan lingkungan hidup berdasarkan UNCED yang diarahkan untuk: 1. Mengarus-utamakan
(mainstreaming)
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan; 2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah; 3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan penegakannya secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan; 4. Meningkatkan upaa pengendalian dampak lingkungan akibat kegiatan pembangunan; 5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelolaan lingkungan hidup baik ditingkat
nasional
maupun
daerah,
terutama
dalam
menangani
permasalahan yang bersifat akumulasi, fenomena alam yang bersifat musiman dan bencana; 6. Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup; dan
51
7. Meningkatkan penyebaran data informasi lingkungan, termasuk informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi kewaspadaan dini terhadap bencana.
52
BAB III METODE PENELITIAN 3.1
LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian yang dengan ini penulis rencanakan akan dilaksanakan
di: 1.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (RI);
2.
Perpustakaan Universitas Indonesia;
3.
Perpustakaan Univeritas Hasanuddin;
4.
Perpustakaan Fakutas Hukum Universitas Hasanuddin.
Pemilihan Lokasi penelitian ini karena data-data pada instansi terebut terkait dengan permasalahan yang penulis bahas. Dengan melakukan penelitian pada empat lokasi diatas, penulis berharap dapat memperoleh hasil penelitian yang objektif dan komprehensif mengingat masalah yang diteliti.
3.2
JENIS DAN SUMBER DATA Jenis data yang diperoleh dalam skripsi ini adalah :
1.
Data Primer, yaitu data yang diperoleh di lapangan melalui hasil wawancara langung dengan pihak-pihak yang berkait yang berkompeten dibidangnya.
2.
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan terhadap berbagai macam bahan bacaaan yang berkaitan dengan objek
53
kajian dalam skripsi ini antara lain berupa buku, jurnal, artikel, dan karyakarya tulis dalam bentuk media cetak dan media internet.
3.3
TEKNIK PENGUMPULAN DATA Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan oleh penulis
adalah sebagai berikut: 1.
Penelitian pustaka ( library research), teknik pengumpuan data ini dilakukan dengan cara memelajari, mendalami, dan menganalisis dari sejumlah bahan bacaan, baik buku, jurnal, majalah, koran, atau karya tulis lainnya yang relevan dengan topik, fokus, atau variabel penelitian. Dari penelitian kepustakaan ini diharapkan dapat diperoleh landasan teori mengenai kajian dan analisis dari perpektif hukum internasional.
2.
Penelitian lapangan (field research), teknik ini dilakukan dengan cara melakukan interview (wawancara) guna memperoleh informasi yang diperlukan dan lebih meyakinkan karena dilakukan dengan cara bertanya langung dengan narasumber yang dianggap memiliki kemampuan dan pengetahuan mengenai masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini.
3.4
ANALISIS DATA Data yang diperoleh dianalisis dan disajikan secara deskriptif kualitatif,
yaitu menganalisa data yang diperoleh dari studi lapangan dan kepustakaan dengan cara menjelaskan dan menggambarkan kenyataan objek penelitian yang didapat dari hasil penelitian. 54
3.5
SISTEMATIKA PENULISAN
-
Bab 1 Pendahuluan, menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan yang diharapkan dan manfaat penulisan.
-
Bab 2 Tinjauan Pustaka, membahas mengenai pengertian-pengertian dasar, pendapat para pakar, dan materi-materi terkait dengan permasalahan yang berasal dari literatur.
-
Bab 3 Metode Penulisan, menguraikan teknik penulisan, sistematika penulisan, teknik pengumpulan dan pengolahan data.
-
Bab 4 Pembahasan, berisi analisis yang permasalahan didasarkan pada data dan/atau informasi serta tinjuan pustaka untuk menghasilkan alternatif model pemecahan masalah atau gagasan.
-
Bab 5 Penutup, memaparkan simpulan yang diselaraskan dengan pembahasan dan kerangka pemikiran sebelumnya. Saran disampaikan berupa prediksi gagasan yang diperoleh dari hasil analisis penulis.
55
BAB. IV PEMBAHASAN A.
Prinsip Common but Differentiated Responsibility (CBDR) dalam Penanganan Perubahan Iklim. Membahas tentang prinsip common but differentiated responsibility atau
yang selanjutnya disebut CBDR pada hakikatnya adalah membahas komitmen politik setiap negara di dunia yaitu sejauhmana perhatian mereka terhadap lingkungan hidup serta pembangunan berkelanjutan. Perumusan prinsip ini pada mulanya muncul setelah melihat dampak yang ditimbulkan oleh manusia dan kegiatan yang mereka lakukan di dunia yang kurang ramah terhadap sebagai ekosistem tempat mereka bernaung. Upaya mencapai kesepakatan global yang dilaksanakan secara konsisten oleh masing-masing negara bukanlah merupakan hal yang mudah. Kelompok negara berkembang selalu menuntut negara-negara maju yang sejak lama telah menikmati keuntungan dari industrialisasi agar bertanggung jawab memberikan kontribusi yang besar dalam mengatasi permasalahan perubahan iklim. Di sisi lain, kelompok negara maju berargumen bahwa proses perkembangan industri dan peningkatan intensitas penggunaan energi berbasis bahan bakar fosil yang sangat pesat di negara berkembang telah banyak memperburuk keadaan. Bahkan negara-negara berkembang dipersalahkan karena melakukan kegiatan alih guna lahan dan penebangan hutan yang melepaskan kandungan CO2, sesuatu aktivitas yang sebelumnya justru telah dilakukan bertahun-tahun lamanya oleh negara maju.
56
Perhatian terhadap perumusan prinsip CBDR ini bermula pada konferensi (UNCHE) Stockholm 1972. Maurice Strong yang menjadi sekjen konferensi ini menganggap deklarasi ini sebagai: ―A new and important - indeed and dispensible – beginning of an attempt to articulate a code of internasional conduct for the age of environment.‖ Dedklarasi Stockholm menjabarkan tentang states right and responsibility yang dianggap oleh banyak penulis sebagai suatu langkah penting untuk membangun hukum lingkungan internasional sebagai bagian dari hukum internasional yang baru.65 Adanya paradigma yang berkembang tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) juga turut menunjang perumusan prinsip ini. konsep pembangunan berkelanjutan yang bertujuan meninggalkan praktek ekonomi yang hanya mementingkan keuntungan jangka pendek dan berdampak negatif pada lingkungan, menjadi praktek ekonomi yang ramah lingkungan dan dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang. Pengembangan ekonomi hijau bukan hanya sekedar mengonversi energi dan mengurangi emisi karbon, tetapi juga mengaktifkan penggunaan sumber daya, memperluas permintaan pasar dan menciptakan lapangan pertumbuhan ekonomi baru. Perhatian terhadap baku mutu lingkungan dipandang perlu untuk dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan 65
M Daud silalahi, Hukum Lingkungan dalam sistem penegakan hukum lingkungan indonesia (bandung: Alumni, 2001) hal. 146
57
untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan, dengan memerhatikan kemampuan daya dukung lingkungan untuk memikul perubahan lingkungan (assimilative capacity) dan pemgembangan teknologi untuk mengurangi dampak negatifnya, serta kemampuan lingkungan untuk menopang pembangunan dapat ditingkatkan.66 Kerangka klasik Customery Internasional law (CIL) baru diterapkan pada perlindungan lingkungan pada akhir abad ke-19. Pengembangan ini juga berlaku dalam penguatan terhadap prinsip CBDR sebagai salah satu prinsip utama dalam penanganan perubahan iklim. Untuk itu, perlu kiranya dipahami prinsip dalam lingkungan hidup internasional ini secara umum yang diartikan sebagaimana dalam Gentini case: 67 ―a principle expresses a general truth, which guides our action, serves as a theoretical basis for the various acts of life, and the application of which to reality produces a given consequence‖ Dalam kaitannya dengan prinsip ini, perlu kiranya dikaji lebih dalam serta dihubungkan dengan global warming, dimana perlu diketahui bahwa, prinsip ini dibangun dalam rangka penanganan perubahan iklim. Jadi, pada mulanya prinsip ini tidak hanya berkonsentrasi pada global warming tetapi juga pada seluruh hal yang berkait langsung pada perubahan iklim global. Penulis dalam hal ini mencoba untuk lebih mengonsentrasikan pembahasan mengenai keberadaan CBDR
sebagai
sebuah
prinsip
penanganan
perubahan
iklim
terhadap
penanggulangan global warming saja. 66 67
Ibid hal.136 Ibid hal. 143
58
Prinsip CBDR lahir didasari oleh prinsip common heritage of mankind di mana lingkungan tempat manusia tinggal telah dianggap sebagai salah satu warisan dunia yang harus dipertahankan kondisinya. Penyediaan lingkungan yang baik bagi manusia di masa yang akan datang bagi beberapa pemerintahan di dunia dan organisasi internasional dianggap sebagai sebuah keharusan berdasarkan prinsip ekuitas dan HAM internasional, Sehingga perlu adanya upaya untuk mengurangi dan mencegah perusakan terhadap ekosistem yang terdapat di bumi. Lahirnya prinsip CBDR ini juga membuat konsep baru tentang tanggung jawab negara yang tidak hanya dibatasi oleh wilayah kedaulatan negara tersebut. Prinsip CBDR menitikberatkan bagaimana negara-negara di dunia secara bersama-sama menindaklanjuti perubahan iklim yang dalam hal ini secara radikal dipengaruhi perubahannya oleh pemanasan global (global warming). Elemen yang pertama adalah tanggung jawab umum negara untuk perlindungan lingkungan di tingkat nasional, regional dan global. Ini menyiratkan kewajiban bersama dua atau lebih negara dalam perlindungan lingkungan sumber daya atau dalam menangani ancaman perubahan lingkungan yang buruk untuk semua. Elemen kedua CBDR adalah pembedaan tanggung jawab antara pihak sesuai dengan kriteria kemapanan dan didasarkan pada gagasan ekuitas. Dalam hal
ini,
ekuitas
yang
dimaksud
adalah
bagaimana
menghargai
dan
menyeimbangkan kewajiban masing-masing pihak untuk mencapai sebuah
59
keadilan dengan tidak serta-merta mmengikuti aturan hukum dan norma-norma yang kaku tetapi dengan proses adaptasi mereka terhadap aturan dan lingkungan serta kemampuan yang dimiliki masing-masing negara. CBDR sebagai sebuah prinsip pada awalnya tidak memiliki kerangka hukum yang mengikat atau disebut juga legaly no binding atau soft law. Itu dikarenakan pada KTT Bumi Earth Summit di Rio de Janiero tahun 1992 terdapat perdebatan tentang ketentuan yang lahir setelah perumusan prinsip ini, Hal ini terjadi karena tidak adanya kesepahaman antara negara-negara yang tergolong dalam Annex I dan Annex II dengan negara-negara non-Annex di bagian penentuan hak dan kewajiban serta beban yang akan diberikan kepada setiap negara. Negara-negara Non-Annex menganggap bahwa tanggung jawab terhadap pencemaran yang terjadi selama ini dikarenakan perkembangan industri yang dilakukan oleh negara-negara yang termasuk dalam Annex I dan Annex II ditambah lagi sumbangan emisi mereka pada peristiwa perang dunia I dan perang dunia II, sedangkan bagi negara-negara tersebut, kewajiban untuk menjaga bumi merupakan perhatian bersama seluruh dunia jadi tidak perlu ada pembedaan hak dan kewajiban berdasarkan perbuatan dimasa lalu; belum lagi pembatasan terhadap emisi gas ini dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian mereka dikarenakan terjadi pembatasan terhadap kegiatan produksi yang kurang ramah lingkungan. Pada UNCED yang dihelat di Rio de Janeiro tahun 1992 di mana prinsip ini mulai dirumuskan, negara-negara yang turut hadir telah mempertanyakan tentang hal yang mendasari dan arti yang dimaksud dengan segmen 60
―Differentiated Responsibility‖. Prinsip 7 dari The Rio Declaration diterangkan bahwa pertama, perbedaan ini didasari pada perbedaan level dalam hal tanggung jawab dan sumbangsih terhadap kerusakan lingkungan; Kedua, membagi perbedaan tanggung jawab berdasarkan pembangunan berkelanjutan yang dijalankan oleh sebuah negara, serta kemampuan negara maju dalam memberikan sumbangsih dalam hal pengembangan teknologi yang ramah lingkungan dan kemampuan keuangan negara tersebut.68 Secara konsep common responsibility dibangun dengan
mendasarkan
pada kepentingan manusia di masa kini dan masa yang akan datang. Common responsibility dimaksudkan agar Negara secara nyata menyadari peran besar mereka dalam mengatur pengelolaan sistem yang lebih ramah lingkungan (green system), agar negara-negara di dunia lebih bertanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan di masa lalu dalam usaha memperoleh tujuan mereka, yaitu kesejahteraan ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat berdampak pada lingkungan. Dalam perjalanannya, negara-negara di dunia dalam usaha pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya warganya banyak menerapkan kebijakankebijakan yang kerap merusak ekosistem di dunia, seperti dalam hal percepatan ekonomi negara-negara di Eropa dan di Amerika di mana beberapa negara membangun kota-kota dan pusat industri yang belum memperhatikan lingkungan sekitar, Belum lagi guna memperoleh daerah kekuasan yang luas guna
68
Phillipe Sands, Greening Internasional Law, ( London, Earthscan Publication Ltd,1993) hal. 28-
29
61
penambahan produksi negara-negara di eropa yang terjadi pada abad ke-19 yang berujung pada terjadinya perang dunia I, serta yang terakhir yaitu perang dunia ke II. Belum lagi percepatan ekonomi yang terjadi pada akhir abad ke-19 ikut menambah andil negara-negara industri di dunia dalam menbuat kerusakan lingkungan di wilayahnya. Grafik II. Trend peningkatan konsentasi CO2 diukur dari Mauna Loa Hawaii hingga tahun 2009
Sumber: Keeling, R.F., S.C. Piper, A.F. Bollenbacher and J.S. Walker. 2009
Esensi dasar yang ingin dicapai oleh bagian pertama dari prinsip ini adalah bagaimana negara-negara di dunia secara bersama-sama berupaya semaksimal mungkin guna melestarikan lingkungan dengan tetap berdasarkan pada prinsip ekuitas. seperti pada UNFCCC 1992 artikel 3.1. menyatakan: ―....The Parties should protect the climate system for the benefit of present and future generations of humankind, on the basis of equity and in accordance with
62
their common but differentiated responsibilities and respective capabilities…..‖. Hal ini sesuai dengan Lavanya Ranjamani tentang Common Responsibility yakni tanggung
jawab
bersama
negara-negara
dalam
melindungi
lingkungan
internasional. Pandangan ini berkembang dari pendapat Common Concern, Common Heritage of Mankind, dan Province of Mankind yang sama usianya dengan hukum lingkungan internasional dan berakar dari prinsip kerjasama yang menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung-jawab, dalam semangat solidaritas, untuk menghindari pencemaran lintas batas. Sementara itu, bagian kedua dari prinsip ini, yakni differentiated responsibility, dibangun dengan didasari oleh UNFCCC, artikel 6, yang berbunyi: ― The special situation and needs of developing countries, particularly the least developed and those most environmentally vulnerable, shall be given special priority. International actions in the field of environment and development should also address the interests and needs of all countries.‖ Dalam kaitan itu, diperlukan perlakuan khusus dalam hal penempatan negara-negara berkembang untuk berperan aktif dalam hal mencegah perubahan iklim yang terjadi. Marie-Claire Cordonier Segger dan Rajat Rana menyebut prinsip ini the principle of equity and the eradication of poverty. Prinsip ini merupakan tekanan lebih lanjut dari prinsip common but differentiated responsibility. Aspek keadilan dalam prinsip ini adalah bahwa upaya mengatasi perubahan iklim tidak boleh menambah beban luar biasa bagi negara-negara yang rentan terhadap perubahan
63
iklim atau negara-negara berkembang yang masih bersusah payah untuk menggapai pertumbuhan ekonomi. Karena itu, berbasis prinsip ini, negara maju wajib membantu negara berkembang, terutama yang rentan terhadap dampak perubahan iklim dalam menyediakan pendanaan adaptasi terhadap dampakdampak tersebut.69 Sebagaimana pada Pasal 4 ayat 8, konvensi perubahan iklim menyebutkan: “ Dalam mengimpelentasikan komitmen atas pasal ini, para pihak wajib memberikan pertimbangan penuh untuk tindakan-tindakan yang perlu dalam kerangka Konvensi, termasuk tindakan-tindakan yang berkaitan dengan pendanaan, asuransi, transfer teknologi, untuk memenuhi kebutuhan dan perhatian khusus dari negara-negara berkembang dari dampak negatif perubahan iklim dan/atau dampak-dampak yang terjadi dari langkah-langkah untuk menghadapi perubahahan iklim, terutama berkaitan dengan : a. negara-negara pulau-pulau kecil; b. negara-Negara yang memiliki wilayah lebih rendah dari permukaan laut c. negara-negara yang memiliki wilayah kering atau semi-kering, area yang berhutan dan area yang hutannya mengalami kerusak an secara perlahan; d. negara-negara yang rentan terhadap bencana alam; e. negara-negara dengan daerah-daerah yang dapat menuju kekeringan dan penggurunan; f. negara-negara dengan wilayah-wilayah yang polusi kotanya tinggi; g. negara-negara dengan ekosistem yang rentan, termasuk ekosistem pegunungan; h. negara-negara dengan ekonomi yang sangat tergantung pada pendapatan dari produksi, proses-proses produksi dan ekspor dan/atau konsumsi bahan bakar fosil dan produk-produk intensif energi yang terkait; dan i. negara-negara transit dan yang hanya terdiri dari daratan.”
69
Marie-Claire Cordonier Segger (Canada/UK) dan Rajat Rana (India) CISDL (the Centre for International Sustainable Development Law), Mei 2008 hal. 18-19
64
Konvensi Perubahan Iklim membagi para pihak menjadi dua bagian besar yakni Annex I dan Non-Annex. Negara-negara Annex I diberi beberapa mandat penting, antara lain, sebagai berikut:70 1. Melakukan langkah-langkah domestik melalui kebijakan maupun tindakan
lainnya dalam mitigasi perubahan iklim yang mengurangi emisi GRK dan melindungi serta memperluas penyerapan dan penyimpanan GRK. Kebijakan dan tindakan-tindakan tersebut harus menggambarkan bahwa negara-negara Annex I menjadi yang terdepan dalam mencapai tujuan konvensi dengan menimbang kondisi nasional masing-masing seperti struktur ekonomi dan basis sumber daya, kebutuhan untuk tetap memelihara pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan hingga teknologi pendukung; 2. Melaporkan perkembangan kebijakan dan langkah-langkah yang diambil
dalam enam bulan setelah konvensi berlaku dan seterusnya memberikan laporan secara reguler kepada COP melalui sekertariat UNFCCC. Rincian mengenai apa saja yang dilaporkan tercantum dalam pasal 12 Konvensi. Beberapa di antaranya adalah daftar jenis GRK baik sumber maupun penyimpanannya yang tidak diatur dalam Protokol Montreal, deskripsi umum
mengenai
langkah-langkah
yang
diambil
atau
yang
dipertimbangkan oleh negara yang bersangkutan dalam mengimplementasi konvensi, dan informasi lain yang relevan dalam mencapai tujuan konvensi. 70
http://unfccc.int/meetings/items/4381.php, diakses tanggal 29 desember 2012, pukul 20.00 WITA
65
3. Melakukan beberapa kewajiban, antara lain: (a) berkoordinasi dengan
sesama Annex I untuk mencapai tujuan konvensi, (b) melakukan identifikasi dan tinjauan secara periodik baik atas kebijakan domestik maupun atas praktek yang mengakibatkan peningkatan GRK yang tidak diatur Protokol Montreal, (c) menyediakan sumber daya finansial baru dan tambahan atas pendanaan yang sudah ada kepada negara berkembang agar negara-negara berkembang mampu membuat kebijakan dan melakukan langkah-langkah mitigasi perubahan iklim (lihat pasal 12 paragraf 1), (d) bersama negara-negara Annex II, membantu adaptasi negara-negara berkembang yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, (e) bersama negara-negara Annex II melakukan langkah-langkah praktis dengan mempromosikan, memfasilitasi, mendanai sedapat mungkin transfer atau akses terhadap teknologi ramah lingkungan dan keterampilan yang diperlukan oleh negara lain terutama negara-negara berkembang agar memampukan negara-negara tersebut memenuhi tujuan konvensi. Sementara itu, negara-negara yang tergolong dalam non-Annex atau seringkali disebut negara-negara berkembang diberi mandat untuk membentuk kebijakan dan melakukan langkah-langkah yang perlu dalam mencapai tujuan konvensi tetapi dengan dukungan negara maju, mulai dari dukungan teknologi, pendanaan hingga pengembangan kapasitas. Pembagian para pihak dalam perkembangan selanjutnya menimbulkan perdebatan, terutama berkaitan dengan pembagian beban dan tanggung jawab
66
dalam mencapai tujuan konvensi, terutama pasca berakhirnya komitmen pertama protokol Kyoto (2008-2012). Untuk memberi jalan bagi upaya pengurangan emisi maka Protokol Kyoto membentuk tiga mekanisme yang disebut flexible mechanism. Disebut fleksibel karena ketiga mekanisme ini memberi kesempatan bagi negara-negara tersebut untuk bisa memilih mekanisme mana yang membantu mereka mengurangi emisi. Ketiga mekanisme tersebut adalah Joint Jmplementation (JI), Emission Trading (ET) dan Clean Development Mechanism (CDM).
Clean Development Mechanism CDM memberi kesempatan bagi negara maju untuk mengurangi emisi
dengan melakukan proyek di negara berkembang dan memperoleh sertifikat yang disebut Certified Emission Reductions (CERs) dari proyek-proyek tersebut. Masing-masing
sertifikat
setara
dengan
satu
ton
CO2.
CERs
dapat
diperdagangkan dan diperjualbelikan serta digunakan oleh negara-negara industri untuk mencapai target pengurangan emisi mereka di bawah Protokol Kyoto. Mekanisme ini diyakini mendorong bekerjanya prinsip sustainable development dan pengurangan emisi sambil memberikan negara-negara maju fleksibilitas dalam melakukan upaya pengurangan emisi sesuai target yang disepakati. Proyek CDM harus melalui kualifikasi yang ketat, registrasi publik dan proses pemberian CERs yang dirancang untuk memastikan pengurangan emisi yang nyata, terukur dan dapat diverifikasi yang melampaui apa yang terjadi tanpa proyek atau Business as Usual (BAU). Mekanisme operasional CDM ditinjau oleh Board
67
Eksekutif CDM dan board eksekutif ini mengarahkan proyek terutama pada negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto. Supaya bisa dicatat, sebuah proyek pertama-tama harus disetujui oleh Designated National Authorities (DNA). Validasi proyek selanjutnya dilakukan melalui Designated Operational Entity (DOEs) sebagai perangkat untuk sertifikasi proyek sebagaimana tercantum dalam pasal 12(5). DOEs juga punya wenang mensertifikasi pengurangan emisi yang diperoleh melalui proyek. Mekanisme CDM dilihat oleh banyak orang sebagai pembuka jalan global bagi investasi lingkungan dan skema kredit yang menyedikan instrumen offset emisi yang terstandar melalui CERs. CDM merupakan mekanisme yang mengejutkan dalam perundingan membentuk Protokol Kyoto. Pada pertemuan sebelumnya, delegasi Brazil mengajukan proposal untuk membentuk Green Development Fund, namun proposal tersebut tidak banyak dibicarakan dalam perundingan Kyoto. Bentuk dan dasar CDM tertuang dalam pasal 12, Keunikan pasal 12 adalah proyek Annex I tersebut bisa dilakukan di negara berkembang yang tidak membuat komitmen penurunan emisi di bawah Protokol Kyoto, di luar negara Annex I atau mekanisme offset. Pasal 12 secara eksplisit menyokong negara-negara Non-Annex untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan berkontribusi terhadap tujuan utama konvensi dan membantu Annex I dalam memenuhi kewajiban mereka sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 protokol Kyoto.71
71
David Freestone and Streck, Charlotte, Legal Aspects of Carbon Trading: Kyoto, Copenhagen and Beyond, ( Oxford University Press, London 2009), hal. 11
68
Joint Implementation72 Mekanisme Joint Implementation yang selanjutnya disebut JI diatur dalam
pasal 6 Protokol Kyoto. JI memberikan kesempatan bagi Negara Annex B Protokol Kyoto untuk melakukan pengurangan atau pembatasan emisi agar memperoleh Emission Reduction Units (ERUs) dari proyek pengurangan emisi atau penyerapan emisi dari pihak Annex B yang lain. Satu ERUs setara dengan satu ton CO2 yang bisa dihitung sebagai upaya untuk mencapai target Kyoto. JI menyediakan beberapa cara yang fleksibel dan efisien bagi Negara Annex B dalam memenuhi komitmen mereka di bawah Kyoto, sementara negara tuan rumah tempat proyek dilakukan mendapat benefit dari investasi asing dan transfer teknologi. Seperti halnya CDM, proyek JI harus mampu mengurangi emisi baik dari sumber maupun perluasan perangkap emisi dengan penyerapan yang melampaui BAU. Proyek harus mendapat persetujuan dari negara tuan rumah proyek dan peserta proyek swasta harus mendapat pengesahan dari negara pihak untuk bisa berpartisipasi dalam proyek.
Emission Trading Perbandingan emisi Negara maju dan berkembang dapat dilihat pada
grafik berikut: Grafik III. Perbandingan emisi antara negara maju dengan negara berkembang.
72
http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/4577.php , diakses tanggal 27 desember 2012, pukul 20.23 wita
69
Sumber: Martin Khor, South Centre, June 2009
Target pengurangan emisi telah diwujudkan melalui jatah emisi yang dikenal dengan assigned amount (jatah yang diperbolehkan) dalam periode komitmen pertama 2008-2012. Jatah emisi dibagi ke dalam Assigned Amount Units (AAUs) atau unit jatah yang disepakati. Konsep ini mendasari skema perdagangan emisi dan secara hukum tercantum dalam pasal 17 Protokol Kyoto. Perdagangan emisi dalam skema ET membolehkan sebuah negara Annex I untuk mencadangkan unit emisi dari jumlah emisi yang diperbolehkan, dengan syarat cadangan tersebut tidak untuk dikonsumsi. Cadangan yang berlebihan tersebut dapat dijual ke negara Annex I lainnya yang melampaui jatah emisi yang diperbolehkan. Dengan demikian, sebuah komoditi baru telah dibuat dalam bentuk pengurangan atau perangkap emisi. Karena karbondioksida merupakan gas utama yang diperangkap atau dikurangi, maka orang secara sederhana menyebut proses ini sebagai perdagangan karbon. Seperti komoditi lainnya, karbon saat ini
70
memiliki rute pasar dan diperdagangkan di antara pelaku pasar, sehingga dikenal dengan sebutan pasar karbon. Selain perdagangan emisi aktual, Protokol Kyoto juga mengakui skema perdagangan emisi dari beberapa unit yang masing-masingnya setara dengan satu ton karbon. Unit-unit tersebut adalah: a. Removal Unit (RMU) yang mengacu pada aktivitas land use, land-use change and forestry (LULUCF) atau tata guna lahan dan perubahan tata guna lahan dan hutan melalui kegiatan reforestasi dan aforestasi b. Emission Reduction Unit (ERU) yang diperoleh lewat skema proyek Joint Implementation c. Certified Emission Reduction (CER) yang diperoleh lewat aktivitas proyek dalam skema Clean Development Mechanism Transfer dan perolehan para pihak lewat unit-unit ini diamati dan dicatat melalui sistem pencatatan di bawah Protokol Kyoto. Pada level nasional, negara pihak (Annex I) diwajibkan untuk memelihara cadangan ERUs, CERs dan AAUs/RMUs dalam catatan nasional. Cadangan ini dikenal dengan commitment period reserve, dan tidak boleh kurang dari 90 persen AAU negara yang bersangkutan. Dari segi skala geografis, perdagangan emisi dibentuk sebagai instrumen kebijakan iklim baik pada level nasional maupun regional. Melaui skema perdagangan, pemerintah dapat merancang kewajiban emisi yang harus dicapai oleh entitas yang akan berpartisipasi dalam skema tersebut. Di antara pasar yang
71
ada, skema Perdagangan Emisi Uni Eropa (European Union Emissions Trading Scheme/EUETS) merupakan operasi pasar yang paling besar hingga saat ini. B.
Implementasi Prinsip Common But Differentiated Responsibility Terhadap Negara-Negara Sebagai Subjek Hukum Internasional
CBDR dalam implementasinya dapat dilihat dari tiga faktor penilaian, yaitu: a. dalam hal interpretasi sebuah negara terhadap prinsip ini, b. dalam hal kesepakatan terhadap ketentuan penurunan emisi setiap negara, dan c. dalam hal penerapan mekanisme protokol Kyoto sebagai satu-satunya instrument hukum internasional yang disepakati bersama oleh Negaranegara di dunia. Dalam
hal
interpretasi
sebuah
negara
terhadap
prinsip
CBDR,
sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, prinsip CBDR pada mula pembentukannya pada UNFCCC di Rio de Janeiro tahun1992 tidak melahirkan mekanisme yang mengikat secara hukum selain bahwa semua negara bersepakat akan perlunya tindakan bersama dalam hal pelestarian lingkungan dan pada penggolongan negara-negara di dunia pada tiga golongan. Negara-negara yang tergolong Annex I yaitu negara maju dengan sumbangan emisi yang besar yang memberi dampak signifikan pada perubahan iklim radikal dunia, selanjutnya yaitu negara-negara
yang memiliki kewajiban penurunan emisi seperti Amerika
72
Serikat, Rusia dan Jepang, serta yang terakhir yaitu negara-negara yang tergolong pada non-Annex yang merupakan negara-negara berkembang. Akan tetapi kesepakatan ini berkesan semu bagi sebagian besar negaranegara maju dikarenakan penggolongan yang dilakukan menitik-beratkan pandangan pada sejarah negara-negara tersebut pada masa revolusi industri, perang dunia I dan perang dunia II yang bagi sebagian negara-negara tersebut tidak mencerminkan ekuitas. Negara maju pada mulanya meminta agar standar penggolongannya dititikberatkan pada sumbangsih setiap negara terhadap kerusakan lingkungan pada saat itu Berdasarkan poin penilaian yang dilahirkan oleh asesmen pertama IPCC yang diberi mandat untuk melakukan asesmen terhadap situasi pengetahuan tentang sistem iklim dan perubahan iklim, lingkungan, dampak sosial dan ekonomi perubahan iklim dan strategi respons yang memungkinkan. Sementara itu, bagi negara berkembang hal ini akan memberatkan pembiayaan bagi negara mereka dikarenakan ketidak mapanan ekonomi, kurangnya ketersediaan pangan yang baik, kurangnya kemampuan teknologi yang memadai, serta pendanaan guna menangani dampak perubahan iklim, berupa bencana alam yang memperparah pembiayaan mereka. Walaupun pada akhirnya tercapai kesepakatan tentang prinsip ini. tetapi keraguan terhadap keidealan prinsip ini dalam menangani perubahan iklim kerap saja muncul pada setiap COP yang berlangsung belakangan, serta kerap menimbulkan ketidak-sepahaman antara negara yang tergolong pada Annex I dengan Negara-negara non-Annex dalam hal pengambilan kebijakan yang berdasar pada prinsip ini. 73
Selanjutnya, dalam hal pengurangan emisi, segera setelah Konvensi Kerangka Kerjasama Persatuan Bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC-United Nations Framework Convention on Climate Change) disetujui pada KTT Bumi (Earth Summit) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, negaranegara peserta konvensi mulai melakukan negosiasi-negosiasi untuk membentuk suatu aturan yang lebih detil dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (selanjutnya disebut GRK). Pada saat pertemuan otoritas tertinggi tahunan dalam UNFCCC ke-3 (Conference of Parties 3 – COP) diadakan di Kyoto, Jepang, Protokol Kyoto diadopsi sebagai pendekatan untuk mengurangi emisi GRK. Kepentingan protokol tersebut adalah mengatur pengurangan emisi GRK dari semua negara-negara yang meratifikasi. Protokol Kyoto ditetapkan tanggal 12 Desember 1997, kurang lebih 3 tahun setelah Konvensi Perubahan Iklim mulai menegosiasikan bagaimana negara-negara peratifikasi konvensi harus mulai menurunkan emisi GRK mereka. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi atau pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050. Untuk mengakomodasikan kepentingan antara kedua pihak (yang dalam hal ini adalah negara yang tergolong Annex I dan II serta Negara Non-Annex)
74
Protokol Kyoto mengatur soal pengurangan emisi tersebut dengan lebih tegas dan terikat secara hukum (legally binding). Tabel. 1. Tabel susunan negara yang tergolong Annex I dan II UNFCCC Rio de Janeiro tahun 1992: Annex I Australia Austria Belarusa Belgium Bulgariaa Canada Croatiaa * Czech Republica * Denmark European Economic Community Estoniaa Finland France Germany Greece Hungarya Iceland Ireland Italy Japan Latviaa Liechtenstein* Lithuaniaa Luxembourg Monaco* Netherlands New Zealand Norway Polanda Portugal Romaniaa Russian Federationa Slovakiaa* Sloveniaa* Spain Sweden
Annex II Australia Austria Belgium Canada Denmark European Economic Community Finland France Germany Greece Iceland Ireland Italy Japan Luxembourg Netherlands New Zealand Norway Portugal Spain Sweden Switzerland United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland United States of America
75
Switzerland Turkey Ukrainea United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland United States of America Countries that are undergoing the process of transition to a market economy. * Publisher‘s note: Countries added to Annex I by an amendment that entered into force on 13 August 1998, pursuant to decision 4/CP.3 adopted at COP.3. Publisher‘s note: Turkey was deleted from Annex II by an amendment that entered into force 28 June 2002, pursuant to decision 26/CP.7 adopted at COP.7. a
Protokol ini telah disepakati pada Konvensi ke-3 Perubahan Iklim (The United Nations Frame Work Convention on Climate Change disingkat UNFCCC) yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang tanggal 11 Desember 1997. Pada saat itu Protokol Kyoto ditandatangani oleh 84 negara dan tetap terbuka untuk ditandatangani dari tanggal 16 Maret 1998 sampai 15 Maret 1999 oleh negaranegara lain di Markas Besar PBB, New York. Namun demikian, bagi negara pihak yang belum menandatanganinya dapat mengaksesi protokol tersebut setiap saat. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004. Pada waktu itu Protokol telah ditandatangani oleh 84 negara. Berdasarkan penjelasan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (RI), Protokol Kyoto merupakan satu-satunya instrument hukum internasional yang lahir guna mendukung penerapan prinsip CBDR ini. Mereka berpendapat bahwa Protokol inilah yang membuat posisi hukum Prinsip CBDR ini menjadi legaly binding dikarenakan serangkaian ketentuan dan kewajiban yang akan mengikat negara-negara yang meratifikasinya, termasuk dalam hal ketentuan 76
kewajiban pengurangan emisi, yang menurut penulis sendiri, merupakan unsur penting tercapainya misi dari prinsip ini. Protokol Kyoto (PK) merupakan satu-satunya hasil perundingan kerangka hukum untuk membuat Konvensi Perubahan Iklim bisa diterapkan. Pembentukan protokol sudah mulai diinisiasi sejak COP pertama 1995 yang menghasilkan Mandat Berlin untuk membentuk Ad-hoc Group on Berlin Mandate (AGBM). Perdebatan panjang selama dua tahun akhirnya menghasilkan dokumen protokol, tetapi kesepakatan implementasinya tidak mudah. Hingga saat ini, Protokol Kyoto merupakan satu-satunya langkah konkrit konvensi yang berlaku mengikat secara hukum. Protokol Kyoto secara eksplisit mencantumkan enam GRK yang harus dikurangi oleh negara maju, yakni Carbon dioxide (CO2), Methane (CH4), Nitrous oxide (N2O), Hydrofluorocarbons (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs) dan Sulphur hexafluoride (SF6). Berdasarkan perhitungan GRK nasional yang dikomunikasikan ke COP, disepakati bahwa ratarata target pengurangan emisi negara maju adalah 5,2 % di bawah level 1990. Metode pengurangan emisi Kyoto adalah menggunakan jatah (assigned amount). Sebuah negara tidak boleh melebihi jatah tertentu. Jika lebih, maka negara tersebut diwajibkan menurunkan emisinya dalam jumlah tertentu. Sebaliknya, beberapa negara tidak sanggup menghabiskan jatah yang disepakati sehingga untuk negara tersebut terjadi saldo emisi yang kemudian dikenal dengan hot air. Karena itu, pada tabel terlihat negara-negara yang harus mengurangi 8%, tapi juga nampak negara-negara yang bisa menambah emisi hingga 10%. Protokol Kyoto menyebut dua kategori negara ini sebagai Annex B (lihat tabel II): 77
Tabel II. Negara-negara yang masuk dalam Annex B Protokol Kyoto dan target pengurangan emisi mereka Negara
Target (1990 2008/2012) EU-15 negara, Bulgaria, Republik Ceko, Estonia, Latvia, -8% Liechtenstein, Lithuania, Monaco, Rumania,Slovakia,Slovenia, Swis US -7% Kanada, Hongaria, Jepang, Polandia -6% Kroasia -5% Selandia Baru, Federasi Rusia, Ukraina 0 Norwegia +1% Australia +8% Islandia +10%
Pada 2007, negara-negara yang tercatat dalam Annex B bertambah karena protokol membuka peluang amandemen atas negara-negara yang menjadi Annex B. Amandemen negara-negara Annex B pun diterima pada November 2006, melalui keputusan 10/CMP.2. Sejak itu, ada penambahan 22 negara Annex B Protokol Kyoto. Menurut Protokol Kyoto, untuk mencapai target di atas maka negaranegara maju diberi kebebasan untuk mencari cara yang paling murah dan mudah sesuai kemampuan negara dan situasi nasional dan pada akhirnya bertujuan menghindari kegoncangan ekonomi domestik dan global. Karena itu, beberapa kemudahan diberikan, antara lain 15 negara Eropan Union, disebut juga EU, bersama-sama saling menyokong (tanggung renteng) pencapain target bersama EU di bawah skema yang disebut bubble. Menurut skema ini, masing-masing negara anggota EU memiliki target individual yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan internal EU tapi gabungan capaian individual akan mendukung target bersama pengurangan 8%.
78
Protokol juga memberi kemudahan bagi negara-negara dalam transisi ekonomi atau EITs untuk menentukan sendiri periode dimulainya perhitungan emisi atau disebut baseline di luar 1990. Kemudahan diberikan karena asumsi bahwa negara-negara tersebut sedang dalam proses transisi. Beban pengurangan emisi tidak boleh membuat transisi ekonomi ambruk. Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB : “ Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca – karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC – yang dihitung sebagai ratarata selama masa lima tahun antara 2008-2012. Target nasional berkisar pada pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia. “Menurut penelitian Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional AS, produsen utama gas rumah kaca adalah negara-negara industri maju. Amerika Serikat pada tahun 1990 tercatat sebagai juara dunia, dengan memproduksi lebih dari enam milyar ton gas rumah kaca per tahun, sedangkan Jerman pada tahun 1990 menjadi runner up, dalam memproduksi gas rumah kaca sekitar 1,2 milyar ton. Sementara itu, Jepang memproduksi sekitar 1,2 milyar ton gas rumah kaca pada tahun 1990 lalu.” 79
Hingga Februari tahun 2005, 141 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria. Ada enam negara yang telah menanda tangani, tetapi belum meratifikasi protokol itu. Tiga di antaranya adalah negara-negara Annex B: Australia (tidak berminat untuk meratifikasi), Monako, Amerika Serikat (pengeluar terbesar gas rumah kaca, tidak berminat untuk meratifikasi). Sisanya adalah: Kroasia, Kazakhstan, dan Zambia. AS, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah bersatu untuk melawan strategi yang mengatur adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang. Rusia juga sempat menarik dukungan mereka terhadap Protokol Kyoto. Hal ini sempat membuat dunia khawatir Protokol Kyoto tidak akan berkekuatan hukum secara internasional karena tidak memenuhi persyaratannya. Persyaratan Protokol Kyoto yang harus dipenuhi adalah keharusan bahwa Protokol itu diratifikasi oleh minimal 55 negara dan total emisi negara maju yang meratifikasi minimal 55% total emisi negara tersebut di tahun 1990. Namun demikian, akhirnya pada November 2004 Rusia meratifikasi Protokol Kyoto ini. Dalam perkembangannya selanjutnya menuju komitmen priode kedua protokol Kyoto,
kekhawatiran Negara-negara berkembang terkait kebuntuan
pelaksanaan protokol ini pun perlahan-lahan terwujud, diawali dengan tidak kunjung adanya pernyataan persetujuan terhadap protokol Kyoto priode kedua oleh Amerika Serikat dan Kanada. Krisis ekonomi yang mengguncang eropa,
80
Amerika serta negara-negara maju di Asia ikut memperparah proses negosiasi ini dikarenakan kekhawatiran mereka jika pengurangan emisi yang akan diterapkan ini akan mempengaruhi industri dalam negeri mereka yang menggunakan bahanbahan yang kurang ramah lingkungan. Meskipun begitu, perundingan selanjutnya menampilkan situasi yang berbeda. Dalam perdebatan yang berkembang, negosiasi perundingan tidak menghadirkan prinsip common but differentiated responsibility sebagai sharing beban yang adil berbasis tanggung jawab historis tapi menimbulkan tafsir jamak yang bertarung, sarat kepentingan ekonomi-politik. Amerika, misalnya, mendorong
interpretasi
prinsip
tersebut
dengan
menekankan
common
responsibility atau tanggung jawab bersama sebagai prioritas sebelum menentukan siapa yang bertanggung jawab. Seketaris Negara di bawah Presiden Bush, Jr, Timothy Wirth mengungkapkan sebagai berikut:73 ― Let me be clear — developing countries must participate in this treaty. The rationale for developing countries to act is clear: while at present they are responsible for less than half of global emissions, over the next decades, their percentage of the total will grow, despite the fact that their per capita emissions will continue to remain far below our own.We must address this trend of rising emissions if we are to truly make a dent the long-term problem.‖ (Saya perjelas dulu duduk persoalannya. Negara berkembang harus berpartisipasi dalam perjanjian ini. Alasan mengapa negara berkembang harus berpartisipasi adalah jelas: meskipun saat ini mereka hanya bertanggung jawab terhadap kurang dari setengah emisi global namun dalam dekade mendatang total presentase emisi mereka akan meningkat, meskipun emisi per kapita mereka dalam kenyataannya masih lebih rendah dari kita [negara maju]. Kita harus mengatasi kecenderungan
73
Bernadus steni, perubahan Iklim dan perdebatan hak, (perkumpulan HuMa, 2010), hal,40, dapat pula dilihat pada Albert Mumma dan Hodas, David, Designing a Global Post-Kyoto Climate Change Protocol that AdvancesHuman Development, (Widener University School of Law, 2008), hal. 627
81
peningkatan emisi negara berkembang tersebut saat ini jika kita ingin membuat usaha mengatasi persoalan jangka panjang menjadi lebih bergigi).
Posisi Amerika didukung oleh beberapa pakar hukum, antara lain Albert Mumma dan David Hodas, masing-masing dari Fakultas Hukum Nairobi, Kenya dan Fakultas Hukum Widener University, Amerika. Menurut kedua ahli hukum tersebut Protokol Kyoto telah menghilangkan makna dari prinsip common but differentiated responsibility dengan hanya memberi beban bagi negara maju. Argument mereka adalah sebagai berikut:74 ― Kyoto Protocol ―common but differentiated responsibilities‖ lost its original meaning that all nations have a duty to protect common resources, but the nature and extent of each nation‘s obligations will be equitably allocated, duty being the common denominator. Instead, the concept has come to be understood as excluding developing nations from climate change obligations. The adjectives remain—common and differentiated, but the noun—responsibility—they modify has been removed from the term. There is no necessary reason why common but differentiated responsibility should mean no responsibility. Thus, Kyoto is flawed for the reasons described above and because it is a false articulation of common but differentiated responsibilities.‖ (Common but differentiated responsibility dalam Protokol Kyoto telah kehilangan makna aslinya yakni semua bangsa memiliki kewajiban untuk melindungi sumber daya bersama. Karakter dan sejauh mana tanggung jawab setiap bangsa akan dialokasikan secara layak, namun kewajiban tetap menjadi sharing bersama. Protokol Kyoto sebaliknya telah memberi makna dengan mengecua likan negaranegara berkembang dari tanggung jawab perubahan iklim. Kata sifatnya tetap tertinggal yakni common and differentiated, tetapi kata bendanya, responsibility, dimodifikasi sedemikian rupa agar dikecualikan dari konsep ini. Tidak ada alasan yang masuk akal mengapa common but differentiated responsibility harus dimaknai “tidak ada responsibility”. Dengan demikian, Kyoto mengkadali prinsip common but differentiated responsibility karena mengacu pada alasan yang diuraikan di atas dan juga merupakan artikulasi yang keliru terhadap makna prinsip tersebut). Tampak jelas argumen Albert Mumma dan David Hodas menuntut pertanggungjawaban negara berkembang terhadap perubahan iklim. Common 74
Ibid, hal. 41
82
responsibility yang didukung dua pakar hukum ini mempunyai arti bahwa semua negara memiliki beban yang sama dalam menangani perubahan iklim. Tidak ada lagi “dosa” pelepasan emisi di masa lalu karena perubahan iklim semata-mata berhubungan dengan masa depan bersama atau common future. Konsep tanggung jawab bersama sebetulnya bukan sesuatu yang baru. Sebelum laporan Brutland 1987 yang berjudul “Our Common Future”, konsep common responsibility kerap dipakai dalam prinsip kewajiban para pihak terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM), terutama hak sipil politik 1966 yang mendorong tanggung jawab mutlak negara untuk menghargai dan memastikan hak-hak tersebut diakui, tanpa perduli kondisi-kondisi tertentu atau tidak ada pengecualian. Pada prinsipnya tekanan terhadap tanggung jawab negara yang cenderung bersifat memaksa muncul karena sejarah pelanggaran HAM masa lalu. Negara pada masa lalu seringkali menjadi aktor utama pelanggaran HAM baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Karena itu, instrumen HAM internasional mendesak agar negara mengambil peranan untuk memastikan HAM terwujud. Belajar dari sejarah pergulatan HAM, argumen Albert Mumma dan David Hodas telah melewatkan pertimbangan historis-politik yang menjadi alasan mengapa negara maju memiliki beban lebih besar daripada negara berkembang. Secara historis, merekalah biang perubahan iklim dan peletak batu pertama model pembangunan modern yang eskploitatif. Di sisi lain, negara maju sebagai sumber emisi terbesar bukannya tidak mampu mengurangi emisi domestik, melainkan tidak ingin melakukan tindakan tersebut karena akan mengubah cara hidup mereka yang terlanjur nyaman dan mapan mengkonsumsi bahan bakar penyebab 83
utama GRK. Amerika, misalnya, jika melakukan investasi efisiensi energi dan energi bersih, pada tahun 2020 diperkirakan akan memotong emisi CO2 dari industri power hampir mencapai 50% di bawah level 1990 dan menabung $350/tahun dari rata-rata kebutuhan energi rumah tangga. Satu studi yang lain memperkirakan bahwa pengembangan 20% - 30% dalam perekonomian Amerika, akan meningkatkan GDP (Gross Domestic Product) kira-kira 0,1% pada tahun 2030 dan menghasilkan perolehan total antara 0,5 – 1,5 juta pekerjaan75. Isu yang utama dengan demikian adalah keadilan. Sebagaimana diuraikan oleh Virak Prum dari Universitas Nagoya, perubahan iklim yang dipicu sebagian besar oleh GRK dari negara maju telah mengakibatkan penderitaan bagi banyak negara berkembang yang tidak siap dari aspek apapun (teknologi dan sumber daya lainnya) untuk menghadapinya. Sangat tidak adil jika negara-negara yang baru berkembang kemudian menderita akibat perubahan iklim dan segera dipaksa memikul tanggung jawab mengatasi perubahan iklim yang secara historis bukan merupakan akibat perbuatan negara tersebut76. Namun demikian, akibat isu keadilan yang mewarnai perdebatan common but differentiated responsibility, Amerika yang diikuti Australia menyatakan diri keluar dari Protokol Kyoto. Amerika di bawah Presiden Bush, menyatakan Protokol Kyoto tidak sesuai dengan kepentingan ekonomi Amerika dan tidak lagi menjadi hasil perundingan yang berbasis sains tetapi dikemudikan oleh kepentingan politik negara berkembang. Menurut delegasi Amerika, emisi masa 75 76
Ibid hal, 37 Virak Prum, Climate Change and North-South Divide: Between and Within,( Forum of International Development Studies, March 2007), hal.231
84
lalu merupakan cerita lama dan Amerika menerima prinsip common but differentiated responsibility dalam konvensi bukan karena Amerika menerima tanggung jawab historis pengurangan emisi tapi semata-mata karena Amerika memiliki tingkat kemakmuran yang lebih baik. Dalam hal ini, tanggung jawab berbeda, menurut Amerika, disebabkan oleh kemakmuran yang berbeda. Australia, di bawah John Howard, sekutu terdekat Bush, melihat Protokol Kyoto sebagai ancaman. Di depan parlemen, Howard menyatakan77; ―It is not in Australia's interests to ratify. The protocol would cost us jobs and damage our industry‖ (bukan merupakan kepentingan Austrilia untuk meratifikasi. Protokol ini akan membebani kita dengan setumpuk pekerjaan dan menghancurkan industri kita). Australia pada akhirnya kembali ke Kyoto setelah pergantian rezim dari Howard ke Kevin Rud. Meski tanpa Amerika, Protokol Kyoto telah meletakan dasar komitmen pengurangan emisi yang berlaku mengikat untuk negara maju. Pasca komitmen pertama Protokol Kyoto (2008 – 2012), komitmen pengurangan emisi harus diteruskan sebagai wujud pelaksanaan konvensi. Dalam perundingan komitmen jangka panjang baik Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action atau AWG LCA maupun Ad Hoc Working Group on Further Commitment for Annex I Parties under Kyoto Protocol atau AWG-KP, target pengurangan emisi terus mengalami perdebatan. Usulan yang tercantum dalam AWG KP adalah pemotongan emisi antara 30-45 % di bawah level 1990 untuk periode komitmen 2013 – 2018 atau 2013 – 2020. Akan tetapi, semua usulan tersebut masih dalam tanda kurung yang artinya belum ada kesepakatan apapun.
77
http://www.timeshighereducation.co.uk/story.asp?storyCode=169527§ioncode=26, diakses pada tanggal 27 desember 2012, pukul 20.25 Wita
85
Sementara itu, untuk tindakan jangka panjang, AWG LCA mencantumkan dua usulan. Pertama, pemotongan agregat emisi global di bawah level tahun 1990 antara 50%, 85% dan 95% pada tahun 2050. Tiga usulan persentase ini masih diperdebatkan, belum ada kesepakatan. Kedua, pemotongan emisi negara maju antara 75–85 % atau paling tidak 80-95% atau lebih dari 95% di bawah level 1990 pada tahun 2050. Ketiga usulan persentase ini pun masih dalam perdebatan sehingga masih dicantumkan dalam tanda kurung. Hingga COP 15 Copenhagen, belum jelas benar apa proposal konkrit negara maju dalam merespons pemotongan emisi domestik. EU yang selama ini dikenal membawa kepemimpinan yang baik dalam perundingan awalnya mengusulkan angka 80-95% pada 2050 dan 20 sampai 30% pada 2020 jika negara-negara maju lainnya mensepakati tindakan yang sama. Namun demikian, komitmen terakhir EU hanya berani menyebut angka 20% untuk tahun 2020. Amerika bahkan lebih rendah karena mencantumkan penurunan 17% dengan baseline 2005. Artinya, hanya naik 4% dari baseline 1990. China dan India sebagai negara berkembang justru menaruh komitmen pengurangan emisi lebih besar, masing-masing 40-45% dan 20-25%.
86
Grafik IV. Grafik emission market negara-negara penyumbang emisi terbesar didunia
Sumber: http://ww w.fxxcapital.com/emissionsmarket.html, 8 April 2010
Kecenderungan lain memperlihatkan bahwa di samping mencantumkan angka pengurangan emisi, negara-negara maju juga mendorong offset untuk meraih target yang dimaksud. Offset adalah strategi pemotongan emisi yang dibolehkan oleh rezim Protokol Kyoto yang memberikan peluang terhadap upaya negara maju untuk mengejar target pengurangan emisi domestik melalui proyek yang berbiaya ekonomi murah di negara berkembang. Dalam paket “Climate dan Energi”, hingga 2020 EU membolehkan offset lebih dari setengah tanggung jawab pengurangan emisi dalam negeri. Sektor di luar EU ETS seperti transportasi permukaan dapat memperoleh 73% pengurangan karbon pada periode 2013-2020 melalui pembelian CERs. Kurang lebih usaha pengurangan 781 juta ton CO2 dari 1.07 milyar ton CO2 di luar EU ETS yang menjadi tanggung jawab EU dapat diperoleh melalui pembelian CERs. Sementara itu, sektor dalam EUTS dapat melakukanh 50% usahanya pada 2008-2020 melalui CERs yang mewakili 1,6 milyar ton CO2. Artinya, jika kredit CERs tersedia, semuanya akan digunakan EU
87
karena kredit CERs jauh lebih murah dari kredit yang tersedia lewat jalur pasar perdagangan emisi EU78. Upaya ini memperlihatkan bahwa negara maju telah mempergunakan mekanisme Kyoto secara tidak proporsional. Menurut Protokol Kyoto, penggunakan mekanisme Kyoto hanya merupakan pelengkap dan bukan pengganti upaya penurunan emisi domestik. Pada saat yang sama, negara yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto, seperti Amerika, juga mendorong skema offset. Dari komitmen 17% pengurangan emisi, Amerika menaruh 10% offset79. Atas dasar itulah, diputuskan untuk diadakan kembali pertemuan guna membahas komitmen bersama terhadap penanggulangan perubahan iklim akibat Global warming. Pertemuan ini dihelat tanggal 20-22 juni 2012 di Rio de Janiero yang disebut Rio+20, guna membahas kembali komitmen mereka dalam hal penanggulangan perubahan iklim, yang kemudian melahirkan pernyataan politik soal kelayakan prinsip ini. Hasil dari Rio +20 pada bab II pembaharuan komitmen politik menyatakan bahwa: ―we reaffirm all the principles of the Rio Declaration on Environment and Development, including, inter alia, the principle of common but differentiated reesponsibilities, as set out in principle 7 of the Rio declaration.‖ “ we reaffirm our commitment to fully implement the rio declaration on environment an development, Agenda 21, ….‖ Pada kenyataannya pertemuan ini hanya melahirkan pernyataan politik yang bersifat tidak mengikat, sehingga tetap melahirkan keraguan akan pelaksanaannya.
78 79
Bernadius steni, op cit, hal.39 Ibid
88
Pada COP ke-18 yang dihelat di doha, Qatar, dua negara maju, sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, Kanada dan Amerika Serikat keluar dari Protokol Kyoto periode kedua, seperti dilansir secara resmi oleh delegasi RI. Sementara tiga negara maju lainnya, Rusia, Jepang dan Selandia Baru memutuskan tetap menjadi anggota Protokol Kyoto tetapi tidak berkomitmen untuk menurunkan emisi. Selebihnya, 37 negara maju dan Uni Eropa menyepakati pelaksanaan periode kedua selama 8 tahun pelaksanaan Protokol Kyoto, terhitung mulai 1 Januari 2013. Keseluruhan nilai emisi karbon negara-negara ini adalah sekitar 20% atau kurang dari seluruh emisi karbon dunia. Amerika Serikat yang tidak pernah meratifikasi Protokol Kyoto beralasan bahwa, keengganan mereka terlibat dalam protokol ini karena dikhawatirkan akan mengganggu kondisi pereknomian dalam negeri mereka. Hasil ini jelas mengecewakan, setelah berkali-kali upaya meminta komitmen negara maju untuk mengurangi emisi mereka juga tidak membawa hasil.80 Hal serupa juga terjadi di sektor pendanaan untuk menekan perubahan iklim. Upaya negara-negara berkembang untuk memastikan pendanaan sebesar 60 miliar dollar AS dalam mid-term financing antara tahun 2013 hingga tahun 2015 juga tidak membawa hasil akibat keengganan negara maju untuk mendorong pembentukan mekanisme Internaisonal Loss and Damage akibat perubahan iklim. Ketiadaan keputusan dalam mekanisme ini dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kesenjangan pendanaan setelah berakhirnya pendanaan jangka pendek senilai 30 miliar dollar AS, yang berakhir tahun 2012 ini. 80
http:// www.google.com/ COP-18 Doha Negara-Negara Maju Lepas Tangan dari Protokol Kyoto _ Mongabay.co.id.htm, diakses tanggal 27 desember 2012, pukul 19.30 wita.
89
Kegagalan perundingan ini membuktikan bahwa implementasi terhadap Prinsip CBDR kemungkinan akan sulit untuk diwujudkan dikarenakan penolakan terhadap komitmen pengurangan emisi nasional oleh negara-negara tersebut yang akan mengganggu ketiga mekanisme yang telah dilahirkan oleh Protocol Kyoto, baik Clean Development Mechanism (CDM), maupun Joint Implementation, serta emission trading yang mendasari programnya dengan kemampuan pengurangan emisi yang dapat dilakukan oleh sebuah negara. Bagi negara-negara berkembang hal ini menambah kesulitan mereka dalam pembiayaan program Protokol Kyoto yang telah mereka ratifikasi, sumber pendanaan yang tadinya bisa diproleh dari negara-negara maju diatas sebagai ganti kerugian terhadap emisi yang mereka keluarkan terancam tidak tersedia lagi. Grafik V. Grafik besaran emisi setiap negara
Berdasar prediksi Departement of Energy Amerika Serikat, hanya India yang berpotensi menjadi emiter karbon terbesar di dunia setelah AS dan Cina.
90
Perkembangan negosiasi perubahan iklim hingga Protokol Kyoto memang menunjukan
bahwa
diterjemahkan sebagai
prinsip
common
but
differentiated
responsibility
tanggung jawab negara maju untuk melakukan
pengurangan emisi. Karena itu, Protokol Kyoto tidak menambahkan kewajiban baru yang ditujukan kepada negara berkembang tapi mengikuti pemahaman yang berkembang sebelum dan selama konvensi perubahan iklim diformulasikan, yakni negara maju harus berada di depan dalam mengatasi isu perubahan iklim. Kegagalan diplomasi pada COP-COP selanjutnya membuat impian penurunan emisi ini gagal terlaksana hingga berakhirnya COP-18 tanggal 7 desember 2012. Bagi penulis sendiri perlu adanya perubahan terhadap pembebanan yang dilakukan yang berdasarkan historis dari negara-negara tersebut. Adanya IPCC bisa menjadi solusi kongkrit terhadap standar penilaian peletakan tanggung jawab yang diberikan kepada setiap negara, perlu adanya perubahan terhadap penggolongan Negara Annex I dan Non-Annex yang lebih mendasarkan pada keterlibatan mereka pada sumbangan emisi pertahunnya yang dapat dirujuk berdasarkan assesmen IPCC yang dikeluarkan pertahunnya. Berikut tabel skenario yang di keluarkan oleh IPCC: Tabel III. Skenario Pengurangan Emisi IPCC IPCC Box 13.7: The range of the difference between emissions in 1990 and emission allowances in 2020/2050 for various GHG concentration levels for Annex I and non‐Annex I countries Kategori Skenario Regio 2020 2050 Annex I A‐450 ppm CO2‐eq ‐25% to ‐40% ‐80% to ‐95%
91
Non‐Annex I
B‐550 ppm CO2‐eq
Annex I Non‐Annex I
C‐650 ppm CO2‐eq
Annex I Non‐Annex I
Substantial deviation from baseline in Latin America, Middle East, East Asia and entrally‐Planned Asia ‐10% to ‐30% Deviation from baseline in Latin America and Middle East, East Asia 0% to ‐25% Baseline
Substantial deviation from baseline in all regions ‐40% to ‐90% Deviation from baseline in most regions, especially in Latin America and Middle East ‐30% to ‐80% Deviation from baseline in Latin America and Middle East, East Asia
B.1. Implementasi Prinsip Common but Differentiated Responsibility pada Negara Indonesia Dengan letak kota-kota besar dan tingkat penyebaran penduduk yang padat di daerah pesisir dan dataran rendah, Indonesia berada pada posisi bahaya terhadap perubahan iklim. Saat ini gejala-gejala dampak perubahan iklim sudah mulai dirasakan oleh Indonesia. Contohnya, anomali cuaca ekstrem yang semakin sering muncul, intensitas badai siklon, puting beliung dan gelombang tinggi, musim hujan semakin pendek namun dibarengi dengan curah hujan yang semakin besar; sebaliknya, kekeringan melanda banyak daerah dan membuat air tanah menyusut. Perubahan ini berimplikasi langsung pada kehidupan masyarakat. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional Indonesia, dalam kurun waktu 2003-2005 bencana alam yang terkait dengan cuaca seperti banjir dan tanah longsor telah mencapai 1429 kasus atau 53,3% dari total bencana alam terjadi di Indonesia. Dapat diketahui berapa puluh ribu orang yang kehilangan tempat tinggal yang disebabkan oleh bencana ini. Laporan kedua Panel Ahli untuk
92
Perubahan Iklim (IPCC) April 2007 mencatat bahwa kenaikan rata-rata suhu tahunan di Indonesia antara 1970-2004 mencapai 0,1-1 derajat celcius. Sedikit kenaikan suhu ini, akan mengancam ketahanan pangan yang mengarah pada penurunan produksi pangan dan meningkatnya gizi buruk. Selain itu, ia juga meningkatkan jumlah penyakit seperti penjangkitan malaria, demam berdarah dan wabah pes. Indonesia menyadari sepenuhnya interdependensi dalam menangani isu lingkungan yang lebih merujuk pada konteks kecenderungan sebagai peluang dan
tantangan.
Sebagai
peluang
(opportunity),
Indonesia
berupaya
mengartikulasikan peran, posisi, dan kepentingannya dengan mengedepankan kerjasama internasional sebagai komitmennya untuk berkontribusi aktif dalam penanganan pemanasan global. Sebaliknya, sebagai tantangan (challenge), Indonesia bertekad mempertahankan aktivitas hubungan luar negeri dalam menyikapi isu lingkungan namun tetap berlandaskan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang menjadi refleksi amanat UUD 1945 yang berpegang pada prinsip-prinsip
kedaulatan
dan
kepentingan
nasional.
Interaksi
dan
interdependensi melalui forum multilateral sangat dibutuhkan oleh negara berkembang seperti Indonesia yang mengalami ketertinggalan dalam bidang ekonomi, penyelesaian utang luar negeri dan peningkatan pembangunan berkelanjutan dan investasi. Kecenderungan perkembangan isu ini harus dicermati secara proporsional, sehingga tidak merugikan kepentingan Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya Indonesia bersama negara berkembang lainnya untuk terus melakukan berbagai usaha negosiasi ke negara lain yang berkepentingan sama melalui bendera UNFCCC.
93
Setelah meratifikasi UNCED 1992 berdasarkan undang-undang no.6 tahun 1994, Indonesia mulai menerapkan serangkaian aturan yang bersesuaian dengan aturan yang terkandung didalam UNCED 1992, termasuk didalamnya amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Kesepakatan internasional telah pula diambil pada deklarasi pembangunan berkelanjutan tahun 2002 (The Johannesburg Declaration on Sustainable development). Deklarasi ini antara lain menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan mengisyaratkan partisipasi berbasis keterlibatan menyeluruh masyarakat dalam formulasi kebijakan, pembuatan keputusan dan implementasi di semua tingkat. Sebagai tindak lanjut atas deklarasi ini telah ditetapkan Plan of Implementation yang mengedepankan integrasi tiga komponen pembangunan berkelanjutan: “ economic deevelopment, social development, and environmental protection, sebagai reinforcing pillars”. Ada pula Peraturan Presiden nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Bab 32 Perbaikan Sumber Daya Alam Dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup. Akan tetapi, yang paling nyata berpengaruh pada penanganan diforestasi dan degradasi yaitu perumusan REDD+ yang menjadi rekomendasi negara berkembang pada COP-13 yang dihelat di bali dimana Indonesia turut andil didalamnya. mekanisme REDD diharapkan menjadi isu high profile dalam politik internasional saat itu agar sejumlah identitas Indonesia seperti negara dengan kerentanan yang tinggi terhadap banyak masalah lingkungan hidup global (antara lain: perubahan iklim, deforestasi, punahnya keragaman hayati, perdagangan limbah berbahaya,
94
perdagangan spesies fauna dan flora langka) dalam sistem internasional terkait dengan aspek geografis dan sosial politiknya dapat mendorong politik luar negeri Indonesia lebih terarah. Momentum Indonesia menjadi tuan rumah UNFCCC ke13 pada 3-14 Desember 2007, dianggap Pemerintah sebagai hal penting untuk mengambil langkah yang serius dengan berusaha menjadi pionir dalam menciptakan lingkungan dunia yang lebih hijau dengan menetapkan REDD sebagai agenda utama yang akan dinegosiasikan secara formal oleh Indonesia. Apalagi di tengah pandangan dunia terhadap Indonesia yang dikenal sebagai negara krusial penghasil emisi, maka upaya tersebut dianggap hal terpenting untuk mengemas dan memasarkan citra Indonesia baru yang lebih positif. Dan dalam mengatasi isu-isu mengenai perubahan iklim ini, Indonesia tentu tidak dapat berjalan sendiri namun membutuhkan dukungan yang serius dan nyata dari semua pihak. Bagi Indonesia, hutan merupakan salah satu kapabilitas negara dari sektor sumber daya alam yang harus dilindungi. Hutan dianggap sebagai satu kesatuan ekosistem penyangga kehidupan yang di dalamnya hidup berbagai flora dan fauna yang saling berinteraksi membentuk keseimbangan kehidupan hayati. Di samping sebagai salah satu bentuk ekosistem penting, ternyata hutan merupakan aset nasional, komoditi masyarakat global, dan sumber penghidupan utama bagi 36 juta masyarakat Indonesia. Mengingat begitu signifikannya fungsi dan makna hutan, baik dalam lingkup lokal, nasional maupun konteks global (perubahan iklim), Indonesia berupaya menemukan cara bagaimana menjadikan hutan itu bisa tetap berperan sebagai sumber perekonomian, menyumbang pada perbaikan
hidup
masyarakat
sekitar
hutan,
terjaga
kelestariannya
dan
95
berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca. Dan alternatifnya adalah dengan menjaga serta memanfaatkan kemampuan hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon.81 Dalam pandangannya, Indonesia menempatkan perhatian yang tinggi terhadap masalah-masalah REDD karena saat ini Indonesia menghadapi tantangan kerusakan hutan yang berkontribusi terhadap peningkatan emisi CO2 global. Upaya-upaya dalam pengelolaan hutan, rehabilitasi kerusakan hutan dan pengelolaan hutan lindung juga dapat berkontribusi secara positif terhadap pengurangan emisi global dan pengembalian fungsi lingkungan dunia lainnya. Mengingat pentingnya peran hutan dalam pembangunan nasional dari banyak negara berkembang, dan dimana banyak penduduk sekitar yang bergantung secara ekonomis terhadap keberadaan hutan, Indonesia telah menyadari perlunya kebijakan yang tepat yang tidak akan berdampak buruk pada pembangunan ekonomi negara dan mata pencaharian masyarakat sekitar hutan sambil memelihara kepentingan global dan generasi penerus, dengan melakukan pengurangan emisi dari kerusakan hutan di negara berkembang. Kontribusi dari masyarakat dunia sekaligus juga diperlukan, dengan mempertimbangkan prinsip common but differentiated responsibilities (CBDR), manfaat yang jelas dari iklim dan persatuan internasional terkait dengan hutan, hak penguasaan dari negara dimana hutan tersebut terletak, dan pembangunan yang bertujuan jangka panjang begitu pula sebaliknya.
81
Danial murdiyarso, Op cit.
96
Adapula Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang merupakan suatu sencana aksi yang diputuskan oleh Presiden yang tertuang dalam Perpres no.61/2011. Rencana ini memuat aksi-aksi nasional untuk menurunkan emisi karbon dari sektor kehutanan dan lahan gambut, pertanian, limbah, industry dan transportasi, serta energi. Indonesia melalui ASEAN berupaya menjalankan hubungan multilateral dengan Negara-negara diluar ASEAN seperti Cina, India, EU, dan Amerika guna mencapai kesepakatan terhadap mekanisme REDD+. Berdasarkan hasil COP-13 dan COP-14 akhirnya berhasil tercapai kesepakatan yang tidak mengikat secara rinci mengenai besaran bantuan yang akan dijanjikan oleh negara maju sebesar $ 100 milliar US. Adanya kesepakatan bilateral antara Indonesia dengan Norwegia terhadap moratorium penebangan hutan dengan nilai besaran ganti kerugian $ 1 milliar dollar US merupakan salah satu bukti keseriusan Indonesia dalam menjalankan mekanisme REDD+ yang berpedoman pada prinsip CBDR.
97
BAB. V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya penulis menarik beberapa kesimpulan, yaitu:
Prinsip common but differentiated responsibility (CBDR) berlandaskan prinsip Common Concern, Common Heritage of Mankind, dan Province of Mankind yang sama usianya dengan hukum lingkungan internasional dan berakar dari prinsip kerjasama yang menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung-jawab, dalam semangat solidaritas, untuk menghindari pencemaran lintas batas. Sehubungan dengan prinsip ini, terdapat perbedaan pendapat yang dalam antara Negara yang tergolong pada Annex I dengan negara-negara non-Annex dalam penafsirannya.
Protokol Kyoto merupakan satu-satunya protokol yang dibuat guna mewujudkan misi dari prinsip CBDR ini. Protokol Kyoto melahirkan tiga mekanisme yang didalam menjalankannya bersifat fleksibel, yaitu: Clean Development Mechanism (CDM), Joint Implementation (JI), Dan Emission Trading (ET). Akan tetapi untuk melakssanakan ketiga mekanisme tersebut negara-negara di dunia harus terlebih dahulu menyetujui pengurangan emisi berdasarkan besaran lebihan emisi yang mereka keluarkan berdasarkan pantauan IPCC. Ketentuan protokol yang hanya memberikan kewajiban pengurangan emisi pada negara-negara yang
98
tergolong Annex B protokol ini membuat keengganan beberapa Negara untuk meratifikasinya. Keputusan mundurnya Amerika dan Kanada dari kesepakatan protokol ini serta penolakan ratifikasi oleh Jepang, Rusia, dan Selandia Baru membuat komitmen protokol Kyoto periode kedua tidak memberikan hasil yang memuaskan guna mewujudkan maksud dan tujuan prinsip CBDR ini. B. Saran
Prinsip CBDR dalam hal penerapannya perlu mengkaji kembali adanya penggolongan yang berdasar pada sejarah emisi yang dilakukan pada masa yang lalu. Menurut penulis, perbedaan pandangan antara negara berkembang dengan negara maju bermula dari pengelompokan negaranegara di dunia kedalam Annex I dan non-Annex yang pada masa kini dipandang tidak perlu dilakukan lagi. Peran serta seluruh negara di dunia cukup di hitung melalui sumbangan emisi mereka pada masa sekarang. Hal ini dianggap penting sebab kegagalan negosiasi terjadi karena pembebanan hanya terjadi pada kelompok negara maju saja yang semakin membuat jurang pemisah antara kedua golongan ini.
Prinsip 6 UNCED memang menyebutkan perlunya perlakuan khusus terhadap negara berkembang. Dihapuskannya penggolongan ini nantinya dianggap penulis tidak akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap transfer ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah lingkungan, Pemberian bantuan pendanaan sudah merupakan komitmen bersama yang telah berjalan. Selain itu, hal ini dapat menunjukkan kepada negara maju
99
bahwa negara berkembang juga tidak akan lari dari tanggung jawab bersama dalam mengurangi emisi dunia yang selama ini di khawatirkan oleh negara maju. Paling tidak, jurang pemisah yang selama ini ada antara negara maju dengan negara berkembang akan teratasi. Keadaan alam sekarang ini sudah sangat menghawatirkan, sehingga perlu adanya pengorbanan bersama demi menjamin kehidupan manusia yang akan datang.
Kebutuhan terhadap komitmen pengurangan emisi bagi seluruh negara di dunia tanpa terkecuali sangat diperlukan karena mendasari terlaksananya ketiga mekanisme yang di tawarkan oleh Protokol Kyoto. Dengan dihapuskannya penggolongan ini, perumusan kewajiban pengurangan emisi diberikan berdasarkan data yang di keluarkan oleh IPCC sebagai lembaga yang melakukan penelitian dan pengawasan di bidang ini. Dengan mengikuti skenario IPCC, maka negara berkembang pun dapat mengambil banyak keuntungan kalau semua negara meratifikasi komitmen protokol Kyoto ini. Dengan adanya mekanisme Clean Development Mechanism (CDM), Joint Implementation (JI), dan emission trading (ET), negara-negara yang memiliki emisi rendah dapat memberikan jatah emisinya kepada negara maju yang memiliki kelebihan emisi melalui ketiga mekanisme ini, yang berdasarkan data rilis IPCC kelebihan emisi hampir kesemuanya dilakukan oleh negara maju, terkecuali beberapa negara yang sebelumnya masuk dalam golongan negara berkembang, seperti Cina dan India.
100
Bagi negara-negara maju, komitmen mereka perlu secara kongkrit dibuktikan dengan meratifikasi protokol yang telah ada dan tidak hanya memikirkan keselamatan negara mereka saja, padahal telah banyak terjadi bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim secara radikal oleh Global Warming yang akan terus mengancam seluruh negara di dunia sampai masa yang akan datang.
101
DAFTAR PUSTAKA 1.
Buku-buku
Andrew W. Mitchel. Dkk 2008. The Little REDD Book. Global Canopy Programme. Oxford UK. Daniel Murdiyarso, 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim. Penerbit Kompas. Jakarta. --------------------------. 2003. Protokol Kyoto (Implikasinya bagi negara berkembang). Penerbit kompas. Jakarta. --------------------------. 2003. Mekanisme CDM (Clean Development Mechanism). Penerbit Kompas. Jakarta. M Daud silalahi, 2001, Hukum Lingkungan dalam sistem penegakan hukum lingkungan indonesia bandung: Alumni. Departemen Pertanian. 2007. Agenda Nasional Dan Rencana Aksi 2008-2009 Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian. Ida Bagus Wyasa Putra. 2003. Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional. Refika Aditama. Bandung Jhon M. Echol Hassan Shadily. 2003. Kamus Inggris-Indonesia. Gramedia. Jakarta J.G Starke , 1988. Pengantar Hukum Internasional 2, Edisi ke 10, Sinar Grafika, Jakarta Koesnadi Hardjasoemantri. 2006. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. M. Daud Silalahi, 2001. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Lingkungan Indonesia. Alumni. Bandung Nur Masripatin. 2007. Apa Itu REED? Reducing emmisions from deforrestation an degradation in developing countries. Departemen kehutanan ( badan penelitian dan pengembangan kehutanan). Jakarta Phillipe sands, 1993, Greening Internasional Law, London, Earthscan Publication Ltd.
102
Stephan Schmidheiny. 1995. Changing course: A global Business perspective on development and the environment. Di terjemahkan oleh Kusnedi. Judul Indonesia, Mengubah haluan: pandangan bisnis dunia tentang pembangunan dan lingkungan. Penerbit ITB.Bandung
2.
Laporan Dan Tulisan Karya Ilmiah
Andiko. 2009. REDD ditengah masalah Kehutanan; dari ulusemen sampai malinau. Albert Mumma dan Hodas, David, , 2008, Designing a Global Post-Kyoto Climate Change Protocol that AdvancesHuman Development, Widener University School of Law. An assessment Of IPCC. 2007: synthesis report. Valencia-Spain Bappenas.2010. rancangan Strategi REDD Readliness indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bagaimana mekanisme distribusi Peran dan Manfaat REDD+ yang Efisien dan Berkeadilan?1. Kementerian Kehutanan, Policy brief 6 pdf. CHIFOR. 2010. Apakah REDD Itu ? Pedoman Chofor tentang hutan perubahan iklim, dan REDD. CHIFOR. Bogor. Indonesia David Freestone and Streck, Charlotte, 2009, Legal Aspects of Carbon Trading: Kyoto, Copenhagen and Beyond, Oxford University Press, London. DNPI. Paparan Hasil Perundingan COP 15/CMP 5 UNFCCC. DNPI. Jakarta Febi Ivalerina. 2010. Konsep Hak-Hak Atas Karbon.Epistema Institute. HUMA Kirsfianti Ginoga, 2010. Intisari Dari Kajian Stern: Economi Perubahan Iklim.RPI final Mitigasi-Etik-PPP Pdf. Laporan delegasi Republik Indonesia 2006. Nairobi. Kenya Marie-Claire Cordonier Segger (Canada/UK) dan Rajat Rana (India) CISDL , 2008, the Centre for International Sustainable Development Law. Nirmalasari. 2008. “ Implikasi Perdagangan karbon ( Karbon Trading) terhadap Global warming dalam Perspektif hukum Lingkungan Internasional.
103
Skripsi. Sarjana Hukum. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar. Nur maripatin. M.sc. 2008. Apa Itu REDD? Kajian dan Opini. Warta tenure no.6 Sitti Maemunah dan M. Lukman Hakim. 2009. “ perubahan Iklim dan Adaptasi Kapitalisme‖. Jurnal Legislasi Indonesia. Dirjen Peraturan PerundangUndangan Departemen Hukum dan HAM RI. Vol.6 no. 1 Suparto Wijoyo. 2009. “Dinamika Komitmen Internasional Dalam Rangka Pengendalian Global Warming”. Jurnal legislasi Indonesia. Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI. Vol.6 no. 1 UNDP - Sisi Lain Perubahan Iklim.UNDP Climate Change Inside_Indo pdf. Yaya Hidayati. 2009. Jalan terjal Menuju Purubahan Iklim. Briefing Paper CSF.doc
3.
Website
http: //wikipedia.Org/wiki/lingkungan. Diakses pada tanggal 8 Maret 2012 pukul 09.30 wita http://wanabuana.wordpress.com/2010/05/08/pemanasan-global/. tanggal 10 Maret 2012. Pukul 19.30 wita.
Diakses
http://ryanaalfiannoor.wordpress.com/2010/14/redd-selesaikan-masalah-denganmasalah/. Diakses tanggal 10 Maret 2012 pukul 19 30 wita. http://walpensteel.com/article/108-230-pemanasan-global. Diakses tanggal 10 Maret 2012 pukul 19.35 wita http://unfcc.int/resource/docs/cop1/07a01.pdf#page=4 diakses tanggal 10 Maret 2012 pukul 19.35 wita http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/706. Diakses pada tanggal 10 Maret 2012 pukul 19.40 wita http://media.hariantabengan.com/index/detailnasionalberitatext/id/5281. Diakses tanggal 10 Maret 2012 pukul 19 40 wita http://forrestclimatecenter.org/files/200908%20DRAFT%20REDDI520Strategy% 20(bahasa).doc. Diakses tanggal 10 Maret 2012 pukul 19.40 wita 104
karya ilmiah Pemanasan Global Di Indonesia Ditinjau Dari Protokol Kyoto, ― UNCCC2007: Bali Roadmap" diakses dari http://www.uncccbaliroadmapMajari Magazine.htm, akses 16 November 2010 http://www.cisdl.org/pdf/brief_common.pdf akses 12 Februari 2012. http://unfcc.int/resource/docs/cop1/07a01.pdf#page=4, diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.20 WITA http://unfcc.int/resource/docs/cop2/15a01.pdf#page=4, diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.21 WITA http://unfcc.int/resource/docs/cop3/07a01.pdf#page=4, diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.21 WITA http://unfcc.int/resource/docs/cop4/16a01.pdf#page=4, diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.25 WITA http://unfcc.int/resource/docs/cop5/06a01.pdf#page=4, diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.25 WITA http://unfcc.int/resource/docs/cop6/05a02.pdf#page=3 , diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.27 WITA http://unfcc.int/resource/docs/cop7/13a01.pdf#page=3 , diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.27 WITA http://unfcc.int/resource/docs/cop8/07a01.pdf#page=3 , diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.30 WITA http://unfcc.int/resource/docs/cop9/06a01.pdf#page=3 , diakses tanggal 8 Maret 2012, pada pukul 09.30 WITA http://unfcc.int/resource/docs/cop10/10a01.pdf#page=3 , diakses tanggal 8 Maret 2012,pada pukul 09.30 WITA http://unfccc.int/resource/docs/2009/cop15/eng/11a01.pdf#page=4, tanggal 8 Maret 2012,padapukul 09.30 WITA
diakses
105
GLOSSARIUM
A AAs (Assigned Amounts) AAU (Assigned Amount Unit)
Jatah emisi negara-negara Annex I dalam persen terhadap emisi pada tahun 1990. Unit satuan emisi gas rumah kaca yang digunakan dalam Kyoto Protokol dimana nilainya setara/ equivalen dengan 1 metric ton CO2.
Accession
Salah satu langkah/tindakan yang harus diambil oleh suatu negara yang bukan anggota Pihak Konvensi Perubahan Iklim berkaitan dengan Traktat atau Protocol Kyoto. Bagi negara Pihak Konvensi Perubahan Iklim, negara tersebut harus melakukan ratifikasi Protokol Kyoto. Bagi negara bukan peserta Konvensi Perubahan Iklim, maka ada tiga langkah yang harus diambil yaitu melakukan penerimaan (acceptance), pengesahan (approval) dan aksesi (accession).
Ad Hoc Group on Article 13 (AG13)
Kelompok ad-hoc yang dibentuk untuk membahasa Pasal 13 protokol Kyoto tentang CoP/moP.
Ad hoc Group on the Berlin Mandate (AGBM)
Kelompok ad-hoc yang dibentuk mengiplementasikan Mandat Berlin
Ad-hoc Working Group on Durban Platform for Enhance Action (ADP)
Suatu lembaga pelengkap UNFCCC yang dibentuk melalui keputusan NO. 1/COP 17 yang bertugas untuk mengembangkan suatu protokol, instrument legal lainnya atau hasil persetujuan dengan kekuatan legal dibawah Konvensi yang dapat diterapkan oleh semua Parties (semua negara anggota UNFCCC). ADP bertugas untuk menyelesaikan tugasnya secepat mungkin tetapi tidak lebih dari tahun 2015 dalam rangka adopsi protokol ini, instrument legal atau hasil persetujuan dengan kekuatan legal pada COP ke 21 nanti dan hasil tersebut akan efektif diimplementasikan pada tahun 2020.
Advisory Group on Finance (AGF)
Kelompok Penasihat Keuangan, suatu kelompok penasehat tingkat tinggi untuk isu keuangan yang dibentuk oleh Sekjen PBB.
untuk
106
Aforestasi (afforestation)
Konversi lahan bukan hutan menjadi lahan hutan melalui kegiatan penanaman (biasa disebut penghijauan), penyebaran biji, dengan menggunakan jenis tanaman (species) asli (native) atau dari luar (introduced). Menurut Marrakech Accord (2001) kegiatan penghijauan tersebut dilakukan pada kawasan yang 50 tahun sebelumnya bukan merupakan hutan.
AGBM (Ad-hoc Group on Berlin Mandate)
Kelompok ad-hoc yang dibentuk mengiplementasikan Mandat Berlin.
untuk
Annex I countries / Parties
negara-negara industri yang terdaftar pada lampiran 1 konvensi perubahan iklim (UNFCCC) yang mempunyai komitmen untuk mengembalikan emisi GRK ke tingkat tahun 1990 pada tahun 2000 sebagaimana tercantum pada Artikel 4.2 (a) dan (b). Termasuk negara ini adalah 24 anggota asli. negara OECD, Uni Eropa, dan 14 negara transisi ekonomi (Croatia, Lichtenstein, Monaco, Slovenia, Chech Republic). negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I ini secara otomatis disebut Non-Annex I countries.
Annex II Countries / Parties
negara-negara yang terdaftar pada lampiran 2 Konvensi perubahan iklim UNFCCC yang mempunyai kewajiban khusus untuk menyediakan sumberdaya financial dan memfasilitasi transfer teknologi untuk negara berkembang. negara-negara ini termasuk 24 negara OECD ditambah dengan negara-negara Uni Eropa.
Annex B Countries
negara yang termasuk dalam lampiran B protocol Kyoto yang telah setuju untuk mentargetkan emisi GRK-nya, termasuk negara-negara Annex I kecuali Turkey dan Belarus.
ASEAN (Association of Perhimpunan negara-negara Asia Tenggara yang Southeast Asian Nations) mengutamakan kerjasama ekonomi dan pengembangan kawasan. Assigned Amount
Protokol Kyoto menetapkan batas total jumlah emisi GRK setiap negara maju yang boleh dipancarkan dalam komitmen periode pertama (2008 – 2012). Jumlah batas ini dihitung dengan cara mengalikan total emisi GRK pada tahun 1990 dengan bilangan 5
107
(untuk periode komitment 5 tahun) dan kemudian jumlah persentasinya disetujui untuk dimasukkan kedalam list di Annex B protocol Kyoto (misalnya 92% untuk negara-negara anggota EU, 93% untuk USA). Satuan unit batas limit tersebut dikenal dengan nama AAUs. AWG (Ad Hoc Working Group)
Suatu kelompok kerja ad hoc yang dibentuk pada COP/MOP1 dengan tugas utamanya adalah mendiskusikan komitmen pasca 2012. Berdasarkan kesepakatan di Montreal, negara-negara peratifikasi Protokol Kyoto (sering disebut juga sebagai Para Pihak atau the Parties) mendirikan sebuah Ad Hoc Working Group (AWG) untuk membahas komitmen negara-negara Annex I setelah tahun 2012. Tugas AWG adalah untuk memastikan tidak adanya jarak/ selisih (gap) antara periode komitmen pertama (tahun 2008–2012) dan periode komitmen kedua (pasca 2012) sebagai bentuk realisasi dari Protokol Kyoto Pasal 3 ayat 9.
AWG-LCA
Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action atau Kelompok Kerja Ad Hoc Mengenai Aksi Kerjasama Jangka Panjang adalah kelompok yang dibentuk di bawah Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim. Kelompok Kerja Ad Hoc ini mendapat tugas untuk bekerja menyelesaikan tugasnya sampai 2009 yaitu untuk mengawal proses penyusunan kesepakatan penurunan emisi periode kedua yang mana hasilnya akan diputuskan pada COP 15 pada bulan Desember 2009 di Copenhagen.
AWG-KP
Ad Hoc Working Group on Further Commitment for Annex I Parties under Kyoto Protocol atau Kelompok Kerja Ad Hoc Mengenai Komitmen Lebih Lanjut negara-negara yang tergabung dalam Annex I Kyoto Protokol. Ini adalah kelompok yang dibentuk di bawah Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim pada bulan Desember 2005 dan mendapat tugas untuk mendiskusikan komitmenkomitment di masa mendatang bagi negara-negara industri yang tergabung dalam Kyoto Protokol. Kelompok Kerja Ad Hoc ini diharapkan dapat menyelesaikan tugasnya sampai akhir 2009.
B 108
Bali Action Plan (Rencana Aksi Bali)
Merupakan kesepakatan pada Konferensi Iklim di Bali pada tahun 2007 yang mencantumkan berbagai pokok pembahasan negosiasi sampai periode komitmen pertama Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012 Semua Parties menyadari diperlukannya reduksi penurunan emisi global yang lebih besar sebesar 25-40% sebagai komitmen lanjutan dari negara maju (annex-I Protokol Kyoto) sesuai dengan AR4 IPCC. Diharapkan proses penyusunan dokumen komitment ini dapat diselesaikan hingga 2009.
Bali Road map
Kumpulan keputusan-keputusan dan kesimpulankesimpulan yang telah diadopsi oleh parties UNFCCC dan Protokol Kyoto pada tahun 2007 di konferensi PBB tentang perobahan iklim di Bali yang memberikan suatu proses untuk menyetujui revisi dan penambahan dimasa mendatang ke dalam UNFCCC dan protocol Kyoto yang akan dinegosiasikan di UNFCCC meeting di Copenhagen, Desember 2009.
BAPA (Buenos Aires Plan of Action)
Rancangan implementasi Protokol Kyoto yang dirumuskan pada CoP4 di Buenos Aires, Argentina.
Business as usual (BAU)
Besarnya emisi karbon / carbon stock dalam mekanisme REDD+ dimana emisi/stock karbon tersebut dihasilkan berdasarkan kegiatan-kegiatan yang sudah rutin dilaksanakan, tanpa adanya usahausaha tambahan untuk menanggulangi isu emisi karbon ini.
C Cadangan Karbon (Carbon Stock)
Capacity Building
CDM (Clean Development Mechanism)
Simpanan Karbon. Banyaknya kandungan karbon yang ada di pohon pada suatu areal hutan pada jangka waktu tertentu. Asumsinya pohon menyerap dan menyimpan CO2. Pembangunan Kapasitas; Suatu proses mengembangkan ketrampilan teknis dan kemampuan institusi di negara berkembang dan negara dalam transisi ekonomi untuk memudahkan negara bersangkutan menangani penyebab dan akibat perubahan iklim secara efektif. Adalah salah satu mekanisme dibawah Kyoto Protocol/UNFCCC, yang dimaksudkan untuk : (a) 109
membantu negara maju/ industry memenuhi sebagian kewajibannya menurunkan emisi GHGs; (b) membantu negara berkembang dalam upaya menuju pembangunan berkelanjutan dan kontribusi terhadap pencapaian tujuan Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC); merupakan salah satu mekanisme di bawah protokol Kyoto yang memperbolehkan negara-negara berkembang “menjual” penurunan emisi melalui berbagai proyek kepada negara-negara maju. Dalam mekanisme ini, negara Annex I berinvestasi di negara non-Annex I untuk proyek- proyek yang menghasilkan Pengurangan Emisi yang Tersertifikasi (Certified Emission Reduction/CER). CEIT (Countries with Duapuluh lima negara Eropa Tengah dan Timur bekas Economies in Transition) Uni Soviet yang sedang berubah dari ekonomi komunis yang terkendali menjadi ekonomi pasar. Empat belas diantaranya tergolong Annex I, sedang 11 lainnya tergolong non-Annex I. CER (Certified Emission Reduction)
Sertifikasi penurunan emisi GRK yang dilakukan melalui proyek CDM. Unit satuan dalam CER adalah 1 metrik ton. CER dikeluarkan untuk mengurangi emisi dari aktivitas CDM. CER ini bisa dialihkan kepada negara-negara maju yang membutuhkannya, biasanya dengan harga tertentu. CDM Executive Board, berkedudukan di Sekretariat UNFCCC di Bonn, Jerman, mengatur tatakelola CDM ini dan menerbitkan CER bagi aktivitas yang telah diverifikasi.
CfRN
Coalition for Rain Forest Nations, suatu koalisi negara-negara anggota UNFCCC dari negara berkembang yang mempunyai hutan hujan (15 negara). Anggota CfRN nota bene juga anggota G-77 + China.
CGE (lihat Consultative Group of Experts)
kelompok penasehat yang terdiri dari para ahli. Kelompok ini memberikan dampingan teknis kepada negara non-Annex 1 dalam mengembangkan Komunikasi Nasional negaranya (National Communication).
Climate model
Model
iklim,
suatu
pemodelan
sistim
iklim
110
berdasarkan sifat fisik, kimia dan biologi komponenkomponen iklim serta interaksi dan proses feedbacknya dengan melihat semua komponen atau sebagian komponen penyusun iklim. CMP (the meeting of the Parties)
suatu konverensi anggota konvensi untuk membantu pertemuan negara anggota Kyoto Protokol. CMP ini bertemu bersama-sama dengan COP. negara anggota konvensi yang bukan anggota negara protokol boleh berpartisipasi dalam CMP sebagai peninjau tetapi tidak mempunyai hak untuk mengambil keputusan.
Common but differentiated responsibilities principle
suatu prinsip dalam isu perubahan iklim global dimana setiap negara memiliki tanggung jawab yang sama namun dengan peran yang berbeda-beda.
Conference of Parties (COP)
Konferensi para pihak. Badan otoritas tertinggi dalam suatu konvensi, bertindak sebagai pemegang otoritas pengambil keputusan tertinggi. Badan ini merupakan suatu assosiasi dari semua negara anggota konvensi.
Conference of Parties serving as Meeting of Parties to the Kyoto Protocol (COP/MOP)
Suatu ajang pertemuan negara-negara yang telah meratifikasi protocol Kyoto dan lembaga yang mempunyai otoritas untuk menentukan keputusan dalam protocol.. Pelaksanaan COP/MOP biasanya dilaksanakan bersama-sama dengan COP.
Copenhagen Accord
Hasil-hasil keputusan cOP 15 tahun 2010 di Kopenhagen, Denmark.
CRF (Common Reporting Suatu format standar pelaporan perkiraan emisi dan Format) pemindahan GRK dan informasi oleh pihak Annex 1. CSD (Commission on Sustainable Development)
Komisi PBB untuk pembangunan berkelanjutan. Komisi ini terbentuk pada tahun 1992 dengan tujuan menjamin tindak lanjut hasil dari Konferensi PBB dibidang Lingkungan dan Pembangunan, melakukan monitor implementasi kesepakatan KTT Bumi ditingkat local, nasional, regional dan internasional.
Deforestasi
Konversi lahan hutan menjadi menjadi lahan untuk pemanfaatan lain atau pengurangan luas hutan untuk jangka panjang di bawah batas minimum 10% (FAO); perubahan secara permanen dari areal berhutan
111
menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Permenhut 30/2009). Degradasi Hutan
Penurunan kuantitas dan kualitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Permenhut 30/2009). Sampai saat tulisan ini dibuat, definisi degradasi hutan dalam mekanisme REDD belum disepakati, atau IPCC belum mengeluarkan definisi degradasi hutan. Definisi umum tentang degradasi hutan adalah pembukaan hutan hingga tutupan atas pohon pada tingkat diatas 10%.
Designated National Authority (DNA)
Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB) yang bernaung di bawah Kementerian Lingkungan Hidup; suatu kantor kementerian atau entitas resmi lainnya yang ditunjuk oleh pihak terkait Protokol Kyoto untuk mereview dan memberikan persetujuan nasional atas proyek yang diusulkan dibawah mekanisme CDM.
DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim / atau Indonesia NCCC)
Suatu lembaga nasional yang didirikan pada tahun 2008 melalui Peraturan Presiden No. 46/2008 dengan maksud untuk mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan untuk memperkuat posisi Indonesia di forum internasional dalam pengendalian iklim.
E ET (Emission trading)
Perdagangan karbon diantara negara maju yang merupakan salah satu mekanisme Kyoto Protocol. negara Annex I dapat mentransfer CER ke, atau memperoleh unit dari, anggota Annex I lainnya.
EIT (Economies in Transtition)
negara-negara yang tengah mengalami transisi ekonomi dari negara berkembang menjadi negara industry.
Ekosistem
Seluruh organisme hidup dan lingkungan hidupnya; sekelompok organisme hidup yang saling bergantung satu sama lain dan sama-sama bergantung pada lingkungan tempat mereka hidup bersama.
ERPA (Emission Reduction Purchase Agreement)
Suatu kesepakatan yang mengikat secara hukum yang mengatur pembelian dan penjualan penurunan emisi dari mekanisme UN CDM dan JI.
112
ERU (Emission Reduction Unit)
Unit penurunan emisi GRK yang dilakukan melalui proyek JI.
ERT (Expert Review Team)
Tim yang ditunjuk oleh CoP melalui SBSTA untuk melakukan peninjauan terhadap informasi yang disampaikan para Pihak mengenai jatah emisi mereka.
ET (Emission Trading)
Mekanisme perdagangan emisi antar negara maju untuk menghasilkan AAU (Assigned Amount Unit), satuan penurunan emisi GRK.
EU (European Union)
Uni Eropa, adalah sebuah organisasi antar pemerintahan dan supra-nasional, yang terdiri dari negara-negara Eropa, yang sejak 1 Januari 2007 telah memiliki 27 negara anggota. Persatuan ini didirikan atas nama tersebut di bawah Perjanjian Uni Eropa (yang lebih dikenal dengan Perjanjian Maastricht) pada 1992.
F FAR (The First Assessment Report)
Laporan IPCC yang pertama tentang perubahan iklim.
FCPF (Forest Carbon Partnership Facility)
Skema pendanaan untuk menurunkan emisi yang berasal dari deforestasi yang dikembangkan oleh Bank Dunia. Program FCPF ini dimaksudkan untuk membangun kapasitan REDD di negara-negara berkembang dan untuk membangun percontohan performance based incentive payments. Program FCPF secara resmi diproklamirkan pada saat COP 13 di Bali Desember 2009.
Financial Mechanism
Suatu mekanisme pendanaan yang dibuat oleh konvensi PBB dalam rangka penyediaan dana bagi pihak negara berkembang untuk mengimplementasikan konvensi. Dana harus berasal dari negara-negara maju (Annex 1 Parties). GEF telah diminta untuk mengelola pendanaan ini dengan pendekatan on-going basis dan direview setiap 4 tahun sekali. Pertanggung jawaban keuangan ini ke COP.
FIP (Forest Investment
skema
investasi
pendanaan
karbon
yang
113
Program)
G
dikembangkan oleh Bank Dunia. Program FIP ini bersama-sama program global UNFCCC dalam paket FCPF, UN-REDD dan FIP untuk membantu readiness negara berkembang dalam menyongsong mekanisme REDD+.
G77
Kelompok 130 negara berkembang. Bersama dengan AOSIS, 11 CEIT, dan lain lain tergolong ke dalam nonAnnex I.
GEF (Global Environment Facility)
Lembaga keuangan yang menangani bantuan untuk pengembangan kapasitas, penguatan kelembagaan, alih teknologi dan adaptasi perubahan iklim bagi UNFCCC dan CBD; GEF merupakan suatu program gabungan pendanaan yang dibentuk oleh negaranegara maju pada waktu KTT Bumi di Rio guna memenuhi kewajiban negara-negara maju terkait dengan berbagai traktat internasional. GEF berfungsi sebagai pelaksana mekanisme pendanaan UNFCCC, khususnya untuk membiayai pelaporan yang dibuat oleh negara-negara non-Annex 1. Lembaga ini menyediakan dana untuk melengkapi bantuan pembangunan yang ada di negara-negara non-Annex 1. Biaya bantuan ini merupakan biaya tambahan atau biaya peningkatan yang disetujui (‘agreed incremental costs’) yang ada ketika ada suatu proyek pembangunan nasional, regional ataupun global yang mempunyai target pencapaian tujuan lingkungan global, termasuk di dalamnya yang ditujukan untuk pembangunan di bidang keanekaragaman hayati.
Global Carbon Budget
Suatu konsepsi/kerangka untuk menjelaskan secara teoritis bahwa emisi GRK yang dilep;askan ke udara hamper separuhnya (47%) di tahan di atmosfir, 27% diserap oleh daratan bumi, dan sisanya skitar 26% ditangkap oleh lautan. Semakin banyak emisi yang dikerluarkan karena kegiatan manusia di atas permukaan bumi, maka semakin banyak GRK yang tertahan di atmosfir, dan semakin membuat tebal lapiran atmosfir. Ketebalan lapisan atmosfir akan memantulkan kembali sebagian besar radiasi matahari dalam bentuk gelombang sinar infra merah ke atas permukaan bumi, sehingga bumi akan
114
semakin panas, dan kejadian menyebabkan pemanasan global.
inilah
yang
Global Climate Observing System (GCOS)
Suatu sistem international yang dibuat tahun 1992 untuk menjamin bahwa observasi-observasi serta informasiinformasi yang diperlukan dan terkait dengan isu perubahan iklim dapat tersedia dan diakses oleh semua pemakai.
Global Warming
Pemanasan global yaitu peningkatan suhu rata-rata atmosfer di dekat permukaan bumi dan laut selama beberapa dekade terakhir dan proyeksi untuk beberapa waktu yang akan datang.
Global Warming Potential (GWP)
Greenhouse Effect (Efek rumah kaca)
H High-level Segment (HLS)
Hot Air
Suatu indeks yang menunjukkan pengaruh kombinasi pada waktu yang berbeda gas rumah kaca yang berada di atmosfer dan efektifitas relatifnya dalam menyerap radiasi sinar infra merah yang keluar. Index ini menggunakan CO2 sebagai tolok ukur. Berikut daftar 100 tahun-GWP: • Carbon dioxide (CO2) GWP: 1 • Methane (CH4) GWP: 21 • Nitrous oxide (N2O) GWP: 310 • Hydrofluorcarbons (HFCs) GWP: 150 – 11 700 • Perfluorcarbons (PFCs) GWP: 6500 – 9 200 • Sulphur hexafluoride (SF6) GWP: 23 900 Terperangkapnya panas oleh gas-gas yang ada di udara yang terjadi secara alami ( uap air, CO2, N2O, NH4, O3) dan secara buatan ( (CFCs, SF6, HFCs, PFCs) dimana gas-gas ini menyerap radiasi sinar merah. Efek rumah kaca secara ala mini membuat bumi selalu terasa hangat sekitar 30°C (55°F) atau lebih hangat lagi bila gas-gas ini tidak ada.
sebuah proses pertemuan para ketua delegasi dalam COP. Umumnya ini adalah pertemuan tingkat Menteri. Dalam HLS, delegasi Indonesia dipimpin langsung oleh Ketua Harian DNPI yang juga menjadi ketua Delegari RI dalam Konferensi Perubahan Iklim Internasional. Istilah ini merujuk ke kekhawatiran bahwa beberapa pemerintahan akan mampu memenuhi target emisi GRK dibawah Prokol Kyoto dengan usaha
115
minimal dan dapat membanjiri pasar dengan kredit emisi, mengurangi insentif bagi negara lain untuk memotong emisi domestic mereka sendiri. negara yang dapat mencapai hot air misalnya Ukraina dan Rusia.
I IEA (International energy agency) IGO (Intergovernmental organization)
Badan Energy Internasional. Organisasi antar pemerintah. Contoh: The World Bank, the Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), the International Civil Aviation Organization (ICAO). The Convention allows accreditation of these IGOs to attend the negotiating sessions.
IISD (International Institute for Sustainable Development)
Salah satu kegiatan rutinnya adalah menerbitkan Earth Negotiations Bulletin. Sebuah layanan masyarakat tentang laporan jalannya negosiasi tentang lingkungan dan pembangunan.
Iklim
Keadaan rata-rata cuaca pada suatu daerah dalam kurun waktu yang relatif lama (minimal 30 tahun) dan meliputiwilayah yang luas – menggambarkan kondisi sistem iklim selama satu kurun waktu dan biasanya digambarkan dalam rata-rata atau variasi berbagai variabel seperti suhu, curah hujan, dan angin, sebagian besar umumnya berkaitan dengan cuaca.
IMO (International Maritime Organization)
Organisasi Kelautan Internasional yang mengetahui penggunaan, pengangkutan, dan penyimpanan bahan bakar minyak melalui distribusi laut.
Implementation (implementasi)
Suatu aksi (legislasi atau regulasi, keputusan hukum, atau aksi lainnya) yang diambil pemerintah untuk menerjemahkan pernjajian internasional ke dalam undang-undang / peraturan dan kebijakan domestic.
INC (Interngovernmental Negotiating Committee)
Suatu panitia yang dibentuk oleh sidang umum PBB untuk melakukan negosiasi tentang perubahan iklim dalam rangka mempersiapkan penyusunan Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB atau UNFCCC. Panitia ini bekerja dari tahun 1990-1995.
Insentif
Manfaat yang diperoleh dari kegiatan REDD berupa
116
dukungan finansial dan atau transfer teknologi dan atau peningkatan kapasitas tentang perubahan iklim. IOC (Intergovernmental Oceanographic Commission)
Suatu komisi oseanographi / kelautan antar pemerintah.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change )
Suatu Panel ilmiah yang didirikan pada tahun 1988 oleh pemerintah anggota Konvensi Perubahan Iklim yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia untuk melakukan pengkajian (assessment) terhadap perubahan iklim, menerbitkan laporan khusus tentang berbagai topik yang relevan dengan implementasi Kerangka Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim. Panel ini memiliki tiga kelompok kerja (working group) : I. Dasar Ilmiah, II. Dampak, Adaptasi, dan Kerentanan, III. Mitigasi
ISO
International Standard Organization.
J JI (Joint Implementation)
Joint Implementation Supervisory Committee (JISC)
Sebuah mekanisme penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan oleh antar negara maju untuk menghasilkan ERU (Emission Reduction Unit), suatu penurunan emisi GRK. Suatu kmite dibawah CMP yang bertanggung jawab terhadap tatakelola JI. JISC mempunyai 10 anggota dari negara-negara anggota Kyoto Protokol.
JPI (Johannesburg Plan of Implementation)
Kebijakan Implementasi Pembangunan Berkelanjutan yang dihasilkan dalam Pertemuan Puncak WSSD di Johannesburg.
JUSSCANNZ
Perkumpulan negara-negara industri yang terdiri dari: Japan, United States, Switzerland, Canada, Australia, Norway, dan New Zealand. Ketika Rusia dan Ukraina bergabung setelah CoP3, kelompok ini berubah menjadi Kelompok Payung (Umbrella Group).
JWG (Joint Working Group)
Kelompok kerjasama.
117
K Kyoto mechanism — Mekanisme Kyoto
sebelumnya dikenal dengan prosedur mekanisme Keluwesan (Flexibility Mechanisms), ini adalah suatu prosedur yang membolehkan neara-negara Annex 1 memenuhi komitmen mereka di Protokol Kyoto didasarkan pada kegiatan kegiatan mereka yang berada diluar batas negara mereka. Sebagai suatu mekanisme berbasis pasar yang potensial, negaranegara tersebut mempunyai potensi untuk mengurangi persyaratan dampak ekonomi dari GRK yang diperlukan. Mekanisme ini mencakup mekanisme Joint Implementation(Article 6), the Clean Development Mechanisms (Article 12) dan Emissions Trading (Article 17).
Kyoto Protocol
Protokol Kyoto, merupakan perjanjian internasional untuk membatasi dan menurunkan emisi gas-gas rumah kaca — karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, dan tiga gas buatan lainnya. negara-negara yang setuju untuk melaksanakan protokol ini di negara masing-masing berkomitmen untuk mengurangkan pembebasan gas CO2 dan lima GRK lain, atau bekerjasama dalam perdagangan kontrak pembebasn gas perdagangan kontrak pembebasan gas jika mereka menjaga jumlah atau menambah pembebasan gas-gas tersebut, yang menjadi puncak gejala pemanasan global. Protokol ini di adopsi di Kyoto pada tahun 1997 pada saat COP 3, mulai berlaku tahun 2005, dan akan berakhir tahun 2012. negara-negara yang termasuk dalam Annex B dari protokol ini berkewajiban menurunkan emisi sebesar 5% dibawah emisi tahun 1990 pada tahun 2008 – 2012.
L Land use and Land-use change (LULUCF) — Land-use, Land-use Change and Forestry
adalah kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan dan perubahan tata guna lahan serta kehutanan yang berpengaruh langsung terhadap emisi GRK karena adanya pelepasan dan penyerapan karbon dalam bentuk dekomposisi dan pembentukan biomassa, seperti dalam hal penebangan dan kebakaran hutan.
LDCs (Least Developed
Kelompok
negara-negara
yang
pembangunan
118
Countries)
ekonominya masih terbelakang.
LDCF (Least Developed Country Fund)
Suatu pendanaan yang dibangun untuk mendukung program kerja membantu negara-negara LDC dalam melaksanakan antara lain persiapan dan implementasi program aksi adaptasi nasional (NAPA). Pengelolaan dana ini dipercayakan ke GEF.
M Marrakesh Accord
Kesepakatan/persetujuan yang dibuat dalam pertemuan COP 7 di Marrakesh Maroko berkenaan dengan pengoperasian persyaratan Protokol Kyoto. Tujuan dari dibuatnya kesepakatan ini adalah menyelesaikan persetujuan mengenai rencana terinci tentang cara-cara penurunan emisi menurut Protokol Kyoto dan untuk mencapai kesepakatan tindakan yang memperkuat implementasi Konvensi Perubahan Iklim. Tonggak penting CoP ini adalah disepakatinya implementasi BAPA yang sudah dibicarakan selama 3 tahun terakhir, sehingga melancarkan jalan bagi efektifnya operasional Protokol Kyoto.
Mitigasi
Upaya untuk mengurangi emisi GRK sehingga laju perubahan iklim dapat ditekan; Semua intervensi manusia yang menurunkan sumber-sumber gas rumah kaca atau yang meningkatkan penyerapannya. Contoh: penggunaan bahan bakar fosil lebih efisien dalam suatu industry atau pembangkit listrik dengan cara misalnya mengalihkan energinya bersumber dari tenaga air, tenaga matahari, tenaga angin, dll.
Millennium Development Goals (MDGs)
Delapan sasaran atau tujuan yang telah disetujui untuk diupayakan agar tercapai pada tahun 2015 oleh seluruh anggota PBB yang berjumlah 191 negara. Kedelapan atau sasaran tersebut adalah (1) Menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan yang parah, (2) Pencapaian pendidikan dasar secara universal, (3) Mengembangkan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan, (4) Mengurangi tingkat kematian anak, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, (7)Menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan, (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. MDG ini telah disetujui dalam KTT Dunia tahun 2000.
Montreal protocol
Sebuah traktat internasional yang dirancang untuk
119
melindungi lapisan ozon dengan meniadakan produksi sejumlah zat yang diyakini bertanggung jawab atas berkurangnya lapisan ozon di bumi. Protokol ini diadopsi di Montreal pada tahun 1987. MoP (Meeting of Parties)
N
Pertemuan anggota Protokol (Kyoto) yang merupakan lembaga pengambil keputusan tertinggi. Pertemuan ini akan diintegrasikan dengan CoP dari UNFCCC. MOP = CMP.
NAPs
National Allocation Plans; kapasitas seluruh emisi negera-negara yang tergabung dalam phase I dan II dari kelompok EU Emissions Tradinng Scheme sampai dengan tahun 2012 , dan allowance emisi yang diterima oleh tiap sector dan bangunan individu disetiap negara.
Non-Annex 1 Parties
negara-negara yang telah meratifikasi atau menyetujui konvensi PBB tentang perubahan iklim yang tidak termasuk ke dalam Annex 1 Konvensi.
Non-governmental organization (NGO)
Lembaga Swadaya Masyarakat, yaitu organisasi yang bukan merupakan bagian dari struktur pemerintah. Termasuk kelompok ini adalah kelompok lingkungan, lembaga penelitian, kelompok bisnis, dan asosiasi pemerintah desa dan local. NGO yang bisa ikut menghadiri konvensi PBB harus NGO yang nir-laba.
O OECD (Organization of Economic Co-operation and Development)
Negara-negara industri yang memasukkan Korea dan Mexico sebagai anggota baru.
P Paham Kosmopolitan
Paham kosmopolitan adalah pengertian manusia dan semua unsur dunia adalah satu kesatuan. Tanpa ada batasan negara, kultur kebudayaan dan lain-lain. Paham kosmopolitan menyatukan semua manusia di dunia dan semua unsur di dunia sebagai sebuah satu kesatuan. Beberapa tokoh paham ini seperti Kant, Marx, dan Mark Evans, andrew linklater dalam bukunya the transformation of political community (1998).
120
PDD (Project Design Document)
Dokumen Desain Proyek yaitu suatu dokumen dimana perkiraan penurunan emisi akibat upaya REDD ini akan dikuantifikasikan dan dituangkan. Dokumen ini diperlukan berdasarkan aturan CDM guna menentukan apakah suatu proyek (i) telah disepakati oleh pihak-pihak terkait di dalam suatu proyek, (ii) akan menghasilkan pengurangan emisi GRK yang additional, (iii) mempunyai rencana baseline dan monitoring yang tepat.
Pembangunan berkelanjutan
Pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kapasitas generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Pengelolaan Hutan
Aplikasi prinsip-prinsip biologi, fisika, kuantitative, manajerial, sosial dan politik pada regenerasi, pemeliharaan, pemanfaatan dan konversi hutan untuk memenuhi maksud dan tujuannya dengan tetap mempertahankan produktifitas hutan.
Perubahan iklim
Semua perubahan dalam iklim dalam suatu kurun waktu, apakah karena perubahan alamiah atau sebagai akibat aktivitas manusia. UNFCCC mendefinisikan sebagai suatu perubahan iklim akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia yang merobah komposisi gas di atmosfer sehingga menyebabkan terjadinya variasi iklim alam pada selang masa tertentu (Article 1).
Policies and Measures (PAMs)
Suatu istilah yang sering dipakai untuk merujuk ke tahapan yang diambil atau akan diambil oleh negaranegara untuk mengurangi emisi GRK dibawah UNFCCC dan Protokol Kyoto. Beberapa kebijakan dan tindakan terdapat di Protokol dan dapat memberikan kesempatan bagi kerjasama antar pemerintah.
Protocol
Traktat, persetujuan internasional terkait dengan konvensi, tetapi sebagai suatu persetujuan tambahan dan terpisah yang harus ditanda tangani dan diratifikasi oleh para pihak konvensi terkait. Protokol biasanya memperkuat suatu konvensi dengan menambah komitmen baru yang lebih detil.
Protokol Kyoto —
Protokol ini merupakan amandemen the United Nations Framework Convention on Climate Change yang menugaskan pewajiban batasan emisi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca kepada negara-
121
negara yang menandatangani kesepakatan itu.
R Ratification (ratifikasi)
Proses adopsi perjanjian internasional, atau konstitusi atau dokumen yang bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap konstitusi) melalui persetujuan dari tiap entitas kecil di dalam bagiannya. Pada pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena itu ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak penandatanganan ratifikasi.
Recommendation
Rekomendasi; tindakan formal COP yang lebih lemah dibandingkan dengan keputusan atau resolusi, dan tidak mengikat terhadap pihak konvensi.
REDD (Reduction of Emission from Deforestation and Forest Degradation)
Suatu skema atau mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif atau kompensasi bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD mencakup semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan (Permenhut 30/2009). REDD merupakan suatu inisiatif untuk mengurangi emisi GRK yang terkait dengan penggundulan hutan dengan cara memasukkan ‘avoided deforestation’ ke dalam mekanisme pasar karbon. Secara sederhana adalah suatu mekanisme pembayaran dari komunitas global sebagai pengganti kegiatan mempertahankan keberadaan hutan yang dilakukan oleh negara berkembang. REDD merupakan mekanisme internasional yang dibicarakan dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim ke-13 akhir tahun 2007 lalu di Bali dimana negara berkembang dengan tutupan hutan tinggi selayaknya mendapatkan kompensasi apabila berhasil menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
REDD+ (Reduction of Emission from
Suatu mekanisme penurunan emisi yang dikembangkan dari REDD (expanded REDD) dimana
122
Deforestation and Forest Degradation Plus)
penggunaan lahan yang tercakup didalamnya meliputi hutan konservasi, pengelolaan hutan lestari (SFM), degradasi hutan, aforestasi dan reforestasi; semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pengurangan dan/atau pencegahan, dan/atau perlindungan, dan/atau peningkatan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Reduced Impact Logging (RIL)
Suatu kegiatan dari perencanaan pemanenan hasil hutan kayu yang telah memperhatikan aspek keselamatan lingkungan dan dikerjakan dengan benar oleh para operator yang terlatih.
Reference emission
Emisi acuan, tingkat emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan dalam kondisi tidak ada skema REDD dan dapat ditetapkan berdasarkan trend historis maupun skenario pembangunan di masa datang.
Reference emissions level (REL)
basis untuk mengukur pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dalam suatu batas geografis dan periode waktu tertentu, ditetapkan berdasarkan data historis, dengan memperhitungkan potensi emisi yang akan dihasilkan dari kegiatan pembangunan di masa mendatang.
Reference level (RL)
Tingkat cadangan karbon yang akan dijadikan basis (benchmark) untuk mengukur tingkatkeberhasilan dalam mengkonservasi dan/ atau meningkatkan cadangan karbon dari upaya konservasi, pengelolaan hutan lestari,penanaman atau kegiatan lainnya.
Reforestasi
Umumnya berarti penanaman kembali pada lahan hutan yang rusak. Menurut Marrakech Accord (2001), kegiatan penanaman kembali ini dilakukan pada hutan yang telah rusak sdebelum 31 Desember 1989.
Regional Groups (Kelompok regional)
Aliansi dari negara-negara yang berada di regional geografis yang sama dimana mereka bertemu untuk membahas isu, menominasikan anggota untuk mewakili dalam aktivitas di dalam konvensi. Ada lima kelompok regional yaitu Afrika, Asia, Eropa Timur dan Tengah (CEE), Amerika.
Removal Units
Kredit yang diperoleh dari LULUCF di negara
123
industry, termasuk didalamnya proyek-proyek yang berada dibawah mekanisme JI protocol Kyoto. Rencana Aksi Nasional Suatu sencana aksi yang diputuskan oleh Preseden Gas Rumah Kaca (RAN- yang tertuang dalam Perpress 61/2011. Rencana ini GRK) memuat aksi-aksi nasional untuk menurunkan emisi karbon dari sektor kehutanan dan lahan gambut, pertanian, limbah, industry dan transportasi, serta energi. Research and systematic observation
Kewajiban bagi para pihak konvensi perubahan iklim; mereka diminta untuk mempromosikan dan bekerjasama dalam penelitian dan pengamatan sistematik tentang system iklim, dan diminta untuk membantu negara-negara berkembang dalam pelaksanaannya.
Rio Conventions
Konvensi Rio; tiga konvensi hasil pertemuan KTT Bumi di Rio De Janeiro tahun 1992 yaitu konvensi kerangka perubahan iklim (UNFCCC), konvensi keanekaragaman hayati (UNCBD), dan konvensi untuk menghindari penggurunan (UNCCD).
Rio+20
Suatu conferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan yang diadakan di Rio de Janeiro, Brazil, pada tanggal 4-6 Juni 2012.
RMU (Removal Unit)
Unit penyerapan yang dihasilkan dari kegiatan LULUCF secara domestik menurut Pasal 3.3 dan 3.4 Protokol Kyoto. Satu unit dalam protocol Kyoto setara dengan 1 ton CO2.
R-PIN (Readiness Project Idea Notes)
Step awal yang harus dilalui oleh negara berkembang untuk dapat mengakses pendanaan dari Bank Dunia guna keperluan persiapan menyongsong mekanisme perobaan iklim. Apabila R-PIN disetujui oleh pihak Bank Dunia, maka negara yang bersangkutan akan mendapatkan pendanaan untuk mengembangkan RPLAN.
RPJM
Rencana Pembangunan Jangka Menengah.
Rules of procedure
Aturan-aturan yang mengarahkan tentang prosedur pelaksanaan COP, CMP termasuk badan-badan yang ada di bawahnya, yang meliputi juga proses pengambilan keputusan dan partisipasi dalam kegiatan conferensi tsb.
124
S Sekuistrasi Karbon
Simpanan Karbon Sinks (definisi menurut UNFCCC)
SIS (Safeguard Information System) Source
Subsidiary Body
Subsidary Body for Implementation (SBI)
Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA)
sekuistrasi karbon adalah pengambilan CO2 secara semi permanen oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis dari atmosfer kedalam komponen organik, atau disebut juga fiksasi karbion. Lihat definisi Cadangan Karbon (Carbon stock) Semua proses atau aktivitas atau mekanisme yang memisahkan GRK atau gas-gas penyusunnya dari atmosfer; Proses, aktivitas atau mekanisme yang menghilangkan GRK, aerosol, atau cikal bakal gas rumah kaca dari atmosfir. Istilah ini umum dipakai di perubahan iklim dan mencakup pengertian menyerap serta menyimpan. Hutan dan vegetasi lainnya dianggap sebagai sink karena menyerap CO2 dari udara dan menyimpan carbonnya dibatangnya. Salah satu hasil keputusan CP 16 Cancun dari 4 keputusan dimana negara harus membangun system informasi safeguard (kerangka pengaman). Process, aktifitas atau mekanisme yang melepas gas GRK, aerosol, atau biang gas GRK ke atmosphere (IPCC 2007c). Komite Tambahan; yaitu suatu komite tambahan untuk membantu COP. Ada dua badan tambahan permanent yang dibentuk oleh Konvensi ini yaitu (1) Komite Tambahan untuk Implementasi (SBI) dan (2) Komite Tambahan untuk Pertimbangan Ilmiah dan Teknologi (SBSTA). Sebuah Komite Tambahan yang menjadi pendamping para Parties yang berada di bawah Konvensi dan Protokol dengan tugas utama berperan untuk membuat rerkomendasi tentang iju kebijakan dan imlementasi ke COP dan, jika diminta, ke badan lainnya. SBI mengadakan pertemuan 2 kali per tahun. Suatu komite yang ditetapkan UNFCCC untuk memberikan masukan dan informasi yang berhubungan dengan sains dan teknologi kepada para Parties. Setiap informasi akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan keputusan. Oleh karena itu, SBSTA sangat penting untuk terus
125
diikuti. SBSTA mengadakan pertemuan 2 kali per tahunnya. SBSTA berfungsi sebagai penghubung antara informasi dan penilaian yang diberikan oleh sumbr-sumber tenaga ahli (seperti IPCC) dan COP, yang berfokus ke penyusunan kebijakan. Sustainable development
T Technology transfer (transfer teknologi)
Third Assessment Report (TAR)
Pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Rangkaian proses yang meliputi aliran pengetahuan, pengalaman dan peralatan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim diantara berbagai pihak pemangku kepentingan. Laporan hasil review menyeluruh penelitian ilmiah global ketiga tentang perubahan iklim, diterbitkan oleh IPCC tahun 2001. Laporan ini diantaranya menyatakan bahwa “system iklim bumi telah menunjukkan perubahan baik dalam skala global maupun regional sejak era praindustri, dimana sebagaian perubahan ini karena kegiatan manusia. Terdapat bukti baru yang lebih kuat bahwa pemanasan yang diamati selama 50 tahun terakhir karena kegiatan manusia. TAR juga mempunyai focus pada pengaruh regional perubahan iklim.
TSCF
U
Terra Standart Cubic Feet = 1012 SCF (Standart Cubic Foot)
Umbrella Group
UNCED (United Nations Conference on Environment and Development) UNDP (United Nations Development
Suatu koalisi negara-negara maju non-Eropa yang telah mengadopsi Kyoto Protokol. Termasuk dalam kelompok ini adalah Australia, Canada, Iceland, Jepang, New Zealand, Norwegia, the Russion Federation, Ukraine, dan USA. Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan, diselenggarakan di Rio de Jeneiro, Brasil pada tahun 1992 yang dikenal juga dengan nama Earth Summit.
126
Programme)
UNEP (United Nation Environment Programme) —
Program Pembangunan PBB, dibentuk pada tahun 1965. Badan ini bertanggung jawab mengkoordinasikan pekerjaan PBB terkait dengan pembangunan. Adalah sebuah badan PBB yang berwenang untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dan negara anggota PBB akan masalah-masalah lingkungan. UNEP dibentuk pada tahun 1972.
UNFCCC (United Nations Framework Convention Konvensi Perubahan Iklim PBB, sebuah kesepakatan on Climate Change) yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK, atau Green House Gas-GHG) di atmosfir, pada taraf yang tidak membahayakan kehidupan organisme dan memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem, sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan. Konvensi ini sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.6/1994 UNREDD
V
Suatu kolaborasi program / inisiative antara lembaga-lembaga dibawah PBB yaitu the UN Environment Programme (UNEP), the UN Development Programme (UNDP) dan the Food and Agriculture Organisation of the United Nations (FAO) berkaitan dengan REDD. UNREDD mempunyai program untuk membantu kegiatan-kegiatan dalam rangka REDD Readiness pada skala besar serta skala nasional. Kegiatan ini mencakup pemberian dukungan untuk membantu mengembangkan kapasitas serta infrastruktur yang diperlukan oleh negara peserta program UNREDD. Salah satu kegiatannya adalah apa yang disebut “quick start actions” yaitu kegiatan yang dilaksanakan pada bulan-bulan sebelum pertemuan COP 15 Copenhagen pada bulan Desember 2009.
Validation (validasi) Suatu tahap dalam pengembangan proyek carbon dimana suatu auditor independen melakukan auditing suatu proyek karbon untuk mengetahui apakah penurunan emisi dan manfaat lainnya nyata dan permanen bila dibandingkan dengan kalau tidak ada proyek. VERs (Verified Emission
127
Reductions)
Voluntary Carbon Standard
Suatu kredit karbon untuk penurunan GRK yang dapat diperjual belikan, yang dibuat untuk memenuhi permintaan karbon kredit secara voluntary oleh organisasi dan individu yang berkeinginan untuk menurunkan emisi yang dimilikinya. Skema sertifikasi untuk kredit karbon yang tidak berada dibawah protokol Kyoto.
Voluntary Carbon Unit
Voluntary commitments Voluntary Market Vulnerability
W WMO (World Meteorological Organization) WSSD (World Summit on Sustainable Development)
WTO (World Trade Organization)
Suatu nama satuan kredit karbon yang secara khusus telah diverifikasi terhadap Voluntary Carbon Standar, yaitu suatu standar yang secara independen telah dikembangkan guna menunjukkan integritas dalam peurunan emisi berbasis proyek di dalam pasar karbon voluntary bebas. Komitmen sukarela; Pasar karbon bebas yang tidak berada di bawah protokol kyoto. Tingkat kerentanan terhadap dampak perubahan iklim.
Badan Meteorologi Sedunia yang membentuk IPCC bersama UNEP, suatu badan organisasi dunia yang bergerak di bidang meteorology. Pertemuan Puncak tentang Pembangunan Berkelanjutan yang membahas pembangunan ekonomi, integritas lingkungan dan harkat hidup manusia. WSSD diselenggarakan di Johanesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002. Luaran dari WSSD adalah : (i) Deklarasi Johanesburg tentang Pembangunan Berkelanjutan, (ii) Rencana Implementasi Johanesburg, dan (iii) Kemitraan Tipe II. Suatu badan organisasi dunia yang bergerak di bidang perdagangan. Dibentuk pada tahun 1995 untuk menyediakan forum bagi negosiasi perdagangan, menangani perselisihan perdagangan, memonitor kebijakan perdagangan nasional.
128
129